BAB 18 DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR
I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 menggarisbawahi perlunya daya saing industri manufaktur nasional perlu terus didorong mengingat berbagai masalah yang dihadapi. Permasalahan tersebut meliputi permasalahan makro, seperti belum kukuhnya struktur industri, kurang kondusifnya iklim usaha dan investasi, dan maraknya penyelundupan; serta masalah meso dan mikro di tingkat industri, seperti lemahnya penguasaan teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), minimnya peran industri kecil menengah (IKM). Lemahnya keterkaitan struktur industri ditunjukkan belum terkaitnya antara industri hulu dan hilir, dan juga belum selarasnya perkembangan industri besar, menengah, dan kecil. Dalam hal hubungan hulu hilir, industri nasional belum sepenuhnya didukung oleh industri bahan baku dan atau industri penghasil barang antara. Sedangkan dalam hubungan industri besar dan kecil, ditengarai terdapat kekosongan ditengah (hollow middle). Iklim usaha dan investasi yang belum kondusif sebagai akibat layanan umum yang buruk dan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tingginya suku bunga perbankan, dan belum optimalnya administrasi perpajakan
menyebabkan dunia usaha industri tidak melihat insentif untuk mendorong pengembangan usahanya baik melalui peningkatan nilai tambah produk terutama produk-produk primer maupun pengkayaan rantai nilai pada produk akhir. Masalah makro lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah maraknya penyelundupan yang tercermin pada membanjirnya produk-produk impor ilegal dari negara pesaing. Permasalahan penting lain yang dihadapi industri nasional adalah rendahnya produktivitas, yang terkait dengan kemampuan penguasaan teknologi dan kualitas SDM. Beberapa industri manufaktur mengalami penurunan produktivitas karena teknologi produksi yang digunakan sudah usang sehingga memerlukan peremajaan sesuai dengan perkembangan teknologi. Masalah itu terjadi justru pada beberapa industri andalan ekspor seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Demikian pula, SDM di sektor industri belum menunjukkan kualitas yang menggembirakan akibat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada keperluan industri (link & match). Masih kecilnya peran industri kecil dan menengah (IKM) dalam perekonomian nasional perlu mendapat perhatian, mengingat jumlahnya yang mencapai sekitar 3,1 juta unit. Para pengelola IKM masih memerlukan peningkatan kemampuan pengelolaan usaha; pemanfaatan teknologi, pengelolaan produksi untuk dapat memenuhi tuntutan permintaan pasar dalam jumlah besar; kemampuan desain dan mutu; dan akses ke sumberdaya produktif. II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
Langkah-langkah kebijakan pembangunan industri berpedoman pada RPJM Nasional 2004-2009 yang dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Upaya pemerintah ini dirumuskan dalam 3 program utama: (1) Program Peningkatan Industri Kecil dan Menengah (IKM); (2) Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri; dan (3) Program Penataan Struktur Industri. Pembinaan kepada IKM juga dilakukan dengan mendorong tiap daerah untuk memilih dan menentukan kompetensi inti yang akan dikembangkan. Pengembangan kompetensi inti dilakukan secara integral dengan pengembangan klaster industri prioritas dengan 18 - 2
memfasilitasi IKM dalam meningkatkan kemampuannya. Upaya ini dilaksanakan melalui lembaga pelayanan, seperti: Unit Pelayanan Teknis, Klinik Desain dan Kemasan, Klinik HAKI, Klinik Pengembangan Teknologi, dan Lembaga Pembinaan Terpadu. Upaya lain yang dilakukan adalah memperbanyak skema pembiayaan dan memperluas akses ke lembaga pembiayaan dengan memanfaatkan sumber pendanaan dari dalam dan luar negeri. Dalam rangka meningkatkan kemampuan teknologi, dilakukan melalui upaya diseminasi informasi teknologi dengan menggunakan berbagai media melalui penyediaan paket-paket informasi teknologi terapan dan pengembangan prototipe untuk penerapan teknologi tepat guna, khususnya untuk daerah perdesaan. Untuk membangun keterkaitan antara industri besar dan IKM, khususnya dalam transaksi barang, komponen dan bahan, kapasitas pelayanan MSTQ (metrology, standardization, testing, and quality assurance) yang ada pada Badan Riset dan Standardisasi (Baristand) terus ditingkatkan, baik dalam bentuk akreditasi laboratorium-laboratorium pelayanan teknologi maupun fasilitasi regulasi untuk perluasan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam rangka memperkuat struktur industri, upaya membenahi IKM terus dilakukan dengan mengatasi tantangan klasik seperti lemahnya akses ke bahan baku, terbatasnya jaringan pemasaran, aplikasi teknologi, dan kurangnya tenaga kerja terampil. Pendekatan klaster dalam penguatan struktur industri terus dilanjutkan, dan telah tersedia informasi dan model pengembangan untuk klaster-klaster prioritas yang diamanatkan oleh RPJMN 2004–2009. Dalam rangka mencegah penyelundupan, langkah-langkah penanganan telah dilakukan diantaranya: (a) penerapan jalur merah khusus untuk produk yang rawan impor ilegal; (b) pengawasan asal barang beredar di pasar dalam negeri, dan pembatasan jumlah pelabuhan impor khusus TPT dan elektronik; (c) penerapan safeguard dan anti dumping yang lebih ketat; (d) Port to port manifest; dan (e) perlakuan tindak penyelundupan sebagai tindak pidana, sehingga hukumannya lebih berat dari pelanggaran administrasi. Seiring dengan langkah penanganan penyelundupan, upaya peningkatan penggunaan produk dalam negeri terus dilakukan. Dalam rangka mengoptimalkan koordinasi, pengawasan dan evaluasi 18 - 3
pelaksanaan kebijakan penggunaan produksi dalam negeri pada pengadaan barang/jasa Pemerintah, telah dibentuk Tim Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Departemen Perindustrian melalui surat keputusan (SK) Menteri Perindustrian nomor 32/MIND/PER/6/2006. Berbagai upaya yang ditempuh diatas telah memberi kontribusi yang cukup penting bagi kinerja sektor industri. Pertumbuhan sektor industri nonmigas pada tahun 2005 sebesar 5,9 persen dan hingga semester I tahun 2006 tercatat 3,6 persen. Pertumbuhan untuk tahun 2005 didukung oleh adanya peningkatan nilai tambah yang tinggi pada industri alat angkut, mesin dan peralatannya, dan industri pupuk, kimia dan barang dari karet. Pada semester I tahun 2006, industri alat angkut, mesin dan peralatannya tumbuh 8,3 persen, industri pupuk, kimia dan barang dari karet tumbuh 4,8 persen, serta industri logam dasar besi dan baja tumbuh sebesar 3,9 persen (Tabel 18.1). Hingga triwulan II 2006, ekspor nonmigas membukukan nilai ekspor US$ 36,5 miliar, berarti meningkat 14,4 persen dari periode yang sama tahun 2005. Kontribusi produk industri dalam ekspor nonmigas mencapai 84 persen atau senilai US$ 30,5 miliar. Kelompok barang industri penyumbang terbesar pada ekspor nonmigas Indonesia antara lain mesin dan peralatan listrik (US$ 3,5 juta), karet dan barang dari karet (US$ 2,6 juta), mesin-mesin / pesawat mekanik (US$ 1,9 juta), dan pakaian jadi bukan rajutan (US$ 1,6 juta). Berikut ini disampaikan perkembangan beberapa produk industri terpilih, yang mencakup pupuk, semen, minyak goreng sawit, baja, kendaraan bermotor roda 4 (empat), kendaraan bermotor roda 2 (dua), elektronik konsumsi, tekstil dan produk tekstil (TPT), serta industri kecil dan menengah (IKM).
18 - 4
Tabel 18.1 Pertumbuhan Industri Pengolahan Nonmigas, 2004 – 2006*) (Harga Konstan Tahun 2000) CABANG INDUSTRI
2004
2005
2006 *
1). Makanan, Minuman dan Tembakau
1,4
2,7
2,1
2). Tekstil, Brg. Kulit & Alas Kaki
4,1
1,3
1,7
-2,1
-1,3
-1,3
4). Kertas dan Barang Cetakan
7,6
2, 5
-2,3
5). Pupuk, Kimia & Barang dari Karet
9,0
8,9
3,9
6). Semen & Barang. Galian bukan Logam
9,5
3,8
-3,9
-2,6
-3,8
4,8
8). Alat Angk, Mesin & Peralatannya
17, 7
12,4
8,3
9). Barang Lainnya
12,8
2,6
4,1
Industri Nonmigas
7,5
5,9
3,6
3). Brg. Kayu & Hasil Hutan Lainnya
7). Logam dasar Besi & Baja
Sumber : BPS; *) Semester I/2006
Total kapasitas industri pupuk nasional mencapai 9,3 juta ton per tahun yang terdiri dari Urea sebesar 7,9 juta ton (84,4%), jenis SP36 sebesar 800 ribu ton (8,6%), dan ZA sebesar 650 ribu ton (7%). Selama tahun 2005 utilisasi kapasitas industri pupuk relatif tinggi. Dari 3 jenis pupuk tersebut, utilisasi terbesar adalah untuk jenis SP-36 mencapai 111,0%, disusul ZA sebesar 105,4% dan Urea 66,8%. Produksi yang melebihi kapasitas dialami oleh pupuk SP-36 dan ZA dikarenakan meningkatnya kebutuhan pupuk non urea tersebut dari berbagai daerah. Kebutuhan pupuk nasional saat ini dipasok oleh
18 - 5
PT. Pupuk Kalimantan Timur; PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang dan PT. Pupuk Iskandar Muda. Kapasitas terpasang industri semen jenis Portland adalah 47,4 juta ton per tahun. Dalam tahun 2005 utilisasi kapasitas mencapai 76,0% yaitu dengan jumlah produksi 36 juta ton setahun. Diantara industri lainnya, industri semen merupakan industri yang terkena dampak paling signifikan akibat kenaikan harga BBM, sehingga berakibat pada naiknya harga semen di pasar dalam negeri. Kapasitas terpasang industri minyak goreng sawit mencapai 9,7 juta ton per tahun. Dalam tahun 2005 utilisasinya mencapai 45,5% dengan jumlah produksi sebesar 4,4 juta ton setahun atau rata-rata produksi 367,6 ribu ton per bulan. Tingkat produksi tersebut masih diatas kebutuhan rata-rata pasar dalam negeri sebesar 250 ribu ton per bulan. Industri baja di dalam negeri pada umumnya memproduksi 3 jenis produk yaitu Hot Rolled Coil (HRC), Besi Beton dan Besi Profil (untuk kebutuhan konstruksi). Jenis HRC diproduksi oleh PT. Krakatau Steel dengan kapasitas produksi 2,1 juta ton per tahun. Pada tahun 2005 utilisasi kapasitas mencapai 64,6%, yaitu dengan total produksi HRC mencapai 1,37 juta ton. Dengan memperhatikan angka Ekspor dan Impor, maka kebutuhan HRC selama tahun 2005 diperkirakan 2,17 juta ton. Kemampuan produksi untuk meningkatkan utilisasi kapasitas diperkirakan menghadapi kendala beban biaya produksi tinggi akibat kenaikan harga BBM dan listrik beban puncak. Perusahaan perakitan kendaraan bermotor (KBM) Roda-4 pada tahun 2005 tercatat sebanyak 20 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebesar 35.270 orang; sedangkan perusahaan produsen komponen tercatat sebanyak 250 perusahaan yang menyerap tenaga kerja sebesar 54.670 orang. Kapasitas produksi KBM Roda-4 di Indonesia tahun 2005 adalah 855.700 unit per tahun, yang didominasi oleh jenis sedan, dan kendaraan niaga (pick-up, minibus, truk). Tingkat utilisasi kapasitas tahun 2005 mencapai 59,14 persen yaitu dengan total produksi mencapai 506.054 unit. Utilisasi perlu terus ditingkatkan melalui perbaikan iklim investasi dengan membenahi sarana infrastruktur penunjang seperti carport dan jalan raya. 18 - 6
Total kapasitas terpasang industri KBM Roda 2 berupa sepeda motor mencapai 6,5 juta unit per tahun. Dalam tahun 2005 utilisasi kapasitas mencapai 77,77% yaitu memproduksi 5,1 juta unit sepeda motor. Jumlah produksi tersebut mencatat rekor tertinggi nasional melonjak 31,21% dibandingkan produksi tahun 2004. Produksi terbesar adalah sepeda motor merek Jepang mencapai 99,3% . Kapasitas terpasang untuk industri elektronika konsumsi berupa televisi mencapai 10,9 juta unit per tahun dan kulkas mencapai 2,7 juta unit per tahun. Dalam tahun 2005 utilisasi kapasitas Televisi mencapai 65% dengan jumlah produksi 6,7 juta unit, sedangkan utilisasi kapasitas Kulkas lebih tinggi mencapai 80% dengan jumlah produksi 2,2 juta unit. Sebagai salah satu industri prioritas, industri elektronika rumah tangga dan komponennya di tanah air yang kini berjumlah 200 perusahaan, telah dan akan terus memainkan peranan vital dalam mencapai target yang ditetapkan pemerintah pada periode 2005-2009 dengan target pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 13,15% dan diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 6.000 tenaga kerja per tahun. Untuk mencapai target tersebut setidaknya perlu tambahan investasi sekitar US$ 250 juta setiap tahunnya. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang diwakili oleh industri serat memiliki kapasitas terpasang 10,9 juta ton per tahun. Selama tahun 2005 kapasitas industri serat tersebut terutilisasi 75% dengan jumlah produksi 8,1 juta ton di tahun 2005. Secara keseluruhan industri TPT yang menyerap tenaga kerja cukup besar pada dasarnya sangat rentan terhadap persaingan dari tekstil impor. Meningkatnya biaya produksi sebagai dampak kenaikan BBM sangat menyulitkan posisi industri TPT ditengah ketatnya persaingan, sehingga banyak industri (khususnya garmen) yang tidak mampu survive sehingga menutup usahanya. Khusus industri-industri TPT yang padat modal, telah mulai mengupayakan pemanfaatan energi alternative batubara (± 50 perusahaan) sebagai cara menekan biaya produksi. Permasalahan klasik yang dihadapi industri TPT perlu segera dicarikan jalan pemecahannya berupa retrukturisasi mesinmesin tekstil sebagai upaya meningkatkan produktifitas industri. Industri Kecil Menengah pada tahun 2004 tercatat sebanyak 3,13 juta Unit Usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 8.3 juta orang 18 - 7
dengan nilai produksi sebesar Rp. 156,7 trilliun dan Nilai Ekspor sebesar US$ 7,8 milyar. Dan pada tahun 2005 jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja pada Industri Kecil Menengah mengalami kenaikan sebesar 4 %, dengan jumlah Unit Usaha sebanyak 3.244.444 dan jumlah tenaga kerja sebanyak 8.7 juta orang dengan nilai produksi sebesar Rp. 171.3 trilliun dan Nilai Ekspor sebesar US$ 8,4 milyar. Namun demikian masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan IKM. Oleh karena itu kegiatan pembinaan, fasilitasi, serta koordinasi dalam rangka pengembangan IKM terus dilanjutkan.
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Tindak lanjut yang diperlukan dalam sisa tahun 2006 ini antara
lain: 1)
Penanganan Penyelundupan, meliputi upaya-upaya: (a) pengecekan terhadap dokumen administrasi yang disesuaikan dengan kondisi fisik barang, hal ini mengingat bahwa pembayaran Bea Masuk, PPN, dan PPh dilakukan secara borongan sehingga sangat merugikan negara; (b) verifikasi teknis impor TPT dilanjutkan produk tekstil dan produk lain yang rawan impor ilegal, terutama untuk menghilangkan praktek under invoice dan penyimpangan nomor “harmonized system” (HS); (c) penerapan jalur merah khusus untuk produk yang rawan impor ilegal terus dilanjutkan; (d) pengawasan asal barang beredar di pasar dalam negeri, dan pembatasan jumlah pelabuhan impor khusus TPT dan elektronik; (e) penerapan Safeguard dan Anti Dumping; (f) port to port manifest; (g) penyelundupan sebagai tindak pidana, sehingga hukumannya lebih berat dari pelanggaran administrasi; dan (h) penerapan SNI, dengan menotifikasi SNI ke World Trade Organizition (WTO), dan menyiapkan rancangan SNI produk elektronika yang belum ada SNInya.
2)
Infrastruktur. Upaya-upaya untuk mendapatkan dukungan yang positif dari infrastruktur difokuskan pada: (a) percepatan pembangunan pelabuhan khusus ekspor impor produk otomotif; (b) percepatan perbaikan infrastruktur jalan khususnya penghubung antara pintu tol Karawaci sampai kawasan pabrik
18 - 8
di Legok – Banten; (c) upaya penyediaan gas bumi secara berkelanjutan bagi pabrik-pabrik pupuk; dan (d) penyusunan master plan kebutuhan gas bumi untuk industri. Sedangkan arah kebijakan tahun 2007 difokuskan pada tiga upaya yaitu: 1) peningkatan daya saing industri; 2) peningkatan kapasitas industri; dan 3) peningkatan peran faktor pendukung pengembangan industri. Ketiga arah kebijakan ini dijabarkan sebagai berikut: 1)
Peningkatan daya saing industri melalui: a)
Perbaikan iklim usaha baik bagi pembangunan usaha baru maupun pengoperasiannya di seluruh rantai pertambahan nilai dengan: (1) (2) (3) (4)
b)
Penyelesaian masalah-masalah perkembangan industri.
c)
Peningkatan koordinasi lintas sektor dan para pemangku kepentingan guna: (1) (2) (3)
d)
2)
penyediaan insentif ataupun dis-insentif; penyelesaian pelaksanaan harmonisasi tarif; penghapusan peraturan-peraturan yang membebani industri; penyusunan Revisi UU tentang perindustrian, Revisi UU tentang Bahan Kimia, serta peraturan peurndangan pelaksanaannya. yang
menghambat
melanjutkan pengembangan 10 klaster industri inti yang tertuang dalam RPJMN 2004–2009; melanjutkan pengembangan industri terkait dan penunjang kesepuluh klaster industri inti tersebut; membina kemampuan teknologi industri.
Peningkatan efisiensi penggunaan energi dengan melakukan audit energi dan efisiensi pemakaian energi, serta mendorong penggunaan energi alternatif.
Peningkatan kapasitas industri melalui:
18 - 9
a)
Peningkatan investasi industri baik dalam 10 klaster industri inti, klaster pendukung, maupun klaster penunjangnya.
b)
Peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
c)
Pemberdayaan industri kecil dan menengah dengan: (1)
(2)
3)
membangun Unit Pelayanan Teknis (10 UPT) untuk komoditi tertentu di sumber bahan baku sebagai sub-sistem dalam pengembangan klaster industri serta revitalisasi 20 UPT; pembinaan terpadu IKM di daerah (dekonsentrasi) melalui operasionalisasi 40 UPT dan pelaksanaan paket pelatihan yang mengadopsi metode pelatihan dari Jepang (Shindan).
Peningkatan peran faktor pendukung pengembangan industri, melalui: a)
Pengembangan 5 (lima) teknologi baru yang siap diterapkan di industri.
b)
Pembinaan pengawasan standardisasi, akreditasi dan pengendalian mutu melalui pengembangan SNI serta pembinaan standard oleh 22 balai penelitian dan standardisasi (Baristand).
c)
Membangun kawasan industri, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah.
d)
Pengembangan sistem informasi keindustrian.
e)
Pengembangan kapasitas diklat kapasitas aparatur perindustrian.
f)
Peningkatan aparatur governance”.
18 - 10
dengan
serta
peningkatan
menerapkan
”good