Fokus
Industri Unggulan Daerah dalam Perspektif Aglomerasi dan Daya Saing Dr. Alla Asmara, SPt, MSi Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Astri Fikanti Zuliastri, SE Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
30 30
Volume19 19 No. No.22Desember Desember2014 2014 Volume
Agrimedia
Pendahuluan Dinamika perekonomian global yang berkembang mengarah kepada tingkat persaingan yang semakin tinggi. Salah satu sektor utama dalam perekonomian Indonesia yang menghadapi tantangan persaingan yang semakin tinggi adalah sektor industri. Persaingan yang dihadapi oleh sektor industri nasional tidak hanya terjadi di pasar internasional tetapi juga di pasar domestik. Serbuan barang-barang impor di pasar domestik dapat mengancam produksi industri nasional. Demikian pula dengan ekspor produk industri nasional dapat terancam dengan keberadaan produk sejenis dari negara pesaing. Oleh karena itu, sektor industri nasional dituntut untuk mampu mengembangkan daya saing yang dimilikinya. Seperti sudah diketahui bahwa sektor industri merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama periode 2011-2013 kontribusi sektor industri terhadap pembentukkan PDB berkisar 25,54% hingga 25,80% (BPS, 2014). Pangsa sektor industri tersebut jauh berada di atas sektor-sektor lainnya. Namun demikian, pangsa sektor industri dalam pembentukan PDB menunjukkan trend penurunan. Pada tahun 2010 pangsa sektor industri sebesar 25,80%, menurun menjadi 25,71% (tahun 2011) dan kembali menurun menjadi 25,60% (tahun 2012) dan 25,54% (tahun 2013) (BPS, 2014). Penurunan kontribusi tersebut menjadi salah satu indikator yang membuat sebagian pihak menilai bahwa terjadi gejala deindustrialisasi di Indonesia.
Agrimedia
Berdasarkan Global Competitiveness Report tahun 2014 diketahui bahwa posisi daya saing Indonesia masih berada pada peringkat ke 34 dari 144 negara yang disurvei. Dengan posisi tersebut, daya saing Indonesia masih lebih rendah dibandingkan beberapa Negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (ranking 2), Malaysia (ranking 20), dan Thailand (ranking 31). Rendahnya daya saing Indonesia tersebut tentunya terkait dengan daya saing sector industri nasional. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi daya saing industri nasional adalah terjadinya peningkatan biaya energi dan tingginya biaya ekonomi terkait dengan belum memadainya ketersediaan infrastruktur dan layanan birokrasi. Selain masalah eksternal tersebut, sektor industri juga mengalami masalah internal yaitu struktur industri hulu ke hilir yang masih lemah dan rendahnya penguasaan teknologi. Untuk mendorong peningkatan daya saing industri nasional maka sudah selayaknya pembangunan industri dilakukan secara terintegrasi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjamin pembangunan industri yang terintegrasi adalah dengan pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Melalui pendekatan top down maka pembangunan industri dilakukan dengan memperhatikan prioritas yang ditentukan secara nasional berdasarkan kemampuan untuk bersaing di pasar domestik dan internasional serta diikuti oleh partisipasi daerah. Adapun pendekatan bottom up merupakan pengembangan industri unggulan daerah melalui pemberdayaan produk industri unggulan daerah (Kemenperin, 2010).
Volume 2 Desember 2014 31 31 Volume 19 19 No.No. 2 Desember 2014
Fokus Fokus kerajinan kayu dan industri tekstil dan produk tekstil. Lebih lanjut juga akan diuraikan terkait bagaimana hubungan aglomerasi dengan daya saing pada industri unggulan daerah. Aglomerasi dan Unggulan Daerah Pengembangan industri unggulan daerah dilakukan dalam rangka mendorong terciptanya daya saing industri yang kuat di daerah. Pemusatan kegiatan industri di dalam suatu wilayah akan memberikan keuntungan berupa aglomerasi. Kuncoro (2004) mengungkapkan bahwa pengembangan sektor industri yang berbasis pada potensi dan sumberdaya yang dimiliki setiap daerah dengan dibarengi pendekatan aglomerasi merupakan suatu langkah strategis untuk meningkatkan daya saing industri. Keuntungan aglomerasi diperoleh karena lokasi yang saling berdekatan antar industri sehingga terjadi penghematan biaya produksi. Tambunan (2001) mengungkapkan bahwa pendekatan aglomerasi dapat meningkatkan daya saing dan menciptakan kekuatan industri nasional dalam bentuk saling ketergantungan, keterkaitan dan saling menunjang antara industri hulu, industri hilir, industri pendukung dan industri terkait. Sementara itu, Vidyatmoko et al. (2011) menyatakan bahwa salah satu penguat daya saing nasional adalah adanya efisiensi produksi pada kegiatan industri. Efisiensi produksi lebih mudah dicapai melalui aglomerasi industri karena faktor produksi yang dibutuhkan (tenaga kerja terampil) akan terkonsentrasi di lokasi tersebut. Selain itu, dengan teraglomerasinya industri maka transfer pengetahuan menjadi lebih mudah sehingga produktivitas industri dapat meningkat dan mempercepat pertumbuhan industri. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran daya saing dan aglomerasi beberapa industri unggulan daerah terpilih yang meliputi: industri pengolahan kakao, pengolahan karet, pengolahan kelapa, pengolahan kelapa sawit, pengolahan hasil laut, industri
32
Volume 19 No. 2 Desember 2014
Daya
Saing
Industri
Aglomerasi industri merupakan pengelompokkan industri inti yang saling berhubungan dengan industri pendukung (supporting industries), industri terkait (related industries), jasa penunjang dan infrastruktur ekonomi. Pendekatan aglomerasi dalam pembangunan industri diartikan sebagai pemusatan kegiatan industri di suatu lokasi tertentu. Adanya aglomerasi tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transaksi dan transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas sehingga berdampak pada peningkatan daya saing industri (Kuncoro, 2004). Keuntungan yang dihasilkan dari pembentukan aglomerasi industri yaitu peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, kemudahan modal, akses pada supplier dan terjadinya transfer informasi serta sebaran pengetahuan (knowledge spillover). Aglomerasi merupakan fenomena yang lebih kompleks dibandingkan klaster industri. Perbedaan antara aglomerasi dan klaster industri terletak pada skala ekonomi, spesialisasi dan keanekaragaman industri (Kuncoro, 2012). Skala ekonomi dan keanekaragaman industri merupakan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan aglomerasi. Sedangkan ciri utama dari suatu klaster industri adalah spesialisasi sektoral. Selain itu, perbedaan antara aglomerasi dan klaster industri terlihat pada output yang dihasilkan. Klaster merupakan kumpulan industri sejenis yang terkonsentrasi di suatu lokasi sehingga menghasilkan output yang lebih homogen. Sedangkan aglomerasi terbentuk karena berkumpulnya beragam industri pada suatu lokasi tertentu sehingga menghasilkan output yang heterogen. Akan tetapi, ada kaitan antara aglomerasi dan klaster, yaitu bahwa secara sederhana aglomerasi merupakan kumpulan klaster dari berbagai jenis industri.
Agrimedia
Metode yang sering digunakan dalam menganalisis aglomerasi industri yaitu indeks konsentrasi tenaga kerja atau dikenal dengan istilah Hoover Balassa Index (HBI). Indeks Hoover Balassa ini menyatakan bahwa industri akan teraglomerasi pada suatu lokasi ketika share tenaga kerja untuk industri tersebut lebih besar daripada share tenaga kerja industri secara agregat (Tian, 2013). Nilai HBI > 1 menunjukkan bahwa industri unggulan teraglomerasi pada suatu wilayah dan jika nilai HBI < 1 menunjukkan industri tersebut tidak teraglomerasi. Sementara itu, suatu industri dikatakan berdaya saing apabila mampu menghasilkan barang dan jasa dengan biaya yang rendah (efisiensi biaya) sehingga dapat mempertahankan pangsanya secara berkelanjutan. Indikator yang sering digunakan untuk menilai daya saing suatu industri yaitu indeks Location Quotient (LQ) yang berbasis output. Industri dikatakan berdaya saing jika pangsa output industri di tingkat daerah (provinsi) lebih besar dibandingkan pangsa output secara nasional atau memiliki nilai LQ > 1. Sebaliknya, jika nilai LQ < 1, maka industri tersebut tergolong tidak berdaya saing.
Pemetaan industri unggulan daerah berdasarkan tingkat daya saing dan aglomerasi disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa sebagian besar industri unggulan daerah memiliki daya saing yang tinggi (nilai LQ > 1) dan teraglomerasi (HBI > 1). Namun demikian, ada beberapa industri unggulan daerah yang memiliki daya saing rendah (kode 23 dan 29), tidak teraglomerasi (kode 24), serta memiliki daya saing rendah dan tidak teraglomerasi (kode 10, 31, 32). Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk peningkatan daya saing dan pengembangan aglomerasi perlu terus dilakukan. Peningkatan daya saing industri unggulan daerah dapat dilakukan dengan pengembangan kawasan yang memberikan insentif bagi terbentuknya aglomerasi industri. Dengan terbentuknya aglomerasi industri tersebut maka akan mengurangi biaya transaksi dan memudahkan industri untuk berinteraksi dengan industri-industri terkait sehingga akan meningkatkan produktivitas dan daya saing industri tersebut. Selain itu, peningkatan daya saing industri unggulan daerah juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi produk industri yang dihasilkan yaitu dengan peningkatan efisiensi produksi melalui adopsi teknologi.
Keterangan: 1. Kakao (Sumatera Barat)
11. Kelapa Sawit (Sumut)
21. Hasil Laut (Sultra)
31. Tekstil (Jawa Timur)
2. Kakao (NTT)
12. Kelapa Sawit (Riau)
22. Hasil Laut (Maluku)
32. Kayu (DKI Jakarta)
3. Kakao (Sulawesi Barat)
13. Kelapa Sawit (Jambi)
23. Hasil Laut (Gorontalo)
33. Kayu (Jawa Tengah)
4. Kakao ( Sulawesi Selatan)
14. Kelapa Sawit (Kalbar)
24. Hasil Laut (Babel)
34. Kayu (DI Yogyakarta)
5. Karet (Sumatera Selatan)
15. Kelapa Sawit (Kalsel)
25. Hasil Laut (Sulut)
35. Kayu (Jawa Timur)
6. Karet (Bengkulu)
16. Kelapa Sawit (Kaltim)
26. Hasil Laut (Sulsel)
36. Kayu (Papua Barat)
7. Karet (Sumatera Utara)
17. Kelapa (Maluku Utara)
27. Hasil Laut (Papua Barat)
8. Karet (Jambi)
18. Kelapa (Riau)
28. Tekstil (Jawa Barat)
9. Karet (Kalimantan Barat)
19. Kelapa (Sulawesi Utara)
29. Tekstil (Banten)
10. Karet (Kalimantan Timur)
20. Hasil Laut (Sulteng)
30. Tekstil (Jawa Tengah)
Gambar 1. Pemetaan Industri Unggulan Daerah Berdasarkan Tingkat Daya Saing dan Aglomerasi
Agrimedia
Volume 19 No. 2 Desember 2014
33
Rubrik Utama Fokus Apabila dikaji lebih detail untuk setiap jenis industri diketahui bahwa tingkat daya saing dan aglomerasi yang dicapai relatif beragam. Sebaran tingkat daya saing dan aglomerasi tertinggi untuk setiap jenis industri adalah sebagai berikut: (1) industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan (kode 4); (2) industri pengolahan kelapa sawit di Jambi (kode 13); (3) industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara (kode 19); (4) industri tekstil di Jawa Barat (kode 28); (5) industri pengolahan karet di Kalimantan Barat (kode 9); (6) industri pengolahan hasil laut di Sulawesi Tengah; dan (7) kerajinan kayu di Jawa Timur. Industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan memiliki nilai LQ 9,49 dan nilai HBI sebesar 9,35. Tingginya daya saing industri kakao di daerah tersebut dikarenakan besarnya nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja. Industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan teraglomerasi secara spasial di Kota Makasar, Kabupaten Luwu, Pinrang, Kabupaten Bone dan Kota Palopo. Sementara itu, industri kelapa sawit di Jambi mencapai nilai LQ 9,48 dan nilai HBI sebesar 9,50. Industri pengolahan kelapa kelapa sawit di Jambi didukung oleh produksi kelapa sawit yang mencapai 1,3 juta ton per tahun dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 574.5 ribu hektar. Untuk industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara, daya saing yang tinggi didukung oleh capaian nilai tambah yang dihasilkan. Selain itu, industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara memiliki tingkat efisiensi biaya yang besar. Industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Talaud, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
34 34
Volume19 19 No. No.22Desember Desember2014 2014 Volume
Daya saing industri tekstil di Jawa Barat didukung oleh peningkatan produktivitas tenaga kerja. Industri tekstil di Jawa Barat teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Bogor, Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Cirebon, Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cimahi dan Kabupaten Bekasi. Sementara itu, daya saing industri pengolahan karet di Kalimantan Barat memiliki tren peningkatan daya saing. Peningkatan daya saing tersebut didorong oleh peningkatan nilai tambah dan produktivitas. Industri karet tersebut teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Pontianak, Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Kapuas Hulu. Daya saing industri pengolahan hasil laut di Sulawesi Tengah didukung oleh ketersedian sumber bahan baku. Industri pengolahan hasil laut tersebut teraglomerasi secara spasial di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi Biromaru, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una Una, Kabupaten Morowali, Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Agrimedia
Sementara itu, daya saing industri kerajinan kayu di Jawa Timur didukung oleh ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja terampil. Industri pengolahan kayu tersebut teraglomerasi secara spasial di Kota Jepara, Kabupaten Lamongan dan kawasan Pantura. Pengujian hubungan antara aglomerasi dengan daya saing industri unggulan daerah dilakukan dengan Uji Granger Causality. Hasil pengujian Granger Causality disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Kausalitas Granger Null Hypothesis
F-stat
Prob
HBI does not Granger Cause LQ
6.31176 29.8514
LQ does not Granger Cause HBI
0.0021
2.10-12
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa aglomerasi memengaruhi daya saing industri dan juga sebaliknya, daya saing memengaruhi aglomerasi industri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada industri unggulan daerah, hubungan kausalitas aglomerasi dengan daya saing bersifat dua arah. Artinya, aglomerasi dan daya saing bersifat saling mempengaruhi. Ketika industri beraglomerasi di suatu lokasi maka industri tersebut menjadi lebih mudah dan murah untuk berinteraksi dengan industriindustri terkait sehingga dapat meminimalkan biaya transaksi dan meningkatkan daya saing industri. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa industri yang teraglomerasi di suatu daerah akan memperoleh penghematan berupa penurunan biaya transportasi dan biaya transaksi karena lokasi yang saling berdekatan antar industri. Begitu juga, semakin berdaya saing suatu industri maka semakin terdorong untuk beraglomerasi di suatu lokasi dengan tujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi. Secara empiris, pemetaan industri (Gambar 1) menunjukkan bahwa sebagian besar industri unggulan daerah yang berdaya saing merupakan industri yang beraglomerasi. Penutup Sebagian besar industri unggulan daerah di Indonesia merupaka industri yang berdaya saing dan teraglomerasi. Lebih lanjut, dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah antara daya saing dan aglomerasi pada industri unggulan daerah. Dengan demikian, pengembangan industri berbasis
Agrimedia
unggulan daerah yang dikombinasikan dengan pendekatan aglomerasi merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing industri unggulan daerah. Referensi [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014: Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 20102013. Jakarta:BPS. Kementerian Perindustrian. 2010. Perkembangan Penyusunan Peta Panduan Pengembangan Industri Unggulan Provinsi. http://www. kemenperin.go.id. Kementerian Perindustrian. 2011. Statistik Industri 2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian. Kuncoro M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga. Kuncoro M. 2012. Ekonomika Aglomerasi. : Dinamika dan Dimensi Spasial Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Landiyanto EA. 2005. Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Tinjauan Empiris di Kota Surabaya. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 5(2):75-90. Puga. 2009. The Magnitude and Causes of Agglomeration Economies. Journal of Regional Science 50 (1) : 203-219. Tambunan T. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang : Kasus Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tian, Zheng. 2013. Measuring Agglomeration Using the Standardized Location Quotient with a Bootstrap Method. The Journal of Regional Analysis and Policy 43 (2) : 186-197. Vidyatmoko D, Rosadi H, Taufiq R. 2011. Peningkatan Daya Saing Industri : Metode dan Studi Kasus. Jakarta : BPPT Press. Zuliastri F. 2014. Analisis Faktor Yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Unggulan Daerah Dan Hubungannya Dengan Daya Saing Industri Daerah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Volume 19 No. 2 Desember 2014
35