EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH Saptana, Supena, dan Tri Bastuti Purwantini Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Sugarcane and tobacco are high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze efficiency and competitiveness of both commodities using Policy Analysis Matrix (PAM). The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Results of the analysis showed that: (1) sugarcane farms in Kediri, Ngawi, and Klaten have no comparative advantage, but still have relatively low competitive advantage indicated by the values of DRC > 1 and PCR < 1; (2) the factors affecting competitive advantage sugarcane farming is policies tending to be protective; (3) asepan tobacco farming in technical and semi-technical irrigated lowland and rajangan tobacco growing in simple irrigated lowland areas in Klaten have competitive and comparative advantages shown by the values of DRC < 1 and PRC < 1. Regardless of duty up to 30 – 40 percent applied, tobacco farming is still relatively competitive. Implication policies of the study: (a) improving sugarcane technology practice and increasing quality standardization for processing are essential to develop sugarcane farming; (b) in term of foreign-exchange management, tobacco is potential to develop socially and economically and the commodity is also potential to create employment and to enhance value added. Key words: sugarcane, tobacco, efficiency, competitiveness
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara historis komoditas tebu dan tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan penanaman tebu dan tembakau tersebut terus dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan (PNP) dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem glebagan (pergiliran areal) tanam. Namun, dewasa ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah. Sementara itu, usahatani tembakau diusahakan cukup meluas oleh petani rakyat baik di Provinsi Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Gula pasir (white sugar) tergolong komoditas strategis yang dilindungi oleh pemerintah. Sebagai komoditas strategis, pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap industri gula. Selama dua dekade terakhir (1983-1999), pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan perlindungan terhadap industri gula melalui kebijakan harga, dengan menetapkan
provenue gula sebagai harga yang diterima produsen baik petani maupun pihak pabrik gula, yang bias untuk melindungi produsen. Sebagai ilustrasi dalam kurun waktu tersebut pemerintah telah mengeluarkan penyesuaian harga gula provenue sebanyak 12 kali yang ditujukan untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan produksi gula nasional (Sudana, 2002). Pada periode sebelum Juni 2002, pemerintah melakukan perlindungan terhadap produsen tebu dan gula melalui kebijakan tarif, dengan tingkat tarif 25 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan produsen gula, untuk memenuhi tuntutan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) dan menghindari penurunan harga gula akibat penguatan nilai tukar rupiah, maka sejak 3 Juli 2002 akhirnya pemerintah telah mengubah tarif impor gula 25 persen menjadi tarif spesifik sebesar Rp.700/kg. Dengan jenis dan tingkat tarif seperti itu, pemerintah mengharapkan pendapatan petani tebu dapat meningkat dan petani tetap bergairah menanam tebu (Malian dan Saptana, 2002). Kondisi yang agak berbeda di alami petani tembakau, usahatani tembakau terutama dengan orientasi ekspor, biasanya merupakan tembakau asepan yang digunakan sebagai bahan baku cerutu dan tembakau rajangan yang digunakan sebagai bahan baku rokok, produk tersebut terkena pajak biaya cukai kurang lebih
83
40 persen. Kondisi ini sangat memberatkan dan tidak kondusif bagi pengembangan tembakau nasional. Padahal komoditas ini sangat prospektif baik sebagai industri yang mampu menyerap tenaga kerja secara ekstensif maupun sebagai penghasil devisa. Liberalisasi perdagangan yang makin menguat dewasa ini memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi. Dari segi permintaan pasar, liberalisasi perdagangan memberikan peluang baru seperti pasar yang semakin luas sejalan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah serius jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing di pasar dunia. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, tulisan ini ditujukan untuk: (1) Melakukan analisis profitabilitas usahatani tebu dan tembakau; (2) Melakukan analisis tentang keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif usahatani tebu dan tembakau; (3) Mengkaji kebijakan insentif dalam sistem komoditas tebu dan tembakau; dan (4) Merumuskan perspektif dalam pengembangan komoditas tebu dan tembakau. METODOLOGI Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan di tiga kabupaten, yang terdapat di dua provinsi, yaitu Jawa Timur (Kediri dan Ngawi) dan Jawa Tengah (Klaten). Kajian untuk komoditas tebu dilakukan di Kabupaten Kediri pada semua tipe irigasi dan Ngawi terbatas pada tipe irigasi sederhana dan tadah hujan, dan Klaten terbatas pada irigasi teknis. Sementara itu, untuk komoditas tembakau hanya difokuskan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang diusahakan pada desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis untuk tembakau asepan, dan di desa contoh irigasi sederhana untuk tembakau rajangan sesuai dengan data dan informasi yang tersedia. Periode penelitian untuk komoditas tebu antara MH 2000/2001 – MK II 2001, sedangkan untuk komoditas tembakau selama satu musim MK I atau MK II.
84
Pemilihan lokasi mengikuti lokasi contoh padi, yang didasarkan pertimbangan adanya perbedaan tipe irigasi dan tingkat ketersediaan air, sehingga juga menggambarkan tingkat teknologi usahatani yang diterapkan. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan dan keandalan sarana irigasi. Penelitian ini membedakan empat sistem pengairan sawah yakni : irigasi teknis dengan ketersediaan air baik, setengah teknis dengan tingkat ketersediaan air sedang, sederhana dengan tingkat ketersediaan air kurang dan tadah hujan. Pada setiap kabupaten dipilih empat desa yang merepresentasikan jenis irigasi tersebut. Data primer dan sekunder dianalisis secara proporsional. Pengumpulan data usahatani di tingkat petani, untuk tebu dilakukan pada satu musim tebu atau dari MH 2000/2001 hingga MK II 2001, sedangkan untuk tembakau yang diusahakan petani umumnya hanya diusahakan pada MKI atau MK II 2001. Sementara itu informasi kualitatif mengenai pasar input-output pertanian di pedesaan dilakukan secara periodik mulai dari MH 1999/2000 sampai MH 2001/2002. Penggalian informasi kualitatif lainnya dilakukan secara berlapis di tingkat desa, kabupaten dan provinsi di antaranya; formal dan informal leaders, pedagang pengumpul, whole-sale, dan industri pengolahan tembakau yang lebih dikenal dengan industri pengopenan tembakau dan industri perajangan tembakau. Untuk komoditas tebu informasi di luar sistem usahatani, lebih mengandalkan data sekunder dan studi pustaka. Pendekatan Analisis Analisis dititikberatkan pada trend areal, produksi dan produktivitas serta ekspor dan impor, keragaan sistem usahatani; analisis keuntungan baik secara finansial dan ekonomi; daya saing di tingkat petani serta menganalisis dampak kebijaksanaan insentif pemerintah terhadap sistem usahatani tebu dan tembakau. Analisis Matriks Kebijaksanaan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha baik secara private maupun secara sosial, keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Pada penelitian ini akan di lihat pada tingkat usahatani (level farm gate), namun informasi
pada industri pengolahan maupun pemasaran diperlukan dalam melakukan penyesuaian dalam penentuan harga sosial. Untuk jelasnya Matriks PAM dapat dilihat pada Tabel 1.
biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas tersebut mampu ekpansi, kecuali apabila sumber daya terbatas atau adanya komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Tabel 1. Tabel Policy Analysis Matrix (PAM)
Penerimaan Harga Privat Harga Sosial Divergensi
Biaya input input tradanonble tradable
Keuntungan
A
B
C
D = A-B-C
E
F
G
H = E-F-G
I = AE
J = B– F
K =CG
L=I-J-K = D- H
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : D = Keuntungan Privat H = Keuntungan Sosial I = Transfer Output J = Transfer Input K = Transfer Factor L = Transfer Bersih
Baris pertama dari Matriks PAM adalah perhitungan dengan harga privat atau harga pasar, yaitu harga yang betul-betul diterima atau dibayarkan oleh pelaku ekonomi. Baris kedua merupakan perhitungan yang didasarkan pada harga sosial (shadow price), yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun hasil. Baris ketiga merupakan perbedaan perhitungan dari harga privat dengan harga sosial sebagai akibat dari dampak kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada. Untuk input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance and Freight), sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Sedangkan untuk input non tradable digunakan biaya imbangannya (opportiny cost). Beberapa indikator hasil analisis dari Matriks PAM diantaranya adalah : 1. Analisis Keuntungan a. Private Profitability (PP) : D = A – (B+C). Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitivness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output,
b. Social Profitability (PP) : H = E – (F+G) Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, berarti sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan mempunyai keunggulan komparatif. 2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A-B) : yaitu indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif. b.
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E-F): yaitu indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRC < 1. Semakin kecil nilai DRC berarti sistem semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi.
3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output (1) Output Transfer : OT = A-E : Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. (2) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A/E; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.
85
b. Kebijakan Input (1) Input Tranfer :IT = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable. (2) Nominal protection Coefficient on Input (NPCI) = B/F; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable. (3) Factor Tranfer: FT = C – G; Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT>0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable, demikian juga sebaliknya. c.
Kebijakan Input-Output (1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F); yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik. (2) Net Transfer : NT = D – H; Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT>0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya. (3) Profitability Coefficient : PC = D/H; Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersifat sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga sebaliknya. (4) Subsidy Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D-H)/E; yaitu indikator yang menunjukkan
86
proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. Penentuan Input-Output Fisik Input bibit tebu dan tembakau, pupuk yang digunakan memakai satuan kg, sementara untuk pestisida adalah liter, dan untuk satuan luas tanah adalah hektar. Tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dikonversi ke jam kerja pria (HKP) yang dalam penelitian langsung dinilai ke dalam upah tenaga kerja (Rp/JK). Selanjutnya, untuk satuan output dilakukan penyesuaian dari gula putih atau gula merah ke tebu, dan dari tembakau olahan ke tembakau daun basah. Struktur input dan output diperoleh dari hasil survei di lapang. Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam studi ini, pembagian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan untuk input tradable, baik barang impor maupun produksi dalam negeri, jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pada penelitian ini barang-barang yang diasumsikan 100 persen tradable Irigasi tekniss adalah untuk gula putih atau tebu dan tembakau hasil olahan atau tembakau daun basah. Sedangkan untuk input adalah benih padi, pupuk urea, TSP, SP-36, KCL, ZA, NPK, Pupuk Alternatif, ZPT, PPC, pestisida, alat angkut, dan alat pena-nganan. Di lain pihak, input yang diasumsikan 100 persen sebagai domestic factors adalah nilai sewa lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pajak dan iuran air. Komposisi alokasi biaya domestik dan asing untuk kegiatan transportasi didasarkan atas hasil wawancara dengan berbagai pelaku tataniaga, di mana untuk biaya tenaga kerja dalam proses pengangkutan sebagai komponen domestik (domestic factor) dan biaya angkut yang merepresentasikan sewa alat angkut sebagai komponen asing (tradable). Demikian juga untuk kegiatan penanganan. Pembagian komponen tradable dan domestic factors pada biaya penanganan didasarkan dari data hasil wawancara langsung dengan para pelaku ekonomi komoditas tebu
atau gula putih dan tembakau daun basah atau tembakau hasil olahan. Biaya penanganan untuk komoditas tebu atau gula putih dan tembakau hasil olahan atau tembakau daun basah yang diteliti terdiri dari biaya bahan (tradable) dan domestic factors untuk tenaga kerja/buruh. Secara terperinci hasil alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing dapat disimak pada Tabel Lampiran 1. Sedangkan justifikasi dalam penentuan hara sosial input dan output dikemukakan pada Tabel Lampiran 2. EKONOMI TEBU DAN TEMBAKAU Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi Gula di Indonesia Penguasahaan tebu di Jawa dapat dibedakan atas tebu rakyat yang di tanam di lahan sawah dan lahan kering, serta tebu milik pabrik gula (Malian, 1998). Dalam upaya alih teknologi kepada petani tebu, petani tebu dikelompokkan menjadi kelompok kolektif dan petani kooperatif, disamping itu terdapat petani tebu individual sebagai petani Tebu Rakyat Bebas/TRB (Rachmat, 1992). Kelompok kolektif adalah kelompok petani tebu dalam satu hamparan yang pengelolaannya ditangani oleh ketua kelompok, sedangkan pada kelompok kooperatif walaupun petani dikoordinasikan pada satu kelompok, pengelolaan tebu dilakukan oleh petani secara individu. Perkembangan luas areal, produktivitas hablur, rendemen, dan produksi selama periode (1990-2002) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Tabel 2 memberikan gambaran bahwa luas areal tanam tebu, produktivitas hablur, tingkat rendemen, dan produksi gula mengalami penurunan sejalan dengan liberalisasi perdagangan dan dihapuskannya subsidi gula sejak 1 oktober 1998, yang mendorong turunnya harga. Penurunan tersebut juga terkait dengan penghapusan subsidi pupuk sejak Desember 1998 dan bersamaan dengan krisis moneter, sehingga harga pupuk meningkat dua kali lipat, yang berdampak pada penurunan dosis penggunaan pupuk serta tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan. Kebijakan tersebut terkait dengan kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intens (LOI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia bahwa subsidi hanya bisa dilakukan dalam bentuk subsidi langsung dan atau dalam bentuk pembangunan infrastruktur ekonomi. Keragaan produksi gula nasional adalah sebagai berikut : (1) Pada tahun 2002 di Indonesia terdapat 71 pabrik gula (PG), di mana 58 buah berada di Jawa dan 12 lainnya berada di Luar Pulau Jawa, serta 1 buah pabrik gula rafinasi; (2) Berdasarkan kepemilikannya 62 buah PG milik negara dan 8 buah milik swasta; (3) Dari 71 PG tersebut yang masih beroperasi tinggal 63 PG, karena kelangkaan bahan baku dan secara ekonomi tidak menguntungkan lagi; (4) Kapasitas pabrik gula berkisar 1.000-12.000 TTH, dengan areal mencapai kurang lebih 400. 000 ha menyebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Perkembangan Luas Areal Tebu, Produktivitas Hablur, Rendemen, dan Produksi, Tahun 1990-2002
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002* Rata-rata Trend (%/th)
Areal (ha) 364.977 386.384 404.439 420.680 428.726 420.630 403.267 385.669 377.089 340.802 337.494 344.750 351.241 382.011 -1,35
Tebu (ton/ha)* 76,95 72,97 79,06 78,67 68,92 71,45 70,90 72,54 71,95 85,49 70,82 73,14 73,16 74,31 -0,20
Hablur (ton/ha) 5,81 5,83 5,70 5,90 5,72 4,98 5,19 5,68 3,95 5,95 5,00 5,01 5,48 5,40 -0,80
Rendemen (%) 7,55 7,99 7,21 7,50 8,03 6,97 7,32 7,83 5,49 6,96 7,06 6,85 7,49 7,25 -0,95
Produksi Tebu** 28.084.980 28.194.440 31.974.947 33.094.896 29.547.796 30.054.014 28.591.630 27.976.429 27.131.553 29.135.163 23.901.325 25.215.015 25.696.792 28.353.768 -1,56
Produksi Hablur (ton) 2.119.509 2.252.666 2.306.430 2.482.720 2.453.566 2.096.602 2.094.194 2.189.975 1.491.553 1.488.601 1.685.827 1.727.570 1.923.832 2.077.805 -2,56
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2002. *)Angka sementara **)Hasil rekonversi
87
Informasi kualitatif dari lapang menunjukkan bahwa kinerja usahatani tebu dan PG milik negara secara umum makin tidak efisien, yang antara lain disebabkan oleh: (1) makin rendahnya rendemen tebu yang dihasilkan petani sebagai akibat rendahnya adopsi teknologi dan kemandegan dalam menghasilkan bibit tebu berkualitas serta bergesernya areal tanam tebu dari lahan sawah ke lahan kering; (2) tingginya biaya sewa lahan yang menunjukkan tanaman tebu harus berkompetisi dengan komoditas dengan pola tanam dominan; (3) mesin pabrik yang sudah usang dan sebagai akibat makin jauhnya sentra tanaman tebu dengan lokasi PG; (4) tidak adanya reinvestasi dalam PG, padahal alat dan mesin penggilingan sudah usang; dan (5) banyaknya birokrasi yang terlibat dalam penanganan industri gula telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economics) dalam industri gula. Perkembangan Impor dan Harga Gula Konsumsi gula nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri berbahan baku gula. Peningkatan konsumsi domestik tersebut belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi, sehingga untuk menutup kekurangannya harus mengimpor gula dari pasar internasional. Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut: (1) rata-rata volume impor gula pada Tabel 3.
periode 1990-2002 mencapai 889.889 ton per tahun; (2) perkembangan impor selama periode tersebut meningkat lebih dari 17 persen per tahun; (3) harga gula dunia untuk white sugar dan raw sugar mengalami penurunan masingmasing sekitar 2 persen per tahun. Sementara itu harga gula domestik pada periode yang sama mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu sekitar 12 persen per tahun. Kondisi tersebut menunjukkan komoditas tebu atau gula domestik semakin tidak memiliki dayasaing di pasar internasional. Dilihat dari dinamika kebijakan gula nasional, sejak tahun1981 tataniaga gula pasir diatur oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/ KP/III/1981 tentang Tataniaga Gula Pasir Produksi Dalam Negeri, yang menyebutkan bahwa Bulog melakukan pembelian seluruh produksi gula dalam negeri guna disalurkan kepada masyarakat. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998 tentang perubahan Atas Keputusan Presiden No 50 Tahun 1995 tentang Badan Urusan Logistik sebagaimana telah di ubah dengan keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1997 maka Bulog hanya mempunyai tugas pengendalian harga dan pengelola persediaan beras. Meskipun demikian berdasarkan surat Menteri Keuangan No S-116/MK/1998 tanggal 21 Februari 1998 perihal pengadaan Gula Pasir
Perkembangan Volume Impor Gula, Harga Gula Dunia, dan Harga Gula Domestik, Tahun 1990-2002
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002* Rata-rata Trend (%/th)
Gula Impor (Ton) 278.501 306.774 316.675 236.719 128.399 523.988 975.830 1.364.563 1.730.473 2.187.133 1.556.687 1.072.921 1.302.181
Harga Gula Dunia** White Sugar Raw Sugar (U$/Ton) (U$/Ton) 346,40 251,00 268,20 180,80 247,80 181,80 255,80 200,60 344,99 269,33 396,13 295,52 366,70 263,61 315,87 249,90 255,19 195,59 200,61 137,75 221,73 179,57 249,31 188,60 246,24 153,78
1.050 1.125 1.215 1.256 1.260 1.430 1.481 1.525 2.737 2.640 2.989 3.746 3.758
889.889
285 77
211,73
2.015
17,57
-2,36
-2,37
11,88
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2002. *) Taksasi Maret 2002 **) London Daily Price : White and Raw Sugar
88
Harga Gula Domestik (Rp/Kg)
Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau di Indonesia
Dalam Negeri, seluruh produksi gula pasir baik yang dihasilkan BUMN maupun yang dihasilkan swasta tetap akan dibeli seluruhnya oleh Bulog. Berdasarkan dinamika kebijakan gula nasional menunjukkan bahwa kebijakan pengadaan dan distribusi gula masih terjadi tarik menarik antara tetap adanya kebijakan (intervensi pemerintah) dan yang mengarah pada perdagangan bebas.
Pengusahaan tembakau di Indonesia khususnya di Jawa dapat dibedakan atas perkebunan tembakau rakyat yang ditanam di lahan sawah dan lahan kering, serta tembakau perkebunan besar nasional terutama milik perkebunan negara. Perkembangan luas areal dan produksi periode 1990-2000 tertera pada Tabel 4.
Berbagai kebijakan terbaru dalam industri gula telah dikeluarkan akhir-akhir ini. Sebagai ilustrasi dalam kurun waktu tersebut pemerintah telah mengeluarkan penyesuaian harga gula provenue sebanyak 12 kali yang ditujukan untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan produksi gula nasional (Sudana, 2002). Pada periode sebelum Juni 2002, pemerintah melakukan perlindungan terhadap produsen tebu dan gula melalui kebijakan tarif, dengan tingkat tarif 25 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan produsen gula. Untuk memenuhi tuntutan APTR (Asosiasi Petani Tebu rakyat) dan menghindari penurunan harga gula akibat penguatan nilai tukar rupiah, maka sejak tanggal 3 Juli 2003 pemerintah mengubah tarif impor gula 25 persen menjadi tarif spesifik sebesar Rp.700/kg. Bahkan belum lama ini Presiden menyetujui kenaikan bea masuk gula kristal mentah hingga Rp. 1.200/kg dan sekaligus memberikan subsidi kepada petani tebu sebesar Rp. 500/kg. Dengan jenis dan tingkat tarif seperti itu, pemerintah mengharapkan agar pendapatan petani tebu dapat meningkat dan petani tetap bergairah untuk menanam tebu. Tabel 4.
Data Tabel 4 menunjukkan gambaran berikut: (1) Luas areal tanam tembakau perkebunan rakyat mengalami penurunan dari sekitar 231 ribu hektar (tahun 1990) menjadi sekitar 194 ribu hektar (tahun 2000) atau mengalami penurunan sebesar –1,65 persen per tahun. Sedangkan luas areal tanaman tembakau perkebunan besar nasional mengalami penurunan dari sekitar 4.600 hektar (tahun 1990) mejadi 3900 hektar (tahun 2000) atau mengalami penurunan sebesar –1,05 persen per tahun. Dengan demikian secara total luas areal mengalami penurunan dari 236 ribu hektar (1990) menjadi 199 hektar (2000) atau mengalami penurunan sebesar –1,63 persen per tahun; (2) Pada periode yang sama produksi tembakau sedikit mengalami peningkatan, produksi tembakau perkebunan rakyat naik 0,35 persen per tahun, perkebunan besar nasional meningkat sebesar 1,00 persen per tahun, dan secara nasional mengalami peningkatan sebesar 0,36 persen per tahun; (3) Penurunan luas
Perkembangan Luas Areal Tembakau dan Produksi Tembakau Menurut Jenis Pengusahaan, Tahun 1990-2000
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Rataan Trend (%/th)
P. Rakyat 231.284 210.844 162.685 174.798 189.227 217.469 222.025 245.327 161.550 163.278 164.712 194.836 -1,65
Luas Areal (Ha) PBN 4.582 3.994 4.162 3.698 3.868 3.475 3.450 3.550 3.937 3.993 3.976 3.905 -1,04
Jumlah 235.866 214.838 166.847 178.496 193.095 220.944 225.475 248.877 165.487 167.271 168.688 198.717 -1,63
P. Rakyat 152.768 137.039 109.566 118.936 127.730 137.078 148.435 206.322 102.174 132.174 132.408 136.785 0,35
Produksi (Ton) PBN 3.664 3.224 2.089 2.434 2.404 3.091 2.590 3.304 3.406 3.210 3.170 2.964 1,00
Jumlah 156.432 140.283 111.655 121.370 130.134 140.169 151.025 209.626 105.580 135.384 135.578 139.749 0,36
Sumber : Statistik Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Tahun 2000.
89
areal yang kecil dibarengi peningkatan produksi yang kecil mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas, yang berarti makin dikuasainya adopsi teknologi budidaya oleh petani. Penurunan luas areal panen tembakau terkait dengan kebijakan penghapusan subsidi pupuk sejak Desember 1998 dan bersamaan dengan krisis moneter, sehingga harga pupuk meningkat dua kali lipat, serta adanya fluktuasi harga yang tinggi di pasar internasional. Perkembangan Ekspor dan Impor Tembakau Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok. Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau domestik dipenuhi impor dengan tendensi semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini masih net eksportir.
dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5,78 persen per tahun; (4) rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai sekitar 38 ribu ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sekitar 35 ribu ton per tahun; (5) perkembangan impor tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3,68 persen per tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2,68 persen per tahun;(6) perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8,61persen per tahun dan tembakau daun kering 4,67 persen per tahun; dan (7) perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai impor menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan daya saing di pasar dunia. Pola Tanam dan Siklus Tanam Pengusahaan tanaman tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten pada awalnya banyak diusahakan di lahan sawah berpengairan teknis, namun pengusahaan tebu saat
Tabel 5. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Tembakau Indonesia, Tahun 1990-2000
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Rata-rata Trend (%/th)
Ekspor Volume (ton) Nilai (000 $) Daun Daun Tembakau Tembakau tembakau tembakau 58.613 124.798 17.401 39.028 57.860 145.932 22.403 45.146 80.950 206.418 28.365 60.903 66.238 176.652 37.888 70.770 53.262 126.423 30.927 53.787 61.456 186.769 21.989 53.002 84.372 219.500 33.205 62.148 104.743 245.797 42.281 75.883 147.552 254.332 46.960 72.243 91.834 212.073 37.097 62.468 71.287 220.977 35.658 60.361 79.883 192.697 32.198 59.613 5,78 2,27 6,05 1,49
Impor Volume (ton) Nilai (000 $) Daun Daun Tembakau Tembakau tembakau tembakau 41.964 47.222 26.545 27.704 58.430 67.654 28.543 29.933 64.546 78.646 25.108 26.679 76.997 99.544 30.226 32.877 100.216 125.299 40.332 42.985 115.474 156.129 47.954 52.204 134.153 181.418 45.060 49.810 157.767 206.549 47.108 52.140 75.971 84.474 17.152 19.761 128.019 141.060 40.913 43.626 114.834 163.694 34.248 42.768 97.125 122.881 122.881 38.226 4,67 8,61 8,61 3,68
Sumber : Statistik Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Tahun 2000
Tabel 5 memberikan gambaran sebagai berikut: (1) rata-rata volume ekspor pada periode (1990-2000) sekitar 60 ribu ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering sekitar 32 ribu ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1,49 persen per tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6,95 persen per tahun; (3) perkembangan nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2,27 persen per tahun dan
90
ini banyak bergeser ke lahan sawah tadah hujan dan lahan tegalan. Meskipun pada pedesaan contoh Kediri dan Ngawi masih banyak ditemukan pengusahaan tebu di lahan sawah, karena di samping banyak pabrik gula yang masih beroperasi, juga berkembang industri kecil gula merah berbahan baku tebu. Di pedesaan Kabupaten Klaten, pengusahaan tebu relatif terbatas di lahan sawah bengkok atau lungguh milik pamong desa. Keragaan pola tanam dan siklusnya tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Keragaan Pola Tanam dan Siklus Tanam di Pedesaan Contoh Kediri, Ngawi dan Klaten, Tahun 20002001 Uraian 1. Kediri a. Pola Tanam
b. Siklus Tanam 2. Ngawi a. Pola Tanam
b. Siklus Tanam 3. Klaten a. Pola Tanam
b. Siklus Tanam
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
Tadah hujan
1. Pd-pd-jg 2. Pd-jg-jg 3. Pd-cb-Kcpj/tmt 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-jg 2. Pd-pd-sayuran 3. Pd-jg-sayuran 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-jg-sayuran 2. Jg-sayuran-pd 3. Sayuran-pd-jg 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-jg-jg 2. Pd-jg-cabe 3. Pd-jg-sayur lain 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-pd 2. Pd-pd-plw 3. Pd-plw-plw 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-pd 2. Pd-pd-plw 3. Pd-plw-plw 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-plw 2. Pd-plw-plw 3. Pd-plw-bera 4. Tebu 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-pd 2. Pd-plw-bera 3. Plw-pd-plw 4. Pd-melon-mln 1-3 : satu tahun 4 : 2-4 tahun
1. Pd-pd-tbk 2. Pd-pd-kdl 3. Pd-pd-Kctnh 4. Pd-pd-Jg 5. Tebu 1 : 4 tahun 5 : 2-3 tahun
1. Pd-tbk-jg 2. Pd-pd-jg 3. Pd-jg-jg
1. Kctnh-pd-tbk 2. Pd-tbk-jg 3. Pd-tbk-cabe
1. Pd gora-pd-kdl 2. Kdl-pd-kdl 3. Jg-pd –kdl 4. Kctnh-pd-kdl
1-3 :2-3 tahun
1-3 : satu tahun
1-4 : satu tahun
Berdasarkan kajian di lapang ternyata bahwa keputusan petani untuk menanam jenis tanaman apa pada musim yang bersangkutan sangat ditentukan ada tidaknya tanaman komersial yang dipandang menguntungkan. Sebagai ilustrasi di Kabupaten Klaten keputusan petani tentang jenis tanaman dan pola tanam yang dipilih sangat ditentukan kapan tanaman tembakau harus ditanam dan dipanen, sehingga dalam siklus tanam yang dipilih memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani. Secara umum pola tanam yang ada di pedesaan contoh yang tidak ada pengusahaan tanaman perkebunan adalah satu tahun, sedangkan yang ada tanaman tembakau ada yang satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun. Sementara itu untuk yang mengusahakan tanaman tebu, lamanya siklus tanam adalah 2-4 tahun, tergantung sampai keprasan berapa tebu akan dibongkar. Beberapa jenis tembakau yang diusahakan petani di Kabupaten Klaten adalah tembakau Jawa asepan, Virginia, dan tembakau Jawa rajangan. Varietas Jawa asepan yang paling dominan adalah grompol, sedangkan varietas Jawa rajangan adalah Bligon, Malawi dan Japlakan. Secara umum tanaman tembakau membutuhkan air dalam jumlah dan waktu
yang harus dikendalikan dengan baik, melalui pengaturan sistem drainase yang baik. Meskipun membutuhkan air, tanaman tembakau sangat rentan terhadap curah hujan yang terlalu tinggi. Dengan demikian kedua jenis tanaman perkebunan tersebut mempunyai saat panen pada musim kering, karena rendemen dan kualitas hasil dapat dipertahankan. PROFITABILITAS FINANSIAL DAN SOSIAL Analisis data primer input-output usahatani tebu dan tembakau di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3, 4, dan 5. Sedangkan hasil analisis profitabilitas finansial dan ekonomi (sosial) secara terperinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6 dan 7. Sementara itu, hasil analisis PAM komoditas tebu dan tembakau di kabupaten contoh dapat disimak pada Tabel Lampiran 8, 9 dan 10. Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara privat menunjukkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten, pada beberapa tipe irigasi secara privat menguntungkan. Besarnya keuntungan untuk Kabupaten Kediri berkisar antara Rp. 907 ribu – 2,18 juta/ha/musim tebu; Ngawi antara Rp. 507 ribu–Rp. 1,18 juta/ha/musim tebu dan Klaten
91
Tabel 7. Keuntungan Finansial dan Keuntungan Ekonomik, PCR dan DRC Usahatani Tebu (MH 200/2001-MK 2001) di Kabupaten Kediri dan Ngawi (Jawa Timur) dan Klaten (Jawa Tengah) Uraian A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3 Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2.Tadah hujan Pucuk 3.Tadah hujan K-3 Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk B. Tembakau 1.Irigasi teknis, Asepan MK-1 2.Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3.Irigasi sederhana, Rajangan MK-II
Keuntungan Finansial (000 Rp)
PCR
DRC
2.182,6 1.869,9 1.475,8 958,2 907,2 931,2
-2.176,0 -2.380,6 -2.151,8 -1.984,4 -2.154,6 -2.148,7
0,78 0,81 0,83 0,85 0,86 0,86
1,38 1,41 1,41 1,54 1,57 1,53
1.179,5 963,5 506,9
-2.803,4 -2.155,4 -2.042,8
0,87 0,84 0,91
1,50 1,68 1,61
1.535,7
-2.200,4
0,82
1,42
3.084,9 2.102,7 3.189,3
6.746,0 5.224,2 2.072,3
0,62 0,67 0,55
0,42 0,45 0,65
sebesar Rp 1,54 juta/ha/musim tebu. Jika dibandingkan dengan pola tanam dominan di Kediri (padi-padi-jagung) yang memberikan keuntungan sekitar Rp. 3 juta-3,2 juta per tahun, pola tanam dominan di Ngawi (padi-padi-kedelai) dengan keuntungan sebesar Rp. 1,77 juta – 4,34 juta, serta pola tanam dominan di Klaten (padi-padi-tembakau) memberikan keuntungan sebesar Rp. 3,44 juta – 4,53 juta/ha/tahun, maka keuntungan usahatani tebu lebih rendah dibandingkan pola tanam dominan yang ada. Rendahnya tingkat keuntungan privat usahatani tebu terkait dengan rendahnya tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan petani. Usahatani tembakau baik tembakau asepan (kasus desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis) maupun tembakau rajangan (desa contoh irigasi sederhana) di Kabupaten Klaten secara privat memberikan keuntungan yang relatif besar. Usahatani tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 3,08 juta/ha/musim dan irigasi setengah teknis Rp. 2,10 juta/ha/musim, sedangkan untuk usahatani tembakau rajangan sebesar Rp. 3,20 juta/ha/ musim. Usahatani alternatif seperti padi, pada musim MK I dan MK II hanya memberikan keuntungan antara Rp. 476 ribu-740 ribu/musim. Relatif memadainya tingkat keuntungan privat usahatani tembakau sangat terkait dengan tingkat produktivitas dan rendemen yang normal, sehingga meskipun harga tembakau daun
92
Keuntungan Ekonomik (000 Rp)
basah sedang jatuh petani masih mendapatkan keuntungan yang memadai. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten pada beberapa tipe irigasi secara ekonomi tidak menguntungkan. Besarnya kerugian usahatani tebu secara sosial di Kediri berkisar antara Rp.1,98 Rp.2,38 juta/ha/musim, Ngawi berkisar Rp.2,04 - Rp.2,80 juta/ha/musim, dan Kabupaten Klaten mengalami kerugian sebesar Rp.2,20 juta/ha/ musim. Usahatani tembakau baik tembakau asepan (kasus desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis) maupun tembakau rajangan (desa contoh irigasi sederhana) di Kabupaten Klaten secara sosial memberikan keuntungan yang relatif besar. Besarnya keuntungan sosial untuk usahatani tembakau asepan pada desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 6,75 juta/ ha/musim, tembakau asepan pada irigasi setengah teknis sebesar Rp. 5,22 juta/ha/musim, dan untuk usahatani tembakau rajangan pada irigasi sederhana sebesar Rp. 2,07 juta/ha/ musim. Besarnya biaya dan keuntungan usahatani secara privat dan sosial untuk komoditas tebu dan tembakau dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa besarnya keuntungan privat yang dinikmati oleh petani tebu, di desa contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten
lebih tinggi dari keuntungan ekonominya. Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih rendah dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih tinggi dari harga sosial. Hal ini nampaknya berkaitan dengan adanya tekanan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), agar petani mendapatkan proteksi dari pemerintah melalui kebijakan tarif. Sejak Januari tahun 2000 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif impor gula sebesar 20 persen. Kebijakan tersebut belum memuaskan petani tebu dalam negeri, sehingga kebijakan tarif dirubah dalam bentuk kebijakan tarif spesifik sebesar Rp. 700/kg.
untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Selanjutnya, teori Heckscher Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa komoditas-komoditas yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) di ekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah di ekspor dan faktor yang langka di impor (Ohlin, 1933, dalam Lindert dan Kindleberger, 1993).
Gambaran untuk usahatani tembakau menunjukkan bahwa, besarnya keuntungan privat yang dinikmati oleh petani tembakau jenis asepan di desa contoh irigasi teknis maupun irigasi setengah teknis, lebih rendah dari keuntungan ekonominya. Sementara itu untuk jenis tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana besarnya keuntungan lebih kecil dibandingkan keuntungan ekonominya. Fenomena untuk tembakau asepan merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Sementara itu fenomena kedua menunjukkan bahwa harga input dan atau harga output yang diterima petani lebih tinggi dari yang seharusnya. Faktor penyebab yang membedakan tembakau asepan dan rajangan adalah harga jual output dan tujuan pasarnya. Untuk tembakau asepan yang ditujukan pasar ekspor harga sosial jauh lebih tinggi dibandingkan harga privatnya, sedangkan tembakau rajangan demand dan pasarnya terbatas pada pabrik rokok domestik, bahkan sebagian harus dipenuhi dari diimpor.
Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis, menurut Scydlowsky (1984) dalam Zulaiha (1997) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.
KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF Keunggulan Komparatif Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang pertama kali dikenal dengan model Ricardian, yang lebih dikenal dengan hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) dari Ricardo. Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan
Berdasarkan pengertian di atas keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi keunggulan komoditas dalam perdagangan di pasar bebas (bersaing sempurna). Dalam konteks tersebut maka faktor-faktor utama yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah: (1) apakah komoditas tebu dan tembakau mempunyai keunggulan komparatif; (2) apakah keunggulan komparatif (potensial) dari komoditas tersebut di pasar juga unggul (memiliki keunggulan kompetitif); (3) apakah memiliki prospek keberlanjutan yang memadai; (4) bagaimana kekuatan dan kelemahan yang ada dalam sistem komoditas tersebut dalam kaitannya dengan peluang dan ancaman yang dihadapi; dan (5) kebijakan apa yang harus ditempuh agar keunggulan komparatif tersebut terwujud dalam keunggulan kompetitif dan berkelanjutan. Berdasarkan informasi dari Tabel 7, secara umum dapat disimpulkan bahwa usahatani tebu di desa contoh Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR >1. Hasil analisis untuk komoditas tebu di pedesaan contoh Kediri diperoleh
93
nilai koefisian DRCR berkisar antara 1,38 – 1,57; untuk pedesaan contoh Ngawi diperoleh koefisien DRCR berkisar antara 1,50 – 1,68; di desa contoh Kabupaten Klaten diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 1,42. Sebagai pembanding hasil analisis daya saing untuk usahatani padi di Kediri memberikan nilai DRCR 0,751,07, di Ngawi 0,87-1,08, dan di Klaten 0,791,05. Sementara itu untuk palawija utama yaitu jagung di Kediri memberikan nilai koefisien DRCR 0,41-0,62 dan Klaten DRCR 0,32-0,54. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa bagi Kediri dan Ngawi, Jawa Timur dan Klaten, Jawa Tengah untuk menghasilkan satu-satuan output tebu pada harga sosial diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik pada harga sosial lebih besar dari satu. Dengan kata lain untuk menghemat satu-satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik yang lebih besar. Dengan demikian untuk wilayah Jawa (kasus daerah penelitian) secara ekonomi akan lebih menguntungkan mengimpor dibandingkan meningkatkan produksi domestik, namun untuk Luar Jawa masih mempunyai peluang untuk mensubtitusi penurunan luas areal tanam dan produksi di Jawa. Hasil ini menjadi salah satu penjelas kenapa industri gula nasional tidak dapat berkembang bahkan mengalami penurunan secara tajam. Sementara itu untuk komoditas tembakau baik tembakau asepan (di desa contoh lahan sawah irigasi teknis maupun setengah teknis) dan tembakau rajangan (di desa contoh irigasi sederhana) menunjukkan bahwa komoditas tembakau mempunyai keunggulan komparatif, yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR < 1. Hasil analisis untuk komoditas tembakau di Kabupaten Klaten, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis diperoleh nilai koefisian DRCR 0,42; untuk tembakau yang sama pada desa contoh irigasi setengah teknis DRCR 0,45; dan untuk usahatani tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana nilai koefisien DRCR sebesar 0,65. Jika dibandingkan dengan komoditas kompetitor utama yaitu padi, hanya diperoleh nilai koefisien DRCR ratarata MH 1,04 dan MK 0,92, sedangkan untuk komoditas jagung diperoleh nilai koefisien DRCR antara 0,32-0,54. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa bagi Klaten, Jawa Tengah untuk menghasilkan satu-satuan
94
output tembakau pada harga sosial diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik pada harga sosial lebih kecil dari satu. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu-satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik yang lebih kecil. Dengan hasil tersebut bagi Jawa Tengah atau Indonesia secara ekonomi akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi tembakau dalam negeri dibandingkan mengimpor dari luar negeri. Hasil ini merupakan salah satu faktor penjelas makin berkembangnya industri pengolahan tembakau dan pabrik rokok dalam negeri meskipun terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya distortif terhadap peningkatan efisiensi dan daya saing pada sistem komoditas tersebut. Keunggulan Kompetitif Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau sering disebut “revealed competitive advantage” yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Hasil analisis pada Tabel 7, menunjukkan bahwa untuk komoditas tebu di Kabupaten Kediri diperoleh nilai koefisian PCR antara 0,78 – 0,86 di Kabupaten Ngawi nilai koefisien PCR antara 0,84 – 0,91, dan di Kabupaten Klaten diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,82. Sementara itu untuk komoditas tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan semi teknis masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR 0,62 dan 0,67, sedangkan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,55. Sebagai pembanding hasil analisis untuk usahatani padi di Kediri diperoleh nilai koefisien PCR antara 0,69-0,81, Ngawi dengan nilai PCR antara 0,80-0,94, dan di Klaten diperoleh nilai PCR antara 0,76-0,94. Sementara itu untuk komoditas jagung di Kediri diperoleh nilai PCR antara 0,65-0,80 dan di Klaten antara 0,52-0,84. Nilai koefisien PCR untuk komoditas tebu <1, menunjukkan pengusahaan usahatani tebu secara privat di pedesaan contoh Kediri, Ngawi dan Klaten mempunyai keunggulan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki lebih kecil jika dibandingkan dengan komoditas padi dan jagung. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output tebu pada harga privat hanya diperlukan kurang dari satu-satuan biaya
sumberdaya domestik. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu-satuan devisa pada harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Berdasarkan kajian di lapang dan studi pustaka menunjukkan keunggulan kompetitif komoditas tebu lebih disebabkan adanya proteksi pemerintah terhadap industri gula nasional. Nilai koefisien PCR untuk komoditas tembakau <1, menunjukkan pengusahaan usahatani tembakau di Kabupaten Klaten baik untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis maupun untuk komoditas tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana menunjukkan usahatani tembakau mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat hanya diperlukan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Dapat juga mengandung makna untuk menghemat satu-satuan devisa pada harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Berdasarkan kajian di lapang dan studi pustaka menunjukkan keunggulan kompetitif komoditas tembakau disebabkan kesesuaian agroklimat, teknologi budidaya dan pengolahan sudah dikuasai dengan baik. Hanya permasalahan pokok yang sering dihadapi petani tembakau adalah faktor eksternal di luar kontrol mereka, seperti fluktuasi harga di pasar dunia dan fluktuasi nilai tukar. SENSITIVITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN HARGA Analisis sensitivitas dilakukan pada perubahan produktivitas dan harga yang di perlukan untuk mencapai kondisi nilai koefisien DRCR =1. Artinya untuk mencapai kondisi break even point dan keunggulan komperatif (DRCR=1) berapa pruduktivitas dan harga harus berubah. Jika nilai produktivitas dan harga aktual lebih tinggi dari nilai produktivitas dan harga pada kondisi keunggulan komparatif break even point (DRCR=1) mengandung arti bahwa usahatani tebu dan tembakau mempunyai keunggulan komparatif. Begitu juga dalam kondisi yang sebaliknya. Hasil analisis sensisitivitas dapat dilihat pada Tabel 8.
Hasil analisis sensitivitas usahatani tebu di pedesaan contoh Kabupaten Kediri, Ngawi dan Klaten menunjukkan bahwa, produktivitas aktual sedikit lebih rendah dari produktivitas pada kondisi keunggulan komparatif break even point (DRCR=1). Produktivitas aktual di pedesaan contoh Kabupaten Kediri mencapai 52.608 – 78.608 kg/ha, di Ngawi berkisar antara 43.990 – 67.838 kg/ha, dan di Klaten sebesar 66.993 kg/ ha; sedangkan produktivitas pada DRCR=1, untuk di pedesaan contoh Kediri lebih berkisar antara 74.444–102.555 kg/ha, di Ngawi berkisar antara 66.468-98.686 kg/ha, dan di Klaten sebesar 91.207 kg/ha. Hasil analisis untuk sensitivitas harga memberikan gambaran yang relatif sama, di mana harga aktual sedikit lebih rendah dibandingkan harga pada kondisi DRCR =1, yaitu harga sosial di Kediri, Ngawi dan Klaten sebesar Rp. 90,9/kg; sedangkan harga pada kondisi DRCR=1 untuk pedesaan contoh kediri berkisar antara Rp. 119–131/kg, di Ngawi berkisar antara Rp. 132 - 137/kg, dan di Klaten Rp. 124/kg. Sementara itu, untuk usahatani tembakau pada musim kemarau memberikan gambaran yang jauh lebih baik dibandingkan usahatani tebu. Produktivitas aktual usahatani tembakau asepan maupun rajangan jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi produktivitas DRCR=1. Produktivitas aktual tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar 12.988 kg/ha, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi setengah teknis sebesar 11.200 kg/ha, sedangkan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana sebesar 5.388 kg/ha. Produktivitas break event point (DRCR=1) untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar 6.320 kg/ha, tembakau asepan di desa contoh irigasi setengah teknis sebesar 6.036 kg/ha, dan tembakau rajangan sebesar 3.904 kg/ha. Hasil analisis untuk sensitivitas harga untuk usahatani tembakau pada musim kemarau memberikan gambaran yang relatif sama, di mana harga aktual jauh lebih tinggi dibandingkan harga pada kondisi DRCR=1, yaitu harga sosial untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis masingmasing Rp.1.011,6/kg dan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana sebesar Rp.1.394/kg. Sementara itu, harga pada pada kondisi DRCR=1, untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis sebesar Rp. 492/kg,
95
Tabel 8.
Analisis Sensitivitas Terhadap Produktivitas dan Harga Tebu yang Menyebabkan Nilai Koefisien PCR = 1 dan DRCR = 1, di Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten, MH 2000/2001-MK 2001
Uraian
Yield (kg)
Aktual Social Price (Rp./kg)
Yield (kg)
DRC=1 Social Price (Rp./kg)
A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3
78.608 75.044 65.466 52.608 53.826 54.091
90,9 90,9 90,9 90,9 90,9 90,9
102.555 101.241 89.145 74.444 77.534 77.734
119 123 124 129 131 131
Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2. Tadah hujan Pucuk 3. Tadah hujan K-3
67.838 51.159 43.990
90,9 90,9 90,9
98.686 74.876 66.468
132 133 137
Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk
66.993
90,9
91.207
124
B. Tembakau 1. Irigasi teknis, Asepan MK-1 2. Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3. Irigasi sederhana, Rajangan MK-II
12.988 11.200 5.388
1.011,6 1.011,6 1.394,0
6.320 6.036 3.904
492 545 1.010
untuk tembakau asepan di desa contoh irigasi setengah teknis sebesar Rp.545/kg, dan untuk tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana sebesar Rp.1.010/kg. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa usahatani tebu di pedesaan contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten pada berbagai tipe irigasi tidak memiliki keunggulan komparatif. Kondisi ini menjadi lebih memprihatinkan lagi karena data data perkembangan luas areal, produktivitas tebu, produktivitas hablur, tingkat rendemen yang dihasilkan, produksi tebu dan produksi hablur secara nasional pada periode (1990-2002) menunjukkan kecenderungan yang menurun. Sementara itu untuk luas areal, produksi, dan produktivitas tembakau mengalami stagnasi. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa usahatani tembakau baik asepan di desa contoh irigasi teknis dan di desa contoh irigasi setengah teknis, dan untuk usahatani tembakau rajangan di desa contoh Klaten memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi. Keunggulan komparatif tersebut juga relatif stabil atau tidak rentan terhadap penurunan prduktivitas dan penurunan harga. Kalau di lihat dari tingkat produktivitas yang dicapai secara nasional maka rata-rata tingkat produktivitas selama periode (1990-2000) mencapai 5.850 kg/ha, dari
96
perbandingan tersebut menunjukkan bahwa tingkat produktivitas usahatani di tingkat petani lebih tinggi, kecuali untuk tembakau rajangan. Sementara itu, dari hasil analisis sensitivitas terhadap harga, maka keunggulan komparatif akan terganggu kalau harga turun di bawah Rp. 495-549/kg untuk tembakau asepan dan Rp. 1.013/kg untuk tembakau rajangan. KEBIJAKAN INSENTIF Ukuran dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah dalam Matrik PAM adalah transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. Ukuran relatif ditunjukan oleh analisis koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coefficient on output (NPCO), koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coefficient on input (NPCI), koefisien proteksi efektif atau effectif protection coeficient (EPC). Koefisien profitabilitas atau profitability coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producen (SRP). Proteksi Input Kebijakan insentif yang terdapat pada input tradable ditunjukkan oleh nilai transfer input (IT) dan NPCI. Bentuk kebijakan pada
Tabel 9.
Nilai NPCI Usahatani Tebu per Ha/Musim (MH 2000/2001-MK 2001) di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta Tembakau (MK 2001) di Jawa Tengah. Uraian
A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3 Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2. Tadah hujan Pucuk 3. Tadah hujan K-3 Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk B. Tembakau 1. Irigasi teknis, Asepan MK-1 2. Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3. Irigasi sederhana, Rajangan MK-II
Urea
TSP/SP-36
NPCI KCL
ZA
Input
1,05 1,02 1,05 1,05 1,05 1,05
1,08 1,08 1,08 1,08 1,08 1,08
1,21 1,21 1,21 1,28 1,28 1,28
1,08 1,11 1,13 1,13 1,13 1,13
1,06 1,09 1,13 1,11 1,08 1,10
1,02 1,05 1,05
1,06 1,08 1,12
1,21 1,28 1,28
1,08 1,13 1,13
1,10 1,06 1,15
1,05
1,08
1,28
1,11
1,07
1,06 1,00 0,99
1,02 1,03 1,02
1,16 1,16 1,16
1,08 1,01 1,10
1,07 1,05 1,06
input tradable faktor dapat berupa kebijakan perdagangan serta subsidi dan pajak, sedangkan bentuk divergensi lainnya dapat disebabkan adanya distorsi pasar. Transfer input menunjukkan selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) sebagai indikasi transfer input yang merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasar harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung pada harga sosial. Secara lebih rinci informasi mengenai nilai IT dan NPCI pada usahatani komoditas tebu dan tembakau di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel Lampiran 11 dan Tabel 9. Berdasarkan analisis Tabel 9 merefleksikan beberapa hal sebagai berikut : (1) untuk jenis pupuk urea, TSP/SP-36 dan KCL, serta ZA petani memberikan transfer positif dan nilai koefisien NPCI >1 untuk keempat jenis pupuk tersebut, yang berarti petani memberikan transfer kepada produsen pupuk untuk keempat jenis pupuk tersebut; (2) secara keseluruhan petani mengalami dis-insentif dalam mengusahakan usahatani tebu dan tembakau menunjukkan adanya transfer positif, dengan nilai koefisien NPCI>1 berkisar antara 1,05-1,13; (4) Namun apabila dicermati kondisi pasar pupuk khususnya TSP/SP-36 dan ZA antara harga privat dan harga sosial sudah relatif sama, yang
menunjukkan pasar relatif terintegrasi dengan baik; (5) Sedangkan untuk jenis pupuk urea dan KCL petani membayar dengan harga lebih tinggi dari seharusnya, hal ini disebabkan dominannya peran PT PUSRI dalam mengendalikan harga pupuk urea dan masih terbatasnya jumlah importir untuk jenis pupuk KCL. Proteksi Output Campur tangan pemerintah atau adanya kebijakan insentif dalam output dapat dilihat dari besarnya nilai transfer output (OT) dan NPCO. Bentuk campur tangan pemerintah tersebut adalah kebijakan perdagangan yang berupa pajak ekspor, tarif impor serta kebijakan subsidi dan pajak. Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasar harga sosial. Koefisien proteksi output nominal (NPCO) merupakan indikasi dari transfer output yang ditunjukkan oleh rasio antara penerimaan yang dihitung berdasar harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasar harga sosial. Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 10, diperoleh hasil transfer output (OT) dan NPCO untuk usahatani tebu. Hasil analisis menunjukkan untuk usahatani komoditas tebu baik di pedesaan contoh Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten diperoleh nilai OT yang positif dan nilai
97
Tabel 10. Nilai OT dan NPCO usahatani Tebu per Ha/Musim pada MH 2000/2001 – MK II 2001, di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Uraian A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3 Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2. Tadah hujan Pucuk 3. Tadah hujan K-3 Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk B. Tembakau 1. Irigasi teknis, Asepan MK-1 2. Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3. Irigasi sederhana, Rajangan MK-II
koefisien NPCO >1, untuk komoditas tebu di Kediri NPCO berkisar antara 1,57-1,59, Ngawi 1,58-1,61, dan di Klaten 1,57. Hasil analis pada komoditas tebu tersebut, menunjukkan bahwa petani tebu menerima harga yang jauh lebih tinggi dari yang seharusnya. Hasil analisis ini sangat terkait dengan kebijakan gula nasional. Kenaikan harga gula di pasar domestik yang mencapai rata-rata Rp. 3.500/kg pada bulan April 2002 tampaknya belum memuaskan petani tebu. Para petani menuntut peningkatan tarif gula, agar harga jual gula petani di tingkat pabrik mencapai 2,40 kali harga dasar gabah atau berkisar antara Rp. 3.500 - Rp. 3.750/kg. Tuntutan itu di dasarkan atas kenyataan bahwa harga gula lelang pada bulan Juni 2002 hanya berkisar antara Rp. 2.800 - Rp. 2.900/kg (Malian dan Saptana, 2002). Berdasarkan kajian di lapang menunjukkan bahwa penetapan tarif impor yang tinggi bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani. Hasil kajian di lapang menunjukkan bahwa: (1) tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan petani akan sangat menentukan tingkat pendapatan dan daya saing gula di tingkat petani; (2) tingkat efisiensi pabrik gula khususnya di Jawa, lebih rendah di bandingkan dengan pabrik gula swasta di Lampung (Malian dan Saptana, 2002), dan lebih rendah dengan pabrik gula di Taiwan, Filipina, dan Afrika Selatan (Saptana, 1985),
98
OT (000 Rp)
NPCO
4.173,3 4.059,2 3.475,6 2.740,4 2.803,8 2.817,6
1,58 1,59 1,58 1,57 1,57 1,57
3.669,4 2.818,4 2.335,4
1,59 1,61 1,58
3.489,7
1,57
-3.449,8 -2.930,1 1.305,9
0,74 0,74 1,17
yang disebabkan mesin-mesin yang sudah tua; (3) pola penetapan rendemen sampai saat ini menjadi masalah klasik yang belum dapat diselesaikan, yang sangat terkait dengan struktur ekonomi biaya tinggi dalam industri pabrik gula (high cost economic sugar industries). Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 10, diperoleh hasil transfer output (OT) dan NPCO untuk usahatani tembakau di Kabupaten Klaten. Hasil analisis menunjukkan untuk usahatani tembakau baik asepan maupun rajangan nilai OT yang negatif dan nilai koefisien NPCO <1. Besarnya nilai koefisien NPCO untuk tembakau asepan 0,74, yang berarti petani tembakau asepan yang merupakan tembakau ekspor menerima harga 26 persen lebih rendah dari yang seharusnya. Hasil analisis ini terkait dengan kebijakan tembakau nasional khususnya tentang biaya cukai tembakau yang mencapai 30-40 persen dan tuntutan dari dunia kesehatan serta LSM akan bahaya merokok. Sementara itu untuk tembakau rajangan diperoleh nilai NPCO sebesar 1,17, yang berarti bahwa produsen tembakau menerima harga 17 persen lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini disebabkan tembakau rajangan asal Manisrenggo, Klaten yang lebih dikenal tembakau Prambanan mempunyai kualitas yang baik sehingga diminati oleh industri rokok. Hal ini ditunjukkan hampir sebagian besar pabrik rokok di Jawa mempunyai perwakilan di sekitar lokasi penelitian.
Berdasarkan kajian di lapang pengembangan sistem komoditas tembakau menunjukkan bahwa (1) tingkat produktivitas dan rendemen yang dihasilkan petani sudah cukup baik; (2) tingkat efisiensi industri pengolahan tembakau baik yang bersifat skala rumah tangga, kecil dan besar (pabrik besar nasional) khususnya di Jawa, telah dikuasai dengan baik; (3) ternyata industri pengolahan tembakau skala rakyat atau rumah tangga dan kecil menyerap kesempatan kerja secara ekstensif, yaitu sebesar 20-40 orang per industri, sedangkan industri skala besar menyerap ratusan tenaga kerja di pedesaan, mereka lebih dikenal dengan buruh pabrik; (4) sementara itu industri rokok menyerap ribuan tenaga kerja; (5) secara nasional kegiatan ekspor tembakau hasil olahan mendatangkan devisa US $ 92-147 ribu atau secara keseluruhan termasuk perdagangan dalam bentuk rokok mendatangkan devisa tidak kurang dari US $ 5,6 juta. Proteksi Efektif Kebjaksanaan input dan output secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai Net Trasfer (NT), Effektif Protection Coeficient (EPC), Profitability Coeficient (PC) dan Subsidy Ratio to Producer (SRP). Hasil analisis dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah terhadap input dan output pada usahatani tebu dapat disimak pada Tabel 11.
Hasil analisis transfer bersih (NT) untuk komoditas tebu di pedesaan contoh Kabupaten Kediri, Ngawi, dan Klaten diperoleh nilai NT positif. Artinya terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input (tradable input dan domestic factor) dan output secara keseluruhan yang menguntungkan petani tebu. Besarnya nilai koefisien EPC untuk komoditas tebu diperoleh nilai koefisien EPC>1, di Kediri berkisar antara 1,65-1,72, Ngawi 1,65-1,87, dan di Klaten 1,65, yang menunjukkan adanya perlidungan atau proteksi pemerintah terhadap produsen atau petani tebu, karena nilai tambah yang dinikmati petani tebu lebih besar 67-87 persen dari nilai tambah secara sosial (Tabel 11). Nilai koefisien PC di lokasi penelitian yang negatif berarti kebijakan pemerintah atau distorsi pasar terjadi pada usahatani tebu, petani diuntungkan karena memperoleh keuntungan positif yang lebih tinggi dari seharusnya yang bernilai negatif. Untuk komoditas tebu diperoleh nilai koefisien SRP positif. Artinya secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani tebu, karena petani tebu menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah. Meskipun hasil analisis kebijakan insentif input dan output pada komoditas tebu secara keseluruhan menguntungkan petani, namun petani nampaknya menghadapi beberapa permasalahan pokok yang serius untuk dapat me-
Tabel 11. Nilai NT, PC, EPC dan SRP Usahatani Komoditas Tebu per Ha/Musim pada MH 2000/2001 – MK II 2001, di Jawa Timur dan Jawa Tengah Uraian A. Tebu ( MH 00/01-01) Kabupaten Kediri 1. Irigasi teknis K-1 2. Irigasi ½ teknis K-3 3. Irigasi sederhana K-1 4. Tadah hujan Pucuk 5. Tadah hujan K-1 6. Tadah hujan K-3 Kabupaten Ngawi 1. Irigasi sederhana K-3 2. Tadah hujan Pucuk 3. Tadah hujan K-3 Kabupaten Klaten Irigasi teknis Pucuk B. Tembakau 1. Irigasi teknis, Asepan MK-1 2. Irigasi ½ teknis, Asepan MK-1 3. Irigasi sederhana, Rajangan MK-II
NT
PC
EPC
SRP
4.358,6 4.250,5 3.627,6 2.942,6 3.061,8 3.079,8
-1,00 -0,79 -0,69 -0,48 -0,42 -0,43
1,71 1,68 1,65 1,71 1,72 1,68
0,61 0,62 0,61 0,62 0,63 0,63
3.982,8 3.118,9 2.549,7
-0,42 -0,45 -0,25
1,65 1,87 1,67
0,65 0,67 0,64
3.736,1
-0,70
1,65
0,61
-3.661,0 -3.121,5 1.119,6
0,46 0,40 1,54
0,69 0,68 1,20
-0,28 -0,28 0,15
99
ningkatkan pendapatan dan daya saing di pasar internasional. Beberapa permasalahan pokok tersebut adalah: (1) rendahnya produktivitas tebu di tingkat petani menyebabkan komoditas tebu kalah bersaing dengan pola tanam dominan komoditas alternatif (padi-padi-padi, padipadi-palawija, padi-padi-tembakau, dan padipadi-hortikultura; padi-hortikultura-palawija, dan lain-lain); (2) rendahnya rendemen tebu di tingkat pabrik gula yang dapat disebabkan sudah tuanya pabrik gula dan perhitungan rendemen yang dipandang oleh petani tidak transparan; (3) tingkat harga gula domestik oleh petani di pandang masih rendah, sedangkan harga yang terjadi melaui proteksi pemerintah lebih tinggi dari harga gula di pasar dunia menunjukkan usahatani tebu dan industri gula domestik tidak mempunyai dayasaing di pasar dunia. Hasil analisis transfer bersih (NT) untuk komoditas tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan setengah teknis serta tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana di Kabupaten Klaten menunjukkan nilai NT negatif. Artinya terdapat distorsi pasar pada input (tradable input dan domestic factor) dan output secara keseluruhan yang merugikan petani tembakau. Besarnya nilai koefisien EPC untuk komoditas tembakau asepan dan rajangan menunjukkan EPC<1, yang mengindikasikan tidak adanya perlidungan atau proteksi pemerintah terhadap produsen atau petani tembakau. Bahkan petani harus mensubsidi produsen input dan konsumen tembakau, karena nilai tambah yang dinikmati petani tembakau lebih kecil dari nilai tambah secara sosial (Tabel 11). Besarnya nilai koefisien PC di lokasi penelitian adalah positif lebih kecil dari 1. Artinya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada pada usahatani tembakau merugikan petani karena petani memperoleh keuntungan jauh lebih rendah dari seharusnya. Besarnya nilai koefisien SRP pada komoditas tembakau di lokasi penelitian dapat di simak pada Tabel 11. Untuk komoditas tembakau asepan diperoleh nilai koefisien SRP negatif, yaitu –0,28, sedangkan untuk tembakau rajangan bernilai positif 0,15. Artinya secara umum kebijakan pemerintah yang ada memberikan dampak yang merugikan petani tembakau asepan dan menguntungkan bagi tembakau rajangan. Karena petani tembakau asepan
100
menerima subsidi negatif atau mereka harus membayar pajak, dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah dan sebaliknya untuk tembakau rajangan. Meskipun hasil analisis kebijakan insentif input dan output pada komoditas tembakau secara keseluruhan merugikan petani, namun petani nampaknya tetap mengusahakan tembakau dari waktu ke waktu. Beberapa argumen yang melandasi petani tetap mengusahakan komoditas tembakau adalah : (1) sudah relatif tingginya tingkat produktivitas dan rendemen tembakau di tingkat petani, yang menunjukkan sudah dikuasainya dengan baik adopsi teknologi baik teknologi pembibitan, budidaya, panen, dan pasca panen, serta teknologi pengolahan, petani memperoleh bimbingan tidak hanya dari petugas penyuluh lapang tetapi juga dapat bimbingan dari produsen rokok; (2) komoditas tembakau mampu bersaing dengan komoditas alternatif pada MK, bahkan kapan saat tanaman tembakau harus ditanam dan dipanen menjadi acuan dalam penentuan pola tanam dan siklus tanam; (3) telah berkembangnya industri pengolahan tembakau baik tembakau asepan maupun rajangan pada berbagai skala pabrik (rumah tangga, kecil-sedang, dan skala perusahaan) menjadikan petani mempunyai beberapa pilihan dalam penjualan; (4) masuknya 4 pedagang besar tembakau asepan (Kasus di Jatipuro, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten), serta masuknya pabrik rokok untuk berbagai merek (kasus di desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten) ikut membantu mendorong perkembangan pengusahaan tanaman tembakau rakyat. Implikasi kebijakan penting dari kondisi di atas adalah bagaimana meningkatkan daya saing industri tembakau rakyat yang pada dasarnya sudah memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, antara lain dengan : (1) terus meningkatkan produktivitas dan rendemen melalui penyediaan paket teknologi yang bersifat spesifik lokasi (lahan sawah dataran rendah, lahan sawah dataran agak tinggi, serta lahan kering), dari teknologi pembibitan, budidaya, dan panen serta pasca panen; (2) meningkatkan pelayanan bimbingan dan penyuluhan melalui Ditjen Perkebunan dan tidak hanya menyerahkan masalah adopsi teknologi kepada pabrik rokok; (3) melakukan pembinaan industri pengolahan tembakau terutama untuk industri skala rumah tangga, kecil dan sedang pada aspek manajemen standari-
sasi mutu, hal ini dilandasi lebih rendahnya harga tembakau ekspor dibandingkan tembaku ekspor; (4) menciptakan kebijakan pemerintah yang kondusif baik pada aspek budidaya, pengolahan, dan aspek distribusi yang ditujukan pada aspek perluasan kesempatan kerja serta perolehan dan sekaligus penghematan devisa; (5) pentingnya penelitian lanjutan yang difokuskan pada beberapa komoditas komersial (high value commodity) termasuk didalamnya tembakau sehingga dapat digali sumber-sumber keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Berdasarkan analisis biaya usahatani dan keuntungan menunjukkan bahwa usahatani tebu pada berbagai tipe irigasi dan sistem tanam memberikan keuntungan yang cukup memadai, namun masih lebih kecil dari keuntungan normal (20% dari biaya produksi). Kebijakan yang terlalu protektif terhadap industri gula dengan pengenaan tarif impor Rp. 1.200/kg dengan subsidi Rp. 500/kg kepada petani yang tidak dibarengi peningkatan efisiensi dan produktivitas di semua lini agribisnis dalam industri gula akan bersifat kontra produktif. Sementara itu analisis biaya dan keuntungan usahatani tembakau memberikan hasil bahwa usahatani tembakau memberikan keuntungan yang relatif tinggi atau di atas keuntungan normal, meskipun pasar tembakau terdistorsi terutama oleh tingginya bea cukai. 2. Usahatani tebu baik di pedesaan contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak memiliki keunggulan komparatif dengan koefisien DRC >1, namun masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan koefisien PCR <1. Namun keunggulan kompetitif yang dimiliki petani tebu lebih disebabkan oleh kebijakan yang cenderung protektif. Implikasinya adalah apabila tanaman tebu akan terus dikembangkan maka perlu adanya terobosan dalam menghasilkan varietas unggul bermutu, penggunaan pupuk berimbang, peningkatan efisiensi dalam industri pengolahan melalui manajemen standarisasi mutu, peningkatan efisiensi dalam distribusi melalui pengurangan berbagai distorsi yang ada serta melalui kebijakan pemerintah yang kondusif.
5. Usahatani tembakau asepan di desa contoh irigasi teknis dan semi teknis serta tembakau rajangan di desa contoh irigasi sederhana di Kabupaten Klaten memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan nilai koefisien DRC <1 dan sekaligus memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR <1, meskipun usahatani tembakau khususnya untuk ekspor terdis-torsi dengan adanya bea cukai sekitar 30-40 persen. Sehingga untuk Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dari segi ekonomi maupun privat akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor. Implikasi penting dari hasil analisis ini adalah komoditas tembakau layak terus dikembangkan bukan saja dari segi ekonomi (sosial) menguntungkan, tetapi akan sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja secara ektensif, serta dalam rangka perolehan devisa dan sekaligus penghematan devisa. Mengingat masalah pengangguran yang cukup tinggi dan peran industri tembakau dan rokok dalam penyerapan tenaga kerja maka kebijakan pemerintah yang kurang bersahabat dengan petani dan pabrik rokok perlu ditinjau kembali. 6. Untuk komoditas tebu di Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, bahkan meskipun usahatani tembakau di lokasi penelitian Kabupaten Klaten memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat memiliki keunggulan kompetitif lagi, terutama jika orientasinya adalah pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor pun kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani tembakau. Jika kondisi disinsentif tersebut berlangsung permanen dalam jangka waktu 5–10 tahun mendatang, barangkali pengusahaan komoditas tembakau di lokasi yang diteliti tidak akan berkelanjutan. 7. Beberapa kelemahan yang perlu segera dibenahi dalam sistem komoditas tebu dan tembakau adalah: (a) peningkatan tingkat produktivitas dan rendemen, yang terkait dengan adopsi teknologi baik teknologi pembibitan, budidaya, panen dan pasca panen, (b) peningkatan efisiensi pada industri pengolahan melalui perbaikan managemen standarisasi mutu dan kualitas hasil
101
melalui reinvestasi PG; (c) dalam jangka pendek sejauh masih dalam kesepakatan WTO meningkatkan harga jual komoditas tebu atau gula melaui kebijakan tarif masih dapat dilakukan dengan besaran tarif yang wajar (Rp. 700/kg), secara simultan harus dilakukan peningkatan produktivitas dan efisiensi pada semua lini pengembangan agribisnis; (d) penurunan harga sarana produksi, terutama pupuk Posphor dan Kalium serta pestisida /insektisida melalui penghapusan berbagai distorsi; (e) peningkatan harga jual output tembakau melalui penghapusan berbagai distorsi yang pada pasar output, seperti penurunan biaya cukai dan pajak pertambahan nilai, dan distorsi lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Malian, H., dan Saptana. 2002. Kajian Peningkatan Tarif Impor Gula. Analisis Kebijakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Manurung, H., dan Hidayat, N., 1991. Usaha Gula Merah dan Persaingannya dengan Pabrik Gula Dalam Penyediaan Bahan Baku di Jawa Timur. Forum Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Monke, E.A. dan Pearson, S.R. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornel University Press, Ithaca and London. Rachmat, M. 1992. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Saptana. 1985. Analisis Perbandingan Efisiensi dan Produktivitas Pabrik Gula di Indonesia dengan Beberapa Pabrik Gula Luar Negeri. Karya Ilmiah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Lindert, P. H. dan Ch. Dan Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Alih bahasa: B. Abdullah). Edisi ke Delapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Sudana, W., 2002. Efektivitas Kebijakan Perlindungan terhadap Produsen melalui Provenue Gula. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Malian, A. H., dan A. Syam. 1996. Dayasaing Usahatani Tebu di Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Zulaiha, Aida R. 1997. Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat dengan Pendekatan Policy Analysis Matrik. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Malian, A. H. 1998. Dampak Deregulasi Gula Terhadap Penerimaan Petani Tebu. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
102
Lampiran 1. Alokasi Biaya Kedalam Komponen Domestik dan Asing, Pada Sistem Komoditas Tebu dan Tembakau (daun basah), di Lima Kabupaten Contoh, 2000/2001-2001 Jenis Biaya
Domestik (%)
Asing (%)
Tingkat Usahatani Benih tebu
0
100,00
Benih tembakau
0
100,00
Urea
0
100,00
TSP
0
100,00
SP-36
0
100,00
KCL
0
100,00
ZA
0
100,00
Pupuk alternatif
100,00
0
Pupuk organik
100,00
0
ZPT
0
100,00
PPC
0
100,00
Insektisida
0
100,00
Fungisida
0
100,00
Herbisida
0
100,00
100,00
0
0
100,00
Biaya modal
100,00
0
Sewa lahan
100,00
0
Sewa traktor
33,00
67,00
Pengolahan tebu -gula putih
33,00
67,00
Pengolahan tembakau daun basah -tembakau asepan
33,00
67,00
Pengolahan tembakau daun basah-tembakau rajangan kering
33,00
67,00
Pengangkutan gula putih
55,00
45,00
Pengangkutan tembakau asepan
55,00
45,00
Pengangkutan tembakau kering rajangan
55,00
45,00
Penanganan gula putih
65,00
35,00
Penanganan tembakau asepan
65,00
35,00
65,00
35,00
Tenaga kerja buruh Penyusutan alat-alat
Industri Pengolahan dan Pelaku Tataniaga
Penanganan tembakau rajangan kering
103
Lampiran 2. Justifikasi Dalam Penentuan Harga Sosial Input dan Output 1. Harga gula putih didasarkan atas harga CIF rata-rata bulanan satu tahun (November 2000/20012001) sebesar U$ 0,175/kg, kemudian dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun sebesar Rp. 9.961/U$, sehingga menjadi Rp 1.743,2/kg. Tahap selanjutnya untuk masing-masing lokasi ditambah dengan biaya transport dari Pelabuhan ke pedagang besar provinsi sebesar Rp.20/kg, selanjutnya karena keseimbangan pasar di pedagang besar (PB) provinsi maka dikurangi biaya transport ke PD besar kabupaten sebesar Rp. 30/kg dan dari PB kabupaten ke petani Rp. 20/kg, kemudian dikurangi biaya penanganan Rp. 20/kg, sehingga diperoleh harga sosial gula sebesar Rp. 1.707,2/kg. Kemudian dikonversi ke tebu dengan rendemen 6,96 persen, sehingga diperoleh harga sosial tebu Rp. 118,8/kg tebu, kemudian dikurangi biaya pengolahan 25 persen atau Rp. 29,7/kg, sehingga diperoleh harga sosial ditingkat petani sebesar Rp. 89,1/kg. 2. Harga tembakau hasil olahan melalui proses asepan didasarkan atas harga FOB MK 2001 sebesar U$ 1.029/kg, kemudian dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata MK sebesar Rp. 11.143/U$, sehingga menjadi Rp 11.466,1/kg. Tahap selanjutnya untuk ditambah biaya transport dari Pelabuhan Tanjung Emas ke PB provinsi sebesar Rp.27/kg, karena keseim-bangan pasar ada di PB provinsi maka selanjutnya dikurangi biaya transport dari PB provinsi ke PB kabupaten Rp. 30/kg dan dari PB kabupaten ke petani Rp. 20/kg, setelah itu masih dikurangi biaya penanganan Rp. 13/kg. Sehingga diperoleh harga sosial dari tembakau olahan asepan di Klaten sebesar Rp. 11.430,1/kg. Kemudian dikonversi dari tembakau olahan asepan ke tembakau daun basah dengan dengan rendemen MK 12,5 persen sehingga menjadi Rp. 1.371/kg, kemudian dikurangi biaya pengolahan Rp. 360/kg, sehingga di peroleh harga sosial untuk tem-bakau daun basah sebesar Rp.1.011,6/kg,-. 3. Harga tembakau hasil olahan melalui proses perajangan didasarkan atas harga FOB rata bulanan MK 2001 sebesar U$ 1.672/kg, kemudian dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah ratarata MK sebesar Rp. 11.143/U$, sehingga menjadi Rp. 18.631,1/kg. Tahap selanjutnya ditambah biaya transport dari Pelabuhan Tanjung Emas ke PB Semarang sebesar Rp.27/kg, karena keseimbangan pasar berada di PB provinsi maka selanjutnya dikurangi biaya transport dari PB Semarang ke Pedagang Klaten Rp. 30/kg, selanjutnya dari Pedagang Klaten ke petani Rp. 20/kg, setelah itu dikurangi biaya penanganan Rp. 13/kg. Sehingga diperoleh harga sosial dari tembakau olahan rajangan kering di Klaten sebesar Rp. 18.595,1/kg. Kemudian dikon-versi dari tembakau olahan rajangan ke tembakau daun basah dengan konversi tembakau MK 10 persen, sehingga diperoleh besaran Rp. 1859,5/kg, kemudian dikurangi biaya pengolahan Rp. 464,9/kg, sehingga di peroleh harga sosial untuk tembakau daun basah, yaitu sebesar Rp. 1.394,6 /kg. 4. Untuk bibit tebu dan bibit tembakau (native atau domestic tobacco) karena pengada-annya sudah dalam bentuk bibit jadi berasal dari dalam negeri serta tidak adanya distorsi baik kerena distorsi kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar, maka penentuan harga sosialnya didekati dari harga aktualnya. 5. Pupuk Urea untuk usahatani tebu didasarkan harga FOB rata-rata satu tahun dan untuk usahatani tembakau didasarkan harga FOB rata-rata MK, selanjutnya dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk tebu dan rata-rata MK untuk tembakau. Tahap selanjutnya ditambah dengan biaya transport dari Pelabuhan masing-masing provinsi ke PB provinsi sebesar Rp.27/kg, karena keseimbangan pasar berada di PB provinsi maka selanjutnya dikurangi biaya transport dari PB provinsi ke pedagang kabupaten Rp. 30/kg, dari pedagang kabupaten ke petani Rp. 20/kg, selanjutnya dikurangi biaya penanganan Rp. 13/kg. Sehingga diperoleh harga sosial dari pupuk Urea untuk usahatani tebu dan tembakau di masing-masing lokasi (Lampiran 2b). 6. Pupuk ZA untuk usahatani tebu didasarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/2001-MK II 2001) dan untuk usahatani tembakau rata-rata MK, selanjutnya dikon-versi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2c).
104
7. Pupuk TSP untuk usahatani tebu didasarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/ 2001-2001) dan untuk usahatani tembakau rata-rata MK, selanjutnya dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk usahatani tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2d). 8. Pupuk SP-36 untuk usahatani tebu dida-sarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/2001-MK II 2001) dan untuk usahatani tembaku rata-rata MK, selanjutnya dikon-versi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk usahatani tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2e). 9. Pupuk KCL untuk usahatani tebu didasarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/ 2001-MK II 2001) dan untuk usahatani tembakau rata-rata MK, selanjutnya dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk usahatani tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2f). 10. Pupuk NPK untuk usahatani tebu didasarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/ 2001-MK II 2001) dan untuk usahatani tembakau rata-rata MK, selanjutnya dikon-versi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk usahatani tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2g). 11. Harga bayangan pupuk organik/kandang dengan menggunakan harga pupuk organik/ kandang aktual di masing-masing lokasi penelitian. 12. Pupuk ZPT/PPC untuk usahatani tebu didasarkan harga CIF rata-rata satu tahun (MH 2000/2001MK II 2001) dan untuk usahatani tembakau rata-rata MK, selan-jutnya dikonversi dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah rata-rata satu tahun untuk usahatani tebu dan rata-rata MK untuk usahatani tembakau. Langkah perhitungan selanjutnya seperti perhitungan di atas (Lampiran 2h). 13. Harga bayangan insektisida cair didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertambahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari insektisida cair untuk masing-masing lokasi penelitian. 14. Harga bayangan insektisida padat didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertam-bahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari Insektisida padat untuk masing-masing lokasi penelitian. 15. Harga bayangan fungisida cair didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 5 persen pertambahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari fungisida cair untuk masing-masing lokasi penelitian. 16. Harga bayangan fungisida padat didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 5 persen dan pajak pertam-bahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari fungisida padat untuk masing-masing lokasi penelitian. 17. Harga bayangan herbisida cair didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertam-bahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari herbisida cair untuk masing-masing lokasi penelitian. 18. Harga bayangan herbisida padat didekati dengan harga rata-rata aktual di masing-masing lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertam-bahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial dari herbisida padat untuk masing-masing lokasi penelitian. 19. Harga bayangan lahan didekati dengan nilai sewa lahan, hal ini dilandasi oleh : (1) bahwa mekanisme pasar lahan berjalan dengan baik yang ditunjukkan bejalannya sistem bagi hasil, sewamenyewa lahan, beberapa kasus ditemui sistem gadai dan transaksi jual beli lahan; (2) mencari opportunity cost of land pada MH sangat sulit. Besarnya nilai sewa lahan bervariasi antar lokasi dan antar tipe irigasi. 20. Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku dimasing-masing lokasi penelitian, hal ini dilandasi bahwa mekanisme pasar tenaga kerja di sentra-
105
sentra produksi padi yang umumnya mempunyai aksessibilitas yang sangat baik mendorong berjalannya pasar tenaga kerja di pedesaan serta makin terintegrasinya pasar tenaga kerja baik antar wilayah maupun antar sektor. 21. Harga bayangan suku bunga modal (interest rate) menggunakan suku bunga riil, yang dihitung dengan mengurangkan suku bunga aktual dengan suku tingkat inflasi yang terjadi. Karena sebagian besar petani padi akses terhadap BRI dan BRI Unit maka tingkat suku bunga aktual menggunakan tingkat suku bunga KUPEDES BRI sebesar 2,50 persen/bulan, sehingga suku bunga aktual-nya ditentukan 2,5 persen/bulan atau 30 persen/tahun, dengan tingkat inflasi 7 persen. Harga bayangan bunga modal dapat dihitung dengan mengu-rangkan tingkat suku bunga aktual 27 persen terhadap tingkat inflasi 7 persen, sehingga dipe-roleh harga bayangan bunga modal 22 persen atau 7,33 persen permusim tanam (4 bulan). 22. Harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap dollar menggunakan aktual exchane rate, hal ini dilandasi bahwa indonesia mengkuti regim nilai tukar bebas (floating exchange rate). Besarnya harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan rata-rata nilai tukar dalam musim tanam (MH 2000/2001, MK 2001, dan satu tahun), besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar untuk sebesar Rp. 11 143/U$ untuk MK2001 dan Rp.10.157,5/ U$. Berdasar justifikasi dalam penentuan harga sosial untuk input tersebut secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2a -2h.
106
Tabel Lampiran 2a. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Tembakau dan Tebu, di Beberapa Contoh
Klaten (MK) Klaten (MK) Klaten-Tebu Kediri-Tebu Ngawi-Tebu (Temb-Asepan) (Temb-Rajangan) (1 thn) (1 thn) (1 thn)
Uraian
Harga CIF (US$/ton) 1.184,0 Freight and Insurance (US$/ton) Harga CIF (US$/kg) 1.184,0 Ex. Rate (Rp/US$) 11.143,0 Harga CIF (Rp/kg) 13.193,3 Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi 20,0 b. Kota provinsi - kota kabupaten 30,0 c. Kota kabupaten - desa 20,0 d. Penanganan (bongkar/muat) 20,0 Harga sosial di petani (Rp/kg beras) 13.283,3 Konversi (Rp/kg) 1.660,4 Biaya pengolahan (Rp/kg) 360,0 Harga sosial di petani (Rp/kg) 1.300,4
Tabel Lampiran 2b.
Kabupaten
1.740,0 1.740,0 11.143,0 19.388,8
175,0 175,0 10.373,0 1.815,3
175,0 175,0 10.373,0 1.815,3
175,0 175,0 10.373,0 1.815,3
20,0 30,0 20,0 20,0 19.478,8 1.947,9 380,0 1.567,9
20,0 30,0 20,0 20,0 1.905,3 132,6 33,2 99,5
20,0 30,0 20,0 20,0 1.905,3 132,6 33,2 99,5
20,0 30,0 20,0 20,0 1.905,3 132,6 33,2 99,5
Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea, untuk Tembakau dan Tebu Di Kabupaten Contoh
Uraian
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
189,0 17,5 171,5 11.143,0 1.911,0
198,0 17,5 180,5 10.373,0 1.872,3
198,0 17,5 180,5 10.373,0 1.872,3
198,0 17,5 180,5 10.373,0 1.872,3
20,0 30,0 20,0 20,0 2.001,0
20,0 30,0 20,0 20,0 1.962,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.962,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.962,3
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Freight and Insurance (US$/ton) Harga FOB (US$/ton) Ex. Rate (Rp/US$) Harga FOB (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga sosial di petani (Rp/kg)
107
Tabel Lampiran 2c. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Za, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
100,0 11.143,0 1.114,3
100,0 10.373,0 1.037,3
100,0 10.373,0 1.037,3
100,0 10.373,0 1.037,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.204,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.127,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.127,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.127,3
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/US$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
Tabel Lampiran 2d. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk TSP, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
161,0 11.143,0 1.794,0
164,0 10.373,0 1.701,2
164,0 10.373,0 1.701,2
164,0 10.373,0 1.701,2
20,0 30,0 20,0 20,0 1.884,0
20,0 30,0 20,0 20,0 1.791,2
20,0 30,0 20,0 20,0 1.791,2
20,0 30,0 20,0 20,0 1.791,2
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
Tabel Lampiran 2e. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk SP-36, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
108
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
149,0 11.143,0 1.660,3
149,0 10.373,0 1.545,6
149,0 10.373,0 1.545,6
149,0 10.373,0 1.545,6
20,0 30,0 20,0 20,0 1.750,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.635,6
20,0 30,0 20,0 20,0 1.635,6
20,0 30,0 20,0 20,0 1.635,6
Klaten-Tembakau MK
Tabel Lampiran 2f. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk KCL, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
165,0 11.143,0 1.838,6
150,0 10.373,0 1.556,0
150,0 10.373,0 1.556,0
150,0 10.373,0 1.556,0
20,0 30,0 20,0 20,0 1.928,6
20,0 30,0 20,0 20,0 1.646,0
20,0 30,0 20,0 20,0 1.646,0
20,0 30,0 20,0 20,0 1.646,0
Tabel Lampiran 2g. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk NPK, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
167,0 11.143,0 1.860,9
167,0 10.373,0 1.732,3
167,0 10.373,0 1.732,3
167,0 10.373,0 1.732,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.950,9
20,0 30,0 20,0 20,0 1.822,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.822,3
20,0 30,0 20,0 20,0 1.822,3
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
Tabel Lampiran 2h. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk ZPT/PPC, untuk Tembakau dan Tebu di Kabupaten Contoh Uraian
Klaten-Tembakau MK
Harga CIF (US$/ton) Ex. Rate (Rp/$) Harga CIF (Rp/kg) Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi b. Kota provinsi - kota kabupaten c. Kota kabupaten - desa d. Penanganan (bongkar/muat) Harga soial di petani (Rp/kg)
Klaten-Tebu (1 thn)
Kediri-Tebu (1 thn)
Ngawi-Tebu (1 thn)
2.230,0 11.143,0 24.848,9
2.230,0 10.373,0 23.131,8
2.230,0 10.373,0 23.131,8
2.230,0 10.373,0 23.131,8
20,0 30,0 20,0 20,0 24.938,9
20,0 30,0 20,0 20,0 23.221,8
20,0 30,0 20,0 20,0 23.221,8
20,0 30,0 20,0 20,0 23.221,8
109
110
111
112
113
Tabel Lampiran 6. Profitabilitas Finansial Usahatani Tebu dan Tembakau di Kabupaten Contoh, 2002
No
1
2
3
4
114
Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Kediri - Tebu a. Irigasi teknis - Kepras1 b. Irigasi ½ teknis - Kepras3 c. Irigasi sederhana - Kepras1 d. Tadah hujan - Pucuk e. Tadah hujan - Kepras1 f. Tadah hujan - Kepras3
11.319.552 10.881.380 9.427.104 7.522.944 7.697.118 7.735.013
Ngawi – Tebu a. Irigasi sederhana - Kepras1 b. Tadah hujan - Pucuk c. Tadah hujan - Kepras3
Keuntungan (Rp)
Profitabilitas (%)
9.136.988 9.011.465 7.951.290 6.564.720 6.789.879 6.803.860
2.182.564 1.869.915 1.475.814 958.224 907.239 931.153
19,28 17,18 15,66 12,74 11,79 12,04
9.836.510 7.469.214 6.334.560
8.657.062 6.505.700 5.827.679
1.179.448 963.514 506.881
11,99 12,90 8,00
Klaten – Tebu - Irigasi teknis - Pucuk
9.579.999
8.044.275
1.535.724
16,03
Klaten - Tembakau a. Irigasi teknis - MK2 b. Irigasi ½ teknis - MK1 c. Irigasi sederhana - MK2
9.689.048 8.400.000 8.820.156
6.604.119 6.297.265 5.630.898
3.084.929 2.102.735 3.189.258
31,84 25,03 36,16
Kabupaten
Tabel Lampiran 7. Profitabilitas Ekonomi Usahatani Tebu dan Tembakau di Kabupaten Contoh, 2002 No 1.
2.
3.
4.
Kabupaten
Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
Profitabilitas (%)
Kediri - Tebu a. Irigasi teknis - Kepras1
7.146.219
9.313.601
-2.167.382
(30,33)
b. Irigasi ½ teknis -Kepras3
6.822.217
9.185.491
-2.363.274
(34,64)
c. Irigasi sederhana-Kepras1
5.951.485
8.085.756
-2.134.271
(35,86)
d. Tadah hujan - Pucuk
4.782.570
6.749.789
-1.967.218
(41,13)
e. Tadah hujan - Kepras1
4.893.298
7.030.902
-2.137.604
(43,68)
f. Tadah hujan - Kepras3
4.917.389
7.049.093
-2.131.704
(43,35)
Ngawi - Tebu a. Irigasi sederhana-Kepras1
6.167.123
8.962.030
-2.794.908
(45,32)
b. Tadah hujan - Pucuk
4.650.842
6.797.895
-2.147.053
(46,16)
c. Tadah hujan - Kepras3
3.999.112
6.025.645
-2.026.534
(50,67)
Klaten - Tebu - Irigasi teknis - Pucuk
6.090.304
8.272.288
-2.181.984
(35,83)
Klaten - Tembakau a. Irigasi teknis - MK2
13.138.890
6.341.088
6.797.802
51,74
b. Irigasi ½ teknis - MK1
11.330.118
6.052.307
5.277.811
46,58
7.514.278
5.435.071
2.079.208
27,67
c. Irigasi sederhana - MK2
115
Tabel Lampiran 8. Analisis PAM Komoditas Tebu dan Tembakau di Kabupaten Contoh, 2002 (Rp) No 1.
2.
3.
Kabupaten
Domestic Factors Labor
Capital
Profits Land
Kediri - Tebu 11.319.552 7.146.219 4.173.333
1.471.729 1.385.031 86.698
2.047.286 2.047.286 0
217.973 481.284 -263.311
5.400.000 5.400.000 0
2.182.564 -2.167.382 4.349.946
b. Irigasi ½ teknis - Kepras3 Private Social Divergences
10.881.380 6.822.217 4.059.163
1.045.150 943.372 101.778
2.788.000 2.788.000 0
228.315 504.120 -275.805
4.950.000 4.950.000 0
1.869.915 -2.363.274 4.233.189
c. Irigasi sederhana -Kepras1 Private Social Divergences
9.427.104 5.951.485 3.475.619
826.900 717.483 109.417
2.722.500 2.722.500 0
201.890 445.773 -243.883
4.200.000 4.200.000 0
1.475.814 -2.134.271 3.610.085
d. Tadah hujan - Pucuk Private Social Divergences
7.522.944 4.782.570 2.740.374
1.214.200 1.073.688 140.512
1.481.000 1.481.000 0
269.520 595.100 -325.580
3.600.000 3.600.000 0
958.224 -1.967.218 2.925.442
e. Tadah hujan - Kepras1 Private Social Divergences
7.697.118 4.893.298 2.803.820
1.219.890 1.110.607 109.283
1.680.000 1.680.000 0
289.989 640.296 -350.307
3.600.000 3.600.000 0
907.239 -2.137.604 3.044.843
f. Tadah hujan - Kepras3 Private Social Divergences
7.735.013 4.917.389 2.817.624
985.100 878.491 106.609
1.927.500 1.927.500 0
291.260 643.102 -351.842
3.600.000 3.600.000 0
931.153 -2.131.704 3.062.857
a. Irigasi sederhana-Kepras1 Private Social Divergences
9.836.510 6.167.123 3.669.387
657.900 588.711 69.189
3.489.429 3.489.429 0
309.733 683.890 -374.157
4.200.000 4.200.000 0
1.179.448 -2.794.908 3.974.356
b. Tadah hujan - Pucuk Private Social Divergences
7.469.214 4.650.842 2.818.372
1.579.333 1.486.538 92.795
1.607.667 1.607.667 0
318.700 703.690 -384.990
3.000.000 3.000.000 0
963.514 -2.147.053 3.110.567
c. Tadah hujan - Kepras3 Private Social Divergences
6.334.560 3.999.112 2.335.448
744.950 632.386 112.564
1.825.667 1.825.667 0
257.062 567.592 -310.531
3.000.000 3.000.000 0
506.881 -2.026.534 2.533.415
9.579.999 6.090.304 3.489.695
888.250 809.401 78.849
1.652.000 1.652.000 0
254.025 560.887 -306.862
5.250.000 5.250.000 0
1.535.724 -2.181.984 3.717.708
a. Irigasi teknis - MK2 Private Social Divergences
9.689.048 13.138.890 -3.449.842
1.656.331 1.494.415 161.916
2.764.440 2.764.440 0
433.348 332.233 101.114
1.750.000 1.750.000 0
3.084.929 6.797.802 -3.712.873
b. Irigasi ½ teknis - MK1 Private Social Divergences
8.400.000 11.330.118 -2.930.118
1.994.546 1.851.348 143.198
2.366.604 2.366.604 0
436.115 334.355 101.760
1.500.000 1.500.000 0
2.102.735 5.277.811 -3.175.076
8.820.156 7.514.278 1.305.878
1.711.051 1.604.927 106.124
2.135.402 2.135.402 0
384.445 294.741 89.704
1.400.000 1.400.000 0
3.189.258 2.079.208 1.110.050
Ngawi – Tebu
Klaten – Tebu
Klaten – Tembakau
c. Irigasi sederhana - MK2 Private Social Divergences
116
Tradable Input
a. Irigasi teknis - Kepras1 Private Social Divergences
- Irigasi teknis - Pucuk Private Social Divergences 4.
Revenue
Tabel Lampiran 9. Ratio Indikator of PAM Output Komoditi Tebu dan Tembakau di Kabupaten Contoh, 2002 (Rp) No
1.
2.
3.
4.
Kabupaten
PCR
DRC
NPCO
NPCI
EPC
PC
SRP
Kediri - Tebu a. Irigasi teknis - Kepras1
0,78
1,38
1,58
1,06
1,71
-1,01
0,61
b. Irigasi ½ teknis - Kepras3
0,81
1,40
1,59
1,11
1,67
-0,79
0,62
c. Irigasi sederhana - Kepras1
0,83
1,41
1,58
1,15
1,64
-0,69
0,61
d. Tadah hujan - Pucuk
0,85
1,53
1,57
1,13
1,70
-0,49
0,61
e. Tadah hujan - Kepras1
0,86
1,57
1,57
1,10
1,71
-0,42
0,62
f. Tadah hujan - Kepras3
0,86
1,53
1,57
1,12
1,67
-0,44
0,62
Ngawi - Tebu a. Irigasi sederhana - Kepras 3
0,87
1,50
1,59
1,12
1,65
-0,42
0,64
b. Tadah hujan - Pucuk
0,84
1,68
1,61
1,06
1,86
-0,45
0,67
c. Tadah hujan - Kepras3
0,91
1,60
1,58
1,18
1,66
-0,25
0,63
Klaten - Tebu - Irigasi teknis - Pucuk
0,82
1,41
1,57
1,10
1,65
-0,70
0,61
Klaten - Tembakau a. Irigasi teknis - MK2
0,62
0,42
0,74
1,11
0,69
0,45
-0,28
b. Irigasi ½ teknis - MK1
0,67
0,44
0,74
1,08
0,68
0,40
-0,28
c. Irigasi sederhana - MK2
0,55
0,65
1,17
1,07
1,20
1,53
0,15
117
Tabel Lampiran 10. Ratio Indikator of PAM (NPCI) Pupuk pada Usahatani Tebu dan Tembakau, di Lokasi Penelitian, 2002 No 1.
2.
3.
4.
118
Kabupaten
Urea
TSP/SP
KCL
ZA
Kediri - Tebu a. Irigasi teknis - Kepras1
1,26
1,08
1,21
1,08
b. Irigasi ½ teknis - Kepras3
1,23
1,08
1,21
1,11
c. Irigasi sederhana - Kepras1
1,26
1,08
1,21
1,13
d. Tadah hujan - Pucuk
1,26
1,08
1,28
1,13
e. Tadah hujan - Kepras1
1,26
1,08
1,28
1,13
f. Tadah hujan - Pucuk
1,26
1,08
1,28
1,13
Ngawi - Tebu a. Irigasi sederhana - Kepras1
1,23
1,06
1,21
1,08
b. Tadah hujan - Pucuk
1,26
1,08
1,28
1,13
c. Tadah hujan - Kepras3
1,26
1,12
1,28
1,13
Klaten - Tebu - Irigasi teknis - Pucuk
1,29
1,08
1,28
1,11
Klaten - Tembakau a. Irigasi teknis - MK2
1,22
1,02
1,16
1,08
b. Irigasi ½ teknis - MK1
1,16
1,03
1,16
1,01
c. Irigasi sederhana - MK2
1,15
1,02
1,16
1,10
Tabel Lampiran 11. Transfer Input pada Usahatani Tebu dan Tembakau, di Lokasi Penelitian, 2002 No 1
2
3
4
Kabuapten
Urea
TSP/SP
KCL
ZA
Kediri - Tebu a. Irigasi teknis - Kepras1 b. Irigasi ½ teknis - Kepras3 c. Irigasi sederhana - Kepras1 d. Tadah hujan - Pucuk e. Tadah hujan - Kepras1 f. Tadah hujan - Pucuk
11.118,28 19.786,57 22.463,47 22.009,66 21.782,76 21.782,76
12.253,25 18.134,81 18.379,88 18.379,88 15.316,56 14.703,90
43.732,50 39.046,88 39.046,88 41.237,50 43.299,38 41.237,50
19.594,00 24.810,24 29.526,48 28.884,60 28.884,60 28.884,60
Ngawi – Tebu a. Irigasi sederhana - Kepras1 b. Tadah hujan - Pucuk c. Tadah hujan - Kepras3
9.691,38 10.664,48 20.875,15
8.665,91 12.008,19 21.566,56
31.237,50 41.237,50 41.237,50
19.594,00 28.884,60 28.884,60
Klaten – Tebu - Irigasi teknis - Pucuk
23.196,29
9.189,94
20.618,75
25.844,00
Klaten – Tembakau a. Irigasi teknis - MK2 b. Irigasi ½ teknis - MK1 c. Irigasi sederhana - MK2
72.520,27 54.477,61 6.413,37
4.033,80 8.375,20 4.510,09
2.974,05 3.866,27 2.974,05
32.426,96 4.245,96 37.113,18
119
Tabel Lampiran 3a. Input-output Usahatani Tebu dan Tembakau di Lokasi Penelitian, 2002 Tebu Kediri I-O
Tradable Inputs
Quantities
Seed (batang/ha) Pupuk a. Pupuk kimia (kg/ha) - Urea
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
K1
K3
429
-
Irigasi sederhana K1 -
Ngawi Tadah hujan
Tadah hujan
Tadah hujan
Pucuk
K1
K3
-
-
Irigasi sederhana K3 -
Tembakau Klaten
Klaten
Tadah hujan
Tadah hujan
Irigasi teknis
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Pucuk
Pucuk
MH
MK2
MK1
-
1
-
-
16.566
15.719
Irigasi sederhana MK2 15.273
49
98
99
97
96
96
50
47
92
95
330
341
44
100 140 250 -
148 125 240 -
150 125 230 -
150 100 225 -
125 105 225 -
120 100 225 -
105 100 250 -
98 100 225 -
125 100 225 -
75 50 250 -
157 10 378 -
172 13 308 -
130 10 335 -
1 -
1 -
-
1 -
1 -
1 -
-
-
-
1 -
1 1 1
1 1 1
1 1 1
c. Pestisida (package)
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
1
1
1
d. Herbisida (Package)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
1
-
Traktor (package)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Labor (hr/ha)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
a. Tractor (package)
1
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
1
-
b. Draft Animal (package)
-
1
1
1
-
1
-
-
-
-
-
-
1
100 254
1 1
90 418
150 473
280 560
288 530
429 455
385 388
402 480
500 280
699 576
630 542
599 290
- TSP/SP-36 - KCl - ZA - NPK b. Pupuk lainnya - Pupuk alternatif (kg/ha) - Pupuk organik (kg/ha) - ZPT (cc) - PPC (cc)
Factors
c. Pre-harvest - Family labor (hrs) - Hired labor (hrs) d. Harvest
Output
- Family labor (hrs)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
- Hired labor (hrs)
1
1
1
-
-
-
1
-
-
-
1
-
-
e. Irrigation - Pump (package) - Non pump (Package)
1
1 -
-
-
-
-
1 -
-
-
-
1 1
1
1
f. Taxes (package)
-
-
1
1
-
1
1
1
1
1
1
1
1
g. Other costs (package)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
Working Capital (Rp/ha) Land rent (ha)
2.179.729 1
2.283.150 1
2.018.900 1
2.695.200 1
2.899.890 1
2.912.600 1
3.097.329 1
3.187.000 1
2.570.617 1
2.540.250 1
4.333.476 1
4.361.150 1
3.844.453 1
78.608
75.044
65.466
52.608
53.826
54.091
67.838
51.159
43.990
66.993
12.988
11.200
5.388
Production (kg/ha)
Tabel Lampiran 3b. Input-output Usahatani Tebu dan Tembakau di Lokasi Penelitian, 2002 Tebu Kediri P-Price
Tradable Inputs
Seed (Rp/kg) Fertilizers
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
Tadah hujan
Tadah hujan
Tadah hujan
Irigasi sederhana
Tadah hujan
Tadah hujan
K1
K3
K1
Pucuk
K1
K3
K3
Pucuk
Kepras 3
Irigasi teknis
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
MH
MK2
MK1
MK2
0
0
0
0
0
0
933.333
0
0
15
1.100 1.600 1.800 1.050 0
1.075 1.600 1.800 1.075 0
1.100 1.600 1.800 1.100 0
1.100 1.600 1.900 1.100 0
1.100 1.600 1.900 1.100 0
1.100 1.600 1.900 1.100 0
1.075 1.560 1.800 1.050 0
1.100 1.600 1.900 1.100 0
1.100 1.650 1.900 1.100 0
1.200 1.650 1.900 1.100 0
0 271.429 0 0
220.000 0 0 0
0 0 0 0
0 280.000 0 0
0 467.290 0 0
0 250.000 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
c. Pesticide (Rp/package)
0
0
0
150.000
0
0
0
0
d. Herbicide (Rp/Package)
0
0
0
0
0
0
0
0
Tractor serv. (Rp/package)
0
0
0
0
0
0
0
a. Tractor (Rp/package)
0
0
0
0
0
0
b. D. Animal (Rp/package)
0
0
120.000
175.000
0
30.000
2.000 2.000
550.000 646.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
0 0 0 1.339.286 1.550.000 1.530.500
0 0
b. Other fertilizers - Pupuk alternatif (Rp/kg) - Pupuk organik (Rp/kg) - ZPT (Rp/cc) - PPC (Rp/cc)
20
22
1.200 1.650 2.100 1.173 -
1.140 1.673 2.100 1.101 -
1.126 1.659 2.100 1.198 -
0 300.000 0 0
38.590 9.504 13.544
276.096 62.250 20.833
411.935 2.458 33.970
0
0
216.178
278.083
239.138
0
0
10.581
-
-
0
0
0
-
-
-
0
0
0
0
-
-
-
0
0
0
0
-
301.864
296.726
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
2.000 2.000
0 0
0 0 0 1.050.000
0 0
0 0
0 0
7.295 -
-
2.000 -
Labor
c. Pre-harvest - Family labor (Rp/hr) - Hired labor (Rp/hr) d. Harvest - Family labor (Rp/hr) - Hired labor (Rp/hr) e. Irrigation - Pump (Rp/package) - Nonpump (Rp/Package) f. Taxes (Rp/package) g. Other costs (Rp/package) Working capital (%/season) Land rent (Rp/ha) Output
Tembakau Klaten
Klaten
1.100
a. Pupuk kimia (Rp/kg) - Urea - TSP/SP-36 - KCl - ZA - NPK
Factors
Ngawi
Ouput price (Rp/kg)
0 0
42.000 0
0 0
0 0
0 0
0 0
571.429 0
0 0
0 0
0 0
21.469 28.035
-
-
114.286
0
56.000
60.000
0
261.500
100.000
61.667
61.667
92.000
20.428
22.604
32.252
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
57.213
-
26.424
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3.000.000 3.000.000 5.250.000
1.750.000
1.500.000
1.400.000
746
750
1.637
5.400.000 4.950.000 4.200.000 3.600.000 144
145
144
143
3.600.000 3.600.000 4.200.000 143
143
145
146
144
143
Tabel Lampiran 4. Private Budget dari Usahatani Tebu dan Tembakau di Lokasi Penelitian, 2002 Tebu P-Budget
Tradable Inputs
Quantities
Seed (Rp/ha) Fertilizers a. Pupuk kimia (Rp/ha) - Urea - TSP/SP-36 - KCl - ZA - NPK
Factors
Irigasi ½ teknis
K1
K3
Tadah hujan
Tadah hujan
Irigasi teknis
Irigasi teknis
Pucuk
Pucuk
MH
MK2
Tembakau Klaten Irigasi 1/2 teknise MK1
Ngawi Tadah hujan
Tadah hujan
K1
K3
Irigasi sederhana K3
Klaten
Irigasi sederhana MK2
471.900
-
-
-
-
-
-
933.333
-
-
248.490
314.380
336.006
53.900 160.000 252.000 262.500 -
105.350 236.800 225.000 258.000 -
108.900 240.000 225.000 253.000 -
106.700 240.000 190.000 247.500 -
105.600 200.000 199.500 247.500 -
105.600 192.000 190.000 247.500 -
51.600 163.800 180.000 262.500 -
51.700 156.800 190.000 247.500 -
101.200 206.250 190.000 247.500 -
104.500 120.000 95.000 268.750 -
396.000 259.050 21.000 443.394 -
388.740 287.756 27.300 339.108 -
49.544 215.670 21.000 401.330 -
b. Other fertilizers - Pupuk alternatif (Rp/ha) - Pupuk organik (Rp/ha) - ZPT (Rp/ha) - PPC (Rp/ha)
-
220.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
271.429 -
-
-
280.000 -
467.290 -
250.000 -
-
-
-
300.000 -
38.590 9.504 13.544
276.096 62.250 20.833
411.935 2.458 33.970
c. Pesticide (Rp/ha)
-
-
-
150.000
-
-
-
-
-
-
216.178
278.083
239.138
d. Herbicide (Rp/ha)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10.581
-
-
Tractor service (Rp/ha)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Labor (Rp/ha) a. Tractor (Rp/ha) b. Draft Animal (Rp/ha)
-
-
120.000
175.000
-
30.000
-
-
-
-
-
-
296.726
200.000 508.000
550.000 646.000
180.000 836.000
300.000 946.000
560.000 1.120.000
576.000 1.060.000
858.000 910.000
770.000 776.000
804.000 960.000
1.000.000 560.000
1.398.000 1.152.000
1.260.000 1.084.000
1.198.000 580.000
d. Harvest - Family labor (Rp/ha) - Hired labor (Rp/ha) 1.339.286
1.550.000
1.530.500
-
-
-
1.050.000
-
-
-
87.295 -
-
2.000 -
21.469 28.035
-
-
c. Pre-harvest - Family labor (Rp/ha) - Hired labor (Rp/ha)
e. Irrigation - Pump (Rp/ha) - Non pump (Rp/ha)
-
42.000 -
-
-
-
-
571.429 -
-
-
-
f. Taxes (Rp/ha)
-
-
56.000
60.000
-
261.500
100.000
61.667
61.667
92.000
20.428
22.604
32.252
g. Other costs (Rp/ha)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
57.213
-
26.424
Cost of capital (Rp/ha)
Output
Irigasi teknis
Kediri Irigasi Tadah sederhujan hana K1 Pucuk
217.973
228.315
201.890
269.520
289.989
291.260
309.733
318.700
257.062
254.025
433.348
436.115
384.445
Land rent (Rp/ha)
5.400.000
4.950.000
4.200.000
3.600.000
3.600.000
3.600.000
4.200.000
3.000.000
3.000.000
5.250.000
1.750.000
1.500.000
1.400.000
Revenue (Rp/ha)
11.319.552
10.881.380
9.427.104
7.522.944
7.697.118
7.735.013
9.836.510
7.469.214
6.334.560
9.579.999
9.689.048
8.400.000
8.820.156
Tabel Lampiran 5. Social Budget Usahatani Tebu dan Tembakau di Lokasi Penelitian, 2002 Tebu Kediri S-Budget
Tradable Inputs
Quantities
Seed (Rp/ha)
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
K1
K3
Irigasi sederhana K1
Ngawi
Tadah hujan
Tadah hujan
Tadah hujan
Pucuk
K1
K3
Irigasi sederhana K3
Tembakau Klaten
Klaten
Tadah hujan
Tadah hujan
Irigasi teknis
Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Pucuk
Pucuk
MH
MK2
MK1
Irigasi sederhana MK2
471.900
0
0
0
0
0
0
933.333
0
0
248.490
314.380
336.006
a. Pupuk kimia (Rp/ha) - Urea - TSP/SP-36 - KCl - ZA - NPK
42.782 147.747 208.268 242.906 0
85.563 218.665 185.953 233.190 0
86.437 221.620 185.953 223.474 0
84.690 221.620 148.763 218.615 0
83.817 184.683 156.201 218.615 0
83.817 177.296 148.763 218.615 0
41.909 155.134 148.763 242.906 0
41.036 144.792 148.763 218.615 0
80.325 184.683 148.763 218.615 0
81.304 110.810 74.381 242.906 0
323.480 255.016 18.026 410.967 0
334.262 279.381 23.434 334.862 0
43.131 211.160 18.026 364.217 0
b. Other fertilizers - Pupuk alternatif (Rp/ha) - Pupuk organik (Rp/ha) - ZPT (Rp/ha) - PPC (Rp/ha)
0 271.429 0 0
220.000 0 0 0
0 0 0 0
0 280.000 0 0
0 467.290 0 0
0 250.000 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 300.000 0 0
0 38.590 7.603 10.835
0 276.096 49.800 16.666
0 411.935 1.966 27.176
Fertilizers
Factors
c. Pesticide (Rp/ha)
0
0
0
120.000
0
0
0
0
0
0
172.942
222.466
191.310
d. Herbicide (Rp/ha)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.465
0
0
Tractor service (Rp/ha)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a. Tractor (Rp/ha)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Draft Animal (Rp/ha)
0
0
120.000
175.000
0
30.000
0
0
0
0
0
0
296.726
200.000 508.000
550.000 646.000
180.000 836.000
300.000 560.000 576.000 946.000 1.120.000 1.060.000
858.000 910.000
770.000 776.000
804.000 1.000.000 960.000 560.000
1.398.000 1.152.000
1.260.000 1.084.000
1.198.000 580.000
Labor (Rp/ha)
c. Pre-harvest - Family labor (Rp/ha) - Hired labor (Rp/ha) d. Harvest - Family labor (Rp/ha) - Hired labor (Rp/ha)
0 0 0 1.339.286 1.550.000 1.530.500
0 0
0 0
0 0 0 1.050.000
0 0
0 0
0 0
87.295 0
0 0
2.000 0
0
e. Irrigation - Pump (Rp/ha)
0
42.000
0
0
0
0
571.429
0
0
0
21.469
0
- Non pump (Rp/ha)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28.035
0
0
f. Taxes (Rp/ha)
0
0
56.000
60.000
0
261.500
100.000
61.667
61.667
92.000
20.428
22.604
32.252
g. Other costs (Rp/ha)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
57.213
0
26.424
481.284
504.120
445.773
595.100
640.296
643.102
683.890
703.690
567.592
Working capital (Rp/ha)
Output
560.887
332.233
334.355
294.741
Land rent (Rp/ha)
5.400.000 4.950.000 4.200.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 4.200.000 3.000.000 3.000.000 5.250.000
1.750.000
1.500.000
1.400.000
Revenue (Rp/ha)
7.146.219 6.822.217 5.951.485 4.782.570 4.893.298 4.917.389 6.167.123 4.650.842 3.999.112 6.090.304 13.138.890 11.330.118
7.514.278