1
POTENSI DAN PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN DI JAWA TIMUR SERTA PERMASALAHANNYA Disarikan oleh: Prof Dr Ir Soemarno, MS Anggota Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur, Agustus 2004 2.1. PENDAHULUAN Hakekat Pembangunan Nasional di Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan bagi seluruh masyarakat Indonesia secara merata dan berkelanjutan. Oleh karena itu strategi pembangunan selama ini bertumpu kepada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas nasional. Berbagai sarana dan prasarana fisik penunjang perekonomian telah berhasil dibangun dan diharapkan akan mampu mendorong akselerasi pencapaian tingkat kesejahteran masyarakat yang lebih baik secara lebih merata dan menyeluruh. Pelaksanaan pembangunan hingga saat ini telah membuktikan bahwa kebutuhan sumberdaya lahan semakin banyak dan senantiasa menghadapi berbagai kendala yang semakin serius. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman prioritas pemanfaatan sumberdaya lahan dan pembinaan wilayah dengan melibatkan secara penuh segenap warga masyarakat setempat, terutama di daerah-daerah yang potensi sumberdaya lahannya sangat terbatas dan kondisi pembangunan wilayahnya masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh wilayah pedesaan dalam mengelola sumberdaya lahannya yang terbatas pada umumnya adalah terbatasnya alternatif kesempatan kerja di luar sektor pertanian, sehingga pertambahan jumlah penduduk pedesaan akan diikuti oleh meningkatnya tekanan atas sumberdaya lahan. Kondisi seperti ini memaksa kita semua untuk senantiasa mencari alternatif-alternatif khusus bagi pembangunan pedesaan yang mampu memenuhi segenap kebutuhan dasar bagi kehidupan segenap warga pedesaan dan sekaligus melestarikan sumberdaya lahannya. Di wilayah pedesaan masyarakatnya bersifat agraris subsisten. Sebagian besar wilayah pede-saan seperti ini sudah semenjak dahulu merupakan pusat kegiatan ekonomi tradisional dan sekaligus menjadi pusat pemukiman penduduk. Berbagai usaha pertanian, termasuk peternakan dan pemanfaatan hasil hutan berkembang di wilayah ini dengan berbagai permasalahannya, termasuk permasalahan degradasi sumberdaya lahan dan lingkungan hidup yang kadangkala berdampak sangat luas. Upaya-upaya untuk mengembangkan akses masyarakat dan menggalang partisipasi masyarakat pedesaan dalam pembinaan sumberdaya manusia yang ada sangat diperlukan. Upaya tersebut dapat berupa pelatihan ketrampilan penggunaan teknologi tepat guna, pengenalan jenis usaha dan komoditi baru yang lebih bernilai ekonomis, pelatihan ketrampilan dalam pengelolaan dan pengetahuan pemasaran yang disertai dengan penyediaan fasilitas perhubungan, komunikasi serta sarana kesehatan dan sarana kemasyrakatan, perbaikan gizi, keluarga berencana, pengadaan pasar dan pengembangan
2
jaringan pemasaran. Dengan semakin meningkatnya ketrampilan tersebut, masyarakat desa miskin diharapkan bisa berperan dan menyum bangkan tenaganya dalam pembangunan wilayah pedesaan, terutama di sektor usaha yang padat karya seperti usaha jasa dan pelayanan untuk sektor industri pengolahan hasil pertanian, pariwisata, kerajinan, transportasi dan komunikasi. Disamping itu, upaya pengenalan jenis usaha baru yang disertai alih ketrampilan dan teknologinya memungkinkan masyarakat desa miskin terlibat langsung dan bisa menerima manfaat dari berbagai usaha seperti budidaya tanaman pertanian, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman industri, usaha-peternakan dan penangkapan ikan di perairan pantai. Pengembangan usaha tersebut telah dilakukan oleh pemerintah, di antaranya melalui proyek PIR (Perusahaan Inti Rakyat), sistem bapak angkat dan mitra kerja, serta koperasi/KUD, namun belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Faktor perluasan jaringan pasar dan informasi pasar yang disertai bimbingan ketrampilan dan pengembangan desain dengan meningkatkan peranan wanita pedesaan dalam berbagai usaha yang dikembangkan tersebut dalam rangka penganekaragaman kegitan yang menambah pendapatan serta menyerap tenaga musiman makin diperlukan. Pengembangan berbagai usaha dan kegiatan baru tersebut adalah lebih merupakan usaha rumah tangga dan industri kecil, dimana disamping memerlukan informasi pasar, juga membutuhkan bantuan modal sesuai dengan yang diperlukan. Pemerintah telah menetapkan bahwa salah satu prioritas dalam pembangunan nasional adalah meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat desa melalui pengembangan usaha dan dukung-an modal melalui kredit lunak. Namun masyarakat di desa miskin, khususnya buruhtani , belum berhasil memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraannya. Faktor penting yang menyangkut karakteristik masyarakat desa miskin tradisional adalah bahwa sifat usaha yang dilakukannya lebih banyak berwawasan pada aspek sosial budaya dibandingkan dengan aspek ekonominya. Oleh sebab itu, upaya pengembangan teknologi dan ekonomi pedesaan miskin memerlukan pendekatan yang berlandaskan situasi dan kondisi masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa salah satu kegiatan pokok usaha pertanian adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan kering yang terbatas kapabilitasnya. Pengelolaan sumberdaya lahan secara rasional, disamping perlu mempertimbangkan faktorfaktor sosial-ekonomi dan budaya, maka juga harus tetap memperhatikan potensi biofisik sumberdaya lahan itu sendiri sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable) yang pada gilirannya akan bermuara pada sasaran akhir peningkatan penghasilan warga pedesaan . 2.2. Makna Ekonomis dan Ekologis Dalam sistem perekonomian Jawa Timur Pelita III, sektor pertanian yang berbasis lahan masih memberikan sumbangan paling besar yaitu 24.56% (Tabel 2.1). Laju pertumbuhan sektor pertanian terus meningkat dari 1.72%/tahun (1987) menjadi 3.02 %/th (1992/93 - 1995/96). Jalur utama pembangunan sektor pertanian ini adalah peningkatan komoditi pertanian yang pelaksanaannya melalui pembinaan dan pengembangan agribisnis yang meliputi kegiatan terpadu yang tidak dapat dipisahkan mulai dari penyediaan sarana produksi, pembinaan usahatani, pembinaan pascapanen, pembinaan agroindustri, dan
3
pemasaran hasil. 2.2.1. Karakteristik Ekosistem Lahan Pertanian Berdasarkan kondisi geofisik dan alamiahnya, Wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat sub-wilayah, yaitu: (1). Wilayah dataran tinggi bagian tengah yang dikategorikan sebagai daerah subur dan sudah berkembang, mlai dari Ngawi hingga Banyuwangi. (2). Wilayah dataran rendah bagian utara yang dikategorikan sebagai daerah yang memiliki kesuburan medium dan sedang berkembang, mulai dari Bojonegoro, Gresik hingga Madura. (3). Wilayah pegunungan kapur bagian selatan yang dikategorikan sebagai daerah kurang subur dan baru mulai berkembang, mulai dari Pacitan hingga Malang bagian selatan. (4). Pulau-pulau terpencil yang belum berkembang, terletak di Kabupaten Sumenep, Sampang, Gresik, Probolinggo, Jember dan Malang. Tabel 2.1. Struktur perekonomian Jawa Timur No.
Sektor
Sumbangan (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11
Pertanian 24.56 Pertambangan & penggalian 0.61 Industri pengolahan 21.81 Listrik Gas dan Air Minum 1.09 Bangunan 5.53 Perdagangan Hotel dan Restoran 22.65 Pengangkutan dan Komunikasi 6.24 Bank dan Lembaga Keuangan lain 3.59 Sewa rumah 1.83 Pemerintahan dan pertahanan 7.09 Jasa-jasa 5.00 Jumlah 100.00 Sumber: Jawa Timur dalam Angka. Kegiatan ekonomi dalam subsektor pertanian tanaman pangan didominasi oleh delapan macam komoditi pokok yang memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar bagi pengelolanya (Tabel 2.2 ). Tabel 2.2. Produksi, penerimaan dan pendapatan usahatani tanaman pangan di Jawa Timur
Usahatani Padi sawah Padi tegalan
Produksi kg 6268 2300
Penerimaan Rp Petani 1736700 1118329 736000 300467
Pendapatan (rp) Usahatani 697347 86467
4
Jagung 2418 779834 390650 Kedelai 1382 1036249 567739 Kacangtana 1704 1095210 542021 h Kacang 713 545984 348566 hijau Ubikayu 18068 1415654 949717 Ubijalar 28078 1861000 1344378 Sumber: Diperta Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur
175441 296911 90899 174650 619960 782735
Pembagian wilayah tersebut di atas mengisyaratkan adanya potensi ekosistem lahan yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Konsepsikonsepsi tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya, mengisyaratkan bahwa lahan di suatu wilayah merupakan suatu sitem yang kompleks terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi membentuk suatu struktur yang mantap dan perilakunya menghasilkan keluaran-keluaran yang tertentu. Demikian juga upaya pengelolaannya melibatkan berbagai aktivitas menejerial yang biasanya mempunyai horison waktu panjang (50-100 tahun), terutama kalau melibatkan nilai investasi yang besar. (1). Analisis kebutuhan pengelolaan sumberdaya lahan Konsepsi teoritis tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya mengisyaratkan adanya berbagai kebutuhan yang terlibat di dalamnya. Berbagai kebutuhan ini dapat dibuktikan dengan jalan wawancara dan diskusi dengan beberapa pihak yang terlibat langsung dengan permasalahan lahan, terutama BRLKT dan BAPPEDA sebagai penentu kebijakan serta penduduk setempat sebagai pengelola sumberdaya lahan . Dapat dikemukakan di sini bahwa beberapa kebutuhan penting dalam pengelolaan ekosistem lahan di Jawa Timur adalah sebagai berikut : a. Kebutuhan dalam hal rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air. a.1. Fluktuasi debit air sungai sepanjang tahun dalam batas-batas kenormalan (rasio debit minimum dan debit maksimum dalam setahun tidak kurang dari 1 : 40). a.2. Tersediannya air-bumi dan air-permukaan sepanjang tahun yang mencukupi kebu tuhan domestik, Industri, pertanian dan ekologi. a.3. Terkendalinya erosi tanah dari lahan usaha dan sedimentasi di jaringan irigasi dan Waduk-waduk . a.4. Terbinanya sikap mental penduduk sebagai insan pelestari sumberdaya alam dan lingkungan. b. Kebutuhan untuk mencapai pendapatan wilayah dan pendapatan per kapita sesuai dengan kondisi kelayakan. b.1. Tercapainya pendapatan perkapita seluruh penduduk di Jawa Timur sesuai dengan taraf hidup layak di atas garis kemiskinan. b.2. Tercapainya produksi pertanian (dan sektor produksi primer lainnya) untuk me ngamankan penyediaan pangan bagi penduduk setempat . c. Kebutuhan dalam hal peningkatkan taraf hidup dan kese jahteraan penduduk di Jawa Timur. c.1. Tersedianya kesempatan kerja di sektor pertanian sepanjang tahun dan minimal
5
dapat memenuhi penawaran angkatan kerja domestik. c.2. Tersediannya sembilan macam bahan kebutuhan pokok pada jumlah dan tingkat harga yang layak bagi seluruh penduduk . d. Kebutuhan kelestarian dan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup. d.1. Terpeliharanya kawasan hutan dan sumberdaya hutan: hutan lindung, dan hutan produksi. d.2. Terpeliharanya daya dukung lingkungan pada tingkat layak bagi populasi ternak dan juga bagi manusia. (2). Identifikasi ekosistem lahan pertanian Proses identifikasi sistem yang cermat dan sistematis akan sangat menentukan keber hasilan langkah-langkah analisis selanjutnya. Teknik diagramatis sangat membantu dalam identifikasi pengelolaan ekosistem lahan yang rumit. (a). Diagram Lingkar Sebab-akibat Pengelolaan Lahan Diagram lingkar sebab-akibat pengelolaan ekosistem lahan disajikan dalam Gambar 2.1. Ada enam komponen utama dalam pengelolaan ekosistem lahan . Keenam komponen utama ini saling berinteraksi secara dinamis, dimana keterlibatan manusia di dalamnya akan sangat menetukan kelestarian dan perkembangan sistem. Secara alamiah manusia dituntut untuk berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya dengan jalan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia . Intensitas pemanfaatan sumber daya alam ini sangat ditentukan oleh tingkat teknologi dan kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya intensitas pemanfaatan ini juga akan menentukan basarnya manfaat yang diperoleh dan perubahan daya dukung atau kualitas sumberdaya lahan. Pada giliran selanjutnya, manfaat-manfaat tersebut akan menentukan tingkat kesejahteraan penduduk dan perubahan daya dukung akan mempengaruhi kelestarian sumber daya lahan . Kedua kondisi ini secara bersama-sama akan ikut menentukan tingkat investasi domestik dan eksternal. Peningkatan investasi ini pasti akan mendatangkan dampak sosial ekonomi dan dampak lingkungan seperti erosi, sedimentasi, pencemaran dan kemerosotan kualitas sumberdaya lahan . (b). Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari pengabstraksian ekosistem lahan seperti di atas dapat disusun suatu model kotak hitam I/O pengelolaan ekosistem lahan (Gambar 2.2). Dengan menggunakan diagram ini dapat diabstraksikan bahwa pengelolaan ekosistem lahan mempunyai komponen utama yang berupa masukan , keluaran , parameter, dan menejemen kendali. Sistem pengelolaan lahan masih dianggap seba gai kotak hitam, dimana struktur yang ada di dalamnya dianggap belum diketahui. Dengan melalui proses dan fenomena tertentu yang terjadi di dalam sistem lahan, maka masukan-masukan yang masuk akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Keluaran ini ada yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan ada pula yang tidak diinginkan oleh pengelola sumberdaya lahan. Melalui mekanisme umpan balik yang dimotori oleh fungsi menejemen kendali maka keluaran yang tidak diinginkan akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan untuk menentukan kebijakan dalam menetapkan masukan-masukan pengendali, yang biasanya berupa kebijakan-kebijakan
6
pengelolaan. (c). Diagram Struktur Ekosistem Lahan Bagan berikut ini mengabstraksikan enam subsistem penting dalam pengelolaan ekosistem lahan, dua subsistem terkait langsung dengan tingkat kebutuhan penduduk, dan empat subsistem lainnya terkait dengan daya dukung lahan. Uraian subsistem disajikan di bawah ini.
7
Pengelolaan : Sawah, Tegalan, Kebun, Pekarangan Produktivitas Lahan
Hasil tanaman Pendapatan Kesempatan kerja Kehilangan tanah, Air,Bahan organik, Unsur Hara
Solum tanah, Kesuburan tanah Kepekaan erosi
Kesejahteraan petani dan buruhtani
Agroteknologi: - pupuk, bibit - teras bangku SDA Air SDA Tanah SDA Vegetasi Investasi: Privat: saprodi tenaga
publik: teras dam pengendali saluran air
Gambar 2.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat Pengelolaan Ekosistem Lahan
8
Masukan Lingkungan Biofisik Sosbud , Sospol, Sosek
Tataguna lahan Sarana produksi Agroteknologi Kapital /tenagakerja
Hasil tanaman , Ternak, Hutan Kesempatan kerja
EKOSISTEM LAHAN JATIM Hasil sedimen BOD,fosfat, banjir
Harga saprodi sayuran,susu perah
Lokasi JATIM
PEMDA, BRLKT, Petani
Gambar 2.2. Diagram Kotak Hitam Masukan-Keluaran Sistem Pengelolaan Lahan
9
Masukan lingkungan Biofisik Sosbud, Sospol, Sosek Subsistem Hidrologi Masukan Agroekologis
Masukan Agroteknologis
Masukan Demografis
Subsistem Erosi dan Sedimentasi Subsistem Lahan Subsistem Pertanian
Subsistem Sosial-Ekonomi
Subsistem Demografi
Produktivitas lahan
Keluaran: Hasil padi, sayuran, kopi, susu Kes. Kerja Debit air, fosfat sedimen, BOD Kebutuhan Pangan, pemukiman,kesempatan kerja
PEMDA Jatim BRLKT Wilayah VI , Petani, Dinas Pengairan
Gambar 2.3. Kerangka Model Konseptual Perencanaan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan C.1. Subsistem Hidrologi dan Erosi-Sedimentasi Kedua subsistem ini mempunyai hubungan yang sangat erat, dan keduanya juga ber interaksi dengan subsistem produksi primer (sistem pertanian). Kedua subsistem ini mempunyai masukan alamiah berupa hujan dan faktor agroekologi lainnya yang terkait, serta masukan kebijakan berupa alokasi penggunaan lahan, teknologi konservasi tanah dan air, dan alokasi penggunaan sarana produksi. Masukan utama dari subsistem hidrologi adalah faktor-faktor agroklimat. Keadaan agroeklimat di wilayah ini dicirikan oleh tipe iklim Muson Tropis yang memiliki musim kering dan basah yang jelas. Musim hujan ber-langsung selama bulan Nopember hingga akhir Maret, dan musim kemarau mulai awal Juni hingga akhir September. Rataan curah hujan tahunan di daerah aliran berkisar secara spasial antara 2200 hingga 2750 mm. Berdasarkan sistem Oldeman (1975), daerah ini digolongkan ke dalam zone agroklimat C2 dengan empat bulan kering dan 5-6 bulan basah setiap tahun. Keluaran utama subsistem
10
hidrologi adalah hasil air permukaan yang dapat diukur dalam bentuk debit air sungai dalam fungsi waktu. Subsistem erosi-sedimentasi mempunyai keluaran utama berupa kehilangan tanah dari lahan atau hasil sedimen yang diukur di petak erosi atau di outlet sungai. Laju erosi pada lahan sangat berfluktuasi menurut waktu (musim) dan menurut tipe penggunaan lahan. Erosi pada lahan pekarangan dan lahan tegalan paling besar. Erosi dan limpasan permukaan di daerah tangkapan akan menentukan besarnya sedimen yang memasuki wduk setiap tahun. Dengan mempertimbangkan karakteristik Jawa Timur dapat diper kirakan rataan erosi tanah aktual di seluruh daerah aliran sebesar 26.99 ton/ha/th atau 2.44 mm/th. Secara struktural kedua subsistem ini saling bertautan dan sangat dipengaruhi oleh perilaku subsistem produksi primer. Peranan vegetasi (alam dan budidaya) sangat besar dalam fungsi transfer yang mengubah masukan sistem berupa hujan menjadi hasil air . C.2.Subsistem Sumberdaya Lahan Dalam hubungan dengan pendekatan ekosistem ini, lahan di Jawa Timur dipandang sebagai suatu sistem yang mempunyai atribut dan dimensi ganda; di dalamnya terdapat komponen-komponen yang saling berinteraksi menyusun struktur tertentu. Perilaku dinamis sumberdaya lahan ini tercermin dalam tipe penggunaan lahan, sistem perta nian, produktivitas lahan dan laju degradasi lahan . Abstraksi skematis subsistem lahan ini secara diagramatis disajikan dalam Gambar 9.4. Masukan-masukan utamanya berupa tanah, relief, iklim, dan teknologi/investasi. Unsur-unsur dari tanah, relief, dan iklim akan menentukan kualitas lahan dan neraca lengas lahan. Sebagian besar tanah berkembang dari bahan abu volkanik muda. Perbedaan bentuk lahan dan curah hujan mengakibatkan berkembangnya tiga zone tanah , yaitu (i) Andosol (Eutrandepts) pada lahan bergunung, (ii) Andosol dan Kambisol (Eutropepts) pada lahan berbukit, (iii) Kambisol dan Mediteran (Argiudolls) pada dataran inter-volkanik, dan (iv) EntisolInseptisol di daerah dataran/lembah sungai. Andosol umumnya terdapat pada ketinggian lebih dari 1 300 m dpl. meliputi area seluas sekitar 8% dari seluruh lahan desa. Tanah ini mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, menahan banyak air tersedia, berat isinya rendah, agregasinya lemah, dan erodibilitasnya tinggi. Tingkat kesuburannya baik, pH tanah berkisar antara 5.6 hingga 6.5, kaya bahan organik dan nitrogen. Kambisol terdapat pada ketinggian di bawah 1 300 m dpl., meliputi luasan sekitar 55%dari seluruh lahan desa. Tanah ini solumnya masih tebal, terksturnya berlempung, drainasenya baik, erodibilitasnya tinggi. Kesuburan ta-nahnya baik, kaya bahan orga nik dan unsur hara tersedia, pH tanah 5.5 - 6.6. Tanah Mediteran terdapat di daerah yang lebih rendah, banyak dijumpai di Dataran Ngantang. Teksturnya lempung hingga lempung berliat, drainasenya cukup baik, struktur tanah porus dan mantap, kejenuhan basa tinggi, dan pH tanah 5.7-6.8. Keadaan bentuk lahan dan relief sangat beragam, deskripsi sistem lahan yang dominan di Jawa Timur disajikan dalam Tabel 9.5. Secara keseluruhan, wilayah dengan kemi ringan lebih dari 45% meliputi luasan sekitar 19%, wilayah dengan kemiringan 2545% meliputi luasan sekitar 20% luas propinsi, dan wilayah dengan kemiringan kurang dari 25% meliputi areal seluas 61% dari luas propinsi.
11
12
Pancausaha pertanian
Terras bangku rumput gajah
Pupuk Bibit
Iklim C2, Andosol
Pengolahan tanah, Polatanam
Lereng 8-25%
Kesesuaian lahan Jenis tanaman: Padi, Jagung, Sayuran Kopi, Kedelai Produktivitas Tanaman dan ternak
Produktivitas Lahan Hasil Tanaman Padi, Jagung, Kentang, Kopi Susu perah, Sayuran Gambar 2.4.
Pergiliran tanaman: . Padi-Padi-Sayuran . Jagung-Sayuran-bera . Sayuran-Sayuran-bera . Kopi+Jagung Limpasan Permukaan
Kehilangan tanah, BO, hara
Hasil Air Debit sungai Waduk
Hasil Sedimen BOD, Fosfat, ke waduk-waduk
Diagram Lingkar Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Untuk Pertanian.
13
Tabel 2.3 . Deskripsi Sistem Lahan dan Tingkat Kesesuaian Potensialnya N o.
Sistem Lahan
Deskripsi Umum
Lere ng
Litologi
Jenis Tanah
% 1.
2.
Asembagus
Dataran vulkanik
(ABG)
datar berombak
Bukit. Balang
Punggung gunung tdk teratur di atas vulkanik basis-sdng Bukit teratur dan sngt curam di atas batuan beku asam Dataran banjir pada sungai kecil di antara per bukitan
(BBG)
3.
Bukit. Beringin (BBR)
4.
Bakunan (BKN)
5.
Bukit. Masung (MBS)
Punggung bukit sangat curam di atas vulka nik basis
< 2%
Aluvium muda berbutir halus & kasar Andesit; basalt-
41-
breksi
60 Riolit; granit
Ustropepts Tropaquepts Chromu sterts Dystropepts Humitro pepts Tropohumults Dystropepts
41-
Tropudults
60
Haplorthon Tropaquepts
Endapan kipas <2
4160
aluvium muda berasal dari sungai Andesit; basalt; breksi
Tingkat Kesesuaian Potensial: P K
T G
S W
D T
G B
IK
IR G
K B
RE B
S
W N T S
S
S
S
N
S
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
S
N
N
N
N
N
N
N
N
N
S
N S
S
S
N
N
N
N
S
N
S
N
N
N
N
N
N
N
N
N
S
S
Tropofluvent Eutropepts Dystropepts Tropudults Troporthents
14
Tabel 6.
2.3. Lanjutan
Bombong (BOM)
7.
Barong Tongkok (BTK)
8.
Dukun (DKN)
9.
10
Donomulyo (DML)
Gajo (GJO)
11
Hiliboru
(HBU)
Dataran vulkanik basis berombak hingga bergelomb ang di daerah kering Aliran Lava basis /sedang agak tertoreh Plato yg terangkat miring & tertoreh sedang di atas batu gamping Plato ber gelombag terangkat miring di atas tufa pada Kipas alu vial vulka nik yang melereng sedang Bukit curam di atas napal dg singkapan batuan
9-
Andesit; basalt; tefra; berbutir halus
Ustropepts Haplustalfs
S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
Basalt; andesit tefra; berbutir halus
Dystropepts Tropudalfs Eutropepts Ustropepts Haplustalfs
S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
N S
N
S
N
S
N
N
S
S
S
Tefra berbutir halus batu gamping
Pleustalfs Ustropepts
N S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
Endapan kipas aluvium; koluvium
Dystropepts Tropudults
N S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
Napal; batu gamping batu pasir
Tropudults
N S
N
N
N
S
N
N
S
S
S
15
1625
16-
Batu gamping; napal tefra
25
915
915
2640
Tropudalfs Eutropepts
15
Tabel 2.3. Lanjutan . 12
Kahayan (KHY)
13
Kuranji (KNJ)
14
Muna (MNA)
15
Maninjau (MNU)
16
Pandegelang (PAN)
17
Puting (PTG)
Dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai Kipas aluvial vulka nik yang melereng landai
<2
08
Dataran bergelomb ang dgn bukit karst kecil bentuk kerucut Kaldera pegunung an yg sangat curam di atas vulka nik basis Dataran berbukit
41-
kecil pd batuan vul kanik ba sis-sedang Beting pantai dan cekungan antar be-
16-
ting pantai
60
4160
25
<2
Aluvium muda ber asal dari endapan muara; laut & sungai Endapan kipas aluvium muda berasal dari vulkanik Batu gamping;
Tropaquepts Fluvaqu ents tropohemist
N S
S
S
N
N
N
S
S
N
S
Dystropepts
S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
N S
N
N
N
N
N
N
N
N
S
napal
Tropudalfs Eutropepts Dystropepts
N
N
N
N
N
N
N
N
N
S
N S
N
S
N
S
N
N
S
S
S
N S
N
S
N
S
N
N
S
S
S
Andesit; tera berbutir halus; tefra ber butir kasar Breksi;ba salt;ande sit;tefra berbutir halus Endapan aluvium muda da ri laut; pasir kerikil pantai
Tropaquepts Rendoll
Troporthents Tropudalfs Tropudults Tropopsament Tropaquents
16
Tabel 2.3. Lanjutan 18
19
Sumber. Manjing (SBJ)
Sambiran (SBN)
20
Sangkrah
(SGK) 21
Sungai Medang (SMD)
22
Susukan (SSK)
23
Plato yg terangkat miring & tertoreh sedang di atas batu gamping; kering Punggung bukit paralel di atas tufa vulkanik sedang di daerhkrng Plato batu gamping yg terang at miring dan sangat tertoreh Dataran vulkanik basis yg berombak - berge lombang Dataran vulkanik datar hingga berombak
Tambera
Kerucut / sumbat
(TBA)
vulkanik yg amat curam di atas batu an vulka nik asam
16-
Batu gamping; napal
Ustropepts Haplustalfs Chromu sterts
N S
N
S
N
S
N
N
S
S
S
Tefra berbutir luslus; tefra berbutir kasar
Ustropepts Usthortents
N S
N
N
N
S
N
N
N
S
S
Batu gamping; napal
Rendoll s Tropudalfs Eutropepts Ustropepts Haplustalfs
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
Eutropepts
S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
25
2640
4160
915
<2
>60
Andesit; basalt; tefra berbutir halus Aluvium muda dari vulkanik tefra berbutir ha lus-kasar Riolit;an desit;tefr a berbutir kasar dan halus
Tropaquepts Dystropepts Tropudults Troporthents
17
Tabel 2.3. Lanjutan 24
Tanggamus
Gunung berapi strato muda basis/sdng
(TGM) 25
Tela (TLA)
26
Telawi (TWI)
4160
Plato bergelomb ang yg terangkat miring di atas tufa Punggung gunung orientasi yg terjadi di atas bakuan beku
9-
Andesit; basalt; tefra ber butir halus & kasar;alu vium
Dystropepts
Tefra berbutir halus batu gamping
Tropudalfs
Granit;G ranodiori t Riolit
Dystropepts
N
N
N
N
S
N
N
N
N
N
N S
S
S
N
S
N
N
S
S
S
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Humitro pepts Hydran depts
Eutropepts
15
>60
Tropudults Troporthents
Keterangan: PK=Pekarangan; TG=Tegalan; SW=Sawah;DT = Lahan kering dataran tinggi;GB= Lahan gembalaan; IK=Perikanan; IRG=Lahan irigasi; KB=Kebun; WNT=Wanatani;REB= Reboisasi/Penghijauan; S = Sesuai; N=Tidak sesuai; NS=agak sesuai Perilaku sistem sumberdaya lahan tersebut hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan oleh manusia melalui berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dalam penggunaan lahan pertanian. Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya lahan ini dilakukan oleh pemiliknya dengan menggunakan berbagai input material dan managerial untuk memodifikasi perilaku alamiah lahan ke arah perilaku yang dapat menghasilkan produkproduk bioekonomi yang bermanfaat bagi manusia. 2.3. PENGELOLAAN EKOSISTEM PERTANIAN 2.3.1. Karakteristik dan Luasan Sistem produksi primer pada hakekatnya identik dengan land utilization type" atau sistem pertanian (farming system) dalam arti yang umum, termasuk kehutanan, perkebunan, dan peternakan. Dalam sistem ini, manusia dengan teknologi dan kapital yang dimilikinya mengelola sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluaran utama dari sistem ini berupa berbagai komoditi pertanian, material (air , sedimen, polutan atau limbah), uang dan informasi. Sedangkan masukannya dapat dibedakan menjadi sumberdaya alam, material (saprodi), pengelolaan (teknologi, tenagakerja dan skills), dan
18
masukan informasi. Di Wilayah Jawa Timur terdapat lahan usaha pertanian seluas 4455899 ha, terbagi menjadi lahan sawah seluas 1175220 ha dan lahan kering seluas 3280679 ha (DIPERTA Daerah Propinsi Jawa Timur). Rincian lahan sawah dan lahan kering disajikan dalam Tabel 2.4. a. Ekosistem Hutan Total kawasan hutan di Jawa Timur sebagian besar merupakan hutan pegunungan di bagian hulu daerah aliran sungai. Kawasan ini berupa hutan alam pegunungan (motane forest), hutan tanaman seluas, dan lahan semak-belukar. Sebagian lahan semak-belukar berada di kawasan lindung, dan lainnya berada di kawasan hutan produksi-konversi. Tabel 2.4. Rincian penggunaan lahan pertanian di Jawa Timur No.
Penggunaan Lahan 1987
Lahan Sawah: 1. Pengairan teknis 2. Setengah Teknis 3. Sederhana 4. Pengairan Non PU 5. Tadah hujan 6. Pasang surut 7. Sawah lebak; dll 8. Sementara diberakan Jumlah
Luas lahan (ha): 1990
1992
608974 139788 96687 48605 274337 712 2552 3565 1175220
896958 268772 413 511 3084 1169738
906440 259548 589 701 4950 1172228
548806 1192287 21299 3164 1830 48778 2087 7552
567930 1149510 35421 2375 1915 56050 1222 21069
576213 1110284 18511 1834 1154 52189 3250 16328
33458 1090333 164245 166840 3280679
49704 1089378 167916 211658 3354148
49756 1067097 157955 164336 3218907
Lahan Kering: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Pekarangan Tegalan/Kebun Ladang/Huma Padang gembalaan Rawa-rawa Tambak Komlam tebat/empang Lahan kering bera Lahan ditanami kayu kayuan/Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Lain-lain Jumlah
Sumber: Diperta Propinsi Dati I Jawa Timur
Berdasarkan arahan penggunaan lahan ternyata terdapat kawasan hutan lindung dan kawasan penyangga. Kawasan hutan lindung sebagian besar merupakan hutan alam pegunungan, diperkirakan sekitar 50% dari kawasan ini mempunyai tingkat penutupan tajuk pohon lebih dari 50%, dan 10% mempunyai tingkat penutupan tajuk pohon kurang dari 20%. Sekitar 10% dari hutan pegunungan merupakan hutan pinus (Casuarina junghuhniana) berlo-kasi di puncak bukit dan lereng yang terjal. Aksesibilitas hutan
19
pegunungan pada umumnya buruk, sehingga pengelolaan secara ekonomis sangat sulit. Pada saat sekarang kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penebangan jenisjenis pohon komersial di kawasan ini terjadi secara illegal. Dalam hutan alam pegunungan DAS Konto diperkirakan sekitar 25% dari jumlah pohon asli telah ditebang, tingkat pengurangan luas bidang dasar sekitar 8% setahun (Proyek Kali Konto, 1987). Hutan tanaman (man made forest) dikelola oleh Perum Perhutani KPH Malang, diperkirakan mempunyai total volume tegakan sekitar 135 000 m 3 dengan laju pertambahan tahunan sekitar 15 000 m3 kayu (timber) dan produksi kayu bakar sekitar 3 250 m3 setahun. Tiga jenis kayu komersial yang ditanam adalah Eucalyptus, Albizia, dan Mahogany sp. Hasil-hasil hutan seperti kayu bakar, arang dan kayu komersial dipasarkan ke luar daerah (Proyek Kali Konto, 1987). Hutan tanaman kaliandra (Calliandra callothyrsus) dikelola Perum Perhutani KPH Malang pada kawasan semak-belukar. Hutan tanaman ini dipotong setiap tahun setelah umur tiga tahun, diper-kirakan menghasilkan kayu bakar sekitar 35 m3 per hektar per tahun (Perhutani KPH Malang). Sejumlah lahan semak-belukar tersebar pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi-konversi. Lahan semak-belukar ini merupakan sumber kayu bakar dan bahan hijauan pakan ternak bagi penduduk sekitarnya, sedangkan bagi Perum Perhutani lahan semak- belukar ini tidak mempunyai nilai komersial. b. Eko-Sistem Perkebunan, Kebun Campuran dan Kebun Rakyat Sistem Kebun campuran ditanami tanaman semusim yang dicampur dengan tanaman tahunan, sedangkan kebun kopi ditanami kopi sebagai tanaman utama dengan tanaman naungan dadap atau lamtoro. Biasanya kebun campuran terletak lebih dekat dengan pemukiman, karena memerlukan lebih banyak perawatan tanaman dan perlindungan terhadap gangguan babi hutan. Tanaman semusim di kebun campuran biasanya jagung, ubikayu dan ubi-ubian lainnya, kacang-kacangan, cabai, dan sayuran. Sedangkan tanaman tahunannya dapat dikelompokkan menjadi (i) tanaman industri: kopi, cengkeh, dan vanilla; (ii) pohon buah-buahan: alpokad, pisang, langsep, durian, petai, pepaya, kelapa, dan jeruk; (iii) kayu komersial: mahoni, nyampo, dan mindi; dan (iv) kayu bakar: lamtoro, dadap, akasia, dan kaliandra. Kebun kopi milik rakyat menghasilkan kopi jenis Robusta dan jenis Arabusta. Ke padatan tanaman kopi di kebun milik rakyat ini berkisar antara 600 hingga 1000 pohon per hektar. Pohon naungan yang lazim digunakan adalah dadap dan lamtoro. Tingkat pengelolaan dan produktivitas kebun kopi milik rakyat ini masih sangat beragam, demikian juga umur dan kesuburan tanaman kopi yang ada sekarang. Sekitar 27% dari total kebun kopi sudah tidak produktif lagi (umur ta-naman lebih dari 15 tahun) dan sekitar 26% dari total kebun kopi masih belum berproduksi (umur tanaman kurang dari 5 tahun). Rataan produksi kebun kopi milik rakyat setiap tahun sekitar 312 kg biji kopi kering (Dinas Perkebunan Kabupaten Malang, 1991). Gambaran tentang usahatani kebun kopi rakyat disajikan dalam Tabel 2.5. Usahatani ini biasanya berjangka waktu 10 tahun, tanaman berproduksi umur 4 hingga 10 tahun, rataan populasi tanaman 1 200 pohon per hektar. Tabel 2.5. Rekapitulasi Masukan-Keluaran Usahatani Kopi Rakyat di Kabupaten Malang
20
No.
Uraian Kegiatan
1.
Kebutuhan tenaga kerja; HOK/th Biaya produksi; rp/ha/th Produksi; kg/ha/th Penerimaan; rp/ha/th Penerimaan lain; rp/ha/th Tenaga kerja tambahan; HOK Total penerimaan; rp/ha/th Total tenagakerja; HOK/ha/th
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rataan Petani Tingkat BPP 146.6
215.8
329 880.0 300.8 601 600.0 245 500.0 102.5 847 000.0 251.1
527 808.0 525.6 1 051 200.0 275 600.0 80.4 1 326 800.0 296.2
c. Eko-Sistem Tegalan Pengelolaan ekosistem lahan tegalan mengisyaratkan adanya tiga hal penting, yaitu (i) ketergantungan langsung kepada curah hujan, (ii) ancaman bahaya erosi dan limpasan permukaan, dan (iii) pelestarian kesuburan tanah dan bangunan terras bangku yang ada. Kondisi curah hujan merupakan determinan pokok dalam pengelolaan tegalan. Para petani menggunakan berbagai teknik untuk mengoptimalkan penggunaan air hujan di lahan tegal an. Pemilihan jenis tanaman dan pola pergiliran tanaman, terrasering, dan pengaturan jadwal dan cara pengolahan tanah merupakan tiga cara untuk memanfaatkan air hujan secara optimal. Beberapa pola pergiliran tanaman yang banyak dilakukan oleh petani lahan tegalan di DAS Brantas Hulu adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Sub DAS Konto : Pinjal: Kentang-Kubis Jagung-Jagung Jagung-Kubis Bw.merah-Jagung Jagung-Kac.merah Kubis-Jagung Kentang-Jagung Bw.merah-Kc.merah Jagung-Jagung Jagung-Bw.merah
Kwayangan: Jagung-Jagung Jagung-Bw.merah K.merah-Jagung Jagung-Kac.merah Jagung-Sayuran
Rataan produktivitas tanaman di lahan tegalan ini pada umumnya masih rendah dibandingkan dengan potensi genetiknya. Dari analisis usahatani dapat dikemukakan beberapa nilai produktivitas tanaman (Tabel 2.6). Rendahnya produktivitas tanaman tersebut diperkirakan berkaitan dengan tersedianya air dalam tanah selama pertum buhannya, dan rendahnya dosis pupuk yang digunakan. Sehubungan dengan kondisi hujan, lazimnya petani mengolah tanah jauh sebelum musim tanam pada awal musim hujan. Hal ini dilakukan karena (i) memungkinkan lebih banyak penetrasi air hujan pada awal musim, (ii) menghemat waktu, dan (iii) musim kemarau merupakan masa sepi kerja bagi petani yang hanya mempunyai lahan tegalan. Selama musim hujan proses erosi dan limpasan permukaan di lahan tegalan sangat intensif. Laju kedua proses ini pada hakekatnya merupakan fungsi dari (i) jumlah dan pola hujan, (ii) tipe tanah dan bentuk lahan, dan (iii) agroteknologi yang dilakukan petani, termasuk teknik-teknik konservasi tanah dan air. Tabel 2.6. Produktivitas Beberapa Jenis Tanaman
21
Jenis Tanaman Jagung Kentang Kentang Kubis Kacang merah Kacang merah Bawang merah Wortel
Musim Tanam MT-1 MT-1 MT-2 MT-1 MT-1 MT-1 MT-2 MT-1
Lokasi Ngantang Pujon Pujon Pujon Ngantang Pujon Pujon Pujon
Produksi (kg/ha) 1 365.00 7 015.38 5 408.40 16 148.60 1 981.75 1 913.59 3 065.43 3 475.34
d. Ekosistem Sawah Total luas lahan sawah di Jawa Timur beragam dari tahun ke tahun. Sebagian dari lahan sawah ini mempunyai irigasi teknis dan semi-teknis, dan sebagian lainnya tadah hujan. Umumnya intensitas tanaman padi pada lahan sawah ini berkisar antara 2.0 dan 3.0. Beberapa macam pola pergiliran tanaman yang banyak dilakukan petani di lahan sawah ialah : Lokasi Sub DAS Konto Hulu: 1. Kubis-Kentang-Kacang merah 3. Padi-Kentang-Kubis 2. Padi-Kentang-Jagung 4. Kubis-Padi-Kacang merah 5. Padi-Padi-Jagung Sub DAS Pinjal: Padi-Padi-Jagung Padi-Padi-Kacang merah Padi-Bawang merah-Kubis Padi-Jagung-Bawang merah Bawang merah-Padi-Jagung
Sub DAS Kwayangan: Padi-Padi-Jagung Padi-Bawang merah-Jagung Padi-Jagung-Kacang merah Padi-Jagung-Jagung Padi-Baw.merah-Kac.merah
Rataan produktivitas padi di Kecamatan Pujon sekitar 3 800 kg/ha/musim, dan di Kecamatan Ngantang sekitar 4 200 kg/ha/musim tanam (BPP Ngantang, 1991). Di DAS Brantas Hulu, sebagian sawah pada musim hujan tidak ditanami padi tetapi ditanami sayur-sayuran seperti kentang, wortel, kacang merah, dan kubis. Dua alasan pokok yang dapat dikemukakan ialah (i) kondisi tanah yang sarang air dan (ii) komoditi sayuran dianggap mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi dan mudah memasarkannya. Kondisi terras bangku di lahan sawah umumnya berkualitas baik, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan tebing terras diperkuat dengan jenis-jenis rumput lapangan. Pengukuran erosi pada lahan sawah menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah daripada tegalan dan pekarangan. e. Eko-Sistem Pekarangan
22
Pekarangan dapat diartikan sebagai sebidang lahan yang di dalamnya terletak rumah tempat-tinggal (pemukiman) yang dikuasai oleh keluarga. Ukuran luas penguasaan peka rangan sangat beragam, rataan setiap keluarga sekitar 400-750 m 2 . Pekarangan mempunyai fungsi ganda bagi kehidupan keluarga, yaitu (i) sebagai tempat tinggal (pemu kiman), (ii) sebagai kebun campuran dengan aneka tanaman palawija, sayur-sayuran , obatobatan, buah-buahan, dan kayu bakar; dan (iii) sebagai tempat memelihara ternak. Di berbagai wilayah ternyata aktivitas usahatani yang utama di lahan pekarangan adalah sapi perah, sedangkan di Kecamatan Ngantang adalah usahatani kebun campuran. Tingginya intensitas kegiatan manusia di lahan pekarangan telah mengakibatkan tingginya laju erosi dan limpasan permukaan. Beberapa faktor penting yang menyebabkannya adalah (i) pema datan permukaan tanah oleh manusia dan ternak sehingga kapasitas infiltrasinya rendah, (ii) tingkat penutupan permukaan lahan oleh vegetasi yang relatif rendah, (iii) penutupan lahan oleh atap rumah penduduk dan bangunan lainnya, (iv) penimbunan kotoran ternak di pekarangan secara terbuka, dan (v) penyaluran air hujan langsung dari halaman rumah ke jalan-jalan desa. f. Usahatani Ternak Usahatani ternak merupakan usaha sampingan yang mampu memberikan sumbangan pendapatan keluarga cukup baik. Usahatani ini dilakukan di lahan pekarangan dengan melibatkan tenagakerja dari dalam keluarga. Penyebaran jenis ternak di beberapa lokasi DAS Brantas Hulu dan total kebutuhan hijauan pakan disajikan dalam Tabel 2.7. Secara keseluruhan usahatani ternak sapi perah lebih dominan dibandingkan ternak lainnya, terutama di bagian hulu daerah aliran sungai. Usahatani ternak sapi perah di Jawa Timur mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an melalui komunikasi inter-personal. Perkembangan usahatani ini tampaknya memberikan prospek yang baik ditinjau dari berkurangnya aktivitas penduduk merambah hutan, kegairahan menanam rumput gajah, serta tersedianya sumber pendapatan dan kesempatan kerja. Peluang-peluang positif ini tampaknya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong keterlibatan penduduk dalam program konservasi tanah dan air. Perkembangan selanjutnya ditandai oleh berkem bangnya koperasi susu di Kecamatan Pujon yang semula berfungsi sebagai penghubung antara peternak sapi perah dengan wilayah wilayah di sekitarnya . Sebagian besar sapi perah di wilayah Kecamatan Pujon (Sub DAS Konto Hulu) adalah Jenis Peranakan Frisian Holstein (PFH) lokal dan impor. Sapi jenis impor tersebut diterima peternak melalui Program KIK, Banpres, PUSP, dan Kredit Koperasi. Pengusahaan sapi perah di wilayah ini umumnya masih merupakan usaha sampingan. Tujuan pokok pemeliharaan sapi perah ini adalah hasil susu, sedangkan tujuan sampingannya ialah hasil rabuk kandang dan anak sapi (pedet). Perkembangan usaha sapi perah didukung sepenuhnya oleh Koperasi Susu SAE (Sinau Andandani Ekonomi). Koperasi ini mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai jembatan penghubung yang menyalurkan hasil susu ke pabrik susu NESTLE di Surabaya, dan juga ke beberapa agen susu segar di Kota Malang, Pasuruan dan Surabaya. Berbagai upaya dilakukan para peternak untuk menjaga mutu hasil susu, di antaranya ialah pemberian makanan se-cara tepat, biasanya berupa hijauan dan konsentrat. Pemerahan susu dilakukan pagi dan sore hari oleh tukang pemerah yang mempunyai ketrampilan khusus dalam hal pemerahan susu dan masalah-masalah higienisnya.
23
Tabel 2.7. Penyebaran Ternak Penting di DAS Brantas Hulu Jenis Ternak Sapi perah Sapi kerja Kambing dan Domba Total Kebutuhan pakan, ton/th
Konto ............. 5 479.70 882.60 830.60
Pinjal . ST ...... 123.75 902.40 422.00
7 192.90 131 270.425
1 448.15 26 428.738
Kwayangan .......... 415.15 515.20 382.50 1 312.85 23 959.513
Sumber: Kab Malang dalam Angka Perkembangan populasi ternak sapi perah di wilayah ini berlangsung melalui tiga cara (i) kelahiran dari induk yang ada, (ii) penambahan dari luar daerah, dan (iii) penambahan ternak melalui program sumbangan/bantuan/kredit. Kenaikan jumlah ternak ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan hijauan pakan. Sumber pakan hijauan ini adalah lahan usaha pertanian dan di luar lahan usaha pertanian termasuk lahan semakbelukar, serta hijauan dari luar daerah. Perkiraan daya dukung hijauan di Sub DAS Konto Hulu dengan sistem tertutup (close-system) membe-rikan hasil seperti dalam Tabel 2.8 (Widodo, 1988). Produksi hijauan pakan ternak berfluktuasi sesuai dengan kondisi musim dalam setahun, dan jumlah produksi hijauan di lahan usahatani berhubungan erat dengan sistem pertanian dan pola tanam yang dilakukan petani. Praktek pemberian makanan kepada ternak sapi perah masih beragam di antara para peternak, biasanya jumlah hijauan pakan yang diberikan dihitung dengan satuan pikul atau keranjang atau ikat yang beratnya sangat beragam. Biasanya pakan hijauan diberikan tiga kali dalam sehari, yaitu pagi, siang, dan sore. Akan tetapi ada pula yang memberikan pakan hijauan ini secara terus menerus sepanjang hari. Pakan konsentrat biasanya dibe rikan dua kali, yaitu pagi dan sore hari. Tabel 2.8. Perkiraan Daya Dukung Sub DAS Konto Hulu Berdasarkan Produksi Hijauan Pakan. Jenis Daya Dukung Lahan Usahatani Luar Lahan Usahatani: 2.1. Tanpa hutan 2.2. Dengan hutan Daya dukung Aktual
Hasil hijauan (ton/tahun) 71 778.09 7 123.00 128 329.00 78 901.09
Kesetaraan (ST) 4 916 488 8 790 5 404
24
Daya dukung Potensial 200 107.38 Sumber: Widodo, 1988
13 706
Biaya-biaya produksi tersebut lazimnya dikelompokkan menjadi 10 kelompok, yaitu (i) biaya penyusutan ternak, (ii) biaya penyusutan kandang, (iii) biaya penyusutan peralatan, (iv) biaya makanan ternak (v) biaya tenaga kerja, (vi) biaya pelayanan perkawinan, (vii) biaya perawatan dan pengobatan, (viii) biaya angkutan hasil, (ix) biaya angsuran kredit, dan (x) biaya lain-lain . Biasanya perhitungan biaya produksi tersebut didasarkan pada satu masa calving interval. Perhitungan biaya tenaga kerja hanya dilakukan terhadap tenagakerja luar kelu arga. Tenagakerja ini digunakan untuk aktivitas membersihkan kandang, pemerahan, memberi makanan sapi, memandikan sapi, dan perawatan sapi sehari-hari. Satuan-satuan usahatani sapi perah tersebut di atas ialah keluarga-keluarga petani-peternak. Umumnya mereka mengupah tenagakerja tetap yang berasal dari luar keluarga untuk merawat sapi sehari-hari. Beberapa hal penting yang dapat dikemukakan tentang usahaternak sapi perah adalah : 1. Harga bibit sapi perah antara Rp 650 000 - 800 000 2. Umur produktif sekitar 56 bulan dengan 4.2 kali laktasi 3. Produksi susu 2 750 liter tiap masa laktasi 275 hari. 4. Nilai daging pada akhir umur produktif Rp 300 000. 5. Interest rate diperhitungkan sebesar 10.5% 6. Hijauan pakan 40 kg/ST/hari, dengan harga rataan setiap satu kilogram Rp 10 pada musim kemarau dan Rp 8 pada musim hujan . 7. Selama masa laktasi dan 25 hari sebelum beranak diberi makanan penguat sebanyak 5 kg/ST/hari, rataan harganya setiap kilogram sekitar Rp 90 hingga Rp 100. 8. Semua anakan jantan dan sepertiga anakan betina untuk penggemukan dengan nilai masing-masing Rp 50 000; sedangkan duapertiga anakan betina untuk breeding dengan nilai satuan Rp 150 000. Rataan nilai anakan sapi minus resiko 20%, sekitar Rp 66 700 9. Rataan nilai rabuk kandang sekitar Rp 120 setiap hari 10. Biaya tenagakerja diperkirakan setiap hari sebesar Rp 350 - Rp 450 atau setara dengan 0.5 HOK/ST. 11. Harga susu segar di tingkat koperasi Rp 350/liter. Tabel 2.9. Rekapitulasi Rataan Masukan-Keluaran Usahatani Ternak Sapi Perah pada Tingkat Peternak dan BPP Pujon Uraian Kegiatan Bibit Hijauan pakan Pakan konsentrat Tenagakerja Biaya lain-lain
Nilai Rataan per tahun: Peternak BPP ......(rp/ ST)...... 150 000 150 000 129 600 151 750 150 000 195 600 200 000 250 000 75 000 140 000
25
Total biaya 704 600 887 350 Hasil susu segar 962 500 1 347 500 Hasil anakan; rata66 700 67 500 rata per tahun Hasil rabuk kandang 43 200 57 400 Hasil daging akhir 75 000 75 000 Total penerimaan 1 147 400 1 547 400 Pendapatan 442 800 660 050 B/C-rasio rataan 1.63 1.74 Keterangan: Diolah dari hasil survei yang dilakukan oleh KOPSAE Pujon tahun. 2.3.2. Produktivitas Ekosistem Lahan Pertanian Produktivitas merupakan ukuran utama dari tingkat kleruskaan sumberdaya lahan, terutama kalau fenomena kerusakan ini masih tersembunyi. Oleh karena itu berbagai usaha dan upaya dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan tingkat produktivitas lahan yang layak dan lestari. Sebagai salah satu perwujudan dari Panca Bhakti Pertanian di Jawa Timur adalah dikeluarkannya berbagai kebijakan dan dilakukan usaha-usaha pengelolaan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. Gambaran mengenai Produktivitas lahan pertanian tanaman pangan disajikan dalam Tabel 2.10. Sedangkan tanaman sayuran dan buah-buahan disajikan dalam Tabel 2.11.
26
Tabel 2.10. Luas Panen, Rataan Produksi dan Produktivitas tanaman pangan tahun 1987 hingga 1992. Komodit i Padi Jagung Ubikayu Ubijalar Kactanah Kedelai Kachijau Sorghum Sumber:
Luas Panen (ha)
Rataan Hasil (kw/ha)
Produksi (ton)
1987 1992 1987 1992 1987 1992 1555800 1641180 50.22 54.13 7812950 8885420 1150100 1305390 21.29 25.57 2448700 3337239 288500 286349 112.00 153.97 3222600 4408866 26900 25892 87.00 112.73 234030 292885 145680 158413 10.57 10.51 153930 166436 416920 448460 10.71 12.60 446610 564979 62930 87821 7.11 8.62 44740 75707 10000 6405 18.73 25.16 18730 16117 Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur
2.3.3. Kualitas Sumberdaya Lahan Secara garis besar, kualitas sumberdaya lahan pertanian ditentukan oleh faktor faktor geomorfologi, togografi, jenis tanah, agroklimat, dan lokasi. Selanjutnya kualitas ini akan menentukan kapabilitasnya untuk memproduksi tanaman dan potensinya untuk menjadi kritis oleh faktor-faktor alam dan pengelolaan. Sekitar dua-pertiga wilayah Jawa Timur merupakan daerah pegunungan dan bukit, dan sisanya merupakan dataran rendah dan lembah-lembah sungai. Gambaran mengenai keadaan topografi dan kemiringan lahan disajikan dalam Tabel 2.12 dan 2.13. Tabel 2.11. Luas Panen, Rataan Produksi dan Produktivitas tanaman Sayuran dan Buahbuahan tahun 1987 dan 1992. N o.
Komoditi
Sayuran 1. Bw.putih 2. Kentang 3. Kubis 4. Bw.merah 5. Lombok
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
1987
1992
1987
1200 5107 4948 15359 40420
4280 9034 10648 16895 34898
5977 33367 55842 74890 121719
1992 26785 120794 143747 153802 59690
Rataan produksi (kw/ha) 1987 49.77 65.34 112.86 48.76 30.11
Buah-buahan (Pohon): 1. 2.
Apel Jeruk
5582187 3563533
4478975 4436922
99075 73412
69375 122847
0.18 0.21
1992
27
3. 4. 5. 6.
Mangg a Pisang
4273665
8507301
268083
620805
0.63
11946247 2 54739371 4238674
39379520
1641609
507199
0.14
Nanas 83963217 35786 100361 Rambut 820867 66471 60508 an 7 Salak 3306296 1591349 30896 20218 8 Lainny 61717741 20063671 963473 1120409 a Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Timur
0.01 0.16 0.09 0.16
Tabel 2.12 . Persentase ketinggian tempat di Jawa Timur No.
Tinggi Tempat; m dpl
Luas:
% km2 1. 0-500 41213.333 86 2. 500-1000 41313.023 9 3. > 1000 2396 5 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur
Tabel 2.13. Penyebaran tingkat kemiringan lahan Jawa Timur Kemiringan lahan, %
Luas: % 2 km > 60%; daerah bergunung 9105.27 19 30-60%; daerah berbukit 9584.50 20 < 30%; Daerah landai 29232.71 61 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur Jenis tanah di Jawa Timur sebagian besar adalah Mediteran, Aluvial, Regosol, osol, Grumusol, dan Andosol. Rincian luas masing-masing jenis tanah disajikan dalam Tabel 2.14.
28
Tabel 2.14. Penyebaran jenis tanah di Jawa Timur Jenis Tanah
Luas: %
km2
Mediteran 13993.36 Andosol 3488.76 Grumusol 4907.26 Latosol 5774.66 Aluvial 10039.76 Regosol 9718.68 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Dati I Jawa Timur
29.20 7.28 10.24 12.05 20.95 20.28
Hasil pemantauan terhadap lahan kritis pada areal pertranian tanaman pangan menunjukkan bahwa di Jawa Timur terdapat lahan kritis yang masih cukup luas dan perlu penanganan yang lebih seksama. Rincian luas lahan kritis disajikan dalam Tabel 2.15.
Tabel 2.15. Luas lahan kritis pada areal pertanian tanaman pangan Kemiringa n lahan 3-15% 15-30% > 30% Jumlah
Potensial kritis 426270 90279 23721 540270
Semi kritis 109126 100297 87244 296667
Kritis 77087 205043 282130
Sumber:Diperta Propinsi Dati I Jawa Timur
2.4. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN Pembangunan daerah dan masyarakat pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya pembangunan secara nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi dalam pembangunan daerah adalah "pembangunan daerah untuk pemberdayaan masyarakat". Untuk itu misi yang harus dijalankan adalah dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah yang dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia baik yanq berasal dari pelayanan pemerintah, kapasitas sosial-ekonorni masyarakat, serta sumberdaya lain yang ada di daerah.
29
Pembangunan daerah merupakan upaya terpadu yang menggabungkan dimensi kebijakan pengembangan masyarakat, perwujudan pemerintahan yang baik, integrasi ekonomi antar wilayah, pelayanan lokal, pengelolaan sumberdaya lahan secara lestari, serta penanganan secara khusus daerah-daerah yang mempunyai masalah sosial, ekonomi dan politik yang serius. 2.4.1. Permasalahan Pengelolaan Lahan Di seluruh wilayah Jawa Timur, diperkirakan terdapat puluhan-ribu hektar lahan kritis dan potensial kritis di luar kawasan hutan, hampir seluruhnya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering secara subsistensi oleh masyarakat pemiliknya. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya penerapan dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering-kritis, adalah (i) Secara teknis dapat dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat (site specific), (ii) Secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan (ecological economic), (iii) Secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi dan partisipasi petani (social participation), (iv) Ramah dan aman lingkungan (sustainable), (v) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (economic linkages). Sumberdaya lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektorsektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang se- suai dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) . Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemerosotan kualitas sumberdaya lahan. Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya
30
sosial tersebut bisa bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di berbagai fasilitas perairan. Atas dasar problematik seperti di atas, maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitianpenelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan kritis biasanya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasan akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya. Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahanbahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu: (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi,
31
(v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam. Kondisi sumberdaya lahan kritis yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman. Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memperhitungkan kemungkinankemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya komponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifikasi adalah ternak. Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak. Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi
32
yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengairan, perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan berbagai petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi, Pembinaan wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponenkomponen teknologi ini dikemas dalam suatu program pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat. 2.4.2. Problematik Teknologi Konservasi Tanah dan Air Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di lahan kritis adalah (I) Kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii) Rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) Masih terbatasnya keberdayaan petani untuk usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan income dan kebutuhan keluarga yang senantiasa terus mendesak, dan (iv) Keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis agroforestry. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria (I) Terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan luasan penggunaan lahan > 75% sebagai lahan kering; (ii) Sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; (iii) Kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum kurang dari 50 cm, untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan (iv) Respon masyarakat pedesaan cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi tanah yang dicobakan dapat berupa teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman tanaman penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan penanaman berjalur (strip cropping). 2.4.3. Resume Permasalahan LAHAN KRITIS dan Pemecahannya A. Permasalahan 1. Rendahnya peran serta masyarakat disebabkan oleh kurang terpenuhinya
33
kebutuhan jangka pendek dari hasil kegiatan penghijauan, terbukti bangunan konservasi (SPA, drop structure) dan tanaman tahunan kurang begitu mendapat perhatian dalam pemeliharaannya. 2. UP-UPSA sebagai wahana dan sarana penyuluhan usahatani konservasi dan teknologi konservasi lainnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan transfer informasi kepada masyarakat sasaran . 3. Peran serta Penyuluh Lapangan kurang efektif dalam membangkitkan motivasi dan mengubah perilaku masyarakaf, karena para Penyuluh lebih banyak berperan dalam meningkatkan ketrampilan teknis dan pendekatan yang digunakan masih bertumpu pada “broadcasting systems”. 4. Keterbatasan pengetahuan kelompok tani dalam menuangkan kegiatan administrasi proyek yang agak rumit, sehingga menimbulkan berbagai kendala administrasi pelaporan kegiatan. 5. Keterbatasan kemampuan masyarakat untuk meme lihara / mengamankan hasilhasil kegiatan penghijauan kerena keterbetasan modal dan ketersediaan tenaga kerja. 6. Sistem pendanaan kegiatan penghijauan merupakan bansus Pusat ke Tingkat II sehingga pelaksanaan di lapangan sering terlambat sebagai akibat dari persyaratan birokrasi yang beraneka ragam B. Upaya pemecahan masalah 1. Meningkatkan peranan UP-UPSA sebagai “Kebun Teknologi dan Sekolah Lapangan Penghijauan” serta diikuti dengan peningkatan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga UP-UPSA betul-betul menjadi sarana yang dibutuhkan masyarakat untuk memberdayakan dirinya. 2. Materi penyuluhan harus bergam sesuai dengan kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, baik aspek ketrampilan maupun afektif dan dilaksanakan dengna mengadopsi pendekatan “receiving system groups”. 3. Pemilihan jenis tanaman dan teknologi pengusahaannya hendaknya mengacu pada kesesuaian agroklimat, bernilai ekonomis tinggi, cepat menghasilkan, disukai oleh masyarakat, serta mempunyai keterkaitan yang luas dengan aktivitas produktif lainnya di masyarakat. 4. Khusus dalam kaitannya dengan komoditi ekonomis berjangka panjang (seperti pohon buah-buahan dan kayu-kayuan, ternak sapi kereman) harus diadopsi pendekatan Kawasan Agribisnis Milik Masyarakat Penghijauan (KAMP), yang berdasar kepada kaidah-kaidah ecological-economic. 2.4.4. Permasalahan pada Tingkat Lahan Pekarangan “Pekarangan” di daerah lahan kritis Kabupaten Ponorogo dapat didefinisikan sebagai "sebidang lahan dengan batas-batas tertentu, yang ada bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional secara ekonomi, biofisik dan sosial-budaya dengan pemiliknya". Pengertian ini mengisyaratkan betapa penting fungsi dan peranan “lahan pekarangan” bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
34
Luas lahan pekarangan di daerah kritis ini diperkirakan mencapai sekitar 20-30% dari luas lahan pertanian yang ada, dan merupakan sumber pendapatan rumahtangga yang sangat penting Ciri-ciri pekarangan di daerah lahan kritis ini sama halnya dengan ciri lahan kering kritis di daerah lainnya, yaitu keadaan fisiografis lahan yang beragam mulai dari kelerengannya, struktur tanah, kedalaman solum, kesuburan tanah, neraca lengas tanah, serta cara-cara pengelolaan petani yang seadanya, sedikit penggunaan input produksi komersial dan dicirikan oleh adanya tatanan “multistrata systems”, strata pertama pohon kayu-kayuan/buah-buahan, strata ke dua tanaman pangan semusim, dan strata ke tiga biasanya berupa cover-crops/rumput pakan ternak. Dalam sistem campuran seperti ini biasanya produktivitas tanaman pangan (ubi kayu, jagung, kacang- kacangan dan sayuran) dan tanaman tahunan (kelapa, pete, melinjo, buah-buahan) yang dihasilkan dikategorikan rendah. Namun demikian, hal yang diutamakan adalah kesinambungan hasil produksi sepanjang tahun. Gambaran kondisi “Pekarangan” di wilayah lahan kritis Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, adalah Desa Pagerukir, Keca-matan Sampung, Kabupaten Ponorogo yang mempunyai ciri-ciri ekologis sebagai berikut : Tinggi tempat desa ini antara 550 - 600 m di atas permukaan laut, fisiografi bergelombang hingga berbukit dengan kerelengan 20-35%. Suhu udara rata-rata adalah antara 260C, dan suhu maksimum antara 330C serta suhu minimum sekitar 210C. Lama penyinaran matahari diperkirakan antara 40-60% di musim penghujan sampai 70-85% di musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim penghujan intensitas cahaya bisa berkurang dibanding musim kemarau karena matahari sering tertutup awan. Rata-rata hujan tahunan menunjukkan kisaran antara 1.400 mm sampai 2.100 mm dengan rata-rata bulan basah (lebih 100 mm/bulan) selama 5-6 bulan/tahun. Musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Nopember sampai dengan April. Pada periode ini jumlah hujan mencapai 80% dari total hujan tahunan yang jatuh di daerah ini sehingga limpasan hujan yang cukup deras merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat di daerah ini. Tata ruang pekarangan umumnya bernuansa tradisional, ditandai rumah yang menjadi satu dengan kandang ternak (kalau punya ternak), tempat pembuangan limbah ternak berdekatan dengan sumur atau rumah, tidak terdapatnya parit atau saluran pembuang air, sampah-sampah yang tidak terkumpul, sistem tanam yang rapat & seolah-olah tidak teratur, menganut pola agroforestry. Lebih lanjut ditemukan bahwa jenis tanaman yang dibudidayakan petani di lahan pekarangan sangat beragam dengan hasil yang relatif rendah namun berkesinambungan hampir sepanjang tahun. Tanaman tahunan ekonomis seperti pete, kelapa, mangga, rambutan, pisang, nangka, alpokad, pepaya, melinjo. Jenis lain berupa pohon kayu-kayuan Jati, Sengon, Akasia, Sono, Kaliandra, Gliricidae, Turi (Sesbania), Kasuarina, mahoni, lamtoro gung, dan lainnya. Sedangkan tanaman pangan dan sayuran yang diusahakan adalah jagung, ubi kayu, kedele, kacang tanah, koro-koroan, kacang-kacangan dan rerumputan pakan ternak seperti rumput gajah, rumput setaria, kolomento dan wuluhan. Berbagai jenis ternak juga diupayakan seperti sapi, kambing dan ayam buras, dalam jumlah yang relatif kecil. Sebagian penduduk memelihara sapi kereman bukan milik sendiri tetapi memeliharakan ternaknya orang lain dengan sistem "gaduhan" yaitu pembagian keuntungan yang antara pemilik dan pemelihara ternak.
35
Dari segi pendidikan dan ketrampilan maupun pengetahuan masih bersifat tradisional, hal ini ditandai bahwa kebanyakan petani-petani tersebut berpendidikan SD atau bahkan hanya sampai kelas III saja. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang budidaya tanaman maupun pengolahan tanah masih tradisional, mengingat tanaman yang dibudidayakan tidak menunjukkan pertumbuhan maupun hasil yang baik. Dalam hal pengolahan lahannya petani sudah tampak mulai berupaya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah untuk mengen dalikan proses erosi dan limpasan permukaan. Kursuskursus ketrampilan usahatani konservasi pernah diikuti (penyuluhan dari PPL/PLP), namun untuk menerapkannya secara penuh masih terkendala oleh “terbatasnya” insentif ekonomi yang dapat diperolehnya. Sistem pengelolaan lahan pekarangan sudah mulai memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air terutama untuk tanh-tanah miring (sistem gulud, teras, rorakrorak, saluran pembuangan air maupun saluran diversi). Namun praktek-praktek ini masih perlu penanganan lebih intensif, terarah dan berkesinambungan. Di satu sisi pada musim kemarau air kurang tersedia, pada musim penghujan air berlebihan dan membawa akibat negatif seperti runoff, erosi maupun tanah longsor. Pada lahan pekarangan yang mempunyai kelerengan 30% dengan kedalaman solum lebih 50 cm dapat digunakan untuk kombinasi tanaman tahunan dan semusim yang ditanam secara kontur dan menggunakan teras gulud atau teras bangku. Jenis-jenis tanaman yang mampu bertahan dan dapat berproduksi dengan kondisi agroklimat yang ada adalah tanaman kelapa, mangga, nangka, alpokad, mlinjo, mente, petai, pisang dan tanaman hutan seperti jati, mahoni, albizia, gliricidae, flemingia dan akasia; dan tanaman lain yang tahan adalah ubikayu, kacang tunggak, jagung, dan aneka sayuran. Sehingga pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan kondisi lahan petani diharapkan dapat membantu penyediaan pangan, gizi dan peningkatan pendapatan walaupun di wilayah tersebut sedang dalam keadaan kemarau. Ciri-ciri pekarangan di daerah yang lebih datar, seperti Desa Totokan, Kecamatan Mlarak, Ponorogo, adalah keadaan fisiografis lahan yang berupa dataran berombak hingga bergelombang dengan meiringan lahan 8-15%. Cara pemanfaatan lahan adalah dengan sistem campuran (mixed cropping), ciri yang menonjol adalah campuran antara mangga (sebagai tanaman pokok), jagung sebagai tanaman sela, dan jati sebagai tanaman pagar pembatas pemilikan lahan. Dengan keadaan tersebut perlu diupayakan cara-cara pemanfaatan yang lebih intensif dengan pengembangan sistem surjan maupun penganekaragaman budidaya di wilayah tersebut seperti penggunaan berbagai jenis kultivar secara tumpangsari / tumpang sisip di bagian surjan (bidang olah di atas) dan mina padi di tabukan (bidang olah di bawah) dan dikombinasikan dengan pola tanam yang tepat. Ciri-ciri yang mempunyai kesamaan antara pemilik lahan di wilayah Jawa Timur di selatan tengah dan utara adalah kebanyakan penempatan rumah induk yang menjadi satu kandang ternak (sapi/kambing), kamar mandi, cuci dan kakus yang kurang baik (biasanya menggunakan sungai sebagai MCK) dan kalau malam sering membakar jerami/campuran kotoran ternak untuk mengusir nyamuk. Dengan kondisi tersebut jelas kurang baik bagi kesehatan keluarga mereka, sehingga tidak sedikit yang menderita sakit sesak nafas. Melihat perkembangan wilayah maupun penduduk yang relatif lambat serta rendahnya kemampuan penduduk dalam memanfaatkan pekarangan maupun lahan mereka, dapat ditandai bahwa rendahnya modal yang ada di wilayah tersebut juga menyebabkan
36
lambatnya pembangunan di desa tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas permasalahan crucial dalam pemanfaatan lahan pekarangan yang kurang menunjang kehidupan petani pemiliknya adalah : (1). Masalah defisit lengas tanah pada musim kemarau sehingga kegiatan budidaya di lahan mereka terhenti dan tenaga kerja produktif (lakilaki/perempuan) menganggur atau mencari pekerjaan ke luar sistem. (2). Masalah kelebihan air selama musim penghujan, sehingga limpasan air menyebabkan erosi terutama untuk lahan-lahan pekarangan yang miring dan tanahnya sangat erodible. (3). Masalah cara pemanfaatan lahan pekarangan pada saat tersedia air (air hujan) kurang efisien, efektif dan bermanfaat untuk menunjang pangan, gizi dan peningkatan pendapatan pemiliknya. Hal ini terpaksa terjadi karena keterbatasan modal dan sumberdaya untuk menerapkan pengelolaan usaha yang lebih intensif. (4). Masalah sanitasi lingkungan kurang sehat yang berkaitan dengan tata ruang bangunan induk dan bangunan penunjang lainnya untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan di lahan pekarangan. (5). Masalah sosial (persepsi, sikap dan perilaku) terutama yang menyangkut kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan, kesehatan, pengetahuan & ketrampilan, budaya dan tradisi yang masih dapat dioptimalkan. (6). Keterbatasan modal, dan lemahnya posisi tawar dalam mekanisme pemasaran produk, sehingga potensi pekarangan belum dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya. (7). Masalah kelembagaan dan peranannya dalam peningkatan pendapatan penduduk, peningkatan modal investasi eksternal di lahan kritis, produktivitas lahan dan keberlanjutan usaha produksi berbasis sumberdaya lahan. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka arah pemberdayaan /pemanfaatan ditekankan pada penyajian informasi dasar tentang kondisi agroekologis, tata ruang pekarangan, proses produksi pertanian dan pertanian di pekarangan, perilaku sosial ekonomi petani, status pangan dan gizi keluarga, pekarangan dan kemampuan daya serapnya terhadap tenaga kerja serta perilaku petani dalam melestarikan sumberdaya alam dan lingkungannya. Ini semua dapat tercakup dalam SISTEM INFORMASI PEKARANGAN . Berdasarkan sajian informasi tersebut diharapkan dapat disusun rancanganrancangan tata ruang, jasa produksi, teknologi pascapanen serta alternatif penanganannya di bidang permodalan, pengelolaan dan kelembagaan yang menunjang proses pemberdayaan ekonomi masyarakat lahan kritis. 2.4.5.Permasalahan pada tingkat Rumah Tangga Petani Lahan Kritis (RTPLK) A. Deskripsi RTPLK Gambaran mengenai RTPLK di wilayah lahan kritis Jawa Timur adalah sebagai berikut.
37
(1). RTPLK mempunyai keragaman kondisi individu dan lingkungan yang sangat besar; baik ragam kondisi dan lokasi tempat tinggalnya, ragam pekerjaannya, ragam tingkat kemiskinannya, faktor-faktor penyebab kemiskinannya; maupun ragam keinginan untuk berupaya mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk mengidentifikasi dan menemukenali RTPLK miskin di pedesaan. (2). Umur dan pendidikan KRTPLK. Sebagian besar (> 90 persen) KRTPLK menamatkan sekolah dasar, hal ini berarti mereka bekerja adalah pekerja yang tidak mempunyai keakhlian (unskilled-labourers); dan yang tidak pernah sekolah ada sekitar 30-35 persen dari seluruh KRTPLK. Hampir 40 persen dari KRTPLK telah berumur lebih dari 50 tahun, dalam umur manula ini barangkali sangat sedikit diharapkan kapasitas tenagakerjanya untuk dapat bekerja dengan lebih baik untuk meningkatkan pendapatannya. (3). Lapangan Usaha dan Status Pekerjaan KRTPLK: a. Sebagian besar (80 - 90 persen) dari status usaha dari KRTPLK adalah sektor agrokompleks. b. Sejumlah 10-15 persen KRTPLK tidak bekerja atau sebagai buruh tani musiman. Kemungkinan pen-dapatan yang mereka butuhkan berasal dari anggota keluarga lain yang bekerja. Dalam situasi demikian akan sulit bagi Pemerintah untuk membantu KRTPLK untuk menambah pendapatannya; atau sasarannya bukan KRTPLK tetapi anggota keluarganya. (4). Indikator yang cukup obyektif untuk dapat digunakan menemukan RTPLK miskin secara visual adalah kondisi fisik rumah tempat tinggalnya. Empat parameter utama yang dapat digunakan secara hierarkhis adalah jenis lantai rumah dan luasnya, jenis lampu penerangan di dalam rumah, dan jenis dinding; sedangkan parameter penunjang yang dapat digunakan adalah luas pekarangan dan sumber air minum untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. a. RTPLK miskin di pedesaan umumnya dicirikan oleh rumah tempat tinggal yang lantainya berupa tanah dengan luasan 40-50 m2, lampu penerangan di dalam rumahnya adalah "sentir", dan dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu (gedek). b. Indikator penunjangnya adalah sumber air minum dari mata air atau sungai, dan luas pekarangannya 500 - 1000 m2 di sekeliling rumah. Informasi mengenai parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari catatan di kantor desa, pamong desa (Kadus, ketua RW atau ketua RT), key informans karang taruna, atau dengan observasi langsung di lapangan. B. Model-model Pemberdayaan RTPLK a. Model Kegiatan Agribisnis: KAWASAN INDUSTRI MASYARAKAT AGRIBISNIS (KIMAG) Model bantuan ini lebih bersifat konsumtif bagi tenaga kerja buruh, namun sekaligus juga untuk mendorong munculnya wirausaha-wirausaha kecil di pedesaan. Model ini sifatnya kemitraan antara tenaga buruh di pedesaan dengan pedagang/pengusaha agribisnis kecil di pedesaan. Tenaga Buruh mendapat kesempatan untuk bekerja dengan
38
upah harian yang memadai untuk menggarap lahan-lahan yang tidak mampu digarap secara produktif, sedangkan pedagang / pengusaha mendapat bahan dagangan dari hasil usaha tersebut. Koperasi Agribisnis Komoditi Unggulan membina para anggotanya untuk membentuk kelompok usaha bersama agroindustri (terutama pengolahan hasil-hasil pertanian) dengan memanfaatkan kredit murah bagi para anggota koperasi (KKPA). Dalam pembinaan manajemen dan inovasi teknologi, KOPAGI menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga/instansi terkait seperti BLKI, LITBANG, Perguruan Tinggi, Dinas/instansi teknis melaksanakan DIKLAT bagi anggota. Dalam hal pemasaran Koperasi menjalin kerjasama dengan para pedagang, dan pusat-pusat pertokoan seperti WASERDA, SUPERMARKET, Kios-kios, dan lainnya. b. Model Kelompok perguliran bantuan ternak Beberapa macam model perguliran bantuan dan sistem bagi hasil ternak telah dikenal di wilayah pedesaan, terutama yang menyangkut ternak sapi potong atau sapi kereman, dan KAMBING/ domba ekor gemuk. Penyimpangan biasanya terjadi karena lemahnya fenomena pendampingan kepada para pemelihara ternak. Pemberian bantuan bibit ternak diberikan kepada POKTANI yang dibentuk oleh para anggotanya sendiri dan dipimpin oleh seorang di antara mereka. Perguliran bibit ternak dapat diatur di antara anggota kelompok atau antar kelompok. Bibit kambing atau domba dapat diberikan secara individu kepada RTPLK yang diperkirakan akan meng-hadapi resiko terlalu besar kalau diberi bantuan bibit sapi. c. Model Bantuan Hibah Bersaing. Model bantuan hibah ini lebih bersifat konsumtif atau untuk investasi sumberdaya manusia yang dampaknya berjangka panjang (pendidikan atau kesehatan). Pemberian bantuan hibah harus benar-benar bersaing, artinya harus sampai kepada kelompok RTPLK yang paling membutuhkan yang ada di desa dan benar-benar paling memerlukan. Pemilihan kelompok sasaran dilakukan dengan pendekatan partisipasi, melibatkan karang taruna atau kelompok dasa-wisma setempat. Salah satu faktor dominan yang pada kenyataannya sangat menentukan efektivitas program pemberdayaan masya rakat di lahan kritis ialah ketepatan kelompok sasaran. Siapa RTPLK yang paling tepat untuk macam bantuan tertentu itu sebenarnya?. RTPLK di wilayah pedesaan mempunyai ragam kondisi yang cukup besar, baik ragam kondisi dan lokasi tempat tinggalnya, ragam pekerjaannya, ragam tingkat kemiskinannya, faktor-faktor penyebab kemiskinannya, serta keingainan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mendapatlam income. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk menemu-kenali RTPLK di pedesaan, yaitu: 1. Identifikasi RTPLK Indikator visual yang cukup obyektif untuk dapat digunakan menemukan rumah tangga miskin adalah kondisi fisik rumah tempat tinggalnya. Empat parameter utama yang dapat digunakan secara hierarkhis adalah jenis lantai dan luasnya, jenis lampu penerangan di dalam rumah, dan jenis dinding; sedangkan parameter penunjang yang dapat digunakan adalah luas pekarangan dan sumber air minum untuk memenuhi
39
kebutuha keluarga sehari-hari. RTPLK miskin di pedesaan umumnya dicirikan oleh rumah tempat tinggal yang lantainya berupa tanah dipadatkan seluas 40-50 m2, lampu penerangan di dalam rumahnya adalah "sentir", dan dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu (gedek). Indikator penunjangnya adalah sumber air minum dari mata air atau sungai, dan luas pekarangannya 1000-1500 m2 di sekeliling rumah. Informasi mengenai parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari catatan di kantor desa, pamong desa (Kadus, ketua RW atau ketua RT), key informans karang taruna, atau dengan observasi langsung di lapangan. 2.
Deskripsi RTPLK Miskin Profil RTPLK harus mampu mengungkapkan dua hal pokok, yaitu (1) kualitas umum, dan (2) aktivitas produktif yang dilakukan oleh kepala keluarga (kalau memungkinkan juga anggota keluarga lainnya). Aspek kualitas umum terdiri atas beberapa karakteristik yang dapat diukur secara kuantitatif atau kualitatif. Beberapa karakteristik penting adalah pengeluaran rumah tangga dan alokasi penggunaannya, pemilikan aset kekayaan dan faktor produksi lahan pertanian, jumlah anggota rumahtangga, serta beberapa parameter pokok kondisi fisik rumah tempat tinggal. Aspek aktivitas produktif, khusus ditujukan kepada kepala keluarga, terdiri atas penggunaan waktu untuk bekerja, jenis dan status pekerjaan utama, lapangan usaha, bantuan yang diinginkan sesuai dengan pekerjaan dan usaha yang ditekuni, serta waktu untuk mendapatkan informasi dari luar (media massa cetak dan elektronik).
3.
Stratifikasi RTPLK Miskin Keunikan dan keragaman masalah yang dihadapi oleh orang miskin menuntut adanya klasifikasi yang jelas dalam rangka untuk mengefektifkan upaya-upaya pengentasannya. Stra-tifikasi rumah tangga di pedesaan dapat dilakukan berdasarkan lapangan pekerjaan atau lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumahtangganya, serta jenis dan status pekerjaan utamanya.
BAHAN BACAAN Adi, A. 1990. Pengaruh berbagai teknik konservasi tanah terhadap erosi, aliran permukaan dan hasil tanaman pangan pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran. Pembahasan Hasil-hasil dan Perencanaan Penelitian. P3HTA - Badan Litbang Pertanian, 11-13 Januari 1990, PuncakBogor. Adjid, Dudung A.1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Shakti Bandung. Amin Asiz, M. 1990. Agroindustri : Pilihan Industrialisasi Pedesaan. Seminar Nasional Pedesaaan Universitas Brawijaya, Malang 12-25 Maret 1990. Amin Azis, M. 1991. Interaksi Sektor Pertanian dan Sektor Industri dalam Proses Industrialisasi. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta 3-7 September 1991. Pusat Analisa Perkembangan IPTEK-LIPI, Jakarta.
40
Anonimous, 1984. Pertanian Tangguh Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian R.I. Vol. 6. No. 4 hal. 1-2. Anonimous. 1987. "Pemanfaatan Lahan Kering Secara Optimal Dalam Pembangunan Pertanian di Jawa Timur". Hasil Rumusan Pertemuan Teknis Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) SeJawa Timur, di Batu-Malang, Tgl 11 s/d 14 September 1988. BP 7 Pusat, 1992. Undang-Undang Dasar. Pedoman dan Pengalaman Pancasila, Garis-Garis Besar Haluan Negara, BP-7 Pusat Jakarta. BP7 Pusat. 1994. Garis-garis Besar Haluan Negara. Bahan Penataran P4. BP7 Pusat Jakarta Brady, N.C. 1990. Making Agriculture a Sustainable Industry. Dalam Edward, A.A.,R. Lal, P. Madden, R.H. Miller dan G. House. 1990. Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa. BRLKT, Wilayah IV. 1986. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai Brantas (Buku Utama). Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) jawa Timur. Cheema, G.S. 1981. Institutional Dimensions of Development. Maruzen Asia, United Nations Centre for Regional Development, Nagoya, Japan. Dent,J.B. dan J.R. Anderson. 1971. System Analysis in Agricultural Management. John Wiley and Sons, Australia PTY, Sydney. Dijkerman, J.C. 1979. Agricultural Evaluation of Soils.MSc. Course Soil Science and Water Management, Agricultural University Wageningen, The Netherlands. Downey, W.D. dan Steven. P. Erickson, 1989. Manajemen Agribisnis (Agribusiness Management) Alih Bahasa Rochijat Ganda S. dan Alfonsus Sirait. Penerbit Erlangga. Edmundson, W. C. 1983. "A Decade of Village Development in East Java", Bulletin of Indonesia Economic Studies 19 (2):40-62. Edward, A.A.,R. Lal, P. Madden, R.H. Miller dan G. House. 1990. Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa. Ellis, F. 1988. Peasant Economics: Farm Household and Agrarian Development. Cambridge University Press, Cambridge. Eriyatno. 1983. Penerapan Analisis Sistem pada Industri Basis Pertanian. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Penerapan Analisis Sistem di Bidang Pertanian. 22 Maret 1983, Ciawi, Bogor. FAO. 1989. Sustainable agricultural production: Implications for International Agricultural research. Research and Technology Paper 4. Rome France, J. dan J.H.M. Thornley. 1984. Mathematical Models in Agriculture. A Quantitative Approach to Problems in Agriculture and Related Sciences. Butterworths & Co.
41
(Publishers) Ltd., London Fu-Chen Lo. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. The United Nations Centre for Regional Development. Maruzen Asia Pte. Ltd. Singapore. Geertz, Clifford. 1976. "Involosi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Diterjemahkan oleh S. Supomo, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planning. Hutchinson, London. Hamer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 10, CSR, Bogor. Hamer, W.I. 1982. Final Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 26. CSR, Bogor. Harwood, R.R. 1990. A History of Sustainable Agriculture. Dalam Edward, A.A.,R. Lal, P. Madden, R.H. Miller dan G. House. 1990. Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa. Hernandez, R.P. 1986. Land Inventory and Traditional Agro-technology Information as basis for the Mapping of Land Management Units in Central Mexico. Soil Sci. Laboratory, Dept. of Agric. Sci., Univ. of Oxford, U.K. Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company, Lexington. Isard, W. 1975. Introduction to regional science. prentice-hall, inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Manwan, I. 1991. Farming Systems Research in Indonesia: Its Evolution and Future Outlook. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991. Mellor, John W. 1986. The Economic of Agrucultural Development. Cornell niversity Press, Ithaca, New York, USA. Mosher, AT. 1965. Menggerakkan dan Membangun Pertanian di sadur oleh S. Krisnandi dan Bahrin Samad. CV. Yasaguna Jakarta. Mosher AT. 1969. Creating A Progressive Rural Structure. A/D/C. New York. Mubyarto, 1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Sinar Harapan, Jakarta. Mubyarto. 1987. Peluang Bekerja dan Berusaha di Pedesaan Indonesia, BPFE, Yogyakarta. P3HTA. 1987. Penelitian Terapan Lahan Kering dan Konservasi: Sari Penelitian 1985-1986. Balitbang Pertanian, Salatiga. Pearce, A.J. dan L.S. Hamilton. 1986. Water and Soil Conservation Guidelines for Land-Use Planning. Report of a Seminar-Workshop on Watershed Land-Use Planning 5-16 May
42
PLKK. 1988. Pertanian Lahan Kering dan Konservasi. Laporan Tahunan 1986/1987. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Departemen Pertanian, Balitbang Pertanian, Jakarta. PPLK. 1992. Buku Pedoman Operasional . Petunjuk Teknis Proyek Pertanian Lahan Kering, Jawa Timur. PPLK Jatim, Sekretariat Badan Pengendali Bimas, DEPTAN, Jakarta. Prantilla, E.B. 1981. National development and regional policy. the united nations centre for regional development. Maruzen Asia Pte. Lltd. Singapore. Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bulletin No. 13, Rome, Italy. REPELITA VI-NAS. KEPPRES No 17 Tahun 1994. Transmigrasi Richardson, H.W. 1972. Regional Economics. Location Theory, Urban Structure, and Regional Change. Praeger Publishers, New York. Sayogyo, 1989. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Rangka Industrialisasi (disampaikan pada Simposium IP PSP-IPB Bogor). Sayogyo dan M. Tambunan. 1990. Industrialisasi Pedesaan. Kerjasama antara Pembangunan LP IPB dan ISEI Cabang Jakarta.
Pusat Studi
Soeharjo. 1989. Peranan Agroindustri dalam mem-perbaiki Pendapatan dan Menciptakan Lapangan Kerja di Pedesaan. Simposium Industrialisasi Pedesaan. Bogor 18-19 Desember 1989. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soemarno. 1988. Analisis Simulasi Pengelolaan Lahan Secara Optimal di DAS Konto, Malang, Jawa Timur Thesis, M.S. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soemarno. 1989. Model Perencanaan, Pengelolaan dan Pengendalian Daerah Aliran Sungai. Fakultas Pasca- sarjana, Institut Pertanian Bogor. 52 halaman. Soemarno. 1990. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan Secara Optimal di Sub DAS Konto Malang, Jawa Timur. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soemarno. 1991a. Implementasi Model Tujuan Ganda dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Studi Kasus di Sub DAS Pinjal, Kabupaten Malang. Jurnal Universitas Brawijaya, Vol. 3 No.2, Hal. 41-60. Soemarno. 1991b. Model Perencanaan program pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991. Soemarno. 1991c. Studi Model Alokasi Penggunaan Lahan yang Berwawasan Lingkungan di DAW Selorejo. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V. Jakarta, 3-7 September 1991. Soemarno. 1992. Kajian Strategi pengembangan masyarakat miskin di daerah kritis Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pusat Penelitian Universitas Brawijaya, Malang
43
SP2UK-PPLK Jatim. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya dan Konservasi Lahan Kering. SP2UKPPLK Jawa Timur, Malang. Stocking, M. 1986. Soil Potentials: An Evaluation of a Rating Method in Zimbabwe. Overseas Development Group University of East Anglia Norwich. Sys, C. 1985. Land Evaluation Part I , II, and III. International Training Centre for Post-Graduate Soil Svcientist, State University of Ghent, Ghent. Trojer, H. 1976. Weather Classification and Plant-Weather Relationships. AGL/INS/72/001. Working Paper No. 11, LPT Bogor. Vink, A.P.A. 1975. Landuse in Advancing Agriculture. Springer-Verlag Berlin, Heidelberg, New York. White, B. 1989. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Wood, S.R. dan F. J. Dent. 1983. LECS. Land evaluation computer system, metho-dology. AGOF/INS/78/006. Mannual 5 Version 1. Ministry of Agric. Government of IndonesiaUNDP and FAO. Jakarta.