Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PERBEDAAN PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PO DAN BRAHMAN CROSS DI BERBAGAI LOKASI DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR (Comparative Study on Reproductive Performance of Ongole Cross and Brahman Cross Cattle in Central and East Java Provinces) MUCHAMAD LUTHFI, Y.N. ANGGRAENY dan DARMINTO Loka Penelitian sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT Reproductive performance of beef cattles is one of the most significant factors affecting livestock productivity. Comparative study on reproductive performance of Peranakan Ongole (Ongole Cross) and Brahman Cross cattle was carried out in two provinces, Central Java dan East Java. In Central Java, 20 heads of Ongole Cross were compared to 30 heads of Brahman Cross, while in East Java, 46 heads of Ongole Cross were compared to 30 heads of Brahman Cross. The reproductive performance which was studied was anoestrus post partum (APP), service per conception (S/C), days open (DO) and calving interval (CI). Data showed that in both provinces, the anoestrus post partum, service per conception, days open and calving interval of Ongole Cross cattle were significantly shorter (P < 0.05) than those of Brahman Cross cattle. In conclusion, the reproductive performance of Ongole Cross cattle was significantly better than Brahman Cross. Key Words: Reproductive Performance, Beef Cattle, Ongole Cross, Brahman Cross ABSTRAK Dalam budidaya sapi potong, performan reproduksi merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan produktivitas ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan performan reproduksi sapi PO dan Brahman Cross di berbagai lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan harapan dapat menjadi informasi dalam memperbaiki manajemen pemeliharaan sapi induk PO dan Brahman Cross terutama dalam perbaikan tatalaksana reproduksi. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati induk sapi PO sebanyak 20 ekor di Kabupaten Blora dan induk sapi Brahman Cross sebanyak 30 ekor di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan untuk wilayah Provinsi Jawa Timur diamati induk sapi PO 46 ekor di Kabupaten Probolinggo dan induk sapi Brahman Cross 30 ekor di Kabupaten Lumajang. Kegiatan ini melibatkan responden yang dipilih secara purposive random sampling, dengan kriteria peternak responden minimal memiliki seekor induk produktif dan sudah beranak 2 – 3 kali serta kooperatif dengan kegiatan penelitian. Data dianalisa dengan Uji T test menggunakan software for research statistix 9.0 untuk membedakan setiap parameter yang diamati dari sapi PO dan sapi Brahman Cross. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Anoestrus Post Partum (APP), Service per Conception (S/C), Days Open dan Calving Interval sapi PO lebih pendek (P < 0,05) dari pada sapi Brahman Cross di kedua provinsi yang diamati. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa performan reproduksi dari sapi PO lebih baik dari sapi Brahman Cross yang diamati. Kata Kunci: Performan Reproduksi, Sapi Potong, Sapi PO, Sapi Brahman Cross
PENDAHULUAN Pengembangan sapi potong di Indonesia perlu mendapat perhatian serius mengingat permintaan daging sapi belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Berdasarkan data dari Direktur Jenderal Peternakan RI
80
kebutuhan daging nasional tahun 2009 sebanyak 390.000 ton (setara 2,1 juta ekor sapi) hal ini hanya bisa dipenuhi dari sapi lokal 1,1 juta ekor dan sisanya berasal dari sapi impor 1 juta ekor (ANONIMUS, 2010). Besarnya permintaan daging sapi mendorong pemerintah untuk menggalakkan usaha peternakan sapi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
potong di Indonesia dengan berbagai macam program yang berbasis pemanfaatan teknologi lokal. Kendala yang sering dihadapi dalam pengembangan sektor peternakan sapi di peternakan rakyat dalam usaha pembibitan salah satu diantaranya yaitu masalah reproduksi seperti lambat munculnya birahi kembali setelah melahirkan (anoestrus post partum), angka perkawinan per kebuntingan (service per conception atau S/C), waktu kosong (days open) dan jarak beranak (calving interval). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan performan reproduksi sapi PO dan Brahman Cross di berbagai lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan harapan dapat menjadi informasi dalam memperbaiki manajemen pemeliharaan sapi induk PO dan Brahman Cross terutama dalam perbaikan tatalaksana reproduksi, sehingga efisiensi reproduksinya dapat ditingkatkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan populasi sapi potong dalam rangka pemenuhan kebutuhan daging menuju swasembada daging sapi 2014. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak bulan Januari sampai dengan Oktober 2009. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati induk sapi PO sebanyak 20 ekor di Kabupaten Blora dan induk sapi Brahman Cross sebanyak 30 ekor di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan untuk wilayah Provinsi Jawa Timur, diamati induk sapi PO 46 ekor di Kabupaten Probolinggo dan induk sapi Brahman Cross 30 ekor di Kabupaten Lumajang. Kegiatan ini melibatkan responden yang dipilih secara purposive random sampling, dengan kriteria peternak responden minimal memiliki seekor induk produktif dan sudah beranak 2 – 3 kali serta kooperatif dengan kegiatan penelitian. Teknik pengambilan data di lapangan dilakukan bersama instansi terkait dengan melakukan pengukuran langsung dan wawancara kepada peternak atau petugas terkait. Parameter yang diamati meliputi munculnya birahi kembali setelah melahirkan (anoestrus post partum atau APP), angka perkawinan per kebuntingan (service per
conception atau S/C), waktu kosong (days open) dan jarak beranak (calving interval). Analisis data dilakukan dengan Uji t test menggunakan software for research statistix 9.0 (ANONIMUS, 2008) untuk membandingkan setiap parameter yang dimiliki oleh sapi PO dan Brahman Cross. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator keberhasilan budidaya peternakan adalah perkembangbiakan yang identik dengan reproduksi dimana rata-rata setiap tahun seekor sapi induk dapat menghasilkan satu ekor anak. Menurut HARDJOPRANJOTO (1995) daya reproduksi sekelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan Efisiensi reproduksi yang tinggi dengan produktivitas ternak yang tinggi pula. Faktor penting untuk mengetahui Efisiensi reproduksi sekelompok ternak dapat diketahui dengan mengadakan evaluasi terhadap munculnya birahi kembali setelah melahirkan (anoestrus post partum), angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), waktu kosong (days open) dan jarak beranak (calving interval). Dalam penelitian ini telah diamati performan reproduksi dari sapi PO dan Brahman Cross di Provinsi Jawa Tengah (Tabel 1) dan Jawa Timur (Tabel 2). Berdasarkan data hasil pengamatan di atas dapat diketahui bahwa birahi setelah beranak (anoestrus post partum/APP) sapi PO lebih pendek daripada sapi Brahman Cross di Jawa Tengah (151 65,96 dan 365 229,23 hari). Demikian juga yang diamati di Jawa Timur, APP sapi PO lebih pendek dari pada Sapi Brahman Cross (56,5 32,77 dan 263,35 149,74 hari). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian PRAMONO (2003), HASBULLAH (2003) dan WALUYO (2004) bahwa birahi setelah beranak sapi PO yaitu 99,12; 84,78 dan 158,04 hari. Sementara itu menurut ANDI (2005a) anestrus post partum merupakan permasalahan yang sering muncul pada sapi induk Brahman Cross setelah melahirkan. ANDI (2005a) telah mengamati 39 ekor sapi induk Brahman Cross milik Fakultas Pertanian Unlam, diperoleh anestrus post partum yang panjang yaitu rata-rata 5,36 bulan. Faktor yang mempengaruhi lamanya anestrus post
81
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 1. Performan reproduksi sapi PO dan Brahman Cross di Jawa Tengah Lokasi
APP (hari)
S/C (kali)
Waktu kosong/ days open (hari)
Jarak beranak/calving interval (bulan)
151 65,96* (n = 12)
2 0,91* (n = 13)
177 81,85* (n = 11)
16 2,64* (n = 11)
365 229,23* (n = 24)
4 1,93* (n = 28)
433 244,69* (n = 23)
18,52 4,19* (n = 20)
Sapi Peranakan Ongole Kelurahan Tani Makmur, Blora Sapi Brahman Cross Kabupaten Pati
APP: Anoestrus Post Partum; S/C: Service per Conception; *berbeda nyata (P < 0,05) Tabel 2. Performan reproduksi sapi PO dan Brahman Cross di Jawa Timur Lokasi
APP (hari)
S/C (kali)
Waktu kosong/ days open (hari)
Jarak beranak/calving interval(bulan)
56,5 32,77* (n = 10)
2 1,35* (n = 12)
147,67 99,18* (n = 12)
14,32 4,82* (n = 19)
263,35 149,74* (n = 27)
2,7 1,6* (n = 30)
287,11 179,03* (n = 27)
15,54 5,90* (n = 25)
Sapi Peranakan Ongole Kelurahan Bango Jaya, Probolinggo Sapi Brahman Cross Kabupaten Lumajang
APP: Anoestrus Post Partum; S/C: Service per Conception; *berbeda nyata (P < 0,05)
partum antara lain menyusui, produksi susu, kondisi tubuh dan nutrisi (PETER dan BALLS, 1987). Hasil penelitian ANDI (2005b) menunjukkan bahwa berahi post partum yang melebihi 90 hari pada sapi induk Brahman Cross terutama disebabkan oleh tatalaksana pemberian pakan yang kurang baik sehingga skor kondisi induk yang rendah. Panjangnya birahi setelah beranak pada sapi Brahman Cross kemungkinan adalah karena adanya birahi tenang. Menurut PUTRO (2008) birahi tenang banyak dilaporkan pada sapi Brahman Cross; sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat. Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat. Pada peternakan sapi Brahman Cross di negeri asalnya, kasus birahi tenang tidak menimbulkan masalah, karena mereka menggunakan pejantan alami yang merupakan detektor birahi sapi terbaik. Birahi tenang pada sapi Brahman Cross pada peternakan rakyat terjadi karena beberapa kemungkinan, antara lain sapi Brahman Cross memiliki sifat yaitu cenderung untuk birahi pada hari gelap, lama 82
birahinya pendek, rata-rata kurang dari 6 jam, intensitas gejala birahi memang lemah. Sifat birahi sapi Brahman-Cross yang cenderung tenang ini timbul diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetis, manajemen peternakan tradisional, defisiensi komponenkomponen pakan atau defisiensi nutrisi, perkandangan tradisional (sempit, kurang gerak, kandang individual), kondisi fisik jelek (kebanyakan karena parasit internal/cacing) serta dalam proses adaptasi. Kondisi tersebut di atas menyebabkan angka perkawinan per kebuntingan (service per conception atau S/C) pada sapi PO lebih rendah daripada sapi Brahman Cross di Jawa Tengah (2 0,91 kali dan 4 1,93 kali). Demikian juga dengan hasil penelitian di Jawa Timur dimana pada sapi PO lebih rendah dari pada sapi Brahman Cross (2 1,35 kali dan 2,7 1,6 kali). Hasil penelitian TEKSON (2002), PRAMONO (2003), HASBULLAH (2003) dan WALUYO (2004) tentang service per conception (S/C) sapi PO masing-masing 2,06; 1,86; 2,03 dan 2,23 kali. Selanjutnya hasil penelitian ANDI (2005a) menunjukkan bahwa, sapi Brahman Cross yang mempunyai S/C di
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
atas dua disebabkan oleh pemberian pakan yang kurang berkualitas dan deteksi berahi yang tidak intensif, sehingga waktu pelaksanaan IB/perkawinan yang tidak tepat. Menurut DIWYANTO et al. (2010) yang dikutip dari beberapa laporan (PUTRO, 2009; SUMADI, 2009) mengisyaratkan bahwa S/C sapi silangan cenderung semakin meningkat, rata-rata di atas 2 (dua). Bahkan untuk beberapa kasus banyak kejadian S/C dapat mencapai di atas 3 (tiga), sehingga jarak beranak lebih dari 18 bulan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa waktu kosong (days open) sapi PO lebih pendek dari pada sapi Brahman Cross di Jawa Tengah (177 81,85 hari dan 433 244,69 hari). Begitu juga dengan hasil penelitian di Jawa Timur, sapi PO memiliki waktu kosong lebih pendek dari pada Sapi Brahman Cross (147,67 99,18 hari dan 287,11 hari 179,03 hari). Hasil tersebut mendekati dengan hasil penelitian WALUYO (2004) yang memperoleh waktu kosong (days open) sapi PO yaitu 189,51 hari. Menurut PUTRO (2009) sapi silangan yang kurang mendapat perawatan dengan baik akan menjadi sapi yang tidak produktif yang dicirikan dengan angka konsepsi atau conception rate (CR) menurun, inseminasi per konsepsi (S/C) yang tinggi, dan hari-hari kosong (days open) yang semakin panjang. Jarak beranak (calving interval) merupakan salah satu kinerja reproduksi yang perlu diketahui karena keteraturan CI yang setahun sekali menjamin kesinambungan produksi ternak dan replacement stock dalam suatu peternakan sapi potong (BESTARI et al., 1999). Sedangkan PARTODIHARJO (1992) menyatakan bahwa calving interval merupakan satu cara untuk mengukur kriteria Efisiensi reproduksi ternak betina yaitu perpaduan antara dua waktu beranak yang berhasil dan berurutan yang berarti terdiri dari jumlah waktu lama kebuntingan dan lama waktu kosong. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak beranak sapi PO lebih pendek dari pada sapi Brahman Cross di Jawa Tengah (16 2,64 bulan dan 18,52 4,19 bulan). Sedangkan jarak beranak sapi PO dan Brahman Cross di Jawa Timur (14,32 4,82 bulan dan 15,54 5,90 bulan). Menurut DIWYANTO et al. (2010) sapi yang terindikasi mempunyai CI panjang lebih banyak dipengaruhi oleh APP dan DO, walaupun secara umum terdapat
kecenderungan S/C yang tinggi akan menyebabkan CI panjang. Data jarak beranak tersebut sesuai dengan hasil penelitian Mukija (1998), Pramono (2003) dan Waluyo (2004) bahwa jarak beranak sapi PO masing-masing 16,55; 14,29 dan 15,59 bulan. Sedangkan menurut GUNAWAN et al. (2008) yang diambil dari SUMADI (1985) bahwa jarak beranak (calving interval) sapi Brahman Cross yaitu 17,1 bulan. Jarak beranak ini dapat digunakan untuk evaluasi kesuburan ternak. Bila jarak beranak pendek, maka tingkat kesuburan ternak adalah tinggi. Jarak beranak merupakan kunci sukses dalam usaha peternakan sapi (pembibitan), semakin panjang selang beranak, semakin turun pendapatan petani peternak, karena jumlah anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa performan reproduksi dari sapi PO yang diamati di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih baik dari sapi Brahman Cross. Anoestrus Post Partum (APP), Service per Conception (S/C), Days Open dan Calving Interval sapi PO ternyata lebih pendek dari pada sapi Brahman Cross. DAFTAR PUSTAKA ANDI, S.N. 2005b. Deteksi Gangguan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Melalui Teknik Radioimmunoassay (RIA) dan Analisis Tatalaksana Pemeliharaan. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. ANDI, S.N. 2005a. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak dan Kesehatan Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir Bidang Peternakan di Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. ANONIMUS. 2008. Statistical Analysis Software for Research version 9.0. www.statistix.com. ANONIMUS. 2010. Bisnis Gemuk – Gemukan Sapi, Trubus 486 – Mei 2010/ XLI. BASYIR, A. 2009. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Melalui Kelahiran Pedet Kembar.http://www.vet-indo.com.
83
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
BESTARI, J, A.R. SIREGAR, P. SITUMORANG, Y. SANI, and R.H. MATONDANG. 1999. Penampilan reproduksi sapi induk peranakan Limousin, Charolois, Droughmaster dan Hereford pada program IB di Kabupaten Agam provinsi Sumatra Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 18 – 19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 181 – 190. DIWYANTO, K, I. INOUNU dan A. PRIYANTI. 2010. Dampak Crossbreeding terhadap kinerja reproduksi sapi potong di Indonesia. Wartazoabeef www.Xa.yimg.com. GUNAWAN, ABUBAKAR, T. PAMBUDI, G. KARIM, K. NISTA, D. PURWADI, A.dan P.P. PUTRO. 2008. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Brahman Cross. BPTU Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. HARDJOPRANJOTO, H.S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga University Press. HASBULLAH, E.J. 2003. Kinerja Pertumbuhan dan Reproduksi Sapi Persilangan Simmental Dengan Peranakan Ongole dan sapi Peranakan Ongole di Kabupaten Bantul, DIY. Tesis. Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. MUKIJA. 1998. Tatalaksana Reproduksi sapi Potong oleh Peternak di Kabupaten Dati II Gunung Kidul. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. PARTODIHARDJO. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
84
PETERS, A.R. and P.J.H. BALL. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths, London. PRAMONO, S.J. 2003. Perbedaan Penampilan Reproduksi Antara Induk Sapi Peranakan Ongole dengan Sapi Silangan Simmental Peranakan Ongole di Kabupaten Sleman, DIY. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. PUTRO, P.P. 2008. Sapi Brahman Cross, Reproduksi dan Permasalahannya. Bagian Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta. PUTRO, P.P. 2009. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII, 8 Agustus 2009. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. TEKSON, M. 2002. Pendugaan Pertambahan Alami (Natural Increase) Sapi Potong di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. WALUYO, R. 2004. Pengaruh Persilangan antara Sapi Simmental dengan Peranakan Ongole Betina Terhadap Reproduktivitas di Kabupaten Kulon Progo. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.