ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR
MUHAMAD YADJID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 29 Juli 2011
Muhamad Yadjid NRP A151050111
3
ABSTRACT MUHAMAD YADJID. Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java (RINA OKTAVIANI as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee). Sugarcane is considered to be a high-valued commodity since Colonial era. The Highest sugar cane production in Indonesia was in 1930 and Indonesia became the second highest exporting sugar country at that time. However, the performance of sugar industry has declined during the last decade. Now, Indonesia has become an importing sugar country. This situation is more likely because Indonesian population grows in the average of 1.2% every year, which influence the direct sugar consumption every year. Indonesia’s sugar consumption is always exceeded its production. In order to fulfill the domestic consumption, Indonesia needs to import sugar. Based on the economic performance of sugar industry, the main issue of sugar industry in Indonesia is low increase of productivity and production in farm and sugar mills level, especially in East Java. Some factors are suspected to influence the productivity and production sugar performance. The objective of this research is to analyze competitiveness of sugar industry, especially in sugarcane farming system, impact of government policy and structural adjustment on sugar industry. This study is conducted by using Policy analysis Matrix (PAM), and sensitivity analysis. The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Sensitivity analysis is done as one of justifications in structural adjustment concept for sugar industry in Indonesia. The result shows that sugarcane farming systems in wet and dry land are financially profitable, but economically it is a contradiction. The sugarcane farming systems are not having comparative advantage (DRC>1). The result also shows that the government is very protective to sugar industry in Indonesia. Impact of government policies are shown (at least) by NPCO and NPCI ratios. NPCO ratio range from 1.53 to 1.62, and NPCI ratio is around 0.59. Therefore, structural adjustment is needed to cope these issues and gain its comparative advantage. Key words : Sugarcane, Competitiveness, PAM, Structural Adjustment.
4
RINGKASAN MUHAMAD YADJID. Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000). Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 % per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu, dan (3) merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur. Penilitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix sebagai metode untuk menganalisis daya saing usahatani tebu dan juga dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur. Analisis Sensitivitas juga dilakukan sebagai salah satu landasan untuk merumuskan penyesuaian industry gula di Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data primer dan juga data sekunder. Data Primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani tebu yang kemudian diverifikasi oleh beberapa responden ahli. Data sekunder diperoleh data Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosisal Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer Microsoft Office Excel 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata produktivitas usahatani tebu di sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, sedangkan di lahan tegalan kurang dari 100 ton per hektar. Produktivitas tebu dari bibit (tanam awal) lebih tinggi dari ratoon 1 dan seterusnya. Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen
5
dengan pabrik. Keuntungan privat usahatani tebu di lahan sawah lebih besar di banding lahan tegalan. Keuntungan usahatani tebu ratoon 1 lebih tinggi dari usahatani tebu tanam awal. Hal ini disebabkan karena usahatani tebu ratoon tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian input bibit baru. Keuntungan finansial usahatani tebu berkisar antara Rp.5 juta – Rp. 8 juta/ha). Meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kerugian berkisar antara Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta/ha) Berdasarkan hasil analisis PAM, Usahatani tebu di Jawa Timur tidak memiliki keunggulan komparatif tapi masih memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini di tunjukkan oleh rasio DRC >1 dan rasio PCR <1. Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53-62 persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62). Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen. Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Implikasi kebijakan mencakup subsistem hulu dan subsistem hilir. Kebijakan subsistem hulu adalah: (1) peningkatkan areal pertanaman tebu di daerah potensial, (2) Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu, dan (3) peningkatan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratoon. Kebijakan subsistem hilir yaitu: (1) merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial, (2) pengembangan industri produk turunan tebu, dan (3) penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu.
Kata Kunci: Daya Saing, Tebu, Industri Gula, Penyesuaian Struktural.
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7
8
ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN PENYESUAIAN INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR
MUHAMAD YADJID
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS.
(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
10
Judul Tesis
: Analisis Daya Saing Usahatani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Muhamad Yadjid
Nomor Pokok
: A151050111
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani , MS Ketua
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian Tesis : 29 Juli 2011
Tanggal Lulus:
11
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “ Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Industri Gula di Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan menganalisis daya saing usaha tani tebu di Jawa Timur, mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah pada usaha tani tebu di Jawa Timur, dan merumuskan implikasi kebijakan penyesuaian struktural industri gula di Jawa Timur. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. W. H. Anna Fariyanti, MS. selaku Penguji yang Mewakili Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Prof. Stephen V. Marks yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten lapang sekaligus membiayai penelitian ini.
12
4. Ir. Asep Syaiful Bahri, MSc yang telah banyak membantu mengajarkan Policy Analysis Matrix. 5. Teman-teman mahasiswa Pasca Sarjana program studi EPN 2005 (Pini, Novindra, Zednita, Wiji, Tono, Budi, dan Yusuf), terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. 6. Seluruh staf di Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi. 7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan tesis ini. Secara khusus dengan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa dari orangtua, kakak dan adik untuk keberhasilan penulis. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri gula di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal ibadah dan tanda syukur penulis.
Bogor, 29 Juli 2011
Muhamad Yadjid
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1981 dari Ibu Hadijah Hanafi dan Bapak Umar Machmoudy. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 50 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur USMI. Pendidikan Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xviii I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah............................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
8
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian...............................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10 2.1. Usahatani Tebu ................................................................................. 10 2.1.1. Budidaya Tebu ........................................................................ 10 2.1.2. Pengolahan .............................................................................. 12 2.1.3. Kebijakan Ekonomi Gula ........................................................ 13 2.2 Penelitian yang Terkait ...................................................................... 14
14
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 20 3.1 Kerangka Teoritis ............................................................................... 20 3.1.1. Konsep Daya Saing ................................................................. 20 3.1.2. Kebijakan Pemerintah .............................................................. 23 3.1.3. Structural Adjusment (Penyesuaian Struktural) ....................... 32 3.1.4 Policy Analysis Matrix (PAM) ................................................ 34 3.1.5. Analisis Sensitivitas ................................................................ 34 3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual......................................................... 35 IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 39 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 39 4.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 39 4.3 Metode Pengambilan Contoh.............................................................. 39 4.4 Metode Analisis ................................................................................. 40 4.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM) ................................................. 40 4.4.1.1. Identifikasi Input dan Output Usahatani Tebu ............. 43 4.4.1.2. Penentuan Harga Bayangan ........................................ 43 4.4.1.3. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ............ 46 4.4.1.4. Perhitungan dan Analisis PAM ....................................
47
4.4.2 Analisis Sensitivitas .................................................................. 52 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .......................................... 53 5.1 Provinsi Jawa Timur ........................................................................... 53 5.2 Kabupaten Situbondo ......................................................................... 53 5.3 Kabupaten Lumajang ......................................................................... 56 5.4 Pabrik Gula Semboro ......................................................................... 59 5.4 Pabrik Gula Wringinanom .................................................................. 59
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 61 6.1 Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu ..................................... 61 6.2 Biaya Produksi Usahatani Tebu .......................................................... 62 6.3 Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu .......................... 63 6.4 Daya Saing Usahatani Tebu ................................................................ 66
15
6.5 Dampak Kebijakan Pemerintah .......................................................... 68 6.6 Analisis Sensitivitas ........................................................................... 69 6.7 Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional ........... 71 6.7.1 Struktur Industri Gula Kristal Putih .......................................... 72 6.7.2 Industri Gula Brazil .................................................................. 72 6.7.3 Industri Gula Thailand .............................................................. 72 6.8 Penyesuaian Struktural ...................................................................... 75 6.8.1 Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu............................ 75 6.8.2 Kondisi Pabrik Gula Nasional ................................................... 76 6.8.3 Kebijakan Penyesuaian Struktural............................................. 77 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ................................... 80 7.1 Kesimpulan ....................................................................................... 80 7.2 Implikasi Kebijakan .......................................................................... 81
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara historis, komoditas tebu sudah memperoleh perhatian yang besar
sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-18 pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri gula di Pulau Jawa karena faktor-faktor yang mendukung seperti tanah yang subur, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan penanaman tebu tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem pergiliran areal tanam. Namun saat ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya
16
berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah (Saptana, et al, 2004). Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000). Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2005). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 persen per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Data dari Departemen Pertanian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi gula nasional
lebih rendah dari
tingkat konsumsi gula nasional. Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 1997-2009
(Ton)
17
Tahun
Produksi
Konsumsi
Impor
1997
2 189 975
3 363 300
1 364 600
1998
1 491 553
3 300 000
1 811 732
1999
1 488 617
3 360 000
2 187 133
2000
1 693 851
3 300 000
1 600 000
2001
1 725 467
3 360 000
1 600 000
2002
1 755 425
3 300 000
1 544 013
2003
1 631 581
3 451 000
1 571 278
2004
2 051 644
3 388 808
1 314 626
2005
2 241 742
3 786 438
1 980 487
2006
2 307 000
3 968 453
1 405 942
2007
2 623 800
4 024 435
1 972 788
2008
2 668 428
4 034 657
983 944
2009
2 849 769
4 126 424
1 373 546
Sumber : Dewan Gula Indonesia 2005, Kementerian Pertanian 2010
Menurut Djojosubroto 1995, turunnya produksi gula nasional antara lain disebabkan oleh dua hal yaitu: 1. Penurunan produktivitas gula per hektar (terutama di Jawa), yang disebabkan ; terjadinya pergeseran areal tebu dari lahan sawah ke lahan kering, tidak ada inovasi dan adaptasi teknologi budidaya tebu lahan kering secara memadai, dan naiknya biaya produksi; 2. Menurunnya rendemen karena faktor budidaya maupun pabrik yang disebabkan; semakin panjangnya hari giling pabrik gula sehingga masa giling pabrik gula semakin jauh dari periode waktu kemasakan tebu yang optimal, kurangnya pasokan tebu, dan meningkatnya angka pol hilang pada pabrik gula atau meningkatnya jumlah gula yang hilang per ton tebu yang digiling. Penyebab menurunnya rendemen gula, selain dari faktor teknis, juga
18
disebabkan oleh faktor sosial yaitu belum selarasnya hubungan antara pabrik gula dengan petani tebu (Adisasmito, 1998). Dua negara yang berhasil melakukan structural adjusment dalam industri gula adalah Australia dan Vietnam. Australia merupakan salah satu negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Brazil. Sebagian besar produksi gula Australia diekspor ke negara lain. Usahatani tebu di Australia melibatkan 4 500 keluarga petani tebu dengan produksi tebu mencapai 39 juta ton. Jumlah pabrik gula di sana sebanyak 12 pabrik gula dan jumlah produksi gula mencapai 5.5 juta ton (Males, 2006). Biaya produksi gula Australia termasuk yang terendah di dunia. Vietnam dengan One Million Ton of Sugar Programme (OMTSP) di tahun 1995 dinilai berhasil dengan bertambahnya jumlah penggilingan gula menjadi 44 penggilingan gula tahun 2002-2003, yang memproduksi 1.06 juta ton gula dari 11.5 juta ton tebu. Luas lahan pada tahun 1999 untuk usahatani tebu mencapai 350 ribu Ha. Keberhasilan yang dicapai Vietnam adalah untuk pemenuhan kebutuhan domestik gula tercapai pada tahun 2000, menciptakan lapangan kerja untuk 35 ribu pekerja dalam industri gula, peningkatan efisiensi penggunaan lahan sekitar 350 ribu Ha lahan, menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 300 ribu petani dengan lebih dari 2 juta orang yang mengalami peningkatan standar hidup dan pengembangan perdesaan (Tuy, 2006). Gula merupakan komoditas yang paling terdistorsi oleh kebijakan, di antara komoditas yang lain sejak tahun 1800an. Bentuk distorsi tersebut adalah proteksi yang mendorong sejumlah permasalahan, akibatnya produsen dan konsumen bereaksi terhadap mahalnya harga dan perusahaan melakukan
19
penyesuaian operasi mereka untuk mengambil keuntungan dari mahalnya harga atau menghindarinya jika mereka membuat produk yang menggunakan gula. Salah satu konsekuensi yang tidak dikehendaki dari tingginya proteksi adalah surplus produksi gula yang kemudian dibuang di pasar dunia dan dijual pada harga yang diberi subsidi. Banyak negara telah terpaksa untuk melindungi produsen domestik dari barang ekspor yang diberi subsidi dan menekan harga pasar dunia. Siklus dari proteksi, subsidi, dan proteksi yang lainnya tengah terjadi pada dekade ini (Mithcell, 2004). Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengharuskan setiap Negara termasuk Indonesia untuk mengurangi distorsi perdagangan berupa akses pasar, subsidi domestik serta subsidi ekspor secara bertahap. Perjanjian tersebut menyatakan kebijakan ekonomi yang terdistorsi seperti pengenaan pajak ekspor output, tarif impor input, subsidi input, pengaturan harga dan tataniaga, dan intervensi terhadap nilai tukar serta penetapan suku bunga bank baik dalam kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian termasuk gula secara bertahap akan hilang (Hadi et al., 2001). Akibatnya, sebelum pelaksanaan liberalisasi perdagangan tahun 2020, pemerintah harus mengatasi permasalahan tersebut melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri gula nasional. Penetapan berbagai kebijakan pemerintah telah menunjukkan peningkatan produktivitas tebu per hektar rata-rata 4.5 persen per tahun pada periode 1999-2004 (Mardianto et al, 2004). Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan meningkatkan daya saing sehingga pada saat pelaksanaan liberalisasi perdagangan, industri gula nasional telah mandiri dan siap menghadapi persaingan global.
20
1.2
Perumusan Masalah Kemunduran industri gula Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun
1940-an. Efisiensi industri gula yang tercermin pada produktivitas dan hablur tebu pada periode 1930-an telah mengalami penurunan dan belum ada perbaikan hingga saat ini. Pada periode 1930-an, produktivitas tebu hampir mencapai 140 ton per hektar dan hablurnya mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 ton dan 6 ton per hektar (Mardianto et al, 2005). Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa Indonesia tidak efisien secara ekonomi dan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Amang (1992) dalam Hafsah (2002) meninjau efisiensi penggunaan sumber daya alam yang tersedia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa opportunity cost dari usahatani tebu di beberapa daerah di Jawa cukup tinggi. Opportunity cost tersebut semakin tinggi dengan semakin terbatasnya lahan subur di pulau Jawa dan alternatif penggunaan lahan untuk komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Salim et al. (2004) yang menyatakan bahwa usahatani tebu tidak mempunyai keunggulan komparatif dengan koefisien DRC > 1, hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu tidak efisien secara ekonomi. Inefisiensi juga terjadi pada tingkat pengolahan di pabrik gula. Pada tahun 2001, dengan nilai tukar sebesar Rp 9 000,- per Dollar AS, 18 pabrik gula yang berada di Jawa tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis dari 44 pabrik gula yang dianalisis oleh Khudori (2004). Tingkat rendemen juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Rata-rata rendemen pabrik gula di Jawa
21
adalah sebesar 6 - 7 persen jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat rendemen negara lain yang rata-rata di atas 10 persen (Pakpahan, 2004). Khudori (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1999 rata-rata biaya produksi gula dunia sebesar 13 sen Dollar AS per Pound dan rata-rata biaya produksi gula Indonesia adalah sebesar 11 sen Dollar AS per Pound. Biaya produksi industri gula nasional dapat dikatakan masih kompetitif. Di samping itu, harga gula internasional tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Hal ini disebabkan dengan adanya berbagai kebijakan subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara eksportir maupun importir gula. Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dengan total kapasitas produksi sebesar 883 ribu ton per tahun, atau sebesar 44.35 persen dari total kapasitas produksi nasional pada tahun 1999/2000. Jika dilihat dari kapasitas rata-rata setiap PG, Jawa Timur menempati urutan kedua setelah Lampung. Bila digabungkan kedua daerah tersebut menghasilkan kontribusi sebesar 79.39 persen dari total produksi gula Nasional. Adanya kesepakatan GATT dan WTO mengenai liberalisasi perdagangan memberikan peluang dan juga tantangan terhadap industri gula nasional. Peluangnya adalah segala bentuk proteksi terhadap industri gula yang dilakukan oleh negara-negara maju selama ini akan hilang secara bertahap. Hal ini akan menyebabkan harga internasional akan mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Negara-negara yang mempunyai daya saing akan mempunyai
22
kemampuan lebih besar dalam persaingan di pasar internasional. Namun hal ini juga akan menjadi tantangan mengingat efisiensi industri gula Indonesia masih rendah dan pemerintah juga masih melakukan proteksi terhadap industri gula nasional. Penurunan produksi dan produktivitas gula, inefisiensi di pengolahan pabrik gula, dan liberalisasi perdagangan adalah bagian dari perubahan industri dan struktur gula nasional. Para petani di tingkat usahatani tebu, juga mempertimbangkan untuk usahatani alternatif yang menguntungkan baginya. Campur tangan pemerintah bertujuan untuk mengurangi tekanan perubahanperubahan yang bersifat negatif atau merugikan, tetapi adakalanya kebijakan pemerintah menimbulkan untintended consequences. Oleh Karena itu kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan untuk menstimulasi penyesuaian struktural untuk menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan bagi semua pihak. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana daya saing usahatani tebu di Jawa Timur dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya?
2.
Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur?
3.
Penyesuaian struktural seperti apa yang dapat dilakukan untuk industri gula di Jawa Timur?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang penelitian ini
adalah sebagai berikut:
23
1.
Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur
2.
Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur.
3.
Merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur.
1.4
Ruang lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis Komparatif dan kompetitif
usahatani tebu dengan menggunakan Policy Analysis matrix (PAM) yang meliputi perhitungan nilai rasio sumber daya domestik/ Domestic Resources Cost (DRC), Private Cost Rasio (PRC), dan dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing terhadap komoditas gula. Penelitian ini difokuskan dan mengukur tingkat daya saing usahatani tebu pada lahan sawah dan tegalan yang menanam tebu dari bibit Plantation Cane (PC) dan juga kepras (keprasan). Penelitian ini tidak membahas langsung daya saing pada tingkat pengolahan dipabrik gula. Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian ini difokuskan pada tiga kabupaten di Jawa Timur dengan pertimbangan lokasi pabrik gula besar dan kecil yaitu Kabupaten situbondo, Lumajang dan Jember.
2.
Gula yang menjadi bahasan penelitian adalah Gula Kristal Putih yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara.
24
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usahatani Tebu
2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut). Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti,
25
1991). Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering. Tebu
lahan sawah memiliki beberapa kategori, tergantung dari pola
penanaman. Tebu tanam atau tebu Tebu Rakyat Sawah I (TRIS I) adalah pola penanaman tebu dengan menggunakan bibit. Sedangkan tebu keras atau TRIS II dan selanjutnya adalah penanaman tebu dari kepras atau tunas yang berasal dari sisa panen. Perbedaan kategori tersebut berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tebu. Teknologi budi daya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula mempunyai kriteria bersih, segar dan manis. Sistem usahatani tebu dilaksanakan dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik gula. Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Indonesia. Berdasarkan Inpres
26
tersebut, petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang dianggap lebih menguntungkan. Adanya
persaingan
dengan
tanaman
alternatif,
terutama
padi
menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu kinerja pabrik. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
2.1.2 Pengolahan Proses pengolahan tebu adalah memeras nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Tingkat kehilangan tersebut dapat terjadi pada ampas, blotong dan tetes. Rata-rata mutu tebu yang berada di pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai pol berkisar antara 8.3 – 11.2, nilai nira perasan pertama 9.9 -
27
12.4 dan kadar kotoran tebu antara 6 - 20 persen. Rendahnya mutu tebu diperparah dengan kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun dan kurang mendapat perawatan yang memadai. Hal ini menyebabkan efisiensi yang rendah dan meningkatkan biaya produksi per unit (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Meskipun demikian, pabrik gula di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan dengan petani. Pada tahun 2002 hasil giling pabrik gula yang berada di Jawa mengalami kenaikan produksi sebesar 14 persen (Sawit et a.l, 2004). Adanya program akselerasi Industri Gula Nasional telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu sehingga terjadi perluasan areal tanaman tebu.
2.1.3 Kebijakan Ekonomi Gula Perubahan yang paling mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun 1998. Selain sistem tataniaga, sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan
kebebasan
kepada
petani
untuk
memilih
tanaman
yang
diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004). Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0 persen bagi komoditi pertanian menyebabkan
28
membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu. Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white sugar (Sawit, et al, 2004). Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor 643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
29
527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk
mewujudkan
ketahanan
pangan
dan
peningkatan
pertumbuhan
perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.
2.2
Penelitian yang Terkait Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan
bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah. Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu) adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga
30
dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia. Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat. 2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering. Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.
31
Kajian yang dilakukan Ernawati (1997) melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun 1965-1995 dengan metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan kering/luas areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim. Stok gula nasional dipengaruhi oleh produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54 dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita. Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan oleh Malian (1998) berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp 5 410 100 pada lahan
32
sawah, Rp 5 258 800 pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp 4 940 600 untuk lahan kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang diterima meningkat menjadi Rp 8 217 100 pada lahan sawah, Rp 8 068 200 pada lahan kering pola kredit, dan Rp 7 737 700 untuk lahan kering pola swadana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara 0.1133 sampai 1.1291, dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. (2004). Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC > 1. Namun, usahatani di Kabupaten tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR < 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif. Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga
33
aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707 per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif. Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.
34
35
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Teoritis
3.1.1 Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi pengusahaan komoditi dapat didapat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. a. Teori Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian/Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (memiliki kerugian komperatif) (Salvatore, 1997). Tahun 1933 Eli Heckscher dan Bertil Ohlin melakukan perbaikan
36
terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dari perbaikan tersebut dihasilkan suatu teorema Heckscher-Ohlin (H-O) yang menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut, dan pada saat yang sama mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Teorema H-O menonjolkan perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masingmasing negara. Sehingga teorema H-O memberikan penjelasan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvatore, 1997). Keunggulan suatu komoditi diukur berdasarkan biaya oportunitas. Haberler, 1936 menyatakan bahwa biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama (Salvatore, 1997). Biaya oportunitas ini kemudian dikenal sebagai shadow price atau social cost yang menggambarkan nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk altematif penggunaan terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan (Gittinger, 1986). Menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang dapat dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif maka komoditi tersebut efisien secara ekonomi.
37
b. Teori Keunggulan Kompetitif Kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan pada kondisi perekonomian aktual. Oleh karena itu, untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan kondisi perekonomian aktual digunakan konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial). Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). menyatakan bahwa konsep yang lebih sesuai untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif. Kelayakan finansial menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas ekonomi tersebut. Sedangkan kelayakan ekonomi menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi tanpa melihat lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas tersebut (Gittinger, 1986). Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat bagi ekonomi suatu negara secara keseluruhan. Sedangkan komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat hanya bagi pelaku yang terlibat dalam industri tersebut. Menurut Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang mempunyai keunggulan kompetitif dapat bersaing di pasar internasional apabila memiliki empat faktor. Keempat faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut (Halwani, 2002):
38
1. Keadaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta infrastruktur 2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu. Keadaan permintaan terdiri dari komposisi permintaan rumah tangga, ukuran dan pola pertumbuhan permintaan rumah tangga, pertumbuhan pasar domestik dan kecenderungan permintaan internasional 3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional 4. Strategi perusahaan itu sendiri, struktur serta sistem persaingan antar perusahaan Dalam perencanaan dan pengembangan produksi suatu komoditi tertentu oleh suatu negara atau perusahaan, sebaiknya digunakan kedua konsep, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. 3.1.2 Kebijakan Pemerintah Sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alokasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alokasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan mengacu pada distribusi pendapatan antara berbagai golongan atau wilayah, yang menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al, 2004).
39
Terdapat dua bentuk kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tiga tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi melalui pemberlakuan tarif atau kuota. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengenai Perjanjian Pertanian atau Agrement on Agricultural (AoA) maka setiap negara anggota harus mengurangi distorsi-distorsi perdagangan pertanian, seperti subsidi domestik, subsidi ekspor dan akses pasar. Untuk subsidi domestik, dalam pelaksanaannya diuraikan 'menjadi tiga kotak perlakuan yaitu kotak hijau (green box), kotak kuning (amber box) dan kotak biru (blue box). Perlakuan pada kotak hijau meliputi kebijakan bantuan pertanian secara umum, seperti penelitian dan pengembangan, pengendalian hama dan penyakit, keamanan pangan serta bantuan pangan domestik. Perlakukan pada kotak hijau menghasilkan dampak yang minimum terhadap perdagangan dan dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan. Perlakuan pada kotak kuning meliputi kebijakan bantuan harga tertentu yang ditujukan kepada petani. Perlakukan ini dihitung pada produk dengan dasar
40
produk dan harus diturunkan sebesar 20 persen untuk negara maju hingga tahun 2000 dan 13.3 persen untuk negara berkembang hingga tahun 2004. Sedangkan untuk negara kurang berkembang dikecualikan dari ketentuan ini. Perlakuan pada kotak biru adalah pembayaran langsung di bawah program pembatasan produksi dan bebas dari pengurangan. Hal ini tidak perlu dikurangi karena dianggap berhubungan dengan faktor produksi tetapi tidak untuk dikaitkan dalam hal penetapan harga dan volume hasil. Kesepakatan lain dalam perjanjian WTO adalah pengurangan subsidi ekspor sebesar 66.67 persen untuk negara berkembang dalam 10 tahun dan pengurangan volume dan pengeluaran anggaran masing-masing 20 persen dan 36 persen dalam enam tahun untuk negara maju. Kesepakatan terakhir dari perjanjian pertanian adalah bahwa semua anggota WTO harus mengubah hambatan non-tarif menjadi hambatan tarif dan menetapkan tingkat minimal untuk pangsa impor. Adanya berbagai kesepakatan di atas maka setiap negara anggota WTO wajib memenuhi semua kewajiban yang diharuskan melalui penetapan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Setiap kebijakan subsidi maupun kebijakan perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang diproduksi oleh suatu negara. a. Kebijakan Terhadap Harga Output Intervensi pemerintah pada kebijakan output dibagi menjadi delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menampilkan dua instrumen kebijakan harga output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan
41
oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak. Subsidi (positif dan negatif) bertujuan untuk membuat perbedaan antara harga domestik dan harga di pasar dunia dalam rangka melindungi produsen dan konsumen dalam negeri. Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output Instrumen Kebijakan subsidi: 1. Tidak mengubah harga pasar dalam negeri 2. Mengubah harga pasar dalam negeri Kebijakan perdagangan seluruhnya mengubah harga pasar dalam negeri
Dampak terhadap Produsen
Dampak terhadap Konsumen Subsidi kepada produsen: Subsidi kepada konsumen: 1. Pada barang-barang impor 1. Pada barang-barang (S+PI, S-PI) impor (S+CI, S-CI) 2. Pada barang-barng ekspor 2. Pada barang-barang (S+PE, S-PE) ekspor (S+CE, S-CE) Hambatan pada barang Hambatan pada barang impor (TPI) ekspor
Sumber : Monke and Person, 1989
Keterangan : PI = Produsen barang impor
CI = Konsumen barang impor
PE = Produsen barang ekspor
CE = Konsumen barang ekspor
S+ = Subsidi
TPI = Hambatan pada produsen barang impor
S- = Pajak
TCE = Hambatan pada konsumen barang ekspor
Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan pada impor maupun ekspor suatu komoditi. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri karena harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989). Adapun berbedaan tersebut adalah:
42
1. Implikasi pada anggaran pemerintah Kebijakan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah karena pemerintah harus mengeluarkan dana untuk subsidi komoditi yang bersangkutan. Kebijakan subsidi negatif atau pajak akan menambah anggaran pemerintah, karena pemerintah mendapat tambahan penerimaan dari para wajib pajak. Sedangakan, kebijakan perdagangan tidak mempunyai dampak terhadap anggaran pemerintah. 2. Tipe alternatif kebijakan Kebijakan subsidi mempunyai delapan tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Subsidi positif terhadap produsen barang impor. b. Subsidi negatif terhadap produsen barang impor. c. Subsidi positif terhadap produsen barang ekspor. d. Subsidi negatif terhadap produsen barang ekspor. e. Subsidi positif terhadap konsumen barang impor. f.
Subsidi negatif terhadap konsumen barang impor.
g. Subsidi positif terhadap konsumen barang ekspor. h. Subsidi negatif terhadap konsumen barang ekspor. Kebijakan perdagangan terdiri dari dua tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Hambatan terhadap barang impor. b. Hambatan terhadap barang ekspor. 3. Tingkat kemampuan penerapan. Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan terhadap komoditi yang tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi, dapat diterapkan ke semua komoditi baik komoditi tradable maupun komoditi non
43
tradable. Salah satu kebijakan yang banyak diterapkan pemerintah adalah kebijakan subsidi positif' terhadap produsen barang impor. Pemerintah menginginkan pertumbuhan output hasil pertanian dalam negeri dan melakukan subsidi terhadap produksi komoditi tersebut dari anggaran pemerintah. P S
PP 33 P 3W 33
A C
3
B D
Q Q1 Q2 Q3 33 33 33 Gambar 1. Subsidi Positif terhadap Produsen Barang Impor 3 3 3 Sumber: Monke and Person, 1989
Kebijakan subsidi positif terhadap produsen barang impor akan meningkatkan transfer kepada produsen menjadi Pp lebih yang tinggi dari harga internasional Pw. Hal ini akan menyebabkan peningkatan output domestik dari Q 1 menjadi Q2. Konsumsi domestik tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar Q3, karena harga yang diterima konsumen tetap sebesar Pw. Kebijakan ini menyebabkan penurunan impor dari Q3 – Q1 menjadi Q3 – Q2. Tingkat subsidi per unit yang diterima produsen adalah Pp - Pw dan dikenakan pada tingkat produksi Q2. Total transfer dari pemerintah kepada produsen adalah Q2 x (Pp - PW) dan diperlihatkan oleh area PpABPw. Transfer tersebut menciptakan adanya efisiensi yang hilang dalam ekonomi. Hal tersebut
44
dikarenakan pemerintah tidak memilih penggunaan sumberdaya yang langka untuk dialokasikan pada tingkat harga yang terbentuk sebesar Pw. Biaya impor untuk komoditi Q2 – Q1 adalah sebesar Q1CBQ2. Kebijakan subsidi oleh pemerintah akan
meningkatkan produksi domestik untuk
mensubstitusi jumlah impor dengan nilai sumberdaya domestik yang digunakan memproduksi sebesar Q2 – Q1 adalah area di bawah kurva penawaran, yaitu Q1CAQ2. Efisiensi yang hilang akibat adanya subsidi positif terhadap produsen barang impor dapat ditunjukkan dengan perbedaan antara biaya sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan produksi domestik Q1CAQ2 dengan opportunity cost dari impor sebesar Q1CBQ2, atau area CAB. b. Kebijakan Terhadap Harga Input Selain kebijakan terhadap output, kebijakan pemerintah juga diterapkan pada input (pupuk, pestisida, dan sebagainya) baik input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan. Intervensi pemerintah pada input non tradable berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input tersebut hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah berupa kebijakan-kebijakan dalam perdagangan input juga akan mengubah variabel-variabel seperti halnya pada output. Gambar 2(a) menunjukkan adanya pajak pada input yang menyebabkan peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik mengalami penurunan dari Q1 menjadi Q2 dan kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, yang merupakan perbedaan output yang hiang dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1.
45
1. Kebijakan input tradable. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.
P
P S’
S’ S C
A
C
PW
PW
S
A B
D
D B Q2
Q1
(a) S - II
Q
Q1
Q2
Q
(b) S + II
Gambar 2. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber: Monke and Person, 1989
Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Kondisi perdagangan bebas menunjukkan harga yang berlaku adalah Pw dan tingkat produksi yang dihasilkan adalah Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah dan penggunaan input intensif sehingga kurva penawaran (S) bergeser ke kanan bawah dan produksi mengalami kenaikan dari Q1 menjadi Q2. Sedangkan efisiensi yang hilang karena adanya subsidi tersebut adalah ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.
46
Salah satu kebijakan input tradable yang ditetapkan pemerintah untuk industri gula adalah subsidi pupuk. Kebijakan subsidi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani tebu dan industri gula. 2. Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah pada input non tradable, berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah pajak dan subsidi. Pd adalah harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi. Pc merupakan harga di tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Harga di tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah sebesar Pp. P
P S
C
Pp
S
C
Pc
A
Pd
Pd
B D
Pp
A
Pc
B
E
E
D
Pp’ Q3
Q2
Q1
(a) S - N
Q
Q1
Q2
Q
(a) S + N
Gambar 3. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
Gambar 3 (a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan
47
harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang diukur dari perbedaan antara kemampuan konsumen untuk membayar (Q 2CAQ1 ) dan biaya sumberdaya produksi (Q2CAQ1) terhadap perubahan output yang dihasilkan. Sehingga efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen sebesar BCA. Gambar 3(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya subsidi menyebabkan produk yang dihasilkan meningkat menjadi Q2. Harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi yaitu Pp, sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang diukur dari besarnya biaya produksi yang dikeluarkan akibat penambahan output (Q1ACQ2) dengan kemampuan konsumen membayar terhadap perubahan produk yang dihasilkan (Q 1AEQ2). Sehingga efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE. Kebijakan untuk input non tradable antara lain adalah kebijakan tenaga kerja berupa penetapan upah minimum. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja . 3.1.3 Structural Adjusment (Penyesuaian Struktural) Harris (2006) menyatakan bahwa penyesuaian (adjusment) adalah istilah untuk menggambarkan proses perubahan ekonomi. Pada sektor pertanian, istilah ini sering digunakan untuk merefleksikan keputusan yang diambil petani untuk mengubah penggunaan input dan outputnya. Istilah ini digunakan dalam konteks
48
jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selama ini penyesuaian dalam bidang pertanian dapat diobservasi sebagai perubahan makro ekonomi yang terjadi dalam bentuk pergerakan sumberdaya di antara sektor-sektor ekonomi. Gambaran jelas dari konsep ini adalah terjadinya penggantian dari tenaga kerja pertanian dengan modal. Tren ini berhubungan dengan migrasi tenaga kerja dari desa ke kota. Konsep dari penyesuaian juga berlaku terhadap perubahan karakteristik struktural jangka panjang dalam industri pertanian. Penyesuaian dalam hal ini menggambarkan perubahan dalam penggunaan input dan perubahan output industri ketika petani secara individual beradaptasi terhadap peristiwa ekonomi yang menentukan perkembangan industri tersebut. Penyesuaian dapat diaplikasikan dalam menggambarkan keputusankeputusan manajemen jangka pendek yang dibuat oleh petani sebagai respon dari perubahan kondisi pasar di industri yang berbeda. Umumnya para petani bersifat adaptif dan tahan terhadap perubahan dalam kondisi fisik dan finansial yang mempengaruhi pendapatan mereka. Respons dari para petani inilah yang mendorong perubahan jangka panjang dalam karakteristik struktural dari industri tertentu. Penyesuaian struktural dalam industri pertanian sering digambarkan sebagai proses dimana para petani dipaksa untuk meninggalkan sektor pertanian sebagai akibat dari faktor eksternal. Ini adalah persepsi yang dikaitkan dengan tekanan untuk meningkatkan performa pertanian untuk mencapai pendapatan yang memuaskan.
49
Hal ini adalah perspektif yang terbatas dari proses yang lebih berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan industri.Kenyataannya, proses perubahan struktural tidak dapat dihindari sebagai dampak perkembangan ekonomi. Semua sektor ekonomi merupakan subjek terhadap tekanan – tekanan perubahan dan pertanian adalah salah satunya. Menggunakan istilah sederhana penyesuaian struktural merujuk kepada perubahan dalam penggunaan sumberdaya yang digunakan oleh sebuah industri sebagai respon dari peristiwa ekonomi. Hal ini adalah proses yang berkesinambungan yang mempengaruhi seluruh industri pertanian. Seiring waktu, sumberdaya akan bergerak masuk dan keluar dari industri tergantung dari perubahan pada kondisi pasar (Harris, 2006). Dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses ini, adalah: 1. Penyesuaian industri, yaitu cara pelaku – pelaku
industri bereaksi
terhadap peristiwa ekonomi dan perubahan dalam pasar nantinya. 2. Perubahan struktural, yaitu bagaimana respon penyesuaian kolektif dari entitas – entitas individual mengubah besaran dan karakteristik struktural dari suatu industri.
3.1.4
Policy Analysis Matrix (PAM) Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas. yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan serta pemasaran (Monke and Pearson, 1989). Jika dibandingkan dengan perhitungan yang konvensional, dengan
50
menggunakan PAM, perhitungan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Sedangkan kelemahan dari alat analisis ini adalah tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas di berbagai daerah dengan beragam tipe usahatani dan teknologi. Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas. Metode analisis ini diperkenalkan oleh Eric A. Monke dan Scott R. Pearson pada tahun 1989.
3.1.5 Analisis Sensitivitas Dalam analisis kelayakan proyek pertanian, baik secara finansial maupun ekonomi, terdapat empat faktor yang sangat sensitif terhadap suatu perubahan. Keempat faktor tersebut adalah harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya dan perubahan hasil. Untuk melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat perubahan faktor tersebut maka perlu dilakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas membantu dalam menemukan unsur yang sangat menentukan hasil proyek (critical elements), sehingga membantu perhatian orang pada variabel-variabel yang penting untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil ketidakpastian. Tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika terjadi suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau manfaat. Kadariah et al, (1976) menyatakan bahwa analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
51
1. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut. 2. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuktikan proyek tidak dapat diterima. Namun, analisis sensitivitas memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. Tidak dapat digunakan dalam pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial dan hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu. 2. Analisis sensitivitas hanya mengidentifikasi apa yang akan terjadi jika terdapat perubahan biaya atau manfaat dan bukan untuk menentukan kelayakan suatu proyek.
3.2
Kerangka Pemikiran Konseptual Keragaan atau kondisi industri gula sangat dipengaruhi oleh kondisi
permintaan gula dan potensi sumberdaya yang menjadi faktor produksi bagi industri gula, seperti lahan, tenaga kerja dan lain-lain. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah terhadap input maupun terhadap output juga mempengaruhi kondisi industri gula dari sisi produksi maupun produktivitas. Untuk mengetahui kondisi industri gula dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri gula, maka digunakanlah matriks PAM. Sebelum melakukan perhitungan dengan menggunakan matriks PAM. Maka perlu diketahui terlebih dahulu penentuan input dan output yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi, harga finansial dan harga bayangan baik output maupun input, serta alokasi biaya tradable domestik dan non tradable. Setelah semua hal
52
di atas diketahui maka dilakukan analisis finansial dan analisis ekonomi. Hasil dari analisis finansial dan analisis ekonomi dimasukkan ke dalam matriks PAM. Hasil perhitungan dengan menggunakan matriks PAM akan didapatkan beberapa nilai atau koefisien yang akan menunjukkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah. Analisis sensitivitas untuk mengidentifikasi apa yang akan terjadi apabila terdapat perubahan dalam biaya dan manfaat akibat adanya kondisi perekonomian yang berubah. Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya maka akan diketahui kelemahan dari struktur ekonomi gula yang menyebabkan biaya tinggi (inefisiensi). Perubahanperubahan struktural yang mempengaruhi industri gula kemudian dibandingkan dan dianalisis structural adjusment yang dapat diterapkan untuk mengurangi inefisiensi pada struktur ekonomi gula nasional, terutama peran kebijakan pemerintah untuk “memfasilitasi” penyesuaian struktural industri gula di Indonesia.
53
Industri Gula Jawa Timur
Usahatani Tebu
Produksi Tebu
Pabrik Gula
Biaya Usahatani
Biaya Tataniaga
Biaya Pengolahan
Analisis Finansial
Analisis Ekonomi Analisis PAM Daya Saing Dampak Kebijakan Pemerintah
Analisis Sensitivitas
Structural Adjustment
Implikasi Kebijakan Gambar 4. Diagram Kerangka Pemikiran Konseptual
Produksi Gula
54
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kabupaten Situbondo, Lumajang dan Jember di
Jawa Timur. Pemilihan Jawa Timur dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa sebagian besar produksi gula Indonesia bersumber dari Jawa Timur dan Kabupaten yang dipilih mewakili keberadaan PG besar dan kecil serta memiliki jumlah petani rakyat yang cukup banyak. Penelitian berlangsung dari November 2007 – Februari 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang diambil terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani tebu, pengelola pabrik gula, peneliti P3GI, ketua APTRI, AGI, dan importir. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia.
4.3
Metode Pengambilan Contoh Petani reponden di masing-masing lokasi dipilih berdasarkan jenis bibit
dan jenis lahan dengan menggunakan metode (purposive sampling). Pemilihan responden petani yang dipilih berdasarkan dari agroklimat lahan (lahan sawah dan tegalan) dan juga jenis bibit bibit (bibit PC, kepras1, kepras 2 dan kepras 3). Total, ada 16 petani responden, yang 4 diantaranya juga menanam di lahan sawah dan lahan tegalan. Responden petani yang diwawancara di Situbondo total
55
sebanyak 8 petani dan 6 petani di Jember dan 2 di Lumajang. Selain responden petani, data yang didapat dari petani responden diverifikasi oleh beberapa responden ahli diantaranya ketua APTR, peneliti P3GI, Administratur PG dan staf, untuk mendapat nilai yang umum (central tendencies). Pemilihan pabrik gula dan importir gula dilakukan secara porpusive dengan pertimbangan PG yang dipilih mewakili keadaan umum PG besar dan kecil. PG besar yang dipilih yaitu PG Semboro yang memliki kapasitas giling 4 500 ton tebu per hari (tth) dan PG kecil diwakili oleh PG Wringin Anom dengan kapasitas giling 1 100 tth. Pemilihan kedua PG tersebut juga didasarikan oleh PG yang masih menggiling tebunya sehingga dapat diamati proses penggilingan tebunya. Pelabuhan yang dijadikan acuan adalah pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
4.4
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy
Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya intervensi pemerintah serta dampaknya pada usahatani tebu, pengolahan tebu dan pemasaran tebu dan gula secara keseluruhan dengan sistematis. Analisis daya saing komparatif didapatkan dari perhitungan Rasio Sumberdaya Domestik (DRC), sedangkan keunggulan kompetitif didapat dari perhitungan Rasio Biaya Privat (PCR). Setelah analisis PAM dilakukan maka akan terlihat dari usahatani tebu yang sebaiknya dilakukan structural adjusment.
4.4.1. Policy Analysis Matrix (PAM) Model atau kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta
56
(private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efisiensi ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit) adalah dengan menggunakan model Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM). Menurut Monke dan Pearson (1989), model PAM dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan (revenue), biaya-biaya (costs), dan keuntungan (profit) dalam produksi sektor pertanian secara luas. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah: 1.
Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang di dalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar).
2.
Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia.
3.
Output bersifat tradable, sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik.
4.
Eksternalitas diasumsikan tidak ada. Menurut Monke and Pearson (1989), kontruksi model PAM disajikan pada
Tabel 3. Terdapat tiga isu yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah dengan model PAM, yaitu : 1. Dampak kebijakan terhadap daya saing (competitiveness) dan tingkat profitability pada tingkat usahatani. 2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage). 3. Pengaruh kebijakan penelitian pertanian pada perbaikan teknologi.
57
Model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan. Pertama, tingkat keuntungan atau profitabilitas (profitability) yang merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya-biaya. Kedua, pengaruh penyimpangan atau divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar) yang merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya terjadi jika divergensi tersebut dihilangkan. Analisis kebijakan pemerintah dilakukan dengan pendekatan penggunaan sumberdaya domestik dan input tradable. Metode analisis yang digunakan adalah PAM yang merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi dalam pengusahaan berbagai aktivitas usahatani secara keseluruhan dan sistematis. PAM dapat digunakan untuk mengestimasi biaya, pendapatan dan daya saing komoditas usahatani di tingkat petani dalam arti keunggulan komparatif serta identifikasi dampak kebijakan pemerintah.
Tabel 3. Kontruksi Model Policy Analysis Matrix
Komponen
Penerimaan (Revenues)
Harga Privat (Private prices) Harga Sosial (Social prices) Pengaruh divergensi (Effects divergensces)
A
Biaya (cost) Input Faktor Tradable Domestik B C
Keuntungan (Profits) D1
E
F
G
H2
I3
J4
K5
L6
Sumber: Monke and Pearson (1989)
Keterangan : 1. Keuntungan privat (D) = A - B - C, 2. Keuntungan Sosial (H) = E - F- G, 3. Transfer Output (I) = A – E, 4. Transfer Input (J) = B – F, 5. Transfer Faktor (K) = C – G, dan 6. Transfer Bersih (L) = D – H = I – J = K.
58
Tahapan dalam menggunakan metode PAM adalah: 1. Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani. 2. Penentuan harga bayangan (shadow price) dari input dan output usahatani. 3. Pemilahan biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik, 4. Penghitungan penerimaan dari usahatani. 5. Penghitungan dan analisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan PAM. 4.4.1.1 Identifikasi Input dan Output Usahatani Tebu Input dalam usahatani tebu adalah bibit tebu, pupuk, lahan, tenaga kerja, dan pestisida. Lahan dalam penelitian ini dibagi menjadi lahan sawah dan lahan tegalan. Jenis bibit dibagi menjadi dua yaitu bibit plantation cane (PC) dan bibit yang berasal dari keprasan (kepras.) Output dalam dalam usahatani tebu ini adalah gula. 4.4.1.2 Penentuan Harga Bayangan Setiap input dan output pada penelitian ini ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga pasar dan harga bayangan. Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang diterima pengusaha dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan merupakan harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Perhitungan harga bayangan dalam penelitian ini menggunakan penyesuaian seperti dilakukan Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan
59
dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijaksanaan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga, dan lain-lain. Dalam penelitian ini untuk komoditas yang diperdagangkan akan didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini diekspor digunakan harga Free On Board (FOB) dan untuk komoditi yang diimpor digunakan harga Cost Insurance Freight (CIF). 1. Harga Bayangan Output. Harga bayangan output adalah harga output yang terjadi di pasar dunia apabila diberlakukan pasar bebas. Harga bayangan output untuk komoditi ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan yaitu harga FOB. Sedangkan harga bayangan output untuk komoditi impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF. Gula di Indonesia merupakan komoditi impor maka di gunakan harga CIF. 2. Harga Bayangan Sarana Produksi Pertanian. Perhitungan harga bayangan saprotan dan peralatan yang tradable sama dengan perhitungan harga bayangan output, yaitu dengan menggunakan harga perbatasan (border price), yaitu untuk komoditi ekspor digunakan harga FOB, dan untuk komoditi impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF. 3. Harga Bayangan Tenaga Kerja. Menurut Gittenger (1986) dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya. Harga bayangan tenaga kerja terdidik dihitung sama dengan harga privatnya, sedangkan harga bayangan tenaga kerja tidak terdidik dihitung berdasarkan harga privat yang
60
disesuaikan dengan nilai produktivitas marjinalnya. Tenaga kerja padsa usahtani tebu umumnya tenaga kerja tidak terdidik, maka harga bayangan tenaga kerja dilakukan penyesuaian melalui pendekatan perhitungan tenaga kerja yang dilakukan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. 4. Harga Bayangan Lahan. Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui tiga cara; pertama pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, kedua nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan ketiga nilai tanah yang hilang karena proyek. Gittinger (1986), menentukan harga bayangan lahan dengan pendekatan nilai sewanya. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan akan dipakai seperti yang diusulkan Gittinger (1986), yakni dengan nilai sewanya. 5. Harga Bayangan Modal Penentuan harga bayangan modal di dekati berdasarkan nilai suku bunga pinjaman komersil di Bank setempat. Saat penelitian dilakukan diketahui nialai suku bunga adalah sebesar 16% akan tetapi dilakukan penyesuaian karena modal yang diterima petani tidak bersifat langsung tetapi diterima secara bertahap berdasarkan tahapan penanaman. Oleh karena itu harga bayangan didapat sebesar 12%. 6. Harga Bayangan Nilai Mata Uang. Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi bersaing sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan
61
nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang, semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan. Keseimbangan nilai tukar uang dapat didekati dengan menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku (Rosegrant (1987) dalam Oktaviani (1991).
SERt
Xt Mt OERt , dimana SCFt ( X t TX t ) ( M t TM t ) SCFt
dimana: SERt
= nilai tukar bayangan tahun t (Rp/US$)
SCFt
= standard conversion factor (faktor konversi standar) tahun t
Xt
= nilai ekspor Indonesia tahun t (Rp)
Mt
= nilai impor Indonesia tahun t (Rp)
TMt
= pajak impor dan bea masuk tahun t (Rp)
Berdasarkan perhitungan, pada musim tanam 2006/2007 diperoleh nilai ratarata official exchange rate (Rp/US$) sebesar 9 150 dan Faktor Konversi baku SCF sebesar 0.991, sehingga nilai tukar bayangan (SER) sebesar Rp 9 235.
4.4.1.3 Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Input yang digunakan dalam proses produksi dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan domestic factor (non tradable goods). Tradable goods adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan domestic factor adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Selain itu ada barang-barang yang tidak diperdagangkan (non tradable) tapi di dalamnya terdapat komponen asing (indirectly traded) seperti peralatan.
62
Input yang paling dominan dalam usahatani adalah lahan dan tenaga kerja. Kedua input ini digolongkan ke dalam input yang tidak diperdagangkan, sehingga dimasukkan ke dalam komponen biaya domestik 100 persen. Bibit tebu yang di gunakan dapat berupa bibit baru atau tebu keprasan. Bibit digolongkan ke dalam input domestik karena menanam dari bibit yang dikembangkan sendiri oleh PG atau P3GI, kemudian bibit yang digunakan berasal dari tebu keprasan maka digolongkan dalam komponen biaya domestik. Pestisida, herbisida, bahan bakar dan pupuk merupakan barang yang diperdagangkan oleh karena itu dimasukkan dalam komponen input tradable.
4.4.1.4 Perhitungan dan Analisis PAM Kriteria analisis kebijakan yang dihasilkan PAM adalah sebagai berikut: 1. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) = C/(A – B) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan berapa banyak sistem produksi usahatani tebu dapat menghasilkan untuk membayar semua faktor domestik yang digunakannya, dan tetap dalam kondisi kompetitif. Keuntungan maksimal akan diperoleh jika sistem produksi usahatani tebu mampu meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila nilai PCR < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani tebu mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. 2. Domestic Resources Cost (DRC) = G/(E – F)
63
Merupakan rasio biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya, dalam mata uang asing (US$). Nilai DRC merupakan salah satu kriteria kemampuan sistem usahatani dalam membiayai faktor domestik pada harga sosialnya atau kriteria dari efisiensi ekonomi relatif dari suatu sistem produksi. Nilai DRC merupakan kriteria keunggulan komparatif dari usahatani tebu. DRC > 1 sistem produksi usahatani tebu dinilai tidak mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, sehingga lebih baik melakukan impor saja daripada memproduksi sendiri, karena sistem produksi usahatani dinilai akan memboroskan sumberdaya yang langka. DRC < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani tebu makin efisien dan memiliki daya saing di pasar dunia, sehingga dinilai memiliki peluang ekspor yang makin besar. 3. Transfer output (OT) = A – E Transfer output adalah selisih antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output privat dengan harga output sosial. OT > 0
besarnya transfer dari konsumen kepada produsen, artinya produsen akan menerima harga jual yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya sehingga konsumen dirugikan.
OT < 0
konsumen menerima insentif dari produsen dan dalam hal ini petani atau produsen yang dirugikan.
4. Nominal Protection Coefficient of Output (NPCO) = A / E
64
Koefisien proteksi nominal terhadap output merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial dan merupakan indikasi adanya transfer output. NPCO menunjukkan besarnya dampak kebijakan pemerintah yang mengakibatkan divergensi antara harga privat dan harga sosial atau output. NPCO >1 petani tebu menerima subsidi atas output di pasar domestik di atas harga efisiennya (harga pasar dunia). NPCO <1 terjadi pengurangan penerimaan petani akibat kebijakan output, seperti adanya pajak. 5. Input Transfer (IT) = B – F Transfer input adalah selisih antara input tradable pada harga privat dengan biaya input non tradable pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. IT > 0
harga sosial input asing lebih rendah akibat tarif impor, akibatnya petani harus membayar lebih mahal
IT < 0
ada subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar secara penuh korbanan sosial yang harusnya dibayar oleh petani.
6. Nominal Protection Coefficient of Input (NPCI) = B/F Koefisien proteksi nominal terhadap input merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan hara sosial, dan merupakan indikasi transfer input.
65
NPCI menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan harga sosial untuk input asing NPCI>1
pemerintah menaikkan harga input asing di pasar domestik di atas harga efesiennya (harga dunia).
NPCI<1
petani menerima subsidi atas input asing
7. Factors Transfer (FT) = C – G Nilai transfer faktor merupakan perbedaan harga antara harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk membayar input non tradable. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah (biasanya dalam bentuk kebijakan subsidi) terhadap produsen input domestik. FT > 0
ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik
8. Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A – B)/(E – F) Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien proteksi output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik dan merupakan transfer kebijakan dari pasar produk dan input tradable. EPC > 1
dampak
kebijakan pemerintah
memberi
dukungan
dengan
menaikan harga output dan atau input tradable di atas harga efisien. EPC < 1
kebijakan pemerintah tidak berjalan efektif.
9. Transfer bersih (NT) = D – H
66
Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani. NT > 0
terdapat tambahan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output
NT < 0
terdapat penurunan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output.
10. Koefisien profitabilitas (PC) = D/H Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial dan merupakan indikasi yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, input asing dan input domestik PC > 1
secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen
PC < 1
kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima petani produsen lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa kebijakan.
11. Rasio subsidi bagi produsen (SRP) = L/E SRP merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP menunjukkan besarnya proporsi penerimaan dalam harga dunia yang dapat meng-cover subsidi atau pajak.
67
SRP < 1
kebijakan pemerintah menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosialnya.
SRP > 1
kebijakan pemerintah menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya sosialnya.
4.4.2 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas atas parameter-parameter yang penting seringkali amat membantu dalam melakukan analisis sebuah sistem usahatani. Perubahan yang terjadi pada harga input akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap keuntungan dibandingkan dengan perubahan harga output. Hal ini disebabkan oleh karena input tertentu hanya merupakan bagian kecil dari total biaya, sedangkan perubahan harga output akan mempengaruhi pendapatan secara keseluruhan. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan mengubah nilai output gula dan juga perubahan pada beberapa input seperti rendemen, produktivitas, dan kredit. Berdasarkan perubahan nilai tersebut kemudian dianalisis perubahannya terhadap nilai rasio PAM.
68
V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1
Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan
tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dari 59 PG yang ada di Indonesia. Total produksi gula Jawa Timur sebanyak 1 075 792 ton, atau sebesar 46.6 persen dari total produksi nasional pada tahun 2005/2006. Produksi tebu yang dihasilkan di Jawa Timur adalah sebanyak 14 665 500 ton atau mencakup 48.5 persen dari total produksi tebu nasional. Jika dilihat dari total kapasitas terpasang, industri gula jawa Timur memiliki total kapasitas terpasang terbesar di Indonesia yaitu 90 430 ton tebu per hari dari total 197 840 tth (P3GI, 2007).
5.2
Kabupaten Situbondo Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten yang berada di
Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Jawa bagian utara, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo. Secara geografis Kabupaten Situbondo berada pada posisi 7 0 35’- 70 44’ lintang selatan dan 1130 30’-1140 42’ bujur timur. Luas wilayah Kabupaten Situbondo adalah 1 638.50 km2 atau 163 850 hektar. Kondisi fisiknya berbentuk memanjang dari barat ke timur 140 km dengan rata-rata lebar wilayah 11 km. Kabupaten Situbondo berada pada ketinggian 0-1.250 m di atas permukaan air laut. Temperatur daerah ini 24,70 C-27,90 C dengan rata-rata
69
curah hujan 994 mm-1.503 mm per tahunnya sehingga daerah ini tergolong kering. Umumnya keadaan tanah menurut teksturnya tergolong sedang 96,26%, tergolong halus 2,75% dan tergolong kasar 0,99%. Drainase tanah tergolong tidak tergenang 99,42%, kadang-kadang tergenang 0,05% dan selalu tergenang 0,53%. Jenis tanah di Kabupaten Situbondo antara lain berjenis alluvial, regosol, gleysol, renzine, grumosol, mediteran, latosol dan androsol. Bagian terbesar tanah di Kabupaten Situbondo terbentuk dari jenis tanah latosol seperti di Kecamatan Sumber Malang sedangkan bagian terkecil adalah dari jenis tanah regosol seperti yang terdapat di Kecamatan Mangaran. Jenis tanah dan sebarannya merupakan keunggulan yang berbeda dengan kabupaten lain sehingga pembangunan sektor pertanian dan industri yang
berbasis
sumberdaya
alam
banyak
yang
dikembangkan, salah satunya adalah industri tebu. Secara administratif Kabupaten Situbondo terdiri dari dari 17 Kecamatan dan dari 17 Kecamatan tersebut hanya 13 Kecamatan yang memiliki pantai. Jumlah kelurahan dan desa masing-masing adalah 4 kelurahan dan 132 desa. Tanaman tebu dibudidayakan hamper di semua kecamatan tersebut pada berbagai skala luasan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Situbondo adalah lahan sawah. Tahun 2007 lahan sawah tersebut seluas 30 405.95 hektar. Dilihat dari perkembangannya dari tahun 2005 samapai 2007 lahan sawah di wilayah Situbondo mengalami penurunan yaitu dari 31 638.50 hektar menjadi 30.405,95 hektar. Luas lahan kering justru mengalami peningkatan dari 26 765.30 hektar menjadi 27 997.13 hektar. Sebaliknya untuk penggunaan lahan lainnya dari tahun 2005 sampai 2007 mengalami luasan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
70
Tabel 4. Perkembangan Luas Wilayah Situbondo Menurut Penggunaan Lahan di Kabupaten Situbondo
(Ha)
Penggunaan Lahan
Luas 2005
2006
2007
Sawah
31 638.50
31 638.50
30 405.95
Pertanian tanah kering
26 765.30
26 765.30
27 997.13
414
414
414
1 780.26
1 780.26
1 768.26
73 407
73.407
73 407
174
174
174
Tambak/kolam
1 875.30
1 875.30
1 875.30
Padang rumput/tanah kosong
7 464 10
7 464.10
7 6464.10
Tanah tandus/rusak/tambang
17 052.10
17 052.10
17 502.10
2 841
2 841
2 841.72
438.44
438.44
438.44
Kebun campuran Perkebunan Hutan Rawa/danau/waduk
Pemukiman Lain-lain Sumber: BPS Situbondo 2005, 2006, 2007
Perkembangan usahatani tebu di Kabupaten Situbondo dilihat dari luas panen dan produktifitas menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Luas areal panen dari tahun 2003 sampai 2007 mengalami peningkatan dari 7.2 ribu hektar menjadi 8.3 ribu hektar. Produktifitas gula juga mengalami peningkatan, yaitu dari 59.1 kuintal per hektar menjadi 64.8 kuintal per hektar, seperti yang terlihat pada Tabel 5. Peningkatan terjadi karena adanya peningkatan rendemen pada tebu. Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Situbondo pada tahun 2007 sebesar 638.5 ribu jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 390 jiwa per km2 . Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2007 sebanyak 342.2 ribu jiwa dan 180.8 ribu (52,67%) jiwa bekerja di sektor pertanian. Persentase tersebut
71
menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian. Hal tersebut menggambarkan bahwa Kabupaten Situbondo merupakan wilayah agraris.
Tabel 5. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Usahatani Tebu di Kabupaten Situbondo Tahun
Luas Tanam
Luas Panen
Produksi Gula
Produktifitas Gula
(Hektar)
(Hektar)
(Kuintal/Hektar)
(Kuintal/Hektar)
2003
7.209
7.209
42.624
59,1
2004
6.812
6.812
40.345
56,2
2005
6.182
6.182
39.398
53,7
2006
6.237
6.237
33.717
54,1
2007
8.311
8.311
53.872
64,8
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2006, 2006 dan BPS Situbondo, 2007
5.3
Kabupaten Lumajang Kabupaten Lumajang merupakan wilayah yang terletak pada 112°53' -
113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Lumajang adalah 1790.90 km2 atau 3.74% dari luas Provinsi Jawa Timur. Luas tersebut terbagi dalam 21 Kecamatan yang meliputi 197 Desa dan 7 keluraha. Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga gunung berapi, yaitu: Gunung Semeru (3.676 m), Gunung Bromo (3.295 m) dan Gunung Lamongan (1.668 m). Kabupaten ini sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Jember dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.
72
Ketinggian daerah Kabupaten Lumajang bervariasi dari 0-3.676 m dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100-500 m dari permukaan laut 63 405.50 hektar (35.40%) dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0-25 m di atas permukaan laut yaitu 19 722.45 hektar (11.01%) dari luas keseluruhan Kabupaten Lumajang. Secara umum keadaan drainase di Kabupaten Lumajang cukup baik mengingat keadaan topografi yang bervariasi kemiringannya. Berdasarkan klasifikasi lereng (kemiringan), wilayah Kabupaten Lumajang termasuk kategori: datar (0-2%) seluas 87 199.59 hektar (45.9%) , landai-agak miring (2-15%) seluas 1 459.57 hektar (17.57%), miring-agak curam (15-40%) seluas 28 827.89 hektar (10.10%) dan curam-sangat curam (lebih dari 90%) seluas 36 602.65 hektar. Keadaan topografi di Kabupaten Lumajang yang bervariasi mulai datar sampai curam menguntungkan dari aspek ketergantungannya. Pengaturan air yang baik dan berfungsinya saluran pengairan, menyebabkan daerah tidak tergenang kecuali jika terjadi bencana alam. Penentuan iklim di Kabupaten Lumajang didasarkan pada sistem Shcmidt dan Ferguson. Sistem ini hanya membandingkan jumlah bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan klasifikasi Shcmidt dan Ferguson terdapat tiga macam iklim di Kabupaten Lumajang. Tipe pertama adalah iklim tipe C, yaitu iklim yang bersifat agak basah. jumlah bulan kering rata-rata kurang dari tiga bulan dan buah-buahan lainnya adalah bulan basah dengan jumlah curah hujan bulanan lebih dari 100 mm. Sektor pertanian merupakan tulang punggung kegiatan penduduk Kabupaten Lumajang. Luas lahan sawah di wilayah ini adalah 34 042 hektar. Hal ini didukung dengan daerah yang dekat dengan gunung berapi yang laharnya menyuburkan tanah di wilayah Lumajang. Keberadaan gunung yang menyediakan
73
lahan subur juga memberikan keuntungan lain bagi Lumajang. Mata air yang mengalir dari lereng gunung dan belum terpolusi menjadi sumber air utama bagi pengembangan pertanian organik.
Selain penghasil tanaman pangan, Lumajang juga menjadi daerah produsen sayuran dan buah-buahan. Buah-buahan yang dihasilkan lumajang, pisang berukuran besar/pisang agung menjadi salah satu daya tarik. Pisang ini menjadi bahan baku pembuatan keripik dan sale pisang. Sentra penanaman pisang agung terletak di Kecamatan Senduro. Kegiatan di bidang perkebunan turut pula memberi andil pada perekonomian daerah, seperti kakao, kelapa, karet, tebu, kopi, cengkeh, tembakau, dan kapas. Tebu juga merupakan hasil perkebunan terbesar kedua setelah pisang yang dihasilkan di Kabupaten Lumajang. Menurut BPS (2007), luas perkebunan di Kabupaten Lumajang mengalami penurunan yaitu menjadi hanya seluas 11 473 hektar. PG Semboro berada di Desa/Kecataman Semboro, Kabupaten Jember. Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth. Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses
74
dari sulfitasi dan remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.
5.4
Pabrik Gula Semboro PG Semboro berada di Desa/Kecataman Semboro, Kabupaten Jember.
Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth. Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses dari sulfitasi menjadi remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.
5.5
Pabrik Gula Wringinanom Beroperasi sejak masa kolonial,
sebelum restrukturisasi BUMN
Perkebunan tahun 1996 PG yang administratif masuk wilayah Kabupaten Situbondo ini menjadi unit usaha PTP XXIV-XXV. Sejalan perubahan frontal pada tatanan di semua aspek kehidupan dan lingkungan, termasuk tidak adanya
75
lagi kawasan tata ruang budidaya tebu dan kebebasan petani untuk mengusahakan tanaman apa saja yang dinilai paling menguntungkan, namun PG Wringinanom tetap eksis dan terus berkembang. Pengembangan areal terus dilakukan, baik TS maupun TR, seirama kapabilitas PG untuk menggiling tebu lebih banyak. Sasaran utama adalah daerah sawah berpengairan teknis yang secara agronomis juga digunakan untuk budidaya padi dan palawija. PG Wringinanom meyakini bahwa melalui penerapan agroekoteknologi, kecukupan agroinputs, penataan masa tanam, dan perbaikan manajemen tebang-angkut, produktvitas yang meningkat akan menjadi daya tarik bagi petani untuk menjadikan tebu sebagai komoditas alternatif. Selain itu, pengembangan juga dilakukan ke lahan kering sepanjang air dapat dipompa secara artesis. Upaya menarik animo petani juga dilakukan melalui perbaikan kinerja pabrik dan kelancaran giling.
Sadar akan pentingnya tebu rakyat dalam pemenuhan kebutuhan bakan baku dan pengembangan PG lebih lanjut, pelayanan prima kepada petani teru diupayakan dengan sebaik-baiknya. Secara periodik, PG menyelenggarakan Forum Temu Kemitraan (FTK) guna membahas berbagai persoalan yang dihadapi petani, baik di luar maupun dalam masa giling. Dalam upaya peningkatan produktivitas, PG Wringinanom antara lain melakukan optimalisasi masa tanaman dan penataan varietas menuju komposisi ideal dengan proporsi antara masak awal, tengah dan akhir dengan sasaran berbanding 30-40-30. Melalui kebun semacam ini, petani diharapkan dapat belajar lebih banyak tentang pengelolaan kebun melalui best agricultural practices.
76
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu Produktivitas tebu tanam awal di lahan sawah sebesar lebih tinggi daripada
produksi tanam awal dilahan kering. Demikian pula produksi tebu pada tanam awal (bibit) lebih tinggi dari pada produksi tebu yang berasal dari kepras 1. Produksi tebu dari bibit di lahan sawah sekitar 120 ton/ha, sedangkan produksi tebu dari kepras 1, 2, dan 3 berturut turut 110, 100, dan 95 ton/ha. Produksi tebu di lahan tegalan untuk dari bibit sekitar 100 ton/ha, sedangkan produksi untuk kepras 1, 2, dan 3 berturut turut adalah 90, 80, dan 75 ton/ha. Selain itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308.4 ribu hektar menurun menjadi 214 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun yang sama untuk Luar Jawa, dari 125.3 ribu hektar meningkat menjadi 137.2 ribu hektar (Malian, et al; 2004). Meskipun produksi tebu pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan pada tegalan, kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu lahan sawah di Jawa jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan
77
manajemen usahatani yang dibarengi kebijakan pemerintah terhadap insentif harga gula dan penyediaan kredit usahatani. Di sisi lain, Pulau Jawa juga merupakan sentra produksi beras, sehingga akan bersaing ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada.
6.2
Biaya Produksi Usahatani Tebu Biaya usahatani tebu terdiri dari biaya untuk pembelian bibit terutama
untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lain. Komponen biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, kletek, tanam, kepras, pemeliharaan dan tebang, muat, angkut (TMA). Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik. Rata-rata biaya TMA per ton tebu adalah Rp 45 000 – Rp 50 000. Tabel 6. Struktur Biaya usahatani Tebu Struktur Biaya
Sawah Bibit
SR1
SR2
SR3
(%) Tegalan Bibit
TR1
TR2
TR3
Pupuk Bahan Bakar
5.16 0.53
7.34 0.64
7.52 0.66
7.91 0.69
6.59 0.67
9.29 0.82
9.58 0.84
9.74 0.85
Pestisida Tenaga Kerja Modal Lahan Bibit
0.62 40.70 7.41 36.87 8.19
0.76 48.30 7.41 34.93 0.00
0.78 47.20 7.41 35.80 0.00
0.82 48.43 7.69 37.66 0.00
0.80 47.26 7.41 26.15 10.46
0.96 55.46 7.41 25.27 0.00
0.99 54.29 7.41 26.07 0.00
1.01 53.67 7.41 26.49 0.00
0.51
0.62
0.64
0.67
0.65
0.79
0.81
0.83
Pajak
Biaya tenaga kerja untuk usahatani tebu di lahan tegalan lebih tinggi dari pada lahan sawah disebabkan pemeliharaan tanaman di lahan tegalan lebih intensif dari pada di lahan sawah, seperti kegiatan pemupukan, kletek dan bumbun. Biaya sewa lahan di lahan sawah juga lebih tinggi dari lahan tegalan.
78
Tabel 7. Biaya Usahatani Tebu di Lahan Sawah Struktur Biaya
Sawah Bibit
Pupuk
(Rp)
SR1
SR2
SR3
1 260 000
1 470 000
1 470 000
1 470 000
Bahan Bakar
129 000
129 000
129 000
129 000
Pestisida
152 500
152 500
152 500
152 500
Tenaga Kerja
9 936 000
9 678 000
9 228 000
8 282 000
Modal
1 808 200
1 484 360
1 448 360
1 430 360
Lahan
9 000 000
7 000 000
7 000 000
7 000 000
Bibit
2 000 000
0
0
0
Pajak
125 000
125,000
125,000
125,000
Total
24 410 700
20 038 860
19 552 860
18 588 860
Biaya untuk bibit pada kepras tidak ada, hal ini disebabkan karena kepras berasal dari keprasan bibit pertama. Biaya pupuk untuk kepras juga menjadi lebih besar karena tanaman kepras memerlukan pupuk yang lebih banyak. Biaya sewa lahan pada kepras lebih rendah dari tanaman bibit karena waktu panen yang lebih pendek. Tabel 8. Biaya Usahatani Tebu di Lahan Tegalan Struktur Biaya Pupuk Bahan Bakar Pestisida Tenaga Kerja Modal Lahan Bibit Pajak Total
6.3
Tegalan Bibit 1 260 000 129 000 152 500 9 036 000 1 416 200 5 000 000 2 000 000 125 000 19 118 700
TR1 1 470 000 129 000 152 500 8 778 000 1 172 360 4 000 000 0 125 000 15 826 860
(Rp) TR2 1 470 000 129 000 152 500 8 328 000 1 136 360 4 000 000 0 125 000 15 340 860
TR3 1 470 000 129 000 152 500 8 103 000 1 118 360 4 000 000 0 125 000 15 097 860
Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Keuntungan
finansial
(privat)
merupakan
indikator
daya
saing
(competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau
79
efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Usahatani tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan). Pada musim tanam 2006/2007, usahatani tebu di dua kabupaten di Provinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan seperti terlihat pada Tabel 9. Namun demikian tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan privat usahatani tebu bekisar antara Rp. 4.7 juta sampai Rp.7.9 juta per hektar. Keuntungan usahatani tebu secara finansial menurut tipe lahan dan tipe bibit bervariasi. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan produktivitas tebu di lahan sawah lebih besar daripada di lahan tegalan, sementara tanaman awal (bongkar kepras) dan kepras 1 lebih besar dibandingkan dengan kepras 2 dan seterusnya. Keuntungan usahatani tebu secara ekonomi dapat dipandang sebagai cerminan efisiensi ekonomi suatu usaha. Berdasarkan data menunjukkan bahwa meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan tetapi secara ekonomi tidak demikian. Usahatani tebu merugi secara ekonomi. Kerugian bervariasi antara Rp 2 902 536 sampai dengan Rp 5 689 459. Hal ini disebabkan karena biaya input tenaga kerja yang dibayarkan petani lebih tinggi dari harga sosialnya. Tenaga kerja merupakan input yang sangat mempengaruhi dalam usahatani tebu karena proporsinya mencapai 40 hingga 55 persen dalam struktur biaya usahatani tebu. Sementara harga sosial outputnya lebih rendah dibanding harga privatnya. Perbedaan nilai keuntungan secara finansial dan ekonomi ini merupakan petunjuk adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah atau ketidaksempurnaan pasar gula dan industri gula.
80
Tabel 9. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Berdasarkan Jenis Lahan dan Tipe Bibit Penerimaan Finansial
Ekonomi
(Rp) Biaya Finansial
Keuntungan
Ekonomi
Finansial
Ekonomi
Sawah Bibit
29,823,010
19,844,948
24,410,700
25,534,407
5,412,310
- 5,689,459
Sawah R1
27,337,759
18,191,202
20,038,860
21,146,247
7,298,899
- 2,955,044
Sawah R2
24,852,508
16,537,457
19,552,860
20,642,247
5,299,648
- 4,104,790
Sawah R3
23,609,883
15,710,584
19,309,860
20,390,247
4,300,023
- 4,679,663
Tegalan Bibit
26,409,485
16,537,457
19,118,700
21,054,407
7,290,785
-4,516,950
Tegalan R1
23,785,219
14,883,711
15,826,860
17,786,247
7,958,359
- 2,902,536
Tegalan R2
21,160,952
13,229,965
15,340,860
17,282,247
5,820,092
- 4,052,281
Tegalan R3
19,848,819
12,403,092
15,097,860
17,030,247
4,750,959
- 4,627,154
Fenomena yang terjadi dalam usahatani tebu adalah keuntungan finansial yang diperoleh meningkat ditahun kedua kemudian semakin menurun ditahun ke tiga dan berikutnya. Hal ini disebabkan petani tidak lagi membeli bibit pada tahun ke dua dan seterusnya sehingga komponen biaya pada tahun kedua dan seterusnya semakin berkurang. Bibit pada tahun ke dua dan seterusnya berasal dari keprasan tebu dari panen pertama. Produktivitas panen dari keprasan semakin menurun lama semakin menurun yang menyebabkan penerimaannya semakin menurun. Harga input yang dibayar oleh petani lebih rendah, sementara harga output yang diterima petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya (sosial). Dalam usahatani tebu, pemerintah telah menetapkan kebijakan proteksi baik terhadap input maupun output untuk melindungi petani tebu di pasar domestik. Subsidi berbagai pupuk terlihat dari Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk ZA dan Phonska berturut-turut sebesar Rp 1 050/kg dan Rp 1 750/kg. Selain itu pemerintah juga menetapkan harga dasar gula petani (dana talangan) sebesar Rp 4 950/kg. Selain itu ada juga proteksi berupa penerapan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg. Dengan keterbatasan keuangan pemerintah, maka selain kebijakan
81
subsidi, pemerintah harus dengan seksama membuat kebijakan yang berkaitan dengan efisiensi terutama efisiensi pabrik gula.
6.4
Daya Saing Usahatani Tebu Daya saing dilihat dari keunggulan kompetitif dan juga komparatif.
Keunggulan kompetitif usahatani tebu ditentukan oleh keuntungan privat dan nilai rasio biaya domestik (PCR). Rasio PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi tebu. Usahatani tebu dikatakan efisien secara financial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu. Semakin kecil PCR yang di peroleh maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Data pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa koefisien PCR di semua wilayah lebih kecil dari satu, yang berarti sistem usahatani tebu mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara finansial. Namun kemampuan membayar biaya domestik tersebut untuk setiap wilayah berbeda, seperti terlihat dari koefisien PCR yang berbeda. Disamping itu terdapat kecenderungan bahwa koefisien PCR pada usahatani tebu di lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah. Berdasarkan nilai rasio PCR yang diperoleh dari matriks analisis kebijakan diperoleh nilai PCR yang berkisar antara 0.64 sampai 0.81. Nilai rasio PCR terbesar diperoleh pada tebu di lahan sawah yang ditanam dari bibit, sedangkan nilai rasio PCR terendah didapat pada tebu di lahan tegalan yang berasal dari kepras1. Nilai PCR selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.
82
Tabel 10. Rasio PAM Usaha Tani Tebu bibit
tebu sawah r1 r2
r3
bibit
tebu tegalan r1 r2
r3
1 NPCO [A/E]
1.53
1.53
1.53
1.53
1.62
1.62
1.62
1.62
2 NPCI [B/F]
0.58
0.59
0.59
0.59
0.58
0.59
0.59
0.59
3 PCR [C/(A-B)]
0.81
0.69
0.74
0.77
0.71
0.60
0.66
0.70
4 DRC [G/(E-F)]
1.24
1.10
1.20
1.26
1.20
1.05
1.17
1.26
5 EPC [(A-B)/(E-F)]
1.67
1.71
1.73
1.75
1.82
1.89
1.93
1.96
6 PC [D/H)
-1.31
-5.62
-2.28
-1.54
-2.67
-16.56
-3.75
-2.33
7 SRP [L/E]
0.49
0.53
0.53
0.54
0.62
0.63
0.64
0.64
Keunggulan komparatif usahatani tebu dilihat dari rasio DRC. Nilai DRC ini menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai koefisien DRC usahatani tebu berkisar antara 1.05 sampai dengan 1.26. Nilai DRC terkecil diperoleh dari usahatani tebu kepras 1 di lahan tegalan dan nilai DRC terbesar diperoleh dari usahatani tebu kepras3 di lahan sawah. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu secara ekonomi tidak efisien dan tidak mempunyai keunggulan komparatif karena nilai DRC lebih dari satu. Hal ini disebabkan karena nilai sosial output atau harga paritas gula jauh lebih kecil daripada harga privatnya. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena biaya input tenaga kerja yang dibayarkan petani lebih tinggi dari harga sosialnya. Tenaga kerja merupakan input yang sangat mempengaruhi dalam usahatani tebu karena proporsinya mencapai 40 hingga 55 persen dalam struktur biaya usahatani tebu. Tabel 10 menunjukkan nilai rasio DRC yang mengecil pada tahun kedua dan kemudian membesar lagi pada tahun ketiga dan ke empat. Hal ini disebabkan karena input bibit pada tahun ke dua diperoleh dari keprasan sehingga petani tidak
83
mengeluarkan biaya untuk bibit. Nilai DRC yang membesar di tahun ke tiga dan ke empat lebih disebabkan oleh produktivitas yang menurun, karena produksi tebu dari hasil keprasan semakin menurun. Nilai DRC relatif sama untuk kedua agroekosistem. Meskipun produktivitas berbeda antar antar agroekosistem namun berbeda, biaya yang dikeluarkan juga mengimbangi penerimaannya.
6.5
Dampak Kebijakan Pemerintah Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga
tujuan utama
yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan
(security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata (Monke and Pearson (1989)). Dampak kebijakan subsidi input (terutama pupuk) yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer input melalui koefisien proteksi input nominal (NPCI). Sedangkan dampak kebijakan harga output dapat dilihat dari nilai transfer output melalui koefisien proteksi output nominal (NPCO). Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Kecenderungan tersebut adalah sama untuk semua jenis bibit dan lahan. Hal ini mencerminkan
84
distribusi pupuk di Propinsi Jawa Timur cukup baik, sehingga harga pupuk di pasar antar wilayah tidak terdistorsi. Selain dari sisi input produksi, petani juga menikmati insentif harga output yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53 - 62 persen dari harga jual yang seharusnya, dengan koefisien NPCO sekitar 1.53 - 1.62 (Tabel 10). Hal ini memberikan makna bahwa produsen domestik menerima harga jual gula yang lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi dan output tersebut dinikmati oleh semua petani tebu yang berada di Jawa Timur. Pengaruh tingkat proteksi secara simultan terhadap input tradable dan harga output dapat dilihat dari besaran koefisien EPC (effective protection coefficient). Semakin besar koefisien EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas tebu. Pada Tabel, nilai EPC antar wilayah relatif sama yaitu bekisar 1.67 - 1.96 yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 67 - 96 persen. Besaran ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional. 6.6
Analisis Sensitivitas Berdasarkan perhitungan PAM sebelumnya diketahui bahwa usahatani
tebu di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRC lebih besar dari satu. Nilai rasio dalam perhitungan PAM akan berubah apabila nilai input dan output dalam usahatani berubah. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan dalam input maupun output yang dapat mengubah nilai DRC menjadi kurang dari satu sehingga diperoleh keunggulan komparatif.
85
Ada tiga simulasi yang dijalankan untuk melakukan analisis sensitivitas dalam penelitian ini, yaitu: 1. Simulasi peningkatan harga gula dunia. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui perubahan daya saing gula apabila harga gula dunia naik 25 persen, simulasi ini sesuai dengan tren peningkatan harga gula di pasar internasional yang terjadi belakangan ini seiring dengan meningkatnya harga pangan dan juga harga bahan bakar. 2. Analisis sensitivitas apabila terjadi kenaikan produktivitas 20 persen. Simulasi ini sangat relevan dengan dengan program yang dicanangkan pemerintah
(Kementerian
Pertanian),
yaitu
program
akselerasi
peningkatan produktivitas gula nasional. 3. Analisis sensitivitas apabila terjadi penurunan suku bunga kredit dari 16 persen menjadi 12 persen per tahun. Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh kredit yang diberikan terhadap daya saing. Hasil analisis sensitivitas difokuskan pada rasio PCR dan DRC. Hasil sensitivitas 1 yaitu peningkatan harga gula dunia sebesar 25 persen tidak merubah rasio PCR tapi mengubah rasio DRC <1. Analisis sensitivitas 2 yaitu peningkatan produktivitas sebesar 20 persen mengubah kisaran rasio PRC menjadi 0.5 – 0.7 dan DRC menjadi 0.76 – 0.94. Analisis sensitivitas 3 yaitu penurunan suku bunga kredit 2 persen mengubah kisaran rasio PCR menjadi 0.59 – 0.79 dan DRC menjadi 1.02 – 1.26.
86
Tabel 11. Analisis Sensitivitas PCR Rasio rasio awal PCR [C/(A-B)] sensitivitas1 PCR [C/(A-B)] sensitivitas2 PCR [C/(A-B)] sensitivitas3 PCR [C/(A-B)]
PC 0.81 0.81 0.70 0.79
Tebu Sawah r1 r2 0.69 0.74 0.69 0.74 0.60 0.64 0.67 0.72
r3 0.77 0.77 0.67 0.75
PC 0.71 0.71 0.62 0.69
Tebu Tegalan r1 r2 0.60 0.66 0.60 0.66 0.53 0.58 0.59 0.65
r3 0.70 0.70 0.60 0.68
PC 1.20 0.94 0.87 1.18
Tebu Tegalan r1 r2 1.05 1.17 0.81 0.91 0.76 0.84 1.02 1.15
r3 1.26 0.97 0.89 1.23
Tabel 12. Analisis Sensitivitas DRC Rasio rasio awal DRC [G/(E-F)] sensitivitas1 DRC [G/(E-F)] sensitivitas2 DRC [G/(E-F)] sensitivitas3 DRC [G/(E-F)]
6.7
PC 1.28 0.99 0.94 1.26
Tebu Sawah r1 r2 1.10 1.20 0.86 0.94 0.80 0.87 1.07 1.17
r3 1.26 0.98 0.91 1.23
Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional Hampir semua negara saat ini sedang mengalami permasalahan dengan
industri gulanya, baik dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Menghadapi permasalahan tersebut umumnya mereka sangat sigap dan terkoordinasi dengan sangat baik untuk segera menyiapkan alternatif pemecahan yang benar-benar dapat tetap melindungi produsen sekaligus konsumen. Sebagai contoh, permasalahan efisiensi direspon dengan perbaikan (modernisasi) teknologi usahatani maupun pabrik gula, rasionalisasi pabrik gula, privatisasi hingga merger beberapa pabrik gula menjadi satu manajemen. Permasalahan ketidakadilan pasar internasional direspon dengan peningkatan
efisiensi
produksi,
pengembangan
produk
turunan
gula,
pengembangan akses pasar dalam negeri dan luar negeri melalui hubungan bilateral dan penerapan kebijakan promosi sekaligus proteksi secara simultan.
87
6.7.1 Struktur Industri Gula Kristal Putih Nasional Awalnya, industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih. Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000an ketika harga gula dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan untuk dibangunnya pabrik gula rafinasi. Sejak saat itu struktur industri gula dibagi menjadi dua yaitu gula kristal putih dan gula rafinasi. Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja (oligopolistik). Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu dan Sugar Group Companies.
6.7.2 Industri Gula Brasil Sawit et al (2004) menyatakan bahwa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mencermati perkembangan budi industri gula di Brasil saat ini adalah pengalaman negara tersebut selama lima abad, yang tentu saja menjadi dasar pijakan yang kokoh bagi pemerintah, industri, maupun para petani tebu untuk mengembangkan sektor tersebut. Kenyataan bahwa semua pelaku industri tanaman tebu di Brasil adalah sektor swasta menjadikan budi daya tebu di Brasil sangat berorientasi pada efisiensi dan keuntungan ekonomi. Salah satu faktor yang turut berperan dalam berkembangnya industri tebu di Brasil adalah dukungan finansial kepada para pelaku di lapangan. Dengan digulirkannya kebijakan liberalisasi perdagangan di sekitar agribisnis yang diwarnai dengan makin berkurangnya campur tangan langsung pihak pemerintah,
88
saat ini yang tersisa hanyalah peran pemerintah untuk menyediakan bantuan finansial kepada petani melalui tersedianya kredit yang lebih murah dari bung pasar. Pemerintah Brasil menyerahkan pengembangan industri tebu pada sektor swasta. Privatisasi sektor tersebut terbukti telah menjadikan industri tersebut sangat efisien dan kompetitif di dunia. Kebijakan agribisnis tebu diarahkan pada usaha untuk menciptakan demand yang tinggi terhadap alkohol. Alkohol sebagai salah satu alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dinilai lebih menjajikan prospek bisnis yang lebih menguntungkan. Berdasarkan keberhasilan industri gula di Brasil maka indonesia dapat mencontoh beberapa kebijakan yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu: 1. Perlu diadakan modernisasi alat-alat produksi gula, karena sebagian besar pabrik gula di Indonesia merupakan peninggalan Belanda. Berdasarkan pengalaman dari Brasil, meningkatnya kapasitas produksi tebu dan gula sangat ditunjang oleh tersedianya alat-alat industri yang cukup modern yang kebetulan sudah diproduksi nasional. 2. Untuk efisiensi dalam penglolaan usahatani tebu dan industri gula perlu dipikirkan langkah privatisasi secara meluas dengan pola penerapan kebijakan yang berorientasi pada efisiensi dan keuntungan ekonomi secara konsisten. Pada jangka panjang langkah ini akan membentuk suatu struktur industri gula yang lebih tahan terhadap situasi persaingan perdagangan gula yang semakin tajam. Peran pemerintah hanya dibatasi sebagai fasilitator yang menyediakan insentif dan infrastruktur seperti
89
kredit, penelitian dan pengembangan dan sarana distribusi dan transportasi.
6.7.3 Industri Gula Thailand Sawit et al (2004) menyatakan bahwa kebijakan industri gula Thailand dijalankan oleh sugar Board, yang terdiri dari petani, pabrik gula, dan pemerintah. Dalam melaksanakan usahataninya, para petani tebu mendapat bantuan kredit dari Bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit sesuai dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Petani mendapat 70 persen pendapatan dari penjualan gula di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik menerima 30 persen. Selain itu, ada juga program mortgage (gadai) dimana 80 persen dari nilai produksi petani dibayar awal pada tingkat harga dasar. Dalam pemasarannya, Thailand memberlakukan sistem kuota baik untuk domestik maupun untuk ekspor. Tabel 13. Nilai dan Persentase Biaya Produksi Tebu per Hektar di Indonesia dan Thailand, Tahun 2000 Jenis Biaya Biaya Tenaga Kerja Biaya Material Biaya Variabel Lainnya Sewa Lahan Depresiasi Alat Pertanian/Bunga Bank Biaya Produksi Tebu Biaya Tebang Angkut
Thailand*) Rp
Indonesia**) Rp %
%
2.024.481 1.396.093 339.515 503.140
44,70 30,83 7,50 11,11
2.800.000 2.400.000 2.000.000
33,24 28,49 0,00 23,74
265.788
5,87
1.224.000
14,53
4.529.017
100
8.424.000
100,00
905.781
2.300.000
Sumber : *) Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (diolah) **)Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan
Biaya untuk memproduksi tebu di dalam negeri pada tahun 2000 mencapai lebih dari Rp 8 juta per hektar, di mana persentase terbesar adalah untuk biaya
90
tenaga kerja. Dibandingkan dengan Thailand, biaya produksi tebu di Indonesia adalah dua kali lipat biaya produksi di Thailand (Tabel 14).
Faktor yang
menyebabkan tingginya biaya produksi di Indonesia adalah tingginya biaya sewa lahan yang empat kali lipat dibandingkan di Thailand. Hal ini kemungkinan disebabkan sebagian besar tebu masih di tanam di lahan sawah di Jawa.
6.8
Penyesuaian Struktural Menurut Harris (2006), penyesuaian struktural merujuk kepada perubahan
dalam penggunaan sumberdaya yang digunakan oleh sebuah industri sebagai respons dari peristiwa ekonomi. Hal ini adalah proses yang berkesinambungan yang mempengaruhi seluruh industri pertanian. Dengan seiringnya waktu, sumberdaya akan bergerak masuk dan keluar dari industri tergantung dari perubahan pada kondisi pasar. Industri gula di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Beberapa hal yang mennggambarkan perubahan struktural yang terjadi adalah perubahan luasan areal, produksi tebu dan juga jumlah pabrik tebu di Indonesia.
6.8.1 Luas areal, Produktivitas dan Produksi Tebu Luas areal tebu dalam negeri cenderung terus menurun rata-rata 1.72 persen per tahun selama tahun 1993-2004. Penurunan areal tanam yang cukup drastis terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 9.9 persen, sebagai akibat dari dihapuskannya kebijakan TRI serta adanya konversi lahan. Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu dengan laju sebesar 1.42 persen per tahun. Pada tahun 1999, penurunan produktivitas mencapai 12.26 persen, yaitu dari 71.8 ton/ha menjadi 62.8 ton/ha. Semakin rendahnya luas areal dan
91
produktivitas tebu menyebabkan produksi tebu nasional juga semakin rendah. Penurunan produksi tebu nasional mencapai 3.01 persen per tahun. Penghapusan TRI menyebabkan produksi tebu pada tahun 1999 menurun drastis sebesar 21.25 persen (Tabel 15). Tabel 14. Luas Areal Tanam, Produktivitas dan Produksi Tebu Nasional Tahun
Areal (ha)
Produktivitas (ton/ha)
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
420.687 428.726 420.630 403.266 385.669 378.293 340.800 340.660 344.441 350.723 335.725 344.852
89,4 71,2 71,5 70,9 72,5 71,8 62,8 70,5 73,1 72,8 67,4 73,0
Produksi tebu (ribu ton) 37.593.146 30.545.070 30.096.060 28.603.531 27.953.841 27.177.766 21.401.834 24.031.355 25.186.254 25.533.431 22.631.109 25.172.380
Sumber : Sekretariat Dewan Gula (2005)
6.8.2 Kondisi Pabrik Gula Nasional Rendahnya produksi gula nasional antara lain juga disebabkan tidak efisiennya pabrik-pabrik Gula (PG) yang ada. Pada masa kejayaan industri gula di tahun 1930, Indonesia memiliki 179 Pabrik Gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Jumlah PG per September 2003 tercatat sebanyak 58 unit PG milik BUMN dan 6 PG milik swasta. Dari 58 PG tersebut, 46 PG berada di Jawa dan 12 PG berada di luar Jawa. Pada umumnya PG-PG beroperasi jauh di bawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (<3 000 TCD) karena mesin yang telah berumur lebih dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang
92
memadai, sehingga menyebabkan biaya produksi per kg gula tinggi. Rendemen yang dihasilkan PG-PG juga sangat menurun. Rendemen gula yang dihasilkan PG-PG selama 10 tahun (1993-2004) relatif berfluktuasi dengan rata-rata mencapai 7.24 persen, jauh lebih rendah dibandingkan 10 tahun sebelumnya (1983-1992) yang dapat mencapai 9.8 persen. Produktivitas gula yang dihasilkan PG-PG nasional selama 10 tahun terakhir (1993 – 2004) juga relatif rendah dengan rata-rata 5.12 ton/ha. Produksi gula yang dihasilkan PG-PG tersebut relatif rendah dan cenderung menurun dengan rata-rata 3.3 persen per tahun. Penurunan rendemen, produktivitas dan produksi gula yang cukup drastis terjadi pada tahun 1998, yaitu mencapai lebih dari 15 persen.
6.8.3 Kebijakan Penyesuaian Struktural Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan kebijakan yang komprehensif yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen. Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Kebijakan yang dapat dilakukan mencakup : A. Subsistem hulu: (1)
Meningkatkan produktivitas lahan, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar kepras. Kebijakan bongkar kepras
93
yang telah digulirkan hingga saat ini sudah tepat dan perlu dilakukan secara berkesinambungan, untuk melepas ketergantungan kita terhadap impor. (2)
Pengembangan areal perkebunan tebu di Jawa diarahkan pada lahan tegalan, sehingga tidak terjadi persaingan dengan produksi tanaman pangan. Pengembangan areal tebu sebaiknya diarahkan ke daerah lain (luar Jawa) yang masih potensial.
(3)
Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. Fasilitas pemerintah dalam penyediaan KKP telah banyak dinikmati petani tebu. Selain itu, KKP juga merupakan insentif bagi petani untuk menanam tebu.
C. Subsistem Hilir: (4)
Peningkatan efisiensi di hilir dapat dilakukan dengan merasionalisasi, merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua, atau dengan membangun pabrik baru di daerah yang potensial. Untuk itu diperlukan kebijakan investasi baik bagi para pengusaha pabrik gula maupun petani tebu dengan memberikan kemudahan akses kepada lembaga keuangan/investor, dan keringanan pajak impor peralatan pabrik gula;
(5)
Pengembangan industri pergulaan nasional dalam kerangka pengembangan industri berbasis tebu, dimana pengembangan pabrik gula dilakukan bersama-sama dengan pengembangan industri lainnya seperti alkohol, gula tetes dan lain-lain.
(6)
Penguatan kelembagaan melalui asosiasi kelompok tani tebu, tim pembina pelaksanaan kerjasama antara pabrik gula dan petani tebu, perlu lebih memperjuangkan bargaining position petani khususnya dalam penentuan
94
harga tebu, rendemen serta pendistribusian saprodi yang berasal dari bantuan program kemitraan pabrik gula dan petani.
95
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan mengacu pada tujuan penelitian, maka
kesimpulan yang dapat diperoleh adalah: 1.
Berdasarkan hasil analisis PAM, Usahatani tebu di Jawa Timur tidak memiliki keunggulan komparatif tapi masih memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini di tunjukkan oleh rasio DRC >1 dan rasio PCR <1.
2.
Kebanyakan produktivitas usahatani tebu di sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, sedangkan di lahan tegalan kurang dari 100 ton per hektar. Produktivitas tebu dari bibit (tanam awal) lebih tinggi dari kepras 1 dan seterusnya.
3.
Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik.
4.
Keuntungan privat usahatani tebu di lahan sawah lebih besar di banding lahan tegalan. Keuntungan usahatani tebu kepras 1 lebih tinggi dari usahatani tebu tanam awal. Hal ini disebabkan karena usahatani tebu kepras tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian input bibit baru. Keuntungan finansial usahatani tebu berkisar antara Rp.5 juta – Rp. 8 juta/ha). Meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kerugian berkisar antara Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta/ha).
96
5.
Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53-62 persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62).
6.
Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen.
7.2
Implikasi Kebijakan Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari
beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Kebijakan yang dapat dilakukan mencakup : A. Subsistem Hulu: 1.
Meningkatkan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar kepras.
2.
Pengembangan areal perkebunan tebu di Jawa diarahkan pada lahan tegalan, sehingga tidak terjadi persaingan dengan produksi tanaman
97
pangan. Pengembangan areal tebu sebaiknya diarahkan ke daerah lain (luar Jawa) yang masih potensial. 3.
Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu.
B. Subsistem Hilir: 4.
Peningkatan efisiensi di hilir dapat dilakukan dengan merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial.
5.
Pengembangan industri produk turunan tebu.
6.
Penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu dan program kemitraan antara pabrik gula dan kelompok tani.
98
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Buletin Pusat Penelitian Gula Indonesia, (148):59-85. Departemen Pertanian. 2004. Strategi Pengembangan Agrobisnis Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Dewan Gula Indonesia. 2005. Perkembangan Pergulaan Indonesia Tahun 1999 2004. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Direktorat jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Pedoman Budidaya Tanaman Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta Ernawati. 1997. Kajian Keragaman Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2001. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi, 23:1. Hafsah, M. J. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Erlangga, Jakarta Harris, D. 2006. Coping With Change-Farm Level Adjusment and Policy Reform. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic Change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne. Khudori. 2004. Gula: Rasa Neoliberalisme (Pergumulan Empat Abad Industri Gula). LP3ES, Jakarta Males, W. 2006. “Drivers of the Australian Sugar Industry’s Export Performance”. Structural Adjustment and Export Competitiveness Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne. Malian, A. H. 1999. Analisis Komparatif kebijakan Harga Provenue dan Tarif Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi, 18(1): 14-36. Mardianto, et. al. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengambangan Industri Gula Nasional. Forum Agro Ekonomi. Volume 23 No.1, Juli 2005: 19 -37. Bogor
99
Mitchell, D. 2004. Sugar Policies: Opprtunity for Change. World Bank Policy Research Working Paper 3222, World Bank. Monke, E. A. and E. S. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, London. Mubyarto dan Damayanti. 1991. Gula: Kajian Sosial – Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta Nelson, G. C. and M. Panggabean. 1991. The Cost of Indonesian Sugar Policy : A policy Analysis Matrix Approach. American Journal of Agricultural Economics, 73 (3): 703-712. Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijakan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta Pakpahan, A. 2004. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000 2004 : Pandangan Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Pearson, et.al. 2004. Aplication of Policy Analysis Matrix in Indonesian Agriculture. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Salim, H.P, et.al. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Unggulan Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta. Saptana, et. al. 2004 Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usaha Tani Beberapa Komoditas Pertanian di lahan Sawah. Prosiding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Sawit, et.al. 2004. Ekonomi Gula: 11 Pemain Utama Dunia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta
100
Sudana, W, et al. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Relokasi Sumber Daya, Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Sudana, W, et al. 2002. Efektivitas Kebijakan perlindungan Terhadap Produsen Melalui Provenue Gula. Forum Agro Ekonomi, Volume 20 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghemat Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tuy, V.V. 2006. “General Situation of Provided and Consumed Sugar in Vietnam”. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006. Melbourne.