LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING TENAGA KERJA DAN INDUSTRI
Editor : Endang S. Soesilowati
PUSAT PENELITIAN EKONOMI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
Link & match.indd i
LIPI
6/22/2010 6:38:37 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI Link and Match Dunia Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan Industri /editor Endang S. Soesilowati, Inne Dwiastuti. - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009. i-xi + 153 hlm: 15 cm x 21 cm
331 ISBN : 978-602-8659-21-5
Penerbit:
LIPI
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 0215207120 KATA PENGANTAR Fax: 021- 5262139 ii
Link & match.indd ii
6/22/2010 6:38:43 PM
Penelitian “Link and Match Dunia Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan Industri” paling tidak mengandung suatu makna penting bagi perekonomian nasional. Makna ini terutama tentang berbagai aspek dalam hubungan/keterkaitan dan kesesuaian antara dunia pendidikan sebagai supplier tenaga kerja dengan dunia kerja sebagai demand tenaga kerja. Ditengarai adanya mismatch jenis dan kualitas kompetensi supply tenaga kerja yang dihasilkan dunia pendidikan dengan permintaan (kebutuhan) tenaga kerja oleh dunia kerja. Keadaan ini jelas memperburuk keadaan over supply tenaga kerja di Indonesia yang secara langsung mengakibatkan relatif rendahnya kapasitas/daya saing tenaga kerja yang selanjutnya melemahkan daya saing dunia usaha khususnya dunia industri sebagai "leading sector" dalam perekonomian industri. Penelitian link and match tahap ini dengan analisis yang masih terbatas pada lingkup dunia pendidikan perguruan tinggi dan industri di dua lokasi Batam/Kepri dan Banten diharapkan dapat mengungkap tentang existing condition disertai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi ekonomi tersebut dan rekomendasi dalam scope terbatas. Diharapkan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif dan mendalam akan memberikan solusi efektif dalam mempertautkan kesesuaian kualifikasi tenaga kerja yang dihasilkan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha yang pada gilirannya akan berkontribusi signifikan dalam memperkuat daya saing ekonomi Indonesia. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penelitian Ekonomi – LIPI
Drs Darwin Syamsulbahri, MSc. APU
iii
Link & match.indd iii
6/22/2010 6:38:43 PM
ABSTRAK iv
Link & match.indd iv
6/22/2010 6:38:43 PM
Program link and match telah dicanangkan sejak tahun 1989, dirancang untuk menjembatani kompetensi tenaga kerja dengan kebutuhan pasar kerja. Namun demikian, berdasarkan data statistik angka pengangguran, tingginya lowongan kerja tak terisi, rendahnya kualitas pekerja, maupun hasil analisis data sakernas menunjukkkan bahwa mismatch pendidikan dan tuntutan dunia industri masih tinggi. Studi ini bertujuan mengukur implementasi link and match dunia pendidikan dan industri. Selain mengkaji berbagai kebijakan bidang pendidikan, industri, dan tenaga kerja, studi ini juga menggunakan metode survei terhadap para pekerja di beberapa industri terpilih di propinsi Kepri (Batam) dan Banten yang merupakan daerah dengan pangsa industri tertinggi, dan tingkat pengangguran yang juga tinggi. Dengan melakukan kajian tentang implementasi link and match dunia pendidikan dan industri, diharapkan dapat menghasilkan rumusan strategi untuk menyelaraskan sistem pendidikan menengah ke atas yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar kerja. Kesesusaian kompetensi dengan jenis pekerjaan, akan meningkatkan daya saing tenaga kerja dan juga industri (usaha), yang pada gilirannya akan memperkuat perekonomian nasional. Hasil studi menunjukkan bahwa program link and match masih terkonsentrasi pada penyelarasan tenaga kerja berpendidikan sekolah menengah. Istilah link and match sendiri tidak terlalu dipahami oleh beberapa narasumber dari industri terpilih. Keahlian yang dibutuhkan oleh pasar kerja tidak mengacu pada keahlian berdasarkan ijazah yang dimiliki, melainkan berbagai atribut keahlian yang tidak secara langsung diajarkan pada masa pendidikan sekolah/perguruan tinggi. Atas kuesioner yang disebarkan pada pekerja industri berpendidikan D1 ke atas, menunjukkan bahwa pekerja yang match antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya, cenderung memiliki prestasi kerja yang lebih baik dibandingkan dengan yang mismatch.
ABSTRACT
v
Link & match.indd v
6/22/2010 6:38:43 PM
The link and match program which was firstly set up in 1989 aimed to link the industry demand and labour supply. However, up to recent, the condition of mismatch between education and labour market demand still exist, as shown by statistical data in the last five years of the increasing rate of educated unemployment and unfilled job vacancies. The study aims to assess the implementation of link and match between education and industry. The methodological research applied in this study is not only evaluating educational, industrial, and employment policies, but also implies the employment survey method in several industries in Banten and Batam. The result of the study is expected to give a valuable input for the educational and industrial stakeholders in order to minimize the educated unemployment rate, and to advance worker productivity, which in turn, enhancing labour and industrial competitiveness. The research findings show that link-match program is still mainly concentrated on the secondary level. Although several industries studied do consider the skill of workers in the recruitment processes, unlike in Banten, several industries studied in Batam were not familiar with the term of link-match. The skill that they meant is not the skill that mentioned in the certificate of graduation, but it seems to be the basic skill that could not be taught in the formal school at all. Based on 200 questioners gathered from two regions (Banten and Batam) some key relevance findings show that for all items, without any exemption indicate that those workers who stated their educational background match with their current jobs will be highly likely better than those worker who stated that their educational background do not match with their current job.
vi
Link & match.indd vi
6/22/2010 6:38:43 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i ABSTRAK ...................................................................................................................iii ABSTRACT.................................................................................................................iv DAFTAR ISI .................................................................................................................v DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................ix BAB I
LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI SEBUAH PENGANTAR .............................................................................1 Oleh: Endang S Soesilowati dkk
BAB II
KENDALA DAN REALISASI KEBIJAKAN LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI .......................................... 17 Oleh: Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
BAB III POLA PENYERAPAN DAN TINGKAT PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA BERPENDIDIKAN TINGGI DI DUNIA INDUSTRI ............... 51 Oleh: Zamroni BAB IV TINGKAT KESESUAIAN KOMPETENSI PENDIDIKAN DENGAN BIDANG PEKERJAAN PADA DUNIA INDUSTRI ............................ 89 Oleh: Endang S Soesilowati BAB V
STRATEGI PENINGKATAN LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN TINGGI DAN INDUSTRI............................................125 Oleh: Darwin Syamsulbahri
vii
Link & match.indd vii
6/22/2010 6:38:43 PM
viii
Link & match.indd viii
6/22/2010 6:38:43 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Peringkat HDI beberapa Negara di Asia ................................37 Tabel 2.2 The Global Competitiveness Index: Perbandingan Ranking 2008-2009 dan 2009–2010 ........................................ 38 Tabel 2.3 Penduduk 15 + yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (juta orang) .................................40 Tabel 2.4 Penduduk Berumur 15 tahun + yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama dan pendidikan tinggi yang ditamatkan, 2007 ...........................41 Tabel 2.5 Persentase Latar Belakang Pengetahuan yang Diterapkan Dengan Pendidikan Terakhir Responden ...... 44 Tabel 3.1 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Dan Jenis Kegiatan Selama Semingu yang lalu, 2005-2009 ..................................52 Tabel 3.2 Angka Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ........................................................54 Tabel 3.3 Pencari Kerja terdaftar, Lowongan Kerja Terdaftar dan Penempatan tenaga Kerja ........................................................... 55 Tabel 3.4 Cara mendapatkan informasi utk dapat pekerjaan (%) ... 60 Tabel 3.5 Persyaratan yang sulit dipenuhi saat pertama masuk kerja......... .............................................................................. 67 Tabel 3.6 Tiga Faktor Penting Yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja.......................................................................... 70 Tabel 3.7 Intensitas Pengaruh dari Faktor Penentu produktivitas kerja ......................................................................... 71 Tabel 3.8 Latar belakang Pendidikan dan produktivitas kerja ......... 79 Tabel 3.9 Jumlah Perusahaan (%) Yang Melakukan Training Berdasarkan Kelompok ............................................................... 81 ix
Link & match.indd ix
6/22/2010 6:38:43 PM
Tabel 4.1 Persentase Responden berdasarkan Kesesuaian Latar Belakang Pendidikan dengan Jenis Pekerjaan .................... 99 Tabel 4.2 Perbandingan Persentase Responden Match dan Mismatch berdasarkan Dukungan Bekal Pendidikan .....101 Tabel 4.3 Perbandingan Persentase Responden Match dan Mismatch berdasarkan Waktu tunggu mendapatkan pekerjaan ............ ...........................................................................104 Tabel 4.4 Perbandingan Persentase Responden match dan tidak match berdasarkan Waktu Tunggu Mendapatkan Pekerjaan yang Sesuai ................................................................105 Tabel 4.5 Perbandingan Persentase Responden match dan mismatch berdasarkan Pengalaman kerja di tempat lain ......107 Tabel 4.6 Perbandingan Persentase Responden match dan mismatch berdasarkan Upah rata-rata perbulan ..............110 Tabel 4.7 Persentase Responden berdasarkan tingkat Pendidikan dan Posisi Pekerjaan menurut Gender ..................................112 Tabel 4.8 Perbandingan Responden match dan tidak match berdasarkan Posisi Pekerjaan Sekarang dan Posisi Pekerjaan Pertama Bekerja .......................................................114 Tabel 4.9 Persentase dan Sekor rata-rata Responden atas Tingkat Kesukaannya terhadap Posisi Jabatan Mereka ................ 118 Tabel 5.1 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Dan Kegiatan Seminggu Yang Lalu, 2005 dan 2008. ............134 Tabel 5.2 Pertumbuhan Tenaga Kerja Yang Bekerja, Pengangguran Terbuka, dan Angkatan Kerja, Tahun 2005-2008. (%) .....135 Tabel 5.3 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Selama Seminggu Yang Lalu Menurut Sektor Dan Pendidikan Yang Di Tamatkan, 2008. ....................................138 Tabel 5.4 Persentase Responden TK Lulusan PT Beberapa Industri Di Batam Dan Banten Berdasarkan Kesesuaian Pendidikan Dengan Jenis Pekerjaannya. ....................................................144 x
Link & match.indd x
6/22/2010 6:38:44 PM
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Persentase Responden Berdasarkan Pilihan terhadap faktor yang menentukan dalam melamar pekerjaan ....42 Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Waktu Tunggu mendapatkan Pekerjaan yang Sesuai ...43 Gambar 3.1 Proses Perekrutan Tenaga Kerja di Dunia Industri .......... 61 Gambar 3.2 Pengaruh tambahan tahun pendidikan pada Upah-laki-laki dan perempuan (%) LFS 1993-2001 ....... 75 Gambar 4.1 Model Iceberg dari Lima karakteristik pembentuk kompetensi .............................................................................. 92 Gambar 4.2 Perbandingan Persentase Kesesuaian pekerjaan Responden dengan latar belakang pendidikan berdasarkan kelompok Umur ..............................................102 Gambar 4.3 Perbandingan Persentase Kesesuaian pekerjaan Responden dengan latar belakang pendidikan berdasarkan lama kerja...........................................................106 Gambar 4.4 Tingkat Pendidikan dan Tingkat Upah berdasarkan Gender ..........................................................................................111 Gambar 4.5 Perbandingan persentase responden antara yang match dan yang mismatch terhadap tiga faktor eksternal yang paling mempengaruhi semangat kerja. ..116 Gambar 4.6 Perbandingan persentase responden antara yang match dan yang mismatch terhadap tiga faktor imbalan yang paling mempengaruhi semangat kerja. 117 Gambar 5.1 Model Triple Helix ....................................................................148
xi
Link & match.indd xi
6/22/2010 6:38:44 PM
xii
Link & match.indd xii
6/22/2010 6:38:44 PM
Sebuah Pengantar
BAB 1 LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI Sebuah Pengantar Endang S Soesilowati dkk.
Latar Belakang Jumlah angkatan kerja pada tahun 2005 mencapai 105,8 juta orang dan meningkat menjadi 113,74 juta orang di tahun 2009 atau tumbuh sebesar 1,76 % (2005-2009). Sementara, pengangguran terbuka masih terjadi sebesar 10,25 juta (2006) dan 9,26 juta (Februari 2009) dengan rata-rata penurunan per tahun sebesar -1,85 %1. Namun, jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 2004 sebesar 26 % menjadi 50,3 % di tahun 2008 (Koban, 2008). Yang lebih memprihatinkan adalah jumlah sarjana yang menganggur melonjak drastis dari 348.107 orang tahun 2004 menjadi 626.621 orang tahun 2009, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 14,03 %. Ditambah dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III, berdasarkan data Sakernas BPS tahun 2007 terdapat lebih dari 740.000 orang yang menganggur. Pada Februari 2009, sebanyak 1,11 juta orang dari 9,26 juta orang pengangguran berasal dari program Diploma dan Universitas. Di sisi lain, walaupun peranan sektor industri terhadap pembentukan ekonomi nasional menunjukkan penurunan, namun sektor industri tetap merupakan leading sector perekonomian nasional melalui kontribusi sektoralnya yang paling besar, yaitu 27,4% di tahun 2005, 27,5% tahun 2006, 27,1% tahun 2007, 26,9 % 1
Dihitung dari data Sakernas BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=06& notab=1
1
Link & match.indd 1
6/22/2010 6:38:44 PM
Endang S Soesilowati dkk
tahun 2008, dan sebesar 27,3% pada tahun 20092. Selama 2004-2009 sektor industri ditargetkan tumbuh 8,56% dan menyerap tenaga kerja setidaknya 2,6 juta orang per tahun, namun ternyata pertumbuhan industri terus menurun, yaitu hanya 7,5% tahun 2004, 5,9% tahun 2005, 5,3% tahun 2006, 5,2% tahun 2007, dan 4,4% sampai triwulan II 2008 (Kuncoro, 2008), demikian pula share penyerapan tenaga kerjanya yang cenderung menunjukkan adanya penurunan, yaitu 12,27% di tahun 2005 menjadi 12,07% di tahun 20093. Di sisi lain, persentasi lowongan kerja tidak terisi menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Data Statistik Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS, menunjukkan bahwa pada tahun 2005, 16,10 % lowongan kerja yang tidak terisi, dan pada dua tahun berikutnya (2007) meningkat menjadi 41,56 %. Mengacu kepada beberapa penjelasan di muka, maka permasalahan penting SDM di Indonesia tentu saja selain terletak pada tingginya tenaga kerja terdidik yang tidak terserap di dunia kerja, juga munculnya misallocation of human resources, yaitu adanya kesenjangan yang terjadi antara pasar tenaga kerja dan dunia pendidikan. Hal ini antara lain tersirat dalam pernyataan Dirjen Depnakertrans, Tjetje Al Anshori bahwa 70% angkatan kerja tidak mampu memenuhi kualifikasi lowongan kerja yang tersedia (dalam Job Expo, 17 Maret 2008). Pernyataan tersebut diangkat lagi oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Bersatu pertama, Erman Suparno bahwa tingginya lowongan kerja yang tidak terisi ditengarai oleh karena adanya ketidakcocokan antara kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja yang di antaranya karena kesenjangan keterampilan dan pendidikan4. 2
Angka 2007 – 2009 berturut turut merupakan angka sementara, sangat sementara, dan sangat sangat sementara http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=11¬ab=4 Dihitung dari angka SAKERNAS BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06 & notab=2 4 Pada acara diskusi Mencari Sistem Perlindungan TKI yang Efektif yang diadakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Kamis 2 Juli 2009, Pengangguran Banyak, 70% Lowongan Tak Terisi: Calon tenaga kerja yang ada hanya mampu mengisi 30 persen lowongan. http://bisnis.vivanews.com/news/read/71765-pengangguran_ banyak__70__lowongan_ tak_terisi 3
2
Link & match.indd 2
6/22/2010 6:38:44 PM
Sebuah Pengantar
Dalam menjembatani hal tersebut, sebetulnya Menteri Pendidikan Prof. Dr. Ing. Wardiman (Periode 1989-1998) telah mencanangkan program link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri5. Link and match adalah penggalian kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja ke depan. Diharapkan paradigma orientasi pendidikan tidak lagi supply minded tapi lebih demand minded (kebutuhan pasar). Program link and match meliputi dua sasaran, yaitu pada tingkat sekolah menengah, dan pada tingkat perguruan tinggi. Khusus untuk sekolah menengah, sasaran program pemerintah (cq DEPDIKNAS) mengubah proporsi siswa SMU vs SMK 70:30, menjadi 30:70. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi diharapkan adanya peran industri untuk menciptakan pelatihanpelatihan khusus bahkan bekerja sama untuk mendirikan institusi sesuai dengan jenis industri yang dikembangkan.6 Sejak tahun 1994, Dewan Pengembangan Program Kemitraan Pendidikan Tinggi (DPPKPT) mengembangkan konsep Cooperative Academic Education Program (Co-Op) yang menjalin kerjasama dengan lebih dari 62 industri, terdiri dari manufaktur, perbankan hingga telekomunikasi7. Namun demikian, pasca berjalannya program Link and Match (hampir dua dasawarsa), belum nampak hasil seperti yang diharapkan. Masih tinggi lulusan sarjana, di samping bekerja tidak sesuai dengan bidang studi, juga harus menunggu dalam waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, lowongan kerja yang tidak terisi semakin meningkat. Mengacu pada beberapa phenomena di atas, maka penelitian yang mengkaji implementasi kebijakan link and match dunia pendidikan dan industri sebagai salah satu upaya strategis untuk meningkatkan efisiensi, mutu tenaga kerja dan daya saing industri, layak untuk dilakukan. 5
Dalam Diskusi panel dan Lokakarya Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Barat pada 17 Desember 2008, beliau mengingatkan kembali perlunya program link and match. 6 Beberapa institusi yang telah ada antara lain, STTTelkom, IBI (Institut Bank Indonesia), STTI (Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil), Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (NHI). 7 Pedoman Umum Penyelenggaraan Co-op. http://kelembagaan.dikti.go.id/index.php/pedoman/141pedoman-umum-penyelenggaraan-program-co-op
3
Link & match.indd 3
6/22/2010 6:38:44 PM
Endang S Soesilowati dkk
Masalah Penelitian Tingginya angka pengangguran dapat dijelaskan dari berbagai aspek, salah satu diantaranya adalah adanya ketidak selarasan (mismatch) antara supply tenaga kerja dan demand dunia usaha (industri)8. Pada penelitian ini jawaban yang diberikan untuk menjelaskan tingginya angka pengangguran dilakukan menggunakan asumsi ketidak selarasan (mismatch) dunia pendidikan dan industri yang dikenal dengan istilah education mismatch atau education-job mismatch. Francesca Sgobbi and Fátima Suleman9 mengemukakan bahwa mismatch pendidikan terjadi oleh karena adanya heterogenitas kemampuan pekerja pada kualifikasi pendidikan yang sama. Kesadaran dari adanya heterogenitas kemampuan dari para pekerja juga telah meningkatkan perhatian para peneliti untuk memusatkan pertanyaan penelitian nya terhadap mismatch pendidikan, khususnya di Negaranegara maju. Berbagai teori dikemukakan dalam memahami fenomena mismatch pendidikan ini. Beberapa diantaranya, Sgobbi & Suleman (2007) dengan teori human capital, job matching, dan occupational mobility, Brahim Boudarbat dan Victor Chernoff (2009) menggunakan human capital, credentialism, job matching, dan technological change theory, dan Farooq, Javid, Ahmed, dan Khan (2009), mengemukakan human capital, job competition, career mobility, assignment model, signaling model, dan matching theory. Dari ketiga kelompok peneliti tersebut paling tidak terdapat dua pendekatan yang sama, yaitu teori tentang human capital dan job matching, dimana mereka berpendapat bahwa mismatch pendidikan merupakan keadaan sementara yang terjadi akibat pertukaran informasi yang kurang memadai antara pemberi kerja dan pencari kerja. Hal ini paling tidak menunjukkan 8
Daniel Münich and Jan Svejnar (2009) dalam studinya yang berjudul Unemployment and Worker-Firm Mathing: Theory and Evidence from East and West Europe dalam menjelaskan tentang pengangguran yang terjadi di Eropa Timur dan Barat, mereka mengajukan tiga macam hipotesa, yaitu mismatch, low demand, dan restrukturisasi ekonomi. Sejak tahun 1990 an mismatch terjadi hampir di semua Negara Eropa yang sedang dalam periode transisi ekonomi. 9 A methodological contribution to the measurement of skill (mis)match, draft tulisan dari Sgobbi dan Suleman yang akan dipresentasika dan didiskusikan pada Decowe Conference: Ljubljana, Slovenia, 24-25 September 2009.
4
Link & match.indd 4
6/22/2010 6:38:44 PM
Sebuah Pengantar
adanya in-effisiensi dalam alokasi sumber daya manusia (Farooq et al., 2009). Program link and match telah dicanangkan sejak tahun 1989, namun demikian berdasarkan data statistik yang menunjukkan masih tingginya angka pengangguran, tingginya lowongan kerja yang tidak terisi, dan rendahnya kualitas pekerja, maupun hasil analisis data sakernas tersebut di muka, menunjukkan bahwa mismatch pendidikan dan kebutuhan keahlian pasar kerja masih tinggi, khususnya bagi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Mismatch antara pendidikan dan pekerjaan mengakibatkan tingkat pendapatan yang lebih rendah, rendahnya kepuasan kerja, dan tingginya tingkat turnover pekerja, yang pada gilirannya mempengaruhi produktivitas pekerja (Bender & Heywood, 2006). Farooq et al (2009) menunjukkan beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang education-job mismatches bahwa hal tersebut memberikan pengaruh yang relevan terhadap efisiensi investasi pendidikan baik publik maupun swasta, karena educationjob mismatches mempengaruhi upah dan juga keluaran/hasil tenaga kerja lainnya, seperti kepuasan kerja (Hersch 1991, Groot 1996), on-thejob training (Sicherman 1991), mobilitas geografi (Dekker et al. 1996), dan turn over pekerja (Hersch, 1991 dikutip dari Farooq et.al, 2009). Hersch (1991), dan Battu, et al. (2000) telah meneliti tentang pengaruh non-moneter dari adanya job-education mismatch, dan menemukan bahwa pekerja yang overeducated dan pekerja perempuan yang undereducated menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang kurang dibandingkan dengan pekerja yang match, dan selanjutnya dia menyimpulkan bahwa pekerja yang memiliki pendidikan yang tepat memiliki premi pada kepuasan kerja (dikutip dari Farooq et.al, 2009). Namun, Allen dan van der Velden (2001), dan Green dan McIntosh (2002) menemukan bahwa mismatch dalam kualifikasi menurunkan kemungkinan pekerja untuk sangat puas, sementara mismatch dalam pendidikan tidak mempengaruhi tingkat kepuasan pekerja (dikutip dari Farooq et.al, 2009). Robst (2007) menunjukkan bahwa mismatch pendidikan dengan pekerjaan telah mengakibatkan rendahnya 5
Link & match.indd 5
6/22/2010 6:38:44 PM
Endang S Soesilowati dkk
pendapatan yang diterima pekerja.10 Dalam teori ekonomi tentang ‘Total Factor Productivity’, besaran upah/pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas pekerja yang tentu saja akan mempengaruhi kinerja industri. Berdasarkan fenomena di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian: •
Bagaimana peta permasalahan konsep dan realisasi kebijakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri?
•
Sejauhmana sistem pendidikan mengacu pada dinamika kebutuhan industri/ pasar kerja?
•
Sejauh mana konsistensi kebijakan rekruitmen tenaga kerja dan realisasi penyerapan dalam industri mengacu pada latar belakang pendidikan pekerja?
•
Bagaimana kinerja pekerja yang bekerja sesuai dengan bidang studi pendidikannya?
•
Strategi dan kebijakan seperti apa yang dapat diterapkan untuk meningkatkan link and match dunia pendidikan dan industri ?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum penelitian ini adalah menganalisa implementasi link and match dunia pendidikan dan industri, yang secara khusus mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan, yaitu: •
Memetakan permasalahan konsep dan realisasi kebijakan link and match dunia pendidikan dan dunia industri.
10
Dikutip dari Martin Nordin et al, 2008. Education-Occupation Mismatch: Is There an Income Penalty? IZA Discussion Paper No. 3806 October 2008
6
Link & match.indd 6
6/22/2010 6:38:44 PM
Sebuah Pengantar
•
Menemukenali orientasi kebijakan kurikulum Perguruan Tinggi
•
Mengungkapkan kebijakan rekruitmen tenaga kerja dan realisasi penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi pada industri
•
Menganalisis tingkat kesesuaian kompetensi pekerja dengan bidang pekerjaannya
•
Merumuskan strategi peningkatan realisasi link and match dunia pendidikan dan dunia industri.
Lingkup dan Alur Permasalahan Penelitian Dengan alasan efisiensi, efektivitas, dan ketajaman fokus penelitian, maka lingkup kegiatan penelitian link and match dunia pendidikan dan industri pada tahun 2009, dibatasi pada kajian khusus terhadap penyerapan tenaga kerja di industri (perusahaan yang bergerak pada jenis industri pengolahan) dengan tingkat pendidikan diploma (D1) ke atas. Kegiatan penelitian dimulai dengan melakukan studi literatur baik berdasarkan buku, jurnal ilmiah, media elektronik, maupun data statistik yang mengulas tentang kondisi sumber daya manusia di Indonesia yang menggambarkan adanya permasalahan dalam tingkat pengangguran, produktivitas pekerja, dan relasi antara pendidikan dengan dunia kerja, khususnya industri. Berdasarkan keadaan tersebut, penelitian ini kemudian memetakan penyebab permasalahan yang ada baik di tingkat institusi pendidikan, maupun pada industri. Hal ini diperoleh melalui kajian terhadap kebijakankebijakan yang dikeluarkan baik dalam bidang pendidikan, tenaga kerja, maupun industri. Kegiatan ini disertai dengan perolehan informasi yang menggambarkan tentang kebutuhan dan tuntutan industri. Ini dipelajari melalui kumpulan iklan lowongan kerja pada surat kabar nasional dan juga media elektronik, serta focus group discussion dengan beberapa narasumber yang mewakili dunia
7
Link & match.indd 7
6/22/2010 6:38:44 PM
Endang S Soesilowati dkk
pendidikan tinggi, industri, dan ketenaga kerjaan. Langkah studi selanjutnya mengungkapkan sejauhmana efektivitas program link and match dari kebijakan pendidikan teraplikasikan dalam dunia kerja, melalui survei yang dilakukan terhadap pekerja. Pekerja yang dijadikan sampel studi diambil dari beberapa persusahaan menengah besar pada industri pengolahan. Setelah data dan informasi yang diperoleh melalui survei terhadap pekerja selesai diolah dan dianalisa, penelitian memformulasikan beberapa strategi untuk mengoptimalkan implementasi program link and match tersebut, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas pekerja di perusahaan, sehingga memiliki dayasaing tinggi, baik bagi pekerja maupun industri. Rangkaian penjelasan tentang tahapan lingkup kajian ini dapat dilihat pada diagram alur permasalahan penelitian.
8
Link & match.indd 8
6/22/2010 6:38:44 PM
Link & match.indd 9
Kebijakan Industri
(Produk Link and Match)
Tenaga Kerja
Rekomendasi Perbaikan dan implementasi link and match
-
-
Meningkatkan implementasi program link and match dunia pendidikan dan industri Meningkatkan kinerja/produktivitas SDM Meningkatkan daya saing industri
Ͳ Tingginya Pengangguran terdidik Ͳ Tingginya lowongan kerja yang tak terisi Ͳ Rendahnya keterkaitan antara institusi pendidikan dan industri -
Goals : Formulasi strategi
Kebijakan pendidikan
Existing Condition
Alur Permasalahan
Sebuah Pengantar
Alur Permasalahan
9
6/22/2010 6:38:44 PM
Endang S Soesilowati dkk
Metode Penelitian Buku ini ditulis berdasarkan penelitian yang merupakan penelitian aplikasi kebijakan, dengan tujuan mengukur sejauhmana pencapaian program link and match diimplementasikan pada dunia pendidikan dan sesuai dengan kebutuhan industri/pasar kerja. Untuk dapat mengukur sejauhmana implementasi program link and match dunia pendidikan dan industri, maka seyogyanya informasi dari kedua belah pihak ---dunia pendidikan maupun dunia industri--- diperhatikan secara cermat. Namun demikian, tidak berarti penelitian hanya mengumpulkan informasi secara langsung terhadap kedua sumber informasi tersebut, tapi dapat pula dilakukan dengan menggali informasi dari pekerja itu sendiri sebagai objek pengguna dari implementasi program link and match. Oleh karena lingkup kegiatan penelitian dipusatkan pada implementasi program link and match dalam perusahaan (industri), melalui kebijakan penempatan pekerja dalam jenis pekerjaan serta jabatan yang tepat (the right man in the right place), maka penelitian juga menggunakan pendekatan bidang studi ekonomi sumber daya manusia. Untuk dapat mengukur sejauhmana implementasi program link and match dunia pendidikan dan industri, jenis data yang digunakan dalam penelitian berupa data kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi sumber data yang digunakan sebagai bahan analisis, penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh terutama dengan menggunakan metode survei terhadap para pekerja dengan latar belakang pendidikan D1 ke atas yang telah bekerja di perusahaan-perusahaan terpilih yang mewakili beberapa jenis industri. In-depth interview juga digunakan dalam penelititan ini dengan narasumber-narasumber terpilih dari Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian, dan para pimpinan dari Perguruan Tinggi, serta Human Resource Development (HRD) di perusahaan terpilih, serta para pakar lainnya baik dari bidang pendidikan maupun industri. Data sekunder diperoleh melalui 10
Link & match.indd 10
6/22/2010 6:38:45 PM
Sebuah Pengantar
pengumpulan dokumen kebijakan, data statistik dari publikasi resmi baik yang dikeluarkan pemerintah maupun swasta, buku, jurnal internasional, media massa, dan berbagai bahan dari internet yang mendukung analisis penelitian. Metode survei terhadap para pekerja terutama menggunakan kuesioner terstruktur dengan memberikan pilihan jawaban yang tersedia. Beberapa pertanyaan terbuka ditambahkan, untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap. Kandungan pertanyaan terutama mengungkapkan pengalaman pekerja dalam menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal yang dimiliki dalam proses perolehan pekerjaan dan pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan. Merujuk pada data share industri terhadap PDRB dan data angka pengangguran yang cukup tinggi, maka lokasi penelitian dipilih Kepulauan Riau dan Banten. Atas data karyawan di perusahaan yang diteliti, dilakukan random stratified sampling, yang mewakili pekerja dari beberapa strata posisi jabatan di perusahaan terpilih. Masing-masing perusahaan dari industri pengolahan diambil secara proporsional 100 orang pekerja dengan tingkat pendidikan D1 ke atas, dari masingmasing daerah penelitian sebagai responden, sehingga responden yang diberikan kuesioner berjumlah 200 orang. Data primer dan sekunder yang diperoleh secara kuantitatif maupun kualitatif dianalisis dan dipresentasikan dalam berbagai teknik penyajian (grafik, tabulasi) dari temuan-temuan selama penelitian berlangsung serta menganalisis hasil temuan dengan menggunakan analisis statistik. SPSS digunakan untuk data entry dan analysis. Tabulasi silang dan analisa korelasi digunakan untuk menguji variabel-variabel yang diajukan, dengan menganalisa probabilitas perbedaan dan/atau kesesuaian latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaan, pengalaman kerja, jenjang jabatan, dan juga jenis kelamin. Analisa kualitatif dilakukan berdasarkan hasil transcript in-depth interview dengan para
11
Link & match.indd 11
6/22/2010 6:38:45 PM
Endang S Soesilowati dkk
narasumber, untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi tentang strategi peningkatan implementasi program link and match yang sudah dan akan mereka lakukan. Untuk dapat menguji implementasi program link and match, penelitian ini merumuskan empat hipotesa berikut: •
Mendapatkan pekerjaan yang memiliki kesesuaian (match) dengan latar belakang pendidikan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang tidak sesuai
•
Tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap produktivitas secara berbeda bagi pekerja yang memiliki kesesuaian (match) latar belakang pendidikan dan pekerjaannya dibandingkan dengan yang tidak sesuai
•
Lebih banyak pekerja perempuan yang pekerjaannya sesuai (match) dengan latar belakang pendidikan dibandingkan dengan pekerja laki-laki
•
Pekerja yang memiliki kesesuaian (match) antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaannya memiliki tingkat kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sesuai
Pembabakan Penulisan Buku Link and Match ini disusun dalam lima bab. Bab 1, merupakan pengantar yang menggambarkan latar belakang permasalahan dan metodologi yang digunakan. Bab 2 mengungkapkan Kendala dan Realisasi Kebijakan Link & Match dunia pendidikan dan industri, yang menguraikan kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan program Link & Match dan realisasi penerapannya di dua daerah penelitian dengan menitik beratkan pada aspek penyediaan tenaga
12
Link & match.indd 12
6/22/2010 6:38:45 PM
Sebuah Pengantar
kerja yang dipusatkan pada masalah pendidikan. Oleh karenanya, pada bab tersebut juga ditampilkan tentang orientasi kurikulum khususnya kurikulum pada perguruan tinggi, dan tingkat daya saing tenaga kerja. Bab selanjutnya, menyajikan Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi pada dunia Industri. Bab 3 tersebut menganalisis sisi permintaan dunia usaha/industri terhadap tenaga kerja, yang menguraikan tentang proses perekrutan dan peranan pelatihan terhadap pekerja. Bab 4 dalam buku ini menganalisa keterkaitan antara kompetensi latar belakang pendidikan pekerja dengan jenis pekerjaan. Analisa dilakukan terhadap terutama hasil survei terhadap pekerja yang dipilih berdasarkan random pada beberapa perusahaan/industri terpilih di dua lokasi penelitian. Selain menyajikan perbandingan kondisi pekerja antara mereka yang memiliki kesesuaian/keselarasan dua variabel (pendidikan dan pekerjaan) juga dikaitkan dengan beberapa variabel inti yang dimiliki pekerja seperti pengalaman kerja, pengembangan karir, kompensasi, dan kepuasan kerja, dalam bab tersebut juga disajikan hasil pengujian empat hipotesa yang diajukan. Sebagai penutup buku ini memberikan strategi peningkatan implementasi link & match dan prospek peningkatan daya saing tenaga kerja dan industri.
13
Link & match.indd 13
6/22/2010 6:38:45 PM
Endang S Soesilowati dkk
DAFTAR PUSTAKA
Antara. 2008. Erman Suparno: Pentingnya Job Fair di Saat Krisis. (http:// indonesiabergerak.antara.co.id/news/?i=1229072346, diakses 30 Januari 2009). Bender, Keith A. dan Heywood, John S. 2006. Educational Mismatch among Ph.D.s: Determinants and Consequences. Working Paper No. 12693. National Bureau of Economic Research (http://www. nber.org/papers/w12693, diakses 11 Februari 2009). Boudabart, B dan Chernoff, V. 2009. The Determinants of EducationJob Match among Canadian University Graduates. Discussion Paper No. 4513 October 2009. IZA. Farooq, S; Javid, A; Ahmed U; Khan, M. J. (2009). Educational and Qualificational Mismatches: Non-Monetary Consequences in Pakistan. European Journal of Social Sciences – Volume 9, Number 2. HAM/DAY. 2009. Penganggur Terdidik 4,5 Juta. Kompas 16 Februari. Irwandi. Distribusi Mahasiswa berdasarkan Bidang Studi, Tingginya Angka Pengangguran Sarjana. 16 Februari 2008. (http://www. dikti.go.id, diakses 4 Februari 2009). Isfenti, Sadila. Tantangan dan Peluang Sumber Daya Manusia di Era Globalisasi. (http://digilib.usu.ac.id/download/fe/manajemenisfanti.html, diakses 30 Januari 2009) Koban, Antonius Wiwan. 2008. Mengurangi Pengangguran Terdidik. Harian Jurnal Nasional 16 September 2008. Kuncoro, Mudrajad. 2008. Strategi penyelamatan Sektor riil. Harian Seputar Indonesia, 24 Desember 2008
14
Link & match.indd 14
6/22/2010 6:38:45 PM
Sebuah Pengantar
Münich, D and Svejnar, J. 2009. “Unemployment and Worker-Firm Matching: Theory and Evidence from East and West Europe”. Policy Research Working Paper, No 4810. The World Bank Development Economics Department Research Support Unit January 2009 (http://www.cepr.org/meets/wkcn/4/4561/papers/Svejnar.pdf, diakses 15 November 2009) Nordin, Martin et al, 2008. Education-Occupation Mismatch: Is There an Income Penalty? IZA Discussion Paper No. 3806 October 2008 ELN/WKM. 2008. Perguruan Tinggi Menjadi Sumber Pengangguran. 16 Februari (http://www.dikti.go.id, diakses 4 Februari 2009). Sampoerna Foundation. Link-Match Pendidikan dan Kebutuhan Sektor Bisnis : 1st Public-Private Partnership Discussion Series. (http://www.sampoernafoundation.org/content/ view/ 882/342/ lang,id/, diakses 30 Januari 2009). Sgobbi, F and Suleman, F (2009) A methodological contribution to the measurement of skill (mis)match. A draft will be presented and discussed at the Decowe Conference: Ljubljana, Slovenia, 24-25 September 2009. (http://www.decowe.com/static/ uploadedhtmlarea/ files/A_methodological_contribution_to_the_measurement_of_ skill_mismatch.pdf. Diakses 27 januari 2010). Suara Karya. 2008. Paradigma Baru Ketenagakerjan : Penyediaan Tenaga Kerja Didasarkan pada Pendidikan. 5 Maret. __________. 2008. 70 Persen Angkatan Kerja Tak Mampu Penuhi Kualifikasi Lowongan, 18 Maret Suranto. 2006. Strategi Pembelajaran Dengan Focused Based Education. (http://eprints.ums.ac.id/84/1/JTI-0403-06-OK.pdf, diakses 30 Januari 2009)
15
Link & match.indd 15
6/22/2010 6:38:45 PM
Endang S Soesilowati dkk
16
Link & match.indd 16
6/22/2010 6:38:45 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
BAB 2 KENDALA DAN REALISASI KEBIJAKAN LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Pendahuluan Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Tingkat keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya manusia sebagai aset bangsa dalam mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh sumber daya manusia yang dimiliki. Upaya tersebut dapat dilakukan dan ditempuh melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal. Seperti telah dijelaskan pada Bab pengantar di muka, bahwa program Link and Match yang pertama kali dicanangkan oleh Menteri pendidikan periode 1989-1998 bertujuan untuk menyelaraskan orientasi pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja dengan sasaran baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Namun demikian, persoalan ketidak selarasan antara penyediaan dari dunia pendidikan dan kebutuhan 17
Link & match.indd 17
6/22/2010 6:38:45 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
dunia industri masih tetap terjadi yang antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah penganggur berpendidikan. Untuk itu, Bab ini akan mengemukakan tentang kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan program link and match di dua daerah penelitian Batam (Kepri) dan Banten, dan juga berbagai upaya yang telah dilakukan khususnya dari sisi dunia pendidikan dalam mengimplementasikan program tersebut. Selanjutnya, tulisan ini juga mengungkapkan kesenjangan yang terjadi antara ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan industri yang digambarkan melalui hasil survey terhadap 164 responden pekerja dengan latar belakang pendidikan tinggi (D1 ke atas) dari beberapa industri terpilih di dua daerah penelitian.
Kendala yang dihadapi dalam Aplikasi Kebijakan Link and Match di daerah penellitian Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap beberapa narasumber di dua daerah penelitian, kendala yang dihadapi dalam mengaplikasikan program Link & Match dapat diklasifikasikan pada uraian berikut.
Di Batam (Kepri) Istilah Link-Match tidak cukup populer bagi beberapa perusahaan dari industri terpilih. Aplikasi program Link-Match nampaknya di Batam belum optimal karena terdapat beberapa permasalahan. Pertama, masalah keterbatasan infrastruktur belajar mengajar. Keterbatasan fasilitas praktikum yang tersedia di laboratorium, pembangunan infrastruktur penunjang aplikasi dan proses belajar yang belum mencukupi terutama dikarenakan adanya kendala dana yang tersedia. Kedua, masalah kompetensi dari sdm di Batam. Kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha lebih tinggi daripada yang mampu disediakan oleh dunia pendidikan. Hal ini terutama diakibatkan oleh 18
Link & match.indd 18
6/22/2010 6:38:45 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
perubahan dan perkembangan industri yang jauh lebih cepat dan berkembang, sementara orientasi pendidikan tidak mudah melakukan penyesuaian terlebih dalam waktu yang singkat. Dicontohkan antara lain, perubahan tuntutan ketrampilan/keahlian tukang las misalnya. Pengajaran masih menggunakan bahan ajar dengan peralatan yang konvensional, padahal di dunia kerja sekitarnya sudah menggunakan perlatan kerja yang sangat modern. Ketiga, masalah kurikulum pendidikan. Kurikulum nasional kurang sesuai dengan kondisi daerah/kondisi lokal. Belum ada panduan nasional yang berfungsi untuk menjadi pedoman pengembangan kurikulum sehingga mengakibatkan pengembangan kurikulum di daerah menjadi stagnan. Selain itu kurangnya interaksi antara dunia pendidikan dan industri, mengakibatkan kebutuhan perusahaan tidak dapat diakomodir oleh dinas pendidikan setempat pada saat penyusunan kurikulum dilakukan. Hal ini mengakibatkan kurikulum yang ada relatif kurang mengimbangi perkembangan maupun kebutuhan dunia kerja, akibatnya tenaga kerja yang dihasilkan tidak siap pakai. Namun demikian, di daerah penelitian Batam, khususnya, pengembangan kurikulum langsung dilakukan oleh sekolah bersama wakil masyarakat daerah tersebut, tanpa dukungan dari pemerintah pusat maupun industri secara langsung. Keempat, kurangnya koordinasi diantara stakeholders terkait. Walaupun sudah terjadi hubungan antara dunia industri, tenaga kerja dan dinas pendidikan, namun belum ada koordinasi antara dinas industri, dinas tenaga kerja, dan dinas pendidikan maupun institusi industri. Kelima, belum ada pemetaan yang jelas dan pasti, berapa dan seperti apa tenaga kerja yang dibutuhkan dunia industri. Mayoritas industri di Batam merupakan industri perakitan sehingga tenaga kerja yang lebih dibutuhkan adalah sebatas operator yang cukup hanya tamatan smU, dan belum memiliki keahlian khusus (skilled-labour). Disisi lain, perekonomian Batam telah mengarah kepada pariwisata melalui perdagangan umum, namun tenaga untuk hal ini juga belum siap. Keenam, terbatasnya lowongan pekerjaan bagi lulusan smU, sehingga banyak yang bekerja sebagai operator di industri, padahal mereka
19
Link & match.indd 19
6/22/2010 6:38:45 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ketujuh, lulusan SMK masih banyak yang bekerja di luar bidangnya (sebanyak 50 persen) akibat keterbatasan lahan kerja yang sesuai dengan bidangnya, dan keengganan mereka untuk diberikan pekerjaan yang sama dengan lulusan SMU bekerja sebagai operator. Mereka menuntut untuk paling tidak diposisikan menjadi supervisor, padahal lowongan pekerjaan yang ada kebanyakan hanyalah menjadi operator. Selain itu, jenis SMK yang dibangun belum banyak mengacu pada jenis perusahaan yang berdiri di Batam.
Di Banten Penerapan kebijakan program link & match di Banten juga belum optimal, karena terdapat beberapa kendala. Pertama, masalah oversupply mahasiswa pada jurusan yang lapangan pekerjaannya sedikit. Misalnya di Fakultas ekonomi, Fakultas Teknik Industri, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Pendidikan (matematika dan biologi) di Universitas Tirtayasa (UNTIRTA) mengalami oversupply mahasiswa. Fenomena yang terjadi adalah justru bidang/jurusan yang masih diperlukan, peminatnya hanya sedikit. Misalnya: Fakultas Metalurgi mengalami kekurangan mahasiswa, padahal banyak tersedia lapangan pekerjaan di industri sekitar bagi para lulusan Fakultas Metalurgi. Untuk mengurangi masalah oversupply pada beberapa jurusan favorit dilakukan dengan menekan kuota penerimaan mahasiswa pada jurusan favorit tersebut dan menambah kuota penerimaan mahasiswa pada jurusan yang kurang diminati. Akan tetapi langkah ini kurang efektif, karena walaupun kuota mahasiswanya sudah ditambah, tetap saja Fakultas Metalurgi mengalami kekurangan mahasiswa. Kedua, masih tingginya kesenjangan antara kemampuan calon tenaga kerja dengan keahlian yang ditawarkan pada lowongan kerja. Ketiga, masih kurang memadainya fasilitas laboratorium di universitas, sehingga tidak mampu mengejar kecanggihan alat-alat di dunia industri. Keempat
20
Link & match.indd 20
6/22/2010 6:38:45 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
kurangnya koordinasi antara pihak industri, lembaga pendidikan, dan dinas tenaga kerja. Wajib lapor perusahaan kepada Disnakertrans kurang direspon secara baik, sehingga dinas setempat kesulitan dalam melakukan Setting Program terutama menyangkut lowongan yang dibutuhkan. Bursa kerja khusus yang dilakukan lembaga pendidikan juga tidak berkoordinasi dengan Disnakertrans. Padahal, pelatihan yang diselenggarakan Disnaker selama ini konon telah mengacu pada kurikulum sesuai kebutuhan perusahaan yang telah memberikan jaminan untuk dapat diterima kerja di perusahaan yang bersangkutan disertai dengan syarat magang bagi minimal lulusan SMU/SMK. Sebelum menggambarkan upaya atau strategi dalam menerapkan program Link and Match, penulis sajikan ulasan khusus tentang kurikulum pendidikan tinggi sebagai acuan dalam menganalisa upaya yang dilakukan beberapa kasus institusi pendidikan di kedua daerah penelitian.
Orientasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Rusman, 2009:3). Sementara itu menurut Saylor, Alexander dan Lewis (1974, dalam Rusman, 2009) menerjemahkan kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa agar dapat belajar, baik dalam ruangan kelas maupun diluar sekolah. Dilain pihak, Harold B. Alberty (1965 dalam Rusman, 2009) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggungjawab sekolah. Kurikulum dapat berisi cakupan luas dan dinilai dapat menggambarkan konsep tentang isi kurikulum (Saylor dan Alexander, 1966, dalam
21
Link & match.indd 21
6/22/2010 6:38:45 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Rusman, 2009). Menurut Saylor dan Alexander isi kurikulum adalah fakta, observasi, presepsi, ketajaman, sensibilitas, desain, dan solusi yang tergambarkan dari apa yang dipikirkan seseorang yang secara keseluruhan diperoleh dari pengamalan dan semua itu merupakan komponen yang menyusun pikiran yang mereorganisasi dan menyusun kembali hasil pengalaman tersebut ke dalam adat dan pengetahuan, ide, konsep, generalisasi, prinsip, rencana dan solusi. Dalam pandangan Zais (1976, dalam Rusman, 2009) isi kurikulum mencakup pengetahuan proses dan nilai. Hal ini dikuatkan melalui pertimbangan saat menyeleksi/menyusun kurikulum : 1) Kesadaran terhadap kedudukan pengetahuan dalam diri seseorang; 2). Kesadaran dari potensi pengetahuan yang melandasi isi (pembelajar dan pengalaman). Menurut Dewey (1996, dalam Rusman, 2009), Isi didefiniskan sebagai pencatatan dan pengetahuan (simbol, grafik, rekaman suara) yang terpisah dari potensinya untuk berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Lalu pengetahuan diterjemahkan sebagai pertambahan dan pendalaman arti.
Isi kurikulum merupakan hal yang paling mendasar dan esensial dari rangkaian kurikulum, dimana terbagi dari dua hal utama: a)
Bersifat umum Diaplikasikan kepada seluruh siswa, yang berfungsi penguatan proses interaksi dan pengembangan tingkat berpikir, mengasah perasaan dan berbagi pendekatan untuk dapat saling memahami, serta posisi siswa dalam lingkungan sekolah dan kehidupan sehari-hari.
b) Bersifat khusus Diaplikasikan untuk program-program tertentu, disesuaikan berdasar kebutuhan berbeda atau mempunyai kemampuan 22
Link & match.indd 22
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
istimewa (lebih) dibanding siswa lainnya untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. •
Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikukum (Rusman, 2009:3). Dalam pelaksanaanya, manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pelaksanaan manajemen kurikulum diberikan kepada lembaga pendidikan atau sekolah untuk mengelola kurikulumnya secara mandiri dengan memprioritaskan kebutuhan dan ketercapaian sasaran visi dan misi lembaga pendidikan atau sekolah yang bersangkutan dengan tidak mengabaikan kebijakan nasional yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan nasional berfungsi sebagai pedoman utama dalam menyusun, menetapkan dan mengembangkan kurikulum yang selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing institusi pendidikan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing institusi pendidikan dapat berkembang sesuai dengan karakteristik masing-masing melalui spesialisasi pada bidangnya yang didukung dengan sumber daya sesuai kebutuhannya. Fungsi utama dari manajemen kurikulum (Rusman, 2009:5) adalah: a) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum. b) Meningkatkan keadilan (equity) dan kesempatan kepada siswa untuk mencapai hasil yang maksimal. c) Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar peserta didik. d) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar. 23
Link & match.indd 23
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
e) Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membantu mengembangkan kurikulum. •
Implementasi Kurikulum
Terdapat beberapa hal yang berpengaruh dalam implementasi kurikulum seperti: karakteristik kurikulum, strategi implementasi, karakteristik penilaian, pengetahuan pengajar tentang kurikulum, sikap terhadap kurikulum, dan ketrampilan mengarahkan (Hasan, 1984, dalam Rusman, 2009:74). Selanjutnya, dukungan dari pimpinan instansi, dukungan dari rekan pengajar, dan dukungan dari dalam diri pengajar merupakan unsur utama dalam mengimplementasikan kurikulum (Mars 2002 dalam Rusman 2009). Implementasi kurikulum seharusnya dapat mendorong pengembangan kreativitas dari penyerapan materi sehingga secara langsung membuktikan adanya penguasaan materi. Hal utama yang harus diperhatikan adalah peserta didik sebagai subyek pembelajaran sehingga komunikasi multiarah mutlak diperlukan. Harapannya adalah subyek pembelajaran mampu memahami objek, menganalisis, dan merekonstruksi agar mampu membentuk pengetahuan baru (Rusman, 2009:75). Dengan kata lain, implementasi kurikulum mampu membentuk inovasi dan kreativitas siswa sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (sebagai dasar pengembangan). Nana Syaodih (2001, dalam Rusman, 2009) melengkapi analisis implementasi kurikulum dengan menempatkan faktor pengajar sebagai kunci utama pelaksanaan kurikulum. Diperlukan pengajar yang memiliki kemampuan, semangat, kreativitas, inovasi dan dedikasi yang tinggi yang mampu mengimplementasikan kurikulum secara optimal. Faktor sarana dan prasarana, biaya, organisasi, lingkungan berfungsi sebagai pendukung dari hal tersebut. Artinya, bahwa meski kurikulum dan faktor pendukung relatif sederhana namun bila pengajar memiliki hal tersebut diatas, maka justru dapat mengubah 24
Link & match.indd 24
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
kesederhanaan dan keterbatasan faktor-faktor tersebut menjadi kekuatan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Rusman (2009) memandang bahwa terdapat beberapa sumber daya pendukung keberhasilan pelaksanaan kurikulum seperti : a) Manajemen Institusi Pendidikan Kemampuan mengelola berbagai hal (bersifat administrasi, teknis, keuangan maupun akademik) secara efisien dan efektif sehingga mendukung proses pembelajaran. b) Pemanfaatan Sumber Belajar Bagaimana mengelola berbagai sumber-sumber belajar seperti: pesan (informasi); orang/manusia yang menyampaikan informasi (pengajar, tokoh/aktor maupun siswa); bahan/material; peralatan; teknik/metode; hingga lingkungan dalam mendukung proses belajar mengajar. c) Penggunaan Media Pembelajaran Bagaimana mengoptimalkan penggunaan media visual, cetak maupun elektronik dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam memproses belajar dan mengajar. d) Penggunaan Strategi dan Model-model Pembelajaran Bagaimana memilih strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan secara efektif sehingga menghasilkan kualitas pendidikan yang optimal. e) Kualitas Kinerja Pengajar f ) Monitoring Pelaksanaan Kurikulum (Pembelajaran) Lebih jauh, terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum, sebagai berikut (Rusman, 2009:4):
25
Link & match.indd 25
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
a) Produktivitas, Hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam manajemen kurikulum. b) Demokratisasi Pelaksanaan manajemen kurikulum harus berasaskan demokrasi yang menempatkan pengelola, pelaksana dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggungjawab untuk mencapai tujuan kurikulum. c) Kooperatif Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum perlu adanya kerjasama yang positif dari berbagai pihak yang terlibat. d) Efektivitas dan efisiensi Rangkaian kegiatan manajemen kurikulum harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk mencapai tujuan kurikulum dalam aspek biaya, tenaga dan waktu. e) Mengarahkan visi, misi dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum.
Realisasi Implementasi Link-Match dunia Pendidikan dan Industri di Batam dan Banten Mengacu pada informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan para narasumber dari dinas pendidikan di dua daerah penelitian, mengesankan bahwa pemerintah daerah tidak dapat mencampuri kebijakan pendidikan tinggi setempat. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kasus Disdiknas Banten misalnya, penjabat yang mengurusi pendidikan tinggi adalah kepala seksi pada esselon empat, sementara ketua penyekenggara pendidikan tinggi sudah
26
Link & match.indd 26
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
menduduki esselon dua. Di sisi lain, kurikulum nasional dipandang kurang sesuai dengan kondisi daerah/kondisi lokal. Perusahaan memberikan masukan kepada dunia pendidikan untuk memasukkan hal-hal khusus yang bersifat praktis sesuai dengan kebutuhan industri. Sementara itu, seorang narasumber dari pihak industri menyatakan bahwa sampai saat ini pengajaran di perguruan tinggi masih terfokus pada pengembangan ilmu yang bersifat teoritis, dan kurang aplikatif. Inilah yang menjadi kunci permasalahan, mengapa lulusan perguruan tinggi tidak dapat mengisi kekosongan lowongan kerja yang tersedia. Pelatihan atau pendidikan tambahanpun nampaknya masih perlu disediakan oleh perusahaan, bila perusahaan ingin meningkatkan kompetensi pekerjanya yang lebih pas dengan kebutuhan jenis pekerjaan/posisi kerja bagi karyawan/pekerja bersangkutan (akan dijelaskan pada uraian selanjutnya). Baik di daerah penelitian Kepri maupun Banten pemerintah daerah mulai secara serius menggarap politeknik dengan jurusan yang beragam dan lebih menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja dan pengembangan ekonomi daerah yang bersangkutan. Kepri dengan mengembangkan Politeknik yang ada ditambahkan untuk jurusan maritim terutama untuk distribusi barang dan jasa. Langkah ini ditunjukkan dengan mengaktifkan kembali politeknik yang telah dilebur kedalam perguruan tinggi yang berorientasi akademik. Politeknik Batam yang telah diubah menjadi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) pada 2007 yang lalu, akhirnya diaktifkan kembali sebagai perguruan tinggi berorientasi vokasi yang mandiri. Bahkan, sesuai dengan program pemerintah yang mulai menaruh perhatian tinggi terhadap pendidikan vokasi, statusnya akan ditingkatkan, dari perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi Badan hukum Pendidikan milik Pemerintah (BHPP), perguruan tinggi negeri (PTN) versi baru. Bagi provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang memiliki tiga daerah berstatus Free Trade Zone (FTZ), yaitu Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), keberadaan BHPP Politeknik Batam tentu sangat membantu bagi 27
Link & match.indd 27
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
upayanya menyediakan tenaga kerja terampil di BBK. Diyakini, tenaga kerja terampil yang dididik di daerah investasi tentu akan memiliki daya tahan kerja lebih tinggi (ditunjukkan dengan rendahnya tingkat turn over pekerja). Keyakinan ini akan semakin tinggi bila peserta didik atau calon tenaga terampilnya adalah sdm unggulan yang diberi beasiswa oleh pemerintah daerah. Keberadaan BHPP Politeknik Batam layak menjadi bagian dari promosi bagi para calon investor, yaitu terjaminnya ketersediaan tenaga kerja terampil di lokasi investasi. Sebagai BHPP, pengembangan Politeknik Batam akan didukung oleh Depdiknas yang semakin peduli terhadap pendidikan vokasi. Peran Depdiknas (pemerintah) bagi investasi dan pengoperasian yang diperlukan BHPP tertulis jelas pada UU BHP. Sebagai BHPP di FTZ, Politeknik Batam harus mampu mengembangkan diri agar dapat menghasilkan tenaga kerja dengan berbagai jenis keterampilan guna memenuhi kebutuhan industri. Kedua variabel di atas akan menjadi dasar yang kuat bagi pengembangan BHPP Politeknik Batam di masa mendatang. Politeknik Batam, merupakan satu-satunya Politeknik di kota Batam, diresmikan oleh Mendiknas RI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Bulan Oktober No. 235/D/O/2000 dengan membuka tiga program studi yang memiliki tingkat kebutuhan tertinggi di kawasan industri Batam yaitu Akuntansi, Teknik Elektro dan Teknik Informatika. Ketiga Program Studi yang dimiliki Politeknik Batam telah mendapatkan akreditasi “B” dari Badan Akreditasi Nasional perguruan Tinggi (BANPT) pada tahun 2003, dan sertifikasi ISO 90012000 untuk Quality Manajemen System pada tahun 2006. Politeknik Batam berada dibawah Yayasan Pendidikan Batam yang terdiri dari dari Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, Universitas Riau dan Institut Teknologi Bandung. Sementara itu, Banten khususnya di Serang, direncanakan pembangunan Politeknik bekerja sama dengan Universitas Negeri
28
Link & match.indd 28
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
setempat (UNTIRTA) dengan jurusan/ bidang studi kargo, akuntansi, kimia dan transportasi yang dianggap merupakan bidang studi yang saat ini lebih sesuai dengan kebutuhan usaha/industri dan pengembangan daerah setempat. Beberapa kebijakan lokal yang telah dilakukan baik di daerah penelitian Banten maupun Kepri dalam mengimplementasikan program Link and Match dari sisi pendidikan dapat dikelompokkkan menjadi empat aspek yaitu, pengembangan kurikulum, pengembangan kapasitas institusi, pengembangan pengetahuan (knowledge), dan pengembangan skill SDM. Gambaran ini diperoleh terutama berdasarkan kajian terhadap empat lembaga perguruan tinggi (masing-masing diwakili oleh Poltek Batam dan UIB di Batam, UNTIRTA dan Poltek Piksi di Banten, serta BBLKI di Banten.
Pengembangan Kurikulum Dalam pengembangan kurikulum, terdapat beberapa strategi yang diimplementasikan untuk mendukung keterkaitan (link and match) dunia pendidikan dan industri. Pertama, dengan membuka jurusan/kelas khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Misalnya, pengembangan jurusan teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten, sebagai bentuk akomodasi kebutuhan tenaga-tenaga teknik di Krakatau Steel (KS). Krakatau steel tidak hanya menggagas jurusan tersebut namun mendukung dalam tenaga pengajar maupun beberapa kebutuhan aplikasi (praktek) dari mahasiswa. Sementara di Batam, Mc Dermont dan Schneider bekerjasama membuka kelas khusus (maksimal 20 orang) pada SMK di mana siswa dipersiapkan untuk bekerja di perusahaan tersebut. Berbagai materi pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, yang selanjutnya diikuti dengan magang di perusahaan tersebut selama satu semester. Di bagian akhir dilakukan uji kemampuan siswa atas penguasaan keahlian oleh perusahaan tersebut yang terwujud dalam sertifikasi. 29
Link & match.indd 29
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Tidak hanya dengan membuka kelas/jurusan khusus, namun kurikulum dapat diimplementasi dengan mengubah (merekonstruksi ulang) isi dari kurikulum itu sendiri. Dengan kata lain, tidak harus dengan mengubah struktur kurikulum (umum dan khusus) namun fokus kepada isi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dapat dicontohkan peningkatan aplikasi software visual basic ke fox pro di Poltek Piksi Serang demi mengakomodasi kebutuhan teknologi yang berkembang demikian pesat. Sementara di Batam, UIB melakukan technical assistance dengan Universitas Indonesia, maupun dengan benchmarking melalui studi banding untuk melengkapinya. Hal ini dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan kompetisi pendidikan yang semakin ketat, berbagai hal positif dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan pasar maupun institusi tersebut. Lebih jauh, hal tersebut dapat direalisasikan dalam bidang ajar yang disesuaikan dengan perkembangan nasional. Misalnya, perkembangan syariah dimanifestasikan dengan pengembangan jurusan ekonomi syariah di fakultas ekonomi Untirta. Pembukaan bidang ajar nampaknya cukup fleksibel sebagai salah satu bentuk respon positif atas dinamika dunia pendidikan dan dunia bisnis. Terakhir, adanya pelibatan dunia industri dalam penyusunan kurikulum akademik di tingkat perguruan tinggi. Salah satu bentuk aplikasi ini adalah adanya peran aktif dari institusi perguruan tinggi untuk melakukan kerjasama dalam menyesuaikan kebutuhan dunia industri guna melengkapi kurikulum dasar yang telah disusun sebelumnya. Hal tersebut telah dilakukan Universitas International Batam (UIB) misalnya, dengan melakukan survei secara berkala (selama 2 tahun) sebelum menyusun kurikulum. Model ini sangat bermanfaat sebagai pelengkap dan penunjang dari kurikulum dasar yang telah disusun sekaligus menyesuaikan berbagai perubahan di dalam dunia industri. Artinya, bahwa beberapa perguruan tinggi telah berupaya untuk bersaing dengan dinamika dunia industri dengan membekali peserta didiknya melalui kurikulum tambahan, sehingga mampu menghasilkan lulusan 30
Link & match.indd 30
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
yang siap bekerja sesuai dengan kebutuhan industri. Dalam implementasi sistem pendidikan nasional, pengembangan dan manajemen kurikulum diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan melalui tim yang dibentuk di dalam institusi tersebut (wawancara dengan Dinas Pendidikan Batam, 2009). Tim yang terbentuk tersebut dapat terdiri atas pengajar institusi (utama), atau dapat melibatkan tokoh masyarakat dan pakar kurikulum (bersifat tentative/insidental). Selanjutnya kurikulum tersebut diuji di tingkat Dinas Pendidikan setempat dan dilakukan supervisi oleh pengawas setempat secara regular. Salah satu pertimbangan mendasar adanya otonomi kurikulum adalah keseragaman merupakan hal yang tidak lazim untuk diterapkan pada masa sekarang (Zais, 1976, dalam Rusman, 2009). Justru keragaman isi kurikulum merupakan sarana mengakomodasi tuntutan perkembangan global, sehingga dunia pendidikan dapat lebih dinamis. Dari empat kasus pendidikan tinggi di dua daerah penelitian terindikasikan bahwa pihak pendidikan tinggi itu sendiri lah yang harus lebih aktif dan kreatif mengembangkan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Pengembangan Institusi Pendidikan Seperti diuraikan di bagian sebelumnya, bahwa terdapat beberapa faktor yang mendukung implementasi kurikulum, baik dari manajemen institusi hingga monitoring pelaksanaan kurikulum. Sebagai salah satu bentuk aplikasi kurikulum adalah bagaimana keterkaitan dunia industri dengan dunia pendidikan khususnya dalam pengembangan kapasitas institusi. Dalam realitas dilapangan beberapa hal tersebut terwujud dalam: pertama, kerjasama dukungan software maupun hardware pendidikan dengan pihak diluar institusi pendidikan itu sendiri. Di Banten hal tersebut telah diwujudkan atas dukungan beberapa perusahaan terhadap pengembangan Politeknik
31
Link & match.indd 31
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
(Poltek) Piksi di Serang, sementara di Serpong hal tersebut diwujudkan dalam pembangunan Poltek bekerjasama dengan Siemens. Di Batam hal tersebut telah lama terwujud dalam pembangunan Politeknik Batam sebagai manifestasi kerjasama Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam, Universitas Riau, ITB maupun Mc. Dermont. Kedua, pengembangan institusi diaplikasikan dalam membentuk forum komunikasi khusus dunia industri dan pendidikan seperti peranan industri sekitar di Banten terhadap think-tank Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI). Lebih jauh, strategi yang diterapkan oleh BBLKI adalah melakukan kerjasama dengan negara Austria dengan mendapatkan bantuan teknis yang sangat membantu dalam mengasah ketrampilan dan keahlian para calon tenaga kerja maupun para karyawan. Sebagai gambaran, pelatihan di BBLKI tidak dikenakan biaya dimana sumber pendanaanya berasal dari DIPA. Namun, akibat keterbatasan anggaran ini, maka tidak semua calon peserta dapat diterima mengikuti pelatihan. Di institusi ini tidak hanya calon tenaga kerja saja (fresh graduate) yang terlibat, tapi juga cukup banyak karyawan dari perusahaan yang ditempatkan untuk mengikuti pelatihan. Seringkali, perusahaan swasta yang bersangkutan tidak berkontribusi dalam pengembangan BBLKI walaupun mereka menitipkan karyawannya dalam pelatihan tersebut. Selanjutnya, guna mewujudkan visi dan misi dinas pendidikan bahwa pendidikan berkualitas untuk seluruh pihak tanpa harus terkendala waktu, biaya maupun sarana maka program beasiswa dari pihak swasta turut mendukung proses implementasi pendidikan di Indonesia. Beberapa realisasinya terwujud atas dukungan beberapa perusahaan (misalnya Krakatau Steel dan Indah Kiat) yang memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswa baik di perguruan tinggi setempat (misalnya Poltek Piksi maupun Untirta) maupun di perguruan tinggi lainnya di luar Banten, dan juga dapat berupa ikatan dinas. Salah satu hal yang cukup menguntungkan dari adanya ikatan dinas adalah adanya kepastian jaminan pekerjaan setelah lulus 32
Link & match.indd 32
6/22/2010 6:38:46 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
bagi mahasiswa untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Di lain pihak bagi perusahaan menjadi relatif efisien karena dapat mendapatkan calon tenaga kerja yang terbaik dengan mengikuti perkembangan pendidikannya. Hal senada juga diimplementasikan perusahaan Mc. Dermont dan Schneider kepada siswa SMK yang berprestasi dalam program beasiswa ikatan dinas di Batam. Terdapat kurang lebih 20 siswa berprestasi yang dibina dalam kelas khusus yang setelah lulus wajib bekerja di kedua perusahaan tersebut.
Pengembangan Pengetahuan Pengembangan Pengetahuan (knowledge) menjadi hal yang sangat esensial dalam mendukung implementasi kurikulum, yakni obyek dari kurikulum tersebut. Artinya pengetahuan sebagai target dari kurikulum untuk diimplementasikan kepada peserta didik. Hal ini dapat diartikan bahwa penguasaan pengetahuan menjadi salah satu indikator keberhasilan implementasi kurikulum. Beberapa strategi untuk meningkatkan pengetahuan adalah dengan melibatkan dosen tamu yang dapat berasal dari para praktisi maupun pakar dan peneliti dibidangnya. Hal tersebut diimplementasikan di wilayah Banten maupun Batam, seperti sebagian pengajar Poltek Piksi merupakan praktisi informatika dari Perusahaan Krakatau Steel. Demikian pula Politeknik Batam dan UIB yang mendatangkan para pakar industri yang berada di Batam sebagai dosen tamu. Strategi kedua adalah melakukan peningkatan latar belakang pendidikan para pengajar untuk level S2 maupun S3. Hal ini sekaligus sebagai penguatan kapasitas SDM pengajar. Hal tersebut telah diwujudkan Dinas Pendidikan Propinsi Kepulauan Riau dengan mengirim secara rutin para perwakilan dosen yang terpilih untuk belajar ke UI, UGM, ITB, UI, ITS maupun Unhas sesuai dengan target kepakaran yang diharapkan. 33
Link & match.indd 33
6/22/2010 6:38:46 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Ketiga, melakukan kuliah umum dengan nara sumber yang berasal dari para pengusaha sukses dan ternama. Harapannya hal ini mau memberikan gambaran perkembangan dan dinamika dunia usaha di lingkungan perguruan tinggi. Secara langsung updating informasi dapat diperoleh bagi para peserta didik maupun pengajarnya. Terakhir, dengan membangun pusat pengembangan akademis, dimana para pengajar dapat mengembangkan kemampuan akademis maupun non akademis (khususnya perkembangan isu-isu nasional maupun global). Berbagai riset, seminar, lokakarya, asistensi maupun coaching dapat dilakukan melalui media ini. Wujud riilnya adalah Aplikasi Academic Centre untuk dosen UIB di Batam.
Pengembangan Keterampilan (Skill) Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam aspek yang lain, kurikulum diharapkan mampu mengembangkan keahlian para lulusan perguruan tinggi. Keterkaitan kurikulum dunia pendidikan dan industri diimplementasikan dalam membentuk Balai Besar Latihan Kerja Industri guna meningkatkan keahlian baik bagi calon tenaga kerja maupun para karyawan yang telah berkerja. Hal ini telah diimplementasikan di Banten, dengan durasi pelatihan selama 3 bulan. BBLKI ini merupakan wujud kerjasama antara Depnakertrans, swasta dan BUMN. Tidak sedikit MoU telah terjalin antara BBLKI dan BUMN maupun swasta, khususnya dalam rangka memberikan training kepada karyawannya. Selain itu, Politeknik Batam juga membuka sertifikasi dan pelatihan kepada khalayak umum untuk mengasah kemampuannya melalui kelas-kelas khusus, seperti kelas welding, aplikasi cisco, Sertifikasi Profesi Telematika melalui tempat Tempat Uji Kompetensi (TUK), mekatronika, maupun akuntansi yang diakui dengan melibatkan para penguji dari akademisi maupun praktisi industri.
34
Link & match.indd 34
6/22/2010 6:38:47 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
Strategi selanjutnya adalah mengembangkan program magang di dunia industri. Program magang ini dapat terwujud setelah pihak perguruan tinggi melakukan pendekatan kepada dunia industri. Artinya bahwa inisiatif perguruan tinggi berperan sentral dalam mendukung program magang tersebut. Program magang ini telah terealisasi dalam bentuk forum jejaring magang antara Poltek Piksi dengan PT Indah Kiat maupun Krakatau Steel selama 6 bulan mengingat program yang dikembangkan Poltek Piksi adalah akademisi dengan fokus pada lulusan yang siap kerja. Sementara Untirta telah menjalin program magang dengan PT. Indah Kiat dengan durasi magang selama 3 bulan. Di wilayah Batam, program magang telah terealisasi antara Mc Dermont dan Schneider dengan SMK I, Pacific Hotel dengan SMK II Perhotelan, Astra Indonesia dengan SMK Kartini. Di tingkat perguruan tinggi, Politeknik Batam dan UIB telah menjalin kerjasama dalam program magang dengan beberapa perusahaan terkait, khususnya atas spesialisasi bidang yang dimiliki kedua kampus tersebut. Hal tersebut selanjutnya disempurnakan dengan penguatan penguasaan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Mandarin. Salah satu pertimbangannya adalah lulusan dari perguruan tinggi ditargetkan untuk mampu bekerja di beberapa perusahaan Asing. Inilah wujud dari strategi/media untuk meningkatkan daya saing para lulusannya, mengingat bahasa merupakan faktor utama dalam proses komunikasi. Salah satu bentuknya adalah pembekalan bahasa oleh Poltek Piksi agar dapat bekerja di Perusahaan PMA di Serang Timur, yang umumnya adalah pengusaha Taiwan dan Korea. Sementara UIB dan Politeknik Batam membekali mahasiswanya dengan penyediaan pusat bahasa, khususnya bahasa inggris, mengingat perusahaan di Batam mayoritas adalah PMA dan bahasa inggris sebagai komunikasi yang sering digunakan di dalam perusahaan.
35
Link & match.indd 35
6/22/2010 6:38:47 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Kesenjangan antara Ketersediaan Tenaga Kerja dengan Kebutuhan industri serta Kaitannya dengan Daya Saing Industri Pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi menjadi salah satu kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu negara. Pada tahun 1990, United Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan pengukuran pembangunan manusia yang dikenal dengan Human Development Index (HDI) yang menggambarkan kualitas manusia berdasarkan tiga indikator yaitu kesehatan, pendidikan dan kemampuan ekonomi. Berdasarkan Human Development Report (HDR) dari UNDP (lihat tabel 2.1), kualitas SDM Indonesia beberapa tahun terakhir relatif rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data UNDP (2006, 2007/2008, 2009), pada tahun 2005, 2006 dan 2007 posisi Indonesia masing-masing berada pada ranking 110, naik ke peringkat 108, kemudian turun ke peringkat 111 dari 182 negara-negara di dunia. Selanjutnya pada tahun 2007 posisi Indonesia turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya. Posisi ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang berhasil menempati ranking 66, Thailand yang berada pada posisi 87, dan Philipina yang menempati ranking 105. Indonesia hanya lebih unggul dari negara-negara yang tergolong less-developed countries di ASEAN seperti Vietnam (ranking 116), laos (ranking 133), Kamboja (ranking 137), dan Myanmar (ranking 138).
36
Link & match.indd 36
6/22/2010 6:38:47 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
Tabel 2.1 Peringkat HDI beberapa Negara di Asia Negara Singapura
2005
2006
2007
Ranking
HDI index
Ranking
HDI index
Ranking
HDI index
25
0,907
25
0,916
23
0,944
Brunei
33
0,66
34
0,871
30
0,920
Malaysia
61
0,796
61
0,805
66
0,829
Thailand
73
0,778
74
0,784
87
0,783
Filipina
84
0,758
84
0,763
105
0,751
Indonesia
110
0,697
108
0,711
111
0,734
Vietnam
108
0,704
109
0,709
116
0,725
Laos
133
0,545
129
0,583
133
0,619
Kamboja
130
0,571
130
0,581
137
0,593
Myanmar
129
0,578
133
0.533
138
0,586
Sementara itu, kualitas SDM yang relatif rendah juga terlihat dari laporan International Institute for Management Development (IMD)World Competitiveness Year Book (2009), dimana produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat 42 dari 57 negara-negara di dunia yang disurvei11. Hasil survei tahun 2009 ini cukup menggembirakan karena peringkat daya saing Indonesia naik 9 peringkat dibandingkan tahun 2008 (ranking 51), akan tetapi masih kalah jauh dari Malaysia yang menempati posisi 18 dan Thailand yang berada pada ranking 26. Dalam hal ini produktivitas berkaitan erat dengan kualitas SDM. Berdasarkan catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, 11 Definisi competitiveness berdasarkan IMD adalah bagaimana suatu negara dan dunia bisnis memaksimalkan kompetensi mereka untuk meraih kesejahteraan yang lebih besar. Dalam hal ini, competitiveness bukan hanya sekedar tingkat pertumbuhan ekonomi atau kinerja perekonomian, tetapi juga mengikutsertakan soft factors seperti lingkungan hidup, kualitas hidup, teknologi dan pengetahuan dll (IMD 2009).
37
Link & match.indd 37
6/22/2010 6:38:47 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Tabel 2.2 The Global Competitiveness Index: Perbandingan Ranking 2008-2009 dan 2009–2010 Negara Singapore Malaysia Brunei Darussalam Thailand Indonesia Vietnam Filipina Kamboja
2008-2009 Ranking 5 21 39 34 55 70 71 110
2009-2010 Ranking 3 24 32 36 54 75 87 109
sumber: wef 2009
38
Link & match.indd 38
6/22/2010 6:38:47 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
Kemudian, berdasarkan publikasi The Global Competitiveness Report-World Economic Forum (WEF) tahun 2009, posisi daya saing indonesia berada pada urutan ke-54 dari 133 negara yang diteliti (lihat tabel 2.2). Posisi tersebut sesungguhnya telah naik 1 peringkat dari urutan ke-55 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2009 berada pada urutan ke-24 sedangkan Thailand berada di posisi ke-36. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Vietnam (urutan ke-75), Filipina (urutan ke-87) dan Kamboja (urutan ke-109). Kualitas SDM Indonesia yang masih relatif rendah juga dapat digambarkan dari sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang hanya lulusan SD. Pada tahun 2009, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan, walaupun tingkat kenaikan pendidikan tinggi (Diploma I/II/III dan Universitas), namun masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pendidikan dasar (SD) yang naik hingga 19,8 persen dibandingkan tahun 2005 (lihat tabel 2.3). Meskipun secara rata-rata terdapat kenaikan tingkat pendidikan pekerja di Indonesia, pekerja pada jenjang pendidikan SD kebawah masih tetap tinggi, pada tahun 2009 jumlahnya masih sekitar 55,21 juta orang (52,65 persen), sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relatif kecil. Pekerja dengan pendidikan tinggi secara absolut jumlahnya masih relatif kecil walaupun mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya12. Pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 2,79 juta orang (2,66 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 4,66 juta orang (4,44 persen). 12
Berdasarkan kajian Ace dan Agus (1995 dalam Tambunan 2001) yang menyatakan bahwa peningkatan pekerja berpendidikan tinggi terjadi pada lulusan program Diploma ke atas. Hal ini disebabkan perkembangan program-program yang bertujuan mempersiapkan tenaga kerja profesional pada berbagai Perguruan Tinggi/ Akademi. program diploma banyak bermunculan karena adanya anggapan bahwa lulusan Perguruan Tinggi/ AKademi tidak mempnyai keahlian khusus untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai.
39
Link & match.indd 39
6/22/2010 6:38:48 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Tabel 2.3 Penduduk 15 + yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (juta orang) Tingkat pendidikan
2001 Jumlah
SD SLTP Umum/SMP SLTA Umum/SMU SLTA Kejuruan/SMK Diploma I/II/III Universitas Total
33.82 13.78 9.6 6.2 0.9 2.37 66.67
2005 % 50.73 20.67 14.40 9.30 1.35 3.55 100
Jumlah 35.41 17.19 11.56 6.28 0.97 2.97 74.38
2009 % 47.61 23.11 15.54 8.44 1.30 3.99 100
Jumlah 55.21 19.39 14.58 8.24 2.79 4.66 104.87
% 52.65 18.49 13.90 7.86 2.66 4.44 100
S b D Data S Statistik i ik I d Indonesia, i 2005 d BPS 2009 Sumber: 2005 dan BPS, 2009
Selanjutnya, berdasarkan data Statistik Indonesia (2008), sebagian besar lulusan sarjana tersebut bekerja di pasar kerja domestik (lihat tabel 2.4). Untuk lulusan Diploma I/II/III mayoritas bekerja di sektor jasa (57.96 persen), sisanya tersebar di sektor perdagangan (17 persen) sektor manufaktur (7,4 persen); sektor angkutan (5,05 persen) dan sektor Keuangan (4,85 persen). Sedangkan jumlah sarjana S1 yang paling banyak bekerja di sektor Jasa Kemasyarakatan yaitu sebesar 61,5 persen. Kemudian, para pekerja di sektor Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan berada di posisi kedua dengan jumlah sekitar 11.1 persen. Selanjutnya, pada posisi ketiga adalah para pekerja di sektor Perdagangan Besar, eceran, rumah makan dan hotel yang jumlahnya mencapai 9.65 persen dari total pekerja yang bergelar sarjana pada tahun 2007. Sedangkan di sektor industri pengolahan jumlah pekerja yang lulusan universitas berada pada posisi keempat (7,05 persen). Dari hasil pengamatan di lapangan Batam dan Banten, dapat dilihat bahwa masalah rendahnya kualitas sdm terjadi di kedua daerah tersebut. Rendahnya kualitas SDM disebabkan karena rendahnya tingkat lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Lebih lanjut,
40
Link & match.indd 40
6/22/2010 6:38:48 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing produkproduk Indonesia di pasar internasional (Wiranta dan Soekarni 2008). Rendahnya peringkat Indonesia di Asia maupun di dunia tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang berkaitan dengan aspek-aspek seperti kurangnya kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan dunia industri (link & match), sistem pendidikan (primer, sekunder, tersier), sistem pelatihan tenaga kerja, rendahnya dana untuk kegiatan riset dan kurangnya dana anggaran untuk pendidikan nasional. Tabel 2.4 Penduduk Berumur 15 tahun + yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama dan pendidikan tinggi yang ditamatkan, 2007 p
j
p
gg y
g
1. Pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan
Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Diploma I/II/III Universitas Jumlah % Jumlah % 99,858 3.84 61,273 1.7
2. Pertambangan
16,758
0.65
27,128
0.75
3. Industri Pengolahan
197,351
7.60
253,805
7.05
4. Listrik, gas dan air
12,523
0.48
19,235
0.53
5. Bangunan
66,604
2.56
128,541
3.57
6. Perdagangan Besar, eceran, rumah makan dan hotel
441,673
17.00
347,074
9.65
7. Angkutan, pergudangan, komunikasi
131,296
5.05
150,395
4.18
8. Keuangan, Asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan 9. Jasa Kemasyarakatan
126,019
4.85
398,672
11.1
1,505,511
57.96
2,211,682
61.5
Jumlah
2,597,593
100
3,597,805
100
Lapangan Pekerjaan Utama
Sumber: BPS, 2008
41
Link & match.indd 41
6/22/2010 6:38:48 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
Untuk dapat menggambarkan sejauh mana kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan industri, berikut disajikan analisa hasil survei terhadap 164 pekerja yang berpendidikan D1 ke atas di Batam dan Banten. Fenomena pertama, ditunjukkan melalui pernyataan responden terhadap latar belakang/alasan responden dalam memilih lowongan pekerjaan yang tersedia. Gambar 2-1, menunjukkan bahwa faktor kesesuaian yang dilihat para responden dari pekerjaan yang dimasuki, secara mayoritas memilih kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaan yang akan dilamar sebagai alasan utama (36.3 persen), kemudian baru melihat jenis perusahaan (20,6 persen). Hal yang cukup menarik dari hasil survei ini adalah ternyata faktor gaji yang ditawarkan menjadi alasan paling terakhir bagi responden untuk melamar pekerjaan. Hal ini mengindikasikan bahwa bekal pendidikan tinggi yang dimiliki besar peranannya dalam menentukan pilihan seseorang untuk mengisi lowongan kerja yang ditawarkan. Selanjutnya, tentu saja menarik untuk dikaji berapa lama responden mendapatkan pekerjaan yang menurut penilaian mereka sesuai dengan bekal pendidikan yang diperoleh.
Gambar 2.1
Persentase Responden Berdasarkan Pilihan terhadap faktor yang menentukan dalam melamar pekerjaan Sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009
42
Link & match.indd 42
6/22/2010 6:38:48 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
Dari Gambar 2-2, cukup banyak responden yang menyatakan membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 10 tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Bahkan, hampir 10 persen responden menyatakan sampai saat penelitian dilakukan merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai bagi dirinya.
Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Waktu Tunggu mendapatkan Pekerjaan yang Sesuai Sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009
Selanjutnya, kesenjangan dunia pendidikan dan industri dapat diindikasikan melalui pernyataan responden terhadap sumbangan pengetahuan yang diperolehnya dalam masa pendidikan terhadap pekerjaan mereka sekarang. Berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan (lihat tabel 2.5), ternyata untuk level akademi/D1/D2 mayoritas responden menyatakan perlu sedikit penyesuaian dan
43
Link & match.indd 43
6/22/2010 6:38:48 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
pelatihan sebelum mulai bekerja, sedangkan 8,9 persen lulusan akademi/D1/D2 menyatakan bahwa latar belakang pengetahuan yang telah dipelajari sangat mendukung ketika mulai bekerja. Sedangkan untuk lulusan sarjana S1, mayoritas pekerja sebanyak 24,8 persen menyatakan bahwa mereka memerlukan sedikit penyesuaian ketika mulai bekerja. Lalu sisanya sebanyak 14,9 persen menyatakan perlunya pelatihan dan sebanyak 9,9 persen responden meyatakan bahwa latar belakang pengetahuan yang diterapkan di universitas sangat mendukung pekerjaannya. Dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa program link&match belum maksimal, terbukti dengan masih diperlukannya sedikit penyesuaian dan pelatihan, terutama pada tingkat pendidikan tinggi, ketika para responden menyelesaikan pendidikan terakhirnya. Dengan semakin meningkatkan kesadaran bahwa pelatihan adalah sebuah investasi yang sangat perlu untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan maka efektivitas atau daya pengaruh pelatihan menjadi semakin penting. Hal ini akan dianalisa lebih lanjut pada bab 3 buku ini. Tabel 2.5 Persentase Latar Belakang Pengetahuan yang Diterapkan Dengan Pendidikan Terakhir Responden Pendidikan Terakhir Akademi/D1/D2
Universitas
Master/S3
Total
Latar belakang pengetahun
Sangat mendukung
8.9%
9.9%
4.0%
22.8%
yang diterapkan dr univ.
Sedikit penyesuaian
12.9%
24.8%
1.0%
38.6%
Perlu pelatihan
12.9%
14.9%
2.0%
7.9%
1.0%
10.9%
36.6%
57.4%
5.9%
100.0%
Perlu pendidikan tambahan
27.7%
lain Total
sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009
Makna penting lain yang dapat dipetik dari hasil survey tersebut adalah bahwa masih terdapat kesenjangan antara ketersediaan tenaga
44
Link & match.indd 44
6/22/2010 6:38:48 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
kerja dengan kebutuhan dunia industri. Dari sisi industri, manajemen SDM memegang peranan yang sangat penting dalam menjaring pekerja dalam proses rekruitmen pegawai yang memiliki kesesuaian latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan dan keahlian yang dapat meningkatkan daya saing industri tersebut. Dalam memformulasikan strategi perusahaan, manajemen SDM memegang peranan utama dalam mengembangkan perusahaan dan mengelola serta mengembangkan SDM nya dalam rangka mencapai tujuan strategis perusahaan (Makhijani et. al. 2009:37 dan Hall, 2008: 67).
Kesimpulan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan tinggi harus bisa mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik sesuai dengan standar kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Sebagai realisasi di dalam memenuhi tuntutan dunia kerja tersebut, maka dalam perancangan kurikulum pendidikan mengacu pada karakteristik pendidikan yang dibutuhkan. Kerjasama yang harmonis antara dunia pendidikan dan industri memiliki peran untuk menyiapkan lulusannya agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Berdasarkan pengamatan di Batam dan Banten dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan yang saat ini berhasil dikembangkan adalah yang mengacu pada tuntutan dunia kerja, yaitu dunia usaha dan dunia industri yang berkembang di masyarakat. Sedangkan, di level pendidikan tinggi, kerjasama antara dunia pendidikan dan industri belum optimal. Alangkah baiknya jika kerjasama yang harmonis antara SMK di Batam misalnya,
45
Link & match.indd 45
6/22/2010 6:38:49 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
dengan dunia industri, dapat pula diterapkan bagi tingkat pendidikan tinggi dengan dunia industri. Hal ini menjadi tantangan berbagai pihak yang terkait seperti dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, lembaga pendidikan, dan dunia industri dalam mewujudkan kerjasama yang terintegrasi sehingga dapat mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berkualitas dan siap pakai di dunia industri. Rendahnya kualitas SDM merupakan masalah utama dalam pengembangan SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih relatif sedikit dibandingkan lulusan pendidikan dasar. Rendahnya tingkat pendidikan tinggi ini juga mempengaruhi produktivitas pekerja yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing industri nasional. Tingkat daya saing industri Indonesia, berdasarkan data Human Development Report yang dikeluarkan UNDP, masih jauh tertinggal dibandingkan Negaranegara Asean seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih unggul dari Negara-negara yang termasuk kategori less-developed countries seperti Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar. Di sisi lain, dengan mengacu pada data pengangguran yang memperlihatkan lebih tingginya lulusan S1 dibandingkan dengan lulusan D3 yang belum mendapatkan pekerjaan, di samping mengkampanyekan secara besar-besaran peran sekolah menengah kejuruan (SMK), Diknas memacu pendirian politeknik-politeknik baru. Namun demikian, berdasarkan pengamatan peneliti, nampaknya permasalahan yang dihadapi oleh SMK, maupun Politeknik adalah justru masih terbatasnya minat siswa. Untuk SMK, biasanya menjadi tujuan akhir bagi siswa yang nilai rata-rata ujian nasionalnya tergolong rendah dan tidak terkualifikasi untuk mendapatkan kursi di SMU Negeri. Hambatan yang sama juga dihadapi oleh Politeknik, karena
46
Link & match.indd 46
6/22/2010 6:38:49 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
nampaknya perolehan gelar Sarjana S1 masih lebih diminati daripada hanya mendapatkan gelar Diploma. Untuk Universitas pun minat siswa masih lebih banyak tertuju pada jurusan-jurusan tertentu, tanpa melihat kebutuhan kerja yang tersedia di lokasi sekitar. Berdasarkan kendala dan realisasi link&match yang terjadi di Batam dan Banten maka terdapat beberapa rekomendasi untuk perbaikan implementasi kebijakan link&match di masa yang akan datang. Pertama, mendirikan sekolah-sekolah teknik khususnya di Batam, untuk mengakomodasi free trade zone (FTZ). Jurusan yang banyak dibutuhkan oleh industri di Batam adalah jurusan mekatronika. Kedua, perlunya mendirikan fakultas yang berhubungan dengan tranportasi kelautan yang akan digunakan untuk kelancaran distribusi barang dan jasa. Ketiga, perlunya mematangkan kualitas SDM, sehingga perusahaan akan semakin banyak menggunakan tenaga SDM lokal yang memenuhi persyaratan perusahaan. Keempat, perlunya meningkatkan kualitas para dosen dengan menyekolahkan para dosen ke Singapura dan Malaysia dan Universitas/Institut terbaik di Indonesia lainnya (ITB, ITS, UGM) melalui dana APBD. Kelima, pembagian proporsi secara berimbang antara teori dan praktek pada pendidikan tinggi, sehingga SDM nya menjadi tenaga yang lebih siap pakai. Keenam, perlu adanya kontrol dari BAN DIKTI baik untuk akreditasi maupun pengembangan kapasitas internal, dilakukan secara rutin dan diskusi dengan para dosen. Ketujuh, perlu adanya kewajiban magang di industri supaya SDM mendapatkan pengalaman bekerja sehingga dapat meningkatkan peluang bekerja bagi mereka bila hasil pemagangannya bagus. Kedelapan, perlunya memanfaatkan dana CSR dan Community Development (COMDEV) perusahaan untuk pengembangan dunia pendidikan tinggi. Seharusnya kerjasama antara Perguruan tinggi dengan industri menjadi bagian dari Program Nasional, dapat dimasukkan bagian dari pelaksanaan CSR perusahaan, tapi dengan bentuk kerjasama yang lebih bermanfaat, 47
Link & match.indd 47
6/22/2010 6:38:49 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Kesembilan, perguruan tinggi perlu duduk bersama secara rutin dengan dunia industri untuk mendapat masukan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kesepuluh, perlu adanya kebijakan insentif untuk perusahaan misalnya pengurangan tax untuk industri yang mau melakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau lembaga-lembaga Pendidikan lain.
48
Link & match.indd 48
6/22/2010 6:38:49 PM
Kendala dan Realisasi Kebijakan Link And Match Dunia Pendidikan dan Industri Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2008. ‘Statistik Indonesia, 2008’. Jakarta. IMD, 2009. ’The World Competitiveness Scoreboard 2009’, http://www.imd. ch/research/ publications/wcy/upload/scoreboard.pdf (diakses 20 November 2009). Hall, B.W., 2008. The new human capital strategy: improving the value of your most important investment-year after year, Amacom, USA. Makhijani, N., Rajendran, K., dan Creelman, J., 2009. Best Practices in Alligning People with Strategic Goals, Azkia Publisher, Jakarta. Mangkuprawira, T., S., 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik, Ghalia Indonesia, Jakarta. Nawawi, H., 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk bisnis yang kompetitif, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Politeknik Batam, 2009. ‘Profil Politeknik Batam’, www.polibatam.ac.id (diakses 8 Desember 2009). Rusman, 2009. Manajemen Kurikulum. Rajawali Press : Jakarta Tambunan, T., 2001. Kinerja Ekspor Manufaktur Indonesia. LP3E Kadin, Indonesia, Jakarta. UNDP,2006. ‘Human Development Report 2006’, http://hdr.undp.org/ en/media/HDR06-complete.pdf (diakses 14 November 2009). -------,2007/2008. ‘Human Development Report 2007/2008’, http://hdr. undp.org/en/ media/HDR_20072008_EN_Complete.pdf (diakses 25 November 2009).
49
Link & match.indd 49
6/22/2010 6:38:49 PM
Inne Dwiastuti & Bahtiar Rifai
-------,2009. ‘Human Development Report 2009’, http://hdr.undp.org/ en/media/HDR_2009 _EN_Complete.pdf (diakses 25 November 2009). UIB,2009.’History’, http://www.uib.edu/history.asp’, (diakses 15 November 2009). Wiranta, S., dan Soekarni, M., 2008. Peranan Sumber Daya dan Teknologi Terhadap Perekonomian Nasional, dalam Pengembangan SUmber Daya Manusia: di antara Peluang & Tantangan, ed. Tjiptoherijanto, P. dan Nagib, L.,LIPI Press, Jakarta. World Economic Forum, 2009.’The Global Competitiveness Report 2009’, http://www.weforum.org/pdf/GCR09/GCR20092010fullreport. pdf (diakses 20 Desember 2009).
50
Link & match.indd 50
6/22/2010 6:38:49 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
BAB 3 POLA PENYERAPAN DAN TINGKAT PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA BERPENDIDIKAN TINGGI DI DUNIA INDUSTRI Zamroni Salim
Pendahuluan Permasalahan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tingginya angka pengangguran disamping permasalahan lain seperti kualitas tenaga kerja, upah dan lain sebagainya. Sebagai pencari kerja dengan latar belakang pendidikan yang tinggi (dalam penelitian ini adalah mereka yang lulus Diploma 1 ke atas), mereka mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pencari kerja dengan tingkatan pendidikan di bawahnya (sekolah menengah dan sekolah dasar). Bagi dunia industri, para pencari kerja ini juga dilihat sebagai sumberdaya manusia dengan tuntutan dan perlakuan yang berbeda. Adanya dinamika yang muncul dalam dunia kerja memberikan dampak tersendiri baik itu bagi pekerja maupun perusahaan/dunia industri. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pola penyerapan yang dilakukan oleh dunia industri terhadap pekerja terutama yang berpendidikan tinggi. Disamping itu, produktivitas tenaga kerja juga akan dibahas secara rinci khususnya yang menyangkut industri manufaktur di dua daerah yang dijadikan sampel penelitian yaitu Kepulauan Riau (Batam) dan Banten.
51
Link & match.indd 51
6/22/2010 6:38:49 PM
Zamroni Salim
Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Jumlah penawaran tenaga kerja cenderung lebih besar daripada jumlah permintaan yang dilakukan oleh perusahaan/dunia industri sebagai pemakai jasa tenaga kerja. Tingginya jumlah penawaran tenaga kerja atau jumlah pencari kerja ini tidak terlepas dari pola pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang diterapkan di Indonesia. Sementara itu di sisi lain, dunia industri juga dihadapkan pada terbatasnya sumber daya seperti permodalan dan sumber daya manusia yang produktif. Bagaimana keseimbangan yang terjadi di pasar dunia kerja? Berikut ini diuraikan bagimana jumlah orang yang bekerja (sebagai indikator jumlah tenaga kerja yang diminta oleh perusahaan) dan pengangguran (sebagai kelebihan jumlah penawaran tenaga kerja). Tabel 3.1
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Dan Jenis Kegiatan Selama Semingu yang lalu, 2005-2009
㻌
2009
2007
㻌
㻌
2005
㻌
㻌
Kepri
Banten
Nasional
Kepri
Banten
Nasional
Kepri
Banten
Nasional
Bekerja
616273
3792825
104485444
535797
3383661
99930217
na
3314836
90784917
㻌
㻌
Pengangguran
㻌
㻌
㻌
Pernah bekerja
35441
320859
4225143
29859
256079
3610914
na
205779
2685182
TPB
16796
343036
5033821
23218
376683
6400228
na
344216
6845908
Jumlah
52237
663895
9258964
53077
632762
10011142
na
549995
9531090
Jumlah AK
668510
4456720
113744408
588874
4016423
109941359
na
3864831
100316007
% Bekerja/AK
92.19
85.1
91.86
90.99
84.25
90.89
na
85.77
90.5
Bukan AK
㻌
Sekolah
65451
518449
13665903
75895
592435
13778
Mengurus RT
262528
1460638
32578420
234848
1529044
lainnya
35845
334974
8275717
34059
384998
Jumlah non AK
363914
2314061
54520040
344802
Jumlah Total
1032424
6770781
168264448
% AK/PUK
64.75
65.82
67.6
㻌
㻌
㻌
na
600179
11730912
31989042
na
1384263
32654468
8410544
na
290094
7948594
2506477
54176964
na
2274536
52333974
933676
6522900
16418323
na
6139367
152649981
63.07
61.57
66.99
na
62.95
65.72
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2005-2007, Keadaan Angkatan Kerja Indonesia, Feb. 2009 Keterangan: AK-Angkatan ker-ja, PUK-Penduduk usia kerja, TPB-Tidak pernah bekerja. Angka tahun 2009 adalah angka sampai Februari 2009.
52
Link & match.indd 52
6/22/2010 6:38:49 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 9.5% tahun 2005 dan sedikit menurun menjadi 8,14% di tahun 2009. Namun demikian, komposisi angka pengangguran secara nasional tersebut relatif tidak berubah secara drastis, dan masih cukup tinggi. Masih tingginya tingkat pengangguran ini dari sisi permintaan disebabkan salah satunya masih lemahnya penciptaan lapangan kerja (job creation). Di sisi lain, juga masih terkonsentrasinya para pencari kerja (job seekers) untuk menjadi pekerja/pegawai, termasuk juga di lembaga pemerintah, bukan menjadi wirausahawan yang mandiri. Dari data di dua daerah penelitian, nampak bahwa di daerah penelitian khususnya Banten tingkat pengangguran terbuka terus meningkat dari 13,98 persen pada tahun 2003 menjadi 18,91 persen pada tahun 2006 (Soesilowati, 2008); kemudian ada perbaikan dalam penyerapan tenaga kerja di tahun 2007 yang ditunjukkan dengan menurunnya angka pengangguran menjadi 15.75%, sedikit menurun lagi menjadi 14, 9% di tahun 2009. Bagaimana dengan pencari kerja dengan latar belakang pendidikan tinggi? Pada bab sebelumnya (lihat Tabel 2.3) telah ditunjukkan bahwa penduduk berusia 15 tahun ke-atas yang berpendidikan tinggi (Diploma keatas) sampai pada tahun 2009 merupakan persentase yang terkecil, yaitu 2.66% untuk Diploma dan 4.44% untuk Universitas.
53
Link & match.indd 53
6/22/2010 6:38:50 PM
Zamroni Salim
Tabel 3.2 Angka Pengangguran Terbuka Tertinggi yang Ditamatkan
Menurut
Pendidikan
Pendidikan Tertinggi Yang
2005 (Feb)
2006 (Feb)
2007 (Feb)
2008 (Feb)
2009 (Feb)
Ditamatkan Tidak/Belum
1 012 711
849 425
666 066
528 195
2 620 049
Pernah Sekolah/Belum Tamat SD Sekolah Dasar
2 540 977
2 675 459
2 753 548
2 216 748
2 054 682
SLTP
2 680 810
2 860 007
2 643 062
2 166 619
2 133 627
SMTA
3 911 502
4 047 016
3 745 035
3 369 959
1 337 586
322836
297185
330316
519867
486399
385418
375601
409890
626202
626621
10 854 254
11 104 693
10 547 917
9 427 590
9 258 964
Diploma I/II/III/Akademi Universitas
Total
Sumber: BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=06& notab=1
Dari Tabel 3.2 nampak bahwa walaupun angka pengangguran bagi penduduk yang berpendidikan tinggi masih lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pendidikan di bawahnya, namun dari tahun ke tahun tingkat pengangguran untuk mereka yang berpendidikan diploma dan khususnya sarjana terus mengalami peningkatan (kecuali untuk diploma pada tahun 2008). Pada Februari 2005, persentase jumlah penganggur yang berpendidikan Diploma dan Sarjana sebanyak 6,53%, di tahun 2009 meningkat menjadi 12,02%. Relatif tingginya tingkat pengangguran bagi mereka yang berpendidikan lebih tinggi ini antara lain dikarenakan tingkat persaingan 54
Link & match.indd 54
6/22/2010 6:38:50 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
yang lebih ketat di sektor formal-dimana para pencari kerja dengan pendidikan tinggi mengkonsentrasikan dirinya untuk bekerja sebagai pegawai atau staff. Sedangkan yang berpendidikan lebih rendah bisa lebih mudah untuk masuk ke sektor informal. Relatif tingginya tingkat pengangguran di kalangan pencari kerja dengan pendidikan tinggi ini juga merupakan indikasi adanya ketidaksinkronan keahlian antara yang diajarkan oleh lembaga pendidikan formal dan apa yang diminta oleh dunia industri. Di sisi lain, persentase lowongan pekerjaan yang tidak terisi masih cukup tinggi. Walaupun untuk Indonesia secara keseluruhan (Nasional) terjadi sedikit penurunan dari 16,10 % di tahun 2005, menjadi 15,20% di tahun 2008 lowongan pekerjaan yang tetap tidak terisi. Di daerah penelitian Banten lowongan pekerjaan yang tidak terisi menurun cukup drastis, sebaliknya di daerah penelitian Kepulauan Riau, dari yang semula jumlah penempatan kerja melebihi kapasitas lowongan pekerjaan yang tersedia, di tahun 2008 hampir separuh (43,72%) dari lowongan kerja yang ada tidak terisi (lihat tabel 3.3). Walaupun data lowongan pekerjaan yang tidak terisi, tidak terungkap kualitas pekerjaan yang dibutuhkan, namun demikian, tingginya angka pengangguran di satu sisi, dan masih cukup tingginya lowongan pekerjaan yang tidak terisi di sisi lain, dapat dijadikan cerminan adanya ketidak sesuaian antara kualitas pencari kerja dan kualitas pekerja yang dibutuhkan. Tabel 3.3 Pencari Kerja terdaftar, Lowongan Kerja Terdaftar dan Penempatan tenaga Kerja 㻌
2008
㻌
㻌
2005
㻌
㻌
㻌
Kepri
Banten
Nasional
Kepri
Banten
Nasional
Pencari Kerja
12561
141414
2970286
9863
31779
382706
Lowongan Kerja
9513
Penempatan Tenaga Kerja
5354
117875
2360377
1380
9328
168394
108794
2001512
1511
7167
Lowongan tidak terisi (iddle capacity)
141277
43.72
7.70
15.20
(9.49)
23.17
16.10
Pencari Kerja tidak terserap
57.38
23.07
32.62
84.68
77.45
63.08
Sumber: Statistik Indonesia, BPS, 2005, 2009
55
Link & match.indd 55
6/22/2010 6:38:50 PM
Zamroni Salim
Pengangguran dan Dinamikanya Pengangguran muncul sebagai akibat lebih besarnya jumlah penawaran tenaga kerja daripada jumlah yang diminta oleh perusahaan. Postulat ekonomi dasar tersebut tentu tidak akan dibahas secara lengkap dalam bagian tulisan ini terutama yang menyangkut excess supply sebagai suatu jumlah tertentu, tetapi yang akan dibahas adalah persoalan mengapa pengangguran bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi? Model ekonomi yang menjelaskan asal-usul pengangguran ini ada beberapa macam diantaranya adalah bahwa pengangguran muncul sebagai akibat ketidakmampuan perusahaan untuk melakukan observasi secara langsung terhadap usaha dan kemampuan tiap pekerjanya (Davidson and Matusz, 2004). Dalam hal ini, perusahaan harus bisa menemukan jalan untuk memotivasi karyawannya untuk bekerja lebih giat lagi. Berdasarkan efficiency wage approach terhadap pengangguran, salah satu cara untuk memotivasi pekerja adalah dengan memberikan upah yang lebih tinggi daripada rata-rata upah yang ada (market-clearing level). Berjalannya pasar tenaga kerja secara efektif akan mampu mengalokasikan sumber daya secara optimal. Bekerjanya pasar tenaga kerja di Indonesia secara baik akan mampu mencapai dua tujuan pokok yaitu: eficiency dan fairness dalam mengalokasikan sumber daya, income (termasuk gaji/upah) dan juga resiko. Sejak terjainya krisis ekonomi di Indonesia pasar tenaga kerja bisa dikatakan lebih restriktif atau rigid. Adanya pengaturan pada asosiasi pekerja, upah minimum adalah hal-hal yang mengiringinya (Sugiyarto, 2005). Dalam pasar persaingan sempurna, harga dan upah adalah fleksibel; upah real sama dengan the marginal productivity of labor (MPL). Dalam kenyataan, ada perbedaan antara upah riil dengan MPL. Perbedaan upah (wage gap) menimbulkan kesalahan dalam
56
Link & match.indd 56
6/22/2010 6:38:50 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
pemakaian sumber daya yang ada (misallocation of resources) (Hosono et.al, 2008). Hosono et.al. (2008) mengemukakan bahwa adanya gap tersebut disebabkan oleh tingkat penggunaan tenaga kerja (utilization rate), tingkatan regulasi pasar barang jadi, dan komposisi tenaga kerja. Secara khusus berdasarkan penelitian oleh Hosono et.al (2008), gap tersebut karena adanya sticky wage, hambatan masuk (entry firm restrictions), proteksi employment untuk karyawan dan juga senioritybased wage system sebagai suatu insentif. Tingginya upah yang diminta oleh pekerja secara tidak langsung akan mendorong munculnya pengangguran. Pekerja dengan upah yang relatif tinggi ada kecenderungan untuk mengalami ketakutan akan kehilangan (upah yang lebih tinggi), yang menyebabkan pekerja untuk tetap pada pekerjaanya (tidak pindah ke pekerjaan lain). Adanya tuntutan upah yang tinggi dan rigiditas upah menyebabkan perusahaan untuk mengurangi atau paling tidak menahan diri dari memperkerjakan karyawan baru. Dengan perkataan lain, jumlah penyerapan tenaga kerja (baru) akan terhambat. Oleh karena itu dalam keadaan adanya pengangguran, seperti yang terjadi sekarang ini maupun dalam krisis ekonomi 2008, upah cenderung tidak turun (rigid) namun yang terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Sisi positif dari pengangguran adalah bahwa masalah ekonomi ini bisa dilihat sebagai alat untuk mengontrol disiplin pekerja yang membuatnya bekerja lebih giat (Davidson and Matusz, 2004). Permasalahan mendasar tenaga kerja yang ada di daerah Batam adalah masalah mental calon tenaga kerja, umumnya tidak betah bekerja di Batam karena biaya hidup tinggi, jauh dari keluarga, dan persaingan upah antar perusahaan menjadi pendorong untuk terjadinya turnover pekerja1. Disinilah perlu upaya bagaimana supaya mereka betah bekerja dengan produktivitas yang tinggi. Bagaimana meningkatkan 1
Turn over cukup tinggi (khususnya level operator teknis) dikarenakan mereka tidak betah dengan apa yang dikerjakannya. Untuk tingkatan ini yang keluar dari perusahaan, biasanya kalau keluar dengan memberitahukan sebelumnya mereka mendapat upah (dengan porsi tertentu). Untuk tingkatan yang berpendidikan lebih tinggi (D3 ke atas) relative rendah, dan kalaupun terjadi hal ini lebih disebabkan adanya tawaran yang lebih menarik di perusahaan lain.
57
Link & match.indd 57
6/22/2010 6:38:50 PM
Zamroni Salim
etika bekerja, karena banyak tenaga kerja yang keluar tanpa ijin setelah mereka diterima, ataupun setelah selesai mengikuti pendidikan/training tertentu. Secara umum, turn-over yang relatif tinggi dikarenakan adanya tawaran gaji/upah yang lebih tinggi di perusahaan lain. Perusahaan pada umumnya hanya memberikan upah/gaji sebatas UMK, padahal perusahaan-perusahaan yang ada mampu memberikan upah diatas UMK tersebut, sehingga hal ini mempengaruhi semangat mereka dalam bekerja.
Perekrutan Tenaga Kerja di Perusahaan: Pola dan Strategi Rekrutmen secara umum bisa dijelaskan sebagai suatu proses untuk menentukan dan menarik pelamar yang mampu untuk bekerja dalam suatu perusahaan (Rivai and Sagala, 2009). Rekrutmen dilakukan oleh perusahaan apabila suatu perusahaan sudah memiliki gambaran tentang hasil analisis pekerjaan dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan perusahaan. Tugas dalam melakukan rekrutmen biasanya diserahkan oleh bagian SDM (Rivai and Sagala, 2009). Dalam proses rekrutmen biasanya dikaitkan dengan: (Rivai and Sagala, 2009) (fee agent recruitment, preproses riset interview, masalah relokasi dan pemrosesan karyawan baru. Dengan pertimbangan tersebut perusahaan mencari berbagai cara dalam memeperoleh karyawan untuk mengisi jabatan/posisi yang ada. Perusahaan dalam melakukan rekrutmen biasanya melalui jalur (Rivai and Sagala, 2009): overtime, subcontracting, temporary employees, employee leasing. Overtime dilakukan untuk mengatasi kondisi fluktuatif jangka pendek yang terkait dengan beban kerja. Subcontracting-suatu perusahaan mungkin tidak serta
58
Link & match.indd 58
6/22/2010 6:38:50 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
merta menambah jumlah karyawan dan memilih mengontrakkan pekerjaannya pada pihak/perusahaan lain. Temporary employeesuntuk mengurangi biaya-biaya dan mempertahankan fleksibilitas ketika terjadi volume kerja yang bervariasi dan ini dilakukan oleh banyak perusahaan dengan menggunakan karyawan sementara yang disediakan oleh perusahaan lain. Employee leasing dilakukan oleh perusahaan dengan cara memutuskan hubungan kerja karyawan dengan pertimbangan bahwa perusahaan akan bebas dari tanggung jawab sebagai pemberi kerja dan bebas administrasi SDM termasuk kesejahteraan pegawai. Selanjutnya leasing company merekrut mereka dengan upah/gaji yang relatif sama dan menyewakannya kembali kepada perusaahaan sebelumnya. Tujuan dari rekruitmen adalah tersedianya tenaga kerja yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh perusahaan baik itu jumlah maupun kualitas untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Dalam merekrut karyawan, perusahaan harus memperhatikan beberapa prinsip dalam rekrutmen (Rivai and Sagala, 2009) seperti mutu karyawan yang harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perusahaan, termasuk jumlahnya dengan biaya yang yang minimal. Dalam rekrutmen juga harus dilakukan dengan perencanaan dan keputusan strategis yang tepat dan pertimbangan lainnya. Berdasarkan asal-usul pekerja dan metode yang dipakai, perusahaan bisa merekrut karyawan dari beberapa sumber yaitu dari internal perusahaan, dari eksternal perusahaan dan dari luar negeri (Rivai and Sagala, 2009), berikut diuraiakan lebih lanjut: Dari internal perusahaan. Keuntungan dari rekruitmen internal adalah tidak terlalu mahal, loyalitas lebih terjamin, terbiasa dengan suasana perusahaan sendiri. Namun demikian sistem rekrutmen internal ini memiliki kelemahan diantaranya adalah adanya kecenderungan pembatasan terhadap kemampuan, bakat dan menyebabkan perasaan
59
Link & match.indd 59
6/22/2010 6:38:50 PM
Zamroni Salim
puas diri yang cenderung meningkat. Perekrutan ini bisa dilakukan melalui penawaran terbuka untuk suatu posisi (job posting programs) dan perbantuan pekerja (departing employees) Dari sumber external dalam bentuk walk-in and write-in, rekomendasi karyawan, pengiklanan (surat kabar, majalah dll), agen tenaga kerja, lembaga pendidikan dan pelatihan yang menggunakan tenaga kerja khusus, dll, open house. Disamping itu perekrutan juga bisa dari sumber external di luar negeri. Tabel 3.4 Cara mendapatkan informasi utk dapat pekerjaan (%) Sumber: Diolah dari data lapangan, Banten dan Batam, 2009 Banten
Batam
Dari Iklan di Media Masa
34.7
33.3
Dari kerabat yang sudah bekeja di perusahaan yang sama
44.6
36.5
Dari sekolah/universitas
7.9
7.9
Lainnya, melamar
12.9
22.2
100.0 (101)
100 (64)
Total
Bagaimana halnya dengan proses rekruitmen di dua daerah penelitian khususnya di industri manufaktur? Para pencari kerja memperoleh informasi tentang lowongan kerja biasanya melalui media massa atau media lainnya, seperti lewat perkenalan atau jalur pribadi (mempunyai kenalan/saudara yang bekerja di dalam perusahaan. Dalam Tabel 3.4 bisa dilihat bagaimana pencari kerja memperoleh informasi adanya lowongan yang ada di perusahaan di daerah Banten dan Batam. Sebagian besar pekerja atau sekitar 44.6% dan 36.5% untuk Banten dan Batam mengatakan bahwa sumber utamanya adalah melalui jalur pribadi, sedangkan yang melalui media massa sekitar 34.7% dan 33.3% (Banten dan Batam). Sementara itu hanya 7.9% yang
60
Link & match.indd 60
6/22/2010 6:38:50 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
memperoleh informasi dari universitas, baik untuk Banten dan Batam. Ada kesamaan bahwa untuk kedua daerah sebagian besar pekerja memperoleh informasi kerja dari kerabat atau orang dalam. Dari data tersebut bisa diperoleh informasi riil mengenai pola hubungan yang belum kuat antara dunia pendidikan dan dunia industri, paling tidak dalam hubungannya dengan arus informasi demand-supply tenaga kerja. Belum terbangunnya kepercayaan antara perguruan tinggi dengan industri, terutama menyangkut kualitas tenaga kerja juga nampak pada masih tingginya sumber pribadi sebagai refernsi utama dalam mencari calon pekerja. Berikut dijelaskan alur perekrutan (termasuk training sebelum pekerja masuk perusahaan) yang dilakukan oleh perusahaan di Kepulauan Riau dan Banten. Gambar 3.1 menjelaskan proses perekrutan tenaga kerja yang dilakukan oleh dunia industri. Perusahaan/Industri Outsourcing
Posisi/Jabatan
Internal Training
Promosi
PerekrutanBaru
PerguruanTinggi
BalaiPelatihan TenagaKerja
ExternalTraining
ExternalTraining Mahasiswa (PencariKerja)
PencariKerja
PencariKerja
Gambar 3.1 Proses Perekrutan Tenaga Kerja di Dunia Industri Keterangan: Outsourcing biasanya terjadi pada pekerja level operator atau teknisi, sedangkan untuk jabatan staff/manajerial dalam bentuk worker hijacking.
61
Link & match.indd 61
6/22/2010 6:38:51 PM
Zamroni Salim
Asal-usul tenaga kerja bisa dikelompokkan dalam beberapa sumber yaitu sumber langsung (pelamar kerja bergerak secara individu dan mengajukan lamaran ke perusahaan), dan tidak langsung (melalui lembaga pelatihan maupun universitas). Para pencari kerja secara tidak langsung ini biasanya memproleh training2 terlebih dahulu/memperoleh materi praktis sesuai yang diinginkan/diminta oleh perusahaan yang akan mempekerjakannya. Mereka yang melalui jalur lembaga pelatihan datang ke lembaga tersebut dengan tujuan mendapatkan pelatihan praktis tertentu (pengoperasian mesin bubut, bengkel mobil dan motor, juga akuntansi perbankan). Kemudian pihak perusahaan yang mengininginkan sejumlah karywan datang ke lembaga pelatihan dan merekrut karyawan yang siap kerja. Sedangkan yang melalui jalur universitas ini berupa perekrutan calon mahasiswa oleh perusahaan3. Jalur ini secara tidak langsung merupakan pemberian training kepada calon karyawan. Perhatian perusahaan terhadap training bagi karyawannya kadang muncul sebagai suatu aksi yang tidak langsung melibatkan karyawan, akan tetapi melalui langkah lain yang tidak langsung. Sebuah perusahaan di Banten melakukan training kepada bukan karyawannya tetapi kepada calon mahasiswa yang direkrutnya. Mengapa disebut calon mahasiswa? Karena mereka direkrut dari lulusan SMA/ SMK yang akan disekolahkan ke institusi yang lebih tinggi. Jenis institusi yang lebih tinggi tersebut merupakan institusi yang mempunyai spesialisasi di bidang yang sama dengan usaha perusahaan. Calon mahasiswa yang direkrut ini juga menandatangani kontrak yang berisi hak dan kewajiban, dimana status mereka setelah lulus dari institusi pendidikan langsung bekerja di perusahaan yang merekrutnya. Jenis 2
Training atau pelatihan dibedakan menjadi dua yaitu internal training dan external training. Internal training adalah pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan sendiri dan external training adalah pelatihan yang dilakukan oleh pihak luar, dalam hal ini bisa dilakukan oleh dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi maupun oleh lembaga pelatihan seperti balai latihan tenaga kerja (BLK). 3 Proses perekrutannya mirip merekrut karyawan baru, namun mereka tidak langsung diangkat menjadi pegawai akan tetapi harus melalui tahapan sekolah/kuliah. Bila mereka berhasil memenuhi target baik itu target waktu maupun kualitas, kemudian mereja bisa diterima sebagai karyawan.
62
Link & match.indd 62
6/22/2010 6:38:51 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
perekrutan dan training ini, perusahaan melakukannya sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Jadi biaya yang dikeluarkannya bukan bagian dari biaya pengembangan human resources yang bersumber pada Human Resources Development (HRD)4. CSR yang dilakukan perusahaan ke arah dunia pendidikan belum banyak dilakukan. Mereka melakukan CSR hanya sebatas bakti sosial yang sifatnya dan manfaatnya tidak berkelanjutan. Untuk tingkat pendidikan yang lebih rendah, model perekrutan ini juga terjadi. Perusahaan merekrut karyawannya dan menyekolahkannya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di Batam ada yang namanya SMK Schneider. Dalam merekrut siswanya perusahaan ini sudah melakukan seleksi yang ketat layaknya perekrutan pegawai di perusahaan. Selama studi mereka para siswa juga dilatih ditempat/laboratorium yang peralatannya merupakan peralatan yang bisaa dipakai dalam perusahaan (Schenider). Kemudian setelah lulus para siswa tersebut langsung diangkat menjadi karyawan perusahaan tersebut. Bentuk lain dari proses perekrutan dilakukan antara perusahaan dangan perguruan tinggi yang dilakukan dalam bentuk pelatihan dan kewirausahaan. Proses kerja sama dua arah ini berupa kesempatan magang bagi mahasiswa di perusahaan, dan pemberian kesempatan kuliah untuk karyawan/pekerja di kampus. Baik di Batam maupun di Banten ada semacam lembaga pelatihan bagi calon karyawan atau pencari kerja yang ingin memeproleh keahlian khusus sebelum mereka menjadi karyawan yang sebenarnya. Lembaga pelatihan ini bisa dikategorikan sebagai tempat external training bagi perusahaan. Di Batam lembaga pelatihan tersebut bernama Batam Skill Development Centre, sedangkan di Banten bernama Balai Besar Latihan Kerja Indonesia- BBLKI atau disebut SITI- Serang Industrial Training Institute. Lembaga ini bekerja sama dengan dunia 4
Memang tidak ada ketentuan formal yang mengatur siapa yang bertanggung jawab terhadap training karyawan perusahaan. Secara umum perekrutan dan training dilakukan oleh HRD. Siapapun yang mnelakukan proses recruitment dan training, mereka mempunyai satu tujuan yaitu diperolehnya tenaga kerja yang siap kerja terampil; tetapi motif yang ada berbeda antara HRD dan Public Relation (PR) melalui CSR.
63
Link & match.indd 63
6/22/2010 6:38:51 PM
Zamroni Salim
pendidikan dan juga perusahaan untuk memberikan pelatihan bagi calon pekerja. Untuk lebih mengajarkan ilmu yang bersifat praktis, maka dipilihlah instruktur yang berasal dari dunia industri atau praktisi dan juga guru yang mendapatkan sertifikasi dari perusahaan.
Proses perekrutan Proses rekruitmen yang dilakukan oleh perusahaan biasanya adalah dengan mengiklankan lowongan di surat kabar atau media massa lainnya, menggunakan head hunter, lewat relasi/kenalan orang yang sudah bekerja, campus recruitment (khususnya bila ada rekomendasi dari alumnus yang bekerja di perusahaan) dan juga job fair di kampus. Jalur lain yang ditempuh adalah melalui Disnaker yang menyampaikannya kepada masyarakat dan melalui kampus bagi mahasiswanya. Dalam merekrut karyawan (D1 ke atas), perusahaan melakukan interview terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh bagian personalia/HRD. Ada beberapa perusahaan yang memberikan prioritas buat masyarakat sekitar (tentu dengan standard kualitas tenaga kerja yang sama)5. Informasi yang diiklankan berisi persyaratan baik akademis, pengalaman atau keahlian tertentu. Syarat untuk karyawan dengan latar belakang pendidikan diploma dan sarjana biasanya adalah: mampu bekerja dalam teamwork (harus bisa bekerjasama), mempunyai jiwa leadership (karena pekerjaannya lebih bersifat manajerial untuk mengelola bawahan). Bahkan untuk jabatan tertentu setingkat manajer biasanya ditambahkan persyaratan lain menyangkut soft competency dan hard compentency. Soft compentency meliputi thinking ability, managing task, managing oneself, managing people, dan aspek intelektualitas. 5
Diprioritaskan untuk masyarakat sekitar dalam arti, kalau calon karyawan sama-sama memiliki kualitas yang sama antara yang dai lingkungan sekitar dengan yang dari daerah lain, maka yang diterima adalah yang dari lingkungan sekitar. Sebagai contoh kasus, di sebuah perusahan eebagin besar karyawan adalah orang sekitar (Banten) yaitu antara 65%-70%.
64
Link & match.indd 64
6/22/2010 6:38:51 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Berikut diuraikan secara ringkas beberapa tahapan yang dilakukan dalam proses perekrutan : •
• • • • •
Pasang iklan dengan persyaratan tertentu: tingkat pendidikan tertentu (D3 ke atas), berpengalaman. Penguasaan bahasa tertentu sebagai pelengkap dan merupakan keuntungan (advantageous) biasanya untuk staff pemasaran. Wawancara Praktek (tes penyelesaian masalah khusus) Jika lulus, maka masuk dalam masa percobaan (beberapa bulan, 3 bulan) Menandatangani kontrak (tahun) Diangkat sebagai pegawai tetap.
Dalam proses perekrutan khususnya wawancara biasanya dilakukan kesepakatan secara informal mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak termasuk remunerasi yang akan diberikan oleh pihak perusahaan kepada calon karyawan dan juga insentif lainnya. Penentuan tingkat upah/gaji dan insentif pada awalnya lebih memperhatikan pada lama kerja/pengalaman, juga ada kecenderungan tidak ada pembedaan yang signifikan bagi yang mempunyai ijazah tertentu (tingkat diploma keatas). Sebelum karyawan masuk kerja biasanya ada masa percobaan (sekitar 3 bulan), kemudian kontrak beberapa tahun (2 tahun) dan setelah itu permanen.
•
Proses Perekrutan: Antara Kualitas Yang Diminta dan Ditawarkan
Berikut diuraikan studi perbandingan mengenai permasalahan yang terkait dengan masalah kualitas (skills mismatches) maupun kuantitas (shortages) di beberapa Negara seperti Malaysia, Thailand, Philippines, India, Bangladesh, and Brazil (Zeufack (2006) seperti dikutip oleh USAID, 2007). Setidaknya hampir sekitar 50% perusahaan 65
Link & match.indd 65
6/22/2010 6:38:51 PM
Zamroni Salim
di Indonesia menyediakan lowongan kerja untuk para professional dan tenaga kerja terlatih dalam dua tahun terakhir. Angka tersebut lebih rendah daripada yang terjadi di Negara seperti Thailand dan Bangladesh yang besarnya berkisar antara 70 – 80%. Terkait dengan seberapa cepat suatu lowongan terisi, di Indonesia lowongan buat para professional terisi dalam kurun waktu dua atau 3 minggu (ini merupakan yang terpendek dibanding dengan Negara lain dalam studi ynag dilakukan oleh Zeufack (2006). Permasalahan tentang kualitas tenaga kerja (skill shortages) nampak berada pada posisi manajemen tingkat menengah (27.4%) dan posisi local engineer (27.7% of firms). Angka ini lebih rendah dari rata-rata cross-country yang besarnya masing-masing sebesar 39% dan 28.6%. Angka ini didukung oleh ADB (2005) yang menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja terlatih bukan menjadi masalah yang utama dibanding dengan permasalahan regulasi pasar tenaga kerja di Indonesia USAID, 2007). Ketidaksinkronan keahlian yang terjadi ketika pekerja masuk dalam suatu perusahaan bisa diatasi salah satunya dengan pelatihan kerja (worker training). Di Indonesia hanya sekitar 30% perusahaan yang menyediakan pelatihan bagi karyawannya (terutama karyawan baru). Bila dilihat dari perbandingan antara perusahaan asing dan domestic, perusahaan asing lebih banyak menyediakan training baik itu in-house training maupun training yang dilakukan di luar (external training). Untuk jenis yang in-house training, antara perusahaan asing dan ddomestik adalah 43% banding 21.5% dan yang untuk external training adalah 36% banding 22%. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh the World Business Environment Survey (Batra dan Stone (2004) seperti dikutip oleh USAID, 2007), keputusan untuk melakukan training dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut: teknologi telah berkembang dan pekerja sudah cakap, in-house training dikatakan sudah cukup/memadai, pekerja yang terlatih mudah untuk dipekerjakan, perpindahan pekerja yang
66
Link & match.indd 66
6/22/2010 6:38:51 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
tinggi (labour turnover) terlalu membebani (costly). Hal tersebut bisa dilihat bahwa perusahaan yang tidak melakukan training secara serius (investasi yang besar) dikarenakan mereka berfikir bahwa kesesuaian kemampuan pekerja dengan pekerjaan dirasa cukup. Perpindahan tenaga kerja menyebabkan perusahaan enggan melakukan investasi secara memadai (USAID, 2007). Hasil survey tersebut sejalan dengan penemuan sebelumnya oleh Tzannatos and Sayed (1997) (seperti dikutip oleh USAID, 2007) yang menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan di Indonesia mengambil keuntungan dengan murahnya tenaga kerja dan menjatuhkan pilihan pada pemakaian proses produksi yang labour intensive dengan metode yang simple dan tradisional. Hanya sedikit diperlukan pekerja dengan skill yang tinggi untuk ratusan pekerja yang tidak terlatih (unskilled workers) atau agak terlatih (semi-skilled workers) yang bekerja secara berulang/monoton (USAID, 2007). Tabel 3.5 Persyaratan yang sulit dipenuhi saat pertama masuk kerja Diploma 3
Sarjana
Pasca Sarjana
Total
Banten Tes potensi akademik
4.95
6.93
3.96
15.84
Tes IQ
2.97
3.96
1.98
8.91
Psikotes Tes presentasi/Uji ketrampilan
0.99
3.96
0.99
5.94
7.92
9.90
1.98
19.80
Tes Bahasa Inggris
4.95
5.94
0.99
11.88
Wawancara
4.95
6.93
0.99
12.87
Latar belakang pendidikan
0.99
5.94
0.00
6.93
Koneksi orang dalam
5.94
6.93
0.00
12.87
Lainnya Total
1.98
2.97
0.00
4.95
35.64
53.47
10.89
100.00
67
Link & match.indd 67
6/22/2010 6:38:51 PM
Zamroni Salim
Batam Tes potensi akademik
1.59
4.76
0.00
6.35
Tes IQ
6.35
7.94
0.00
14.29
Psikotes
3.17
9.52
0.00
12.70
Tes presentasi/Uji ketrampilan
6.35
3.17
0.00
9.52
11.11
6.35
0.00
17.46
Wawancara
1.59
7.94
0.00
9.52
Latar belakang pendidikan
1.59
3.17
0.00
4.76
Koneksi orang dalam
9.52
3.17
0.00
12.70
Tes Bahasa Inggris
Lainnya Total
4.76
7.94
0.00
12.70
46.03
53.97
0.00
100.00
Sumber: Diolah dari data lapangan, Banten dan Batam, 2009
Dalam upaya mencari tenaga kerja yang berkualitas, perusahaan dalam merekrut karyawannya melakukan uji kelayakan dengan memberikan serangkaian test kepada calon pekerjanya. Dari survey di lapangan (Banten) nampak bahwa test presentasi/uji ketrampilan merupakan sandungan tersendiri bagi mereka yang mencari kerja (Tabel 3.5). Ini menunjukkan bahwa keahlian yang mereka miliki dinilai belum cukup oleh calon pekerja sendiri6. Sementara itu untuk daerah Batam, sebagian besar pekerja mengatakan bahwa sandungan yang paling besar adalah bahasa Inggris. Untuk daerah Batam, kemampuan bahasa Inggrris nampak begitu diharapkan oleh perusahaan, karena sebagian besar perusahaan yang beroperasi di Batam adalah berorientasi ekspor dan merupakan perusahaan multinasional.
Faktor Penentu dan Peningkatan Produktivitas Pekerja Produktivitas merupakan alat ukur efisiensi sumberdaya yang dipakai dalam proses produksi baik itu sumber daya manusia maupun 6 Untuk mereka yang berpendidikan Pasca sarjana, test potensi akademik yang mereka takutkan menunjukkan bahwa mereka tidak mampu menjawab persoalan kemampuan akdemik yang lebih bersifat umum, sementara mereka lebih menekuni biodang tertentu sesuai keahliannya (yang ditunjukkan oleh kecilnya angka untuk test presentasi/uji ketrampilan dan juga wawancara). Untuk lengkapnya bisa dilihat di tabel.
68
Link & match.indd 68
6/22/2010 6:38:51 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
bahan baku. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas pekerja baik itu yang menyangkut lingkungan fisik maupun non-fisik. Lingkungan fisik bisa berupa lingkungan kerja/pabrik/ruangan tempat dimana pekerja berada maupun peralatan dan perlengkapan dalam bekerja. Sementara lingkungan non-fisik bisa berupa kemampuan (skill), motivasi diri sendiri dan rekan kerja termasuk atasan dan suasana kerja yang ada. Analisis terhadap faktor penentu produktifitas ini meliputi aspek teoritis, sumber referensi lainnya dan aspek empiris berupa hasil dari penelitian lapangan yang dilakukan oleh tim. Dalam Tabel 3.6 bisa dilihat bahwa untuk daerah Banten keahlian/ pendidikan, training yang diperoleh dan juga lingkungan fisik seperti perlengkapan sarana teknologi/lainnya mempunyai kontribusi terbanyak dalam mempengaruhi produktivitas pekerja yang nilainya mencapai 37.62% dari responden (Group 1), sementara untuk daerah Batam sebagian besar pekerja merasa bahwa ketrampilan, fasilitas Kerja dan lingkungan kerja mempengaruhi produktivitas kerja dengan jumlah 36.51%. Dalam group lain juga nampak bahwa mereka menunjukkan faktor penentu produktivitas yang pada dasarnya berkaitan dengan pendidikan/keahlian, training dan lingkungan fisik sebagai faktor penting dengan kombinasi fasktor lainnya seperti promosi dan juga lingkungan kerja termasuk rekan kerja.
69
Link & match.indd 69
6/22/2010 6:38:51 PM
Zamroni Salim
Tabel 3.6 Tiga Faktor Penting Yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja 㻌
Group 1
Group 2
Group 3
Group 4
Total
Banten Diploma 3
12.87
10.89
1.98
9.90
35.64
Sarjana
12.87
19.80
9.90
10.89
53.47
0.99
6.93
1.98
0.99
10.89
26.73
37.62
13.86
21.78
100.00
7.94
9.52
12.70
15.87
46.03
17.46
7.94
7.94
20.63
53.97
Pasca Sarjana Total Batam Diploma 3 Sarjana Pasca Sarjana Total
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
25.40
17.46
20.63
36.51
100.00
Keterangan: Group 1-mereka yang berepndapat bahwa produktivitas dipengaruhi oleh 3 faktor penting yaitu: Gaji naik, Promosi, Rekan kerja dan teknologi. Group 2- Sesuai keahlian/pendidikan, Pelatihan/training dan perlengkapan yang mendukung. Group 3- Budaya kerja, Kesehatan dan Reward. Group 4- Ketrampilan, Fasilitas Kerja dan Lingkungan kerja
Lebih kanjut mengenai tiga faktor penting ini, berikut dijelaskan sejau mana ketiganya mempengaruhi produktivitas pekerja (lihat Tabel 3.7). Untuk daerah Banten, pendidikan berpengaruh secara signifikan sebesar 74.26%, pelatihan/training sebesar 100%, dan kelengkapan peralatan/teknologi sebesar 97%. Dari ketiga faktor tersebut, yang paling dominan adalah training dalam mempengarihi tingkat produktivitas pekerja di Banten. Sementara itu, untuk daerah Batam, nampak bahwa pendidikan berpengaruh sekitar 85.71%, pelatihan/ training sebesar 82.54% dan kelengkapan peralatan/teknologi sebesar 88.89%. Nampak bahwa ketiga faktor utama yaitu pendidikan, training dan perlengkapan/teknologi-lingkungan fisik mempunyai pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan produktivitas pekerja.
70
Link & match.indd 70
6/22/2010 6:38:52 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Tabel 3.7 Intensitas Pengaruh dari Faktor Penentu produktivitas kerja Pendidikan Banten Pendidikan
Training
Diploma 3 Sarjana S2/S3 Total Diploma 3 Sarjana S2/S3 Total
Kelengkapan Diploma 3 Peralatan/Teknologi Sarjana S2/S3 Total
Sangat berpengaruh
Berpengaruh
Tidak berpengaruh
Total
6.93 11.88 3.96 22.77 7.92 16.83 4.95 29.70
13.86 30.69 6.93 51.49 27.72 36.63 5.94 70.30
14.85 10.89 0.00 25.74 0.00 0.00 0.00 0.00
35.64 53.47 10.89 100.00 35.64 53.47 10.89 100.00
17.82
17.82
0.00
35.64
15.84 0.99 34.65
34.65 9.90 62.38
2.97 0.00 2.97
53.47 10.89 100.00
14.29
20.63
11.11
46.03
9.52
41.27
3.17
53.97
Batam Pendidikan
Diploma 1-3 Sarjana S2/S3
Training
0.00
0.00
0.00
0.00
Total
23.81
61.90
14.29
100.00
Diploma1- 3
9.52
25.40
11.11
46.03
14.29
33.33
6.35
53.97
0.00
0.00
0.00
0.00
23.81
58.73
17.46
100.00
23.81
19.05
3.17
46.03
22.22
23.81
7.94
53.97
0.00
0.00
0.00
0.00
46.03
42.86
11.11
100.00
Sarjana S2/S3 Total Kelengkapan Diploma 1-3 Peralatan/Teknologi Sarjana S2/S3 Total
Dari berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas, ada dua determinan yang akan dibahas secara lebih detail dalam bab ini, yaitu training dan tingkat pendidikan. Terlepas dari adanya pendapat 71
Link & match.indd 71
6/22/2010 6:38:52 PM
Zamroni Salim
yang setuju maupun tidak setuju, pendidikan mempunyai pengaruh terhadap produktivitas pekerja. Bagamana kedua hal tersebut mempengaruhi produktivitas juga akan dibahas. Berbagai upaya ditempuh oleh perusahaan dalam memeproleh pekerja yang berkualitas yang mempunyai produktivitas yang tinggi. Salah satu cara yang akan dibahas dalam bab/bagian ini adalah peningkatan produktivitas melalui pelatihan (training). Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang cenderung menyebabkan sebuah perusahaan enggan melakukannya.
Latar Belakang Pendidikan Diskusi masalah pendidikan ini berkaitan dengan permasalahan human capital biasanya direpresentasikan sebagai pengetahuan pekerja dan juga kemampuannya yang mampu meningkatkan produktivitas dan performance dalam bekerja yang diperoleh dari pendidikan dan atau training7. Human capital bisa disamakan dengan physical capital. Siapapun bisa melakukan investasi dalam human capital. Human capital bisa dijadikan substitusi terhadap physical capital dan tenaga kerja. Investasi dalam human capital ini bisa berupa sekolah formal, on-the-job training, off-the-job training, perlakuan medis dan sejenisnya (Taiji, 2009). Human capital melalui pendidikan (e.g., Schultz [1961], Becker [1975]) merupakan pengalokasian sumberdaya secara efisien mensyaratkan bahwa tingkat pengembalian pada pendidikan sama dengan tingkat pengembalian pada bentuk investasi yang lainnya (Kim dan Mohtadi, 1992). Dengan demikian mereka yang melakukan investasi dalam pendidikan juga berharap bahwa ada retuts to educations yang akan mereka peroleh di kemudian hari. Biaya yang 7 Konsep human capital dalam ekonomi neoklasik dipelopori oleh Mincer (1958) dan kemudian dikaji lebih lanjut oleh Becker (1962, 1964) (Taiji, 2009)
72
Link & match.indd 72
6/22/2010 6:38:52 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
dikeluarkan untuk pendidikan merupakan investasi dalam human capital, yang tingkat pengembaliannya dalam bentuk upah yang lebih tinggi (Kim dan Mohtadi, 1992). Ada hubungan antara pendidikan (schooling) dan tingginya pendapatan baik itu di negara maju maupun berkembang (Duryea dan Pagés, 2002). Namun demikian, investasi dalam bentuk human capital beresiko dengan dua alasan sebagai berikut: pendidikan terpisah dengan upah/gaji karena gaji yang mungkin akan diterima mungkin sulit untuk dipredikisi oleh individu yang bersangkutan; individu yang bersangkutan juga belum tahu apakah dia akan sukses dengan apa yang telah dilakukannya (dalam pendidikan) (Harmon et.al, 2001). Pendidikan telah dikenal mempunyai pengaruh positif secara langsung terhadap pembangunan ekonomi, pertumbuhan, kemampuan (potensial) seseorang dan juga produktivitasnya (Lau, et.al, 1991; Kim dan Mohtadi, 1992). Ada studi yang menunjukkan keuntungan ekonomi dari pendidikan yang diukur dalam bentuk pendapatan dari pekerja seumur hidup. Tingkat pengembalian terhadap pendidikan (rate of return to education) dikaji dengan pendekatan Human Capital' approach yang dipelopori oleh Schultz (1961). (Lau, et.al, 1991). Melalui jalur mana sajakah pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan pembangunan secara umum? Pendidikan mampu meningkatkan kemampuan seseorang untuk (Lau, et.al, 1991) melakukan tugas bisaa dan kemampuan untuk menerima tugas baru (kemudahan dalam menyesuaikan diri); menerima dan memproses informasi yang baru; berkomunikasi dan berkoordinasi dengan yang lainnya; mengevaluasi dan menyesuaikan kondisi yang terus berubah; membantu mengurangi ketidakpastian subjektif dan keraguan yang tidak perlu dan kemampuan untuk mengadopsi perubahan teknologi yang baru dan meningkatkan kemampuan seseorang untuk melakukan inovasi dan produksi.
73
Link & match.indd 73
6/22/2010 6:38:52 PM
Zamroni Salim
Studi juga dilakukan untuk menguji keterkaitan pendidikan dalam meningkatkan kemampuan mengadopsi keahlian tertentu oleh pekerja. Pendidikan merupakan pelengkap modal fisik (physical capital) dan teknologi (Lau, et.al, 1991). Pendidikan yang dimiliki oleh individu tertentu mungkin mempunya pengaruh terhadap upah/gaji yang diterimanya di pasar tenaga kerja, bukan karena pengaruh terhadap produktifitas tetapi karena pendidikan merupakan sinyal adanya produktivitas (a signal of productivity) atau sesuatu yang dinilai oleh pengusaha/pemilik perusahaan bahwa pendidikan itu berguna karena pendidikan berkontribusi pada produktvitas meski hal itu sulit untuk ditelaah (Chevalier et.al, 2003). Pengusaha percaya bahwa pendidikan terkait dengan produktivitas, oleh karena itu pengusaha melakukan perekrutan terhadap karyawannya dan memberikan gaji yang lebih kepada mereka yang lebih terdidik. Kepercayaan pengusaha akan terbukti bila tingginya produktivitas seseorang karyawan merupakan signal dari tingkat pendidikannya. Penjelasan yang diuraikan oleh Becker (1962) dan Schultz (seperti dikutip oleh Chevalier et.al (2003) bahwa adanya hubungan antara pendidikan dan gaji dikarenakan bahwa pendidikan mampu meningkatkan produktivitas. Adanya kesulitan mendasar terkait dengan adanya perbedaan bahwa pendidikan merupakan signal terhadap produktivitas yang ada dan sinyal terhadap peningkatan produktivitas adalah bahwa keduanya (human capital theory and signaling theory) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendapatan dan tingkat pendidikan. Study yang dilakukan oleh Chevalier et.al, (2003) mendapatkan fakta bahwa pengaruh tingkat pendidikan terhadap upah secara rata-rata cukup besar yaitu mendekati 10% setiap 1 tahun tambahan pendidikan seperti terlihat dalam Gambar 3.2 berikut:
74
Link & match.indd 74
6/22/2010 6:38:52 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Gambar 3.2 Pengaruh tambahan tahun pendidikan normal pada upah-laki-laki dan perempuan (%) LFS 1993-2001 Sumber: Chevalier et.al, (2003)
Studi lain dilakukan oleh Iranzo dan Peri (2006) menyimpulkan bahwa adanya kenaikan pendidikan ke level menengah mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap peningkatan Total Factor Productivity-TFP (kurang dari 2% untuk setiap kenaikan 1 tahun pendidikan). Sementara itu untuk tingkat akademi mempunyai pengaruh sekitar 17%. Ada beberapa studi yang menjelaskan apakah pendapatan dari pekerja yang lebih terdidik merefleksikan kemampuan yang ada? Jika kebanyakan mereka yang bekerja dengan keahlian yang kebih adalah mereka yang berpendidikan lebih tinggi, pendidikan bisa dikatakan sebagai signal tinnginya kemampuan/keahlian. Meskipun demikian tingginya pendapatan menunjukkan bahwa pendidikan yang mampu memberikan pengetahuan dan keahlian mampu meningkatkan produktivitas pekerja (Duryea dan Pagés, 2002).
75
Link & match.indd 75
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
Ada juga study yang mengatakan bahwa pendidikan tidak mempengaruhi produktivitas seseorang secara langsung. Pendidikan hanya sebagai screening device (Dore [1976]). Spence [1974] menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah signaling device. Spence juga tidak menafikan bahwa ada hubungan antara pendidikan dan produktivitas (Kim dan Mohtadi, 1992). Hal ini karena sebenarnya produktivitas real seseorang itu tidak bisa diketahui dengan sempurna, maka performance seseorang melalui pendidikannya dilihat sebagai indikator yang menunjuk ke arah adanya informasi tentang berbagai atribut yang terkait dengan produktivitas pekerja (seperti motivasi, kedisiplinan, ketepatan waktu, kerajinan, dll). Dalam kasus demikian adalah optimal bila pekerja yang berpendidikan lebih mencari pendidikan yang lebih tinggi lagi dan berharap upah yang lebih tinggi lagi. Adanya ekspektasi demikian bisa terwujud bila pengusaha/yang mempekerjakannya menyadari bahwa pekerja dengan pendidikan yang lebih tinggi adalah lebih produktif daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah (Kim dan Mohtadi, 1992). Pendidikan berfungsi sebagai screening device untuk meyeleksi karyawan dan juga human capital device yang mampu meningkatkan produktivitas. Pengangguran dilihat sebagai worker discipline device untuk menghindarkannya dari kemungkinan lari dari perusahaan (Kim dan Mohtadi, 1992).. Dalam kerangka human capital, pendidikan menambah kemampuan alamiah (bakat) yang dimiliki oleh pekerja yang kemudian ditawarkannya di pasar tenaga kerja. Pendukung konsep/teori ini juga melihat bahwa pendidikan merupakan signaling or screening device untuk keahlian yang tidak bisa 76
Link & match.indd 76
6/22/2010 6:38:53 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
diobservasi dengan baik (Bedard, 199). Secara spesifik, perusahaan mengindikasikan kemampuan dengan pendidikan dan mahasiwa memilih pendidikan tingkat tertentu untuk memberikan signal tentang kemampuannya kepada perusahaan/pengusaha potensial. Dengan demikian upah yang diterima oleh mereka yang berpendidikan tinggi merupakan kombinasi dari akumulasi human capital dan juga efek dari diidentifikasikannya seseorang sebagai lulusan bukannya sebagai yang putus sekolah (Bedard, 199). Selanjutnya karena semakin lebih mudah bagi yang berpendidikan lebih tinggi untuk membedakannya dengan yang tidak berpendidikan/lebih rendah, upah menjadi lebih berfungsi sebagai indikator kesesuaian kemampuan dengan pekerjaan (meritocratic) dan juga pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah untuk diraih, maka upah bisa lebih merefleksikan produktivitas (Bedard, 199). Pekerja dengan tingkat pendidikan yang berbeda bersifat tidak bisa saling menggantikan dalam proses produksi (not perfect substitutes). Hal ini terkait dengan perbedaan teknologi yang mampu diadopsinya/diserapnya dan berbagai variasi produk yang diproduksi pada berbagai tingkatan keahlian. Iranzo and Peri (2006). Iranzo dan Peri (2006) menguji hubungan antara pendidikan dan TFP di Amerika Serikat dengan mengasumsikan hanya ada dua jenis teknologi yaitu tradisional dan modern. Nampak bahwa pekerja yang lebih terdidik (dengan pendidikan yang lebih tinggi) mempunyai keuntungan komparasi (comparative advantage) di sector modern, selanjutnya ada kenaikan pengaruh terhadap TFP dengan adanya kenaikan tingkat pendidikan. Dengan pendidikan yang lebih rendah mempunyai 77
Link & match.indd 77
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
tingkat pengembalian pribadi dan social (private and social returns) yang lebih kecil karena teknologi yang digunakannya mempunyai tingkat pengembalian yang lebih kecil terhadap keahlian yang dimilikinya (lower returns to skills) dan tidak memungkinkannya/kecil kemungkinannya untuk memproduksi barang yang terdiferensiasi (differentiated goods). Sementara itu untuk pendidikan yang tinggi mempunyai tingkat pengembalian pribadi dan social yang lebih tinggi karena teknologi yang modern memungkinkannya untuk memproduksi dengan produktivitas yang lebih tinggi dan mampu memproduksi barang dengan diferensiasi yang tinggi. Bagaimana pengaruh pendidikan dalam bekerja khususnya produktivitas kerja? Berdasarkan data lapangan (wawancara), dalam bekerja dan juga dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja, kemampuan dan ketrampilan dalam bekerja lebih dominan. Namun demikian, pendidikan tetap penting mengingat kemampuan seseorang dalam menyerap perkembangan teknologi/mesin ditentukan oleh tingkat pendidikannya (mereka cenderung lebih tanggap dalam menerim instruksi). Data yang diperoleh dari lapangan (Tabel 3.8) menunjukkan bahwa para pekerja meyakini bahwa latar belakang pendidikan yang mereka peroleh mempunyai kontribusi dalam meningkatkan produktivitas mereka. Sekitar 75% (Banten) dan 85.71% (Batam) pekerja mengatakan bahwa pendidikan yang telah mereka peroleh mempunyai kontribusi dalam meningkatkan produktivitas mereka dalam bekerja.
78
Link & match.indd 78
6/22/2010 6:38:53 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Tabel 3.8 Lata belakang Pendidikan dan produktivitas kerja 㻌
Sangat berpengaruh
Berpengaru h
Tidak berpengaruh
Total
Banten Diploma 3 Sarjana Pasca Sarjana Total Batam
6.93 11.88 3.96 22.77
13.86 30.69 6.93 51.49
14.85 10.89 0.00 25.74
35.64 53.47 10.89 100.00
Diploma 3
14.29
20.63
11.11
46.03
41.27
3.17
53.97 0.00 100.00
Sarjana
9.52
Pasca Sarjana
0.00
0.00
0.00
Total
23.81
61.90
14.29
Training Bagi Para Pekerja Pelatihan atau training bagi para pekerja bisa dikategorikan dalam beberapa kelompok. Menurut isi/materi yang disajikan, training dikelompokkan dalam bentuk general dan specific training; sedangkan menurut penyelenggaraannya dikelompokkan menjadi internal dan external training. Internal training adalah pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan sendiri dan external training adalah pelatihan yang dilakukan oleh pihak luar, dalam hal ini bisa dilakukan oleh dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi maupun oleh lembaga pelatihan seperti balai latihan tenaga kerja (BLK). Sebagaimana yang diuraikan oleh Asplund (2005), training umum (general training) bisa meningkatkan produktivitas pekerja yang bekerja di perusahaan yang menyediakknya juga bermanfaat bagi pengembangan produktivitas perusahaan lainnya. Sementara itu, training khusus (specific training) meningkatkan produktivitas pada pekerja yang detraining pada perusahaan tertentu saja. Untuk general 79
Link & match.indd 79
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
training bisaannya karyawan yang menanggung sendiri biaya training atau juga bisa share dengan perusahaan tempat dia bekerja. Terkait dengan jenis training ini, perusahaan-perusahaan Eropa cenderung untuk mau menanggung biaya general training daripada perusahaan Amerika (Asplund, 2005). Mengapa training mempunyai arti yang penting bagi perusahaan? Trainning ini dianggap sebagai investasi bagi perusahaan. Disamping itu, training bisa dijadikan alat untuk transfer teknology dari perusahaan dengan keahlian (tenaga kerja) yang tinggi ke perusahaan dengan keahlian yang rendah (Miyamoto dan Todo, 2003). Selain itu training juga bisa memberikan bekal kemampuan khusus kepada pekerja atau calon pekerja yang tidak mempunyai keahlian khusus, terutama bagi mereka dengan latar belakang pendidikan yang berbeda dengan pekerjaannya. Training ini juga bisa menjadi jembatan/penghubung keahlian yang seharusnya dipunyai oleh pekerja dan yang diinginkan oleh perusahaan. Tiap perusahaan, baik itu yang domestik atau yang asing, yang jumlah karyawannya besar dan kecil mempunyai alasan tertentu untuk menyelenggarakan training bagi karyawannya. Pertimbangan pemberian training bisa berupa pertimbangan ekonomis/finansial maupun non-finansial. Pertimbangan finansial meliputi besarnya biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan (untuk jenis tertentu bisa dilakukan sharing antara pengusaha dan pekerja, atau sesama perusahaan). Pertimbangan non-finansial bisa berupa kekhawatiran akan munculnya turn-over pekerja dan hijacking pekerja diantara perusahaan sejenis (dalam industri yang sama). Tabel 3.9 menjelaskan secara lengkap bagaimana status perusahaan, jumlah pekerjanya, rasio pekerja non-produksi, tingkat pendidikan pekerja dan kepemilikan perusahaan mempengaruhi intensitas training yang dilakukan oleh perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Miyamoto dan Todo (2003) terhadap sejumlah perusahaan di Indonesia memperoleh kesimpulan bahwa perusahaan
80
Link & match.indd 80
6/22/2010 6:38:53 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
berbadan hukum seperti PT mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memberikan training. Ada sekitar 50.6% dari total perusahaan memberikan training bagi pekerjanya. Semakin besar perusahaan (dlihat dari jumlah karyawannya) akan semakin besar kemungkinan memberikan training. Ini bisa ditunjukkan dari semakin rendahnya biaya training per tenaga kerja, juga kemungkinan kehilangan produksi dari absennya pekerja yang ikut training akan lebih besar bila perusahannya kecil (Lynch, 1994 seperti dikutip oleh Miyamoto dan Todo (2003). Lebih lanjut perusahaan yang kecil di Indonesia mempunyai turn-over yang lebih tinggi daripada perusahan besar sehingga berimplikasi pada makin kecilnya invetasi untuk training (Miyamoto dan Todo, 2003). Data di lapangan sejalan dengan yang dikemukakan oleh (Miyamoto dan Todo, 2003). Beberapa perusahaan baik itu PMDN maupun PMA dengan jumlah karyawan yang besar (4000 karyawan, staff 2000, untuk yang D3 ke atas mencapai 50% atau 1000 orang) memberikan training kepada karyawannya. Namun tidak semua karyawan memperolehnya. Perusahaan memberikan training dengan kemungkinan lebih besar kepada mereka yang berada dalam level staff daripada yang level dibawahnya (operator). Mereka yang berada di level operator biasanya mengikuti orientasi kerja dan langsung bekerja dibawah pengawasan supervisor. Ada sebuah perusahaan besar yang meberikan training secara berkesinambungan. Bentuk/ tahapan training yaitu untuk karyawan yang baru masuk, karyawan yang sudah aktif, dan bahkan karyawan yang akan menghadapi masa pensiun.
81
Link & match.indd 81
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
Tabel 3.9 Jumlah Perusahaan (%) Berdasarkan Kelompok Status
% Perusahaan Jumlah Pekerja % Perusahaan Rasio pekerja non-produksi % Perusahaan Kepemilikan % Perusahaan Pendidikan % Perusahaan
Yang
Melakukan
Limited
Limited
Other
Corporation
Partnership
status
50.6
34.3
18.0
15.6
1st quartile
legal
Training
No legal status
2nd quartile
3rd quartile
4th quartile
15.6
20.5
31.4
60.5
Rendah
Tinggi
2nd quartile
3rd quartile
4th quartile
21.4
36.4
55.5
16.5
45.3
Multinasional
Domestik
74.2 1st quartile 13.8
29.5
Sumber: Miyamoto dan Todo (2003)
Perusahaan yang terergister (secara legal) mempunyai kecenderungan untuk memberikan training bagi karyawannya. Hal ini dikarenakan perusahaan yang teregister ingin memiliki posisi keuangan yang lebih baik dengan diversifikasi sumber daya keuangan dan modal dan juga kemungkinan untuk mendapatkan kredit (training) lebih mudah. Perusahaan yang mempunyai afiliasi dengan perusahaan lain juga mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi. Hal ini bisa dimungkinkan terutama perusahaan yang berafiliasi dengan jasa penyedia training, sehingga biaya untuk training bisa menjadi lebih murah (Miyamoto dan Todo, 2003). Bagaimana dalam kaitannya dengan komposisi pekerja berdasarkan rasio pekerja non-produksi dan juga tingkat pendidikannya? Nampak bahwa jumlah pekerja non-produksi yang lebih tinggi di suatu perusahaan lebih memungkinkan karyawan untuk memperoleh training dibandingkan dengan mereka yang bekerja di perusahaan dengan lebih banyak jumlah pekerja produksinya. Hal ini 82
Link & match.indd 82
6/22/2010 6:38:53 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
karena tenaga kerja non-produksi cenderung untuk meminta upgrade keahlian, karena mereka cenderung terpengaruh dengan adanya perubahan teknologi. Sementara ppekerja produksi cenderung memerlukan training yang lebih sedikit (Miyamoto dan Todo, 2003). Sementara itu, semakin besar jumlah tenaga kerja terdidik/dengan pendidikan yang lebih tinggi dalam suatu perusahaan, maka semakin besar kemungkinan pekerja memperoleh training. Perusahaan yang mempunyai nilai tambah yang tinggi per pekerjanya mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk memberikan training. Hal ini terkait dengan kondisi perusahaan yang cenderung tidak mempunyai permasalahan kredit sehingga training bisa dengan mudah dilakukannya (Miyamoto dan Todo, 2003). Dengan melakukan survei industri manufaktur di Indonesia, Miyamoto dan Todo (2003) memperoleh kesimpulan bahwa pendidikan dan training (schooling) yang diberikan oleh perusahaan (enterprise-training atau bisa juga disebut internal training ) bersifat komplementer. Penyebab rendahnya investasi untuk training di Indonesia salah satunya adalah rendahnya pendidikan pekerja sebelum memasuki pasar kerja. Miyamoto dan Todo (2003) menyarankan adanya kolaborasi kebijakan antara pasar tenaga kerja dan dunia pendidikan dan juga dorongan bagi pengusaha yang enggan untuk melakukan training untuk memberikan pelatohan pada pekerjhanya akan turut membantu mengatasi permaslahan tenaga kerja di Indonesia.
Produktivitas dan Daya Saing Pekerja Kualitas pekerja yang ditunjukkan dengan produktivitasnya mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan daya saing (competitiveness) suatu perusahaan. Terkait dengan kualitas pekerja dalam mempengaruhi tingkat kemampuan daya saing perusahaan bisa dilihat dari hal-hal berikut ini:
83
Link & match.indd 83
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
Aspek Human Capital Seperti yang telah diuraikan dalam bagian pendahuluan, human capital ini berperan penting dalam menentukan produktivitas dan sekaligus juga kemampuan daya saing perusahaan. Tingkatan dalam kualitas human capital ini bisa dilihat dari seberapa lama pekerja memperoleh pendidikan (years of schooling), pelatihan (training) yang mereka peroleh baik semasa sebelum mereka bekerja di perusahaan yang bersangkutan maupun selama mereka bekerja, dan pengalaman kerja (working exoperiences). Akumulasi dari knowledge, pelatihan dan pengalaman ini menciptakan/membentuk kemampuan pekerja dalam menghasilkan produk-produk yang lebih berkualitas, terdifferensiasi (differentiated products) dan juga inovasi produk yang terus berkembang yang disesuaikan dengan lingkungan persaingan perusahaan dan juga tuntutan dari konsumen. Hal lain terkait dengan pekerja (workers’ attributes) Hal lain yang terkait dengan kondisi pekerja dan berpengaruh pada kemampuan daya saing perusahaan adalah segala sesuatu diluar pendidikan dan training namun terkait dengan kondisi pekerja. Atribut tersebut bisa berupa kondisi kesehatan pekerja, kepuasan pekerja yang terkait dengan pengembangan karir dalam perusahaan (career development), kepuasan dalam bekerja (job satisfaction), kepribadian (personality), etika kerja (work ethic) dan lainnya. Dengan melihat arti penting produktivitas dalam meningkatkan kemampuan daya saing perusahaan/industri kerja sama antara pihak terkait seperti univwersitas, pemerintah sendiri (baik pusat maupun daerah), dunia industri/pengusaha sangatlah diperlukan. Mereka diharapkan berperan aktif dalam pembentukan pekerja yang berkualitas. Melalui jalur pendidikan, selain menyangkut kurikulum, pemerintah juga bisa memberikan arahan dan dorongan kepada pihak universitas untuk secara aktif mengembangkan kerjasama dengan pihak industri dalam berbagai bentuk yang menguntungkan. 84
Link & match.indd 84
6/22/2010 6:38:53 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
Banyak perusahaan yang menunggu dan merasa belum didekati oleh dunia kampus. Mereka mengatakan bahwa perusaan terbuka untuk menjalin kerja sama dengan pihak manapun termasuk dengan universitas. Pihak perusahaan juga bisa menerima kerjasama dalam bentuk magang dengan pembicaraan yang serius antara kedua belah pihak. Menghidupkan kembali/mendayagunakan lembaga pelatihan yang pernah ada merupakan salah satu solusi praktis yang bisa dilakukan dalam kurun waktu yang relatif pendek.
Kesimpulan dan saran Dari proses seleksi karyawan, berdasarkan data lapangan, nampak bahwa test presentasi/uji ketrampilan merupakan sandungan tersendiri bagi mereka yang mencari kerja. Ini menunjukkan bahwa keahlian yang mereka miliki dinilai belum cukup baik oleh pemberi kerja maupun calon pekerja sendiri. Keahlian/pendidikan, training yang diperoleh dan juga lingkungan fisik seperti perlengkapan sarana teknologi/lainnya mempunyai kontribusi penting dalam mempengaruhi produktivitas. Mayoritas responden memilih training sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas kerja mereka. Proses seleksi dalam rangka penerimaan pekerja, bagi para pelamar kerja terutama adalah melalui tes keahlian. Hal ini mengindikasikan ketidakyakinan baik pihak pencari kerja (pelamar), maupun pemberi kerja (perusahaan) terhadap keahlian yang dimiliki terutama atas bekal yang diperolehnya dari pendidikan pelamar. Hal ini juga tergambarkan dalam pernyataan responden terhadap kesiapan kerja mereka, bahwa walaupun 45.40% dari responden membutuhkan sedikit penyesuaian terhadap pekerjaannya, lebih banyak pekerja yang tidak match antara pendidikan dan pekerjaannya yang menyatakan perlunya pelatihan untuk dapat siap bekerja.
85
Link & match.indd 85
6/22/2010 6:38:53 PM
Zamroni Salim
Latar belakang pendidikan, pelatihan, dan kelengkapan peralatan kerja merupakan faktor yang penting terhadap produktivitas pekerja. Bagi pekerja yang kompetensi pendidikannya sesuai dengan pekerjaannya, latar belakang pendidikan merupakan aspek ke dua terpenting setelah pelatihan, sementara bagi pekerja yang tidak match, kelengkapan kerjalah yang menduduki posisi ke dua terpenting setelah pelatihan. Lembaga pelatihan sangat dibutuhkan untuk menjembatani pemenuhan kualifikasi calon pekerja yang lebih siap/ cocok bagi kebutuhan industri (seperti BBLKI di Serang). Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja, hendaknya ada kerjasama sinergis antara perusahaan, dunia pendidikan dan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberikan training kepada pekerja melalui lembaga pelatihan. Sebenarnya mereka yang jumlahnya lebih besar lebih membutuhkan training untuk meningkatkan pengetahuan dan keahliannya. Kebanyakan training yang ada di perusahaan diberikan oleh mereka yang memang sudah mempunyai keahlian yang lebih tinggi, karena perusahaan mengharapkan keuntungan/returns yang lebih tinggi dari mereka yang masuk dalam kategori high skilled-labors.
86
Link & match.indd 86
6/22/2010 6:38:54 PM
Pola Penyerapan dan Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Berpendidikan Tinggi di Dunia Industri
DAFTAR PUSTAKA
Chevalier, Arnaud; et.al. 2003. Does education raise productivity, or just reflect it? Centre For Economic Research Working Paper Series 2003. WP03/04, January 2003 Badan Pusat Statistik (BPS). 2005-2008. Statistik Indonesia. Carl Davidson and Steven J. Matusz. 2004. International Trade and Labor Markets:Theory, Evidence, and Policy Implications. Institute for Employment Research Kalamazoo: Michigan Guntur Sugiyarto. 2005. Creating Better and More Jobs in Indonesia: A Blueprint for Policy Action. December 2005. ERD Policy Brief No. 43. Hosono, Kaoru, et.al. 2008. Why Do Real Wages Deviate from Labor Productivity? August 29, 2008 Harashima, Taiji. 2009. A Theory of Total Factor Productivity and the Convergence Hypothesis: Workers’ Innovations as an Essential Element. MPRA Paper No. 15508. 31 May 2009. Online at http:// mpra.ub.uni-muenchen.de/15508/ Harmon, et.al. 2001. Dispersion in the Economic Return to Schooling. Centre For Economic Research Working Paper Series 2001. WP01/16, August 2001. Bedard. Kelly. 1998. Human Capital Versus Signaling Models: University Access and High School Drop-outs. Canadian International Labour Network. May, 1998 Miyamoto, Koji and Yasuyuki Todo. 2003. Enterprise Training in Indonesia: The interaction between worker’s schooling and training. OECD Development Centre: Tokyo Metropolitan University. April, 2003 Lau, Lawrence J, et.al. 1991. Education and Productivity in Developing
87
Link & match.indd 87
6/22/2010 6:38:54 PM
Zamroni Salim
Countries: An Aggregate Production Function Approach. Development Economics and Population and Human Resources Department: The World Bank. March 1991. WPS 612 Agrawal Nisha, 1995. Indonesia Labor Market Policies and International Competitiveness. Policy Research Working Paper 1515. Background paper for World Development Report 1995 Asplund Rita, 2005. The Provision and Effects of Company Training: A Brief Review of the Literature. Nordic Journal of Political Economy, Volume 31 2005 Pages 47-73 Rivai, H. Veithzal and Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manjemen Sumber Daya Manusia untuk perusahaan: dari Teori dan Praktek. Jakarta: rajawali Pers. Soesilowati, Endang S, 2008. Kinerja Pembangunan Provinsi Banten Setelah Lepas Dari Provinsi Jawa Barat dalam Joko Susanto (penyunting) Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyaraka: P2E LIPI Stern, Carl w, and Michael S. Deimler (ed.). 2006. The Boston Consulting Group on Strategy: Classic Concepts and New Strategy, 2nd Edition. Kim, Sunwoong and Hamid Mohtadi. 1992. Education, Job Signaling, And Dual Labor Markets In Developing Countries. Bulletin Number 92-1. January 1992. Economic Development Center, Department of Economics, Minneapolis, Department of Agricultural and Applied Economics, St. Paul, University Of Minnesota Iranzo, Susana and Giovanni Peri. 2006. Schooling Externalities, Technology and Productivity: Theory and Evidence from U.S. States. July, 2006 Duryea, Suzanne and Carmen Pagés. 2002. Human Capital Policies: What they Can and Cannot Do for Productivity and Poverty Reduction in Latin America. Inter-American Development Bank, April 2002 USAID. 2007. Jobs for the 21st Century: Indonesia Assessment.
88
Link & match.indd 88
6/22/2010 6:38:54 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
BAB 4 TINGKAT KESESUAIAN KOMPETENSI PENDIDIKAN DENGAN BIDANG PEKERJAAN PADA DUNIA INDUSTRI Endang S Soesilowati
Pendahuluan Istilah competent (kompeten) dan competency (kompetensi) dalam bahasa Indonesia pemakaiannya sering dipertukar balikkan dan biasa diartikan sebagai kecakapan, kemampuan, atau keterampilan. Dalam konteks manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), istilah kompetensi ini mengacu pada karakteristik seseorang yang menjadikan orang tersebut berhasil dalam pekerjaannya (Rivai & Sagala, 2009). Istilah kompetensi pertama kali diperkenalkan oleh David McClelland pada tahun 1973, ketika meneliti tentang kebutuhan berprestasi (need of avhievement) yang menyebabkan seseorang menjadi sukses dalam pekerjaannya (Palan, 2007; Rivai & Sagala, 2009). R. Palan membedakan antara competency dan competent, dimana competency lebih menggambarkan perilaku, sedangkan competent menggambarkan tugas atau hasil pekerjaan. Definisi competency seperti yang sering dipakai dalam teori manajemen dengan mengutip Robert A. Roe (2001) adalah merupakan the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing8. Kompetensi merupakan sebuah kombinasi antara keterampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja 8
Dikutip dalam (http://my.opera.com/winsolu/blog/pengertian-kompetensi09).
89
Link & match.indd 89
6/22/2010 6:38:54 PM
Endang S Soesilowati
(job behaviour) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi9. Competent adalah keterampilan yang diperlukan seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan yang spesifik10. Competency/ kompetensi sendiri dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain, dan hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan (Yodhia Antariksa, 2007).
Namun demikian, istilah kompetensi dalam dunia kerja sering diartikan sebagai kecocokan atau kesesuasian seseorang terhadap pekerjaannya (lihat Palan, 2007). Dalam tulisan ini, kompetensi pendidikan dengan bidang pekerjaan diartikan sebagai kecocokan atau kesesuaian latar belakang pendidikan yang dimiliki terhadap jenis pekerjaannya yang menggambarkan adanya link-match antara ilmu yang diperoleh melalui pendidikan sekolah yang ditempuh (khususnya pendidikan tinggi) dengan jenis pekerjaan yang digeluti pada saat penelitian dilakukan. Untuk menjelaskan hal tersebut, tulisan ini mendasarkan pada data yang diolah terutama dari survei terhadap pekerja di beberapa perusahaan industri manufaktur di Batam dan Banten, yang memiliki latarbelakang pendidikan perguruan tinggi (D1 ke atas). Pertama, penulis mengungkapkan kesesuaian pekerja terhadap pekerjaannya atas dasar tingkat pendidikan yang dimiliki berdasarkan gender. Selanjutnya, kedua variabel tersebut (pendidikan dan gender) dijadikan dasar dalam menjelaskan temuan-temuan lain baik itu pengalaman kerja, 9
Yodhia, 2007 (Merancang Manajemen SDM Berbasis Kompetensi. http://strategimanajemen.net/2007/09/06/ membangun-manajemen-sdm-berbasis-kompetensi/) 10 Syafei, 2007 (http://deroe.wordpress.com/2007/10/05/kompeten-dan-kompetensi/).
90
Link & match.indd 90
6/22/2010 6:38:54 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
kompensasi yang diperoleh pekerja, peningkatan karir pekerja, dan juga kepuasan kerja. Oleh karena link-match mengacu pada kesesuaian antara pendidikan yang diperoleh dengan kebutuhan pasar kerja (industri) maka sebelumnya, tulisan ini dimulai dengan terlebih dahulu mengungkapkan tentang keahlian (skill) yang dimaksudkan dan dibutuhkan oleh pemberi kerja.
Kebutuhan Kompetensi Skill (keahlian) Tenaga Kerja Terdapat lima jenis karakteristik yang membentuk kompetensi yakni pengetahuan, keterampilan, konsep diri, karakteristik pribadi, dan motif (Palan, 2007). Posisi dari lima karakteristik tersebut digambarkan dengan menggunakan model iceberg/ gunung es (lihat gambar 4-1), yaitu bahwa hanya pengetahuan dan keahlian (skill) dari seseorang dapat terlihat atau diamati secara langsung, sementara tiga jenis karakteristik lainnya tidak dapat diamati langsung (tersembunyi). Komponen-komponen atau karakteristik yang membentuk sebuah kompetensi tersebut dijabarkan sebagai berikut: Pengetahuan (Knowledge) merupakan informasi dan hasil pembelajaran seseorang. Keterampilan (Skills), yaitu kemampuan untuk mengerjakan/melakukan suatu kegiatan/tugas-tugas tertentu. Konsep diri (Self Concept), yaitu sikap, nilai, atau citra diri seseorang yang membentuk kepercayaan diri. Karakteristik pribadi (Traits), yaitu merupakan karakteristik yang relatif konstan atau tanggapan yang konsisten terhadap suatu informasi atau situasi tertentu. Motif (Motives), yaitu merupakan kebutuhan psikologis seseorang termasuk emosi, hasrat, dan dorongan-dorongan lain yang mengarahkan atau memicunya dalam melakukan kegiatan tertentu.
91
Link & match.indd 91
6/22/2010 6:38:54 PM
Endang S Soesilowati
Bagan 4-1 Model Iceberg dari Lima karakteristik pembentuk kompetensi
Dengan mengutip Watson Wyatt dalam Ruky (2003:106) konsep kompetensi digunakan dalam istilah yang agak berbeda, yang biasa dikenal dengan KSAs yang terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) 11 yang kesemuanya dapat diamati dan dievaluasi secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya. Sementara, Rivai dan Sagala (2009), dengan mengutip JGN Consulting Denver, USA, KSAs dimaksudkan sebagai knowledge, skill dan abilities. Pada umumnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mengadopsi KSAs ini dalam usaha mereka menerapkan konsep kompetensi di perusahaannya. Yang terpenting adalah bahwa kompetensi akan menentukan tindakan seorang pekerja dalam menghasilkan kinerja pekerjaannya. Dalam Indonesia Skills Report, World Bank menunjukkan bahwa ada dua kelompok keterampilan, yaitu keterampilan khusus (spesifik) dan keterampilan dasar (inti). Keterampilan inti termasuk di dalamnya adalah pengetahuan khusus yaitu membaca (literacy) 11
(BKN http://www.bkn.go.id/penelitian/bukupenelitian2004/bukuPeny.Ped.Peng.KompetensiPNS/babii.htm )
92
Link & match.indd 92
6/22/2010 6:38:54 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
dan menghitung (math), kemampuan berfikir, dan kemampuan berperilaku. Untuk seluruh kategori pekerja, nampaknya keterampilan inti ini justru lebih sering dikemukakan dan merupakan hal yang paling penting dibandingkan kemampuan khusus (tergantung) dengan jenis pekerjaan. Khususnya kemampuan analitis dan kemampuan manajerial untuk posisi manajer dan professional, dan kemampuan literacy dan math, kemampuan bekerja secara mandiri dan team work untuk pekerja terampil di jenis pekerjaan produksi maupun nonproduksi. Sementara itu, untuk masa yang akan datang kemampuan berperilaku dan juga pengetahuan praktis tentang posisi pekerjaan merupakan keterampilan yang paling dibutuhkan untuk sektor industri manufaktur. Dari temuan-temuan tersebut, World Bank memberikan sinyal terhadap pentingnya penekanan kompetensi inti dari kurikulum pendidikan yang mendukung terhadap kemampuan literacy dan math, kemampuan analisa dan kreativitas, serta memberikan pengajaran yang diikuti oleh praktek kerja dengan metode kelompok, latihanlatihan dan interaksi terhadap tempat kerja. Selanjutnya, studi World Bank menganalisa skill berdasarkan kategori kerja. Mereka menemukan bahwa direktur, manajer dan professional memiliki kemampuan yang paling lemah dalam bersikap/berperilaku dan berpikir secara umum. Demikian halnya dengan keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris. Sementara pada kemampuan berperilaku, yang secara khusus menekankan pada kerja-sama tim dan kemampuan bekerja secara mandiri, seperti juga kemampuan literacy dan math ditemukan sebagai kelemahan utama untuk tenaga produksi terampil dan tenaga kerja non-produktif. Yang terakhir, kemampuan kerja spesifik yang membutuhkan perbaikan adalah dalam hal pengetahuan praktis tentang pekerjaan/posisi jabatan dalam semua kategori kerja. Hasil temuan World Bank tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh majalah manajemen SWA (2007), yang mengklasifikasikan 10 atribut yang paling dicari dan harus 93
Link & match.indd 93
6/22/2010 6:38:55 PM
Endang S Soesilowati
dimiliki oleh calon karyawan sebagai berikut: Jujur (15.4%), dapat memformulasikan dan mengatasi masalah (14.5%), Computer Literate (14%), Tanggung Jawab (12.3%), Disiplin (12.3%), Mampu Bekerja Sama (10.8%), Interpersonal Skills (10%), Bahasa Asing (9.2%), Motivasi Kerja Tinggi (9.2%), dan Orientasi pada hasil (8.8%)12. Baik hasil temuan World Bank maupun majalah SWA, mengindikasikan adanya tuntutan industri terhadap keahlian (skill/ keterampilan) tambahan dari para pekerja yang bersifat umum, terlepas dari latar belakang pendidikan pada masing-masing bidang studi. Namun demikian, kita tentu saja tidak dapat serta merta meniadakan manfaat dari pendidikan tinggi dengan kekhususan bidang studinya. Dari hasil pengamatan terhadap iklan lowongan pekerjaan di berbagai media, baik cetak maupun electronik, latar belakang pendidikan dengan bidang studi tertentu hampir selalu dipersyaratkan untuk hampir seluruh jenis posisi pekerjaan yang ditawarkan. Walaupun demikian, dari berbagai jenis dan posisi pekerjaan (baca skilled labour) yang ditawarkan hampir selalu mensyaratkan pengalaman kerja dari para calon pekerjanya. Fenomena tersebut memperkuat anggapan bahwa hasil pengajaran yang diperoleh melalui perguruan tinggi (yang sekarang semakin mahal saja) masih tidak cukup menjanjikan seseorang untuk dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan yang sesuai. Walaupun telah dikemukakan pada tulisan bab sebelumnya di buku ini, bahwa tingkat pendidikan tinggi diakui memiliki nilai lebih (terutama untuk dukungan kemampuan penyesuaian terhadap pekerjaan), namun para narasumber pemberi kerja tetap lebih mementingkan keterampilan (skill) ketimbang pemilikan ijazah perguruan tinggi semata. Mengapa para pemberi kerja menekankan pentingnya skill pekerja dan berpendapat seolah-olah bahwa pengajaran yang diperoleh dari perguruan tinggi saja tidak cukup? Beberapa jawaban penting dikemukakan oleh narasumber dari praktisi industri bahwa, 12
Dikemukakan oleh seorang narasumber praktisi ahli Sumber Daya Manusia dalam focus group discussion.
94
Link & match.indd 94
6/22/2010 6:38:56 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
(1) Pengajaran di Perguruan Tinggi tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan pasar (misalnya, perkembangan teknologi), (2) Pengajaran yang diberikan terlalu teoritis, dan kurang didukung oleh pengetahuan praktis atau terapan (Pure science vs Applied science), (3). Pengajaran kurang didukung dengan kemampuan Computer dasar dan juga bahasa asing (4). Pengajaran perguruan tinggi tidak membekali terdidik dengan pendidikan etika bekerja (mental kerja). Terlepas dari beberapa kekurangan yang dikemukakan narasumber di atas, penelitian ini mengcoba untuk mengungkapkan sejauhmana kompetensi yang dimiliki pekerja pada beberapa industri terpilih yang diperoleh melalui pendidikan formalnya (pendidikan tinggi) sesuai dengan jenis pekerjaan yang diperolehnya.
Kesesuaian Kompetensi Latar Belakang Pendidikan Pekerja Bagaimana mengukur kesesuaian kompetensi pendidikan? Apakah mismatch antara supply dan demand pendidikan menggambarkan secara tepat adanya mismatch antara kompetensi/ keterampilan tenaga kerja yang dibutuhkan industri dan yang tersedia? Apakah kualifikasi pendidikan merupakan proxy yang tepat untuk mengukur skill mismatch? Brahim Boudarbat dan Victor Chernoff (2009) mengemukakan beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam menghadapi fenomena education-job mismatch, yang menunjukkan adanya perbedaan dalam cara pengukuran. Dikemukakan oleh Robst (2007, dikutip oleh Boudarbat & Chernoff, 2009), bahwa kebanyakan penelitian yang telah dilakukan mengacu pada tingkat pendidikan seseorang, yaitu ketika seseorang bekerja pada posisi paling tidak satu tingkat di bawah tingkat pendidikannya, sehingga keterampilan/ keahlian yang dimilikinya tidak digunakan secara penuh. Hal ini biasa dikenal dengan over-education atau over-skilled (Buchel 2001, dikutip dari Boudarbat & Chernoff, 2009). Peneliti lain menyatakan bahwa
95
Link & match.indd 95
6/22/2010 6:38:56 PM
Endang S Soesilowati
pengukuran education-match dengan menggunakan lama nya masa pendidikan (years of schooling) dianggap sangatlah lemah untuk dijadikan ukuran skill dan kemampuan. Dicontohkan oleh Boudarbat & Chernoff (2009) satu hasil penelitian dari Pietro and Urwin (2003) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan keterampilan yang digunakan pada pekerjaan, oleh karena kenyataannya seseorang dapat saja tingkat pendidikannya memenuhi syarat, namun ternyata memiliki keterampilan yang kurang bagi kebutuhan pekerjaannya atau sebaliknya. Oleh karenanya, mismatch vertical (mismatch antara tingkat pendidikan dan pekerjaan) bukan merupakan satu-satunya bentuk mismatch pendidikan. Bentuk lain dari mismatch adalah mismatch horizontal (mismatch antara bidang studi/pendidikan dan pekerjaan). Bidang studi merupakan hal penting untuk dapat menganalisis jenis –jenis keterampilan yang berbeda-beda pada satu tingkat pendidikan dimana bidang studi ini menyediakan tidak hanya human capital tetapi juga memberikan kekhususan keterampilan dari suatu pekerjaan dalam pasar kerja. Dalam hal ini, Walters (2004) membuat tabulasi silang pertanyaan tentang apakah pemberi kerja meminta atau mensyaratkan kekhususan ijazah yang dimiliki pekerja dan membandingkannya dengan apakah lulusan dalam bidang tersebut akan menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam pekerjaan mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat bagi pekerjaan yang membutuhkan disiplin ilmu yang khusus, tapi tidak bagi pekerjaan yang bersifat umum (Boudarbat & Chernoff, 2009). Oleh karenanya, pengukuran link and match pendidikan dan industri atau education-job mismatch dapat diukur baik secara horizontal maupun vertical. Temuan peneliti di lokasi penelitian Banten dan Batam, atas dasar informasi yang diperoleh melalui jawaban responden (101 di Banten dan 63 di Batam) dari beberapa perusahaan industri pengolahan terpilih, kesesuaian kompetensi pekerja ditanyakan langsung terhadap 96
Link & match.indd 96
6/22/2010 6:38:56 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
responden atas latar pendidikan yang dimilikinya terhadap pekerjaan yang diperoleh. Analisis kesesuaian (match) antara pendidikan dengan pekerjaan secara horizontal dilakukan dengan membandingkan terhadap bidang studi. Untuk daerah penelitian Batam hanya diisi oleh 53 responden dengan komposisi D1 sampai S1. Secara keseluruhan, dari hampir seluruh bidang studi, ditemukan lebih tinggi persentase responden menyatakan adanya kesesuaian (match) antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya dibandingkan dengan yang tidak sesuai (mismatch) yaitu 60:40 persen. Hanya responden dengan latar belakang D3 teknik (4 dari 4 orang), dan D3 manajemen (4 dari 6 orang), yang lebih banyak menyatakan tidak sesuai pendidikannya. Sementara itu, di daerah penelitian Banten hasil analisis data dari 101 responden menunjukkan kecenderungan yang senada bagi seluruh jenis bidang studi, yaitu bahwa lebih banyak responden yang menyatakan match, dan bahkan semua responden dengan latar belakang pendidikan pasca sarjana (S2/S3) menyatakan match. Secara total perbandingan antara responden yang menyatakan match dengan yang mismatch di daerah penelitian Banten adalah 77,23:22,77 persen. Berdasarkan data sakernas 1997-2006, selanjutnya studi World Bank menunjukkan bahwa secara keseluruhan, mismatch antara pendidikan dan dunia kerja lebih banyak terjadi pada pekerja lakilaki dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi secara konstan sejak tahun 1997-2006, hanya saja ketidak sesuaian tersebut bagi pekerja laki-laki meningkat selama periode krisis moneter dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Ketidak sesuaian yang terjadi terutama pada pekerja dengan latar belakang pendidikan D1-D3, 69 % dari mereka adalah laki-laki, kemudian sejak tahun 2003-2006 menjadi 60 berbanding 40% antara pekerja laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, Boudarbat dan Chernoff (2009) menyatakan bahwa masalah gender tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap match maupun mismatch pendidikan dan industri. Hal ini didukung oleh beberapa studi yang telah dilakukan, seperti, Wolbers (2003), dan Witte and Kalleberg (1995), dan Robst (2007), menemukan bahwa pekerja perempuan 97
Link & match.indd 97
6/22/2010 6:38:56 PM
Endang S Soesilowati
lebih banyak yang match, sementara studi yang dilakukan oleh Krahn and Bowlby (1999), menunjukkan bahwa justru lebih banyak pekerja laki-laki yang match, dan bahkan Garcia-Espejo and Ibanez (2006) dan Storen and Arnesen (2006) menemukan tidak ada perbedaan gender antara pekerja yang match dan mismatch (Boudarbat dan Chernoff, 2009). Mengacu pada beberapa studi tersebut, penelitian ini mengajukan hipotesa bahwa lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan bidang pekerjaan dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini diasumsikan oleh karena, perempuan tidak terlalu dituntut untuk segera bekerja setelah mereka menyelesaikan sekolahnya, sehingga perempuan lebih dapat menunggu sampai dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Asumsi tersebut tentu saja masih perlu dibuktikan, oleh karena partisipasi perempuan dalam dunia kerja terus meningkat (Soesilowati, 2007), bahkan dalam krisis ekonomi moneter pada tahun 1997-1998 yang lalu walaupun lebih banyak perempuan yang terkena pemutusan kerja di sektor industri formal, namun mereka justru lebih cepat dan lebih mudah beralih ke sektor informal. Desakan atau kebutuhan ekonomi menjadi pendorong utama perempuan untuk bekerja, baik itu di sektor perdagangan maupun industri13. Gambaran tentang tingkat pendidikan dan perbandingan gender14 dapat dilihat pada Tabel 4.1 (persentasi antar tingkat pendidikan ditulis dengan memakai tanda %, sementara persentasi antar pernyataan ya dan tidak hanya dituliskan tanpa angka %). 13
Ungkapan bahwa “saya akan berhenti bekerja bila mendapatkan suami yang berkecukupan dan dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga”, serta perempuan dengan pendidikan sarjana bekerja sebagai operator dijumpai dalam studi Soesilowati (2004). Hal ini menggambarkan bahwa bekerja bagi dirinya dilakukan karena terpaksa, sehingga bisa dimengerti bila dia bekerja pun tanpa mempertimbangkan adanya kesesuaian antara bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan yang dikantunginya 14 Walaupun istilah gender tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin, namun pada tulisan ini peneliti tetap menggunakan istilah tersebut oleh karena atas dasar pembedaan jenis kelamin tersebut lah, nampaknya pembedaan persepsi dan perlakuan( termasuk pemberian imbalan) terjadi.
98
Link & match.indd 98
6/22/2010 6:38:56 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Tabel 4.1 Persentase Responden berdasarkan Kesesuaian Latar Belakang Pendidikan dengan Jenis Pekerjaan Pekerjaan Sesuai latar Belakang Pendidikan
Laki-laki
Tingkat Pendidikan Diploma S1 S2/S3
Total Perempuan
Diploma S1 S2/S3
Total Grand Total
Ya (match)
Tidak (mismatch)
28.38% 60.00 59.46% 73.33 12.16% 100.00 100.00% 71.96
46.67% 40.00 53.33% 26.67 0.00% 0.00 100.00% 28.04
51.35% 73.08 43.24% 61.54 5.41% 100.00 100.00%
41.18% 26.92 58.82% 38.46 0.00% 0.00 100.00%
66.67
33.33
111 70,25
47 29,75
N (Jumlah Responden) 35 60 9 104 26 26 2 54 158 100,00
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Dari tabel 4.1 tersebut terlihat bahwa pekerja laki-laki sedikit lebih banyak yang menyatakan match ketimbang responden pekerja perempuan (71,96% : 66,67%). Namun, walaupun persentasi pekerja laki-laki lebih besar ketimbang perempuan yang menyatakan match antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan menunjukkan komposisi latar belakang pendidikan yang didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan Sarjana S1. Untuk tingkat pendidikan pasca sarjana (S2/ S3) baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan, semuanya menyatakan match antara pendidikan dengan pekerjaan yang saat ini mereka geluti.
99
Link & match.indd 99
6/22/2010 6:38:56 PM
Endang S Soesilowati
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana latar belakang pendidikan yang dimiliki memberikan dukungan kepada pekerjaan? Ternyata, secara total 45,40% responden menyatakan bahwa mereka masih memerlukan sedikit penyesuaian dari bekal pendidikan yang diperoleh terhadap pekerjaannya, tapi perbedaan komposisi persentase antara masing-masing kelompok pekerja yang match dengan yang mismatch tidak terlalu signifikan dalam soal pelatihan. Hal menarik dari Tabel 4-2, mengindikasikan bahwa persentase kelompok pekerja match laki-laki yang membutuhkan pelatihan lebih tinggi daripada perempuan dalam kelompok yang sama, sebaliknya bagi responden yang menyatakan perlunya pendidikan tambahan, tidak dinyatakan oleh seorang pekerja perempuan pun dari kelompok yang mismatch. Namun demikian, baik bagi responden pekerja lakilaki maupun perempuan baik yang match maupun yang mismatch antara latar belakang pendidikan dan pekerjaannya lebih banyak yang menyatakan bahwa pelatihan merupakan faktor yang penting ketimbang pendidikan dalam mempengaruhi produktivitas pekerja. Hal ini dinyatakan oleh separuh berbanding sepertiga responden lakilaki, dan separuh berbanding seperlima responden perempuan. Di sisi lain, dari analisis data tentang pelatihan yang pernah diterima responden menunjukkan kecenderungan bahwa kelompok pekerja yang mismatch lebih banyak yang tidak pernah mendapatkan pelatihan daripada yang pernah mendapatkan pelatihan, sebaliknya, untuk kelompok pekerja yang match lebih banyak yang telah mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan yang mismatch. Hal ini mengindikasikan bahwa pelatihan yang diberikan perusahaan memang diperlukan, namun, nampaknya perusahaan tidak terlalu mentargetkan pemberian pelatihan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
100
Link & match.indd 100
6/22/2010 6:38:56 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Tabel 4.2 Perbandingan Persentase Responden Match dan Mismatch berdasarkan Dukungan Bekal Pendidikan Dukungan Bekal Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Total
Sangat mendukung Sedikit penyesuaian
Jenis Pekerjaan Sesuai dengan Latar Belakang Pendidikan (%) Ya (match) Tidak (mismatch)
Total N
%
84.00
16.00
25
23.36
69.05
30.95
42
39.25
Perlu pelatihan Perlu pendidikan tambahan lain Sangat mendukung Sedikit penyesuaian
70.37
29.63
27
25.23
61.54
38.46
13
12.15
85.71
14.29
7
12.96
65.63
34.38
32
59.26
Perlu pelatihan Perlu pendidikan tambahan lain Sangat mendukung Sedikit penyesuaian Perlu pelatihan Perlu pendidikan tambahan lain Total
53.85
46.15
13
24.07
100.00
0.00
2
3.70
23.48
10.42
32
19.63
43.48 24.35
50.00 29.17
74 42
45.40 25.77
8.70 100.00
10.42 100.00
15 163
9.20 100.00
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Selanjutnya, menarik untuk melihat komposisi umur responden pekerja berdasarkan kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya. Apakah responden dalam kelompok usia yang lebih tua lebih banyak yang tidak match, mengingat program link and match, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya mulai dicanangkan pada tahun 1989. Bila implementasi program link and match mulai dilakukan pada tahun 1990 dan dianggap sebagai waktu awal perkuliahan responden, diperkirakan usia responden berkisar 17-18 tahun, maka pada saat penelitian dilakukan usia responden tidak lebih tua dari 37 tahun. Bila kecocokan antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaan merupakan hasil dari implementasi program link-match maka persentase usia responden pada kelompok usia lebih muda 101
Link & match.indd 101
6/22/2010 6:38:56 PM
Endang S Soesilowati
(kurang dari 36 tahun) akan lebih tinggi yang match dibandingkan dengan pekerja pada kelompok usia yang lebih tua.
Gambar 4.2 Perbandingan Persentase Kesesuaian pekerjaan Responden dengan latar belakang pendidikan berdasarkan kelompok Umur. Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Hasil yang mencengangkan ditunjukkan pada gambar 4.2, nampak bahwa semakin tua kelompok usia responden, justru semakin tinggi persentase mereka yang menyatakan match antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesesuaian antara pekerjaan dengan latar belakang pendidikan hampir tidak berkaitan dengan program link and match yang dicanangkan oleh pemerintah, tetapi lebih ditentukan oleh proses seleksi perusahaan itu sendiri. Terlepas dari ada tidaknya pengaruh kebijakan program link and match yang telah dicanangkan pemerintah cq Mendiknas, menarik untuk menelusuri lebih lanjut sejauhmana kesesuaian antara kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan berkorelasi terhadap beberapa variabel penting sumber daya manusia.
102
Link & match.indd 102
6/22/2010 6:38:56 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Kesesuaian kompetensi berdasarkan Pengalaman Kerja Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa melalui pengamatan terhadap iklan lowongan dari berbagai media cetak (surat kabar), maupun electronik (website), mayoritas lowongan pekerjaan diperuntukkan bagi para pekerja yang memiliki pengalaman kerja. Dalam teori human capital disebutkan bahwa selain pendidikan dan pelatihan, pengalaman kerja turut menentukan produktivitas pekerja. Oleh karenanya, dalam tulisan ini perlu dipelajari seberapa jauh pengalaman kerja terkait dengan kesesuaian antara pekerjaan dan latar belakang pendidikan. Pengalaman kerja itu sendiri dapat dilihat baik melalui waktu/lama kerja di perusahaan yang sama, maupun pengalaman dari bekerja di perusahaan lain sebelumnya. Sebelumnya, berharga untuk mengetahui sejauhmana waktu tunggu yang diperlukan responden dalam mendapatkan pekerjaan pertama kali setelah mereka menyelesaikan sekolah. Hasil penelitian World Bank yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa untuk semua jenis pekerjaan jumlah pelamar selalu lebih besar daripada lowongan yang tersedia. Walaupun semua posisi akhirnya terisi dan membutuhkan waktu sekitar 2-6 minggu, namun masih ada kesenjangan antara pelamar dan pelamar yang berkualitas. Dari hasil survei tersebut, diungkapkan bahwa 40% employer menyebutkan sulitnya menemukan tenaga kerja dengan kemampuan yang cocok untuk posisi direktur dan manajemen, 2530% untuk posisi profesional dan tenaga produksi terampil.
103
Link & match.indd 103
6/22/2010 6:38:57 PM
Endang S Soesilowati
Tabel 4.3 Perbandingan Persentase Responden Match dan Mismatch berdasarkan Waktu tunggu mendapatkan pekerjaan pertama gg p p j p Waktu tunggu mendapatkan kerja pertama
Jenis Pekerjaan Sesuai dengan Latar Belakang Pendidikan Total (N) Ya (match)
Tidak (mismatch)
<3 bulan
84.85%
15.15%
30.84%
33
3 - 6 bulan
62.16%
37.84%
34.58%
37
7 - 11 bulan
77.78%
22.22%
16.82%
18
Laki-laki
>12 bulan
61.11%
38.89%
16.82%
18
Perempuan
<3 bulan 3 - 6 bulan 7 - 11 bulan >12 bulan
68.75% 74.07% 75.00% 37.50%
31.25% 25.93% 25.00% 62.50%
29.09% 49.09% 7.27% 14.55%
16 27 4 8
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nampaknya waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama sejak mereka lulus dari sekolahnya tidak terlalu mempengaruhi match dan mismatch antara pendidikan dan pekerjaan. Untuk seluruh masa tunggu, baik bagi responden pekerja laki-laki maupun perempuan paling tidak dua pertiga dari mereka adalah pekerja yang menyatakan kesesuaian kompetensi (match), kecuali bagi responden pekerja perempuan yang memiliki waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka hingga lebih dari 12 bulan (satu tahun), justru lebih banyak yang menyatakan mismatch. Sementara itu, waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan yang menurut mereka sesuai dengan yang mereka inginkan mernunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa hampir tidak ada perbedaan bagi mereka yang match dengan yang mismatch antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaannya (lihat Tabel 4.4). Kecuali untuk responden pekerja laki-laki yang menyatakan harus 104
Link & match.indd 104
6/22/2010 6:38:57 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
menunggu pekerjaan yang sesuai dengan yang mereka inginkan sampai lebih dari 10 tahun, tiga dari sembilan orang termasuk pada kelompok yang match. Hal yang menarik dari tabel 4-4, ternyata bagi responden pekerja perempuan menunjukkan kecenderungan bahwa lebih banyak persentase perempuan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan juga nampaknya lebih lama menunggu pekerjaan yang sesuai, lebih banyak yang menyatakan match. Tabel 4.4 Perbandingan Persentase Responden match dan tidak match berdasarkan Waktu Tunggu Mendapatkan Pekerjaan yang Sesuai Waktu tunggu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan
Jenis Pekerjaan Sesuai dengan Latar Belakang Pendidikan
Ya (match)
N
Tidak (mismatch)
< 1 Tahun
85.00%
15.00%
25.00%
20
1 - 5 Tahun
75.00%
25.00%
35.00%
28
91.30%
8.70%
28.75%
23
Laki-laki
6 - 10 Tahun Belum sampai sekarang
33.33%
66.67%
11.25%
9
66.67% 66.67% 66.67%
33.33% 33.33% 33.33%
17.65% 23.53% 29.41%
9 12 15
Perempuan
< 1 Tahun 1 - 5 Tahun 6 - 10 Tahun Belum sampai sekarang
73.33%
26.67%
29.41%
15
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Sekarang kita lihat sejauhmana kesesuaian jenis pekerjaan responden dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki berhubungan dengan pengalaman kerja yang diperoleh dari perusahaan dimana kini mereka bekerja, melalui lama kerja di perusahaan yang bersangkutan.
105
Link & match.indd 105
6/22/2010 6:38:57 PM
Endang S Soesilowati
Gambar 4.3 Perbandingan Persentase Kesesuaian pekerjaan Responden dengan latar belakang pendidikan berdasarkan lama kerja Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Ternyata, lamanya bekerja di perusahaan yang sama tidak berkaitan dengan kesesuaian antara pekerjaan dengan latar belakang pendidikan, oleh karena dari gambar 4-3 nampak bahwa untuk semua kelompok lama pekerjaan didominasi oleh kelompok yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan selama kurang dari 4 tahun. Walaupun ada kecenderungan bahwa bagi pekerja yang lebih lama, ternyata juga lebih banyak yang menyatakan match, namun terdapat sedikit perbedaan antara responden pekerja laki-laki dan perempuan. Bila untuk pekerja perempuan, semakin lama bekerja di perusahaan tersebut, semakin sedikit jumlah pekerja perempuan yang mismatch, ternyata kecenderungan lama kerja ini tidak berlaku searah bagi kelompok kerja lainnya, baik itu kelompok pekerja perempuan yang match maupun kelompok pekerja laki-laki yang match dan mismatch. Di sisi lain, lebih sedikit kelompok pekerja perempuan yang match telah bekerja di perusahaan tersebut dalam waktu yang lebih panjang, sementara kelompok pekerja laki-laki yang match menunjukkan proporsi yang sedikit lebih banyak telah bekerja di perusahaan bersangkutan selama lebih dari 14 tahun, dibandingkan 106
Link & match.indd 106
6/22/2010 6:38:57 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
dengan pekerja laki-laki dengan pengalaman kerja 4-8 tahun, dan tidak ada seorang pun pekerja laki-laki di kelompok yang mismatch telah bekerja lebih dari 14 tahun. Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana pengalaman kerja berkaitan dengan tingkat kesesuaian pekerjaan responden dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya, melalui pernyataan terhadap pengalaman bekerja di tempat (perusahaan) lain. Tabel 4-5 menunjukkan bahwa nampaknya pernah bekerja di tempat lain, tidak mempunyai hubungan dengan kesesuaian pekerjaan, oleh karena baik kelompok responden yang menyatakan adanya kesesuaian (match) antara pekerjaan dengan latar belakang pendidikan, maupun yang mismatch didominasi oleh mereka yang tidak pernah bekerja di tempat lain sebelumnya. Namun demikian, untuk kelompok yang pernah bekerja di tempat lain sebanyak 2-3 kali, lebih banyak dinyatakan oleh kelompok pekerja yang mismatch ketimbang yang match. Hal ini mengindikasikan bahwa oleh karena tidak/kurang sesuainya latar belakang pendidikan dengan pekerjaan, maka seorang pekerja akan lebih sering bertukar pekerjaan. Hal ini paling tidak mendukung temuan-temuan penelitian yang menunjukkan bahwa mismatch akan mempengaruhi tingkat turn over pekerja, seperti dikemukakan oleh Hersch, (1991) dikutip dari Farooq et.al. (2009). Tabel 4.5 Perbandingan Persentase Responden match dan mismatch Pengalaman kerja di tempat lain g berdasarkan j p Jenis Pekerjaan Sesuai dengan Latar Belakang Pendidikan Ya (match) Tidak (mismatch) Pernah bekerja ditempat lain
Tidak Ya 1 kali Ya, 2 - 3 X Ya > 3X
Total
61.21% 21.55% 7.76% 9.48% 100.00%
41.67% 27.08% 27.08% 4.17% 100.00%
N 91 38 22 13 164
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
107
Link & match.indd 107
6/22/2010 6:38:57 PM
Endang S Soesilowati
Sangat menarik ketika selanjutnya ditelusuri apa yang menjadi alasan pindah pekerjaan bagi responden yang sebelumnya pernah bekerja di tempat lain. Ternyata, baik kelompok match maupun mismatch terutama karena alasan pendapatan/gaji yang kurang memuaskan diikuti oleh kurangnya tantangan yang dirasakan oleh responden di tempat kerja sebelumnya, dengan persentasi berturut-turut 40 % dan 20% bagi kelompok match dan 47% dan 19% bagi kelompok yang mismatch. Walaupun alasan gaji hanya merupakan daya tarik bagi minoritas responden untuk mengajukan lamaran pekerjaan (lihat uraian di Bab sebelumnya buku ini), namun ternyata gaji memberikan peranan yang paling besar bagi responden untuk pindah kerja. Untuk itu keterkaitan antara kesesuaian kompetensi dengan kompensasi (termasuk gaji) penting untuk ditelusuri lebih lanjut.
Kesesuaian Kompetensi terhadap Kompensasi Pekerja Kompensasi dapat diartikan sebagai imbalan atau penghargaan yang diberikan perusahaan terhadap kontribusi hasil kerja yang diberikan kepada karyawan/pekerja. Bentuk kompensasi tersebut biasanya diberikan baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial (Panggabean, 2004; Samsudin, 2006; Rivai & Sagala, 2009). Secara garis besar terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pemberian kompensasi, yaitu faktor pribadi karyawan yang bersangkutan, interen organisasi, dan faktor lingkungan eksternal organisasi15. Contoh faktor pribadi karyawan yang mempengaruhi besarnya pemberian kompensasi adalah produktivitas kerja, posisi dan jabatan, pendidikan dan pengalaman serta jenis dan sifat pekerjaan. Sementara, faktor internal organisasi mencakup anggaran tenaga kerja yang ditetapkan oleh perusahaan serta siapa yang memutuskannya, sedangkan faktor eksternal yang juga turut mempengaruhi besaran kompensasi yang diberikan adalah keadaan pasar tenaga kerja, kondisi ekonomi, dan 15
http://ab-fisip-upnyk.com/files/bab_8_kompensasi.pdf
108
Link & match.indd 108
6/22/2010 6:38:58 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
juga peraturan pemerintah yang sedang berlaku (Rivai & Sagala, 2009). Kembali kepada faktor pribadi karyawan yang dapat mempengaruhi dan seharusnya dipertimbangkan dalam menentukan besaran kompensasi terhadap pekerja (http://ab-fisip-upnyk. com/files/bab_8_ kompensasi.pdf ): a. Produktivitas kerja Bagi perusahaan yang bermaksud untuk meningkatkan produktivitas kerja biasanya mengacu pada prestasi kerja karyawan dalam memberikan kompensasi kepada karyawannya. Produktivitas kerja itu sendiri dipengaruhi oleh prestasi kerja karyawan yang bersangkutan. Pemberian kompensasi yang mengacu pada prestasi kerja memungkinkan karyawan pada posisi dan jabatan yang sama mendapatkan kompensasi yang berbeda. b. Posisi dan Jabatan Posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi menunjukkan keberadaan dan tanggung jawabnya dalam hierarki organisasi. Semakin tinggi posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi, semakin besar tanggung jawabnya, maka biasanya semakin tinggi pula kompensasi yang akan diterimanya. Sebaliknya, bahwa semakin rendah posisi dan jabatan pekerja, akan diikuti dengan semakin rendah pula jumlah kompensasi yang diterima. c. Pendidikan dan Pengalaman Pegawai yang lebih berpengalaman dan berpendidikan lebih tinggi diharapkan akan mendapat kompensasi yang lebih besar dibandingkan dengan pegawai yang kurang pengalaman dan atau lebih rendah tingkat pendidikannya. d. Jenis dan Sifat Pekerjaan Besarnya kompensasi yang diberikan pada pegawai sejalan dengan 109
Link & match.indd 109
6/22/2010 6:38:58 PM
Endang S Soesilowati
besarnya resiko dan tanggung jawab yang dipikulnya. Pegawai yang bekerja di lapangan akan mendapatkan kompensasi yang berbeda dengan pekerja yang bekerja dalam ruangan, pekerjaan klerikal akan berbeda dengan pekerjaan adminsitratif, dan pekerjaan manajemen berbeda dengan pekerjaan teknis. Oleh karena studi ini menekankan pada kesesuaian kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan, maka analisa kompensasi pekerja dilakukan dengan terutama menguji seberapa jauh tingkat upah yang diterima rata-rata per bulan bagi kelompok yang match dibandingkan dengan yang mismatch. Upah/ gaji dan tips, merupakan bentuk kompensasi pekerja yang paling umum diberikan pada karyawan (McNamara). Tabel 4.6 Perbandingan Persentase Responden match dan mismatch berdasarkan Upah rata-rata perbulan Pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan Tidak (mismatch) Ya (match) Upah rata-rata diterima perbulan
< 2.500.000 2.500.000 - 5 Juta 5.000.001 - 7.5 juta 7.500.001 -10 Juta > 10 Juta Total
2 44 46 9 4 105
50.00% 61.11% 80.70% 75.00% 100.00% 70.47%
2 28 11 3 0 44
50.00% 38.89% 19.30% 25.00% 0.00% 29.53%
Total
4 72 57 12 4 149
2.68% 48.32% 38.26% 8.05% 2.68% 100.00%
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Pada tabel 4.6 dapat dilihat bahwa kelompok pekerja yang match cenderung menerima upah yang lebih tinggi, ketimbang yang mismatch. Terlebih lagi hanya kelompok yang match yang menerima upah rata-rata per bulannya di atas 10 juta rupiah. Namun demikian, ketika perbandingan dilakukan antar gender, secara rata-rata nampaknya pekerja perempuan cenderung mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki, seperti ditunjukkan pada gambar 4-4. Tidak ada seorangpun responden pekerja perempuan 110
Link & match.indd 110
6/22/2010 6:38:58 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
dengan pendidikan Sarjana S1, bahkan S2/S3 memperoleh upah lebih tinggi dari 10 juta rupiah. Di sisi lain, walaupun hanya 3,4% responden laki-laki dengan tingkat pendidikan S1, mendapatkan upah per bulannya lebih dari 10 juta rupiah, namun bagi mereka yang berpendidikan S2/S3 justru paling banyak mendapatkan upah sebesar itu. Sebaliknya, untuk pekerja dengan tingkat pendidikan S1 yang upah per bulannya 2,5 juta rupiah, hanya diterima oleh 1,6% responden laki-laki, dimana tidak seorang responden perempuan pun mendapatkan besaran upah tersebut. Dengan menggunakan metode statistik Pearson, korelasi upah dengan pendidikan nampaknya lebih kuat bagi pekerja laki-laki (0,322) dibandingkan perempuan (0,144). Artinya, untuk pekerja lakilaki peningkatan jenjang pendidikan lebih sejalan dengan peningkatan upah, tapi kurang berlaku untuk pekerja perempuan. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh posisi kerja dari responden, dimana dengan tingkat pendidikan yang sama (pasca sarjana) responden pekerja perempuan hanya dapat menduduki kepala bagian, sementara laki-laki dengan tingkat pendidikan yang sama menduduki posisi manajer (akan dijelaskan lebih lanjut pada uraian tentang pengembangan karir).
Bagan 4.4 Tingkat Pendidikan dan Tingkat Upah berdasarkan Gender Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
111
Link & match.indd 111
6/22/2010 6:38:58 PM
Endang S Soesilowati
Kesesuaian Kompetensi terhadap Pengembangan Karir Pekerja Dalam literatur perilaku organisasi, Douglas T Hall (1976) membagi konsep karir ke dalam empat kelompok, yaitu career as advancement, career as a profession, career as a lifelong sequence of jobs, and career as a lifelong sequence of role-related experiences. Karir sebagai peningkatan atau pengembangan diartikan sebagai rentetan pekerjaan yang melambangkan beberapa kemajuan atau mobilitas ke atas, termasuk misalnya, peningkatan hirarki, peningkatan pendapatan/gaji dan peningkatan penerimaan pengakuan dan rasa hormat (Gutek & Larwood, 1987). Di bagian tulisan ini, perkembangan karir dimaksudkan sebagai peningkatan jabatan dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat jabatan di atasnya, yang tentu saja dapat diikuti oleh peningkatan pendapatan maupun pengakuan. Tabel 4.7 Persentase Responden berdasarkan tingkat Pendidikan dan Posisi Pekerjaan menurut Gender Posisi Pekerjaan Sekarang Laki- Laki
Diploma 0.00%
Sarjana 1.89%
Pasca Sarjana 33.33%
0.00%
15.09%
0.00%
N 2
Manajer 8
Kepala Bagian 5.00%
9.43%
33.33%
7
35.00%
18.87%
33.33%
18
60.00%
54.72%
0.00%
41
Kepala Seksi Supervisor Staff 76 Total Correlation Pearson 4.55%
6.25%
100.00%
0.309 4
Kepala Bagian Perempuan
0.00%
12.50%
0.00%
2
18.18%
18.75%
0.00%
7
77.27%
62.50%
0.00%
27
Kepala Seksi Supervisor Staff 40 Total Correlation Pearson
0.457
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
112
Link & match.indd 112
6/22/2010 6:38:58 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Untuk menganalisa pengembangan karir responden, pertama dengan melihat sejauh mana tingkat pendidikan mempengaruhi posisi pekerjaan. Dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, diperoleh angka yang mengindikasikan bahwa walaupun hubungan antara tingkat pendidikan dengan posisi perkerjaan tidak terlalu kuat (kurang dari 0,5), tetapi nampaknya pada pekerja perempuan memiliki korelasi yang lebih kuat ketimbang pada laki-laki dengan sekor r= 0,457 : 0,309. Artinya, untuk memperoleh posisi pekerjaan yang lebih tinggi dibutuhkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pula. Hal ini berlaku terutama bagi pekerja perempuan ketimbang pekerja laki-laki. Fakta bahwa tingkat pendidikan untuk mencapai peningkatan posisi kerja pada tingkat manajemen lebih signifikan bagi pekerja perempuan juga diajukan oleh Kathleen Cannings dan Claude Montmarquette (1991), dan Tuvia Melamed (1996). Hal lainnya adalah bahwa dengan tingkat pendidikan yang sama ternyata laki-laki mendapatkan posisi kerja yang lebih tinggi daripada rekan perempuannya. Hal ini ditunjukkan antara lain, bahwa walaupun mayoritas responden pekerja laki-laki dengan latar belakang pendidikan pasca sarjana (S2/S3) hanya menjadi kepala seksi, namun hanya pekerja laki-laki dari responden di kedua daerah penelitian yang menduduki posisi manajer, sementara dengan tingkat pendidikan yang sama pekerja perempuan hanya menjadi kepala bagian dan tidak menjadi manajer (lihat Tabel 4-7). Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan hasil studi Endang Soesilowati (2004) pada kasus peningkatan karir di satu perusahaan industri pengolahan makanan. Selanjutnya, keterkaitan antara kesesuaian (match) kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan terhadap peningkatan karir, ditelusuri dengan membandingkan posisi jabatan yang sekarang didudukinya dengan posisi mereka sewaktu mulai bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hasil analisis data mengindikasikan bahwa walaupun secara umum baik bagi pekerja yang match maupun mismatch memiliki kesempatan peningkatan karir /possisi jabatan, namun posisi manajer hanya terwakili pada pekerja yang match di 113
Link & match.indd 113
6/22/2010 6:38:58 PM
Endang S Soesilowati
mana mereka pada waktu mulai bekerja hanya mendapatkan posisi staf administrasi atau paling tinggi adalah supervisor (lihat Tabel 4-8). Tabel 4.8 Perbandingan Responden match dan tidak match berdasarkan Posisi Pekerjaan Sekarang dan Posisi Pekerjaan Pertama Bekerja g
j
j
Posisi Sekarang Sesuai Pendidikan
Ya (match)
Tidak (mismatch)
Manajer Kepala Bagian
Posisi mulai masuk bekerja
Kepala seksi
Kepala Bagian Kepala Seksi Supervisor Mandor Buruh Staf administrasi Total
0 0 1 0 0 1 2
1 1 1 0 0 6 9
Kepala Bagian Supervisor Buruh Staf administrasi Total
0 0 0 0 0
1 0 1 2
Staf administrasi
Supervisor
Total
0 2 0 3 5
0 0 2 0 8 9 19
0 0 1 0 5 39 45
1 1 5 2 13 58 80
0 0 1 1 2
0 3 0 1 4
0 0 2 18 20
1 3 3 21 28
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Kesesuaian kompetensi terhadap Kepuasan Kerja Secara sederhana kepuasan kerja merupakan ungkapan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Job satisfaction is in regard to one’s feelings or state-of-mind regarding the nature of their work16. Teori ekonomi dasar mengasumsikan bahwa kepuasan kerja, dapat digunakan sebagai suatu proxy dalam mengukur manfaat pekerjaan yang secara positif berhubungan dengan pendapatan dan berkaitan secara negatif terhadap jam kerja. Sebuah literatur yang dominan mendukung bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, akan diikuti oleh semakin tingginya tingkat kepuasan (Farooq et.al, 2009). 16
(Mc Namara. Free Library.http://managementhelp.org/prsn_wll/job_stfy.htm)
114
Link & match.indd 114
6/22/2010 6:38:58 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Eugenia Fabra Florit & Luis E. Vila Lladosa (2007) dalam penelitiannya tentang pengaruh pendidikan terhadap kepuasan kerja menunjukkan adanya pengaruh yang tidak langsung, oleh karena diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih memungkinkan baginya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ditambahkannya, bahwa kepuasan kerja seseorang akan menurun, bila dia merasa mismatch antara latar belakang pendidikan dan pekerjaannya. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, seperti imbalan atau penghargaan atas hasil kerja termasuk di dalam nya pengembangan karir, hubungan dengan rekan kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap pimpinan, dlsb. Salah satu perusahaan di Banten yang diteliti, telah melakukan survei terhadap kepuasan kerja karyawannya dengan mengukur sepuluh variabel, yaitu, Kesempatan untuk maju, Keamanan & Kenyamanan, Gaji, Perusahaan & Manajemen, Pengawasan, Faktor intrinsik dari pekerjaan, Kondisi kerja, Aspek sosial dalam pekerjaan, Komunikasi, dan Fasilitas. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa faktor intrinsik yaitu perasaan bangga atas pekerjaannya memiliki indeks kepuasan tertinggi, sedangkan yang terendah adalah faktor kesempatan untuk maju, yang ditunjukkan oleh 64% responden merasa tidak puas terhadap kejelasan perencanaan karir dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam studi link and match kali ini peneliti tidak secara khusus mengukur tingkat kepuasan kerja responden dengan menggunakan alat ukur yang lebih lazim yaitu menggunakan skala Likert dengan membandingkan antara harapan dan kenyataan, tetapi dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan beberapa pilihan jawaban yang tersedia, baik secara langsung tentang suka atau tidak suka terhadap pekerjaannya, maupun tentang beberapa faktor yang mempengaruhi semangat kerja responden, serta pertanyaan terbuka tentang tiga faktor terpenting bagi responden yang dapat memberikan kepuasan kerja.
115
Link & match.indd 115
6/22/2010 6:38:59 PM
Endang S Soesilowati
Hasil studi menunjukkan bahwa memberikan hasil kerja terbaik merupakan faktor terpenting yang paling sering disebut oleh responden baik bagi mereka yang match antara latar belakang pendidikan dan pekerjaannya, maupun yang mismatch. Demikian pula halnya dengan penghargaan dari atasan, promosi jabatan, serta gaji/insentif/kesejahteraan merupakan hal penting berikutnya bagi kepuasan kerja yang dinyatakan oleh sebagian besar responden. Sebaliknya, untuk jawaban terhadap tiga faktor terpenting dari pengaruh sosial/eksternal responden terhadap semangat kerja mereka, menunjukkan sedikit perbedaan. Rekan/kelompok kerja mendapatkan porsi yang penting dalam mempengaruhi semangat kerja bagi pekerja yang match, sementara sikap atasan dianggap lebih penting bagi pekerja yang mismatch dalam mempengaruhi semangat kerja mereka (lihat gambar 4-5).
Gambar 4.5 Perbandingan persentase responden antara yang match dan yang mismatch terhadap tiga faktor eksternal yang paling mempengaruhi semangat kerja. Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Komposisi persentase antara pekerja yang match dengan yang mismatch juga ditunjukkan dalam pilihan utama terhadap tiga faktor imbalan dan fasilitas terhadap semangat kerja responden. Walaupun 116
Link & match.indd 116
6/22/2010 6:38:59 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
gaji yang merupakan take home pay dipilih oleh kedua kelompok responden sebagai faktor terpenting dibanding dua faktor lainnya, namun bagi pekerja yang match kompensasi lainnya menduduki posisi pilihan persentase responden yang ke dua lebih penting ketimbang kelengkapan peralatan kerja, sementara bagi kelompok yang mismatch, justru lebih banyak responden yang memilih kelengkapan peralatan dibandingkan dengan bentuk kompensasi insentif tambahan yang dapat mempengaruhi semangat kerja mereka.
Bagan 4.6 Perbandingan persentase responden antara yang match dan yang mismatch terhadap tiga faktor imbalan yang paling mempengaruhi semangat kerja. Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Dengan menggunakan 4 skala pilihan dari sangat tidak suka sampai sangat suka terhadap pekerjaannya, mayoritas responden dari kedua kelompok (match dan mismatch) menyatakan suka terhadap posisi jabatan yang sedang mereka lakukan, dan tidak ada seorang pun dari kedua kelompok responden yang menyatakan sangat tidak suka. Namun demikian, setelah dilakukan pembobotan jawaban mulai dari 1 untuk yang sangat tidak suka- sampai 4 bagi jawaban sangat suka, diperoleh perbandingan angka rata-rata 3.20 : 2.77 antara mereka yang 117
Link & match.indd 117
6/22/2010 6:38:59 PM
Endang S Soesilowati
match dengan yang mismatch. Artinya,responden pada kelompok match menunjukkan tingkat kesukaan terhadap posisi jabatan yang diembannya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mismatch. Tabel 4.9 Persentase dan Sekor rata-rata Responden atas Tingkat Kesukaannya terhadap Posisi Jabatan Mereka Suka dengan posisi jabatan sekarang Sangat Suka Suka Tidak suka Sekor Rata-rata
Pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan Ya (match) 25 88 2 115
21.74% 76.52% 1.74% 100.00%
3.20
Total
Tidak (mismatch) 2 33 13 48
2.77
4.17% 68.75% 27.08% 100.00%
27 121 15 163
16.56% 74.23% 9.20% 100.00%
2.07
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Kesimpulan dan Pengujian Hipotesa Pada bab pertama (1) buku ini dikemukakan bahwa penelitian ini mengajukan empat hipotesa. Oleh karenanya, dalam memberikan kesimpulan, sekaligus penulis menyajikan pengujian terhadap hipotesa yang diajukan tersebut. H1: Mendapatkan pekerjaan yang memiliki kesesuaian (match) dengan latar belakang pendidikan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang tidak sesuai (mismatch) Hasil analisa dengan tabulasi silang menunjukkan bahwa hipotesa kerja tidak diterima. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan tidak adanya hubungan yang signifikan antara waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama sejak mereka lulus dari sekolahnya dengan match dan mismatch terhadap latar belakang pendidikan. Untuk seluruh masa tunggu, baik bagi responden pekerja laki-laki
118
Link & match.indd 118
6/22/2010 6:38:59 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
maupun perempuan paling tidak dua pertiga dari mereka adalah pekerja yang menyatakan kesesuaian kompetensi (match), kecuali bagi responden pekerja perempuan yang memiliki waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka hingga lebih dari 12 bulan (satu tahun), justru lebih banyak yang menyatakan mismatch. Sedangkan waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan yang menurut mereka sesuai dengan yang mereka inginkan pun hampir tidak ada perbedaan bagi mereka yang match dengan yang mismatch antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaannya. Namun demikian, bagi responden pekerja perempuan, ada kecenderungan bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai, semakin banyak yang menyatakan match antara latar belakang pendidikan dan pekerjaan. H2:Tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap produktivitas yang berbeda antara pekerja yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan yang tidak sesuai. Telah dikemukakan pada uraian tentang produktivitas, bahwa pendidikan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pelatihan menjadi faktor yang sangat penting dalam bekal pengetahuan terhadap pekerjaannya (penyesuaian) dan juga dalam meningkatkan produktivitas kerja. Walaupun 45,40% responden menyatakan bahwa mereka masih memerlukan sedikit penyesuaian dari bekal pendidikan yang diperoleh terhadap pekerjaannya, tapi lebih sedikit pekerja yang match menuntut perlunya pelatihan dalam mengadaptasi pekerjaannya ketimbang mereka yang mismatch. Sebaliknya hasil analisa data dengan menggunakan tabulasi silang mengindikasikan bahwa perbedaan persentase pekerja yang match dengan yang mismatch tidak terlalu signifikan dalam soal pelatihan. Namun demikian, kecenderungan bahwa pekerja yang mismatch merupakan pekerja yang tidak pernah mendapatkan 119
Link & match.indd 119
6/22/2010 6:38:59 PM
Endang S Soesilowati
pelatihan lebih banyak daripada pekerja yang pernah mendapatkan pelatihan, sementara persentase pekerja yang mismatch telah mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan yang mismatch. Hal ini mengindikasikan bahwa pelatihan yang diberikan perusahaan memang diperlukan, namun demikian, nampaknya perusahaan tidak terlalu mentargetkan pemberian pelatihan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya. Oleh karenanya, bila kemudian produktivitas kerja yang match lebih tinggi/baik dibandingkan dengan yang mismatch, tidak semata-mata disebabkan oleh kesesuaian pekerjaan dengan latar belakang pendidikan, tetapi juga oleh karena pelatihan yang mereka dapatkan di perusahaan yang bersangkutan. H 3: Lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan bidang pekerjaan dibandingkan dengan pekerja laki-laki Hasil tabulasi silang antara kesesuaian jenis pekerjaan dengan latar belakang pendidikan berdasarkan jenis kelamin, ternyata, persentasi pekerja laki-laki lebih besar ketimbang perempuan yang menyatakan kecocokan antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan (71,96% : 66,67%), namun baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan pasca sarjana (S2/S3), semuanya menyatakan match antar pendidikan dengan pekerjaan yang saat ini mereka geluti. H4: Pekerja yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaannya lebih tinggi tingkat kepuasan kerjanya dibandingkan dengan yang tidak sesuai Secara rata-rata keseluruhan, pekerja yang match cenderung memiliki upah yang lebih tinggi ketimbang yang mismatch. Oleh karena pendapatan merupakan faktor terpenting yang dapat mempengaruhi semangat kerja bagi mayoritas responden pekerja, dan lebih banyak persentase responden yang match mendapatkan upah yang lebih tinggi ketimbang yang mismatch, maka kemudian 120
Link & match.indd 120
6/22/2010 6:38:59 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
tidak mengherankan bila ternyata lebih banyak pekerja yang match menyatakan suka terhadap pekerjaannya ketimbang mereka yang mismatch. Dengan menggunakan 4 skala pilihan dari sangat tidak suka sampai sangat suka terhadap pekerjaannya, diperoleh perbandingan sekor rata-rata 3,20 : 2,77 antara mereka yang match dengan yang mismatch. Sebagai tambahan, ternyata rekan kerja mendapatkan porsi yang penting dalam mempengaruhi semangat kerja bagi pekerja yang match, sementara sikap atasan dianggap lebih penting bagi pekerja yang mismatch dalam mempengaruhi semangat kerja mereka. Dalam studi ini, peneliti juga mencoba mengkaji keterkaitan antara kesesuaian (match) kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan terhadap peningkatan karir, dengan membandingkan posisi jabatan yang sekarang didudukinya dengan posisi mereka sewaktu mulai bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hasil analisis data mengindikasikan bahwa walaupun secara umum baik bagi pekerja yang match maupun mismatch memiliki kesempatan peningkatan karir /possisi jabatan, namun posisi manajer hanya terwakili pada pekerja yang match di mana mereka pada waktu mulai bekerja hanya mendapatkan posisi staf administrasi atau paling tinggi adalah supervisor. Kondisi yang lebih baik bagi pekerja yang match dibandingkan dengan yang mismatch yang ditunjukkan dengan tingkat kepuasan, peningkatan karir dan lingkungan kerja yang kondusif, tentu saja menjadi modal bagi kualitas pekerja dengan daya saing tinggi. Hal ini memperkuat alasan pentingnya sinergitas antara dunia pendidikan dengan dunia kerja (industri), baik melalui implementasi program link and match yang dilanjutkan dan ditingkatkan, maupun melalui program sejenis lainnya. Yang terpenting adalah pengajaran pendidikan dapat menghasilkan kualitas keahlian yang relevan bagi keterampilan yang dibutuhkan industri, sehingga tercapai efisiensi investasi pendidikan.
121
Link & match.indd 121
6/22/2010 6:38:59 PM
Endang S Soesilowati
DAFTAR PUSTAKA
Boudabart, B dan Chernoff, V. (2009). The Determinants of EducationJob Match among Canadian University Graduates. Discussion Paper No. 4513 October 2009. IZA. BKN. (n.d.). Penyusunan Pedoman Pengukuran Kompetensi Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural. (http://www.bkn.go.id/penelitian/ bukupenelitian2004/bukuPeny.Ped. Peng.KompetensiPNS/babii. htm. Diakses 17 November 2009). Cannings, K., & Montmarquette, C. (1991). Managerial Momentum: A Simultaneous Model of the Career Progress of Male and Female Managers. Industrial & Labor Relations Review, 2 (44), 212-228. Farooq, S; Javid, A; Ahmed U; Khan, M. J. (2009). Educational and Qualificational Mismatches: Non-Monetary Consequences in Pakistan. European Journal of Social Sciences – Volume 9, Number 2. Florit, E. F & Vila Lladosa, L. E. (2007). Evaluation of the effects of education on job satisfaction: independent single-equation vs. structural equation models. International Advances in Economic Research. (http://www.entrepreneur.com/tradejournals/article/165167781. html. Diakses 30 Januari 2010). Gutek, B. A., & Larwood, L. (1987). Working Toward a Theory of Women’s Career Development. In L. Larwood, Women’s Career Development. Newbury Park: SAGE Publication. Hall, D. T, (1976). Careers in Organizations. Santa Monica, California: Goodyear.
122
Link & match.indd 122
6/22/2010 6:38:59 PM
Tingkat Kesesuaian Kompetensi Pendidikan Dengan Bidang Pekerjaan Pada Dunia Industri
Human Development Department East Asia and Pacific Region (2010). Indonesia Skills Report: Trends in Skills Demand, Gaps, and Supply in Indonesia. Forthcoming Publications. World Bank. Kompensasi. (n.d.), (http://ab-fisip-upnyk.com/files/bab_8_kompensasi. pdf. Diakses 17 November 2009). Mc Namara, C. (n.d.). Job Satisfaction. Free Management Library. (http://managementhelp. org/prsn_wll/job_stfy.htm. Diakses 19 November 2009). Melamed, T. (1996). Career Success: An Assessment of a Gender-Specific Model. Journal of Occupational & Organizational Psychology , 3 (69), 217-242. Palan, R. (2007). Competency Management, Teknik Mengimplementasikan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi untuk Meningkatkan Daya Saing Organisasi terjemahan dari Competency management- A Practicioner’s Guide (Vol. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia no 13). Jakarta : PPM. Panggabean, Mutiara. S. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. Rivai, V., & Sagala, E. J. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Samsudin, S. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pustaka Setia. Soesilowati, E. S. (2004). Indonesian Women Employee’s Career Development: A Qualitative Case Study of Women Employees in the Manufacturing Industry. Unpublished PhD thesis. Melbourne: Monash University
123
Link & match.indd 123
6/22/2010 6:39:00 PM
Endang S Soesilowati
Soesilowati, E. S. (2007). Women’s Participation in Economic Activities. APEC Digital Economy Forum for Women in Indonesia. 19 -21 November. Jakarta: PDII-LIPI. Syafei, B. A. (2007, Oktober 05). Kompeten dan Kompetensi. (http:// deroe.wordpress.com/2007/ 10/05/kompeten-dan-kompetensi/. Diakses 12 November 2009). Yodhia, A. (2007). Merancang Manajemen Berbasis Kompetensi. (http:// my.opera.com/ winsolu/blog/pengertian-kompetensi. Diakses 15 November 2009).
124
Link & match.indd 124
6/22/2010 6:39:00 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
BAB 5 STRATEGI PENINGKATAN LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN TINGGI DAN INDUSTRI Darwin Syamsulbahri
Pendahuluan Dalam dekade terakhir ini perekonomian Indonesia sudah berinteraksi dan bersaing dalam globalisasi. Sektor terdepan yang menghadapi persaingan global terutama sektor industri, dimana selain sebagai kontributor terbesar dalam pembentukan PDB, sebagian besar nilai (diatas 80%) ekspor non-migas Indonesia juga berasal dari sektor industri. Persaingan keras produk-produk khususnya hasil industri bukan saja terjadi di pasar luar negeri, namun terjadi pula di pasar domestik. Apalagi dengan diberlakukannya ACFTA pada tahuntahun selanjutnya, keunggulan daya saing produk-produk Cina yang dekade terakhir ini juga telah mendominasi perdagangan dunia, akan segera mengancam eksistensi produk-produk industri Indonesia. Dimensi persaingan ekonomi tersebut tidak saja meliputi produk, tetapi juga pada tingkat kualitas/produktivitas tenaga kerja. Persaingan kualitas/produktivitas tenaga kerja secara kongkrit telah mulai lebih dulu yakni sejak diberlakukannya AFLA (Asean Free Labor Area) pada tahun 2003 lalu yang memberi kebebasan mobilitas dan persaingan tenaga kerja di negara-negara Asean. Dalam hal ini persaingan muncul dari rekruitmen tenaga kerja asing yang umumnya terjadi pada tingkat posisi staf ke atas atau pada tingkat pendidikan tinggi yang berkaitan dengan kesesuaian jenis dan mutu kompetensi tenaga
125
Link & match.indd 125
6/22/2010 6:39:00 PM
Darwin Syamsulbahri
kerja tersebut dengan kebutuhan industri terutama PMA. Artinya ada hambatan penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi Indonesia di dalam negeri dari tenaga kerja asing. Sedangkan persaingan masuknya tenaga kerja asing pada tingkat pendidikan SLTA kebawah terhambat oleh kondisi over supply dan rendahnya tingkat upah pada kelas ini. Meskipun ada harapan peningkatan investasi asing (FDI), namun seperti dikemukakan Hemmer (2000 dikutip oleh Darwin, 2001), investasi asing ini bukan hanya memindahkan modal barang tetapi juga tenaga kerja yang berkualitas dari luar negeri. Selain itu struktur sebagian besar industri menengah dan besar di Indonesia yang padat karya dengan kandungan teknologi menengah dan rendah (94 % tahun 2000) memang lebih banyak menyerap tenaga kerja berpendidikan SLTA ke bawah dengan posisi operator ke bawah (Sukarna Wiranta dalam Darwin, eds, 2001), sedangkan tenaga kerja berpendidikan tinggi dengan posisi kerja staf ke atas relatif sedikit dibutuhkan. Kalaupun sebagian industri berteknologi tinggi, kebanyakan industri ini bersifat perakitan saja, sehingga jenis pekerjaan dengan skill yang tinggi relatif terbatas. Uraian di atas memberikan signal yang jelas bahwa ada persoalan yakni berupa ancaman terhadap daya saing sektor industri Indonesia dari perdagangan bebas dan ketidakoptimalan daya serap tenaga berpendidikan tinggi Indonesia (yang sudah relatif terbatas) akibat adanya persaingan dengan tenaga kerja asing. Kenyataan ini didukung oleh fakta dimana tingkat pengangguran angkatan/tenaga kerja berpendidikan tinggi ini memang jauh lebih tinggi (12,03 % tahun 2008) dengan kecenderungan meningkat. Sedangkan tingkat pengangguran tenaga kerja SLTA ke bawah (8,11% tahun 2008) kecenderungannya menurun dalam empat tahun terakhir. Salah satu faktor yang dihipotesakan menyebabkan relatif tingginya tingkat pengangguran khususnya angkatan kerja berpendidikan tinggi ini adalah adanya kondisi ketidak sesuaian (mismatch) antara jenis dan mutu kompetensi tenaga kerja lulusan 126
Link & match.indd 126
6/22/2010 6:39:00 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Disamping itu karena rendahnya permintaan dan sedang berlangsungnya restrukturisasi yang menimbulkan keluar masuknya tenaga kerja (labor turn over) di perusahaan-persahaan industri cukup tinggi (Daniel Munich and Svejnar, 2009). Untuk kasus Indonesia jelas persoalan mismatch dunia pendidikan dengan dunia usaha/industri ikut berkontribusi pada tingginya tingkat pengangguran. Seperti dinyatakan Dirjen Depnakertrans bahwa hanya 30% lowongan kerja yang terisi, sedangkan 70% lainnya tidak terisi karena ketidak sesuaian kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan (Job Expo, 17 Maret 2008). Namun demikian, penyebab utama tingginya pengangguran di Indonesia tetap lebih didominasi oleh karena ”Excess Supply” di pasar kerja yakni tingginya supply dan rendahnya demand tenaga kerja. Dalam kondisi ini masalah mismatch dan restrukturisasi perusahaan lebih bersifat memperparah tingkat pengangguran. Meskipun intensitas mismatch di Indonesia relatif tidak tinggipun, tetap saja dengan adanya kondisi tersebut memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk diminimalisir. Hal ini karena disamping memperburuk tingkat pengangguran, dampak langsungnya terhadap peningkatan biaya dan relatif rendahnya produktivitas akan mengurangi/menurunkan daya saing industri. Tulisan ini mencoba menganalisa kondisi link and match ketenaga kerjaan antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja khususnya industri dalam perspektif untuk memberikan rekomendasi strategi peningkatan link and match tersebut.
Kondisi Ketenaga Kerjaan Secara umum tingkat pengangguran terbuka menurun rata-rata minus 4,7% pertahun dari 10,85 juta menjadi 9,39 juta dalam periode 2005-2008. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi secara signifikan dalam periode tersebut cukup mampu menyerap 127
Link & match.indd 127
6/22/2010 6:39:00 PM
Darwin Syamsulbahri
lebih banyak tenaga kerja dan mengurangi tingkat pengangguran absolute. Sebaliknya tingkat pengangguran terdidik yakni lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) secara absolute malah tumbuh pesat rata-rata 10,71 % pertahun dari 708.254 menjadi 961.058 jiwa dalam periode 2005-2008 (Statistik Indonesia, 2006 dan 2009). Artinya, tenaga kerja SLTA ke bawah mempunyai kecenderungan yang positif, sebaliknya tenaga kerja berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) malah mempunyai kecenderungan/pengaruh negatif berupa peningkatan beban penggangguran yang relatif lebih tinggi terhadap perekonomian nasional. Keadaan di atas sungguh merupakan suatu ironi/kontradiksi yang bertentangan dengan tujuan hakiki pendidikan tinggi yakni untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas angkatan/tenaga kerja agar mempermudah atau memperbesar peluang kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Pada tingkat individual bisa dibayangkan betapa susahnya para penganggur terdidik ini, setelah berjuang mengorbankan biaya dan waktu yang tidak sedikit, pada akhirnya hanya menjadi penganggur dan membebani ekonomi keluarganya. Pada tingkat dunia kerja sebenarnya penganggur berpendidikan tinggi ini seharusnya menjadi motor pemacu pertumbuhan ekonomi nasional, namun kenyataannya mereka justru membebani perekonomian nasional tersebut. Nampaknya ada keadaan yang salah dalam dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja di Indonesia. Di satu sisi terjadi pertumbuhan pesat angkatan kerja lulusan perguruan tinggi, namun di sisi lain daya serap angkatan kerja terdidik ini di dunia kerja berkembang lebih lambat. Relatif rendahnya daya serap dunia kerja terhadap angkatan kerja terdidik ini terutama disebabkan oleh rendahnya permintaan (low demand) dengan pertumbuhan yang relatif rendah pula dan adanya mismatch/gap antara jenis dan mutu kompetensi angkatan kerja lulusan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan dunia kerja.
128
Link & match.indd 128
6/22/2010 6:39:00 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Hal ini bisa dijelaskan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir yang lebih dominan disebabkan oleh konsumsi domestik dan relatif sedikit dari investasi baru. Perkembangan investasi lebih bersifat investasi pengganti/tambahan pada usahausaha yang sudah ada (replacement investment) sedangkan investasi pada usaha-usaha baru sangat terbatas (Darwin, 2006). Pertumbuhan ekonomi di atas cenderung memperbesar “size” usaha yang sudah ada dan lebih banyak menambah tenaga kerja SLTA ke bawah pada posisi mandor ke bawah dari pada tenaga kerja berpendidikan dengan posisi kerja staf ke atas. Sementara sebagian pengangguran berpendidikan tinggi juga disebabkan adanya mismatch antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja seperti secara rinci dikemukakan dalam bab terdahulu penelitian ini. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebenarnya secara relatif porsi/ tingkat pengangguran terbuka angkatan kerja terdidik (Diploma dan Universitas) tidak meningkat, malah sedikit menurun yakni dari 12,09% tahun 2005 menjadi 12,03% tahun 2008 dari total penganggur. Sementara itu, meskipun secara relatif ada trend positif, namun secara absolut memang terjadi peningkatan jumlah pengangguran terbuka tenaga kerja berpendidikan tinggi dari tahun 2005 ke 2009. Jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2005 berjumlah 708 ribu jiwa atau berkontribusi sekitar 6,52% kemudian naik drastis menjadi 961 ribu jiwa atau berkontribusi sekitar 10,23% dari total pengangguran terbuka tahun 2009. Untuk tenaga kerja berpendidikan SLTA kebawah, porsi pengangguran terbukanya terhadap angkatan kerja SLTA ke bawah turun dari 10,15% tahun 2005 menjadi 8,11% tahun 2009. Secara absolute jumlah pengangguran terbuka tenaga kerja SLTA ke bawah ini juga menurun tajam dari 10.145 ribu jiwa tahun 2005 menjadi 8.434 ribu jiwa tahun 2009. Konsekuensinya porsi/kontribusinya terhadap total pengangguran terbuka juga merosot tajam dari 93,47% menjadi 89,77% pada periode yang sama.
129
Link & match.indd 129
6/22/2010 6:39:00 PM
Darwin Syamsulbahri
Di sisi lain tingkat angkatan kerja terdidik yang bekerja atau diartikan sebagai daya serap relatif dunia kerja terhadap angkatan kerja tersebut nampak sedikit meningkat yakni dari 87,91% tahun 2005 menjadi 87,97% tahun 2009 dari total angkatan kerja terdidik. Keadaan ini meskipun tipis namun mempunyai trend positif, apalagi jika trend ini diperbesar pada tahun-tahun berikutnya. Sebenarnya peningkatan daya serap riel/absolut angkatan kerja terdidik ini relatif cukup tinggi yakni naik dari 5.153 ribu jiwa tahun 2005 menjadi 7.025 ribu jiwa tahun 2009 atau dalam tiga tahun tersebut terjadi kenaikan daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi sekitar 36,33%. Sedangkan porsi daya serap angkatan kerja terdidik terhadap total menunjukkan trend positif pula yakni naik dari 5,42% menjadi 6,85% pada periode yang sama. Sementara tingkat daya serap relatif angkatan kerja SLTA ke bawah terhadap total angkatan kerja SLTA ke bawah meningkat lebih tinggi dari daya serap relatif angkatan kerja terdidik terhadap totalnya yakni naik dari 89,85% tahun 2005 menjadi 91,89% tahun 2009. Daya serap absolut/riel angkatan kerja SLTA ke bawah meningkat lebih rendah dari angkatan kerja terdidik, yakni naik dari 89.796 ribu jiwa menjadi 95.520 ribu jiwa pada periode yang sama atau meningkat sekitar 6,37% selama tiga tahun terakhir. Berkebalikan dengan porsi daya serap angkatan kerja terdidik, porsi daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah terhadap total daya serap angkatan kerja justru mengalami penurunan dari 94,58% menjadi 93,15% pada periode yang sama. Fakta-fakta tentang ketenaga kerjaan Indonesia dan analisisnya di atas memunculkan kontradiksi dan kekacauan logika berfikir. Adanya pertumbuhan absolut pengangguran terdidik dibarengi dengan penurunan tingkat dan jumlah pengangguran SLTA ke bawah, memberikan kesimpulan bahwa kontribusi penyebab tingginya dan menahan turunnya tingkat pengangguran adalah angkatan kerja berpendidikan tinggi. Banyak pihak menuding bahwa perguruan 130
Link & match.indd 130
6/22/2010 6:39:00 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
tinggi dari waktu ke waktu melahirkan angkatan kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau para penganggur yang membebani perekonomian nasional. Anggapan ini didukung pula oleh fakta kasat mata tentang komersialisasi perguruan tinggi yang berlomba-lomba menampung mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan iklan/propaganda yang muluk-muluk, meski sebenarnya kapasitas dan kompetensi mereka tidak/belum sesuai dengan yang seharusnya. Keadaan kontradiktif di atas tidaklah salah, namun kalau dicermati secara mendalam kenyataannya justru pertumbuhan daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi jauh melebihi daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada periode tahun 2005-2008 pertumbuhan rata-rata per tahun angkatan kerja SLTA ke bawah untuk jumlah pengangguran terbuka sekitar minus 5,97%, daya serap angkatan kerja sekitar 2,08%, dan jumlah angkatan kerja 1,32%. Pertumbuhan rata-rata per tahun daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan angkatan kerjanya menyebabkan turunnya secara signifikan tingkat pengangguran terbuka di kelas ini.Tentu saja dalam intensitas berapapun, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan link and match berperan dalam memperkuat daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah ini. Dalam pada itu, dalam periode yang sama pertumbuhan ratarata per tahun angkatan kerja berpendidikan tinggi untuk jumlah pengangguran terbuka sekitar 10,72%, daya serap angkatan kerja sekitar 10,88%, dan jumlah angkatan kerja sekitar 10,90%. Disinilah jawaban dari kontradiksi di atas dapat dijelaskan, dimana benar daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi berkembang pesat jauh di atas daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah, namun karena pertumbuhan jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi melebihi daya serapnya, maka pada saat yang sama akan terjadi pertumbuhan jumlah penganguran terbuka yang tinggi pula. Jadi kinerja positif 131
Link & match.indd 131
6/22/2010 6:39:00 PM
Darwin Syamsulbahri
pertumbuhan daya serap/kesempatan kerja berpendidikan tinggi yang relatif tinggi memang terkoreksi oleh pertumbuhan yang lebih tinggi jumlah angkatan kerjanya. Kondisi ini sangatlah wajar dan mestinya sudah terprediksikan jauh sebelumnya, dimana kemajuan dan perluasan akses pendidikan tinggi sebagai salah satu aspek pokok yang mendukung pembangunan bangsa memang tidak dapat dihindarkan dan tidak perlu ditahan tetapi harus dikembangkan lagi. Tentu saja hal yang diperlukan di satu sisi adalah pengelolaan dan penataan yang baik dunia perguruan tinggi agar jenis dan mutu kompetensi lulusannya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, serta di sisi lain perlu upaya keras untuk mendongkrak investasi bidang-bidang usaha baru untuk memperluas kesempatan kerja berpendidikan tinggi. Sesungguhnya perkembangan daya serap/kesempatan kerja yang menunjukkan relatif tingginya pertumbuhan permintaan angkatan kerja berpendidikan tinggi dibandingkan SLTA ke bawah, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses kemajuan kualitatif yang tentu diharapkan dapat meningkatkan daya saing dunia kerja khususnya industri manufaktur dan pada gilirannya memperkuat daya saing ekonomi. Hal ini juga mengungkapkan telah terjadi proses perubahan struktur ketenaga kerjaan yang semakin memperbesar porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi. Indonesia sebagai negara sedang berkembang mempunyai struktur angkatan kerja yang masih sangat dominan dari angkatan kerja berpendidikan SLTA ke bawah, sedangkan tingkat angkatan kerja yang berpendidikan tinggi masih merupakan porsi yang relatif kecil. Namun demikian, perkembangan pesat secara terus menerus angkatan kerja berpendidikan tinggi, jika tidak disertai perluasan kesempatan kerja dan perbaikan link and match di antara perguruan tinggi dengan dunia kerja, maka dalam satu dekade kedepan perguruan tinggi akan benar-benar menjadi biang penyebab pengangguran terbuka. Indikasi
132
Link & match.indd 132
6/22/2010 6:39:00 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
tersebut terlihat dari perubahan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi yang relatif pesat yakni tahun 2005 mencapai 5,86 juta jiwa atau 5,54%, kemudian meningkat menjadi 7,79 juta jiwa atau 7,14% dari total angkatan kerja tahun 2008. Dibandingkan dengan di negaranegara maju seperti Canada misalnya tahun 2006 porsi angkatan kerja bependidikan tinggi mencapai 27,9% dari total angkatan kerja (Brahim, 2009), porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi Indonesia masih jauh lebih rendah. Sejalan dengan perkembangan pembangunan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi tak terhindarkan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Jika tingkat pertumbuhan angkatan kerja Indonesia tetap tinggi seperti tiga tahun terakhir ini, maka dalam tiga belas tahun ke depan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi akan sama dengan kondisi di Canada tahun 2006. Meskipun pada saat ini porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi di Indonesia dibandingkan di negara-negara maju masih relatif kecil, namun pertumbuhan tinggi yang tidak dibarengi pertumbuhan daya serap yang lebih tinggi maka secara relatif angkatan kerja berpendidikan tinggi ini sudah menjadi biang penyebab yang menahan laju penurunan pengangguran terbuka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pihak otoritas Indonesia tidak/belum siap menghadapi lonjakan angkatan kerja berpendidikan tinggi. Ketidak siapan ini baik dari sisi rendahnya perluasan kesempatan kerja yang merupakan hasil dari kurangnya akselerasi pertumbuhan ekonomi utamanya melalui investasi pada usaha-usaha baru berteknologi menengah-tinggi yang relatif banyak menyerap angkatan kerja berpendidikan tinggi maupun tidak siap dalam mengatasi mismatch antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Pelajaran berharga dari fakta-fakta dan analisis di atas adalah adanya signal kekurang siapan dalam hal ini pemerintah, dunia kerja, dan dunia pendidikan tinggi Indonesia mengantisipasi masalah pengangguran terbuka angkatan kerja berpendidikan tinggi. Jika pemerintah masih kurang memperhatikan masalah ini, 133
Link & match.indd 133
6/22/2010 6:39:00 PM
Darwin Syamsulbahri
hampir dipastikan dalam satu dekade mendatang pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi berlanjut terus akan menghasilkan semakin besarnya porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi, maka ancaman akan terjadinya bencana ledakan pengangguran terbuka berpendidikan tinggi tidak terhindarkan lagi. Relatif kecilnya porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi saat ini disertai kurangnya link and match antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja mungkin belum menjadi masalah serius, namun satu dekade ke depan ketika porsi angkatan kerja tersebut berlipat ganda maka persoalan mismatch sudah sangat serius dan komplikasi serta akan sulit untuk diperbaiki. Secara lebih rinci keadaan ketenaga kerjaan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini diungkapkan pada tabel 5.1 dan 5.2 Tabel 5.1 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Dan Kegiatan Seminggu Yang Lalu, 2005 dan 2008. Pendidikan Bekerja
2005 Pengang- Angkatan Guran Kerja Terbuka 10,15 100,00 (93,47) (94,46)
SLTA Ke Bawah
89,85 (94,58)
Diploma
87,07 (2,29) 88,54 (3,13) 87,91 (5,42)
12,93 (2,97) 11,46 (3,55) 12,09 (6,52)
100,00 (2,36) 100,00 (3,18) 100,00 (5,54)
89,74 (100,00) 94.948
10,26 (100,00) 10.854
100,00 (100,00) 105.802
Universitas Diploma dan Universitas Total (ribu jiwa)
% AK Thd PUK 67,14
Bekerja
91,89 (93,15)
Pengangguran Terbuka 8,11 (89,77)
85,61
88,78 (2,80) 87,41 (4,05) 87,97 (6,85) 91,61 (100,00) 102.553
89,37 87,61
68,02
2008 Angkatan Kerja
% AK Thd PUK
100,00 (92,86)
66,05
11,21 (3,86) 12,59 (6,37) 12,03 (10,23)
100,00 (2,89) 100,00 (4,25) 100,00 (7,14)
83,54
8,39 (100,00) 9.395
100,00 (100,00) 111.947
67,18
88,42 86,38
Sumber : diolah dari data statistik Indonesia,2006 dan 2009. Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase ke bawah.
134
Link & match.indd 134
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Tabel 5.2 Pertumbuhan Tenaga Kerja Yang Bekerja, Pengangguran Terbuka, dan Angkatan Kerja, Tahun 2005-2008. (%) Bekerja SLTA kebawah Perguruan Tinggi (Diploma dan Universitas) Total
2,08 10,88
Pengangguran Terbuka -5,97 10,72
Angkatan Kerja 1,32 10,90
2,60
-4,70
1,90
Sumber : diolah dari data statistik Indonesia,2006 dan 2009.
Ditinjau dari perannya pada sektor-sektor ekonomi, secara keseluruhan 86% kesempatan kerja/angkatan kerja yang bekerja (tenaga kerja) tahun 2008 terkonsentrasi pada empat sektor utama yakni sektor Pertanian (40,30%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (20,69%), Jasa Kemasyarakatan (12,77%), dan Industri Pengolahan (12,24%). Dari total tenaga kerja tersebut 93,15% adalah tenaga kerja berpendidikan SLTA ke bawah dan 6,85% tenaga kerja berpendidikan tinggi (Diploma dan Universitas). Pola sebaran tenaga kerja SLTA ke bawah dan berpendidikan tinggi agak berbeda, dimana mayoritas tenaga kerjanya (86,25%) bekerja di empat sektor utama yakni setor Pertanian (42,77%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (21,25%), Industri Pengolahan (12,63%), dan Jasa Kemasyarakatan (9,60%). Sebaran tenaga kerja berpendidikan tinggi (Diploma dan Universitas) mayoritas (83,41%) bekerja pada empat sektor utama yakni sektor Jasa Kemasyarakatan (55,89%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (13,12%), Keuangan, Asuransi, Persewaan, dan lain-lain (7,44%), dan Industri Pengolahan (6,96%). (Lihat Tabel 5.3). Sektor Industri Pengolahan sebagai sektor yang menjadi obyek kajian penelitian ini, nampaknya bukanlah merupakan sektor yang dominan dalam penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Pada sektor Industri Pengolahan ini daya serap tenaga kerja berpendidikan tinggi pada tahun 2008 hanya berjumlah
135
Link & match.indd 135
6/22/2010 6:39:01 PM
Darwin Syamsulbahri
sekitar 489 ribu jiwa yang terdiri dari tenaga berijazah Diploma sekitar 203.266 jiwa atau 41,65% dan berijazah sarjana (S1, S2, dan S3) sekitar 285.775 atau 58,35% dari tenaga kerja dikelas ini. Daya serap tenaga kerja sektor Industri Pengolahan berpendidikan tinggi relatif agak kecil, porsinya terhadap total tenaga kerja sektor Industri Pengolahan hanya 3,89%, porsinya terhadap total tenaga kerja berpendidikan tinggi di semua sektor hanya 6,96%, dan porsinya terhadap total tenaga kerja seluruh sektor lebih kecil lagi yakni kurang dari setengah persen (0,48%). Walaupun sektor Industri pengolahan relatif kecil berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, namun sektor ini sangat penting karena merupakan kontributor utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia dan mempunyai produktivitas lebih dari dua kali lipat dari rata-rata produktivitas seluruh sektor. Keadaan tahun 2008 menunjukan bahwa sektor Industri pengolahan dengan porsi tenaga kerja hanya 12,24 % mampu menghasilkan porsi nilai tambah tertinggi yakni sekitar 26,9 % dari total Produk Domestik Bruto Indonesia. Artinya, produktivitas tenaga kerja Industri Pengolahan mencapai secara relatif sekitar 2,22 kali lipat dari produktivitas ratarata seluruh sektor. Bahkan produktivitas tenaga kerja berpendidikan tinggi sektor Industri pengolahan mempunyai produktivitas sekitar 3,86 kali lipat dari rata-rata produktivitas tenaga kerja berpendidikan tinggi seluruh sektor. Dari sisi ketenaga kerjaan, peranan yang relatif kecil tenaga kerja berpendidikan tinggi sektor Industri pengolahan tentu tidak akan terlalu mempengaruhi dinamika angkatan kerja secara keseluruhan, namun dominasi struktur kontribusi nilai tambah sektoralnya akan sangat mempengaruhi dinamika pendapatan nasional Indonesia. Relatif rendahnya porsi daya serap atau kebutuhan tenaga kerja sektor Industri pengolahan yang tidak terlalu mempengaruhi dinamika ketenaga kerjaan, tentu semestinya juga tidak akan terlalu menyulitkan dalam perekrutan dari relatif demikian besarnya pasar tenaga kerja berpendidikan tinggi. Meskipun ada pernyataan berbagai 136
Link & match.indd 136
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
pihak tentang banyaknya peluang kerja yang tidak terisi dan beberapa pihak Industri mengeluhkan kesulitan mereka untuk memperoleh tenaga kerja berpendidikan tinggi yang siap pakai atau sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun keadaan ini tidak serta merta langsung disebabkan masalah ”job mismatch” tetapi juga cenderung disebabkan kekakuan dan buruknya mobilisasi serta sistem informasi pasar kerja Indonesia yang tersebar luas (antar daerah) dan lemahnya koordinasi pihak Perguruan Tinggi-Pemerintah-Industri. Keadaan ini secara implisit mengindikasikan bahwa sampai saat ini bisa diduga, meski terkesan persoalan ”Job Mismatch” pada tenaga kerja berpendidikan tinggi di Industri Pengolahan Indonesia cukup tinggi, namun tidak akan setinggi intensitas yang sebenarnya. Hasil penelitian lapangan tentang ”Job Mismatch” tenaga kerja berpendidikan tinggi di beberapa industri sampel penelitian di Batam dan Banten cukup sesuai dengan dugaan tersebut (Lihat Tabel 5.4).
137
Link & match.indd 137
6/22/2010 6:39:01 PM
Darwin Syamsulbahri
Tabel 5.3
Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Selama Seminggu Yang Lalu Menurut Sektor Dan Pendidikan Yang Di Tamatkan, 2008.
No.
Sektor
1
Pertanian
2
Pertambangan
3 4
Industri Pengolahan Listrik, gas, dan Air
5
Bangunan
6
Perdagangan, R. Makan, & Hotel Angkutan, Pergudangan, & Komunikasi Keuangan, Asuransi, Persewaan, Dll. Jasa Kemasyarakatan
7
8
9
Total (ribu jiwa)
SLTA Ke Bawah 98,84 (42,77) 95,11 (1,07) 96,11 (12,63) 85,68 (0,18) 96,25 (5,48) 95,65 (21,25) 93,52 (6,05)
Diploma
Universitas 0,41 (4,07) 3,17 (0,82) 2,27 (6,86) 8,96 (0,43) 2,71 (3,55) 2,03 (10,35) 3,40 (5,05)
Diploma & Universitas 1,16 (6,83) 4,89 (0,75) 3,89 (6,96) 14,32 (0,41) 3,75 (2,90) 4,35 (13,12) 6,48 (5,70)
0,75 (10,82) 1,72 (0,64) 1,62 (7,10) 5,36 (0,38) 1,04 (1,97) 2,32 (17,15) 3,08 (6,63)
64,19 (0,98) 70,02 (9,60) 93,15 (100,00) 95.526,30
Total 100,00 (40,30) 100,00 (1,04) 100,00 (12,24) 100,00 (0,20) 100,00 (5,30) 100,00 (20,69) 100,00 (6,03)
8,81 (4,48)
27,00 (9,49)
35,81 (7,44)
100,00 (1,42)
11,15 (50,84) 2,80 (100,00) 2.871,87
18,83 (59,39) 4,05 (100,00) 4.154,58
29,98 (55,89) 6,85 (100,00) 7.026,45
100,00 (12,77) 100,00 (100,00) 102.552,75
Sumber : Diolah dari data Statistik Indonesia, 2009. Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase ke bawah.
Dunia Pendidikan Tinggi, Industri, dan Masalah Link and Match Beberapa tahun terakhir ini dunia pendidikan tinggi yang semestinya merupakan institusi nirlaba yang bersifat sosial, berlindung pada prinsip kepentingan keberlanjutan/daur hidup, sebagian besarnya cenderung berubah menjadi institusi yang berorientasikan bisnis/profit. Dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan, berbagai perguruan tinggi berlomba-lomba dengan berbagai iklan yang melebihi keadaan sebenarnya dan biaya yang relatif mahal berupaya
138
Link & match.indd 138
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
untuk menerima sebanyak banyaknya mahasiswa baru. Akibatnya jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi tumbuh dengan pesat dan seiring dengan perbaikan ekonomi masyarakat kecenderungan ini diperkirakan akan berlanjut terus. Berhubung sebagian besar perguruan tinggi lebih berorientasi bisnis/profit, maka dalam penyelenggaraan pendidikan aspek kurikulum dan alokasi jenis dan mutu kompetensi yang sesuai kebutuhan dunia kerja khususnya industri kurang/tidak dijadikan acuan. Keadaan ini jelas menimbulkan pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi melebihi pertumbuhan daya serap/ kesempatan kerja kategori ini disertai pemburukan disparitas jenis dan mutu kompetensi diantara yang dihasilkan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan dunia kerja khususnya industri. Dengan kata lain kebanyakan perguruan tinggi telah menjadi penyebab tingginya pengangguran terbuka dan menambah mismatch antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja/industri. Meskipun beberapa perguruan tinggi seperti politeknik dianggap cukup sesuai menghasilkan angkatan kerja siap pakai, namun jumlah (saat ini 154 buah) dan kapasitasnya masih terbatas. Kurangnya kerjasama diantara perguruan tinggi dengan dunia industri dan assosiasi-asosiasinya menyebabkan kurikulum yang dipakai perguruan tinggi kurang mengacu/sesuai kebutuhan industri dan belum tersedianya informasi akurat tentang jumlah dan alokasi serta jenis dan mutu kompetensi angkatan kerja yang dibutuhkan dunia industri. Tidak jelas institusi yang mengendalikan serta memberikan panduan terhadap alokasi dan jumlah mahasiswa masing-masing perguruan tinggi berdasarkan jenis kompetensinya, apalagi setelah era otonomi daerah. Akibatnya terjadi adanya limitasi angkatan kerja berpendidikan tinggi jenis kompetensi tertentu seperti metalurgi misalnya yang banyak dibutuhkan dunia industri, disisi lain melimpahnya angkatan kerja dengan kompetensi lainnya yang tidak banyak dibutuhkan dunia industri. Keadan ini ikut berkontribusi 139
Link & match.indd 139
6/22/2010 6:39:01 PM
Darwin Syamsulbahri
terhadap lemahnya link and match diantara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri. Hal penting lain yang menjadi ciri perguruan tinggi di Indonesia adalah relatif terbatasnya kemampuan mengikuti perkembangan atau mengembangkan atau menghasilkan inovasi Iptek melalui kegiatan ”Research and Development” (R&D) secara memadai dan melibatkan semua mahasiswanya. Kebanyakan upaya pengembangan dan pambaharuan Iptek di perguruan tinggi Indonesia berasal dari para dosen yang kembali dari studi di luar negeri yang terbatas pula jumlahnya, kemudian butuh waktu 3 sampai 5 tahun (diajarkan pada mahasiswa) baru bisa ditawarkan pada dunia industri dan mungkin telah ketinggalan dari kebutuhannya yang juga berasal dari luar negeri dan langsung dipakai. Jadi sangat masuk akal dalam penelitian ini terungkap bahwa dalam penguasaan Iptek kebanyakan dunia pendidikan tinggi agak ketinggalan dari dunia industri. Dalam pada itu, peta dunia industri Indonesia dicirikan oleh mayoritas industri menggunakan teknologi tingkat rendah dan sedang dengan orientasi padat karya (labour intensive). Konsekwensinya, secara relatif kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi agak terbatas yakni hanya mampu menampung 3,89% dari total tenaga kerja sektor industri tahun 2008. Ciri lainnya adalah relatif tertutup (terutama PMA) atau setidaknya pasif terhadap pihak luar yang bukan relasi mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang menjadi kendala dalam hubungan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri. Keadaan ini yang menyebabkan sulitnya dunia pendidikan tinggi memperoleh masukan/informasi rencana kebutuhan tenaga kerja beserta spesifikasi kompetensi masing-masing industri yang pada gilirannya menjadi kendala dalam penyusunan informasi/peta pasar kerja yang rinci dan akurat secara regional dan nasional. Selain itu, keadaan tersebut juga membatasi kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dalam penyusunan kurikulum dan program magang para mahasiswa yang diperlukan agar nantinya 140
Link & match.indd 140
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
lulusan perguruan tinggi tersebut siap kerja dan sesuai jenis dan mutu kompetensinya dengan yang dibutuhkan dunia industri. Kurangnya hubungan kerjasama antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dan ketidak efektifan fungsi pengendalian/ pengelolaan aktivitas perguruan tinggi secara nasional merupakan kendala utama dalam upaya optimalisasi ”link and match” di Indonesia. Wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber yang mewakili perguruan tinggi, industri, dan pemerintah dalam penelitian ini menunjukan keberagaman sikap tentang tanggung jawab masalah ini, tetapi umumnya mereka memiliki kesadaran, kepentingan, dan keinginan bersama untuk menata serta meningkatkan ”link and match” tersebut. Sayang semua pihak cenderung pasif bahkan bersikap ”menunggu” adanya pihak yang benar-benar serius bertanggung jawab menagani persoalan ini. Untuk bisa memahami secara lebih mendalam persoalan ”link and match” atau disebut juga ”education-job match” bisa dipelajari beberapa teori tentang hal ini. Seperti dikutip oleh Brahim Boudarbat dan Victor Chernoff (2009), Witte dan Kalleberg (1995) menyatakan pentingnya teori pada issu ”education-job match” karena memberi perhatian pada pemahaman tentang bagaimana dan mengapa individu-individu sesuai (match) dengan pekerjaannya. Paling tidak ada empat teori yang menjelaskan issu ”education-job match” yang antara lain, teori Human Capital, Credentialism, Job-matching, dan Technological change. Teori “Human capital” menyatakan bahwa banyak aspek yang membentuk human capital disamping pendidikan seperti pengalaman, training, dan lain-lain. Tenaga kerja yang terbaik human capitalnya dikatakan sebagai tenaga kerja yang paling produktif karena itu memperoleh pekerjaan/posisi terbaik dan gaji tertinggi (Allen and De wert 2007 dalam Brahim, 2009). Dalam teori ini persoalan mismatch pendidikan dipandang sebagai bagian dari ketidak efisienan
141
Link & match.indd 141
6/22/2010 6:39:01 PM
Darwin Syamsulbahri
pasar kerja, seperti misalnya phenomena sementara untuk mengganti satu bentuk human capital untuk memperoleh yang lain. Dipihak lain, teori Credentialism mempertanyakan apakah pendidikan lanjut menyediakan “necessary skill” (keterampilan yang dibutuhkan) yang digunakan dalam pekerjaan. Singkat kata, keterampilan muncul dari pekerjaan, dan pekerja memandang pendidikan sebagai prediktor dari produktivitas masa datang dan dapat dilatih oleh pemberi kerja. Teori Job-matching didasarkan pada ide bahwa pasar kerja terdiri dari pekerjaan dari banyak keterampilan yang berbeda-beda dan tingkat pengalaman sebagaimana tenaga kerjanya juga.Tenaga kerja paling terampil (berpendidikan tertinggi) seyogyanya menduduki posisi (kerja) paling terampil dan mismatch terjadi jika supply dari tenaga kerja berpendidikan tinggi atau posisi pekerja terampil saling melebihi yang lainnya (Sorenson and Kalleberg 1981; Jovanovic 1979, dalam Brahim, 2009). Terakhir, teori perubahan tehnologi didasarkan pada ide bahwa dalam ekonomi moderen dan maju (advance) tingkat teknologi berkembang pesat sekali. Tenaga kerja senior dalam perusahaan mungkin mempunyai matching pendidikan-pekerjaan yang lebih rendah dibandingkan tenaga kerja baru yang menerima pendidikan lebih mutakhir. Dari keempat teori di atas, nampaknya tiga teori pertama dengan intensitasnya masing-masing memang sesuai dan terjadi pada masalah ”link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri khususnya atau ”education-job match” di Indonesia. Sedangkan teori technological change hanya berlaku di negara-negara maju dan hampir sama sekali tidak terjadi di Indonesia, bahkan yang terjadi sebaliknya dimana hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa perkembangan penguasaan teknologi di mayoritas dunia pendidikan tinggi selalu ketinggalan dari dunia industri.
142
Link & match.indd 142
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Dari hasil penelitian ini seperti diungkapkan dalam bab sebelumnya dan dari berbagai studi empiris (Brahim, 2009) terdapat cukup banyak aspek/variabel yang signifikan menjadi arena perbandingan terjadinya atau dan mempengaruhi mismatch pendidikan-pekerjaan. Beberapa aspek tersebut antara lain; lulusan program kerja spesifik versus umum; posisi dari skill umum; tingkat/ level pendidikan; recent degree; grades (indeks prestasi); full/part time job; size perusahaan; posisi pekerjaan; sistem rekruitmen tenaga kerja (conection or not); umur pekerja; menikah/tidak menikah; cacat/ normal phisik; dan tingkat motivasi. Begitu banyaknya aspek yang mempengaruhi tingkat kedalaman mismatch namun bukan serta merta selalu menjadi penyebab mismatch yang mengurangi derajat ”link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri. Sementara tingkat kedalaman atau derajat mismatch pendidikanpekerjaan di Indonesia seperti yang diperkirakan (http://indosdm. com/, 2009) relatif tinggi. Dari seribu orang pelamar kerja mungkin hanya seratus orang yang memenuhi persyaratan administrasi dan lulus test psikologi. Intinya begitu besarnya gap atau perbedaan antara ”supply and demand”, antara persyaratan kerja dengan mereka yang memenuhi kualifikasi persyaratan kerja tersebut. Perkiraan ini memang lebih menggambarkan besarnya over supply di pasar kerja, namun mismatch menjadi bagian yang signifikan di dalamnya. Hasil wawancara dengan narasumber Disnaker provinsi Banten lebih eksplisit menunjukkan relatif tingginya tingkat mismatch pendidikan-pekerjaan, dimana hanya 45 persen saja lowongan kerja di Banten yang terisi, sedangkan 55 persen tidak terisi karena masalah mismatch pendidikan-pekerjaan tersebut (namun sebenarnya pihak industri mengisi lowongan kosong dari daerah lain dan mungkin tidak dilaporkan). Jika hal ini benar, dengan perkembangan angkatan kerja berpendidikan tinggi yang lebih tinggi dari daya serapnya bisa diduga akan lebih cepat dari pada bayangan sebelumnya, terjadi bencana pembengkakan pengangguran berpendidikan tinggi yang 143
Link & match.indd 143
6/22/2010 6:39:01 PM
Darwin Syamsulbahri
cenderung menimbulkan ancaman serius bukan saja dalam bentuk beban ekonomi tetapi juga berupa masalah/kekacauan sosial politik di negara ini. Konsekuensinya, tidak dapat disalahkan, maraknya kegiatan sosial politik kemasyarakatan yang menjelma dalam bentuk hingarbingar politik praktis diberbagai daerah dan pusat, bisa jadi sebagian merupakan manifestasi ekpresi para penganggur dari angkatan kerja berpendidikan tinggi. Kenyataannya data survey mismatch tenaga kerja industri besar dan sedang di Batam dan Banten, memang pekerja dunia industri mengalami mismatch pendidikan-pekerjaan namun jauh lebih rendah dari data rekruitmen tenaga kerja di atas. Hal ini tentu cukup masuk akal karena hampir semua tenaga kerja industri tersebut adalah angkatan kerja yang lebih match dan lulus seleksi, sudah mendapatkan training, dan sudah bekerja sekian lama, sehingga tingkat mismatchnya lebih rendah dari kondisi saat rekruitmen dilakukan. Secara lebih rinci disribusi responden tenaga kerja berpendidikan tinggi menurut keadaan matching pendidikan-pekerjaannya dikemukakan pada tabel 5.4. Tabel 5.4
Persentase Responden TK Lulusan PT Beberapa Industri Di Batam Dan Banten Berdasarkan Kesesuaian Pendidikan Dengan Jenis Pekerjaannya.
Responden
Sesuai
Tidak Sesuai
Total
(n)
Laki-laki
71,15
28,85
100,00 (104)
Perempuan
68,52
31,48
100,00 (54)
Gabungan
70,25
29,75
100,00 (158)
Sumber: Data primer P2E-LIPI, 2009.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa masalah diseputar “link and match” ini sangat kompleks, berlapis, tumpang tindih, dan saling
144
Link & match.indd 144
6/22/2010 6:39:01 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
terkait satu sama lainnya. Ada masalah yang secara langsung menjadi penyebab lemahnya “link and match” tersebut, ada masalah yang tidak langsung mempengaruhi, dan ada masalah yang muncul sebagai akibat masalah di hulunya. Dalam perspektif upaya perbaikan/ peningkatan “link and match” dunia pendidikan tinggi dan dunia industri perlu diinventarisasikan berbagai masalah dan kemudian dikelompokan. Sebenarnya masalah utama yang langsung menyebabkan rendahnya “link and match” antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri adalah ketidak sesuaian jenis/bidang dan mutu/standar kompetensi yang dimiliki angkatan kerja/lulusan dunia pendidikan tinggi dengan yang disyaratkan/dibutuhkan dunia industri. Masalah utama ini tidak berdiri sendiri tetapi muncul akibat masalah kurang/ tidak adanya kerjasama yang efektif diantara dunia pendidikan tinggi, pemerintah, dan dunia industri menyangkut aspek-aspek terutama penyusunan kurikulum termasuk magang, pemberdayaan dunia pendidikan tinggi (infrastruktur, SDM, dan riset), “road map” informasi peta tenaga kerja industri (alokasi kebutuhan dan rencana spesifikasi jenis dan mutu kompetensi), dan peningkatan Investasi dunia industri. Sedang masalah-masalah lainnya lebih bersifat tidak langsung dan merupakan masalah turunan dari masalah diatas. Sesungguhnya masalah di atas muncul karena ketidak jelasan payung hukum beserta peraturan pelaksanaan tentang penanganan masalah “link and match” dan otoritas institusi yang tegas dan berdaya (kewenangan dan sumberdaya memadai) yang dapat menjamin/ mewajibkan/memaksa kerjasama ketiga pihak terkait diatas berjalan efetif, terukur, dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini beberapa masalah “link and match” yang dianggap penting para narasumber di Batam dan Banten antara lain, keterbatasan infrastruktur belajar mengajar, mutu/kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan dunia industri lebih tinggi dari yang dimiliki angkatan kerja dari dunia pendidikan tinggi, kekurangsesuaian 145
Link & match.indd 145
6/22/2010 6:39:02 PM
Darwin Syamsulbahri
kurikulum untuk menghasilkan spesifikasi angkatan kerja yang dibutuhkan dunia industri, serta kurangnya koordinasi/kerjasama diantara dunia pendidikan tinggi, industri, dan pemeritah (pusat dan daerah).
Strategi Peningkatan “Link and Match” Semenjak hampir dua dekade yang lalu masalah issu link and match antara dunia pendidikan tinggi dan industri banyak menjadi perhatian berbagai kalangan. Sudah banyak diskusi, kajian, konsep strategi dan kebijakan yang selanjutnya telah pula diimplementasikan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan link and match di Indonesia. Dari beragam aspek substansial yang dibahas akhirnya selalu bermuara pada diperlukannya kerjasama di antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk menagani persoalan terutama dalam hal penyusunan kurikulum dan program magang. Konsep-konsep kajian dan upaya perbaikan keadaan link and match melalui praktek kerja atau program magang bagi para mahasiswa perguruan tingi seperti yang dilakukan Jepang dan bahkan disertai dengan memperbanyak pendidikan tinggi vokasi atau kejuruan (politeknik) seperti di Jerman sudah pula dilakukan, namun kondisi kurang baiknya link and match belum berubah secara signifikan. Bahkan dengan pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi yang melebihi daya serap/kesempatan kerja, diperkirakan masalah kurang baiknya link and match tersebut akan semakin serius dari waktu kewaktu. Semua kebijakan dan upaya yang telah dilakukan tidak ada yang salah, namun efektivitas, intensitas dan konsistensi kebijakan dan upaya perbaikan tersebut masih relatif rendah serta kurang terukur, sehingga sedikit perbaikan yang dicapai akan segera tergulung oleh pertambahan masalah yang lebih besar. Sebagai contoh, sampai saat terakhir ini jumlah politeknik yang 146
Link & match.indd 146
6/22/2010 6:39:02 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
ditengarai sukses menyediakan kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi sesuai dengan kriteria dunia kerja/industri baru sekitar 154 buah. Padahal untuk Indonesia yang berpenduduk diatas 230 juta jiwa dengan lebih dari 500 daerah kota/kabupaten membutuhkan ribuan politeknik. Tentu saja kecilnya pasokan tenaga kerja yang relatif cocok dengan kriteria dunia industri tidak akan mampu mengurangi masalah lemahnya link and match tersebut. Sementara program magang atau praktek kerja dan industri sebagai bapak angkat bagi mahasiswa universitas/akademi umum juga sangat sedikit terlaksana serta tidak konsisten berkelanjutan, sehingga mayoritas lulusannya masih jauh dari mengenal dunia industri alias tidak match dengan kebutuhan industri. Dalam pada itu pada dekade terakhir ini telah pula banyak dikembangkan berbagai upaya yang mengarah pada perbaikan link and match tersebut. Salah satu upaya yang secara substansial cukup maju adalah pengembangan pola interaksi antara perguruan tinggi-pemerintah-industri yang disebut sebagai konsep triple helix yang dianggap akan melahirkan inovasi. Persaingan global ekonomi dunia yang memerlukan knowledge sebagai sinergi pengetahuan, kapabilitas, keterampilan, dan pengalaman untuk menghasilkan inovasi. Sebagaimana diuraikan dan dikutip Nani Grace (2009) dari Lunvall (1992), konsep pendekatan sistemik dalam inovasi menjelaskan suatu interaksi yang kompleks diantara aktor dan institusi untuk menciptakan dan mempertukarkan knowledge, dimana hubungan ini menghasilkan sinergi yang berdampak terhadap system inovasi yang dinyatakan dalam suatu Sistem Inovasi Nasional (SIN). Interaksi antar institusi dalam konsep triple helix memerlukan adanya perluasan peran perguruan tinggi pada pembangunan ekonomi melalui kemampuan risetnya. Ada tiga model triple helix; pertama pemerintah mendominasi suatu hubungan yang didalamnya berada perguruan tinggi dan industri; kedua perguruan tinggi-pemerintah-industri setara terpisah berdiri sendiri-sendiri; ketiga perguruan tinggi-industri-pemerintah saling berpotongan satu sama lainnya dalam interaksinya (Harjanto, 2004 dalam Nani, 2009). 147
Link & match.indd 147
6/22/2010 6:39:02 PM
Darwin Syamsulbahri
Pemerintah
Pemerintah
PTinggi
Industri P.Tinggi
Gambar 1.
Gambar 2
Industri
Gambar 3.
Gambar 5.1 Model Triple Helix Keterangan : OH = Organisasi Hibrida/Gabungan.
Dalam aspek hal hubungan interaksi perguruan tinggi-industripemerintah di Indonesia masih cenderung berada pada jenis/tahapan ke dua, dimana masing-masing lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, dalam perpekstif peningkatan link and match antara dunia perguruan tinggi dengan industri, jenis hubungan seperti ini relatif kurang efektif. Jika pada saatnya seperti di Negara-negara maju model triple helix ketiga sudah terakomodasi secara menyeluruh/masif, maka diyakini upaya peningkatan link and match tersebut akan efektif dan mudah tercapai. Masalahnya seperti dikemukakan sebelumnya, walau sudah semua kebijakan dan upaya peningkatan link and match dilakukan dengan benar, namun intensitas, cakupan, dan konsistensi yang jauh dari memadai menyebabkan kondisi link and match tersebut belum kunjung membaik bahkan cenderung memburuk. Menyadari keterbatasan lingkup, kedalaman, sampel penelitian karena limitasi waktu dan sumberdaya lainnya, maka penelitian ini tidak berpretensi dan memang tidak ditujukan untuk bisa memberikan strategi/solusi secara komprehensif dan rinci. Namun demikian, penelitian ini dapat memberikan arah dan strategi makro yang diyakini tetap sangat berguna bila diimplementasikan secara benar. Sebagai sebuah 148
Link & match.indd 148
6/22/2010 6:39:02 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
strategi, tentulah harus mencerminkan suatu cara yang efektif dan sederhana agar mudah untuk diimplementasikan. Untuk itu diperlukan seleksi masalah/hambatan yang sesungguhnya menjadi induk masalah utama yang melahirkan masalah-masalah turunan lainnya. Dalam lingkup link and match sebelumya telah dilokalisir beberapa induk masalah utama yang melahirkan berbagai masalah lainnya yakni, masalah kurang/tidak adanya kerjasama yang efektif diantara dunia pendidikan tinggi, pemerintah, dan industri menyangkut aspek-aspek terutama penyusunan kurikulum termasuk magang, pemberdayaan dunia pendidikan tinggi (infrastruktur, SDM, dan riset), tidak adanya “road map” informasi peta tenaga kerja industri (alokasi kebutuhan dan rencananya spesifikasi jenis dan mutu kompetensi), dan peningkatan Investasi dunia industri. Masalah di atas terkait dengan ketidak jelasan payung hukum beserta peraturan pelaksanaan yang rinci tentang penanganan masalah “link and match” dan otoritas institusi yang tegas dan berdaya (kewenangan dan sumberdaya memadai) yang dapat menjamin/mewajibkan/memaksa kerjasama ketiga pihak terkait diatas berjalan efetif, terukur, dan berkelanjutan. Berdasarkan klassifikasi induk masalah link and match, maka strategi sederhana yang diperkirakan efektif jika diimplementasikan antara lain: - Perlu dikaji dan ditata kembali berbagai produk hukum baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan/peraturan Presiden, Keputusan/peraturan Menteri, sampai perda-perda yang mengatur/memayungi aspek link and match antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Dalam hal ini yang terpenting adalah payung hukum beserta SOP tentang kewajiban bekerjasama beserta sangsinya diantara dunia perguruan tinggi, dunia industri (dan assosiasi-assosiasinya), dan pemerintah (daerah dan pusat). - Perlu ditentukan institusi otoritas link and match (ditunjuk yang sudah ada seperti Dirjen Dikti atau Kadin atau dibentuk baru yang 149
Link & match.indd 149
6/22/2010 6:39:02 PM
Darwin Syamsulbahri
mewakili ketiga pihak di atas) seperti program CO-OP yang sudah ada disertai mitranya di daerah secara tegas dalam payung hukum di atas yang dibarengi pemberian “power” sumberdaya (terutama sumberdaya keuangan dan SDM) yang memadai. - Perlu dirinci uraian tugas pokok dan fungsi Tupoksi) institusi serta mekanisme kerjanya yang lebih terukur. Dalam hal ini termasuk uraian substansi kerjasama yang efektif, terukur, dan berkelanjutan terutama menyangkut penyusunan kurikulum, program magang, riset, penyusunan road map sektoral dan regional alokasi lowongan kerja dan rencana/prediksi ke depan. Berhubung adanya ekses supply tenaga kerja, maka perlu juga diterapkannya kurikulum tambahan disetiap jenis kompetensi yaitu tentang kewirausahaan, sehingga lulusan perguruan tinggi yang tetap tidak terserap bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. - Strategi lainnya adalah penegakan law enforcement agar semua aktivitas perbaikan link and match sesuai perintah undang-undang dapat berjalan baik. - Untuk mengurangi ekses supply tenaga kerja berpendidikan tinggi perlu kebijakan pemerintah yang mendorong perluasan investasi pada industri-industri baru.
Penutup Dalam menjaga eksistensi dan meraih peluang emas globalisasi, penguatan daya saing industri sebagai leading sector ekonomi Indonesia merupakan keharusan. Masalah angkatan/tenaga kerja berpendidikan tinggi merupakan salah satu faktor kunci dalam upaya memperkuat daya saing sektor industri untuk menggapai peluang emas di atas.
150
Link & match.indd 150
6/22/2010 6:39:02 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa secara relatif pengangguran terbuka telah didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan tinggi. Keadaan ini cenderung meningkat pula dan bila tidak segera ditangani akan menjadi bencana ledakan pengangguran yang dapat merontokkan daya saing industri dan pada gilirannya akan melemahkan perekonomian nasional. Penyebab relatif semakin tingginya pengangguran terbuka angkatan kerja berpendidikan tinggi ini berasal dari pertumbuhan cepatnya yang tidak dapat diimbangi pertumbuhan daya serapnya yang akan pula memperbesar ekses supply di pasar kerja, disisi lain diperparah oleh semakin tingginya tingkat mismatch atau semakin buruknya link and match di antara dunia pendidikan tinggi dan dunia industri. Meski keadaan link and match saat ini belum terlalu serius, namun pesatnya pertumbuhan angkatan kerja berpendidikan tinggi ini yang hanya dibarengi upaya perbaikan setengah hati, maka masalah ini akan segera menjadi masalah sangat serius yang menggerogoti daya saing industri dan selanjutnya melemahkan perekonomian nasional. Sesungguhnya banyak upaya peningkatan link and match yang telah dilakukan dengan benar, namun karena upaya tersebut kurang komprehensif, konsisten, dan terukur serta tidak ditopang payung hukum yang jelas, maka upaya ini kembali tergilas besarnya masalah yang muncul. Nampaknya strategi peningkatan link and match yang efektif adalah perlunya payung hukum beserta sangsinya yang mengatur terjaminnya efektivitas hubungan interaksi secara terukur, menyeluruh, dan berkelanjutan antara dunia pendidikan tinggi, industri, dan pemerintah dalam menangani masalah link and match ini. Untuk menyusun strategi jangka panjang yang rinci dan komprehensif tentu masih diperlukan penelitian besar yang mendalam dengan lingkup yang memadai.
151
Link & match.indd 151
6/22/2010 6:39:02 PM
Darwin Syamsulbahri
DAFTAR PUSTAKA
Boudarbat, Brahim, dan Chernoff, Victor, 2009, The Determinants of Education-Job Match among Canadian University Graduates, Discussion Paper No. 4513, Universte de Montreal, Canada, and IZA, Bonn, Germany. BPS, 2009, Statistik Indonesia, Tahun 2006 dan 2009, Jakarta. Darwin, Ed., 2006, Kinerja Pembangunan Ekonomi Dalam Otonomi Daerah, P2E-LIPI, Jakarta. Grace, Nani, 2009, Pola Interaksi Antara Perguruan Tinggi-PemerintahIndustri: Kajian Triple Helix, Warta Kebijakan Iptek & Manajemen Litbang, Vol. 7, No. 1, Juli 2009, PAPPITEK-LIPI, Jakarta. Http://www.sampournafoundation.org/content/view/882/342/ lang,en/, Link-Match Education and Business Sector, Private Partnership Discussion Series. Http://indosdm.com/link-and-match-keterkaitan-dunia-industri-dandunia-pendidikan, 2009. Http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&TASK=VIEW &ID=73&iTEMID=1, Wardiman Kembali Ingatkan Link and Match, 12/31/2009. Http://wiryanto.wordpress.com/2009/12/17/link-and-match/ Kompas, Sabtu, 21 januari, 1995, Pendidikan ”Link & Match”, Tajuk Rencana, Jakarta. MacDougall, John,1995, Tajuk Rencana: Perusahaan sebagai Bapak Angkat bagi Lembaga Pendidikan,
152
Link & match.indd 152
6/22/2010 6:39:02 PM
Strategi Peningkatan Link And Match Dunia Pendidikan Tinggi dan Industri
Munich, Daniel, and Svejnar, Jan, 2009, Unemployment and Worker_ Firm Matching, Theory and Evidence from East and West Europe, Policy Working Paper 4810, The World Bank, Development Economics Department, Research Support Unit, January, 2009. Purbo, Ono W., “Link & Match” bertumpukan Teknologi Jaringan Komputer Pendidikan Di Indonesia., ITB, Bandung. Syamsulbahri, Darwin, 2001, Ketenagakerjaan Dalam Industri Berorientasi Ekspor Menghadapi Persaingan Bebas, P2E,-LIPI, Jakarta. Yasar, Iftida, 2009,Http://indosdm.com/link-and-match-keterkaitandunia-industri-dan-dunia-pendidikan.
153
Link & match.indd 153
6/22/2010 6:39:02 PM