Fokus
LINGKUNGAN BISNIS DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI GULA BUMN
(Improving The Enabling Environment For State Owned Enterprise Industry (SOE) Competitiveness)
Oleh: Ir. Subiyono, MMA Direktur Utama PT. Perkebunan Nusantara X (Persero)
26
Agrimedia
KONDISI INDUSTRI GULA NASIONAL
K
ondisi industri gula nasional saat ini terdapat 60 PG (Pabrik Gula), diantaranya 51 PG milik BUMN dan sisanya 9 PG milik swasta, yang tersebar di Pulau Jawa dan luar Jawa. Luas area total tebu giling pada tahun 2005, sekitar 436.504 Ha, dengan luas areal tebu yang dikelola BUMN sekitar 267.290 Ha atau 63% dari total dan pada tahun 2010, luas area yang dikelola BUMN meningkat menjadi 286.514 Ha. Sedangkan jumlah produksi gula BUMN tahun 2010 telah mencapai 1,38 juta ton atau sekitar 59% dari total produksi gula nasional yang mencapai 2,57 juta ton. Pada saat ini terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi industri gula nasional baik di bidang on-farm maupun off-farm. Di sektor onfarm, permasalahan yang cukup menonjol antara lain kesulitan pengembangan areal tebu yang dikarenakan persaingan yang ketat dengan komoditi lain dan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian serta pasang surut produktivitas gula nasional dan rendemennya. Saat ini kisaran rendemen tidak lebih dari 7% dan produktivitas gula hanya mampu mencapai tidak lebih dari 5 ton/ha, separuh yang dicapai pada masa lalu yang produktivitas gulanya pernah mencapai 9 ton/ha dan rendemen lebih dari 10% sebelum tahun 1980-an.
Di sisi off-farm, terkait dengan usia pabrik yang relatif lama dengan teknologi konvensional. Umumnya umur pabrik sudah lama usianya dengan kapasitas sangat terbatas. Hal ini menyebabkan pengolahan tebu menjadi gula menjadi tidak efisien. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan investasi dengan jumlah besar untuk penggantian peralatan yang rusak dan umur ekonomisnya sudah tidak layak. Di sisi pasar gula nasional yang meliputi permintaan dan penawaran, realisasi penawaran gula nasional masih belum memenuhi permintaan gula nasional pada tahun 2010. Untuk kebutuhan konsumsi langsung masih defisit 179.227 ton dan kebutuhan tidak langsung untuk industri masih defisit 2,25 juta ton. Kebutuhan ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan menjadi persoalan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan permintaan tersebut. Sebagai tindak lanjut terhadap kondisi diatas maka Pemerintah mencanangkan Revitalisasi Gula Nasional guna mencapai swasembada gula nasional pada tahun 2014. Melalui Program Revitalisasi Industri Gula diharapkan pada tahun 2014, produksi gula dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Tabel 1. Proyeksi produksi dan Konsumsi Gula Nasional
Sumber: Kementerian BUMN, 2011
Volume 16 No 2 JUNI 2011
27
Fokus
PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN PRODUKSI GULA NASIONAL Saat ini konsumsi gula nasional dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP digunakan untuk konsumsi langsung masyarakat dan GKR untuk keperluan industri. Perbedaan dari kedua jenis gula tersebut didasarkan pada standar kualitas warna gula. GKP memiliki kisaran ICUMSA antara 150-300, sedangkan GKR dengan ICUMSA dibawah 75. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebesar 236 juta jiwa membutuhkan 5 juta ton gula, yang terdiri dari 2,75 juta untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,26 juta untuk kebutuhan industri. Pada tahun tersebut, produksi gula masih belum mampu memenuhi kebutuhan nasional, kekurangan pemenuhan gula tersebut dipenuhi dengan impor gula. Dengan asumsi pertumbuhan konsumsi rumah tangga 1,83% per tahun dan konsumsi industri 5% per tahun, maka pada tahun 2014 dibutuhkan gula sebanyak 5,70 juta ton yang terdiri dari 2,96 juta untuk konsumsi langsung dan 2,74 juta ton untuk kebutuhan industri. Melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional pada tahun 2014, BUMN berkontribusi dalam pemenuhan GKP sebesar 2,32 juta ton dan Swasta 1,22 juta ton. Dengan demikian kebutuhan konsumsi langsung sebesar 2,96 juta ton dapat dipenuhi bahkan terjadi surplus sebesar 584 ribu ton. Sementara untuk pemenuhan GKR masih mengalami defisit sebesar 2,16 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut, diperlukan upaya untuk penambahan kapasitas giling 157 ribu TCD atau setara dengan 293 ribu ha luas area tebu. Bentuk upaya yang dilakukan adalah dengan direncanakan pendirian PG baru sebanyak 10 PG dengan masingmasing kapasitas 15.000 TCD atau 16 PG masing-masing kapasitas 10.000 TCD atau 20 PG masing-masing 8.000 TCD. PERAN BUMN DALAM REVITALISASI INDUSTRI GULA NASIONAL Dalam usaha untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2014, maka Pemerintah mencanangkan Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Upaya Pemerintah tersebut tidak hanya mencapai keseimbangan antara 28
Agrimedia
permintaan (supply) dan penawaran (demand) saja tetapi dalam rangkaian mencapai visi dari revitalisasi perkebunan yang berdaya saing dan berkeadilan. Oleh karenanya, paling tidak terdapat 3 (tiga) misi utama di dalamnya yaitu (a) mewujudkan agroindustri gula nasional yang berdaya saing produktif dan efisien dalam kerangka agribisnis yang berkelanjutan. (b) meningkatkan partisipasi petani, pekebun dan masyarakat dalam pembangunan perkebunan yang kondusif, bermartabat, beretika dan harmonis, dan (c) membangun perkebunan sebagai bahan bagian dari pembangunan wilayah. Perusahaan gula milik BUMN memegang peranan penting dalam penyediaan gula domestik. Selama 5 (lima) tahun terakhir, kontribusi BUMN gula berkisar antara 57-67% terhadap produksi gula nasional. Selama ini kinerja industri gula BUMN masih belum optimal baik ditinjau dari aspek produksi dan biaya. Sebagai gambaran, pada tahun 2010, dengan luas pengelolaan tebu sebesar 63%. BUMN hanya berkontribusi sebesar 55% dan rata-rata biaya produksi gula BUMN masih relatif tinggi yaitu Rp 5.000,- per kg. Kinerja industri gula BUMN perlu ditingkatkan agar mampu memberikan kontribusi yang semakin besar dalam upaya pemenuhan gula nasional. Peluang tersebut masih terbuka lebar, terutama karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1. Kebutuhan gula diperkirakan terus meningkat, dengan asumsi pertumbuhan konsumsi rumah tangga 1,83% per tahun dan konsumsi industri sebesar 5%, maka diperkirakan kebutuhan gula nasional sebesar 5,7 juta ton. Dengan demikian sebagai perusahaan gula BUMN berpeluang dalam memenuhi kebutuhan gula nasional dan mengurangi ketergantungan impor. 2. Meskipun industri gula BUMN saat ini masih belum efisien dan kinerjanya masih dibawah potensi maksimal. BUMN masih berpotensi untuk meningkatkan kinerjanya dengan perbaikan di level on-farm, off-farm, manajemen tebang angkut, peningkatan kualitas SDM serta dukungan penelitian dan teknologi. 3. Melalui pendekatan wilayah, BUMN dapat berperan dalam melakukan ekspansi industri gula di luar pulau Jawa yang kondisi agroklimatnya sesuai untuk budidaya tebu.
Penyediaan kebutuhan gula nasional tidak lepas dari peran BUMN. Perusahaan gula milik BUMN berperan besar dalam memproduksi gula nasional dengan kontribusi produksi gula untuk konsumsi langsung sebesar 54% pada tahun 2010. Peningkatan produksi gula tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2005 (past performance) terutama disebabkan oleh bertambahnya areal seluas 19.224 Ha atau meningkat 7%. Sesuai dengan Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, BUMN berupaya meningkatkan kinerja dari industri gula sehingga diharapkan mampu memenuhi swasembada gula pada tahun 2014. Upaya tersebut dalam rangka pula untuk memenuhi Revitalisasi Industri Gula BUMN yaitu (a) mengoptimalkan sumberdaya dan sumberdana yang dimiliki oleh Industri Gula BUMN, untuk mencapai keunggulan daya saing dalam suatu kerangka agribisnis yang berkelanjutan yang selaras dengan alam. (b) terwujudnya Industri gula BUMN yang merupakan salah satu agen pembangunan yang mampu meningkatkan peran serta dan kesejahteraan petani/produsen/pekebun dan stakeholder lainnya serta mendukung tercapainya kemandirian pangan dan energi. (c) terwujudnya peluang usaha dalam upaya pembangunan wilayah pedesaan dengan membuka kesempatan usaha dengan adanya multiplier effect dari kegiatan Revitalisasi Industri Gula BUMN, mampu menciptakan lapangan kerja, serta menghemat sumber devisa. (d) mendukung tercapainya Swasembada Gula Nasional dengan sasaran mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi langsung secara nasional dengan produksi 2,32 juta ton pada tahun 2014.
REVITALISASI INDUSTRI GULA BUMN Dalam merealisasikan target revitalisasi diatas maka diperlukan upaya-upaya yang perlu direalisasikan. Upaya tersebut diarahkan pada perbaikan 4 (empat) aspek utama diantaranya: Pertama, revitalisasi dilakukan dengan (a) perluasan areal tanaman tebu seluas 36 ribu ha, (b) peningkatan produktivitas menjadi 85,1 ton/ha, sehingga rata-rata hasil tebu diproyeksikan meningkat dari 79,8 ton/ha tahun 2010 menjadi 85,1 ton/ha pada tahun 2014, serta peningkatan rendemen sebesar 2,42 poin dari 6,07% pada tahun 2010 menjadi 8,49% pada tahun 2014. Dengan upaya revitalisasi tersebut, maka pada tahun 2014 perusahaan gula BUMN akan dapat meningkatkan produksi gula menjadi 2,32 juta ton atau memberikan kontribusi terhadap produksi gula (tebu) nasional sekitar 65,58%. Pada 2014, produksi gula total nasional diperkirakan akan dapat mencapai 3,54 juta ton. Kedua, dengan upaya pertama diatas, masih terdapat defisit produksi gula sebesar 2,16 juta ton. Defisit ini akan dipenuhi dengan penambahan kapasitas giling 157 ribu TCD atau setara dengan penambahan PG baru sebanyak 10 buah dengan kapasitas giling masingmasing 15.000 TCD atau 16 PG masing-masing 10.000 TCD atau 20 PG masing-masing 8.000 TCD.
Tabel 2. Target Revitalisasi Industri Gula BUMN
Sumber: Kementerian BUMN, 2011
Volume 16 No 2 JUNI 2011
29
Fokus
Tabel 3. Upaya Pencapaian Efisiensi Pabrik Gula di PTPN X (Persero) KETERANGAN
SATUAN
DUNIA
PTPN X 2010 TARGET
INDIA
Reduced mill extraction
%
98
96
92
95
Reduced boiling house recovery
%
93
92
89
92
Total sugar loses % sugar in cane
%
1.5
2
2.5
2
Steam consumption / ton cane
%
27
40
59
49
Down time (Off Farm)
%
<2
2
7.2
2.5
Sumber: Risalah Rapat Gabungan Komisaris dengan Direksi, 2011
Dengan catatan penambahan PG baru sebaiknya diarahkan untuk menghasilkan raw sugar bagi keperluan industri gula rafinasi, dikarenakan kebutuhan konsumsi gula bagi rumah tangga telah terpenuhi dari PG yang ada. Sementara rehabilitasi pabrik gula yang ada, dilakukan dengan cara amalgamasi 12 PG menjadi 4 PG, dan meningkatkan kapasitas giling PG eksisting ± 44.741 TCD dari kapasitas 126.832 TCD menjadi 171.573 TCD, serta peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas hasil produksi. Ketiga, selain upaya pembenahan di sektor on-farm dan off-farm, diperlukan pemberdayaan penelitian dan pengembangan serta peningkatan kualitas SDM. Bentuk pembenahan ini dapat dilakukan dengan menyusun Road Map Revitalisasi baik pada BUMN gula maupun PG. UPAYA PENCAPAIAN REVITALISASI INDUSTRI GULA DI PTPN X (PERSERO) Sebagai koordinator dari perusahaan gula BUMN dan dalam mensukseskan Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, PTPN X (Persero) juga telah menyusun beberapa target, upaya pencapaian dan strategi kebijakan revitalisasi gula. Pencapaian target revitalisasi PTPN X (Persero) pada tahun 2014, didasarkan pada beberapa indikator yaitu (a) pencapaian luas areal pada tahun 2014 sebesar 70.000 ha, (b) peningkatan produktivitas tebu dari 84,1 ton/ha pada tahun 2010 menjadi 90,3 ton/ha pada tahun 2014 (c) peningkatan rendemen dari 6,54% (2010) menjadi 8,58% (2014), (d) peningkatan produksi gula, sebesar 410.818 ton (2010) menjadi 578.676 (2014), serta (e) peningkatan kapasitas giling dari 36.348 TCD (2010) menjadi 42.000 TCD (2014). Target-target yang ditetapkan PTPN X (Persero) 30
Agrimedia
tersebut adalah target yang tertinggi jika dibandingkan dengan perusahaan gula BUMN lainnya, yaitu PTPN II, VII,IX, XI, XIV dan PT. RNI. Sedangkan ditinjau dari sektor keekonomian, PTPN X (Persero) juga berupaya untuk menurunkan Harga Pokok Produksi (HPP). Pada tahun 2010, realisasi HPP PTPN X (Persero) mencapai Rp 5.538,-/kg gula dan pada tahun 2014, diupayakan turun menjadi Rp 5.468,-/kg gula. Dalam mencapai target tersebut diatas terdapat beberapa upaya pencapaian yang dilakukan PTPN X (Persero) dengan berdasar pada strategi revitalisasi industri gula BUMN. Upaya pencapaian tersebut meliputi dua sektor yaitu on-farm dan off-farm. Pada bidang on-farm, meliputi perbaikan di beberapa aspek yaitu (a) bongkar tanaman ratoon, (b) rawat tanaman ratoon, (c) penyediaan Kebun Bibit Datar (KBD), (d) penyediaan pupuk, (e) kredit usahatani tebu dan (f) sarana irigasi. Sedangkan pada bidang off-farm, dengan cara (a) optimalisasi kapasitas, (b) rehabilitasi pabrik, (c) peningkatan kualitas gula dan (d) usaha diversifikasi produk. Sebagai contoh pencapaian upaya diatas, PTPN X (Persero) melakukan efisiensi PG dengan menyusun road map dengan jasa konsultan India. Hasil dari pencapaian efisiensi PG di PTPN X (Persero) dapat diketahui dalam Tabel 2. Bentuk efisensi PG merupakan upaya untuk mencapai produktivitas gula sebesar 8,42 ton/ha. Di sektor budidaya kandungan pol minimal 14% dan di sektor pabrik dilakukan efisensi proses sehingga tercapai target dari reduced mill extraction, reduced boiling house recovery, total sugar loses % sugar in cane, steam consumption/ton cane dan down time. Pencapaian efisiensi tersebut dengan membandingkan upaya yang dilakukan PTPN X (Persero) dengan standar dunia dan
industri gula di India sebagai salah satu industri gula besar di dunia. Indikator yang pertama yaitu reduced mill extraction (RME) atau pengurangan ekstraksi gilingan dari standar dunia sebesar 98%, pada tahun 2010, PTPN X (Persero) telah mencapai 92% dari target yang ditetapkan 95%. Kedua, reduced boiling house recovery (BHR) dengan standar dunia sebesar 93%, PTPN menargetkan pengurangan BHR sampai 92%. Ketiga, total sugar loses % sugar in cane atau total kehilangan gula dalam tebu, dengan standar dunia sebesar 1,5%, pada tahun 2010 PTPN X (Persero) telah berhasil mencapai 2,5% dari angka 2% yang ditargetkan. Keempat, steam consumption/ton cane atau konsumsi uap, dengan standar dunia sebesar 27%, PTPN X (Persero) menargetkan konsumsi uap 49%. Sedangkan untuk indikator terakhir yaitu down time atau jam berhenti, dengan standar dunia kurang dari 2%, PTPN X (Persero) menargetkan jam berhenti giling 2,5%. Pada tahun 2010, jam berhenti giling rata-rata mencapai 7,2%.
LINGKUNGAN STRATEGIK YANG MENDUKUNG KEBERHASILAN REVITALISASI INDUSTRI GULA Sebagai faktor yang mendukung keberhasilan Revitalisasi Industri Gula adalah pentingnya lingkungan bisnis yang strategik, terutama dalam meningkatkan daya saing agribisnis dan agroindustri di Indonesia. Lingkungan yang strategik yang kondusif merupakan kondisi yang bersifat multidimensi dan menjadi pertimbangan bagi para investor dalam melakukan investasi. Dalam kaitan tersebut peran Pemerintah menjadi sangat penting dalam penciptaan lingkungan usaha yang kondusif bagi peningkatan daya saing. Iklim lingkungan yang kondusif tersebut akan terwujud melalui keterpadauan antara kebijakan pemerintah dengan perdagangan yang kompetitif dan kinerja perusahaan yang efektif serta iklim investasi. Keterpadauan dari berbagai lingkungan tersebut akan tercipta apabila semua stakeholder saling berkoordinasi dengan baik khususnya bagi lembaga-lembaga Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Tabel 4. Kebijakan Pergulaan di Berbagai Negara NEGARA
KEBIJAKAN DASAR
ESENSI KEBIJAKAN
BRAZIL
Domestic /Price Support (US$ 743 juta/ tahun
Dukungan harga (1998)
INDIA
Essential Commodities Act1955 Produksi Distribusi Partial Price Control
Alokasi dan kontrol produksi (levy sugar) Harga terjangkau oleh konsumen (ration card) Jaminan harga tebu dan gula (levy price dan market price)
THAILAND
Price Support Production management
Dukungan harga Pengendalian/quota produksi
JEPANG
Jaminan harga (JPY 71 milyar) Tarif impor yang tinggi
Kepastian harga Membatasi impor
UNI EROPA
Common Agricultural Policy Price support Production management TRQ Safe guards Mechanism Export subsidy
Jaminan harga Pengendalian/quota produksi Pengendalian impor Pengendalian impor Penurunan penawaran di pasar domestik
AMERIKA
2002 Farm Act dan FAIR ACT of 1996 (US$ 1.9 milyar) Price Support Loan Tarrif-Rate Quota Export Subsidy Re-export pragrams Payment-in-Kind
Jaminan harga dan kredit Pengendalian impor Kompensasi ke industri berbahan baku gula Mengurangi keterkaitan kebijakan dengan distorsi yang ditimbulkan
Sumber: Pakpahan, Agus; Supriono, Agus. 2005
Volume 16 No 2 JUNI 2011
31
Fokus
Lingkungan strategik dalam bisnis meliputi faktor-faktor di dalam dan luar perusahaan yang dapat menimbulkan peluang atau ancaman bagi perusahaan. Jenis-jenis lingkungan ada 2 (dua) yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Menurut Kotler (2000), lingkungan internal adalah lingkungan organisasi yang ada di dalam suatu organisasi. Analisis pada lingkungan internal ditujukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan organisasi relatif dibanding dengan para pesaingnya, setidaknya ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam lingkungan internal yaitu: 1. Reputasi perusahaan, pangsa pasar, kepuasan konsumen, customer retention, kualitas pelayanan, efektifitas penetapan harga, efektivitas distribusi, efektivitas promosi, efektivitas tenaga penjualan, efektivitas inovasi dan daya jangkau geografis. 2. Keuangan biaya atau tersedianya modal, cash flow (arus uang tunai) dan stabilitas keuangan. 3. Produksi fasilitas, skala ekonomis, kapasitas, karyawan yang mampu dan setia, ketepatan waktu dalam berproduksi, dan keterampilan teknik produksi. 4. Organisasi kepemimpinan yang mampu dan berpandangan kedepan, para pegawai yang setia, orientasi kewirausahaan dan fleksibilitas atau kemampuan beradaptasi. Lingkungan internal dalam industri gula saat ini dapat dikategorikan meliputi (a) resistensi perusahaan terhadap masuknya teknologi baru. Perusahaan yang mampu menerima dan mengaplikasikan teknologi akan membantu menciptakan kekuatan perusahaan. Sebagai contoh, PTPN X (Persero) yang mengembangkan aplikasi Teknoalsintan (Teknologi Alat dan Mesin Pertanian) dalam kegiatan on-farm. Penerapan Teknoalsintan bertujuan untuk menanggulangi kelangkaan tenaga kerja terampil di bidang budidaya tanaman tebu, mempercepat pekerjaan, menurunkan biaya pengolahan dan menyeragamkan kualitas pekerjaan. (b) peranan petani sebagai suplai bahan baku, pelanggan, dan ketersediaan produk subsitusi. Resistensi perusahaan akan teruji apabila mampu 32
Agrimedia
memenuhi kebutuhan pelanggan, menjalin kerjasama yang baik dengan petani dan pengembangan produk gula. (c) Kompetensi perusahaan itu sendiri baik dari kompetensi SDM, ketersediaan teknologi, corporate culture, kebijakan dan bentuk organisasi perusahaan yang memiliki daya saing secara global. Jenis lingkungan lain yang berpengaruh lainnya adalah lingkungan eksternal. Pierce and Robinson (1997) menggolongkan lingkungan eksternal menjadi 3 golongan yaitu: Pertama, lingkungan jauh (remote environment) yaitu faktor ekonomi, sosial, politik, teknologi dan ekologi. Kedua, lingkungan industri yaitu hambatan masuk, kekuatan pemasok, kekuatan pembeli, ketersediaan substitusi, dan persaingan antar perusahaan. Ketiga, lingkungan operasional pesaing, kreditor, pelanggan, tenaga kerja dan pemasok. Setidaknya ada 5 faktor yang harus dipertimbangkan d a l a m menganalisis lingkungan eksternal yang dianggap memiliki pengaruh terhadap perusahaan yaitu: Pelanggan, Pemasok, Pesaing, Teknologi dan Pemerintah. Dalam industri gula nasional, lingkungan eksternal yang berpengaruh adalah lingkungan makro, khususnya kebijakan Pemerintah. Kebijakan Pemerintah yang diharapkan dalam industri gula terbagi menjadi 2 (dua) yaitu (a) pengendalian Impor, (b) jaminan dan dukungan harga. Kebijakankebijakan Pemerintah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengendalian Impor. Sebagai negara pengimpor gula terbesar ketiga di dunia, Indonesia memikul beban yang berat dalam pembiayaan impor, terutama dalam jangka 2 (dua) tahun lalu dimana dunia mengalami kelangkaan suplai gula. Kebutuhan gula untuk memenuhi kebutuhan domestik diperkirakan terus meningkat. Pada saat ini, dengan volume impor sekitar 2,20 juta ton, impor gula membutuhkan biaya sekitar USD 1,65 milyar atau sekitar Rp 14,85 trilyun, sehingga diperlukan peran Pemerintah dalam pengendalian impor dan perusahaan gula BUMN berperan dalam mengurangi ketergantungan gula impor tersebut.
2. Jaminan dan dukungan harga, transaksi gula dunia, baik penjualan maupun pembelian adalah berkaitan dengan perkembangan harga gula dunia yang dipresentasikan di Bursa Berjangka London untuk Gula Kristal Putih (GKP). Di lain sisi, posisi Indonesia sebagai salah satu importir gula terbesar di dunia menyebabkan perubahan harga di pasar global berdampak signifikan terhadap terbentuknya harga gula domestik. Dalam mekanisme pasar, harga yang dibayar konsumen pada akhirnya menerima harga yang tinggi, terlebih pada saat stok mengalami penurunan. Oleh karena itu, jaminan dan dukungan harga diperlukan dalam industri gula domestik. Dalam hal ini, Pemerintah dapat memberdayakan BULOG sebagai stabilisator suplai dan harga gula. Pemasaran melalui BULOG akan membantu dalam mengefisienkan distribusi gula dan mengurangi distorsi harga baik di tingkat produsen maupun konsumen. KEBIJAKAN PERGULAAN DI BEBERAPA NEGARA SEBAGAI REFERENSI KEBIJAKAN PERGULAAN DOMESTIK Kebijakan pergulaan yang tepat sangat dibutuhkan dalam mendukung suplai domestik dan jaminan harga bagi petani dan pasar. Untuk mengelola pasar dalam industri gula yang baik, dapat dicerminkan melalui terbentuknya harga yang relatif menguntungkan petani namun tidak memberatkan konsumen akhir (end users). Menurut Subiyono dan Wibowo (2005), beberapa instrumen kebijakan yang umumnya digunakan meliputi harga, kuota, tarif dan regulasi impor. Di samping
kebijakan-kebijakan konvensional yang umumnya menggunakan instrumen tersebut dan memandang industri gula sebagai single product industry, akhirakhir ini berkembang juga kebijakan yang secara tidak langsung mendorong berkembangnya diversifikasi produk. Kebijakan yang terakhir ini dipandang penting untuk mengarahkan industri gula menjadi multi products industry. Berikut disajikan beberapa kebijakan pergulaan di beberapa negara yang dapat dijadikan referensi sebagai kebijakan pergulaan domestik. Sebagian besar negara eksportir dan importir di dunia menerapkan kebijakan dalam bentuk jaminan harga, pengendalian produksi dan impor. Dari tabel diatas, negara-negara eksportir dan importir menerapkan kebijakan harga. Bagi negara eksportir, instrumen harga digunakan untuk menciptakan situasi pasar gula domestik sehingga tercapai harga artifisial pada tingkat yang cukup untuk mengkompensasi tingkat harga yang rendah yang diterima ekspor gula. Sedangkan bagi importir, instrumen harga digunakan untuk melindungi industri gula domestik dari persaingan dengan pasar gula dunia dan sekaligus menekan volume impor untuk menghemat devisa. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, harga gula di Indonesia hampir setiap diluar musim giling relatif lebih tinggi dibandingkan saat musim giling. Sejak tahun 1998, harga gula hampir sepenuhnya tergantung kepada mekanisme pasar yang merefleksikan hukum permintaan dan penawaran. Pada setiap transaksi termasuk GKP (white sugar) terbentuknya harga selalu dikaitkan dengan harga yang terbentuk pada bursa berjangka London. Oleh karena itu kebijakan pergulaan terutama dukungan dan jaminan harga dibutuhkan terutama pada saat harga dunia berfluktuasi. Revitaliasi Industri Gula BUMN diharapkan mampu berperan dalam upaya mengendalikan harga di tingkat konsumen dengan mekanisme pembentukan harga gula di tingkat petani melalui dana talangan sehingga mampu melindungi konsumen dan memotivasi petani tebu untuk tetap menanam tebu. Kebijakan pergulaan lainnya yang populer di beberapa negara di dunia adalah pengendalian produksi dan impor. Pengendalian produksi yang dimaksud adalah kouta produksi. Instrumen ini digunakan oleh negara Volume 16 No 2 JUNI 2011
33
Fokus
eksportir gula dunia seperti Thailand dan Uni Eropa. Kuota produksi terutama ditujukan untuk pengendalian penawaran di pasar gula domestik dan volume ekspor. Pengendalian penawaran di pasar gula domestik dimaksudkan untuk menciptakan harga artifisial. Di Thailand, harga artifisial diciptakan relatif tinggi dan cukup untuk mengkompensasi penerimaan dari ekspor, sehingga penerimaan rata-rata berada pada tingkat yang menguntungkan produsen dan merangsang tingkat produksi. Kuota impor dijalankan Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai bentuk pengaturan volume impor dari negaranegara tertentu dengan atau tanpa tarif sebagai realisasi dari kebijakan perdagangan preferensi. Sebagai contoh Uni Eropa yang menjalankan kebijakan perdagangan preferensi dengan negara-negara bekas koloni (former colonies). Sedangkan negara seperti Jepang, menerapkan instrumen tarif impor gula yang tinggi, yang tujuannya membatasi impor gula yang masuk ke pasar domestik dan menjaga harga gula di pasar domestik. DIVERSIFIKASI PRODUK MELALUI PEMBANGUNAN PABRIK BIOETHANOL SEBAGAI BAGIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA DI PTPN X (PERSERO) Diversifikasi produk adalah instrumen kebijakan pergulaan populer yang digunakan saat ini. Diversifikasi produk gula menjadi bagian penting sebagai upaya meningkatkan daya saing argibisnis gula di Indonesia.
34
Agrimedia
Karakteristik industri gula yang pada umumnya bersifat single product industry, menyebabkan kinerja perusahaan memiliki ketergantungan pada tingkat harga gula di pasar. Maka dari sisi daya saing, Indonesia hanya bertumpu pada tingkat produktivitas dan efisiensi saja. Menyadari kondisi tersebut maka industri gula BUMN merencanakan pengembangan usaha melalui diversifikasi produk. Pada dasarnya tebu merupakan tanaman yang tiap komponennya dapat diolah lebih lanjut antara lain: (a) daun, untuk makanan ternak, (b) nira yang dihasilkan, menjadi gula, molases (tetes tebu) dan hasil sampingannya berupa blotong, (c) ampas, untuk bahan bakar. Tabel 5. Skema Pabrik Bioethanol PTPN X (Persero) Rencana Lokasi Pabrik
:
PG Gempolkrep, Kabupaten Mojokerto
Bahan Baku Produksi bahan Baku
:
Tetes Tebu (molasses) 300.000-320.000 ton/tahun
Kapasitas pabrik
:
100 kL/hari
Hari Operasi
:
300 hari
Produksi Bioethanol
:
30.000 kL/tahun
Spesifikasi Produk
:
Unhydrous ethanol dengan konsentrasi 99,5%
Tekonolgi Produksi
:
Metode Repeated Batch Fermentation
Saat ini, PTPN X (Persero) sebagai industri gula BUMN terbesar di Indonesia, sedang melaksanakan proyek pembangunan pabrik bioethanol sebagai upaya diversifikasi produk tetes tebu menjadi bioethanol yang dapat meningkatkan added value dan harga jual produk. Proyek pembangunan pabrik bioethanol ini dirintis melalui MoU (Memorandum of Understanding) Model Project antara Pemerintah Jepang melalui NEDO dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian Republik Indonesia pada tahun 2010. Setelah melalui serangkaian seleksi dan penilaian, maka PTPN X (Persero) dipilih sebagai pihak penerushibahan tersebut. Dalam skema bantuan ini, NEDO menyediakan peralatan-peralatan proses utama sedangkan PTPN X (Persero) sebagai pihak
bantuan yang akan menyediakan local content portion. Saat ini, proyek pembangunan pabrik bioethanol masih terus berlangsung dan direncanakan selesai pada tahun 2012. Diversifikasi produk yang dilakukan PTPN X (Persero) ini, diharapkan menjadi contoh bagi industri gula BUMN lainnya dalam meningkatkan daya saing industri gula nasional. REFERENSI Glueck, W. F., dan Jauch, L. R. 1999. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan, alih bahasa: Murad dan AR. Henry Sitanggang, edisi ketiga, Erlangga, Jakarta. Kementerian BUMN. 2011. Revitalisasi Industri Gula BUMN Tahun 2010-2014. Kementerian BUMN, Jakarta. Pakpahan, Agus; Supriono, Agus. 2005. Ketika Tebu mulai Berbunga: Mencari Jalan Revitalisasi Industri Gula Indonesia. Sugar Observer, Bogor. Pierce II, J. A., dan Robinson Jr., R. B. 1997. Manajemen Strategic Formulasi, ImplementasI dan Pengendalian, alih bahasa : Agus Maulana, Binarupa Aksara, Jakarta. Subiyono dan Wibowo, Rudi. 2005. Agribisnis Tebu: membuka ruang Masa Depan ndustri Berbasis Tebu Jawa Timur. PERHEPI, Jakarta
Proses Packing Gula
Volume 16 No 2 JUNI 2011
35