Fokus Fokus
MP3EI DAN PEMBANGUNAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN DAYA SAING NEGARA
Oleh: Dr. Ir. Agus Maulana, MSM
Agrimedia
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
35 35
Pada 20 Mei 2011 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) no 32 tahun 2011 yang selanjutnya dikenal sebagai MP3EI (Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011–2025). Dokumen ini menjadi bagian yang terintegrasi dengan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005–2025 dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010–2014). MP3EI disusun dalam rangka memenuhi tuntutan untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional. Meskipun memang patut dipertanyakan mengapa dokumen ini menggunakan bahasa asing (Master Plan) dan bukan, misalnya: Rencana Induk, pokok-pokok yang terkandung di dalamnya, khususnya yang menyangkut perubahan pola pikir dalam mentransformasi ekonomi Indonesia, layak menjadi pedoman bagi sektor-sektor perekonmian Indonesia. Sesuai penjelasan dalam Perpres tersebut, MP3EI disusun untuk memberi arah pembangunan ekonomi hingga tahun 2025, dengan visi Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Dalam Perpres tersebut juga ditegaskan bahwa pembangunan manusia Indonesia sebagai bangsa maju tidak hanya dilakukan melalui peningkatan pendapatan dan daya-beli masyarakat semata, melainkan harus dibarengi dengan membaiknya pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa. MP3EI diharapkan menjadi acuan kebijakan sektoral bagi semua lembaga pemerintahan baik kementerian maupun lembaga lain yang harus tertuang dalam rencana strategik masing-masing lembaga, dan juga menjadi acuan bagi kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Melalui MP3EI diharapkan terjadi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita 14.250– 15.500 USD, dan nilai total PDB sebesar 4,0–4,5 triliun USD. Untuk mencapai sasaran ini diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4–7,5% per tahun
36 36
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
pada periode 2011–2014, dan 8,0–9,0% pada periode 2015–2025. Bersamaan dengan itu, laju inflasi harus diturunkan dari 6,5% (2011–2014) menjadi 3,0% pada 2025. (MP3EI, 2011) Visi dan sasaran-sasaran di atas akan diwujudkan melalui tiga misi sebagai fokus utama MP3EI yaitu: • peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai produksi dan distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) sumber daya alam (SDA), geografis wilayah, dan sumber daya manusia, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam dan antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. • mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. • mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produk, proses, dan pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan menuju innovation-diriven economy (ekonomi berbasis inovasi). Dari ketiga fokus utama MP3EI tampak jelas bahwa ada keinginan kuat dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing negara berkelanjutan di tingkat global melalui pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dengan mendorong pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menuju kepada perekonomian berbasis inovasi. Ini berarti bahwa sektor industri pengolahan yang menghasilkan produkproduk inovatif bernilai-tambah tinggi merupakan salah satu kunci terciptanya daya saing negara yang tinggi. Dapatlah dikatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia di masa-masa mendatang haruslah ditujukan untuk membangun daya saing negara berkelanjutan yang ditumpukan pada kualitas SDM, karena pada dasarnya pembangunan daya saing negara haruslah ditumpukan pada kompetensi dan kemampuan inovatif SDM.
Agrimedia
Fokus Tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan tentang peran pembangunan kompetensi inti daerah dalam membangun daya saing negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh MP3EI. Tulisan ini banyak didasarkan pada pengalaman penulis ketika mendapat kepercayaan dari Kementerian Perindustrian untuk menjadi salah satu anggota tim yang mengkaji kompetensi inti industri daerah. Daya Saing Negara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan daya-saing sebagai kemampuan makhluk hidup untuk dapat tumbuh (berkembang) secara normal di antara makhluk hidup lainnya sebagai pesaing di satu habitat (di satu bidang usaha dan sebagainya). Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa organisasi atau perusahaan atau juga negara harus memiliki daya-saing untuk dapat tumbuh secara normal di tengah-tengah beragam organisasi/perusahaan/negara sejenis yang juga perlu hidup. Porter dalam presentasinya di depan Thailand Competitiveness Institute (TCI) tahun 2003 mendefinisikan daya saing sebagai hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan. Dapat disimpulkan bahwa jika suatu bangsa/negara ingin memiliki daya-saing, maka produktivitas negara tersebut harus selalu ditingkatkan secara berkelanjutan. Seperti diketahui, produktivitas adalah tingkat kemampuan menghasilkan sesuatu (output) dengan jumlah input tertentu.
Agrimedia
World Economic Forum (WEF), badan yang setiap tahun mengeluarkan daftar peringkat daya-saing negara-negara di dunia mendefinisikan daya-saing sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan PDB/kapita secara berkelanjutan. Sementara Competitiveness Advisory Group (CAG) menyatakan bahwa daya-saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan angka kemiskinan. Daya-saing mengandung bukan hanya elemen produktivitas, melainkan juga efisiensi dan profitabilitas. Lebih lanjut CAG menegaskan bahwa daya-saing bukanlah tujuan, melainkan alat atau cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan kesejahteraan sosial. Artinya, setiap negara harus menyadari bahwa upaya meraih dayasaing yang tinggi hanyalah cara untuk menyejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, daya-saing negara pada akhirnya haruslah ditumpukan pada daya-saing individu yang bersinergi hingga mewujudkan daya-saing negara (nasional). Pemerintah Indonesia sangat menyadari perlunya bangsa ini membangun daya-saing, karenanya Wakil Presiden RI menegaskan bahwa pada saat ini pemerintah telah menerapkan tiga pilar strategi yang ditujukan untuk meningkatkan daya-saing dan memperbanyak jumlah industri di Indonesia. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia harus mampu mengembangkan industri pengolahan sehingga kekayaan sumber daya alam dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Ketiga pilar yang dikemukakan Wakil Presiden adalah: 1. Indonesia tidak lagi menjual bahan mentah ke pasaran dunia. Strategi ini dilanjutkan dengan program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah. 2. Menumbuhkan industri dalam negeri agar terjadi pemerataan dan penciptaan lapangan kerja baru. 3. Menjadi bagian dari rantai pasok global. Strategi ini mendorong Indonesia untuk selalu mengidentifikasi pada titik-titik mana saja dalam rantai-nilai industri Indonesia perlu meningkatkan daya-saingnya.
Volume 18 No. 2, Desember 2013
37
Selaras dengan MP3EI, Kementerian Perindustrian yang bertanggungjawab membina industri di Indonesia juga telah mencanangkan keinginan untuk menyebarkan lokasi industri ke luar Pulau Jawa agar terjadi pemerataan kesempatan kerja serta terjadi proses alih-keterampilan dan teknologi ke daerahdaerah di luar Jawa. Disadari bahwa strategi yang diterapkan ini sangat membutuhkan ketersediaan SDM yang berkualitas serta kreatif. (Renstra Kementerian Perindustrian 2010–2025, 2010) Di masa yang lalu, demi meningkatkan kesempatan kerja pemerintah mempunyai strategi mengutamakan industri-industri padat-karya (industri yang menyerap banyak tenaga kerja). Akibatnya tumbuhlah banyak industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja tidak terampil dengan upah yang rendah. Di satu pihak situasi ini sangat menguntungkan karena dengan tersedianya lapangan kerja, berbagai potensi gejolak sosial dapat dicegah. Di pihak lain, situasi ini telah mengakibatkan tertekannya upah buruh karena tenaga kerja yang diperlukan adalah tenaga kerja tidak terampil yang bersedia diberi upah rendah. Nilai tambah yang dihasilkan industri lebih banyak jatuh ke tangan para pemilik modal yang mampu menjual produk mereka dengan harga yang bagus di pasar mancanegara, sementara para pemilik modal ini dapat menekan biaya produksi melalui penekanan upah buruh. Di era perekonomian terbuka saat ini, strategi upah murah
38
Volume 18 No. 2, Desember 2013
tidak lagi efektif. Banyak negara lain, khususnya negara berkembang yang juga menawarkan upah murah dengan tingkat produktivitas buruh yang lebih tinggi. Akibatnya Indonesia menjadi kalah bersaing dalam menarik investasi asing. Sejalan dengan pernyataan CAG tentang daya-saing yang menegaskan bahwa daya-saing mengandung tiga elemen, yaitu produktivitas, efisiensi, dan profitabilitas, sudah selayaknya Indonesia tidak lagi mengutamakan upah rendah untuk menumbuhkan industri. Indonesia harus mulai mencari keselarasan di antara ketiga elemen tersebut. Salah satu pendekatan yang sekarang banyak digunakan adalah pendekatan nilai-tambah. Pendekatan ini tidak lagi terlalu menekankan pada biaya-rendah, melainkan lebih pada penyampaian nilai kepada pelanggan. Fokus pendekatan ini bukan lagi pada biaya yang rendah melainkan pada nilai tambah yang dihasilkan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan ini bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi asalkan hasil yang diperoleh jauh lebih tinggi (secara relatif). Nilai tambah yang tinggi salah satunya dapat diperoleh melalui proses kreatif (daya cipta) dari manusia yang terlibat dalam proses produksi. Dapat dipahami dengan jelas bahwa sasaran pencapaian pendapatan per kapita serta PDB yang tercantum dalam MP3EI salah satunya bergantung pada keberhasilan Indonesia membangun kompetensi dan kreativitas sumber daya manusianya.
Agrimedia
Fokus Membangun Daya Saing Pembangunan Kompetensi Inti
Negara
Melalui
Para pakar manajemen strategik berpendapat bahwa setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan perusahaan (ataupun negara) untuk mencapai daya saing yang tinggi. Pendekatan pertama dikenal sebagai pendekatan berbasis pasar (market-based view) yang menyatakan bahwa untuk memiliki daya saing yang kuat suatu negara haruslah mengawalinya dengan melihat lingkungan utama pasarnya terlebih dahulu. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa tidak ada strategi yang berhasil tanpa mendasarkannya pada pemenuhan kebutuhan pasar yang ada sekarang. Pendekatan berbasis pasar ini sering diasosiasikan dengan pemikiran Michael Porter (1980) yang terkenal dengan model Five Competitive Forces. Pendekatan kedua berpendapat bahwa daya saing yang tinggi bersumber pada kemampuan menciptakan inovasi di masa depan melalui pendaya-gunaan sumber daya guna membangun kompetensi inti (Hamel dan Prahalad, 1994). Konsep kompetensi inti mulai mendapat perhatian peneliti manajemen sejak Hamel dan Prahalad menulis artikel “The Core Competence of Corporation” pada tahun 1990. Artikel ini selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah buku berjudul “Competing for the Future” yang secara umum menyatakan bahwa untuk dapat bersaing di masa depan suatu perusahaan (dan juga negara) harus mampu menguasai kompetensi yang vital bagi keberhasilan perusahaan (negara) tersebut. Hamel dan Prahalad terinspirasi oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang yang saat itu dapat mengatasi pesaing-pesaing dari Amerika Serikat. Hamel dan Prahalad melihat bahwa keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang bukanlah sekadar karena perusahaan-perusahaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan pasar yang mereka layani,
Agrimedia
melainkan, yang lebih penting lagi, perusahaanperusahaan ini mampu mengidentifikasi kompetensi inti mereka dan memanfaatkan kompetensi tersebut untuk menghasilkan beragam produk yang sebelumnya bahkan tidak pernah terbayangkan oleh pasar (konsumen). Hamel dan Prahalad mendefinisikan kompetensi inti sebagai berikut: • Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumber daya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-sendiri tidak dapat optimal mendukung kemampuan bersaing. • Hasil pembelajaran kolektif khususnya mengenai bagaimana mengkoordinasikan kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikannya dengan arus teknologi yang berkembang. Barney mengemukakan bahwa sumber daya dan kapabilitas penting bagi daya saing apabila bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing. Kompetensi inti juga dapat disarikan menjadi kumpulan keahlian, pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis. (Hitt, Ireland, Hoskisson, 2001) Reve mendefinisikan kompetensi inti sebagai aset yang memiliki keunikan tinggi sehingga berbeda dengan aset yang dimiliki daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti. (Hitt, Ireland, Hoskisson, 2001)
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
39 39
Kotler (2003) mengemukakan tiga syarat dari kompetensi inti yaitu : • Kompetensi inti merupakan sumber keunggulan bersaing yang dapat dikembangkan untuk menghadapi persaingan di tingkat global. Kompetensi inti hendaknya memberi kontribusi besar dalam memberi manfaat bagi pengguna produk yang akan dihasilkan. • Kompetensi inti berpotensi untuk diaplikasikan di berbagai pasar baik pasar lokal, domestik, maupun internasional. Pengembangan kompetensi inti hendaknya membuka peluang untuk menghasilkan beragam produk yang bernilai bagi pasar. • Kompetensi inti haruslah sulit ditiru pesaing karena merupakan kemampuan khas yang dimiliki oleh organisasi dan sesuai dengan karakteristik khas organisasi.
Proses penguasaan kemampuan oleh pengusaha lokal harus didukung oleh berbagai pihak khususnya pemerintah daerah dan tentu saja, pemerintah pusat. • Upaya-upaya yang dilakukan dalam membangun kompetensi inti hendaknya tidak mengabaikan keunggulan komparatif yang sudah dimiliki daerah. Seyogyanya pembangunan kompetensi inti didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada. Upaya ini harus dilakukan oleh segenap komponen masyarakat dan pemerintahan sekaligus juga kalangan pengusaha di daerah. • Diperlukan perencanaan yang komprehensif khususnya menyangkut perubahan sikap dan perilaku pelaku usaha dan masyarakat terhadap pentingnya pembangunan kompetensi inti bagi peningkatan daya saing daerah.
Konsep kompetensi inti pada dasarnya merupakan hasil dari pembelajaran kolektif yang berlangsung lama dalam organisasi untuk mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan mengintegrasikannya dengan teknologi yang beragam secara optimal. Apabila konsep komptensi inti ini diaplikasikan untuk skala daerah maka terdapat tiga masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti : • Penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses kewirausahaan atau kemampuan inovasi yang berjalan secara kumulatif, karenanya teori dan aplikasi kewirausahaan dan inovasi perlu dikuasai dengan baik oleh para pengelola perusahaan. Apabila konsep kompetensi inti ini diaplikasikan untuk tingkat negara atau bagian dari suatu negara (provinsi atau daerah tingkat dua), khususnya Indonesia, permasalahannya adalah kualitas sumber daya di beberapa daerah tidak merata.
Konsep Saka-sakti untuk Membangun Daya Saing Negara
40 40
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Huseini (1999) mengemukakan gagasan pembangunan daya saing negara yang ditumpukan pada daya saing daerah. Huseini berpendapat bahwa sesuai dengan implementasi otonomi daerah di Indonesia maka seyogyanya daya saing negara dibangun melalui pembangunan daya saing daerah tingkat dua (kabupaten/kota) yang merupakan daerah otonom. Usul ini dikemukakan karena Huseini beranggapan bahwa agar pembangunan daya saing dapat berjalan dengan baik, pihak yang membangun haruslah mempunyai otoritas yang memadai. Untuk membangun daya saing daerah, Huseini mengusulkan pembangunan kompetensi inti daerah yang bersangkutan. Pengembangan kompetensi inti daerah haruslah terfokus sehingga sumber daya fisik dan non fisik di daerah tersebut dapat dioptimalkan untuk mengembangkan kompetensi inti daerah.
Agrimedia
Fokus Huseini (1999) selanjutnya memperkenalkan konsep Saka-Sakti yang merupakan kependekan dari Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti. Pada dasarnya Huseini menegaskan bahwa suatu daerah hendaknya dapat memusatkan sumber daya fisik dan non-fisik yang dimiliki untuk membangun satu kompetensi inti yang bersifat khas daerah tersebut dan selanjutnya membangun daya saing berbasis kompetensi inti tersebut. Konsep ini dikembangkan dengan memperhatikan: • Pemberdayaan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar sumber daya saing yang sudah ditetapkan sebagai kompetensi inti, baik yang bersifat tangibles, intangibles, maupun very intangibles. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas aparat pemerintah yang berhubungan dengan pelaku usaha. Pelaku usaha daerah dapat diberdayakan melalui bantuan modal usaha maupun pendampingan pelaku usaha untuk peningkatan hasil produksi dan pemasaran hasil produksi. • Kabupaten/kota dikembangkan bukan berdasarkan komoditas atau produk unggulan melainkan berdasarkan kompetensi inti. Hal ini mencegah timbulnya pandangan yang terlalu sempit yang mengarah pada produksi satu komoditas tertentu tanpa memikirkan mengapa komoditas tertentu dapat menjadi unggulan. Namun demikian, suatu komoditas unggulan dapat dijadikan dasar dalam pembentukan kompetensi inti yang harus mendapatkan dukungan dari sumber daya daerah baik fisik maupun non fisik.
Agrimedia
• Pengembangan kompetensi inti didasarkan pada pembelajaran kolektif dari sumber daya manusia yang ada sehingga dukungan pada kompetensi inti dapat diwujudkan. • Kerja sama atau kemitraan antar daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti yang berbeda, misalnya melalui kebijakan rantainilai lintas-batas dan analisis skala dan cakupan ekonomis. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan kompetensi inti adalah: • Kinerja ekonomi, untuk mengukur outcome pengembangan kompetensi inti, indikator-indikator makro seperti pendapatan daerah (PDRB ataupun PAD), tingkat pengangguran, tingkat inflasi maupun besaran-besaran yang sudah lazim digunakan untuk setiap sektor usaha dapat digunakan. • Jaringan dan kemitraan yang terbentuk antara pemerintah daerah dan dunia usaha. Kemitraan juga dijalin antar-daerah dan apabila memungkinkan dapat dijalin kerja sama dengan investor dari luar negeri. Kualitas dan kuantitas jaringan dan kemitraan ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan kompetensi inti. • Perluasan modal sosial masyarakat. Modal ini diperlukan untuk mendukung proses pengembangan kompetensi inti melalui semangat kerja dari masyarakat di daerah. Modal sosial masyarakat dapat diukur misalnya dengan melihat seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kompetensi inti. • Inovasi melalui peningkatan penelitian dan pengembangan. Termasuk didalamnya penambahan kapasitas penelitian dan pengembangan. Indikator ini menunjukkan peluang munculnya kreativitas dan inovasi-inovasi dari pengembangan kompetensi inti daerah. Banyaknya riset dan temuan baru yang dihasilkan dapat menjadi indikator pembangunan kompetensi inti. • Sumber daya manusia yang ada dilihat dari tingkat keahlian yang dimiliki, serta ketersediaan dan kualitas tenaga kerja daerah dapat pula dijadikan sebagai salah satu indikator.
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
41 41
• Pengembangan perekonomian dan dunia usaha yang dapat menunjukkan tingkat keterlibatan tenaga kerja serta ketersediaan lapangan kerja juga dapat menjadi kriteria keberhasilan. Indikator yang dapat digunakan misalnya adalah tingkat keterampilan pekerja, jumlah perusahaan yang ada beserta kinerja dan hasilnya. Dalam mengukur indikator tersebut, harus dilakukan penetapan target untuk beberapa indikator yang merupakan aspek penting dalam pengembangan kompetensi inti, karena hal tersebut berguna untuk mengetahui seberapa jauh pembangunan kompetensi inti telah dilakukan. Model Konseptual Saka-sakti dan Implementasinya Model konseptual Saka Sakti yang digunakan dalam proses pembangunan kompetensi inti industri daerah oleh Kementerian Perindustrian merupakan gambaran keterkaitan antara rantai nilai dari komoditas unggulan yaitu pembelajaran kolektif, kompetensi dan sumber daya dengan sembilan faktor yang dikembangkan oleh Choo dan Moon yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari model berlian Porter (Porter, 2000). Keterkaitan tersebut melibatkan kemampuan sosial (social capability) dengan struktur industri yang sesuai dengan kompetensi inti. Secara konseptual Saka Sakti dapat dimodelkan Gambar 1. Model tersebut menunjukkan bahwa sembilan faktor dalam model (politisi dan birokrat; tenaga kerja; manajer dan insinyur profesional; wirausahawan; lingkungan bisnis; sumber daya; permintaan domestik; industri terkait dan pendukung serta peluang eksternal) digunakan untuk menunjang rantai nilai (value chain)
komoditas unggulan yang dilingkupi oleh kemampuan sosial yang ada berupa sintesis dinamis dari sumber daya (tangibles dan intangibles), kompetensi SDM, dan pembelajaran kolektif (collective learning) baik di dalam maupun antar-kabupaten/kota. Selanjutnya konsep saka sakti dapat diimplementasikan melalui beberapa langkah sebagai berikut: • Identifikasi komoditas/produk unggulan. Komoditas unggulan yang terpilih haruslah mempunyai akses pasar domestik dan internasional yang mudah. Komoditas unggulan juga harus memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian daerah, serta memiliki nilai tambah ekonomis dan sosial yang tinggi. • Analisis sembilan faktor daerah. Analisis ini dilakukan untuk dapat mengetahui faktor mana saja yang perlu diperhatikan dalam pembangunan daya saing daerah. Daerah yang berbeda mungkin menghadapi situasi yang berbeda sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dapat berbeda pula. • Analisis rantai nilai komoditas unggulan yang menyeluruh mulai dari rantai nilai primer berupa pasokan bahan baku, bahan setengah jadi, produksi barang jadi hingga proses pemasaran dan distribusi kepada konsumen, sampai ke rantai nilai pendukung berupa aspek-aspek SDM, teknologi, organisasi, permodalan, dan sebagainya. Analisis ini diperlukan untuk mengidentifikasi titik-titik pada rantai nilai yang dapat dijadikan landasan pembangunan kompetensi inti. • Tentukan kompetensi inti yang akan dikembangkan berdasarkan hasil analisis rantai nilai. Kompetensi inti yang hendak dikembangkan haruslah diidentifikasi dengan menggunakan data dan analisis yang akurat serta didukung oleh metode yang tepat.
Gambar 1. Model konseptual Saka Sakti yang dikembangkan oleh Choo dan Moon 42 42
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Agrimedia
Fokus • Identifikasi kesenjangan pada sembilan faktor yang ada. Kesenjangan ini harus segera diperkecil agar pengembangan kompetensi inti tidak terkendala. Pemerintah dapat berperan besar dalam upaya menutup kesenjangan ini. (presentasi penulis di depan Rapat Kerja Kementerian Perindustrian 2009)
Penutup Kompetensi inti memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing daerah yang pada dasarnya menjadi tumpuan daya saing negara. Kompetensi khas suatu daerah yang sulit ditiru daerah lain dapat menjadi kunci keberhasilan daerah dalam menentukan arah pembangunannya, dan juga dapat menjadi acuan untuk menggalang kemitraan dengan daerah lain. Kesadaran dan pengakuan bahwa setiap daerah dapat memiliki kompetensi inti yang berbeda justru dapat menjadi landasan kerja sama yang efektif di antara berbagai daerah. Didasarkan pada berbagai indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung, kompetensi inti dapat berperan sebagai: • Pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai industri yang akan dikembangkan. Pemilihan industri yang tepat akan memberikan dampak yang lebih baik bagi pengembangan daya saing daerah. • Sumber keunggulan daerah dalam menghadapi persaingan global, serta mendorong kemandirian pembangunan. • Landasan bagi pembangunan kemitraan antardaerah. Mengingat pentingnya peran kompetensi inti dalam membangun daya saing daerah, Pemerintah daerah diharapkan dapat mengubah paradigma yang
Agrimedia
terfokus pada komoditas unggulan menjadi fokus pada kompetensi inti daerah, serta juga mengubah paradigma persaingan antar-daerah menjadi kemitraan antar-daerah. Perubahan paradigma ini menuntut kesediaan dan kemampuan menemukan serta mengembangkan masa depan, dan juga menuntut dihilangkannya egosentrisme daerah . Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak hanya perlu melakukan proses pembelajaran (learning) tetapi juga harus membuang pandangan dan pemahaman yang yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi berjalan atau yang oleh Hamel dan Prahalad disebut proses penanggalan (unlearning). Perlu pula disadari bahwa fokus pada kompetensi inti bukan berarti meninggalkan komoditas unggulan daerah yang sudah ada. Identifikasi kompetensi inti justru dapat dilakukan dengan titik tolak produk unggulan yang sudah ada saat ini, melalui analisis rantai nilai dan proses untuk mengidentifikasi dan menetapkan kompetensi inti yang layak dikembangkan untuk suatu daerah. Referensi Porter M. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Free Press. Hamel, Prahalad, 1994. Competing for the Future. USA: Harvard Business Press. Dokumen Renstra Kementerian Perindustrian (2010) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Kotler P. 2003. Marketing Management. Ed. 11. USA: Prentice Hall. Hitt M, Duane R, Robert H. 2001. Strategic Management: Concepts and Cases. USA. Porter M. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Free Press.
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
43 43