Prosiding Seminar Nasional Ergonomi IX © TI-UNDIP 2009 Semarang, 17-18 November 2009 ISBN : (dalam proses pengajuan, mohon dikosongkan dahulu)
Ergo-Safety Asesmen untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Sritomo W.Soebroto Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri – Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111 Telp: 031-5939361, Fax : 31-5939362, email:
[email protected] Industrial ergonomists or industrial engineers who are concerned with worker health and safety must be aware of occupational hazards and the means of avoiding them. Before any process is designed or implemented, a thorough hazard analysis should be carried out in addition to task and use analysis. It is also important that applicable safety and health standards be considered.
(B. Mustafa Pulat, Fundamentals of Industrial Ergonomics, 1992) Abstrak Tantangan global membawa industri nasional dalam situasi antara hidup dan mati, dimana persaingan terasa begitu keras dan memaksa industri untuk senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan daya saing secara berkelanjutan. Produktivitas pada dasarnya adalah sebuah alat untuk mengukur seberapa baik efektivitas dan efisiensi dari bangsa/negara dalam hal memproduksi barang dan jasa. Berapa banyak nilai tambah yang telah dihasilkan diukur dengan jumlah output (keluaran) relatif terhadap input. Kita semua memahami pentingnya produktivitas dalam proses pembangunan nasional, oleh karena itu, berbagai upaya dan cara perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas di berbagai sektor. Dalam upaya peningkatan daya saing, industri nasional diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan untuk meningkatkan produktivitas total; tetapi juga dapat meningkatkan kualitas, keselamatan, menekan biaya dan memuaskan pelanggan secara tepat waktu. Industri juga harus mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan menghilangkan unsur-unsur yang tidak produktif. Di sisi lain industri juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan dan produktivitas melalui peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks yang lebih spesifik, industri harus lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan norma dan standar global yang menjadi syarat utama dari bisnis antar negara seperti keselamatan dan kesehatan melalui penerapan prinsip-prinsip dan aturan K3 , dan isu-isu sensitif lainnya seperti hak asasi manusia, pengaturan shift kerja, upah minimum, lingkungan dan hubungan industrial lainnya. Dalam berbagai kasus, seringkali peneliti ergonomi menjumpai banyak produk atau mesin/ peralatan yang digunakan di industri yang tidak sesuai dan kurang layak untuk dioperasikan ditinjau dalam aspek dimensi antropometrik. Perbedaan ukuran tubuh (antropometri) yang diaplikasikan dalam penentuan dimensi ukuran rancangan mesin, produk, perlengkapan, fasilitas/peralatan, dll membawa konsekuensi yang bisa mengakibatkan rendahnya produktivitas, kualitas, keselamatan & kesehatan kerja, dan masalah-masalah serius lainnya. Oleh karena itu, perlu evaluasi, penilaian dan intervensi ergonomis dalam mendesain ulang atau modifikasi untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja. Makalah dilengkapi dengan beberapa studi kasus penelitian yang pernah dilakukan dan secara spesifik akan difokuskan ke area kerja di sektor industri galangan kapal. Keywords: produktivitas industri nasional, daya saing global, ergonomics assesment, studi kasus K3 di industri galangan kapal.
xxx – 1
Abstract Global challenges bring the national industry environment towards between life and death competition is so hard and forced to constantly work to improve the ability of a sustainable competitive advantage. Productivity is essentially a tool to measure both the effectiveness and efficiency of the nation/state in terms of producing goods and services. How much added value that has been generated is measured by the amount of output (outputs) relative to the input. We all understand the importance of productivity in the national development process, therefore, various efforts and ways need to be done to improve productivity in various sectors. In terms of improving competitiveness, the national industry must be able to not only increase the total productivity but also would be able to improve quality, safety, reduce costs and satisfy customers in a timely fashion. Each industry must be able to improve the competitiveness of the production costs through increased efficiency and eliminate the elements of unproductive work. On the other hand the industry should also pay more attention to the welfare and productivity through the improvement and development of quality human resources. In a more specific context, the industry should pay more attention to matters relating to global norms and standards which became the main requirements of inter-state business such as occupational safety and health through the application of principles and rules of OSH, and other sensitive issues like human rights, working shift arrangements, minimum wages, environmental and other industrial relations. In some cases, ergonomics researchers often encounter many products and machinery/equipment employed in the industry is not appropriate and feasible to operate on a matter of lack corresponding anthropometric dimensions. The differences of body size (anthropometry) are used in determining the dimensions of design (industrial machinery, equipment, tools, etc.) will give consequences that resulted in low productivity, quality, safety & health, and other serious problems. Therefore, it needs ergonomic evaluation, assessment and interventions to redesign or modification for improving the effectiveness, efficiency, comfort, health and safety. This paper will be written along with several case studies ever conducted research and will specifically focus on areas of work in the heavy metal industry. Keywords: national industrial productivity, global competitiveness, assessment, case studies in ergo-safety of shipyard industry.
ergonomics
1 PENDAHULUAN Tantangan global membawa industri ke arah suasana persaingan hidup-mati yang begitu keras dan memaksa untuk senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan daya saing secara berkelanjutan. Dalam hal peningkatan daya saing, industri tidak saja harus mampu meningkatkan produktivitas totalnya akan tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas, menekan biaya dan memenuhi keinginan kustomer secara tepat waktu. Setiap industri harus mampu meningkatkan daya saing dengan menekan biaya produksi melalui peningkatan efisiensi dan mengeliminasi elemen-elemen kerja tidak produktif. Produktivitas pada hakekatnya merupakan alat untuk mengukur tingkat efektivitas dan sekaligus efisiensi bangsa/negara dalam hal menghasilkan produk barang maupun jasa. Seberapa besar nilai tambah yang telah dihasilkan diukur berdasarkan besaran keluaran relatif terhadap masukan. Kita semua memahami betapa pentingnya produktivitas dalam proses pembangunan nasional; oleh karena itu berbagai upaya dan cara perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas di berbagai sektor.
Dalam hal peningkatan daya saing, industri tidak saja harus mampu meningkatkan produktivitas totalnya akan tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas, menekan biaya dan memenuhi keinginan kustomer secara tepat waktu. Disisi lain industri juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan dan produktivitas melalui peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (Ref.#9, 2009). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah untuk kepentingan pengusaha, pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalahmasalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Beaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tingkat kecelakaan-kecelakaan fatal di negara-negara berkembang empat kali lebih tinggi dibanding negara-negara industri. Di negara-negara berkembang, kebanyakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi di bidang-bidang pertanian, perikanan dan perkayuan, pertambangan dan konstruksi. Tingkat buta huruf yang tinggi dan pelatihan yang kurang memadai mengenai metode-metode keselamatan kerja mengakibatkan tingginya angka kematian yang terjadi karena kebakaran dan pemakaian zat-zat berbahaya yang mengakibatkan penderitaan dan penyakit yang tak terungkap termasuk kanker, penyakit jantung dan stroke. Praktek-praktek ergonomis yang kurang memadai mengakibatkan gangguan pada otot, yang mempengaruhi kwalitas hidup dan produktivitas pekerja. Selain itu, masalah-masalah sosial kejiwaan di tempat kerja seperti stres ada hubungannya dengan masalah-masalah kesehatan yang serius, termasuk penyakit-penyakit jantung, stroke, kanker yang ditimbulkan oleh masalah hormon, dan sejumlah masalah kesehatan mental (Ref.# 3, 2004). Dalam konteks yang lebih spesifik, industri juga harus lebih memperhatikan hal-hal yang terkait dengan berbagai standar maupun norma global yang menjadi persyaratan utama bisnis antar negara seperti keselamatan dan kesehatan kerja (K-3) melalui penerapan prinsip dan aturan tentang K-3; serta isu-isu sensitif seperti halnya dengan hak asasi manusia, upah minimum, lingkungan hidup dan hubungan industrial lainnya. Hal ini menjadi persyaratan mutlak dan wajib dipenuhi jika tidak ingin kehilangan pasar di luar negeri, khususnya bagi industri (manufaktur) yang berorientasi ekspor. Kondisi seperti ini mencerminkan kemauan masyarakat global yang menghendaki industri nasional agar semakin peduli dengan eksistensi --- terkait dengan faktor keselamatan dan kesehatan --tenaga kerja baik di dalam maupun di luar tempat mereka bekerja. 2 TANTANGAN GLOBAL INDUSTRI NASIONAL : ERGONOMI K3, PRODUKTIVITAS, DAN DAYA SAING Pemicu kesadaran masyarakat global terhadap permasalahan Ergonomi-K3 bisa dilihat dari berbagai tuntutan terhadap jaminan keselamatan seperti : safe air to breath, safe water to drink, safe food to eat, safe place to live, safe product to use, dan safe & healthful workplace. Berbagai sikap dan reaksi kritis masyarakat global di semua aspek kehidupan bisa pula dilihat dari berbagai ”larangan” terkait dengan masih rendahnya kesadaran, perhatian maupun praktek-praktek yang berhubungan dengan permasalahan K3 di Indonesia seperti larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia (aviation safety); larangan terhadap produk berbahaya dari Indonesia dan China (product safety dan food safety); keamanan dan keselamatan pada bangunan umum (public safety), dll. Berbagai larangan tersebut diatas
membuktikan bahwa Indonesia memang tidak pernah siap dan mempersiapkan masyarakatnya untuk melakukan transformasi/transisi menuju ke negara industri/modern. Proses pembangunan nasional menuju masyarakat industri dilakukan dengan mengabaikan unsur risiko; sehingga bahaya dan kecelakaan --- diluar faktor bencana alam --- yang mestinya bisa dicegah/dihindari masih terus terjadi, cenderung meningkat dan menimbulkan kerugian semakin besar. Berbagai bencana dan kecelakaan yang terjadi merupakan akibat proses transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, dari low risk society ke high risk society terkait dengan pemanfaatan teknologi (produk maupun proses) yang banyak digunakan maupun dihasilkan oleh industry (Ref.# 9, 2009) . Disini potensi bahaya berbanding lurus dengan tingkat risiko yang dihadapi. Semakin besar risiko, maka potensi bahaya dan dampaknya juga semakin besar. Disisi lain, K3 tampaknya masih belum menjadi budaya kerja dan cenderung berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. Mengikuti teori Maslow, semakin meningkat tingkat kesejahteraan, maka kebutuhan keselamatan (safety/security needs) juga semakin tinggi. Lebih dari 20% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan; dan oleh karena itu faktor keselamatan/kesehatan masih belum menjadi kesadaran dan kebutuhan yang terlalu mendesak. Keselamatan/kesehatan kerja masih merupakan barang mewah dan mahal bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu masyarakat memilih angkutan murah, meriah dan mengabaikan aturan keselamatan; rela berdesak-desakan di atas atap kereta api, berjubel dalam angkutan bus kota, dan lain-lain. Manajemen sendiri juga sering menempatkan masalah K-3 bukan sebagai first priority dan menganggap semua pengeluaran yang terkait dengan program-program K3 hanya sebagai biaya (costs) yang harus ditanggung, pemborosan dan bukan sebagai investasi untuk melindungi asset-asset (mesin, fasilitas dan infrastruktur produksi, dan/atau SDM)-nya. Kondisi keselamatan kerja di industri juga relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan negara industri lainnya (Ref.# 5, 2006). Di lingkungan industri pada tahun 2005 tercatat 96.081 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal sebanyak 2.045 jiwa dan kehilangan hari kerja sebanyak 38 juta hari kerja. Pada tahun 2006 jumlah kecelakaan tercatat 92.743 kasus kecelakaan. Sebagai perbandingan di Jepang sebagai negara industri maju, pada tahun 2000, angka kecelakaan kerja di sektor industri tercatat 1889 kasus sedangkan di Indonesia pada tahun yang sama tercatat 98.902 kasus kecelakaan . Tahun 2000 kerugian nasional akibat kecelakaan mencapai 4% dari GNP, pada tahun 2006 diperkirakan akan meningkat menjadi 5 - 6%. Kasus kecelakaan di berbagai sektor seperti kecelakaan kerja industri, lalu lintas, angkutan (darat, laut dan/atau udara), konstruksi, pertambangan, kereta api, kebakaran hutan, dan lain-lainnya cenderung tetap tinggi. Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja, dengan menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja --- yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerjapekerja yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan --- dan kerugian laba sebesar 340 milyar rupiah . Angka kecelakaan yang dikeluarkan pada bulan Januari 2003 menyebutkan bahwa kecelakaan di tempat kerja yang tercatat di Indonesia telah meningkat dari 98.902 kasus pada tahun 2000 menjadi 104.774 kasus pada tahun 2001. Dan selama paruh pertama tahun 2002 saja, telah tercatat 57.972 kecelakaan kerja (Ref.# 3, 2004). Meskipun tingginya angka kecelakaan kerja ini cukup memprihatinkan, hal ini menyiratkan adanya perbaikan yang nyata dalam pelaporan dan penyebaran informasi tentang kecelakaan kerja kepada masyarakat.
Sesungguhnya Indonesia telah mengalami degradasi keselamatan yang sudah mendekati titik kulminasi. Jika segera tidak dilakukan langkah pengendalian, maka korban bencana akan semakin besar dan dengan dampak yang semakin dahsyat. Kecelakaan kerja juga mempengaruhi daya saing Indonesia di tingkat global. K3 memiliki keterkaitan langsung dan berpengaruh secara signifikan dengan daya saing bangsa. Semakin rendah daya saing, menunjukkan angka kecelakaan semakin tinggi. Dampak terhadap ekonomi Indonesia bisa ditunjukkan dengan terhambatnya ekspor produk barang dan jasa ke negara-negara maju yang menerapkan standar K3 tinggi. Dengan kata lain, produk-produk buatan Indonesia tidak kompetitif di pasar global. Kondisi ini menyebabkan penurunan daya saing industri nasional yang mengakibatkan arus barang maupun jasa ke Indonesia bisa masuk ke Indonesia dengan harga murah, karena penerapan standar K3 yang rendah (Ref.# 6, 2006). Resiko penggunaan produk murah dengan standar K3 rendah akan memunculkan potensi terjadinya kecelakaan dan berbagai penyakit gangguan kesehatan yang mengakibatkan biaya sosial tinggi dan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Situasi tersebut diperburuk lagi dengan hubungan yang tidak/kurang harmonis antara manajemen (pengusaha/investor) dengan karyawan baik yang terkait dengan UU 13 tentang Ketenagakerjaan, penetapan UMR yang relatif masih rendah, kepastian hukum yang sulit bisa diperoleh, kondisi keselamatan kerja yang sangat rendah dibanding dengan negara lain, angka pengangguran maupun pemutusan hubungan kerja yang masih tinggi, dan lain-lain. Disisi lain industri nasional juga terus dihadapkan dengan tuntutan peningkatan kualitas dan produktivitas SDM agar bisa bersaing di tingkat global. Dampak yang lebih hebat adalah terjadi pergeseran arus pemindahan modal berupa relokasi industri ke negara-negara yang kebijakan politik dan sosial-ekonominya jauh lebih kondusif (Ref. # 5, 2006; Ref.#7, 2007). Deindustrialisasi jelas telah terjadi khususnya di sektor-sektor manufaktur dan beberapa permasalahan telah mengakibatkan banyak persoalan yang tidak terlalu gampang untuk dicarikan solusi-solusi konkritnya.
3 ERGO-SAFETY ASESMEN: IMPLEMENTASI ERGONOMI K-3 DI INDUSTRI Mengapa Indonesia masih saja lemah dan ketinggalan dalam kemampuannya bersaing? Berdasarkan World Competitiveness Report (2005), daya saing Indonesia berada pada urutan ke 74 dari sekitar 120 negara di dunia. Negara-negara di Asia seperti Malaysia, Thailand, India, Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain tercatat menduduki ranking tinggi jauh melampaui Indonesia dalam hal daya saing dan produktivitas nasional. Kelemahan daya saing dan upaya peningkatan produktivitas merupakan isu penting yang harus diantisipasi oleh industri nasional --- tidak peduli tingkatannya --- dan dengan implementasi Ergonomi & K-3 hal ini akan menjadi sangat relevan. Ergonomi tidak hanya diimplementasikan untuk perancangan produk, fasilitas kerja maupun tempat/lingkungan kerja dengan sasaran meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja, selain itu juga diaplikasikan untuk meningkatkan kenyamanan, kesehatan dan keselamatan manusia-pekerjanya (comfort, safety and health). Dalam hal ini fokus dari ergonomi adalah menempatkan faktor manusia -- dengan segala kelebihan maupun kekurangannya --- dalam perancangan man-made environments/objects, tatacara dan prosedur kerja (work/methods design), dan lain-lain; dengan tujuan utama untuk meningkatkan efektivitas/produktivitas kerja sistem manusiamesin dan disisi lain menjaga keselamatan/keamanan, kesehatan dan kenyamanan kerja manusia (human well-being and quality of work life).
Problematik Ergonomi K3 mudah untuk dijumpai di ranah industri tradisional, khususnya di area pertanian (agricultural), industri rumah tangga (home industries) dan industri kecilmenengah (small & medium-scale industries). Dalam berbagai kasus, para peneliti ergonomi bisa menjumpai banyaknya produk dan/atau mesin/peralatan kerja yang digunakan di industri yang tidak tepat/layak dioperasikan karena persoalan ketidaksesuaian dimensi antropometri. Perbedaan ukuran anggota tubuh (antropometri) yang dipakai dalam menentukan dimensi-dimensi perancangan (industrial machinery, equipment, tools, dll) akan memberikan konsekuensi-konsekuensi ergonomi (ergonomic consequences) yang mengakibatkan rendahnya produktivitas, kualitas, K3 dan persoalan serius lainnya. Oleh karena itu diperlukan evaluasi, asesmen dan intervensi ergonomi untuk merancang ulang (redesigned) ataupun modifikasi untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja manusia. Definisi yang paling sederhana dan ringkas dari ergonomi adalah studi tentang kerja, dikaitkan dengan kerja fisik (physical) maupun mental (psychological) manusia. Dalam hal ini pendekatan Ergonomi K3 akan fokus pada evaluasi dan asesmen untuk perancangan tempat kerja; baik problematik kerja secara fisik (manual lifting, repetitive motion, lighting, noise dan energy expanded) maupun mental-kognitif (perception, attention, decision making, dll). Problematik kerja yang sering dialami manusia seperti eyestrain, headaches and musculoskeletal disorders akan bisa dicegah melalui pendekatan ergonomi. Begitu juga kinerja optimal akan bisa dipenuhi manakala peralatan/fasilitas kerja, stasiun kerja, produk dan tata cara kerja bisa dirancang dan disesuaikan dengan pendekatan dan prinsip-prinsip ergonomic (Ref.# 4, 1992). Pengingkaran terhadap prinsip-prinsip ergonomi akan meng hasilkan berbagai masalah seperti injuries and occupational diseases, increased absenteeism, higher medical and insurance costs, increased probability of accidents and human errors, higher turnover of workers, less production output, lawsuits, low-quality of work, less spare capacity to deal with emergencies, dan lain-lain. Berdasarkan hasil studi terhadap 75.000 kecelakaan yang pernah terjadi diperoleh analisa data yang menyebutkan 88% berasal dari perilaku dan tindakan manusia yang cenderung tidak aman/selamat (unsafe acts yang terkadang sering disebut sebagai human error), 10% dari kondisi kerja yang tidak aman (unsafe conditions), dan 2% berasal dari faktor penyebab yang yang bisa dicegah (unpreventable causes). Aplikasi ergonomi di industri mencatat banyak langkah penting yang secara sistematik telah dilakukan oleh Taylor dengan restrukturisasi kerja ”ingot loading task” di Bethlehem Steel – USA (tahun1898). Taylor berhasil mendemonstrasikan pendekatan manajemen ilmiah (scientific management) melalui pengaturan tatacara kerja (methods engineering) dan penjadwalan kegiatan (work-rest schedules) mampu meningkatkan produktivitas kerja operator secara signifikan. Taylor juga memberikan landasan dalam proses perancangan kerja (work design) dan formulasi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan studi gerak dan waktu (time and motion studies) guna mendapatkan standarstandar kerja. Apa-apa yang telah dihasilkan oleh Taylor kemudian diteruskan oleh Frank & Lillian Gilbreth dengan studi-studinya tentang skilled performance, perancangan stasiun kerja (workstation design) dan rancangan produk/fasilitas kerja khususnya untuk orang cacat (handicapped people). Studi ergonomi lain yang patut dicatat adalah apa yang telah dilakukan oleh Mayo (Hawthorne Plant, 1930-an) dan Munsterberg yang penelitianpenelitannya berhubungan dengan kecelakaan kerja di industri (industrial accidents). Lebih luas lagi studi ergonomi terus berkembang menuju ke persoalan keselamatan dan kesehatan kerja (occupational safety and health) di lantai produksi (Ref.# 4, 1992; Ref.# 6, 2006).
Apakah yang dimaksudkan dengan asesmen/penilaian ergonomi (ergonomics assessment)? Dalam hal ini Tayyari (Ref. # 2, 1997) menyatakan “ergonomics assessment is much more than merely an analysis of a job or task. It is a comprehensive investigation of all potential hazards and risks to individuals and exploration of corresponding solutions”. Jelas dalam hal ini asesmen ergonomi merupakan langkah evaluasi kondisi kerja yang dilakukan secara komprehensif terhadap semua faktor (atribut/parameter) yang memiliki potensi bahaya dan memberikan resiko besar terhadap individu maupun fasilitas kerja yang ada; selain itu juga eksplorasi segala kemungkinan yang mampu menghasilkan solusi alternatif sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Tujuan akhir yang ingin dicapai tidak lain untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi potensi-potensi bahaya yang bisa terjadi. Sesuai dengan filosofi ergonomi, langkah asesmen dilakukan dengan cara mengevaluasi kapabilitas dan keterbatasan manusia/pekerja. Solusi antisipatif bisa dilakukan melalui perancangan ulang (redesign atau modification) dengan mengakomodasikan persentil terbesar dari populasi; dan/atau melakukan seleksi karyawan pekerja yang akan mengoperasikan mesin/alat dan fasilitas kerja lainnya sedemikian rupa agar bisa meminimalkan potensi resiko yang akan dihadapinya. Asesmen ergonomi akan bisa mengurangi resiko bahaya (hazard) yang ada di tempat kerja, dan pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan perusahaan dengan meminimalkan biaya akibat kecelakaan kerja. Selain itu juga bisa menekan biaya pekerja yang luka-luka dan penyakit yang bisa ditimbulkan; keuntungan yang hilang ketika jam kerja produksi pekerja hilang akibat kecelakaan, luka-luka dan penyakit; biaya kompensasi dan premi kecelakaan; premi asuransi kesehatan, dll (Ref.# 1, 1999; Ref.# 2, 1997). Asesmen ergonomi bisa dilakukan dengan melalui 2 (dua) pendekatan. Pertama, pendekatan reaktif (reactive ergonomics assesment); dimana penilaian (asessment) biasanya dilakukan mengikuti setelah terjadinya suatu kecelakaan atau cedera dan mendorong penyelidikan. Terjadinya kecelakaan dan cedera yang ditimbulkannya akan menimbulkan respon (post-kecelakaan) atau reaksi untuk secepatnya melakukan penilaian ergonomi. Kasus-kasus seperti ini biasanya muncul karena ada ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (manusia). Untuk itu selanjutnya diikuti dengan 4 (empat) langkah analisa job-hazard, yaitu (a) analisis awal untuk mengidentifikasikan permasalahan; (b) penilaian ergonomi (analisis sebab-dan-efek) untuk mengidentifikasi akar penyebab dari permasalahan; (c) mengidentifikasi potensi bahaya yang berkaitan dengan pekerjaan masing-masing kegiatan; dan (d) melakukan intervensi ergonomi untuk menghindari bahaya serupa di masa mendatang. Pendekatan kedua adalah pendekatan proaktif (proactive ergonomics assesment), dimana penilaian ergonomi dilakukan dalam tahap desain atau sebagai kegiatan perencanaan untuk menghilangkan masalah-masalah kerja (kecelakaan, cedera, stres pekerjaan, dll) yang mungkin terjadi di masa depan. Untuk itu perlu diselenggarakan semacam survei tempat kerja yang dilakukan secara teratur. Sebuah metode yang efektif untuk mengidentifikasi situasi yang ada guna menjalankan intervensi ergonomi. Tujuan dari metode ini mencari ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja. Beberapa indikator yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan asesmen dan intervensi ergonomis di tempat kerja antara lain : pekerjaan manual seperti mengangkat beban berat; pekerjaan-pekerjaan lain seperti mengangkat, menurunkan, membawa, memutar, membungkuk, meraih,
meregang, mendorong dan menarik; pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang-ulang; pekerja dengan mempertahankan postur canggung (membengkokan pergelangan tangan, mengangkat siku/ bahu, dll); pekerja mempertahankan postur yang sama untuk jangka waktu yang relatif lama; pekerja menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan seperti sering menggoyanggoyangkan anggota tubuh mereka untuk meredakan ketegangan; pekerja sering melakukan kunjungan ke klinik medis dan meninggalkan stasiun kerja mereka dengan berbagai alas an; pekerja mengubah workstation dan/atau memodifikasi alat-alat kerja mereka; pekerja tidak dilindungi terhadap kemungkinan bersentuhan dengan alat yang bergetaran; mekanisme kontrol yang sulit dijangkau; instrument display yang sulit untuk dibaca; temperatur ruang yang terlalu panas/dingin; kondisi pencahayaan, ventilasi dan kondisi udara dalam ruangan yang buruk, dan lain lain. 4 STUDI KASUS IMPLEMENTASI ERGONOMI K-3 DI PT PAL INDONESIA PT. PAL Indonesia adalah perusahaan pembuat kapal yang berskala internasional. Produk yang dibuat diantaranya adalah kapal-kapal perang dan kapal niaga. Proses pembuatan kapal termasuk proses yang sangat rumit/kompleks --- karena melibatkan berbagai sumber daya didalamnya --- serta memiliki resiko kerja yang besar jika dilakukan tidak sesuai dengan standar peraturan keselamatan. Kasus yang banyak terjadi adalah luka pada bagian muka pekerja pada saat melakukan proses pengelasan. Data kecelakaan kerja pada tahun 2005 – 2006 menunjukkan jumlah kecelakaan yang disebabkan oleh terkena sinar las menduduki peringkat ke 1 dari 16 jenis kecelakaan dalam 14 divisi yang ada. Luka yang terjadi pada bagian muka jenisnya bervariasi, mulai dari terlukanya kulit akibat terkena serpihan las, sampai ke iritasi mata (Ref.# 8, 2008). Merujuk pada Bab III Pasal 3 UU No.1 tahun 1970, tentang keselamatan kerja, telah diatur didalamnya mengenai kewajiban bagi setiap perusahaan untuk menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3); termasuk peraturan mengenai implementasi Alat Pelindung Diri (APD) & Pakaian Pelindung Diri (PPD). Terkait dengan implementasi APD banyak aspek yang berpengaruh. Diantaranya adalah faktor manusia, kondisi atau spesifikasi APD, dan kenyamanan penggunaan APD. Selain itu, penggunaan APD yang tepat dapat mengurangi tingkat terjadinya kecelakaan secara signifikan. Hal tersebut dapat dicapai jika APD yang dipergunakan dirancang dengan memperhatikan norma pendekatan ergonomi dan K3.
Gambar 1 Aktivitas dan Kondisi Kerja di Galangan Kapal
Oleh karena itu, pekerjaan las --- jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam proses operasional pembuatan bangunan kapal (ship building) --- menjadi penting untuk dievaluasi dalam langkah ergonomi asesmen, selain fasilitas kerja maupun kondisi lingkungan tempat kerja. Pada setiap divisi di PT. PAL Indonesia dilakukan asesmen yang diawali dengan identifikasi/pemetaan (mapping) aspek dan dampak K3, sebagai wujud kewajiban perusahaan dalam hal menjaga kualitas produk dan keselamatan/kesehatan kerja sumber daya manusia yang dimilikinya. Elemen hazard yang teridentifikasi pada PrHA (Preliminary Hazard) diperoleh dari data IADK3 (Internal Audit Data K3) awal, ditambah dengan dua jenis hazard yang belum terdapat pada data awal, yaitu kebisingan dan benda jatuhan. Hal ini dilakukan berdasarkan observasi lapangan mengenai kondisi implementasi APD dan lingkungan kerja pengelasan. Selain itu, dari data kecelakaan terakhir juga dapat diperoleh hasil bahwa benda jatuhan termasuk dalam penyebab kecelakaan yang cukup tinggi jumlahnya; disamping beberapa bahaya las yang memiliki tingkat resiko (Risk Value/RV) pada level “T” (Tinggi), yang berkaitan dengan desain topeng las. Diantaranya adalah fume, sinar UV, percikan api las, kebisingan dan benda jatuhan. Jenis-jenis hazard seperti itu akan diakomodasikan dalam rancangan topeng las yang akan dibuat. Penelitian yang dilakukan telah menghasilkan sebuah rancangan Alat Pelindung Diri (APD) berupa topeng las (welding mask) yang aman dan nyaman; sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan pada perusahaan. Desain baru diperoleh dengan cara mengevaluasi topeng las eksisting melalui beberapa pendekatan. Perbaikan rancangan dilakukan dan dibandingkan dengan mengimplementasikan analisa Benefit – Cost (BC) rasio pada hirarki AHP (Analytical Hierachy Process). Disini rancangan dibuat secara terintegrasi dimana topeng las dirakitkan jadi satu kesatuan dengan topi pengaman (safety helm). Modifikasi rancangan dibuat dengan memperhatikan faktor antropometri bagian kepala; dan dalam penggunaannya operator las akan bebas dalam menggunakan kedua tangannya untuk bekerja. Tidak ada keharusan tangan untuk memegang (hold) topeng las seperti yang dijumpai di rancangan lama (Ref.# 8, 2008).
Gambar 2 Proses Pengelasan dan Alat Pelindung Diri (Topeng Las)
5 PENUTUP Globalisasi jelas membawa banyak tantangan, ancaman maupun peluang yang harus dihadapi oleh dunia industri dan secara serta-merta akan langsung menjadi tanggungjawab profesi Teknik Industri. Tantangan global tidak bisa tidak menghadapkan dunia pendidikan tinggi teknologi industri agar mampu mengikuti dan menangkap arah perkembangan sains-teknologi yang melaju cepat seiring dengan tuntutan masyarakat (termasuk industri) pemakai jasa pendidikan tinggi. Disini pendidikan tinggi haruslah mampu mempersiapkan sumber-daya manusia yang berkualitas, dan memenuhi tuntutan persyaratan maupun standard kompetensi kerja yang berdaya-laku internasional. Industri seharusnya dikelola secara khusus melalui pendekatan ergonomi. Banyak masalah yang terjadi di area sistem produksi yang memerlukan aplikasi konsep dan metode ergonomi untuk penyelesaiannya seperti rendahnya kualitas maupun produktivitas kerja. Begitu juga dengan permasalahan K3 (Occupational Safety and Health) yang banyak menimpa pekerja maupun biaya tinggi yang muncul akibat produk cacat (waste) ataupun nonproductive activities (idle, delay, material handling, accidents), dan lain-lain. Persoalan-persoalan tersebut umumnya muncul, oleh karena tidak diterapkannya pendekatan ergonomi pada saat perancangan stasiun kerja (workstations/places), fasilitas kerja (machine and tools), produk, proses, ataupun lingkungan kerja (work environment). Dalam hal ini peneliti-peneliti ergonomi diharapkan mau dan mampu memenuhi tantangan industri dengan mempromosikan pendekatan ergonomi (ergonomics method) untuk memberikan kontibusi dan solusi konkritnya. Berangkat dari permasalahan ini studi tentang Ergo-Safety (Ergonomi Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menjadi penting, wajib dan perlu diberikan/diajarkan dalam kurikulum di Program Studi Teknik Industri. Ergo-Safety --- disiplin ergonomi yang membahas tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) --- merupakan salah satu aplikasi ilmu ergonomi (applied/occupational ergonomics) dalam hubungannya dengan performansi manusia dan bertujuan untuk memperbaiki sistem kerja, peralatan kerja, areal kerja dan lingkungan kerja di industri. Problem ergonomi industri tidak hanya dijumpai di area lantai produksi (micro-ergonomics) melainkan juga bisa kita lihat di seluruh aras sistem produksi makro dalam skala organisasi/industri (organizational/industrial scale). Penelitian ergonomi yang awalnya difokuskan pada interaksi manusia mesin (human-machine or human-work place environment); lebih lanjut terus bergeser naik menanggapi persoalan-persoalan perubahan kondisi sosial dan lingkungan (social-environmental changes) yang lebih luas. Banyak studi ergonomi makro yang telah dilaksanakan untuk menghasilkan metoda dan pendekatan yang tepat untuk menjawab problematik industri yang terus berkembang lebih kompleks dan penuh dengan ketidakpastian seperti Analisa Produktivitas, Job Design, Organizational Design, Participatory Ergonomic, System Approach, SHIP, TQM, Performance Measurement, Supply-Chain Management, dan lain sebagainya.
6 DAFTAR PUSTAKA [1] Asfhal, C. Ray. Industrial Safety and Health Management (1999). Upper Saddle River, New Jersey : Prentice-Hall. [2] Fariborz, Tayyari and Smith, James L. (1997). Occupational Ergonomics: Principles and Applications. London: Chapman & Hall. [3] Markkanen, Pia K (2004). Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Subregional Office for South-East Asia and the Pasific, Manila – Philippines.
[4] Pulat, Mustafa B. Fundamentals of Industrial Ergonomics (1992). Prentice-Hall, Inc., New Jersey, USA. [5] Wignjosoebroto, Sritomo (2006). Aplikasi Ergonomi dalam Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Kerja di Industri. Keynote Seminar Nasional Ergonomi & K3 - “Peranan Ergonomi dan K3 untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Kerja” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Ergonomi Indonesia dan Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS, tanggal 29 Juli 2006 di Kampus ITS, Sukolilo-Surabaya. [6] Wignjosoebroto, Sritomo (2006). Indonesia Ergonomic’s Roadmap. Where We Are Going? Makalah disampaikan dalam Indonesia Panel: Ergo Future 2006 – International Symposium on Past, Present, and Future Ergonomics, Occupational Safety and Health, tanggal 28-30 Augustus 2006 di Universitas Udayana – Denpasar, Bali. [7] Wignjosoebroto, Sritomo (2007). Penerapan Ergonomi - K3 untuk Meningkatkan Produktivitas di Usaha Kecil Menengah. Makalah kunci yang disampaikan dalam acara Seminar Nasional Ergonomi-K3 yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Industri – Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro – Semarang pada tanggal 15 November 2007 di Kampus Undip – Semarang. [8] Wignjosoebroto, Sritomo et.al. (2008). Evaluation and Modification of the Welding Mask Based on Ergonomics Safety and Health Approach (Case Study in PT. PAL IndonesiaSurabaya). Makalah disampaikan dalam acara South East Asian Ergonomics Society (SEAES) Conference pada tanggal 22-24 Oktober 2008 di Bangkok – Thailand. [9] Wignjosoebroto, Sritomo (2009). Penerapan Ergo-Safety untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Industri Nasional. Makalah kunci yang disampaikan dalam acara Seminar Nasional “Aplikasi Program Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) dan Ergonomi di Tempat Kerja” yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Industri Universitas Sumatera Utara pada tanggal 7 Februari 2009 di Kampus USU – Medan.
-----ooo0ooo-----