Seminar NasionalPewmakanda*4* rjner 1997
STUDI POTENSI DAN KENDALA EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PO DALAM AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI JAWA TIMUR Dmnc EKo WAHYoNo dan LuKMANArFANDHY Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Perlanian Grad-Paauasran
RINGKASAN
Penelitian dilakukan serara survai dan monitoring : ala. -Pvnewuan 4okasi vanditian berdasarkan ketinggian tempat dan kepadatan populasi ternak. l rah dataran sedang dan tinggi dengan populasi padat iemak adalah Kecamatan Binangen Kabupaten Bhtar dan Kecamatan Wajak Kabupaten Malang, sedangkan daerah jarang ternak meliputi kemmatan Selorejo Kabupaten Blitar dan Kecmatan Poncokusumo Kabupaten Malang . Daerah dataran rorAah padat ternak yaitu Kecarnatan Tongas Kabupaten Probolinggo dan Kecamatan Mtang Kabupaten Tuban, sedangkan jarang ternak adalah Kecarnatan Widang Kabupaten Tuban. Responden adalah peternak dan sapi PO yang dipelihara sebagai materi penelitisan.
Monitoring secara berkala untuk menggali data fentang ketersedwan bmaga kerja, rasio induk dengan jumlah sapi yang dipelihara, calving interval (jarak beranak), service per conception (jumlah kawin sampai bunting), kualitas dan kuantitas pakan, mutasi ternak, service period, rasio induk per pejantan, dan permasalahan serta kandala yang nwnghambw -efisiensi mprroduksi. Pengumpulan data dilakukan dengan pengarnatan langsung dan wawancara. Analisis data menggunakan least-square . Hasil penelitian menunjukkan bahwa calving interval berkisar antara 13,70 bulan hingga 16,09 bulan dan berbeda nyata antara daerah dataran rendah dengan dataran tinggi (P<0,05) namun tidak berbeda antar kiasi pendit an (P<0,05) . Service per conception terjadi perbedaan nyata (P<0,05) pada daerah dataran mndah daypn dataran unggi namun antar kasi penelitian tidak berbeda nyata. Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan di daerah dataran tinggi lebih baik dan berbeda nyata dengan daerah dataran rendah (P<0,05) rasio antara tenaga kerja dengan sapi yang dipelihara pads daerah padat ternak narnpak lebih tinggi dibandingkan daerah jarang ternak walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyau, namun daerah dataran tinggi rasionya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan daerah dataran nmdah (P<0,05) . Tingkat kdahiran pedet pada daerah dataran tinggi dan rendah relatifhanrpir sarna, namun tingkat penjualan pedet banyak terjadi didaerah dataran rendah. Rasio induk dan pejantan ututA daerah dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi, namun bark di datarm nendah maupun tinggi telah telah terjangkau pelayanan Inseminasi Buatan cukup baik. Kendala yang berlcahan dengan adalah wplai pakan yang tabatas pada nusim kanamu bagc dari segi Aunlah nwipun kualitasnya. Dikhawatirkan induk-induk yang menyusui dan bunting tua pads asst sulit pakan akan terganggu reprodrdcsinya, sedangkan permamlahannya adalah pads umunnrya pete nak meraunda rner gawinkaa saphya setelah melahirkan dengan alamn pemut pads akan wrWggtr; S"ipun tdah ur angkau Insemutasi Human pftrnak g mengionim pejutan , =am apabila kegagalan bwu pa kemudian menggunakan Inseminasi Buuatan. Kata kun¢i : Repr
, ,rt* PO, JaMn kerigg
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997
PENDAHULUAN Berdasarkan data jumlah sapi di Jawa Timur yang disajikan dalam buku statistik petemakan
(ANONIMOUS, 1990) ditunjukkan bahwa jumlah sapi Peranakan Ongole (PO) sekitar 73% (2,123,050 ekor) dari jumlah sapi secara keseluruhan . Data ini memberikan arti bahwa sapi PO
merupakan aset ekonomi yang potensial dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan, khususnya di daerah lahan kering . Sapi PO memiliki kecepatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sapi Madura dan sapi Bali (StrrARDt, 1991).
Potensi ini menunjukkan bahwa sapi PO di Jawa Timur dapat diunggulkan dalam menunjang peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan khususnya di daerah lahan kering. Keunggulan sapi PO dalam menunjang pendapatan petani ditunjukkan oleh efektifitas reproduksi sapi PO yang berkorelasi positif dengan penjualan pedet pra-sapih,maupun lepas sapih dan merupakan nilai ekonomi yang utama bagi petani (YusRAN et al ., 1989). Sapi PO bi~sanya dipelihara oleh petani kecil di daerah laltan kering, selain dimaksudkan sebagai tambahan penghasilan dari produksi pedet dan pertambahan berat badan, tabungan, juga penghasil tenaga kerja pengolah lahan pertanian. Keterbatasan kemampuan petard dan keterbatasan sumber daya slam didaerah lahan kering menyebabkan produktivitas ternak kurang optimal . Sistem pemilikan sapi di Jawa Timur pada umumnya secara intensif dikandangkan, sistem tersebut menyebabkan jumlali pakan yang dikonsumsi ternak sangat bergantung pada pakan yang tersedia di kandang. AFFANDHY et al. (1995) menunjukkan keterkaitan yang kuat antara jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia . Namun sapi PO dapat beradaptasi dengan baik dan hidup di daerah lahan kering serta memiliki fungsi sebagai ternak kerja dan penghasil daging secara maksimal, walaupun produktivitasnya masih rendah, yang ditunjukkan oleh rendahnya angka kelahiran, jarak beranak dan kecepatan pertumbuhan . AsTun et al. (1983) menyatakan bahwa jarak beranak (calving interval), kawin setelah beranak, lama bunting dan service per conception (S/C) masing-masing 609 hari, 309 hari, 289 hari dan 1,3 . Selanjutnya HAR.IOSUBROTO et al. (1982) menyatakan bahwa calving interval, kawin setelah beranak, lama bunting dan s/c masing-masing 559 hard 239,5 hari, 295,5 hari dan 1,37 . Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi dan problems reproduksi sapi PO induk yang dipelihara petani di daerah beragroekosistem lahan kering di Jawa Timur, yang berguna sebagai bahan acuan dalam usaha peningkatan produktivitas sapi PO. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan secara survai dan monitoring berkala . Penentuan lokasi penelitian berdasarkan ketinggian tempat dan kepadatan populasi ternak . Untuk daerah lahan kering dataran sedang sampai tinggi dengan populasi padat ternak yaitu Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar dan Kecamatan Wajak Kabupaten Malang, sedangkan daerah jarang ternak yaitu Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar dan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang . Daerah dataran rendah padat ternak yaitu Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo dan Kecamatan Palang kabupaten Tuban, sedangkan jarang ternak Kecamatan Widang Kabupaten Tuban . Klasifikasi daerah padat dan jarang ternak didasarkan pada rasio antara luasan lahan kering dengan populasi sapi yaitu untuk daerah padat per Ha lahan kering menampung 1,10 UT, sedangkan daerah jarang ternak per Ha lahan 0,65 UT . Adapun stratifikasi dataran rendah dan sedang-tinggi didasarkan pads ketinggian tempat dari permukaan air laut . Untuk dataran rendah kurang darn 100 m.
372
Seminar Nasional Perernakan don Veteriner 1997
Stratifikasi ketinggian tempat ini mengarah pada jenis ragam pakan yang tersedia. Responden adalah peternak pemelihara sapi PO dan sapi yang dipelihara sebagai materi penelitian. Jumlah responden masing-masing lokasi 25 orang . Monitoring secara berkala untuk menggali data tentang ketersediaan tenaga kerja untuk ternak rasio induk dan pejantan, mutasi ternak . Survai untuk menggali data tentang jarak beranak, unestrus postpartus, service per conseption, kendala dan permasalahan yang menghambat efisiensi reproduksi . Pengumpulan data dilakukan dengan pemgamatan langsung dan wawancara . Analisa data menggunakan least-sguare . HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi reproduksi sapi PO di beberapa daerah lahan kering Tingkat reproduktivitas sapi PO induk ditunjukkan oleh tampilan unestrus postpartus (APP) inaupun jarak beranak yang optimal . Faktor lingkungan dan kondisi fisiologis ternak menentukan tampilan unestrus post-partus sekaligus jarak beranak . Tinggi rendahnya nilai calving interval ditentukan oleh faktor dalam dan luar (lingkungan) . Faktor dalam meliputi status fisiologis dan status reproduksi ternak itu sendiri, sedangkan faktor luar meliputi kemampuan dan ketanggapan peternak terhadap reproduksi sapinya, suplai dan kualitas pakan, pelayanan Inseminasi Buatan (1B) atau kemudahan mendapatkan pejantan . Pengamatan jarak beranak yang telah dilakukan di beberapa daerah lahan kering di Jawa" - Timur, mencakup dataran rendah padat dan jarang ternak hingga dataran sedang-tinggi padat dan jarang ternak hingga dataran sedang-tinggi padat dan jarang populasi ternaknya tidak menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata pada jarak beranaknya (Tabel Idan 2 Tabel 1. Calving interval (bulan) di beberapa daerah lahan kering Kepadatan temak Padat Jarang Rataan
Dataran Tinggi
Rendah
14,989'
16,089 13,700
14,472' 14,858 B
15,592 "
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada bans yang sama menunjukkan perbadaan nyata (P<0,05)
Tabel 2. Service perconseption (kali) sapi PO di beberapa daerah lahan kering Kepadatan temak Padat Jarang Rataan
Dataran Tinggi
Rendah
1,651'
1,725' 1,756 '
1,700 1,671 a
1,729
Keterangan : Supemkrip yang berbeda pada baris yang same mermnjukkan perbadaan nyata (P<0,05)
Semmor Nasional Peternakan dan Vetermer 1997
Namun nilai rata-rata service per conception (s/c) pada dataran tinggi baik pada padat maupun kurang/jarang populasi ternaknya lebih baik dibandingkan dataran rendah . Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai S/C diantaranya ketepatan mengawinkan, deteksi birahi, gizi pakan . Di daerah dataran tinggi pakan Yang diberikan lebih baik gizi maupun jumlahnya dibandingkan di daerah dataran rendah . Hal ini dilihat dari nilai bahan keying dan protein kasar yang diberikan pada masing-masing temak (label 3 dan 4). Bahan kering dan protein kasar yang terkandung dalam bahan pakan yang diberikan temak untuk daerah dataran tinggi lebih banyak dan berbeda sangat nyata dengan yang diberikan di daerah dataran rendah. Kualitas maupun kuantitas pakan yang diberikan secara langsung mempengaruhi tingkat kesuburan organ reproduksi dan sebagai indikatornya adalah nilai service per conception . Tabel 3. Kandungan bahan kering pakan yang diberikan ternak di beberapa daerah lahan keying Kepadatan temak
Dataran Tinggi
Rendah
Padat Jarang
10,129 b
6,886'
9,036 b
4,936 b
Rataan
9,439 B
6,346 ''
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Tabel 4. Kandungan protein kasar pakan yang diberikan ternak di beberapa daerah lahan kering Kepadatan temak
Dataran Tinggi
Rendah
Padat
0,938 b
0,64'
Jarang
1,170')
0,44 b
Rataan
1,023 B
0,586
Keterangan : Supemkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Suplai pakan ternak sapi ditentukan oleh musim, pola tanam, jumlah tenaga kerja, maupun rasio antara tenaga kerja dengan jumlah sapi yang dipelihara. Demikian halnya dengan pola tanam pada daerah dataran rendah umumnya ditanami tanaman pangan dan limbahnya digunakan untuk pakan ternak, seperti jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, pucuk tebu. Faktor yang menentukan suplai pakan adalah tenaga kerja yang tersedia dan rasio antara tenaga kerja dengan jumlah sapi yang dipelihara . Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha temak pada daerah dataran rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata yaitu 1,562 orang dan 1,451 orang, namun rasio antara tenaga kerja dan ternak yang dipelihara menunjukkan perbedaan sangat nyata pada daerah dataran rendah dengan dataran tinggi yaitu 4,500 UT/orang dan 4,457 UT/orang (label 5 dan 6).
SominarIVasiemalParemakan dan Veteriner 1997
Tabel 5. Alokasi tenaga kerjayang terlibat di beberapa daerah lahan kering Kepadatan temak
Datamn Tinggi
Rendah
Padat
1,336
1,524
Jarang
1,580
1,653
Rataan
1,451
1,562
Tabel 6. Rasia .antara tsuagake~a dangan-jurnlah sapi yang dipelihara di beberapa daerah lahan kering Kepadatan ternak
Dataran Tinggi
Rendah
Padat
7,323'
3,663'
Jarang
7,541 °
4,853'
Rataan
7,457 B
4,500 "
Keterangan : Superskrip yang berbedapada baris yang sama mmunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Pada daerah yang jarang populasi sapinya ada kecenderungan rasio antam tenaga kefja dengan sapi yang dipelihara lebih tinggi dibandingkan dengan daerah padat populasi sapinya dan hal ini berlaku untuk daerah dataran rendah maupun tinggi. Tingkat kompetisi dalam hal pengadaan pakan (mengarit) untuk daerah jarang populasi ternaknya antar peternak satu dengan yang lain tidak begitu ketat dibandingkan dengan daerah padat ternak . Didaerah jarang populasi tenaknya pada tingkat jumlah tenaga kerja yang lama dengan daerah padat ternak maupun memelihara sapi yang lebih banyak . Mutasi ternak Beberapa aspek yang tercakup dalam mutaa ternak adalah kelaluran dan pembelian sebagai faktor penambah populasi dan penjualan, kernatian dan konsumsi sebagai faktor pengurang populasi. Ada kecenderungan penjualan ternak (pedet) pada daerah dataran rendah lebih tinggi dibandingkan daerah dataran tinggi (label 7). Tabel 7. Data penjualan clan kelahirat pedet pada peternak responden Uraian Penjualan (kasus) Pernbelian (kasus) Kelahiran (kasus)
Dataran rendah
Dataran tinggi
Padat tenak
Jarang ternak
Padat ternak
Jarang ternak
25 4 15,50
20 2 11
4,50 1
1,50
14
12
0
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner .1997
Tingginya angka penjualan pedet pada daerah dataran rendah berkaitan dengan musim kemarau yang identik dengan musim paceklik sehingga penjualan temak , digunakan-untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari peternak maupun untuk pembelian pakan sapi biasanya berupa jerami padi dan jerami kacang tanah. Dentddan juga dengan pembelian ternak untuk -daerah datarn ,rendah memiliki mobilitas pembelian yang cukup tinggi terutama pads saat panen. Pada ; daerah dataran tinggi tujuan pemeliharaan sapi lebih mengarah sebagai tabungan dan penghasil pupuk kandang untuk tanaman hortikultura. Tingkaf kelahiran ditentulcan oleh banyak faktor yaitu status reproduksi induk, rasio pejantan induk serta pelayanan IB yang ada didaerah tersebut maupun pengetahuan petani akan dan reproduksi sapinya. Beberapa daerah yang -pelayanan IB nya majp tneliputi - Selorejo, Binangun, Widang dan Palang . Sedangkan yang ntengandalkan sistem kawin `alam meliputi Tongas; -Wajak dan Poncokusumo . -Rasio induk .dan .pejantan yang ada berkisar antara 3 hingga 30 ekor. Permasalahan dan kendala mproduksi sapi PO Peternak pada umumnya menunda mengawinkan sapi induknya dengan pertimbangan pertumbuhan pedetnya tidak terganggu . Pada kenyataannya unestrus postpartusnya (birahi setelah beternak) lebih awal berkisar 42 sarnpai 60 hari, namun tidak segeia dikawinkan sampai birahi berikutnya yaitu saat birahi kedua dan ketiga : .;
Di beberapa daerah.dataian ;rendalh (Widang dan Palang Kabupaten Tuban serta Tongas Kabupaten Probolinggo) .menyenangi kawin ..alam (pejantan) dibandingkan dengan IB (Inseminasi Buatan) . Namun apabila kawin alam gagal, peternak pada umumnya beralih lee IB. Penundaan perkawinan setelah beranak ini menyebabkan tingkat rata=rata service priode (tenggang waktu mengawinkan; setelah beranak) untuk sapi-sapi 'induk di daerah tersebut cukup tinggi berkisar antara 92';45 hari sampai 1,2Q;46 hari (label 8): Tabel 8. Rata-rata tenggang wakw mengawinkan setelah beranak`di.daerah lahan leering
sapi responden-dan iasio induk dengan pejantan .
Dataran tinggi
Dataran rendah Padat temak Service periode (hari) Rasio induk/jantan
Jarang temak
Padat temak
Jaiang temak
105,50
92,45
101,50
128,48
27
26
21
23
1
1
Kendala yang berkaitan dengan reproduksi dan berlangsung dari waktu lee waktu adalah suplai pakan yang sangat terbatas pada musim kemarau baik dari'segi jumlah maupun kualitasnya. Hal ini menyebabkan terganggunya reproduksi terutama pada induk menyusui dan bunting tua sekaligus pertumbuhan pedetnya, oleh karenanya perlu pakan tambahan berupa konsentrat. Namun pakan tambahan ini sulit diadakan karena daya beli yang belum terjangkau peternak Rasio induk dengan pejantan untuk daerah dataran rendah lebih tinggi dibandingkan daerah dataran tinggi . Namun baik di daerah dataran rendah maupun tinggi telah Sdangkau oleh pelayanan inseminasi buatan yang cukup baik. 376
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
KESIMPULAN Jarak beranak antar lokasi penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun ratarata di daerah dataran tinggi jarak beranaknya lebih pendek dibandingkan dataran rendah . Demikian pula dengan nilai service per conception pada daerah pada daerah dataran tinggi lebili kecil/lebih baik dibandingkan dataran rendah . Lebih baiknya potensi angka reproduksi tersebut didukung oleh kualitas hijauan yang diberikan di daerah lahan tinggi lebih baik, walaupun ternak yang dipelihara tenaga kerja lebih banyak . Permasalahan yang berkaitan dengan efisiensi reproduksi adalah penundaan perkawinan setelah melahirkan pedetnya. Pada umumnya peternak menyenangi sapinya kawin dengan pejantan dibandingkan kawin suntik, baru setelah terjadi kegagalan baru kemudian menggtmakan IB . DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1990 . Buku Statistik Peternakan . Direktorat Jenderal Petemakan. Jakarta. AFFANDHY, L., M.A . YusRAN dan A. RASYm. 1992 . Ketersediaan tenaga kerja keluarga dengan suplai pakan sapi induk menyusui pada musim kemarau di pulau Madura . Studi kasus di dua desa beragroekosistem lahan kering Proc . Pertemttan Ilmiah Hasil Penelitian clan Pengembangan Sapi Madura . Sub Balitnak Grati. Grati-Pasuruan . ASTuTi, M., W. HARDJOSOEBROTO dan S. LEBDOSOEKoyo . 1983 . Analisa jarak beranak sapi peranakan Ongole di Kecamatan Cangkringan Daerah Istimewa Yogyakarta . Proc . Pertemuan Ilmiali Ruminansia Besar. Puslitbangnak . Bogor. Hal 135-138. SUTARDI, T. 1991 . Aspek nutrisi Sapi Bali . Proc . Seminar Nasional Sapi Bali . HARDJOSUBROTO, W . 1982 . Data dasar sapi peranakan Ongole di daerah istemewa Yogyakarta . Proc . Seminar Penelitian Petemakan. Puslitbangnak . Bogor. YUSRAN, M.A ., Y.P . AcHMANTO dan KOMARUDIN-MA'SI_Tm_ . -1189 . Profiles of drought animal rearing in two villages in East-Java. Dap project Bulletin No 9.
TANYA JAWAB Petrus Sitepu : S/C di Jatim sangat bagus, sedangkan di Lampung fdak sebagus di Jatim . Apakah benar setelah gagal kawin alam hares ke IB . Apakah fdak terbalik . Berapa jumlah it ? Lukman Affandhy : Memang S/C kurang baik (pengamatan 1 th) tenttama untuk dataran rendah . Memang benar, lain dengan sapi perah pada sapi potong bila gagal IB bare menggtmakan kawin alam . Jumlah n tiap lokasi 25 . Polmer Situmorang : Apakah IB-nya berhasil ? Lukman Affandhy : Belum tahu, masih perlu penelitian lebih lanjut .