OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI DAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
DISERTASI
SLAMET SUBARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI DAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR merupakan gagasan dan hasil penelitian disertasi saya sendiri dibawah bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2007
SLAMET SUBARI NRP. A.161024011
ABSTRACT SLAMET SUBARI, Optimizing of Use of Land for Economic Development and Natural Resources Conservation in Coastal Area Sidoarjo Re gency East Java (PARULIAN HUTAGAOL as chairman, WILSON H. LIMBONG and HARIANTO as members of the advisory committee) Sidoarjo regency has an area of 71 424.25 ha. One third of it is coastal area rich in fish production as source of living for 3 257 fish farmers and 3 282 fishermen along the seashore. There are many various activities done by the community, i.e., running intensive shrimp ponds, organic shrimp ponds, salt business, mangrove forest conservation, fuel wood seller and molusca. Meanwhile, government has an interest in managing the land use. Up to now, there is no integrated planning and management as so each businessman has its own criteria and individual goal in doing their business. This Phenomenon resulted in conflict of using the land. The questions are “How can the plan of land use that compromise many various local interest and trigger the development of local economy without destructing natural environment be arranged?”. The research aimed at (1) setting land use allocation that can compromise all local interest, (2) selecting the best alternative strategy of land using implemented in Sidoarjo coastal area, and (3) studying whether the plan of land using can be implemented or not. Data analysis used Goal Programming Model with some constrains, among of them is mangrove forest area estimated by regressing the data on the quality of soil water. Economic valuation of mangrove forest was done by using substitute method. To determine the priority scale, stakeholders preferences were analyzed by Analytical Hierarchy Process (AHP). The results of the research could be concluded that 1. The model of land using allocation in Sidoarjo coastal area covered six decision variables, ten considered commodities and nine resources constrains. 2. The scenario of economy development accommodating externalities and the way of solving was the best alternative of the land using strategy because of covering three development criteria, i.e., econo my, environment and employment criteria. 3. Although there are probably indigenous local income (PAD) increasing Rp 2 327 329 977 but if institution system still like now (existing condition), the optimal land use concept will not be implemented because the system can not attend to effectively and efficiency of mechanism for coordination and negotiation of stakeholders conflict. Key Words: Coastal Area, Conservation, Optimizing, Goal Programming Model.
ABSTRAK SLAMET SUBARI. Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Pengembangan Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Pesisir Sidoarjo Jawa Timur (PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua, WILSON H. LIMBONG dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Kabupaten Sidoarjo memiliki luas 71 424,25 ha sepertiganya merupakan kawasan pesisir yang kaya akan hasil- hasil perikanan dan dapat menjadi sumber penghidupan bagi 3 257 KK petani tambak dan 3 282 KK nelayan pencari ikan. Beragam aktivitas yang dilakukan masyarakat meliputi : usaha udang intensif, udang organik, usaha garam, konservasi hutan mangrove, pencari kayu bakar dan remis, serta pemerintah berkepentingan melakukan penatagunaan lahan. Tiap-tiap pelaku ekonomi memiliki kriteria dan tujuan masing- masing, belum ada perencanaan dan pengelolaan secara terintegrasi. Padahal fenomena ini memperlihatkan hubungan yang kurang menguntungkan. Permasalahannya adalah : bagaimana menyusun suatu rencana penggunaan lahan yang dapat mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat dan dapat menunjang hasilhasil ekonomi tanpa merusak lingkungan? Penelitian ini bertujuan : (1) menentukan alokasi penggunaan lahan yang mampu mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat, (2) mencari alternatif strategi penggunaan lahan yang paling baik untuk diterapkan di Pesis ir Kabupaten Sidoarjo, dan (3) melakukan kajian terhadap kemungkinan konsep rencana penggunaan lahan dapat diterapkan atau tidak. Analisis data menggunakan model Goal Programming dengan beberapa faktor pembatas diantaranya adalah luas hutan mengrove lestari diestimasi dengan melakukan regresi terhadap data kualitas air tanah. Valuasi ekonomi hutan mangrove menggunakan metode substitusi dan untuk menentukan skala prioritas pembangunan lingkungan didekati dengan teknik proses hirarkhi analisis (AHP) terhadap preferensi stakeholders. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : (1) model alokasi penggunaan lahan di Pesisir Sidoarjo terdiri dari enam variabel keputusan, sepuluh komoditas yang dipertimbangkan dengan sembilan kendala sumberdaya, (2) skenario pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan eksternalitas dan cara mengatasinya merupakan alternatif strategi penggunaan lahan yang terbaik, karena memenuhi tiga kriteria pembangunan yaitu kriteria ekonomi, lingkungan dan penyerapan tenaga kerja, dan (3) walaupun ada potensi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 2 327 329 977 namun jika sistem kelembagaan tetap seperti sekarang, maka konsep penggunaan lahan optimal tidak akan bisa diimplementasikan, karena tidak memungkinkan terjadinya suatu mekanisme koordinasi, negosiasi, dan kompromi antara pihakpihak yang ber-konflik secara efektif dan efisien. Kata kunci : Pesisir, Konservasi, Optimalisasi, Model Goal Programming.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor
OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI DAN KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN SIDOARJO – JAWA TIMUR
SLAMET SUBARI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
:
Optimalisasi Penggunaan Lahan Untuk Pengembangan Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Sidoarjo – Jawa Timur
Nama Mahasiswa
:
Slamet Subari
Nomor Pokok
:
A161024011
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS. Anggota
Dr. Ir. Harianto, MS. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian: 22 Desember 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1963 di Surabaya. Merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara
dari Bapak Kamsuri
Doelmanan (Almarhum) dan Ibu Ngadinem. Pada tahun 1977 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Menur Pumpungan 1 Surabaya, kemudian melanjutkan sekolah pada SMP Negeri 6 Surabaya dan lulus pada tahun 1981, Tahun 1984 lulus dari SMA Negeri 6 Surabaya. Penulis melanjutkan studinya ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya – Malang dan lulus tahun 1989. Tahun 1996 melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Daerah dan Pedesaan (PWD) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun
2002 penulis melanjutkan studi Program Doktoral pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1989 – sekarang, penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Bangkalan (sekarang Universitas Trunojoyo Madura). Tahun 1989 menikah dengan Yuli Susetyoningtyas dan dikaruniai tiga orang anak : Riza Dyah Puspit asari (1990), Mirza Ardiansyah (1996), dan Fauzan Zulfi Hanggara Prayoga (2004).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya disertasi dengan judul
Optimalisasi Penggunaan Lahan
Untuk Pengembangan Ekonomi dan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo – Jawa Timur dapat diselesaikan. Tema ini dipilih karena masih banyaknya pola-pola pengelolaan pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penggunaan lahan yang masih bersifat parsial sehingga hasilnya kurang optimal.
Dalam jangka panjang hal itu akan menimbulkan degradasi
sumberdaya alam dan menurunkan potensinya. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan sekaligus menyampaikan rasa hormat setinggi tingginya kepada Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai relevansi tulisan dengan fenomena yang terjadi di lapangan dan sistem analisis secara komprehensif dan konsisten. Kepada Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing terutama mengenai konsistensi tulisan, teknik penulisan dan penyajian. Disamping itu beliau dengan senang hati memberikan dorongan semangat terutama ketika penulis sedang dalam situasi yang sulit.
Kepada Dr. Ir. Harianto, MS. selaku
Anggota Komisi Pembimbing terutama mengenai pemodelan, analisis data dan konsistensi dalam penulisan disertasi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Mantan Rektor Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr. Ir. Iksan Semaoen, MSc yang telah mendorong,
memberikan kesempatan dan memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan studi pada Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarja dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang strata tiga. Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. baik sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian maupun sebagai pribadi atas keihlasan beliau untuk menyediakan waktu konsultasi bagi penulis.
Beliau juga peduli untuk memberikan pengarahan
terhadap langkah- langkah yang harus dilakukan guna mempercepat proses penyelesaian studi. Terima kasih kepada Ir. Nyoto Santoso, MS. selaku Direktur Lembaga Penelitian dan Penge mbangan Mangrove (LPP Mangrove) – Bogor yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi dan memberikan data-data sekunder berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut di Pesisir Sidoarjo. Kepada Bapak Ir. Tidar Hadipurnomo, MS. yang telah banyak membantu
penulis
baik dalam
berdiskusi maupun dalam pengolahan data. Kepada Bapak Ir. Edwin Aldrianto, MSi dan Bapak Ir. Muhammad Yusuf, MM atas kerjasamanya dalam berbagai kegiatan sehingga penulis dapat membiayai penelitian lapangan dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses penyelesaian studi. Kepada rekan-rekan Dosen di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil serta kepada rekan-rekan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya angkatan 2002 sebagai teman belajar dan diskusi bersama dalam menghadapi ujian-ujian semester dan prelim. Terima kasih kepada Ibu dan Ayahk u (Almarhum), kedua mertua, istriku Yuli Susetyoningtyas, ketiga putra-putriku Riza Dyah Puspitasari, Mirza
Ardiansyah dan Fauzan Zulfi Hanggara Prayoga atas doa, dorongan semangat, kesabaran dan kasih sayangnya, sehingga penulis merasa nyaman untuk melakukan tugas dan misi studinya sampai selesai.
Semoga amal baik beliau-
beliau tersebut dan pihak-pihak lainnya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Amin ya Robbal A’lamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan pembangunan nusa dan bangsa Indonesia..amin.
Bogor, Januari 2007
Slamet Subari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......................................................................... ......iv
I.
II.
III.
IV.
DAFTAR GAMBAR ....................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................
ix
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah...............................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian...................................................................
7
1.4. Kegunaan Penelitian..............................................................
7
1.5. Batasan Penelitian ................................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
10
2.1. Konsepsi Umum Tentang Lahan ..........................................
11
2.2. Pengelolaan Lahan ...............................................................
12
2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan .................................................
15
2.3.1. Goal Programming ..................................................
22
2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan ...........................................................
31
2.3.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove .............................
38
2.4. Kelembagaan Pengelolan Sumberdaya Lahan .....................
50
2.4.1. Pilihan Bentuk Organisasi ........................................
54
2.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Secara Partisipatif .
57
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................
61
3.1. Membangun Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo
61
3.2. Menentukan Alternatif Strategi Penggunaan Lahan Terbaik
65
3.3. Analisis Kelembagaan ..........................................................
66
METODE PENELITIAN ............................................................
72
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................
72
4.2. Konsep Membangun Model Penggunaan Lahan .................
72
i
V.
4.2.1. Penilaian Situasi Untuk Mempelajari Sistem Biofisik
72
4.2.2. Analisis Lahan............................................................
73
4.2.3. Kendala Penggunaan Lahan dan Luas Minimal Hutan Mangrove ........................................................
76
4.2.4. Alokasi Penggunaan Lahan .......................................
78
4.2.5. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi....
80
4.3. Analisis Komparatif .............................................................
83
4.4. Analisis Kelembagaan .........................................................
84
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .........................
86
5.1. Karakteristik Kabupaten Sidoarjo ........................................
86
5.2. Kebijakan Strategi Pengembangan Kawasan .......................
92
5.2.1. Strategi Pemantapan Kawasan Lindung ....................
92
5.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya .............
93
5.3. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Wilayah .....................
94
5.3.1. Kebijakan Keseimbangan Ekologi Wilayah .............
94
5.3.2. Kebijakan Struktur Tata Ruang .................................
95
5.4. Sektor – Sektor Prioritas Pembangunan ...............................
96
5.5. Rencana Pengembangan Kawasan Perikanan ......................
97
5.6. Hutan Mangrove ...................................................................
98
5.7. Target Produksi Barang dan Jasa ......................................... 100 VI.
MODEL DAN SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN ............ 105 6.1. Membangun Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo
106
6.1.1. Analisis Lahan ........................................................... 106 6.1.2. Kendala – Kendala Penggunaan Lahan ..................... 114 6.1.3. Asumsi – Asumsi Model ........................................... 119 6.1.4. Model Operasional Penggunaan Lahan ..................... 120 6.2. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi .............. 123 VII.
SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN ................................. 137 7.1. Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi .......... 138 7.2. Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan .... 141 7.3. Solusi Model Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas dan ii
Upaya Mengatasinya ............................................................ 143 7.4. Solusi Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ............................................................................. 146 7.5. Solusi Model Untuk Skenario Tahun 2011 ........................... 148 7.6. Solusi Model Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011 ... 151 VIII.
IMPLIKASI STRATEGI PENGGUNAAN LAHAN .............. 155 8.1. Analisis Komparatif .............................................................. 155 8.2. Analisis Kelembagaan .......................................................... 159 8.2.1. Potensi Peningkatan Keuntungan .............................. 160 8.2.2. Sistem Koordinasi Saat Ini ....................................... 167 8.2.3. Kreasi Sistem Koordinasi .......................................... 170
IX.
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 176 9.1. Kesimpulan............................................................................ 176 9.2. Saran ..................................................................................... 177 DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 179 LAMPIRAN .................................................................................. 185
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
pH dan Kandungan Hara Tanah di Hutan Mangrove Cimanuk .......
35
2.
Produk Langsung Dari Ekosistem Mangrove ..................................
40
3.
Produk Tidak Langsung Dari Ekosistem Mangrove ........................
41
4.
Metode Estimasi Nilai Sumberdaya Lingkungan .............................
46
5.
Distribusi Responden Menurut Lokasi ............................................
75
6.
Luas Wilayah Kabupaten Sidoarjo ...................................................
87
7.
Sektor – Sektor Prioritas di Kabupaten Sidoarjo .............................
96
8.
Rencana Kawasan Perikanan Tambak di Kabupaten Sidoarjo ........
98
9.
Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sidoarjo .................................
99
10.
Produksi Perikanan Kabupaten Sidoarjo dan Target Produksi ........ 101
11.
Prakiraan Nilai Hutan Mangrove Kabupaten Sidoarjo Per Tahun ... 103
12.
Total Keuntungan Pengelolaan Pesisir Tahun 2006 ........................ 104
13.
Hasil Produksi Pesisir Sidoarjo ........................................................ 104
14.
Satuan – Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005.................... 107
15.
Satuan – Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 Menurut Kriteria Kesesuaian Lahan ............................................................... 108
16.
Kesesuaian Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005....... 109
17.
Hasil Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005........................................................................................ 110
18.
Alternatif Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 ......... 112
19.
Koefisien Teknologi Pilihan Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005........................................................................................ 113
20.
Potensi Biaya Petambak YangTersedia di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 – 2006 ...................................................................................... 119
iv
21.
Skala Prioritas Masing-Masing Komoditi Untuk Pengembangan Ekonomi ........................................................................................... 124
22.
Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006
23.
Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 Setelah Dimoneterkan ...................................................................... 126
24.
Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan Barang-Barang Produksi di Pesisir Sidoarjo ............................................................. 127
25.
Hasil Analisis AHP Penetapan Skala Prioritas Untuk Pembangunan Lingkungan................................................................ 128
26.
Perubahan Koefisien Teknologi Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas ..................................................................................... 130
27.
Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ................ 131
28.
Target Produksi Barang dan Jasa di Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 ... 132
29.
Target Keuntungan Pengelolaan Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 ......... 133
30.
Model Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Tahun 2011 ........................................................................ 135
31.
Moodel Untuk Skenario Penerapan RTRW 2002-2011.................... 136
32.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi
33.
Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Ekonomi ................. 140
34.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Ekonomi .................................................................... 140
35.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan ....................................................................................... 141
36.
Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Lingkungan ............ 142
37.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Lingkungan ............................................................... 143
38.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas dan Upaya Mengatasinya ............................................ 144
39.
Deviasi Target Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas ................ 145
v
125
139
40.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Skenario Terjadinya Eksternalitas ................................................................... 146
41.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ......................................................................................... 147
42.
Deviasi Target Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove .. 147
43.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ............................................................. 148
44.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Tahun 2011 ................ 149
45.
Deviasi Target Untuk Skenario Tahun 2011 .................................... 150
46.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Tahun 2011................................................................................................... 151
47.
Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario RTRW 2002-2011...... 152
48.
Deviasi Target Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011............. 152
49.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Konsep RTRW 2002-2011 ............................................................................. 153
50.
Perbandingan Beberapa Skenario Alokasi Penggunaan Lahan ........ 161
51.
Kondisi Keuntungan Sebelum dan Sesudah Optimasi ..................... 168
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Hubungan Hipotetik Antara Peubah – Peubah Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Tataguna Lahan ............................................
14
2.
Kurve Kemungkinan Produksi .........................................................
15
3.
Eksternalitas Negatif ........................................................................
17
4.
Eksternalitas Positif ..........................................................................
17
5.
Pemecahan Masalah Optimasi Secara Grafis ...................................
25
6.
Pengaruh pH Terhadap Perikanan Kolam ........................................
35
7.
Hubungan Antara Kadar Polutan dengan Jarak Dari Garis Pantai ...
38
8.
Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi ..............................................................................................
49
9.
Komponen – Komponen Biaya Transaksi .......................................
53
10.
Modalitas Dari Hubungan Organisasi Internal .................................
56
11.
Diagram Hiootetis Hubungan Antara Berbagai Kegiatan Ekonomi di Pesisir Sidoarjo .............................................................................
63
Diagram Tahapan Penelitian Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo ............................................................................................
64
13.
Kurve Kemungkinan Produksi .........................................................
66
14.
Pola Implementasi Pengelolaan Lahan Dalam Kaitannya Dengan Masalah Dalam Hubungan Agensi Antara Pemerintah versus Petambak ..........................................................................................
69
15.
Kelompok Otonom Sebagai Sebuah Struktur Yang Berkemampuan
71
16.
Hierarki : Sasaran – Kriteria (Stakeholders) – Alternatif (Komoditi) ........................................................................................
81
12.
17.
Klas Lahan Menurut Kesesuaian Untuk Usaha Budidaya ............... 111
18.
Pola Usaha Yang Mungkin Untuk Dikembangkan di MasingMasing Klas Satuan Lahan ............................................................... 114 vii
19.
Klas Satuan Lahan Dengan Kendala Luas Minimal Hutan Mangrove .......................................................................................... 117
20.
Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Sistem Pembangunan di Pesisir Sidoarjo ................................................................................. 170
21.
Kreasi Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Sistem Pembangunan di Pesisir Sidoarjo ..................................................... 175
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Skenario Pembangunan Ekonomi Tahun 2006 ................................. 186
2.
Program – Output : Skenario Pembangunan Lingkungan Tahun 2006 .................................................................................................. 188
3.
Program – Output : Skenario Pembangunan Ekonomi Yang Mengakomodir Faktor Eksternalitas dan Upaya Mengatasinya ...... 190
4.
Program – Output : Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ...... 192
5.
Program – Output : Skenario Tahun 2011 ........................................ 193
6.
Program – Output : Skenario Konsep RTRW 2002-2011................. 195
7.
Perhitungan Ketebalan Hutan Mangrove ......................................... 197
8.
Peta Kabupaten Sidoarjo ................................................................... 201
9.
Kualitas Air Tanah ........................................................................... 202
ix
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Fokus pengembangan ekonomi di Indonesia bergerak dari sumberdaya terrestrial ke sumberdaya laut dan pesisir dalam PJP II (1993-2018). Pergeseran itu sendiri didukung oleh fakta bahwa : (1) 63%(3.1 juta km2 ) dari wilayah Indonesia adalah lautan yang kaya akan sumberdaya alam, dan (2) sumberdaya daratan akan semakin bekurang dan sulit untuk dikembangkan. Pengalaman dalam pengembangan sumberdaya pesisir dan laut selama PJP I (1967-1992) menghasilkan tidak hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga degradasi sumberdaya alam. Di wilayah pesisir degradasi akan sampai pada level yang mengancam kelangsungan ekosistem pesisir dan laut untuk mensupport pengembangan ekonomi Indonesia kedepan.
Meskipun terjadi degradasi
lingkungan, Indonesia tidak dapat menghentikan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut karena Negara ini masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk mencapai masyarakat yang makmur. Tantangan untuk manajer dan perencana pesisir di Indonesia sekarang adalah mengembangkan sumberdaya pesisir dan laut untuk mencapai manfaat yang maksimum dan saat yang bersamaan merawat kapasitas lestari dari ekosistem, tidak berarti melebihi daya dukung ekosistem (Dahuri, 1998). Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 2001). Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki fungsi sangat penting, karena menyediakan berbagai sumberdaya alam (SDA) baik yang dapat pulih (renewable resource) maupun sumberdaya alam yang tidak dapat
2 pulih (non renewable resource). Menurut Mulyadi (2005), sumberdaya yang dapat pulih terdiri atas : hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut serta sumberdaya perikanan laut. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Masih menurut Mulyadi (2005), wilayah pesisir Indonesia dengan panjang pantai mencapai 95 181 km1 , juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan pelatihan, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim, kawasan perlindungan. Dengan terbatasnya luas lahan dan sumberdaya di daratan serta meningkatnya jumlah penduduk, maka banyak kegiatan pembangunan dialihkan dari daratan ke arah pesisir dan lautan. Sehubungan dengan semakin banyaknya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat yang mengambil tempat di wilayah pesisir, antara lain untuk budidaya perikanan, pelabuhan, pariwisata, industri dan perluasan kota, maka sering timbul adanya konflik. Konflik dalam pemanfaatan sumberdaya oleh berbagai sektor yang terjadi pada lokasi yang sama, pada akhirnya menimbulkan kerusakan ekosistem seperti erosi, pencemaran lingkungan dan degradasi lahan. Pengelolaan kawasan yang bersifat sektoral yang hanya bertujuan untuk memaksimumkan produksi tanpa 1
Menurut versi World Vector Shoreline, US Defense Mapping Agency dalam Nikijuluw, V.P.H. , (2005).
3 memperhitungkan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta keterbatasan kemampuan daya asimilasinya, maka akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan menurunnya nilai sumberdaya ala m itu sendiri. Oleh karena itu dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir diperlukan keterpaduan dalam perencanaannya agar sumberdaya bersangkutan terjaga keberlanjutannya. Kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan daratan yang antara lain meliputi pemanfaatan sumberdaya lahan, selain memberikan dampak lingkungan yang positif juga memberikan dampak yang negatif. Hal positif dari perubahan itu adalah kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat, melalui peningkatan ekonomi. Sedangkan dampak negatif dari perubahan itu adalah tingginya tingkat erosi tanah, timbulnya pencemaran yang mengakibatkan lingkungan menjadi terdegradasi yang berdampak pada perubahan kesejahteraan masyarakat. Setiap eleman masyarakat akan menanggung peningkatan/penurunan kesejahteraan yang berbeda-beda
tergantung
pada
tingkat
aksesibilitas
masyarakat
terhadap
sumberdaya pesisir tersebut yang dicerminkan dari pola usaha yang dilakukan oleh masyarakat selama ini. Penurunan
kualitas
lingkungan
dan
munculnya
berbagai
konflik
kepentingan akan menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar hal tersebut, masyarakat dan pemerintah semakin menyadari perlunya melakukan pembangunan berkelanjut an untuk menjamin kehidupan yang berkelanjutan pula. Menurut (UNEP dan WWF, 1993) dalam laporan PT. Intermulti Pla nindo (2004), Pembangunan berkelanjutan diartikan
4 sebagai kegiatan yang menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dengan kepentingan menjaga kualitas lingkungan dan ekosistem sehingga tidak melampaui batas kemampuannya, serta keseimbangan pemanfaatan SDA dan sumberdaya lahan (SDL) antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang termasuk keadilan sosial dan suatu lingkungan yang sehat. Salah satu strategi dalam pembangunan berkelanjutan adalah perlunya melakukan suatu penatagunaan lahan yang meliputi perencanaan, persediaan, peruntukan, penggunaan dan pengendalian lahan.
Wujud tataguna lahan di
Indonesia misalnya terlihat pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun hingga kini penerapan konsep tata ruang tersebut belum efektif dilapangan.
Konsep RUTR kurang
implementatif salah satunya disebabkan karena kurang terakomodirnya berbagai kepentingan masyarakat (Rachman 2000). Karena itu diperlukan suatu penelitian untuk menelaah bagaimana merumuskan rencana penggunaan lahan secara terintegrasi sehingga bisa memkompromikan berbagai kepentingan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah Salah satu kekayaan sumberdaya alam yang paling menonjol di Kabupaten Sidoarjo adalah sumberdaya pesisir dengan luas tambaknya mencapai 15 530.41 ha dan sumberdaya hutan mangrove yang terbentang sepanjang lebih kurang 27 km dengan lebar atau ketebalan mencapai 100 s/d 200 m yang mampu memberikan kesejahteraan kepada 3 257 KK petani tambak (PT. Intermulti Planindo, 2004). Dari luas total Kabupaten Sidoarjo yang mencapai 71 424.25 ha sepertiganya atau sekitar 29.99 persen adalah wilayah pantai. Besarnya kontribusi
5 subsektor perikanan laut dan pesisir terhadap PDRB sektor pertanian mencapai 49.53 persen (BPS Kabupaten Sidoarjo, 2004). Tidak kurang dari 945 260 kg kupang, 267 460 kg kerang dan 9000 kubik kayu bakar per tahun dihasilkan dari hutan mangrove yang mampu menghidupi 3 282 KK (Berbagai Sumber Diolah). Sementara itu menurut laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabuaten Sidoarjo (2005), di kawasan tambak sendiri terdapat berbagai aktivitas masyarakat diantaranya : budidaya Bandeng (6 481.8 ha), Tumpanggilir Bandeng dengan Garam (12 ha), Udang Organik (8 541.7 ha), Udang Intensif (50 ha), dan Udang Semi Intensif ( 680.7 ha). Bahkan belakangan ada aktivitas LSM (OISCA Jepang dan LPP – Mangrove) tengah melakukan usaha- usaha konservasi lingkungan dengan menanam jenis-jenis bakau untuk mempertebal hutan mangrove yang ada. Dengan keberadaan sumberdaya pesisir tersebut terdapat berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaannya. Nelayan berkepentingan memungut hasil hutan mangrove seperti kupang dan kerang. Pencari kayu bakar berkepentingan memungut hasil kayu dari hutan mangrove. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkepentingan melestarikan keanekaragaman hayati di hutan mangrove. Bahkan demi menjaga kelestarian hutan mangrove DPRD Kabupaten telah mengesahkan Perda No. 17 Tahun 2003 Tentang Kawasan Lindung Mangrove yang bertujuan untuk melindungi hutan mangrove dari ancaman penebangan liar. Petambak berkepntingan untuk mendapatkan keuntungan dari bentuk-bentuk usaha yang dikelolanya tersebut. Sejauh ini arahan dari pemerintah dalam usaha pengelolaan lahan kawasan pesisir belum efektif. Tidak dilibatkannya stakeholders dalam proses penyusunan rencana penggunaan lahan (RTRW) menyebabkan RTRW 2002 – 2011 dalam
6 implementasinya belum efektif. Konflik kepentingan antara berbagai anggota masyarakat tidak terakomodir dalam konsep RTRW yang ada.
Contohnya,
penetapan kawasan lindung mangrove yang mencapai 400 m dari garis pantai dan kawasan tambak organik yang mencapai 7 000 ha muncul tiba-tiba tanpa memperhatikan adanya kepentingan anggota masyarakat petambak lainnya. Memang kebijakan pembangunan yang pro lingkungan itu penting, namun jika hal tersebut tidak didasari oleh pertimbangan sosial dan ekonomi jelas hal itu akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Akibat tidak efektifnya arahan penggunaan lahan dari pemerintah, sehingga
masing- masing
pihak
merencanakan
penggunaan
lahan
untuk
kepentingan sendiri-sendiri dengan kriteria pendekatan yang berbeda-beda (ekonomi, ekologi, dan kebijakan politik). Padahal fenomena ini memperlihatkan hubungan yang kurang menguntungkan. Implikasi dari kondisi ini adalah tidak optimalnya alokasi penggunaan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya, seperti misalnya potensi tenaga kerja yang ada belum teralokasi dengan baik sehingga di pesisir Sidoarjo masih terdapat pengangguran terbuka mencapai lebih kurang 5 persen (Kecamatan Dalam Angka 2004 2 ). Menurunnya produktivitas pesisir dalam tiga tahun terakhir (2003 – 2005) khususnya untuk komoditi udang. Untuk udang organik produksi tahun 2003 mencapai 4 185.043 ton turun menjadi 3 580.340 ton pada tahun 2005, serta untuk udang intensif produksi tahun 2003 mencapai 6 657 ton turun menjadi 3 960 ton pada tahun 2005. Dengan demikian terdapat permasalahan pokok dalam pengelolaan sumberdaya la han di kawasan pesisir Kabup aten Sidoarjo yang terbatas itu yaitu
2
Meliputi Kecamatan Sedati, Waru, Buduran, Sidoarjo, Candi, Tanggulangin, Porong dan Jabon.
7 ”bagaimana
menyusun
suatu
rencana
penggunaan
lahan
yang
dapat
mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat sehingga dapat menunjang hasil- hasil ekonomi dengan tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan?”
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menyusun suatu konsep penggunaan lahan di pesisir Sidoarjo yang dapat mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat dan mampu mengintegrasikan aspek lingkungan dengan aspek ekonomi sehingga kelestarian sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya lingkungan (SDL) akan tetap terjaga.
Secara lebih spesifik penelitian ini
bertujuan : 1. Membangun model penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik fisik, sosial dan ekonomi yang ada. 2. Mencari alternatif strategi penggunaan lahan terbaik untuk diterapkan di pesisir Sidoarjo. 3. Mengkaji apakah rencana penggunaan lahan sesuai konsep RTRW 2002 – 2011 Kabupaten Sidoarjo dapat diimplementasikan atau tidak.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai salah satu alternatif metode untuk mengarahkan dalam penatagunaan lahan dan penentuan kebijakan pembangunan khususnya di pesisir Sidoarjo.
Selain itu hasil penelitian ini
diharapkan juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam penentuan alternatif kegiatan ekonomi sehingga dapat menurunkan tekanan terhadap
8 kawasan hutan mangrove dengan tidak mengurangi kemungkinan masyarakat untuk mengambil manfaat ekonomi semaksimal mungkin dari sumberdaya lahan yang ada di pesisir Sidoarjo.
1.5. Batasan Penelitian Penelitian mengambil kasus di pesisir Sidoarjo, sehingga solusi model dan pendekatan model belum tentu sesuai diterapkan di daerah lain. Pesisir Sidoarjo dianggap sebagai satu kesatuan wilayah, untuk tujuan optimasi satuan-satuan penggunaan lahan hanya dibatasi oleh faktor-faktor teknis agronomis dan bukan batas-batas wilayah politis administraitf, status lahan dan faktor- faktor non teknis lainnya. Model utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah model goal programming atau lebih dikenal dengan Model multi objective multi party yang mengandung beberapa keterbatasan yaitu : 1. Model multi objective multi party, namun multi party-nya tidak dinyatakan secara eksplisit. 2. Nilai jasa lingkungan hutan mangrove hanya didekati berdasarkan manfaat keberadaan dan manfaat pilihan. 3. Yang dimaksud dengan konflik adalah konflik antara berbagai kelompok masyarakat dalam pemanfaatan lahan di pesisir Sidoarjo. 4. Yang dimaksud dengan kawasan pesisir adalah wilayah daratan meliputi kawasan tambak dan hutan mangrove termasuk tanah timbul (oloran). 5. Eksternalitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah eksternalitas yang terjadi di dalam kawasan pesisir, yaitu yang disebabkan oleh aktivitas
9 ekonomi salah satu kelompok masyarakat dan akibatnya akan ditanggung oleh kelompok masyarakat lainnya. 6. Yang dimaksud dengan polutan adalah zat-zat tertentu atau suatu senyawa biokimia yang berpotensi mengganggu kualitas ekosistem tambak, seperti salinitas, kadar BOD, kadar COD, senyawa nitrat dan senyawa phospat. 7. Yang termasuk dalam stakeholders adalah : (1)
Petani tambak intensif yaitu petani tambak yang menerapkan sistem pengelolaan tambaknya secara intensif dengan mengandalkan teknologi modern sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan usahanya.
(2)
Petani tambak organik
(tradisional) yaitu petani tambak yang
menerapkan sistem pengelolaan tambaknya dengan mengandalkan alam sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan usahanya. (3)
Petani
tambak
semi
intensif
yaitu
petani
tambak
ya ng
mengkombinasikan antara pola usaha tambak intensif dan tradisional. (4)
Pemerintah yang meliputi seluruh unsur pemerintahan di Kabupaten Sidoarjo.
(5)
Pemanfaat hutan mangrove yaitu petani dan atau nelayan yang mencari hasil- hasil hutan mangrove baik kayu, ikan, molusca, dan lain- lain, dan.
(6)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang : teori-teori yang mendukung model sehingga akan membantu membangun kerangka berfikir logis, justifikasi terhadap alat analisis yang digunakan sehingga membantu dalam membangun kerangka metodologi, serta review dari penelitian terdahulu dalam aplikasi teori dan metodologi yang pernah digunakan. Dalam tinjauan pustaka terdiri dari : 1. Konsepsi umum tentang lahan ; berisikan pengertian dan definisi tentang lahan. hal ini karena isu utama dalam penelitian ini berkaitan dengan masalah lahan. 2. Pengelolaan lahan ; berisikan tentang aspek campur tangan manusia dalam pemanfaatan lahan, penggunaan berbagai input untuk tujuan-tujuan ekonomi, adanya peranan ganda dari lahan sehingga dalam pengelolaannya sering terjadi benturan-benturan.
Acapkali karena desakan ekonomi, sosial dan
kependudukan sehingga menimbulkan tekanan dan perubahan peruntukan lahan. 3. Alokasi sumberdaya lahan ; berisikan tentang pilihan alokasi sumberdaya lahan untuk tujuan pembangunan ekonomi atau lingkungan, serta konsekuensi terjadinya eksternalitas akibat kita memilih salah satu alternatif tujuan pembangunan tersebut.
Dalam sub bab ini juga disajikan berbagai
kemungkinan alat-alat (tools) yang digunakan baik dalam kaitannya dengan kreasi data dan analisis data, serta penggunaan model goal programming dalam berbagai keperluan analisis pada beberapa tulisan terdahulu.
11 4. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ; berisikan tentang dasar teori organisasi dan kelembagaan yang relevan untuk suatu tujuan implementasi penggunaan lahan.
2.1. Konsepsi Umum Tentang Lahan Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik yang ada padanya dan penting bagi peri kehidupan manusia (Cristian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah dipermukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan dibawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan dimasa mendatang (Brikman dan Smyth 1973; Vink 1975). Berdasarkan pengertian di atas, lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Komponen-komponen itu dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Lahan sebagai sistem mempunyai komponen-komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponenkomponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan
demikian ada dua kategori utama sumberdaya lahan, yaitu : sumberdaya la han
12 yang bersifat alamiah dan sumberdaya lahan buatan yang merupakan hasil aktivitas budidaya manusia.
Berdasarkan konsepsi tersebut maka pengertian
sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik lahan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, yang dengan cara-cara tertentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Menurut Soerianegara (1977) ada tiga aspek kepentingan pokok dalam pengelolaan dan penggunaan sumberdaya lahan, yaitu : lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, memelihara ternak, memelihara ikan dan lainnya, lahan mendukung kehidupan berbagai jenis vegetasi dan satwa, dan lahan mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan diantara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini sering kali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kapabilitas lahan ini adalah : jenis tanah dan kesuburannya, keadaan lapangan, relief, topografi dan ketinggian tempat, aksesibilitas, kemampuan dan kesesuaian lahan, dan besarnya tekanan penduduk (Soerianegara 1977). Di tinjau dari sudut pandang penguasaan dan pengalokasiannya, maka sebagian lahan di suatu daerah aliran sungai khususnya di kawasan pesisir adalah merupakan public land dan sebagian lainnya merupakan private land. Dalam kenyataannya public land tersebut merupakan kawasan hutan lindung (mangrove) serta daerah sempadan pantai dan sempadan sungai yang dikuasai oleh negara.
13 Sedangkan private land merupakan lahan usaha pertanian dan permukiman yang dikuasai dan dikelola oleh penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk, secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan, dan hal ini pada kenyataannya dapat menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya lahan dan lingkungan hidup serta berbagai konsekuensi sosial ekonominya. Pentingnya pengelolaan sumberdaya lahan karena dia mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia.
Program-program pengelolaan lahan
(pesisir) merupakan suatu usaha besar yang amat pelik; sesuatu yang dirancang untuk melestarikan atau memperbaiki kondisi wilayah pesisir dengan cara mengatur penggunaan dan kegia tan pada tanah dan perairan.
Koordinasi
kegiatan-kegiatan pengelolaan oleh berbagai dinas dan instansi pemerintah, mendorong munculnya aturan mandiri melalui pendekatan dan pendidikan serta beragam kegiatan lainnya. Pemilihan jenis dan skala intenvensi serta mitra kerja dan permasalahan pengelolaan secara tepat sesungguhnya merupakan suatu seni, namun sangat menentukan sekali pada keberhasilan program (Tobey, 2000). Nikijuluw (1998) dalam penelitiannya di desa Jemluk Bali menemukan bahwa pengelolaan sumberdaya (pesisir) melalui suatu skema tertentu yang diinisiasi oleh masyarakat ternyata membawa dampak positif terhadap perbaikan hasil dan distribusi, sehingga secara individual masyarakat pesisir merasakan adanya suatu peningkatan kesejahteraan. Analisis sosial ekonomi dalam suatu sistem kawasan pesisir dapat diarahkan untuk identifikasi subsistem sosial ekonomi dan sekaligus mengkaji permasalahan sosial ekonomi yang ada. Masalah- masalah ini diduga berkaitan
14 erat antara perubahan penggunaan laha n dengan beberapa perubahan sosial ekonomi dan kependudukan. Hubungan hipotetik antara perubahan-perubahan ini disajikan pada Gambar 1. Pertambahan jumlah penduduk di suatu wilayah yang menghadapi pilihan mata pencaharian yang terbatas akan dapat mengakib atkan peningkatan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani.
Kebutuhan akan pemukiman dan
sumber energi juga meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan taraf kebudayaannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut ada hubungannya dengan beberapa peubah penting seperti mobilitas (migrasi masuk dan kaluar), fertilitas, struktur umur, faktor lingkungan dan sosial-budaya.
Mobilitas
penduduk mempunyai hubungan yang sangat erat dengan daya tarik dan daya dorong ekonomis.
Kelompok Perubahan Ekonomi:
-
Produktivitas lahan Pendapatan Penggunaan teknologi Kesempatan kerja Harga lahan tingkat upah
Kelompok Perubahan Sosial: - Pelayanan pranata sosial - Sarana dan prasarana sosial - Status lahan - Partisipasi masyarakat
Perubahan Tataguna Lahan
LINGKUNGAN
Kel. Perubahan Kependudukan : - Laju pertambahan penduduk - Mobilitas penduduk - Kepadatan penduduk - Struktur umur
Gambar 1.
Hubungan Hipotetik Antara Peubah-Peubah Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Tataguna Lahan
15 Di suatu daerah yang sumberdaya lahannya secara agroekologis mempunyai kapabilitas dan tingkat kesesuaian lahan yang tinggi biasanya pola usahataninya melibatkan jenis-jenis tanaman (komoditi) komersial.
2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan Dalam proses produksi pertanian masukan yang berupa lahan dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk barang dan jasa. Acapkali terjadi trade off terhadap berbagai tujuan penggunaan lahan tersebut. Ketika kita telah memutuskan untuk suatu tujuan produksi barang atau jasa tertentu maka kita harus rela kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil produksi barang dan jasa lainnya. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui gambar kurva kemungkinan produksi (KKP) sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Barang Lingkungan (B)
MRSBA = MRPTBA QL
Barang Ekonomi (A) QE Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi Kondisi pareto me nyatakan bahwa tingkat marjinal dari transformasi produk barang lingkungan (B) bagi barang ekonomi (A) – atau (MRPTBA : kemiringan dari KKP) akan sama dengan MRS BA. Jika MRS BA = PA / PB ; selanjutnya PA= Pa/MPaA dimana MPaA adalah produk marjinal dalam
16 memproduksi A. Jadi kita dapat menyatakan bahwa PB = Pa / MPaB. Dengan mensubstitusikan untuk PA dan PB kita dapatkan : MRSBA =
Pa / MPaA MC A = = MRPTBA Pa / MPaB MC B
Pada kondisi ini tingkat produksi barang ekonomi yang optimal adalah QE sementara tingkat produksi barang lingkungan yang optimal adalah QL.
Jika
karena sesuatu dan lain hal tingkat produksi barang ekonomi melebihi QE, sehingga harus menurunkan tingkat produksi barang lingkungan QL menjadi lebih kecil maka hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi ya itu turunnya kualitas lingkungan.
Kelebihan produksi barang ekonomi tersebut akan menghasilkan
produk-produk sampingan dan limbah dalam bentuk misalnya : sedimentasi, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut keluar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Eksternalitas terjadi karena individu yang tidak ikut menikmati harus menanggung biaya atau individu ikut menikmati tetapi tidak menanggung biaya, tanpa adanya kompensasi yang diterima atau dibayar. Eksternalitas negatif mengakibatkan jumlah produk yang dihasilkan tidak berada tepat pada kondisi yang optimal. Dalam kondisi demikian, sebagaimana pada Gambar 3, pemerintah dapat mengatasi masalah eksternalitas dengan memaksa perusahaan menurunkan produksinya, yaitu melalui internalisasi efek samping yang diderita masyarakat ke dalam MC perusahaan (private). Internalisasi tersebut dapat dilakukan melalui pembebanan pajak atau membuat aturan-aturan tertentu sehingga MC private bergeser kekiri kearah MC social ; MC social = MC private + EC ; dimana EC adalah biaya eksternal.
17 Harga (P) MC Social
MCprivate
P*
0
Q*Social Q*private
Q
Gambar 3. Eksternalitas Negatif
Pada kasus eksternalitas positif sebagaimana pada Gambar 4, jumlah produk terlalu sedikit dihasilkan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus
merangsang perusahaan meningkatkan produksinya dengan memberikan subsidi kepada perusahaan sebesar “external benefit” akibatnya perusahaan akan menggeser anggaran perusahaannya yang tercermin dari pergeseran MC private ke MC social sehingga output meningkat dari Q private ke Qsocial. Harga (P) MC private
MC social
P*
0
Q*private Q*social
Q
Gambar 4. Eksternalitas Positif Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai.
Hal ini disebabkan karena
mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas tersebut.
18 Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan pemerintah.
Davies dan
Kamin (1972) dalam Anwar (1995) mengemukakan beberapa campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu berupa : larangan, pengarahan, kegiatan percontohan, pengenaan pajak atau subsidi, pengaturan (regulasi), hukuman atau denda, dan tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai proses degradasi lahan dan efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan. Beberapa metode untuk mengalokasikan jenis-jenis penggunaan lahan telah dikembangkan diantaranya adalah : (1) alokasi berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan, (2) alokasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, (3) alokasi berdasarkan analisis sistem, dan (4) alokasi berdasarkan pemrograman matematik (Riset Operasi). Alokasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan adalah cara yang paling praktis karena penentuan kelas-kelas kemampuan lahan hanya didasarkan pada kondisi faktor- faktor biofisik suatu kawasan. Metode ini sangat sedikit atau kurang sekali mempertimbangkan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi penggunaan lahan (Vink, 1975). Pendekatan alokasi lahan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi pernah dikemukakan oleh Gregory (1955) dan Valdepenas (1969) seperti telah dilaporkan oleh Balangue (1988). Melalui penggunaan teori produksi gabungan (joint production) dalam model grafik dua dimensi, dapat ditentukan satu pilihan antara hutan untuk single-use atau multiple-use.
Menurut Gregory, masalah
19 alokasi
terletak pada posisi expantion path
yang digambar melalui satu
kumpulan grafik isocost dan isorevenue. Jika expantion path letaknya dekat dengan axis penggunaan lahan single use, keputusannya adalah lahan hutan single-use lebih dominan dari multiple-use. Sebaliknya jika expantion path lebih dekat dengan axis lahan multiple-use, maka penggunaan lahan yang dominan adalah jenis penggunaan hutan multiple-use. Jika expantion path lokasinya tepat ditengah-tengah kedua axis, keputusannya adalah penggunaan lahan hutan sama baiknya. Balangue (1988) menggunakan kriteria ekonomi (total net return) untuk memecahkan kombinasi alokasi lahan untuk menghasilkan kayu dengan lahan untuk menghasilkan ternak. Secara grafik digambarkan sekumpulan isocost dan isorevenue untuk beberapa tingkat biaya dan kombinasi optimum produknya (penerimaan maksimum). Pendapatan total bersih dicari dengan mengurangkan biaya dari pendapatan kotor.
Akhirnya tingkat biaya yang menghasilkan
pendapatan bersih tertinggi dikatakan sebagai tingkat biaya dan aktivitas produksi paling efisien secara ekonomi. Alokasi lahan hutan dengan prinsip ekonomi ini mempunyai kelemahan karena tidak semua hasil dari hutan dapat dihitung secara ekonomi dengan nilai uang. Net return yang hanya didasarkan pada kuantifikasi tujuan (target), output dan input secara moneter belum tentu mencerminkan net benefit yang sebenarnya (Balangue, 1988). Pendekatan analisis sistem untuk alokasi penggunaan lahan dimulai dengan mengidentifikasi sistem dan subsistem yang ada di daerah studi. Setiap elemen dari sistem yang ada dianalisis sesuai dengan fungsinya dan
20 keterkaitannya dengan unsur lainnya.
Pendekatan ini biasanya memerlukan
masukan dari berbagai disiplin ilmu sehingga tim perencanan biasanya terdiri dari latar belakang yang berbeda.
Setiap alternatif penggunaan lahan dievaluasi
dengan menggunakan kriteria-kriteria ekologis, ekonomis, sosial budaya dan mungkin juga politik.
Jenis penggunaan lahan yang mempunyai nilai positif
tertinggi dalam hal kualitas hidup akan dialokasikan di daerah studi (Soerianegara, 1977). Pendekatan analisis sistem ini juga dapat dikombinasikan dengan metode lainnya seperti dengan metode pemrograman matematik (Soemarno, 1991). Penggunaan pemrograman matematik seperti linear programming, goal programming, STEP method sangat berguna dalam memecahkan permasalahan alokasi jenis-jenis penggunaan lahan.
Problem alokasi sumberdaya muncul
apabila terdapat sejumlah aktivitas yang harus dilakukan dan terdapat keterbatasan (kendala), baik dalam jumlah ketersediaan sumberdaya maupun dalam cara dan waktu penggunaannya. Dalam kondisi seperti ini maka tujuan yang ingin dicapai adalah mengalokasikan sumberdaya yang tersedia kepada aktivitas-aktivitas yang ada secara optimal. Permasalahan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai kondisi
optimal
ini
dicakup
dalam
teknik-teknik
optimalisasi
dengan
menggunakan beberapa model matematika dan simulasi (Jeffers 1978; Soemarno 1991). Optimalisasi mengisyaratkan upaya penemuan nilai maksimal atau minimal dari beberapa fungsi matematis dengan jalan menetapkan harga bagi paubah-peubah
yang
dapat
dikendalikan
hingga
batas-batas
tertentu.
Maksimalisasi merupakan proses penemuan nilai maksimal dari suatu fungsi tujuan, sedangkan minimalisasi merupakan proses penemuan nilai minimalnya
21 (Mize dan Cock, 1968). Kedua proses ini sering digunakan dalam pengalokasian sumberdaya lahan pertanian yang menghadapi beberapa kendala. Seringkali kita juga ingin mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang mampu meningkatkan keluaran yang diinginkan dari suatu sistem dengan jalan memodifikasi struktur sistem atau mengubah cara pengelolaan sistem yang ada.
Hal ini merupakan alasan utama bagi penggunaan model- model yang
memungkinkan
kita
untuk
mengungkapkan
dan
menelaah
konsekuensi-
konsekuensi dari perubahan tersebut. Salah satu model yang sering digunakan untuk menyelesaikan masalah optimalisasi berkendala adalah pemrograman matematika (Agrawal dan Heady, 1972). Suatu bentuk yang sederhana dari model ini adalah pemrograman linear atau linear programming. Keuntungan dari model- model optimalisasi adalah bahwa mereka mampu mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu : (1) penyelesaiannya memberikan nilai- nilai bagi alternatif aktivitas yang diperlukan untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna memperbaiki nilai optimal dari fungsi tujuan (Dantzig, 1963). Penggunaan model program linear untuk menyelesaikan permasalahan menghendaki beberapa persyaratan dan asumsi.
Lima macam persyaratannya
adalah : adanya tujuan yang ingin dicapai, adanya alternatif kombinasi aktivitas yang dapat saling diperbandingkan, rumusan kuantitatif (model matematik), sumberdaya yang terbatas, dan
keterkaitan peubah (hubungan fungsional).
Sedangkan lima macam asumsi yang harus dipenuhi adalah : linearitas,
22 proporsionalitas, aditivitas, kontinuitas (divisibilitas), dan deterministik (Nasendi dan Anwar 1985). Apabila suatu permasalahan mempunyai tujuan lebih dari satu (bertujuan ganda) dan tidak saling menenggang, maka model program linear harus dimodifikasi. Hasil modifikasi ini disebut Program Tujuan Ganda (PTG) atau Goal Programming atau Multiple Objective Goal Programming (Ignizio, 1978). Pada dasarnya analisis PTG ini bertujuan untuk meminimalkan simpangan (deviasi) terhadap berbagai tujuan, sasaran atau target yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan kendala yang ada. Sehingga dengan prosedur analisis ini dapat dicoba untuk mendeteksi sedekat mungkin target-target tersebut sesuai dengan skala prioritasnya (Keeney dan Raiffah, 1976).
2.3.1. Goal Programming Dalam keadaan dimana seseorang pengambil keputusan dihadapkan pada persoalan yang mengandung beberapa tujuan didalamnya, maka program linier tidak dapat membantunya untuk memberikan pertimbangan ya ng rasional karena program linier hanya terbatas pada analisis tujuan tunggal.
Berangkat dari
kelemahan ini maka dikembangkan Program Tujuan Ganda (multi objectives goal programming). Salah satuya adalah Goal Programming yang dikembangkan oleh Charnes dan Cooper tahun 1961. Menurut Bottoms (1975) Satu dari kelemahan utama penggunaan Linear Programming dalam pengelolaan sumberdaya adalah bahwa hanya satu kriteria untuk menentukan strategi optimal yang digunakan. Model Goal Programming disediakan untuk banyak
tujuan yang saling ber-
23 konflik. Trade off antar tujuan didemonstrasikan oleh perbandingan hasil- hasil dari banyak target yang diperkirakan dari pilihan-pilihan tujuan adalah bervariasi. Goal Programming merupakan alat pengambilan keputusan yang sangat fleksible yang dapat mengnyelesaikan banyak masalah keputusan secara lebih efektif. Sebagai ilustrasi masalah tersebut dicontohkan oleh Charnes dan Cooper dalam Balangue (1979) sebagai berikut : Maksimumkan :
Z = X1 + X2 ………………………………….…. (1)
Dengan syarat ikatan (kendala) : 3X1 + 2X2 < 12 ……..………………………………………………….. (2) 5X1 < 10 …..……………………………………………………………. (3) X1 + X2 < 8 ……………….…………………….……………………… (4) - X1 + X2 < 4 ………………………………….….…………..………… (5) X1 , X2 > 0 …………………………………….….………………….…. (6) Pemecahan masalah secara grafis menggambarkan adanya dua daerah kemungkinan solusi yang memenuhi persyaratan kendala akan tetapi tidak saling overlap (Gambar 5). Kondisi demikian tidak menghasilkan daerah penyelesaian yang layak (infeasibele) sehingga permasalahan tidak dapat dipecahkan dengan program linier biasa. Pemecahannya adalah mempertimbangkan persamaan (1), (4), dan (5) untuk dijadikan tujuan, sedang persamaan (2) dan (3) sebagai kendala. Tujuan diubah menjadi ; Meminimumkan Z = (X1 + X2 – 8 ) + (-X1 +X2 – 4). Inilah ide dasar dari konsep goal programming. Goal programming mencoba meminimisasi jumlah deviasi dari tujuan-tujuan atau target-target yang ingin dicapai daripada memaksimisasi atau meminimisasi satu fungsi tujuan sebagaimana pada kasus
24 linear programming. Yang dimaksud dengan deviasi pada goal programming terdiri dari deviasi positif dan negatif adalah tidak lain dari peubah surplus dan slack pada linear programming. Cara memformulasikan program tujuan ganda hampir sama dengan program linier, dimana pada tahap pertama dispesifikasikan permasalahan yang dihadapi yang ingin dianalisis, kemudian ditetapkan peubah-peubah keputusan, identifikasi kendala-kendala yang ada baik kendala-kendala sumberdaya maupun kendala-kendala tujuan dan tentukan fungsi tujuannya.
Asumsi-asumsi dasar
yang berlaku pada program linier juga berlaku pada program tujuan ganda seperti additivitas, linearitas, proporsionalitas, deterministik, divisibilitas dan nonnegativity. Model umum goal programming menurut Nasendi dan Anwar (1985), adalah : 1. Fungsi Tujuan : m
Minimumkan
Z=
∑ (Py Wi,ydi- + Py Wi,ydi+) ………………………… (7) i=1
2. Syarat Ikatan : n
∑a j =1
−
ij
+
X j + d i − d i = bi …..………..……......…………..………….............(8)
Untuk i = 1,2,3, … , m Tujuan. n
∑g
kj
X j ≤ atau ≥ C k …………………....…..……………………...............(9)
i =1
Untuk k = 1,2,3, … , p kendala fungsional. J = 1,2,3, … , n peub ah pengambilan keputusan. Xj, di-, di+ > 0.................................................................................................(10) dimana :
25 di-, di+
: jumlah unit deviasi yang kekurangan (underachievement) dan deviasi kelebihan (overachievement) terhadap target (bi) Wi,y : bobot yang diberikan terhadap deviasi kekurangan pada urutan ke- y Wi,s : bobot yang diberikan terhadap deviasi kelebihan dalam urutan ke-s Py & Ps : faktor- faktor prioritas ke- y dan ke-s aij : koefisien teknologi dari fungsi kendala tujuan, yang berhubungan dengan peubah pengambilan keputusan (Xj) (Xj) : peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang dinamakan sebagai sub tujuan (bi) : target yang ingin dicapai gjk : koefisien teknologi untuk fungsi kendala fungsional Ck : jumlah sumberdaya k yang tersedia
Dalam model goal programming diatas terdapat m tujuan, p kendala fungsional dan n peubah pengambilan keputusan. Pendekatan dengan model goal programming ini solusinya tidak menjamin kondisi pareto optimal akan tetapi berupa compromise solution atau satisfying solution, yaitu meminimalkan ketidak puasan dan konflik antara pihak-pihak yang terkait sehingga hasilnya bersifat second best solution.
Jika dalam solusinya tercapai kondisi pareto optimal
hanyalah suatu kebetulan saja. X2 5X1 = 10 X1+X2 = 4
8 6 X1+X2 = 8
4 2 3X1+2X2 = 12
0 2
4
6
8
Gambar 5. Pemecahan Masalah Optimasi Secara Grafis
26 Program tujuan ganda telah banyak dipakai di berbagai disiplin ilmu dan bidang pembangunan dalam rangka memecahkan permasalahan yang menyangkut pengambilan keputusan pengelolaan dan administrasi secara tepat guna dan berdaya guna.
Nasendi dan Anwar (1985) menyatakan metode ini telah
menyusupi kehampir setiap bidang pembangunan seperti bidang pemasaran, keuangan, pendidikan dan latihan kerja, kesehatan, militer, pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah dan tataguna lahan. Bidang kehutanan, aplikasi mathematical programming telah dicoba oleh Nasendi (1982) yang mengkombinasikan linear programming, transportasi dengan goal programming yang kemudian disebut MOSKAYUINDO singkatan dari Model Optimasi Sektor Perkayuan Indonesia (Nasend i dan Anwar, 1985). MOSKAYUINDO merupakan model ekonomi untuk melakukan analisis dan penilaian atau evaluasi tentang berbagai alternatif pengembangan dibidang ekonomi dan perencanaan kehutanan, khususnya pengembangan perkayuan Indonesia baik secara nasional, regional maupun local. Tujuan MOSKAYUINDO antara lain : 1. Menganalisis dan mengidentifikasi pola suplai kayu paling efisien untuk memenuhi berbagai permintaan pasar baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. 2. Menyusun suatu strategi yang optimal dalam sistem angkutan kayu antar pulau dan distribusi kayu dari wilayah produsen ke wilayah konsumen. 3. Menentukan lokasi- lokasi yang optimal untuk kegiatan pembalakan dan pembukaan wilayah, pembangunan industri, serta analisis kapasitas dan pengembangan pelabuhan kayu baik untuk ekspor maupun domestik.
27 Model
ini
berhasil
memperlihatkan
proses
perencanaan
hutan
yang
memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan dalam kerangka politik yang interaktif, partisipatif, dan kompromistik.
Kelemahan studi ini adalah
digunakannya data hipotetik sehingga proses tawar- menawar dalam studi ini masih diragukan. Balangue (1979) menerapkan goal programming untuk memecahkan masalah pengelolaan hutan secara terpadu di kawasan hutan Makiling seluas 4 244 ha di Los Banos Philipina. Hutan ini diperuntukkan bagi berbagai tujuan diantaranya : rekreasi (kenyamanan), keanekaragaman hayati dan suplai air. Karena itu harus ada pengaturan alokasi penggunaan areal hutan secara tepat yang memuaskan permintaan tersebut tanpa mengorbankan kualitas lingkungan dan menurunkan produktivitas hutan itu sendiri. Model goal programming dikembangkan dengan kendala tujuan berupa produksi 26 jenis barang dan jasa, net present value (NPV) pengelolaan hutan. Sedangkan kendala fungsionalnya adala h biaya pengelolaan, sedimentasi, erosi, unsur nitrogen dan phosfor, jatah tebangan tahunan dan luas areal tiap unit lahan (luas DAS, daerah rekreasi, agroforestry, dan hutan tanaman). Balteiro (2003) melakukan perbandingan dua model pendekatan analisis yaitu model program tujuan ganda dengan model tujuan tunggal untuk menyelesaikan masalah ekosistem hutan di
kebutuhan karbon ditangkap dalam pengelolaan
Pinar de Navafria yang berlokasi di gunung “Sierra de
Guadarrama” dekat Madrid Spanyol. Hasilnya, solusi dengan pendekatan GP menunjukan keunggulan-keunggulan dalam hal volume, area inventori dari hutan.
dan nilai akhir
Biaya oportunitas untuk pengembangan memerlukan
28 pengurangan sekitar 11% dari NPV dan peningkatan sekitar 24% dalam total keseimbangan karbon. Selanjutnya, volume kayu yang dipanen dan umur rotasi hutan untuk delapan solusi yang didapat adalah agak mirip. Ringkasnya, solusi yang diperoleh sungguh dapat diterima dari sudut pandang manajerial. Bidang Pertanian, Pal (1996) mendemonstrasikan model perencanaan penggunaan lahan di sektor pertanian melalui model GP yang berbasis pada prioritas, analisis sensitivitas dengan variasi struktur prioritas dilakukan untuk menunjukan bagaimana solusi sensitif terhadap perubahan struktur prioritas. Dan fungsi “Euclidean Distance”
ditunjukan untuk mengukur ketepatan struktur
prioritas dalam suatu perencanaan. Struktur prioritas mana yang terbaik untuk solusi ideal yang disetujui teridentifikasi sebagai struktur prioritas yang tepat untuk menghasilkan solusi yang sangat memuaskan. Bidang
Pengelolaan
Anggaran
Pembangunan,
model
goal
programming telah digunakan oleh Masduki (2005), untuk menentukan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Indramayu.
Target
maksimisasi Output, maksimisasi tenaga kerja, dan maksimisasi pajak diperoleh dengan melakukan analisis optimasi dengan model program linier dengan kendala-kendala yang dipertimbangkan antara lain : input antara, input primer, kapasitas produksi dan anggaran.
Model ini merupakan kombinasi goal
programming dengan model input-output. Bidang Pengelolaan Lahan, Ruslan (1989) menerapkan model goal programming untuk studi penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) Peusangan Aceh. Model serupa juga dilakukan oleh Soemarno (1991) di DAS Konto Hulu Kabupaten Malang Jawa Timur. Model goal programming dibuat
29 didasarkan pada hasil analisis secara parsial dari model- model erosi, hidrologi, agroekologi (kesesuaian lahan), produksi pertanian dan model kependudukan. Widaningsih (1991) menga nalisis penggunaan lahan kering yang dikelola dengan sistem agroforestry di bagian DAS Cimanuk Jawa Barat dan Rachman (2000) menggunakan model goal programming untuk menyusun strategi pengalokasian lahan di Pulau Siberut Sumatera Barat. Menurut Rachman (2000) pemodelan memerlukan tahapan dan ruang lingkup guna memperoleh data yang diinginkan yaitu meliputi tahap-tahap: penilaian situasi, stratifikasi/klasifikasi lahan, analisis kesesuaian lahan, evaluasi penggunaan lahan dan alokasi penggunaan lahan.
Tahapan-tahapan tersebut
diarahkan untuk mengidentifikasi tujuan penggunaan lahan, alternatif kegiatan penggunaan lahan dan kendala-kendala sumberdaya untuk mencapai tujuan penggunaan lahan. Penilaian situasi yang ada ditujukan untuk mengetahui potensi ekosistem, sistem sosial ekonomi, kebijakan pembangunan, isu- isu dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan masa lalu dan masa kini yang berkaitan dengan penggunaan lahan.
Survei dan inventarisasi faktor-faktor biofisik
ekosisitem mencakup luas dan distribusi satuan lahan, jenis-jenis tanah, air, topografi, iklim, vegetasi dan satwa serta hubungan ekologis diantara faktorfaktor tersebut.
Kondisi tanah yang dihubungkan dengan faktor biofisik lain
sangat berguna dalam analisis berikutnya, yaitu analisis kemampuan lahan dan penentuan kelas-kelas lahan yang lebih homogen.
Data luas satuan lahan
merupakan salah satu data penting karena merupakan kendala fungsional dalam model penggunaan lahan yang disusun.
30 Situasi sosial secara spesifik dilihat melalui data kependudukan, pengetahuan tentang bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang terkait dengan pengelolaan lahan, kehidupan keluarga, budaya, adat istiadat, mata pencaharian, dan isu-isu sosial akibat adanya perubahan kondisi biofisik dan ekosistem. Sedangkan situasi ekonomi dapat dilihat dari aspek-aspek pola penggunaan dan pemilikan lahan, produktivitas lahan, pendapatan dan konsumsi keluarga, harga faktor produksi lain, harga dan perdagangan hasil- hasil produksi pertanian, tindakan-tindakan konserva si sumberdaya alam dan fasilitas perekonomian. Pemahaman
yang
komprehensif
terhadap
hal- hal
tersebut
diatas
memberikan inspirasi dalam perhitungan demand (permintaan) akan barang dan jasa yang dihasilkan oleh lahan baik pada saat penelitian maupun perkiraan permintaan dimasa yang akan datang. Permintaan dan kebutuhan tersebut bisa dibedakan dalam permintaan lokal, regional dan nasional.
Permintaan lokal
mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal, sedangkan permintaan regional dan nasional bisa berupa targe t produksi kabupaten maupun provinsi dan kebijakan pemerintah tentang prioritas penggunaan lahan yang terkait dengan pembangunan regional dan nasional.
Berdasarkan pada perhitungan permintaan akan lahan,
barang dan jasa dari lahan dan data hasil inventarisasi kebijakan pemerintah, maka diketahui tujuan penggunaan lahan atau pengelolaan kawasan, yang dapat dikuantifikasi menjadi target dalam penyusunan model penggunaan lahan. Target ini bukan hanya dalam bentuk jumlah permintaan barang yang dihasilkan dari lahan, tetapi juga menyangkut ekonomi lingkungan yang dicerminkan dengan Net Present Value
(NPV)
dan
tingkat
erosi
yang
diinginkan
dari
usaha
pemanfaatan/penggunaan lahan. Sedangkan pengetahuan tentang potensi jumlah
31 tenaga kerja dan modal petani merupakan parameter yang penting karena menjadi kendala fungsional dalam model yang disusun. Stratifikasi atau klasifikasi lahan diarahkan pada penilaian sifat-sifat lahan seperti topografi, sifat fisik dan kimia tanah dibandingkan dengan kriteria yang biasa dipakai di Indonesia. Keluaran dari analisis ini adalah peta kelas-kelas satuan lahan yang dianggap mempunyai keseragaman sifat-sifat dan diskripsi kemampuan lahan untuk arahan pemanfaatannya dalam kelompok penggunaan lahan. Analisis kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi alternatif penggunaan lahan yang lebih spesifik dari arahan penggunaan lahan yang telah ditetapkan dalam stratifikasi satuan lahan. Kombinasi satuan lahan dan alternatif penggunaannya untuk menghasilkan komoditas tertentu menjadi variabel keputusan dalam model yang disusun. Evaluasi Penggunaan Lahan : alternatif strategi pengelolaan lahan tersebut perlu dievaluasi dampaknya secara sosial (acceptability), secara ekonomi (produktivitas, biaya dan keuntungan) dan secara lingkungan. Alokasi Penggunaan Lahan : tahap ini meliputi perumusan model operasional penggunaan lahan, simulasi model dengan berbagai skenario dan interpretasi hasil.
2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan Menurut Western Cape Education Depertment/WECD (1987) dalam Siregar (2004) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
32 mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara garis besar konsep
pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu ekologis, sosialekonomi-budaya, sosial politik dan hukum kelembagaan.
Secara ekologis
terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu : keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan sumberdaya yang bijaksana sepanjang waktu, hal ini berbeda-beda untuk masing- masing tipe sumberdaya (Barlow, 1972).
Konservasi sumberdaya lahan merupakan suatu sistem
penggunaan dan pengelolaan lahan yang didasarkan atas pembawaan atau keadaan lahan itu sendiri, yang meliputi penerapan cara-cara atau praktek-praktek terbaik yang ditujukan untuk memperoleh produksi tertinggi tanpa merusak lahan yang bersangkutan.
Oleh karena itu konservasi lahan dapat diartikan sebagai
penggunaan lahan yang tepat, melindungi lahan dari kerusakan dan memperbaiki lahan yang mutunya buruk.
Dengan definisi tersebut, maka konservasi lahan
hendaknya merupakan suatu alat untuk penataan penggunaan lahan yang baik. Dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan yang bijaksana sepanjang waktu di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo, yang perlu diperhatikan adalah menyangkut keberadaan kawasan lindung mangrove. Suatu kebijakan untuk tetap mempertahankan kawasan lindung mangrove sampai dengan luasan tertentu (hutan mangrove lestari), jelas hal ini akan bisa menjamin kelangsungan bagi manfaat ekonomi untuk masa- masa yang akan datang. Konsep hutan mangrove
33 lestari lebih dikaitkan dengan luasan tertentu dari kawasan lindung mangrove sehingga keberadaannya mampu menjaga stabilitas ekosistem lain disekitarnya. Luas hutan mangrove lestari sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, misalnya polusi atau senyawa biokimia tertentu yang berpotensi menurunkan kualitas ekosistem. Semakin tinggi kadar polusi yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar, maka diperlukan tegakan hutan mangrove yang lebih luas untuk berfungsi sebagai biofilter, sehingga keberadaan ekosistem sekitarnya (misal: ekosistem tambak) tetap berfungsi secara normal. Karena itu konsep luas hutan mangrove lestari sangat bersifat spesifik lokasi.
Kesulitan untuk menentukan batasan hutan
mangrove lestari disebabkan oleh tidak tersedianya informasi tentang besar kecilnya kemampuan biomassa mangrove dalam menguraikan polusi logam berat dan atau senyawa kimia tertentu, menyediakan bahan organik dan lain- lain. Namun begitu konsep hutan mangrove lestari bisa didekati dari sisi ketebalan green belt (jalur hijau) mangrove yang ada di sempadan pantai. Menurut JICA (1994) dalam laporan PT. Intermulti Planindo (2004) bahwa pada ketebalan hutan mangrove 200 m, kerapatan pohon 30 pohon/100 m2 , diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen gelombang tsunami dengan ketinggian 10 m.
Informasi inilah yang umumnya dipakai sebagai rujukan
pemerintah daerah dalam menentukan batasan sabuk hijau kawasan pesisir. Pendekatan lebar belt didasarkan pada suatu fungsi yang menurun dari kadar polutan menurut jaraknya dari garis pantai. tertentu, kadar senyawa biokimia tertentu
Sampai tingkat ketebalan
yang berpotensi merusak ekosistem
sekitar mangrove dapat dinetralisir oleh hutan mangrove.
Karena itu dengan
34 mengetahui pengaruh hutan mangrove terhadap perilaku kadar senyawa biokimia tertentu, kita bisa menentukan batas hutan mangrove lestari. Sukardjo (1982) melaporkan hasil penelitiannya di muara Cimanuk sebagaimana disajikan pada Tabel 1 bahwa semakin masuk ke dalam hutan mangrove – semakin jauh dari garis pantai, kadar senyawa biokimia tertentu semakin menurun. Dalam menentukan batasan ketebalan hutan mangrove lestari, tentunya tidak akan dilakukan analisis terhadap keseluruhan unsur- unsur senyawa biokimia, karena itu dapat dipilih unsur- unsur utama yang sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan ekosistem seperti phospat, nitrogen, kebutuhan oksigen biokimia (BOD), serta kebutuhan oksigen kimia (COD) (Nur, 2002). Pertambahan bahan organik dalam air dapat meningkatkan kemasaman akibat pelepasan gas CO2 melalui penguraian bahan organik. Boyd (1989) telah mengga mbarkan kondisi kemasaman perairan untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Di dalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga yaitu adanya garam- garam karbonat dan bikarbonat. pH sering pula dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan.
Air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan
organik yang ada dalam air menjadi mineral- mineral yang dapat diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pH ikut berperanan dalam menentukan produktivitas primer perairan. Salinitas ; kehidupan berbagai jenis fitoplankton dan juga zooplankton bergantung pada salinitas. Dikenal jenis-jenis yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sangat sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Menurut Nontji (2002), peranan salinitas di perairan
35 Tabel 1. pH dan Kandungan Hara Tanah di Hutan Mangrove Cimanuk Jarak Dari Laut 0
PH H2O
NH4 (ppm)
NO3 (ppm)
C (%)
N (%)
C/N
P2O5 (ppm)
K2O (mg/100 g)
7.30
35.00
18.00
4.03
0.27
18.47
23
5.47
20
6.80
39.00
8.00
5.56
0.23
24.30
31
5.56
40
6.30
53.00
10.00
5.64
0.26
21.52
40
5.05
60
6.10
67.00
32.00
5.74
0.40
14.92
52
5.71
100
6.10
60.00
26.00
8.79
0.38
23.34
37
6.75
140
6.20
56.00
16.00
6.38
0.33
19.27
39
5.18
260
6.10
68.00
13.00
5.19
0.35
15.20
57
6.06
Sumber : Sukardjo (1982)
Tidak ada reproduksi Kematian
4
Tidak ada reproduksi
Pertumbuhan Lambat 5
6
Pertumbuhan yang baik 7
8
Pertumbuhan Lambat 9
10
Kematian
11
Gambar 6. Pengaruh pH Terhadap Perikanan Kolam mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi dari pada produktivitas secara keseluruhan. Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuaria khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batasan salinitas yang sempit. Menurut Kinne (1964), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31 – 40 0 /oo. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturutturut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0.50 /oo), perairan payau (salinitas 0.5 – 300 /oo), hypersaline (salinitas 30 – 80
0
/oo) dan brain water
(salinitas lebih dari 80 0 /oo). Nitrogen (N), merupakan unsur penting dalam proses pembentukan protoplasma. Di dalam air, nitrogen biasanya berada dalam bentuk gas N2 yang
36 segera berubah menjadi senyawa lain yaitu nitrit, nitrat, ammonium dan ammonia. Menurut Mackentum (1969), kadar nitrat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 3.9 – 15.5 ppm, sedangkan nitrat kurang dari 0.114 ppm akan menyebabkan nitrat menjadi faktor pembatas.
Menurut Welch and
Lindell (1980), rasio unsur N dan P dapat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Perairan eutrofik dicirikan oleh rasio N/P lebih kecil atau sama dengan 16/1, sedangkan perairan oligotrofik memiliki rasio N/P lebih besar atau sama dengan 16/1. Reynolds (1984) mengemukakan jika rasio N/P lebih besar dari 15/1, maka perairan dibatasi oleh unsur P, sedangkan rasio N/P lebih kecil dari 15/1 maka perairan dibatasi oleh unsur N. Unsur hara phospat yang efektif bagi pertumbuhan fitoplankton adalah dalam bentuk senyawa phosphor inorganik (ion ortophospat), meskipun dalam keadaan tertentu dapat pula diperoleh dari phosphor organik tertentu. Di perairan alami phospat biasanya menjadi faktor pembatas utama bagi pertumbuhan produktivitas primer perairan.
Tinggi rendahnya kandungan phospat dalam
perairan merupakan pendorong terjadinya dominasi fitoplankton tertentu, seperti yang dikemukakan oleh Prowse (1962) yaitu perairan dengan kandungan phospat rendah (0.00 – 0.02 ppm) akan didominasi oleh Chlorophyta dan pada kadar tinggi lebih dari 0.10 ppm didominasi oleh jenis Cyanophyta. Oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton, tanaman air dan aliran yang masuk. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme komunitas serta sebagai indikator kualitas perairan.
Selain itu
kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang
37 tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen, 1979). Clark (1977) menambahkan, bahwa peningkatan produktivitas primer hasil proses fotosintesis sebanding dengan jumlah oksigen yang dihasilkannya.
Kebutuhan oksigen
biokimiawi atau Biological Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang dipergunakan dalam proses oksidasi.
Bahan yang dapat diuraikan oleh
kegiatan organisme pembongkar (bakteri)
secara tidak langsung merupakan
indikasi jumlah bahan organik. Laju pertambahan BOD di dalam air merupakan indikasi jumlah bahan organik yang telah diuraikan sesuai dengan keseimbangan kecepatan pemakaian oksigen dalam menguraikan limbah organik dan kecepatan oksigen dalam air atau reoksigenasi. Nilai standar pasti ukuran kualitas air yang didasarkan BOD sulit diterapkan, karena berkaitan dengan reoksigenasi. Namun berdasarkan reoksigenasi, batas minimum BOD untuk kepentingan biota air adalah 5 mg/l pada air tergena ng dan batas maksimum mencapai 15 mg/l. Kebutuhan oksigen kimiawi atau Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan untuk me ngoksidasi sempurna semua bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Boyd, 1982). Nilai COD dapat digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang setara dengan kandungan bahan organik suatu contoh air yang mudah dioksidasi oleh oksigen kimia (APHA, 1989). Hutan mangrove sebagai biofilter
akan mampu menetralisir polusi dan
atau mempengaruhi perilaku kadar senyawa biokimia tertentu
menurut suatu
fungsi yang menurun tergantung jaraknya dari garis pantai.
Sampai tingkat
ketebalan tertentu, polutan dan kadar senyawa biokimia yang berpotensi untuk mengganggu ekosistem sekitar mangrove dapat dinetralisir sehingga aman untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti budidaya udang dan bandeng.
Pada batas
38 inilah dikatakan bahwa hutan mangrove tersebut mencapai ambang batas lestari. Fenomena ini digambarkan dalam sebuah grafik fungsi produksi sebagaimana disajikan pada Gambar 7. Unsur-unsur yang berpotensi menggangu ekosistem tambak diantaranya adalah : phospat, nitrogen, BOD. Untuk melakukan pendugaan parameter digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode OLS. Setelah diperoleh fungsi dugaannya, selanjutnya nilai rataan kandungan polutan dan atau senyawa biokimia yang ada dalam tambak disubstitusikan ke persamaan model. Dengan begitu akan diketahui batas ketebalan hutan mangrove lestari. Data yang diperlukan adalah kadar polutan dan atau senyawa biokimia yang terkandung dalam air tanah disekitar kawasan pesisir pantai – untuk itu diperlukan analisis laboratorium untuk air tanah contoh. Tingkat Polusi (P) Kadar Polutan P = a . J-b
P0
Toleransi Kadar Polutan Dalam Tambak
0 J0 Ketebalan Minimal Ambang Batas Hutan Mangrove Lestari
J ( Jarak Dari Garis Pantai)
Gambar 7. Hubungan antara Kadar Polutan dengan Jarak dari Garis Pantai
2.3.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total lebih kurang 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan dua spesies
39 parasitic (Nontji, 2002). Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah jenis bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops) dan buta-buta (Excoecaria). Oleh sebab itu di dalam perencanaan pembangunan ekosistem mangrove harus dianut pula azas kelestarian fungsi dan manfaat yang optimal. Ekosistem mangrove secara garis besar mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. 1. Fungsi Ekologi Hutan Mangrove Menurut Snedaker et al. (1984), dilihat dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ekologis. Fungsi ekologis ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain aspek fisika, kimia dan biologi. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika adalah : (1) terjadinya mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang, (2) dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh ekosistem mangrove mempunyai kemamp uan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin topan, dan (3) sebagai pengendali banjir. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. Dilihat dari aspek kimia, maka hutan mangrove dengan kemampuannya melakukan proses kimia dan pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi yaitu : (1) sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik, (2) sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya, dan (3) pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan.
40 Pada ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi pertikelpertikel detritus, yang menjadi sumber makanan bagi berbagai proses penguraian (dekomposisi) di hutan mangrove juga memasuki lingkungan perairan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (organisme yang cara makannya dengan menyaring) lautan dan estuaria serta berbagai macam he wan dasar (Snedaker et al., 1984). Tabel 2. Produk Langsung dari Ekosistem Mangrove Kegunaan
Produk
Pertanian
Kayu bakar untuk memasak, untuk memanggang ikan, untuk memanaskan lembaran karet, untuk membakar batu bara, arang dan alkohol Kayu untuk kontruksi berat (contoh : jembatan), untuk penjepit jalan kereta api, untuk tiang penyanggah terowongan pertambangan, untuk tiang pancang geladak, bahan untuk lantai, papan bingkai, bahan untuk membuat kapal, pagar, serpihan kayu. Pancing ikan untuk memangkap ikan, sebagai pelampung pancing, racun ikan, bahan untuk pemelihara jarring dan sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan unik. Sebagai makanan ternak dan pupuk hijau
Produksi kertas, makanan, minuman dan obat-obatan
Berbagai jenis kertas, gula, alcohol, minyak goring, cuka, minuman fermentasi, pelapis permukaan kulit, rempah-rempah dari kulit kayu, daging dari propagules, sayur-sayuran, buah atau daun dari propagules.
Peralatan rumah tangga Produksi tekstil dan kulit
Perabot, perekat, minyak rambut, peralatan pangan, penumbuk padi, mainan, batang korek api
Lain-lain
Pengepakan
Bahan bakar
Kontruksi
Memancing
Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan untuk penyamakan kulit
Sumber : Saenger et al., (1983)
Selain fungsi yang disajikan pada Tabel 2, menurut Snedaker et al. (1984) ekosistem mangrove juga memiliki fungsi- fungsi fisik yaitu : mencegah terjadinya intrusi air laut kedaratan, dan sebagai pelindung pantai dari abrasi.
Hutan
mangrove dari aspek biologis sangat penting untuk menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir. Hal ini
41 mengingat hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground), beberapa biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Mementingkan fungsi ekologis bukan berarti meniadakan fungsi ekonomis, tetapi yang terpenting adalah bagaimana menempatkan kepentingan ekonomis tidak merusak fungsi ekologis hutan mangrove itu sendiri. 2. Fungsi Ekonomis Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove merupakan hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosia l dan lingkungan yang penting. Snedaker et al. (1984), telah mengidentifikasi lebih dari 70 nilai pakai dari ekosistem mangrove.
Masyarakat Indonesia memanfaatkan nilai pakai
langsung dari tanaman bakau adalah untuk kayu bakar, arang, penyamak kulit, bahan-bahan bangunan, peralatan rumah tangga, obat-obatan dan bahan baku pulp untuk industri kertas. Tabel 3. Produk Tidak Langsung Dari Ekosistem Mangrove Sumber Ikan blodok (beberapa jenis) Crustacea (udang dan kepiting) Molusca (kerang, remis, tiram) Lebah Burung
Produk Makanan Makanan Makanan Madu, Lilin Makanan, Bulu, Rekreasi (mengamati dan berburu)
Reptil Fauna lainnya (amphiibi dan serangga) Sumber : Saenger et al., (1983)
Kulit, Makanan, Rekreasi Makanan, Rekreasi
3. Manfaat Langsung Hutan Mangrove (1) Arang Mangrove, produksi arang mangrove berkisar 330 000 ton/tahun, sebagian diekspor ke Jepang dan Taiwan melalui Malaysia dan Singapura. Harga FOB ekspor arang yaitu US $ 1000/10 ton, sedangkan harga pasar
42 lokal tahun 2004 cukup bervariasi antara Rp 700/kg sampai Rp 800/kg di Batu Ampar Kalimantan Barat. Jenis-jenis tumbuhan mangrove biasanya dimanfaatkan untuk arang dan kayu bakar karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Tahun 1998 harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13 000/m3 (Jawa Timur), sedangkan di Segara Anakan Cilacap harganya Rp 8 000/m3 . Setiap meter kubik kayu bakar mangrove cukup untuk memasak selama 1 bulan untuk keperluan satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga.
Satu batang kayu bakar mangrove dengan
diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk satu kali masak nasi bagi 5 anggota keluarga (Santoso dan Alikodra, 1998). (2) Chip, pada umumnya hutan mangrove yang dialokasikan untuk produksi chip dikelola dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam melakukan pengusahaan hutan mangrove untuk produksi chip adalah berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 dengan sistem tebang pilih, rotasi 30 tahun, pohon yang ditebang berdiameter > 10 cm, ditinggalkan jumlah pohon induk 40 batang/ ha (diameter > 20 cm), melakukan penanaman pada bekas tebangan, mempertahankan green belt atau sempadan pantai, sungai atau anak sungai (Dephut, 1994). Pada tahun 1998, jumlah chip yang diproduksi lebih kurang 250 000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksi tersebar di propinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. Harga chip di pasar internasional mencapai US $ 40/ton. Chip mangrove mampu bersaing dengan chip lainnya (Accasia mangium), karena harganya lebih murah.
43 (3) Nipah, tanaman nipah (Nypa fruticans) adalah jenis tanaman dalam gugusan ekosistem mangrove, banyak dimanfaatkan masyarakat setempat. Daunnya untuk atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun. Buah yang masih muda dapat diolah untuk es buah nipah, manisan buah nipah atau dimakan langsung. Buah yang tua dipergunakan sebagai bahan baku kue wajik sedangkan malainya dapat dimanfaatkan sebagai penghasil nira atau gula nipah. Harga atap daun nipah di Samarinda Kalimantan Timur adalah Rp 600/lembar, di Cilacap Jawa Tengah adalah Rp 300/lembar (Santoso dan Alikodra, 1998). (4) Obyek Wisata Alam, hutan mangrove memiliki potensi sebagai obyek wisata alam. Beberapa lokasi telah dikembangkan antara lain di hutan Wisata Tritih, Cilacap. Jumlah pengunjung yang datang ke obyek wisata Tritih tiap tahun sekitar 20 000 orang yang memberikan pendapatan dari penjualan karcis se kitar Rp 9 000 000 / tahun. Beberapa lokasi sedang direncanakan akan di kembangkan untuk obyek wisata mangrove, seperti hutan wisata mangrove Kamal Muara Jakarta, hutan mangrove Taman Nasional Bali Barat dan hutan mangrove Pantai Utara. (5) Obat Tradisional, beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astringent, kulit R. mucronata untuk menghentikan pendarahan, air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai anti septic untuk luka, air rebusan Acanthus illicifolius digunakan untuk obat diabetes, buah Xylocarpus granatum dicampur dengan tepung beras sebagai bedak muka dan anti gatal.
44 4. Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Selain manfaat tidak langsung sebagaimana disajikan pada Tabel 3, hutan mangrove juga berperan sebagai penahan angin dan pencegah abrasi sehingga melindungi lahan pertanian dan pemukiman.
Seringkali ditemui masalah dan
kegagalan dalam konversi hutan mangrove menjadi sawah, karena salinitas tanah tinggi dan mengandung sulfat. Hasil penelitian Sediadi (1991) di teluk Jakarta menunjukan erosi di pantai Marunda yang tidak berbakau dalam waktu 2 bulan mencapai lebih kurang 2 m, sedangkan di daerah Segara Makmur yang relatif berbakau laju erosi hanya 1 m. Berkurangnya laju erosi tersebut disebabkan oleh perakaran hutan bakau.
Hernanto (1999) melaporkan di daerah Sadang,
Kecamatan Pedes, jalur tanah pesisir selebar kurang lebih 75 m akan hilang dan kembali terbentuk di musim timur. Di desa Sungai Buntu, kecamatan Pedes, tanah seluas 120 ha telah hilang dalam 30 tahun terakhir. Di desa Pasir Rukem dan desa Ciparagi pada beberapa tahun terakhir ini tanah yang hilang akibat erosi diduga masing- masing mencapai 7 dan 10 ha. Disamping terjadi erosi, di Kabupaten Karawang terjadi penambahan lahan. Beberapa daerah di kecamatan Cilamaya, terutama disekitar muara Cilamaya terjadi penambahan lahan baru selebar setengah kilometer. Konsep dan metode valuasi ekonomi ekosistem mangrove : 1. Konsep Valuasi Ekonomi. Dalam ilmu ekonomi suatu barang atau jasa dikatakan mempunyai nilai apabila dapat meningkatkan kesejahteraan manusia (Kreger, 2001). Penilaian (valuasi) adalah proses mengkuantifikasi nilai menurut persepsi individu. Panayoutou (1997), mengatakan bahwa penilaian atau valuasi adalah proses
45 mengenakan nilai atau harga kepada barang-barang atau jasa yang tidak diperjual belikan dipasar atau tidak dihargai secara benar. Valuasi diperlukan karena harga relatif menentukan alokasi sumberdaya. Nilai ekonomi sistem sumberdaya lingkungan merupakan penjumlahan dari nilai sekarang yang telah didiskon (discounted present value) dari aliran semua jasa. Manfaat setiap kebijakan publik yang meningkatkan aliran suatu jenis jasa lingkungan merupakan peningkatan nilai sekarang jasa tersebut. Tetapi kebijakan itu dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan aliran jasa yang lain (Freeman III, 1992). Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (2003), tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental goods and services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Sanim (2003), menyatakan hal- hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi dampak lingkungan adalah sebagai berikut : (1) Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. (2) Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena mengukur aspek atau konsep yang berbeda. (3) Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. (4) Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat mungkin.
46 (5) Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan hasil valuasi ekonomi. 2. Metode Valuasi. Menurut Senn (1971), metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Pendekatan berkaitan dengan beberapa alternatif yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan. Mitchell dan Carson (1989) merupakan salah satu dari sejumlah ahli yang menyusun metode valuasi sumberdaya secara jelas sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Ia menawarkan klasifikasi metode untuk mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan dua karakteristik metode. Karakteristik yang pertama dilihat dari sumber data, apakah berasal dari observasi langsung terhadap kenyataan yang dialami oleh individu atau berasal dari respon individu terhadap pertanyaan hipotetik, misalnya: “apakah yang akan kamu lakukan jika …?” atau “apakah kamu mau membayar jika…?”. Karakteristik yang kedua didasarkan kepada apakah metode yang digunakan untuk mengukur nilai moneter harus diperoleh dari beberapa teknik tidak langsung berdasarkan model perilaku dan pilihan individu. Tabel 4. Metode Estimasi Nilai Sumberdaya Lingkungan Observed Behavior Direct Indirect
Competitive market price, Simulated market Travel cost, Hedonic property value, Avoidanceexpenditure, Referendum using
Hypothetical Bidding games, Willingness to pay question Contingent ranking, Contigent activity, Contigent referendum
Sumber: Mitchell dan Carson (1989)
Berdasarkan kedua karakteristik ini, beberapa metode untuk mengestimasi sumberdaya dan lingkungan dapat ditempatkan dalam empat kategori yaitu: Observasi langsung (direct observation), observasi tidak langsung (indirect
47 observation), hipotetik tidak langsung (indirect hypothetical), dan hipotetik langsung (direct hypothetical). Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari tiga tahap yaitu, tahap identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, tahap kuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, dan tahap memilih alternatif pengelolaan sumberdaya (Dahuri et al, 2001). 1. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem. Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi masyarakat dapat dikategorikan kedalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Manfaat langsung dikategorikan kembali kedalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value).
Nilai kegunaan langsung merujuk pada
kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung dan lebih bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung.
Komponen
manfaat tidak langsung dibagi lagi kedalam sub klas yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai pewarisan (bequest value), dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya.
Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang
48 diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang.
Nilai pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan
sumberdaya sehingga manfaatnya masih tersedia untuk masa yang akan datang. 2. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove. Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian besar, tergantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu : umum diaplikasikan, potensial untuk diaplikasikan, dan didasarkan atas survey. Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya (cost based valuation). Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based methods) dan yang kedua berdasarkan pada nilai pasar pengganti. Metode- metode valuasi ekonomi yang termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah : perubahan nilai hasil produksi, dan metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods).
Sedangkan metode pasar pengganti terdiri dari : biaya
perjalanan (travel cost methods), pendekatan perbedaan upah (wage differential methods), pendekatan nilai pemilikan (property value), dan pendekatan nilai barang yang dapat di pasarkan (hedonic pricing). Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari : 1. pengeluaran pencegahan (averted defensive expenditure methods) 2. proyek bayangan (shadow project methods) 3. biaya penggantian (replacement cost methods) 4. biaya perpindahan (relocation cost methods)
49
NILAI EKONOMI TOTAL ( Total Economic Value)
NILAI TANPA PEMANFAATAN ( Non Use Value)
NILAI PEMANFAATAN (Use Value)
NILAI PEWARISAN
NILAI MANFAAT LANGSUNG
( Direct Use Value)
(Bequest Value)
Pangan, Biomasa, Rekreasi, Kesehatan
Habitat, Spesies Langka
NILAI MANFAAT TAK LANGSUNG
NILAI KEBERADAAN (Existence Value)
(Indirect Use Value) Fungsi ekologis, Pengendalian banjir, Menetralisir polusi air laut.
Habitat, Perubahan tetap
NILAI MANFAAT PILIHAN (Option Value) Biodiversity, Konservasi Habitat
METODE PENILAIAN (Valuation Method)
PENDEKATAN MANFAAT (Benefit Based Method)
NILAI PASAR AKTUAL
NILAI PASAR PENGGANTI
1.
1. 2. 3. 4.
2.
Perubahan nilai hasil produksi Kehilangan Penghasilan
Gambar 8.
Nilai perjalanan Perbedaan upah Nilai pemilikan Nilai pengganti
PENDEKATAN BIAYA (Cost Based Method)
1. 2. 3. 4.
Nilai pencegahan Proyek bayangan Biaya pengganti Biaya perpindahan
Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya dengan Metode Valuasi
50 Secara ringkas, hubungan antara nilai ekonomi lingkungan dan metode valuasinya dapat dilihat pada Gambar 8.
Hufscmidt et al. (1996),
mengelompokan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan pendekatan berdasarkan survey atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan Hodgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingent valuation methods) dan metode kesesuaian manfaat (benefit transfer methods).
2.4. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Untuk menganalisis kinerja penggunaan lahan sesuai konsep RTRW dapat diterapkan atau tidak, pendekatan teori ekonomi kelembagaan yang bisa digunakan adalah pendekatan teori agensi (Principal-agent Theory) – yang menjelaskan bentuk hubungan agensi antara petambak pemilik lahan dengan pemerintah yang melakukan pengelolaan lahan.
Berdasarkan teori ini bisa
dijelaskan masalah insentif yang seringkali menjadi faktor penghambat bagi pelaksanaan suatu program yang melibatkan pihak principal dengan pihak agent. Teori agensi dalam bentuk yang paling sederhana menyangkut hubungan antara dua orang yang satu dinamai induk semang (principal) dan yang lainnya yang membuat keputusan atas nama dan mempengaruhi induk semang tersebut dinamai anak buah (agent). Salah satu pihak misalnya principal, mempengaruhi pihak agent dengan mengambil tindakan yang akan merugikan agent.
Pihak
principal mungkin tidak dapat mengamati secara langsung tindakan atau reaksi
51 dari agent, tetapi principal dapat mengamati dari beberapa indikator antara lain tingkat output sebagai reaksi yang dihasilkan oleh agent. Jadi persoalan yang dihadapi oleh principal adalah bagaimana mendesain mekanisme insentif untuk agent sehingga mempengaruhi agent agar mengambil tindakan terbaik bagi principal. Pelaksanaan rencana penggunaan lahan akan efektif jika masing- masing pihak (principal – agent) dapat memperoleh insentif atau keuntungan dari padanya. Masyarakat petambak disatu sisi sebagai pemilik lahan (principal) dan disisi lain pemerintah (agent) sebagai perencana dan pengelola penggunaan lahan milik petambak.
Masyarakat menginginkan agar pejabat mau dan mampu
melakukan perencanaan dan pengelolaan lahan secara lebih baik (optimal) sehingga produktivitas total dari lahan suatu kawasan akan meningkat yang pada gilirannya keuntungan petambak juga akan peningkatan. Mekanisme apa yang dapat memberikan insentif kepada pemerintah (agent) untuk dapat dan mau bekerja demi kepentingan principal (masyarakat pemilik tambak)? Pertanyaan ini berperanan penting bagi setiap analisis principalagent. Menurut Pindyck (2001), kerangka principal-agent dapat membantu kita memahami perilaku para manajer organisasi pemerintah.
Agar para manajer
organisasi pemerintah mau melakukan fungsinya untuk memaksimalkan kepuasan principal (masyarakat pemilik tambak), maka diperlukan suatu mekanisme pengaturan sistem insentif dalam sebuah set kelembagaan atau sistem organisasi pembangunan. Menurut Niskanen dan Weber dalam Pindyck (2001), insentif bagi pemerintah adalah apabila dari suatu tindakan (pengelolaan lahan) birokrat
52 dapat mengembangkan anggaran belanjanya (lazim disebut PAD). Selama hal itu tidak terjadi, maka jangan harap ada implementasi rencana pengelolaan lahan. Proses pengelolaan atau implementasi rencana penggunaan lahan adalah proses ekonomi dan proses ekonomi adalah proses transaksi yang mengandung suatu korbanan (biaya transaksi).
Ketidakjelasan informasi tentang biaya
transaksi dalam sebuah kontrak ekonomi antara principal dan agent seringkali menghambat implementasi dari kontrak tersebut. Niat untuk memperoleh insentif atau manfaat ekonomi dari suatu pelaksanaan kontrak jelas akan terkendala jika masing- masing pihak masih meragukan tentang besaran dari potensi biaya transaksi yang timbul. Implementasi rencana penggunaan lahan oleh agent
memerlukan
koordinasi dari berbagai pihak terkait. Koordinasi tersebut akan afektif jika tersedia organisasi dan kelembagaan yang memadai. Sebuah organisasi dimana didalamnya mengandung sistem kontrak yang mengatur mekanis me pengambilan keputusan bagi terselenggaranya suatu proses transaksi, ada dua jenis biaya yang mendasarinya yaitu : biaya membuat keputusan, dan biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan orang atau orga nisasi lain. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan biaya tersebut. Aturan pengambilann keputusan yang sederhana akan meminimumkan kedua jenis biaya tersebut.
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Pakpahan (1990), biaya transaksi dapat dibedakan kedalam : biaya membuat informasi, biaya negosiasi atau biaya membuat konttrak, dan biaya pelaksanaan dan pengawasan.
Biaya informasi adalah biaya untuk
53 mengumpulkan informasi mengenai produk atau input baik berupa harga, kualitas dan jumlah. Biaya negosiasi adalah biaya yang diperlukan dalam upaya untuk mencapai suatu kesepakatan. Sedangkan biaya pelaksanaan dan pengawasan adalah biaya yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan kesepakatan tidak melenceng dari aturan yang telah disepakati. Secara lebih rinci komponen biaya transaksi dapat dilihat pada Gambar 9. BIAYA TOTAL
BIAYA INFORMASI
1. 2. 3. 4. 5.
Biaya investigasi Biaya penyusunan masterplan Biaya sosialisasi Biaya penyuluhan Biaya fasilitasi
BIAYA NEGOSIASI
1. 2. 3. 4. 5.
Biaya pembuatan perundangundangan Biaya pertemuan-pertemuan Penegasan batas-batas kawasan kelola (pemasangan pal batas) Biaya penyelesaian konflik Biaya fasilitasi dan advokasi
BIAYA PELAKSANAAN
1.
2. 3. 4. 5.
Biaya pelaksanaan pengelolaan secara rutin Biaya pengawasan Penetapan sangsi Biaya ekslusif Biaya fasilitasi dan advokasi
Gambar 9. Komponen-Komponen Biaya Transaksi Semakin besar biaya transaksi yang timbul akibat pelaksanaan suatu kontrak (konsep tataguna lahan) maka hal tersebut akan berpotensi untuk mengurangi besarnya insentif yang akan diterima kedua belah pihak. Jika potensi keuntungan tidak dapat menutup seluruh biaya transaksi yang timbul, maka dapat dipastikan pelaksanaan kontrak atau implementasi rencana penggunaan lahan tidak akan efektif. Falconer (2002) mencoba membandingkan biaya transaksi untuk kasus dua skema model pengelolaan barang agri-environmental di Negara Inggris bagian utara. Hasilnya menunjukan bahwa kesepakatan dibawah skema Wildlife
54 Enhancement Scheme (WES) jauh lebih mahal dibandingkan dengan kesepakatan negosiasi individual persatuan unit lahan.
Besarnya biaya transaksi ini lebih
banyak dikontribusi oleh komponen biaya perawatan (penegakan/enforcement) kesepakatan yang sudah dibangun antara pengelola dengan masyarakat pemilik lahan.
2.4.1. Pilihan Bentuk Organisasi Menurut Hodgson (2006) Organisasi adalah institusi khusus yang mengandung : (1) kriteria untuk membangun batas-batas yuridis dan membedakan anggota dan bukan anggota, (2) dasar-dasar dari kekuasaan mengenai siapa yang dikenakan dan tidak dikenakan charge, dan (3) rantai komando tanggung jawab masing- masing anggota partisipan. Pilihan-pilihan bentuk organisasi kelembagaan pengelolaan lahan akan mempengaruhi besaran biaya transaksi. Bentuk organisasi yang paling sesuai tentunya akan memberikan konsekuensi bagi biaya transaksi yang minimal. Dalam pengelolaan suatu sumberdaya milik bersama, apabila seorang individu harus menentukan pilihan dalam mengambil suatu tindakan pada setiap situasi, tergantung pada bagaimana dia mempertimbangkan manfaat dan biayabiaya dari berbagai alternatif strategi yang dihadapinya. Tetapi dalam mencoba untuk memperoleh ma nfaat tersebut, individu dihadapkan pada kendala keterbatasan dalam memperoleh informasi dan keterbatasan kemampuan mengolah informasi.
Dalam keadaan ketidakpastian ini individu cenderung
berperilaku dan bersifat oportunistik.
Menurut Simon (1961) dalam Anwar
(1997), suatu organisasi dapat mengimbangi kekurangan individu tersebut yaitu
55 dengan cara menugaskan kepada tiap individu suatu tugas yang terbatas sehingga jelas dalam lingkungan dan prosedur pelaksanaan yang sudah dibakukan (standardized procedures). Institusi yang mengatur cara-cara pelaksanaan yang diperlukan
tersebut dapat juga dipandang sebagai cadangan (stock) sebagai
wadah untuk memperoleh sumber pengetahuan (informasi) yang dibutuhkan. Oleh karenanya institusi itu mempunyai fungsi sebagai wadah koordinasi yang menyediakan sumber pengetahuan (informasi) dalam melakukan hubungan interpersonal. Oportunisme merupakan faktor lain yang penting yang memberi ciri kepada individual yang akan mempengaruhi keragaan dari tindakan kolektif (collective action) karena dapat membuat kesulitan dalam membuat negosiasi dan pelaksanaan bagi hal-hal yang disetujui bersama sebagai kesepakatan. Seorang individu sebenarnya dapat menjadi penghalang kepada terjadinya proses negosiasi dengan cara mencoba menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya kepada orang lain agar memperoleh sebagian besar keuntungan kepadanya.
Setelah
mereka masuk dalam suatu bentuk persetujuan kontrak yang sudah disepakati namun masih ada kemungkinan terjadinya pertentangan (conflict) yang muncul dikemudian hari – khususnya yang berkaitan dengan kesalahan interpretasi. Sumber pertentangan seperti ini besar kemungkinannya terjadi karena sangat sulit untuk merancang pengaturan yang dapat memperhitungkan semua kejadian dimasa yang akan datang. Selanjutnya individual yang terlibat dalam persetujuan kontrak masih dapat menarik keuntungan melalui tindakan terselubung (hidden action) jika keadaan mengijinkan untuk itu.
56 Williamson (1985),
berpendapat bahwa pemecahan masalah dari
pertentangan tersebut membutuhkan suatu pelerai eksternal dengan cara membangun suatu struktur organisasi yang berkemampuan (governance structure). Struktur governance yang demikian mencerminkan pengaturan institusional yang dapat diadopsi oleh para pesertanya secara sukarela sehingga dapat menjunjung komitmen guna melaksanakan transaksi (proses pengelolaan) secara berulang-ulang diantara semua anggota partisipan.
Williamson (1985),
melukiskan berbagai kemungkinan bentuk organisasi yang dapat dikreasikan tergantung pada dua dimensi utama yaitu human asset specificity dan frekuensi transaksi. Kemungkinan bentuk-bentuk organisasi tersebut berada dalam kisaran spektrum mulai dari spot market sampai hierarki yang kompleks sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Aset Spesifik Rendah
Frekuensi
Tinggi
Rendah
Quasi Market
Hierarki Yang Sederhana
Tinggi
Kelompok Otonom
Hierarki Yang Kompleks
Gambar 10. Modalitas dari Hubungan Organisasi Internal Pengelolaan sumberdaya lahan memiliki ciri asset specificity yang rendah dengan frekuensi transaksi antar anggota yang tinggi.
Karena itu bentuk
organisasi yang dapat dikreasikan adalah merupakan ”Kelompok Otonom”. Bentuk organisasi yang sesuai akan dapat mengurangi tindakan oportunisme individual dan akan dapat mendukung terjadinya tindakan kolektif (collective action). Adanya organisasi dalam bentuk ”Kelompok Otonom”, memungkinkan terjadinya suatu komunimkasi yang intens if, information sharing sehingga
57 partisipasi seluruh stakholders dalam menjunjung komitmen bersama dapat terwujud.
2.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Secara Pertisipatif Agar mencapai hasil pembangunan yang berkelanjutan, banyak kalangan sepakat bahwa suatu pendekatan partisipatoris perlu diambil. Pretty dan Guijt (1992), menjelaskan implikasi praktis dari pendekatan ini yaitu : “pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri”. Sumberdaya pesisir merupakan barang publik yang dicirikan oleh suatu kondisi open acces. Karena itu pengelolaan sumberdaya pesisir tidak bisa ekslusif, harus melibatkan banyak komponen masyarakat. Belajar dari pengalaman Negara Meksiko dalam mengelola terumbu karang disepanjang garis pantai yang melibatkan sedikitnya enam Negara dalam suatu skema Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang berbasis masyarakat. Creel (1999) melaporkan dari implementasi ICZM di Negara bagian Quintana Roo, Meksiko. Menurut Creel ICZM terbukti efektif sebagai suatu instrument perlindungan terhadap terumbu karang tanpa mengurangi kesempatan masyarakat sekitar pesisir untuk menarik manfaat ekonomi daripadanya. Munculnya paradigma pembangunan partisipatoris mengindikasikan adanya pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola berfikir serta nilainilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh (Jamieson, 1989).
58 Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.
Dengan demikian partisipasi adalah alat dalam
memajukan ideologi atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif seperti keadilan sosial, persamaan dan demokrasi. Karena itu dalam melakukan kajian dan menangkap aspirasi stakholders harus pula dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Sebutan lain untuk teknik partisipatif adalah riset ideologi, penilaian pedesaan secara cepat (RRA), yang akhir-akhir ini ditambahi lagi dengan kata “santai” (Chambers, 1992). Ada lebih dari 20 singkatan yang berkaitan dengan konsep ini dalam IIED Source. Dari beberapa singkatan tersebut yang paling popular dikenal adalah PRA dan RRA. Suatu implikasi dari prinsip utama PRA yaitu “gunakan penilaian terbaik setiap waktu”. Penilaian partisipatoris adalah metode untuk menciptakan suatu dialog dalam usaha mengumpulkan informasi. Dalam perumusan model unsur partisipatif dari stakholders dapat ditangkap dari mekanisme penetapan skala prioritas terhadap berbagai bentuk kegiatan dan tujuan penggunaan lahan.
Untuk itu dapat menggunakan alat
analisis yang disebut dengan AHP (Analitical Hierarchy Process).
Menurut
Saaty (1991), proses hirarkhi analisis adalah suatu model ya ng luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing- masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. AHP dirancang untuk lebih mena mpung sifat alamiah manusia daripada memaksa cara berfikir yang justru berlawanan dengan hati nurani.
59 Prinsip konsistensi logis pada AHP menggambarkan dua hal yaitu : bahwa pemikiran atau obyek yang serupa dikelompokkan menurut homogenitas dan relevansinya, bahwa intensitas relasi antar gagasan atau obyek yang didasarkan pada aspek kualitatif maupun kuantitatif pemikiran manusia. Aspek kualitatif digunakan untuk mendefinisikan persoalan, sedangkan aspek kuantitatif digunakan untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Menurut Fewidarto (1991) dalam Aldrianto (1999), hirarkhi adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), turun ke suatu sub tujuan. Analisis ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : identifikasi sistem, penyusunan hirarkhi, penyusunan kuesioner dan pengujian, penilaian, uji konsistensi, jika memenuhi maka susun matriks gabungan, hitung vektor prioritas, pengolahan vertikal, dan vektor prioritas sistem. Analisis ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
identifikasi
sistem, penyusunan hirarkhi, penyusunan kuesioner dan pengujian, penilaian, uji konsistensi,
jika memenuhi maka susun matriks gabungan, hitung vektor
prioritas, pengolahan vertikal, vektor prioritas sistem.
Identifikasi sistem dan
penyusunan hirarkhi dilakukan peneliti setelah terlebih dahulu melakukan studi orientasi guna memperoleh gambaran tentang fenomena obyek yang diteliti. Tahap paling penting dari AHP ini adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar elemen pada suatu tingkat hirarkhi. judgement, prosesnya adalah :
Menyusun kuesioner sebagai alat
60 1. Membentuk
matriks;
terdapat
dua
tingkat
matriks,
masing- masing
sebagaimana contoh dibawah ini : Tingkat 1. Matriks membandingkan berbagai faktor (=fungsi/tugas pelayanan) Faktor
1
1
1
2
2
…
n
1
…
1
N
1
Tingkat 2. Matriks membandingkan beberapa pelaku pada masing- masing faktor Pelaku
1
1
1
2
2
…
n
1
…
1
N
1
2. Melakukan perbandingan berpasangan, yaitu dengan memberikan angka komparasi sesuai dengan judgement sehingga membentuk suatu matriks (n x n). Skala angka komparasi menurut Saaty (1991), yaitu : A dan B sama penting
:1
A sedikit lebih penting dari pada B
:3
A jelas lebih penting dari pada B
:5
A sangat jelas lebih penting dari pada B
:7
A mutlak lebih penting dari B
:9
Keterangan : -
Nilai 2,4,6 dan 8 diberikan pada penilaian antara dua nilai diatas Nilai kebalikan 1/3, 1/5, 1/7 dst diberikan pada penilaian kondisi sebaliknya
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Membangun Model Penggunaan Laha n di Pesisir Sidoarjo Pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo dapat dipandang sebagai suatu sistem karena mengandung proses yang saling berkait, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 11.
Pada wilayah pesisir
Kabupaten Sidoarjo terdapat kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap pemanfaatan lahan, yaitu : 1. Petambak udang intensif, dia berkepentingan untuk memaksimumkan keuntungan dengan menerapkan teknologi yang sarat dengan bahan-bahan sintetis yang berpotensi mengancam petambak organik dan merusak lingkunga n. Keberadaan usaha jenis ini yang terlalu luas akan menurunkan potensi ekonomi kawasan pesisir secara keseluruhan. 2. Petambak udang organik, dia berkepentingan untuk menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dia menghendaki petambak intensif untuk tidak menggunakan teknologi yang bisa mencemari lingkungan. Usaha tambak organik yang terlalu luas akan menurunkan potensi ekonomi yang bisa dihasilkan oleh pesisir Sidoarjo. 3. Pemerintah dan LSM : (OISCA dan LPP-Mangrove) berkepentingan untuk melakukan konservasi hutan mangrove. Konservasi yang berlebihan akan berakibat berkurangnya kesempatan masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi yang maksimal dari sumberdaya pesisir.
62 4. Kelompok pencari hasil hutan, baik pencari kayu bakar, maupun hasil ikan, udang, kupang, kerang dan lain- lain. Dengan adanya upaya konservasi yang dilakukan oleh pemerintah maka kelompok ini akan diuntungkan. 5. Kelompok pemanfaat lainnya seperti petambak bandeng intensif, petambak garam. Usaha bandeng intensif dan garam yang terlalu luas akan menurunkan potensi ekonomi kawasan pesisir. 6. Pemukiman, kelompok ini tidak bisa ditekan keberadaannya namun juga tidak bisa menekan bagi peruntukan lahan lainnya. Keberadaannya relatif statis, karena itu keberadaan kelompok ini bisa diabaikan dalam model. Dari diagram Gambar 11 terlihat bahwa peranan masing- masing kelompok masyarakat, LSM dan pemerintah terhadap pencapaian tujuan pengelolaan lahan berupa produk barang dan jasa lingkungan serta kesejahteraan masyarakat secara umum sangatlah besar, sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan semua pihak yang berkepentingan dengan lahan tersebut. Kesalahan alokasi penggunaan lahan bisa berakibat menurunya produktivitas lahan secara keseluruhan, tidak tercapainya target produksi barang dan jasa lingkungan dan akhirnya menimbulkan ketidakpuasan atau penurunan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Melihat kompleksnya permasalahan penggunaan lahan tersebut, maka diperlukan metode perencanaan penggunaan lahan yang memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan dengan tujuan ganda, multidimensional dan mengandung potensi konflik. Penelitian ini menggunakan salah satu alternatif metode matematik programming yang disebut Goal Programming.
Model ini
63
SUNGAI BRANTAS SEDIMENTASI LUMPUR
PENCARI HASIL HUTAN MANGROVE
POLUTAN PENCARI KUPANG DAN KERANG
Sempadan Pantai KAWASAN LINDUNG MANGROVE
KONSERVASI
LSM : OISCA, LPP MANGRO VE
KEBIJAKAN PEMERINTAH PERDA NO 17 TH 2003
TAMBAK UDANG INTENSIF
TAMBAK UDANG SEMI INTENSIF
USAHA GARAM
PERMUKIMAN
TAMBAK UDANG ORGANIK + BANDENG
TBK. BANDENG INTENSIF
Kawasan Tambak
KONFLIK KEPENTINGAN TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN PESISIR PERENCANAAN MULTI STAKEHOLDERS : (MODEL GOAL PROGRAMMING)
Yes
No
Gambar 11.
dapat
MODEL ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGEMBANGA N MODEL (SIMULASI)
SOLUSI KOMPROMI ALOKASI PENGGUNAA N LAHAN
HARAPAN : PRODUKTIVITAS LAHAN MENINGKAT
DEGRADASI SUMBERDAYA ALAM
Diagram Hipotetis Hubungan Antara Berbagai Kegiatan Ekonomi di Pesisir Sidoarjo
mengkompromikan
berbagai
kepentingan
stakeholders
dan
mengintegrasikan pertimbangan ekonomi dan ekologi secara simultan. Dalam membangun model penggunaan lahan diperlukan tahapan-tahapan penelitian, yaitu : (1) penilaian situasi dan identifikasi stakeholders, (2) stratifikasi/klasifikasi lahan, (3) analisis kesesuaian lahan, (4) evaluasi penggunaan lahan, (5) alokasi penggunaan lahan, dan (6) pengembangan model. Secara lebih jelas tahapan-tahapan penyusunan model ini disajikan pada Gambar 12.
64
MULAI Penilaian Situasi Yang Ada (Biofisik, Sosial, Ekonomi, Kebijakan Pemerintah) dan identifikasi stakeholders
Stratifikasi/Klasifikasi Lahan
Spesifikasi Tujuan Penggunaan Lahan
Analisis Keseuaian Lahan : Kriteria Agronomis
R E V I E W
Penentuan Target Produksi Lahan, Barang dan Jasa
Evaluasi Penggunaan Lahan : Analisis Usahatani (H. Pasar & Valuasi Ekonomi Ht. Mangrove)
Model Alokasi Pengg. Lahan : (Pengembangan Model dan Simulasi)
Interpretasi Hasil (Alokasi Strategi/Cara Penggunaan Lahan, Pencapaian Target, Status/Kondisi Sb.daya dll.)
Alternatif Penggunaan Lahan dan Satuan Penggunaan Lahan
Variabel Keputusan dan Koefisien Teknologi
Kendala 2 a.l.: Kendala Luas Min. Ht. Mangrove
Kompromi Thd. Prioritas : Pemb Ekonomi dan Pemb. Lingkungan
Dugaan F. Produksi : Analisis Reg. Linear Dari Data Kualitas Air Dg. Mtd OLS
Teknik : PRA dan AHP
SELESAI
Gambar 12.
Diagram Tahapan Penelitian Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo
Dalam menyusun suatu model penggunaan lahan dibuat skenario-skenario, karena itu diperlukan informasi tentang skala prioritas untuk berbagai tujuan pembangunan yang diharapkan.
Salah satu metode yang digunakan untuk
65 memperoleh informasi skala prioritas tersebut adalah dengan melakukan pendekatan partisipatif (PRA) yang melibatkan seluruh stakeholders : masyarakat, pemerintah, dan LSM. Dengan teknik AHP data tersebut diolah sehingga menghasilkan informasi tentang skala prioritas. Untuk memenuhi salah satu kendala yaitu luas minimal hutan lindung mangrove, dilakukan analisis regresi terhadap data kualitas air tanah yang diperoleh dari hasil pengujian laboratorium.
3.2. Menentukan Alternatif Strategi Penggunaan Lahan Terbaik Dasar pemikiran yang dipergunakan untuk menentukan alternatif strategi penggunaan lahan terbaik adalah teori ekonomi kesejahteraan. Alokasi sumberdaya lahan untuk beberapa tujuan menghasilkan barang dan jasa dapat dijelaskan dalam sebuah kurva kemungkinan produksi (KKP) pada Gambar 13. Dalam hal ini terdapat satu input sumberdaya lahan yang akan dialokasikan untuk dua keperluan yaitu : keperluan menghasilkan barang ekono mi dan keperluan menghasilkan barang lingkungan.
Kondisi pareto menyatakan bahwa tingkat
marjinal dari transformasi produk barang lingkungan (B) bagi barang ekonomi (A) atau (MRPTBA : kemiringan dari KKP) akan sama dengan MRS BA. Jika MRSBA = PA / PB ; selanjutnya PA = Pa / MPaA ; dimana MPaA adalah produk marjinal dalam memproduksi A. Jadi kita dapat menyatakan bahwa PB = Pa / MPaB. Dengan mensubstitusikan untuk PA dan PB kita dapatkan : MRSBA =
Pa / MPaA MC A = = MRPTBA Pa / MPaB MC B
66 Barang Lingkungan (B)
QL2
R
QL0
S MRSBA = MRPTBA
QL1
T Barang Ekonomi (A) QE2
QE0
QE1
Gambar 13. Kurva Kemungkinan Produksi
Pada titik S kondisi tingkat produksi barang ekonomi akan optimal pada QE sementara tingkat produksi barang lingkungan akan optimal pada QL.
Jika
kita mengambil alternatif strategi lainnya misalnya di titik R, maka kondisi tersebut tidak akan optimal, jumlah barang lingkungan yang dihasilkan terlalu besar sementara jumlah barang ekonomi yang dihasilkan terlalu sedikit. Demikian juga jika kita mengambil alternatif strategi di titik T, maka kondisi tersebut tidak akan optimal. Jumlah barang ekonomi yang dihasilkan terlalu besar sementara jumlah barang lingkungan yang dihasilkan terlalu sedikit. Implikasi dari kondisi seperti ini akan berdampak pada terjadinya eksternalitas akibat terlalu banyak barang ekonomi yang dihasilkan dibandingkan jumlah barang lingkungan yang dihasilkan – sehingga berpotensi menimbulkan dampak pencemaran.
3.3. Analisis Kelembagaan Untuk menjelaskan tentang kemungkinan suatu rencana penggunaan lahan dapat diimplementasikan atau tidak, digunakan pendekatan analsisi kelembagaan.
67 Gambar 14 dan 15 dibuat untuk mempermudah memahami masalah kelembagaan penggunaan lahan. Suatu konsep penggunaan lahan bisa diimplementasikan jika dipenuhi paling tidak dua hal yaitu : (1) adakah potensi keuntungan yang dapat diperoleh seluruh pelaku pembangunan sehingga tidak seorangpun yang dirugikan dari padanya?, dan (2) apakah tersedia suatu mekanisme koordinasi yang efektif dan efisien yang memungkinkan semua pelaku pembangunan dapat memperoleh akses terhadap proses pengambilan keputusan termasuk didalamnya incentive sharing?.
Untuk menjelaskan pertanyaan pertama akan didekati dengan teori
agensi, sedang untuk menjelaskan pertanyaan kedua akan dilakukan kajian kritis terhadap bentuk-bentuk kelembagaan yang ada. Hubungan agensi yang terjadi antara petambak (principal) dengan pemerintah (agent) sebagai pengelola penggunaan lahan yang mengandung sistem kontrak didalamnya, akan efektif jika masing- masing pihak yakin bahwa dari implementasi kontrak tersebut kedua belah pihak akan mendapatkan insentif (keuntungan).
Insentif yang diharapkan oleh petambak (principal) adalah
kenaikan keuntungan dari bentuk-bentuk usaha yang dikelolanya. Sedang insentif yang diharapkan oleh agent (pemerintah) adalah apabila birokrat dapat mengembangkan anggaran pembangunan yang dapat dikelolanya – yang lazim dalam sistem pemerintahan daerah disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD). Implementasi rencana penggunaan lahan oleh agent (pemerintah) memerlukan koordinasi dari berbagai pihak terkait.
Koordinasi tersebut akan
efektif jika tersedia organisasi dan kelembagaan yang memadai.
Sebuah
organisasi dimana didalamnya mengandung sistem kontrak yang mengatur mekanisme pengambilan keputusan bagi terselenggaranya suatu proses transaksi
68 atau proses pengelolaan lahan, maka ada biaya yang mendasarinya yang disebut sebagai biaya transaksi. Ketidak jelasan informasi tentang besaran biaya transaksi dapat menghambat implementasi kontrak dan pelaksanaan konsep penggunaan lahan. Menurut Pakpahan (1990), biaya transaksi dapat dibedakan ke dalam : biaya informasi, biaya negosiasi atau biaya membuat kontrak, dan bia ya pelaksanaan dan pengawasan. Biaya informasi sifatnya manageble, karena kapan orang mau melakukan suatu eksplorasi atau investigasi maka hal tersebut bisa direncanakan tanpa ada ketergantungan satu dan lain pihak.
Misalnya jika pemerintah menginginkan
pengetahuan tentang informasi land use, dia dapat melakukan kapan saja dan berapapun besarnya tanpa harus tergantung dengan pihak petambak.
Yang
menarik untuk dikaji dalam hal ini adalah berkaitan dengan biaya negosiasi untuk mencapai suatu kesepakatan antara pihak agent dengan principal.
Biaya
negosiasi diperlukan karena ada potensi konflik yang harus diatasi agar pelaksanaan atau implementasi kontrak dapat efektif. Tujuan utama dari pelaksanaan rencana penggunaan lahan bagi masyarakat pemilik tambak adalah untuk memperoleh peningkatan keuntungan. Namun hal tersebut tidak terjadi pada semua orang, ada pihak-pihak yang dirugikan – dan mereka inilah yang harus diberikan kompensasi sehingga tidak ada satu orang pemilik tambak pun yang merasa dirugikan akibat implementasi rencana penggunaan lahan tersebut. penerimaan PAD oleh pejabat.
Hal inilah yang berpotensi mengurangi
69 Adanya tradeoff antara kepentingan pemerintah untuk menambah PAD dengan tuntutan pemberian kompensasi pemilik tambak yang dirugikan, hanya bisa dikreasikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan (misal kebijakan fiskal : subsidi dan taksasi). Kebijakan tersebut dimaksudkan agar semua pihak KOORDINASI BERBAGAI PIHAK TERKAIT
ORGANISASI DAN KELEMBAGAAN
PERLU BIAYA TRANSAKSI : BIAYA INFORMASI, BIAYA NEGOSIASI, BIAYA PELAKSANAAN
MASYARAKAT PEMILIK TAMBAK (PRINCIPAL)
PENGELOLAAN LAHAN KAWASAN PESISIR
MOTIVASINYA : PENINGKATAN KEUNTUNGAN TANPA ADA SEORANGPUN YANG MERASA DIRUGIKAN
MOTIVASINYA : BIAYA NEGOSIASI DAPAT DIKOVER OLEH POTENSI KENAIKAN PAD
ADA POTENSI KENAIKAN NET PAD
KONSEP PENGGUNAAN LAHAN DAPAT DIIMPLEMENTASI KAN
Gambar 14.
BIROKRAT PEJABAT PEMERINTAH (AGENT)
Hubungan Agensi
PENINGKATAN NET PAD
KONFLIK DALAM PENGALOKASIAN POTENSI KEUNTUNGAN PENGELOLAAN LAHAN : ANTARA KEPENTINGAN PENINGKATAN PAD Vs. PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PETAMBAK YANG DIRUGIKAN AKIBAT TINDAKAN PENGELOLAAN LAHAN
Pola Implementasi Pengelolaan Lahan Dalam Kaitannya Dengan Masalah Hubungan Agensi Antara Pemerintah Vs Petambak
diuntungkan dan tidak seorangpun merasa dirugikan akibat tindakan pengelolaan lahan. Semakin besar terjadinya pergeseran peruntukan lahan, semakin besar potensi konflik yang ada, berarti semakin besar pula biaya yang diperlukan untuk memberikan kompensasi pada pemilik lahan tersebut. meningkatkan biaya transaksi (biaya negosiasi).
Hal ini berarti akan
Biaya transaksi yang besar
berarti akan menurunkan potensi penerimaan PAD. Jika potensi kenaikan PAD tidak dapat menutup biaya transaksi yang timbul, maka dapat dipastikan implementasi rencana penggunaan lahan tidak akan efektif.
70 Adanya kelembagaan yang efisien dan efektif yang memungkinkan seluruh stakholders dapat berpartisiasi dalam proses pengambilan keputusan dan incentive sharing merupakan syarat kecukupan bagi implementasi suatu kebijakan.
Kelembagaan tersebut disamping sebagai wadah koordinasi juga
sekaligus sebagai tempat berlangsungnya berbagai transaksi dalam proses pengelolaan pembangunan. Pilihan bentuk-bentuk organisasi dipengaruhi oleh dua hal yaitu : (1) sifat dan karakteristik aset yang dikelola, dan (2) frekuensi dari transaksi (pengelolaan) oleh masing- masing individual.
Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
karakteristik asset
rendah
specificity-nya
sedang
frekuensi
transaksinya
(pengelolaannya) adalah tinggi sehingga struktur organisasi yang sesuai untuk itu adalah ”Kelompok Otonom”. Melalui ”Kelompok Otonom” ini koordinasi akan dapat berjalan efektif karena prosedurnya tidak berbelit-belit, dan efisien karena biaya transaksinya dapat diminimalisir. Melalui koordinasi tersebut kompromi antar berbagai stakeholders dapat berjalan lancar.
Baik kompromi dalam
penyusunan rencana penggunaan lahan maupun kompromi dalam menyelesaikan berbagai konflik kepentingan.
71
Karakteristik Aset Spesifiknya rendah
Frekuensi Transaksi Tinggi
Strktur Yang Berkemampuan (Governance Structure) “Kelompok Otonom”
Koordinasi Yang Efektif Kompromi Stakeholders Prioritas Program Model Penggunaan Lahan
Implementasi
Konflik Dapat Diatasi Yes
Implementasi Efektif
No
Implementasi Tidak Efektif
Gambar 15. Kelompok Otonom Sebagai Sebuah Struktur Yang Berkemampuan
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waku Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Sidoarjo tepatnya di wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo, lihat Lampiran 8. Dipilihnya Kabupaten Sidoarjo karena daerah ini dikenal sebagai daerah yang dianggap sukses dalam mengelola potensi ekonomi pesisir baik yang berbasis tambak maupun berbasis mangrove. Karena itulah Kabupaten Sidoarjo identik dengan komoditi dari hasil- hasil sumberdaya pesisir seperti : udang dan bandeng (sebagai maskot daerah), serta beberapa jenis komoditi industri olahan hasil perikanan pantai lainnya. Penelitian lapangan dilakukan selama kurang lebih empat bulan dari bulan Nopember 2005 sampai bulan Pebruari 2006.
4.2. Konsep Membangun Model Alokasi Penggunaan Lahan
4.2.1. Penilaian Situasi Untuk Mempelajari Sistem Biofisik Penilaian situasi yang ada ditujukan untuk mengetahui potensi ekosistem, sistem sosial ekonomi, kebijakan pembangunan, isu- isu dan permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan masa lalu dan masa kini yang berkaitan dengan penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo. Data yang diperlukan diperoleh dari data sekunder dari berbagai laporan antara lain : Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo tahun 1999 – 2005, RTRW Kabupaten Sidoarjo tahun 2002, dan Data Statistik dari BPS Kabupaten Sidoarjo tahun 2005.
Analisis secara diskriptif kualitatif dilakukan
73 terhadap : faktor-faktor biofisik ekosistem seperti air, iklim, topografi, vegetasi dan satwa. Target produksi barang dan jasa; diperoleh dengan menghitung trend produksi berdasarkan data series produksi pesisir yang diperoleh dari laporan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Sidoarjo tahun 1999 – 2005.
4.2.2. Analisis Lahan 1. Stratifikasi/Klasifikasi Lahan Untuk melakukan stratifikasi lahan digunakan pendekatan metode FAO karena metode ini relatif lebih rinci dalam menjelasakan kelas-kelas kesesuaian lahan. Dalam metode FAO mengenal empat kategori kelas lahan, yaitu : (1). Kategori ordo; menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk tujuan penggunaan tertentu misalnya budidaya tambak. (2). Kategori kelas; menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. (3). Sub-kelas; menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam ma sing- masing kelas. (4). Unit; menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Ordo dan kelas biasanya digunakan untuk pemetaan tanah kelas tinjau pada skala yang lebih kasar, sub-kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit untuk pemetaan tanah detail. Data dasar yang dipakai adalah data RTRW yang sudah dibuat oleh Bappekab Sidoarjo tahun 2002. Selanjutnya dibuat dalam strata atau kelas-kelas yang lebih detail berdasarkan observasi, verifikasi dan analisis laboratorium
74 tentang kualitas air dan tanah. Analisis laboratorium ini dilakukan sejalan dengan pendapat Boyd (1982), bahwa penggunaan lahan tambak untuk memproduksi ikan berhubungan erat dengan kualitas air, meliputi unsur- unsur : salinitas, oksigen terlarut, suhu, kekeruhan, kemasaman (pH), kadar amoniak dan lain- lain. Karena peta tambak sifatnya flat, maka untuk memudahkan secara teknis, peneliti membagi unit-unit lahan menurut satuan wilayah administrasi kecamatan. Dari analisis ini dihasilkan peta kelas satuan lahan yang dianggap mempunyai keseragaman sifat.
2. Analisis Kesesuaian Satuan Lahan Analisis kesesuaian lahan berhubungan dengan alternatif-alternatif penggunaan lahan yang lebih spesifik dari arahan penggunaan lahan yang telah ditetapkan dalam stratifikasi satuan lahan. Analisis kesesuaian lahan pada setiap unit lahan dilakukan untuk berbagai komoditas yang diusahakan masyarakat sehingga layak secara teknis/agronomis yang dicerminkan dari profit rate-nya, layak secara ekologis yang dicerminkan bahwa sampai pada batas tertentu penggunaan lahan tersebut tidak menimbulkan dampak lingkungan yang sangat serius serta layak secara sosial artinya dapat diterima oleh masyarakat.
3. Evaluasi Penggunaan Lahan Bila suatu komoditi secara agronomis telah sesuai diusahakan pada suatu lahan, maka untuk menjaga kelestarian produksi tersebut harus menguntungkan secara ekonomis dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Alternatif
strategi pengelolaan lahan tersebut perlu dievaluasi dampaknya secara sosial
75 (tenaga kerja, dan akseptabilitasnya), ekonomi (produksi, biaya produksi dan keuntungan) dan lingkungan (keanekaragaman hayati). Evaluasi aspek ekonomi suatu jenis lahan pada satuan lahan tertentu dimaksudkan untuk melihat kelayakan dan tingkat keuntungan dari suatu pengusahaan komoditas tertentu. Jika profit rate-nya diatas tingkat suku bunga bank maka jenis penggunaan lahan tersebut dijadikan sebagai alternatif penggunaan lahan.
Dari sana akan diketahui besaran data input dan output
usahatani seperti produktivitas, biaya, dan tenaga kerja sehingga diperoleh koefisien-koefisien teknologi dalam model yang disusun. Untuk tujuan evaluasi penggunaan lahan, penulis menetapkan responden sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Lokasi LOKASI TUJUAN ANALISIS Usaha Bandeng Intensif Usaha Garam Usaha Mencari Kupang Usaha Mencari Kerang Usaha Mencari Kayu Bakar Usaha Udang Organik Usaha Udang Intensif Jasa Lingkungan Penetapan Skala Prioritas
Satuan Orang Orang Orang Orang
Orang Orang Orang Orang
KECAMATAN SEDATI 3 1 -
KECAMATAN JABON 2 2 Dilakukan pengamatan langsung dibeberapa lokasi aktivitas penebangan kayu bakar 2 1 1 (nara sumber) 1 (nara sumber) 1 Tokoh Petani, 1 Tokoh LSM, 1 Pejabat
Untuk jenis-jenis barang yang sudah lazim diperdagangkan penulis menggunakan instrumen analisis usahatani yang standar. Sedang untuk tujuan analisis nilai jasa lingkungan hutan mangrove penulis terlebih dahulu melakukan identifikasi tehadap manfaat eksistensi dan manfaat pilihan.
76 1. Manfaat Eksistensi (ME) Untuk menghitung manfaat eksistensi digunakan pendekatan metode substitusi. Artinya jika suatu saat hutan mangrove itu hilang, maka keberadaannya bisa digantikan barang lain yang fungsinya kurang lebih sama. Dari hasil pemantauan serta wawancara dengan nara sumber, penulis menyimpulkan bahwa keberadaan hutan mangrove sebagai biofilter layak digantikan oleh sebuah bendungan yang fungsinya kurang lebih sama sebagai penyaring polutan dari Kali Porong. 2. Manfaat Pilihan (MP) Manfaat pilihan yaitu nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang membayar untuk kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan dimasa depan. Nilai manfaat pilihan diestimasi dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu sebesar
US
$ 1 500/km2 /tahun atau US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek, 1991). Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai tukar rata-rata US $ terhadap rupiah pada saat penelitian.
4.2.3. Kendala Penggunaan Lahan dan Luas Minimal Hutan Mangrove Salah satu kendala sumberdaya lahan yang datanya diperoleh dengan melakukan suatu prosedur analisis tertentu adalah data tentang kendala luas hutan mangrove lestari. Analisis data untuk menentukan ambang batas hutan mangrove lestari menggunakan pendekatan ketebalan green belt. Hal ini didasarkan pada perilaku kadar bahan-bahan senyawa biokimia tertentu yang berpotensi menurunkan kualitas ekosistem (tambak), semakin jauh dari garis pantai –
77 semakin masuk pada kedalaman hutan mangrove – semakin turun kadarnya sampai pada batas tertentu sehingga tidak lagi mencemari ekosistem tambak. Batas inilah yang dikatakan sebagai ambang batas hutan lestari. Dugaan model bentuk hubungan antara ketebalan hutan mangrove dengan kadar senyawa biokimia tertentu adalah P = A . J–b . Untuk bisa diregresikan dengan metode OLS, maka persamaan harus dilinierkan yaitu dengan mengubahnya kedalam bentuk logaritma, sebagai berikut : log P = log A + (-b) log J atau p = a - b(j) dimana: p = log P; a = log A ; j = log J Bentuk persamaan statistiknya adalah : p = a - b ( j ) + u dimana : p = kadar senyawa biokimia a = intersep b = koefisien dugaan model regresi j = Jarak (ketebalan) hutan mangrove dari garis pantai u = error term Setelah ditentukan modelnya, langkah selanjutnya adalah memasukkan nilai rata-rata kadar senyawa biokimia yang ada dalam tambak budidaya kedalam persamaan model, sehingga akan diketahui jarak minimal dari garis pantai untuk kadar polutan tersebut.
Jarak inilah yang dimaksud dengan batas ketebalan
minimal bagi suatu hutan mangrove lestari. Nilai rata-rata kadar senyawa biokimia tertentu dalam tambak : 1 24 Pt = ∑ Pti n n=1
dimana :
78 P = Kadar senyawa biokimia ke-t (t= Phospat, Nitrogen, BOD, COD,Salinitas) i = Tambak ke i (i = 1, 2, …., n ; untuk n = 24) n = Jumlah tambak yang diamati
4.2.4. Alokasi Penggunaan Lahan Tahap ini meliputi perumusan model operasional penggunaan lahan, simulasi model dengan berbagai skenario dan interpretasi hasil.
Pemecahan
permasalahan alokasi penggunaan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo dilakukan dengan menggunakan model tujuan ganda yang disebut Goal Programming, yang secara teoritis telah dijelaskan pada poin 2.3.1. Model Penggunaan Lahan; Analisis dengan menggunakan model goal programming
memiliki tiga kelompok persamaan yaitu persamaan-persamaan
kendala tujuan, persamaan-persamaan kendala fungsional dan persamaan fungsi tujuan. 1. Persamaan Fungsi Kendala Tujuan : (1). Tujuan Menghasilkan Barang dan Jasa Q
T
∑ ∑t i =1
j =1
ij
X ij + d i − − d i + = Gi ..................................................................(1)
keterangan : tij Xij i j Gi di-, di+
= Hasil produk (barang/jasa) per unit luas lahan untuk tujuan produk si ke-i pada satuan lahan ke-j. = Luas lahan (ha) yang dialokasikan untuk produk i pada satuan lahan ke-j = Tujuan jenis produk yang dihasilkan, i = 1, 2, 3, .. Q = Satuan lahan, j = 1, 2, …T = Target produksi barang dan jasa ke-i, i = 1, 2, 3, .. Q = Deviasi ketidaktercapaian dan kelebihtercapaian dari tujuan i.
Tujuan adalah meminimumkan di-. (2). Tujuan Ekonomi:
79 Q
T
i =1
j =1
∑ ∑
rijt ij X ij + d i− − d i+ = R ..................................................................(2)
keterangan: t ij Xij i j rij
di-, di+ R
= Hasil produk (barang/jasa) per unit luas lahan, untuk tujuan produksi i pada satuan lahan ke-j. = Luas lahan yang dialokasikan untuk produk i pada satuan lahan ke-j = Tujuan jenis produk yang dihasilkan, i = 1, 2, 3, … Q = Pola pengelolaan lahan, j = 1, 2, 3, … T = Keuntungan atau kerugian (Rp/ha/tahun) untuk produk i di lahan ke-j. r : TR – TC ; untuk TR : penerimaan total per ha ; dan TC : biaya total per ha. Karena keterbatasan informasi, maka nilai jasa lingkungan hanya dihitung untuk manfaat keberadaan dan manfaat pilihan. Sementara manfaat pewarisan seperti habitat dan spesies langka tidak termasuk dalam perhitungan. = Deviasi ketidaktercapaian dan kelebihtercapaian dari tujuan i. = Target keuntungan total, dimana R =
Q
T
i =1
ji =1
∑ ∑r
ij
Tujuan adalah meminimumkan di-. 2. Persamaan-Persamaan Kendala Fungsional (1). Kendala Anggaran (Budget) Q
T
i =1
j =1
∑ ∑
Cij X ij ≤ ( Bm + Bp ) ......................................................................(3)
keterangan: Cij
= Besarnya biaya produksi per ha untuk produk ke-i pada satuan lahan ke-j = Jumlah dana tahunan masyarakat petani yang tersedia untuk tujuan pengelolaan lahan. = Anggaran atau dana tahunan pemerintah dan investor yang tersedia untuk pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo
Bm Bp
(2). Kendala Tenaga Kerja Petani Tambak / Nelayan Q
T
i =1
j =1
∑ ∑W keterangan:
ij
X ij ≤ Wp ..................................................................................(4)
80 Wij Wp
= Kebutuhan tenaga kerja per ha untuk tujuan produk i pada satuan lahan ke-j = Jumlah tenaga kerja seluruhnya di pesisir Sidoarjo.
(3). Kendala Luas Lahan Hutan Mangrove
X mangrove≥ X MSY ........................................................................................(5) keterangan : Xmangrove XMSY
= Luas lahan mangrove = Luas minimal lahan mangrove
(4). Kendala Luas Lahan X ij ≤ LA ...................................................................................................(6)
keterangan : Xij LA
= Adalah luas lahan yang dikelola di pesisir Kab. Sidoarjo = Adalah luas total lahan di pesisir Sidoarjo
(5). Non- negativity Xij, di-, di+ > 0 ............................................................................................(7) 3. Fungsi Tujuan Q
Minimumkan : Z =
∑
(Py Wi,ydi- + Ps Wi,s Di+ ) ...............................................(8)
i =1
keterangan : Py , Ps = Faktor-faktor prioritas ke-y dan ke-s (ordinal) Wi, y = Bobot yang diberikan terhadap di- dalam prioritas ke-y Wi, s = Bobot yang diberikan terhadap di+ dalam prioritas ke-s
4.2.5. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi Simulasi dan pengembangan model dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang kinerja alokasi penggunaan lahan yang diorientasikan untuk menjawab tujuan penelitian nomor 3 dan 4.
Untuk itu dilakukan beberapa
81 skenario kemungkinan kebijakan yang bisa terjadi di pesisir Sidoarjo, sebagai berikut : 1. Skenario 1 – Untuk tujuan pembangunan ekonomi; Pada skenario ini menggunakan skala prioritas tujuan komoditi yang dihasilkan berdasarkan share masing- masing komoditi tersebut terhadap PDRB Kabupaten Sidoarjo. Data skala prioritas diperoleh dari merangking besarnya share PDRB masingmasing komoditi dari yang terbesar sampai yang terkecil. 2. Skenario 2 – Untuk tujuan pembangunan lingkungan ; Pada skenario ini menggunakan skala prioritas komoditi yang dihasilkan dengan menangkap preferensi stakholders yang diperoleh dari teknik analisis AHP.
Tahapan-
tahapannya sebagaimana disajikan pada Gambar 16, meliputi : (1). Penentuan sasaran yang ingin dicapai yaitu skala prioritas. (2). Penentuan alternatif
kriteria ditentukan dari stakholders meliputi ;
unsur masyarakat, pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. (3). Penentuan alternatif pilihan komoditi (barang dan jasa).
SKALA PRIORITAS
PETAMBAK
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bandeng U. Organik U. Intensif U. Campur Kupang Kerang Garam Kayu Bakar Jasa Lingkungan Keuntungan
Sasaran
PEMERINTAH
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bandeng U. Organik U. Intensif U. Campur Kupang Kerang Garam Kayu Bakar Jasa Lingkungan Keuntungan
LSM
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bandeng U. Organik U. Intensif U. Campur Kupang Kerang Garam Kayu Bakar Jasa Lingkungan Keuntungan
Kriteria
Alternatif
Gambar 16. Hirarkhi : Sasaran – Kriteria (Stakeholders) – Alternatif (Komoditi)
82 Menentukan tingkat kepentingan : a. Matriks perbandingan berpasangan tingkat kepentingan kriteria ditentukan secara subyektif oleh penulis, karena tidak mungkin mereka melakukan penilaian terhadap posisi relatif mereka satu dengan lainnya. b. Matriks perbandingan berpasangan tingkat kepentingan alternatif komoditi ditentukan melalui wawancara dengan responden. Dari data tersebut selanjutnya masing- masing matriks dikuadratkan sehingga diperoleh penjumlahan baris. Langkah ini dilakukan secara terus menerus (iterasi)
hingga diperole h struktur
penjumlahan baris yang konsisten.
normalisasi dari
Langkah selanjutnya adalah
melakukan perkalian antara stuktur kriteria dengan struktur alternatif, sehingga diperoleh nilai eigen dari masing- masing komoditi. Dengan melakukan pe-rankingan dari nilai eigen yang paling besar sampai yang terkecil, sehingga diperoleh skala prioritas untuk masing- masing komoditi. 3. Skenario 3 : Kompromi antara tujuan ekonomi dan tujuan lingkungan dengan mempertimbangkan mengatasinya;
pengaruh
terjadinya
eksternalitas
dan
upaya
Pada skenario ini dibuat sedemikian sehingga menangkap
fenomena eksternalitas yang ditimbulkan antar pelaku kegiatan ekonomi. Dalam skenario ini koefisien teknologi pada jenis-jenis usaha tambak yang rawan pencemaran diberikan bobot kurang dari 100 persen (misal 75 persen : tercemar sedang, 50 persen tercemar berat dan 25 persen tercemar sangat berat).
83 Dampak eksternalitas bisa diminimalisir dengan memperbanyak tegakan mangrove, sehingga pola pengusahaan tanaman mangrove bisa dikembangkan di kawasan-kawasan non pantai, misal : sempadan sungai, pematang tambak dan lain- lain. 4. Skenario 4 : Untuk melihat pengaruh jika hutan mangrove tidak ada ; Pada skenario ini pola usaha yang layak hanyalah pola usaha yang ketika terjadi penebangan besar-besaran hutan mangrove tahun 1998-1999 terbukti tetap eksis walaupun kondisi hutan mangrove mengalami kerusakan yang hebat. 5
Skenario 5 : Untuk tujuan melihat pengaruh perubahan harga- harga ; Skenario ini untuk menangkap aspek dinamik yang terjadi di lapangan akibat terjadinya perubahan harga- harga baik harga input maupun harga output.
6. Skenario 6 : Untuk tujuan melihat kinerja alokasi penggunaan lahan berdasarkan konsep RTRW Kabupaten Sidoarjo 2002 – 2011. Pada skenario ini beberapa kendala sumberdaya yang harus dipenuhi adalah : (a) batasan hutan mangrove lestari adalah 400 m dari garis pantai atau setara dengan 1080 ha, (b) luas tambak udang organik minimal 7 000 ha.
4.3. Analisis Komparatif Analisis komparatif dimaksudkan untuk menemukan alterna tif strategi penggunaan lahan terbaik yang memenuhi kriteria ekonomi dan lingkungan. Dalam analisis ini digunakan kriteria lingkungan, kriteria ekonomi dan kriteria penyerapan tenaga kerja. Kriteria lingkungan dengan indikator : (a) keberadaan hutan mangrove, (b) luasan usaha budidaya tambak organik, dan (c) luasan usaha
84 budidaya tambak intensif. Kriteria ekonomi dengan indikator tingkat keuntungan, dan kriteria penyerapan tenaga kerja dengan indikator potensi tenaga kerja yang dapat terserap dalam berbagai kegiatan ekonomi di pesisir Kabupaten Sidoarjo. Analisis komparatif akan diawali dengan memperbandingkan skenario 1, yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi versus skenario 2 yang bertujuan untuk pembangunan lingkungan. Dalam proses ini akan bisa dibuktikan adanya fenomena konflik antara kepentingan membangun ekonomi dengan kepentingan membangun lingkungan. Fenomena eksternalitas terjadi manakala akibat pilihan satu strategi penggunaan lahan tertentu sehingga berdampak pada terjadinya pencemaran yang harus ditanggung oleh sekelompok masyarakat tanpa adanya kompensasi kepada mereka.
4.4. Analisis Kelembagaan Untuk menjelaskan efektivitas implementasi rencana penggunaan lahan, dilakukan analisis kelembagaan menggunakan pendekatan teori agensi. Masalah yang timbul dalam pola hubungan agensi antara pemerintah dengan pemilik lahan (petambak) adalah berkaitan dengan sistem insentif yang memungkinkan kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan dari penerapan rencanan penggunan lahan tersebut. Konflik muncul ketika ada kelompok-kelompok petambak yang merasa dirugikan akibat implementasi konsep penggunaan lahan dengan pemerintah di sisi lain. Pemerintah memerlukan peningkatan PAD sementara kelompok petambak yang dirugikan memerlukan kompensasi dalam jumlah tertentu sehingga ia dengan sukarela mau melaksanakan pengelolaan lahannya sesuai rencanan
85 penggunaan lahan yang dibuat.
Intensitas konflik antara kepentingan untuk
meningkatkan PAD dengan tuntutan pemberian kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan dipengaruhi oleh tingkat pergeseran penggunaan lahan yang terjadi akibat implementasi konsep penggunaan lahan. Semakin besar terjadinya pergeseran penggunaan lahan, semakin besar potensi konflik yang terjadi. Skenario dibuat seolah-olah pemerintah dapat memperoleh peningkatan PAD dari total kenaikan keuntungan akibat implementasi konsep penggunaan lahan yaitu sebesar 1 persen.
Kaidah pengambilan keputusan : jika potensi
kenaikan PAD dari penerimaan pajak sebesar 1 persen tersebut lebih besar dari potensi biaya yang diperlukan untuk memberikan kompensasi maka konsep penggunaan lahan dapat diimplementasikan. Adanya potensi kenaikan keuntungan bagi suatu pengelolaan lahan sehingga PAD bisa ditingkatkan merupakan syarat perlu namun belum cukup. Masih ada syarat lain untuk itu yaitu tersedianya suatu mekanisme yang memungkinkan bagi terselenggaranya proses koordinasi bagi pemerintah versus petani tambak yang efektif dan efisien. Karena itu analisis difokuskan pada bentuk-bentuk kelembagaan yang ada, sejauhmana kinerja kelembagaan tersebut dapat berfungsi dalam melakukan perannya sebagai wadah koordinasi yang baik. Konsep organisasi dan kelembagaan adalah mengacu pada model Williamson (1985), dimana suatu sumberdaya pesisir memiliki karakteristik aset spesifik yang rendah dengan frekuensi transaksi (pengelolaan) yang tinggi. Bentuk dasar dari organisasi ini adalah ”Kelompok Otonom” dengan hierarki yang sederhana.
V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Karakteristik Kabupaten Sidoarjo Menurut informasi dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo tahun 2004, kondisi geografis Kabupaten Sidoarjo ini terletak pada 112.50 – 112.90 Bujur Timur 7.30 – 7.50 Lintang Selatan. Luas wilayah daratan Kabupaten Sidoarjo adalah 71 424.25 ha sedangkan luas wilayah laut berdasarkan perhitungan GIS sampai dengan 4 mil kearah laut adalah 2 01. 6868 km2 . Daerah pantai dan pertambakan di kawasan sebelah timur meliputi 29.99 persen dari seluruh luas wilayah berada pada ketinggian 0 – 3 m diatas permukaan laut, sementara daerah bagian tenga h yang berair tawar mencapai 40.81 persen dari seluruh luas wilayah dan berada pada ketinggian 3 – 10 m diatas permukaan laut. Selanjutnya wilayah bagian barat yang berada pada ketinggian 10 – 25 m diatas permukaan laut meliputi 29.20 persen dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Batas–batas wilayah adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara
: Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik
2. Sebelah Timur
: Selat Madura
3. Sebelah Selatan
: Kabupaten Pasuruan
4. Sebelah Barat
: Kabupaten Mojokerto
Sebagaimana daerah lain di Indonesia, Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah beriklim tropis. Hujan terjadi sepanjang tahun, hanya frekuensi terbanyak terjadi pada bulan Januari dan Maret. Suhu terendah wilayah Kabupaten Sidoarjo adalah 200 C dan suhu tertinggi adalah 350 C. Berdasarkan hasil pengukuran curah hujan selama 10 tahun terakhir menunjukan rata-rata per tahun dibawah 1.500 mm
87 sebanyak 35 persen, curah hujan antara 1 500 – 2 000 mm sebanyak 35 persen dan antara 2 000 mm sampai 2 500 mm sebanyak 10 persen dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo bertopografi datar dan sebagian besar wilayahnya telah dimanfaatkan terutama untuk pemukiman dan persawahan.
Berdasarkan
kondisi air, kurang lebih sebesar 22.84 persen wilayah Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah air asin yang tersebar pada 8 (delapan) kecamatan dengan daerah air asin terbesar berada di Kecamatan Sedati, Kecamatan Jabon dan Kecamatan Sidoarjo. Berdasarkan kondisi tersebut wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo sangat cocok untuk pengembangan usaha pertambakan. Tabel 6. Luas Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004
1
Sidoarjo
Luas Monografi (Ha) 5 554.0
77.06
24.41
Sungai, Irigasi (Ha) 525.78
2
Buduran
3 4
Candi Porong
3 660.0
31.22
5.79
239.49
3 777.0 2 775.0
38.18 46.12
7.89 3.42
243.68 157.71
4 066.75 2 982.25
5 6
Krembung Tulangan
2 654.0 2 960.0
17.20 29.63
5.11 2.49
278.69 128.38
2 955.00 3 120.50
7
Tanggulangin
3 002.0
40.98
4.77
181.25
3 229.00
8 9
Jabon Krian
6 225.0 3 002.0
14.85 69.84
2.34 7.83
220.56 170.33
10 11
Balongbendo Wonoayu
2 864.0 3 267.0
48.75 34.11
2.45 4.32
224.80 86.57
3 140.00 3 392.00
12
Tarik
3 250.0
24.87
6.28
324.85
3 606.00
13 14
Prambon Taman
3 139.0 2 883.0
9.93 41.55
2.9 10.12
270.67 218.83
3 422.50 3 153.50
15 16
Waru Gedangan
2 772.0 2 310.0
37.01 47.24
4.98 4.61
151.51 43.9
66.50
3 032.00 2 405.75
17
Sedati
6 192.0
20.65
3.56
145.79
1.581.00
7 943.00
18
Sukodono Jumlah
3 153.0 63 439.0
28.93 658.12
3.77 107.04
82.05 3.694.84
3.525.25
3 267.75 71 424.25
No.
Kecamatan
Jalan (Km)
Makam (Ha)
Tanah Oloran (Ha) 74.75
Luas Wilayah (Ha) 6 256.00
166.00
4 102.50
1.637.00
8 099.75 3 250.00
Sumber : BPN Kabupaten Sidoarjo 2004.
Ditinjau dari aspek administrasinya menunjukkan bahwa Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 18 wilayah kecamatan, yang terbagi atas 322 desa dan 31
88 kelurahan. Sebagaimana disajikan pada Tabel 6 Kecamatan Jabon dan Sedati merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Sidoarjo yang masing- masing mencapai 8 099.75 ha dan 7 943 ha. Menurut laporan BPS Kabupaten Sidoarjo tahun 2004, jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo mencapai 1 397 242 jiwa dengan kepadatan penduduk ratarata 2 587/km2 dan pertumbuhan penduduk pada tahun 2004 mencapai 3.3422 persen. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk tersebut dilatar belakangi oleh terjadinya arus urbanisasi yang sangat cepat sebagai dampak dari pertumbuhan sektor industri dan perumahan di Sidoarjo serta dampak perkembangan wilayah Surabaya Metropolitan Area. Potensi dan permasalahan Kabupaten Sidoarjo secara makro antara lain : 1. Potensi ekonomi: sektor industri, pertanian dan sektor pertambakan merupakan salah satu penunjang ekonomi wilayah yang terbesar. 2. Lahan untuk pengembangan kawasan pemukiman masih memungkinkan pada beberapa kawasan yang sesuai. 3. Lahan pertanian, merupakan daerah yang subur (delta Brantas), dan ditunjang dengan sistem irigasi yang cukup baik. 4. Keberadaan beberapa sungai besar sebagai saluran irigasi yang mengairi lahan pertanian. 5. Lahan pertambakan yang luas dengan produksi yang relatif bagus, sangat potensial untuk ditingkatkan produktivitasnya. Yang mana dapat menunjang perekonomian wilayah. 6. Masih terdapat beberapa hutan mangrove yang melindungi ekosistem pantai dari polusi dan gelombang air laut.
89 Potensi kawasan pesisir terdiri dari tambak dan mangrove, hanya mangrove yang secara teratur dilakukan upaya-upaya pengembangan melalui berbagai program kegiatan baik yang datangnya dari pemerintah pusat, bantuan lembaga asing (OISCA), maupun yang dikreasikan sendiri oleh Pemkab Sidoarjo. Selama lebih kurang tiga tahun program rehabilitasi hutan mangrove sudah berjalan, hasilnya sangat menggembirakan dimana di beberapa kawasan seperti Kecamatan Jabon dan Sedati, kini ketebalan hutan mangrove mencapai rata-rata 150 – 200 m, sudah melebihi rata-rata daerah lainnya yang hanya mencapai lebih kurang 100 m. Sedangkan untuk kasus tambak, sampai dengan saat ini belum ada upaya secara serius dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk mengembangkan daerah ini.
Walaupun potensi tambak relatif luas (nomor dua paling luas di Jawa Timur
setelah Kabupaten Gresik), namun jika tidak ada upaya pengelolaan yang baik maka hasil produksi ikan dan udang tidak akan berkembang. Permasalahan wilayah meliputi : 1. perumahan (1)
Banyak
mengokupasi
tanah-tanah
subur
persawahan
untuk
perkembangan kawasan pemukiman. (2)
Pengembangan perumahan yang ada beragam (rumah mewah, sedang dan rumah sederhana).
(3)
Nilai lahan yang mulai tinggi, tidak memungkinkan untuk penyediaan rumah sederhana.
2. Pertanian
90 (1)
Lahan pertanian semakin berkurang, berubah fungsi menjadi lahan- lahan terbangun sehingga produksinya juga menurun.
(2)
Pergeseran pemanfaatan lahan dari pertanian menjadi kawasan hunian dan kawasan industri.
(3)
Sebagian besar petani menginginkan lahan pertaniannya menjadi lokasi industri dengan keinginan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Walaupun sampai saat ini konversi lahan hanya terjadi untuk jenis lahan
pertanian tanaman pangan khususnya sawah, na mun jika tidak ada pengarahan yang baik dari pemerintah dikhawatirkan pola konversi akan semakin cepat juga merambah kawasan tambak. Karena itu jika pemerintah masih melihat kawasan tambak sebagai salah satu penyumbang perekonomian daerah terpenting, maka harus ada upaya-upaya untuk memproteksi daerah ini agar tidak mudah terkonversi menjadi peruntukan industri atau permukiman. 3. Industri (1)
Sektor industri yang ada bukan industri basis, sehingga tidak dapat menamp ung produksi pertanian yang ada.
(2)
Sektor indus tri tersebar sehingga menyulitkan penanganan limbahnya. Untuk industri yang berdiri di perkotaan dampak limbahnya belum begitu
dirasakan terhadap kelangsungan usaha pertambakan, hanya industri yang berdiri di sepanjang Sungai Porong seperti Pabrik Kertas PT. Ciwi Kimia dan PT. Pakerin yang sempat mengancam kelangsungan usaha pertambakan udang.
Walaupun demikian jika tidak ada pola penanganan limbah dari
sekarang dikawatirkan suatu saat nanti limbah industri diperkotaan juga akan mengancam usaha pertambakan.
91 4. Pertambakan (1)
Adanya pencemaran pada kawasan pertambakan baik lewat sungai maupun dari laut.
(2)
Banyaknya tanah oloran yang difungsikan untuk tambak sehingga merusak ekologi laut dan pantai. Pernyataan pada poin b, perlu dibuktikan karena menurut pengamatan
peneliti pencetakan lahan tambak baru yang memanfaatkan tanah oloran dewasa ini tidak terjadi karena aparatur desa (Lurah) tidak lagi diperbolehkan menerbitkan surat tanah (kohir) bagi pencetakan lahan tambak baru. 5. Transportasi (1)
Jalur transportasi yang kuat hanya pada jalur utara selatan, sehingga perlu pembukaan jalur baru untuk membuka hubungan timur dan barat.
(2)
Perkembangan wilayah belum seimbang, karena kurangnya sarana dan prasarana transportasi (timur – barat).
(3)
Masalah kemacetan di daerah Waru dan pusat kota karena kapasitas jalan sudah tidak memadai. Pola pergerakan barang dan jasa mengikuti pola utara-selatan bukannya
barat-timur.
Hal ini disebabkan karena Surabaya sebagai daerah pusat
kegiatan ekonomi berada di utara Sidoarjo, sementara pemekaran wilayah Surabaya Raya menjangkau wilayah Pasuruan dan Malang yang berada di bagian selatan Sidoarjo. Sehingga perkembangan infrastruktur transportasi juga mengikuti pola perkembangan Kota Surabaya. Namun belakangan pola transportasi utara – selatan ini sempat terganggu oleh adanya musibah meluapnya lumpur PT. Lapindo.
Jika tidak diantisipasi dari sekarang,
92 dikhawatirkan hal tersebut dapat mengganggu masa depan transportasi dan arus barang dan jasa dari dan wilayah Kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya. 6. Lingkungan (1)
Mangrove
yang
semakin
berkurang,
sehingga
mengganggu
kelangs ungan ekosistem laut dan pantai. (2)
Bahaya banjir yang sering terjadi, karena wilayah timur banyak yang dibudidayakan.
(3)
Pencemaran yang disebabkan oleh industri. Pernyataan pada poin “a” perlu dibuktikan karena saat ini hampir bisa
dikatakan tidak ada lagi orang dengan bebas melakukan penebangan hutan mangrove untuk dikonversi menjadi peruntukan lainnya. Yang terjadi adalah orang mencari kayu bakar untuk dijual.
Justru dewasa ini banyak kegiatan
penghutanan kembali yang dilakukan oleh Pemkab Sidoarjo di Desa Tambak Cemandi, Banjar Kemuning dan Kalang Anyar di Kecamatan Sedati. Sedang kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh LPP Mangrove – Bogor bekerjasama dengan OISCA (Jepang) dan DKP – Pusat mengambil tempat di Desa Kupang dan Desa Gebang Kecamatan Jabon.
Desa-desa itulah yang
memiliki garis pantai utama di sepanjang pantai Kabupaten Sidoarjo.
5.2. Kebijakan Strategi Pengembangan Kawasan 5.2.1. Strategi Pemantapan Kawasan Lindung Strategi pemantapan kawasan lindung yang diterapkan adalah : 1. Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.
93 2. Di dalam kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berhubungan dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada. 3. Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sesuai dengan hasil pengamatan peneliti di lapangan strategi ini cukup efektif. Hal itu lebih karena adanya kesadaran dari warga untuk turut menjaga kawasan lindung, karena memiliki dampak langsung dengan kelangsungan usaha budidaya terutama tambak udang.
5.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya Strategi pengembangan kawasan budidaya yang dapat diterapkan di wilayah Kabupaten Sidoarjo harus sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan wilayah yang telah ditetapkan untuk Kabupaten Sidoarjo, yaitu menciptakan keseimbangan ekologi dalam arti menciptakan proporsi lahan yang sesuai antara kawasan yang harus dilindungi dengan kawasan yang dapat dibudidayakan, dikaitkan dengan daya dukung Kabupaten Sidoarjo dalam menampung penduduk dan aktivitasnya. Selanjutnya disusun strategi pengembangan kawasan budidaya dalam segi peningkatan peran dan fungsi wilayah agar eksistensinya dapat terjaga dan meningkat. Upaya mengoptimalkan pemanfaatan ruang yang tercermin dalam strategi penetapan struktur kegiatan, sistem perwilayahan dan penetapan pusat-pusat
94 pengembangan, strategi kependudukan, strategi pemanfaatan lahan dan sistem jaringannya. Selain strategi pengembangan tersebut diatas, berdasarkan UndangUndang No. 24 Tahun 1992 tentang Pena taan Ruang juga mensyaratkan adanya aspek implementasi dan pengendalian, yang harus terintegrasi dalam satu satuan strategi pengembangan wilayah sehingga suatu produk rencana wilayah akan mempunyai
penjelasan
dalam
segi
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendaliannya.
5.3. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Wilayah
5.3.1. Kebijakan Keseimbangan Ekologi Wilayah Kebijakan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Sidoarjo hendaknya mengacu pada azas dan tujuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan
terselenggaranya
Ruang
pemanfaatan
ruang
yang
antara
yang
lain
berwawasan
disebutkan
bahwa
lingkungan
dan
berkualitas, maka : 1. Harus di wujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. 2. Harus
diwujudkan
perlindungan
fungsi
ruang
dan
mencegah
serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. 3. Mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Adapun kebijakan wilayah yang diterapkan di dalam pengembangan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sidoarjo dalam menciptakan wilayah yang berwawasan lingkungan adalah dengan terwujudnya suatu ekosistem kota yang mampu menyanggah kehidupan seluruh mahluk hidup yang ada didalamnya.
95 Namun begitu usaha- usaha secara nyata yang dilakukan oleh pemerintah kearah sana belum begitu terlihat. Kegiatan penghijauan kota nampak belum maksimal dan hanya terbatas pada taman-taman kota saja.
5.3.2. Kebijaksanaan Struktur Tata Ruang Beberapa kebijaksanaan pokok yang dapat ditetapkan dalam rangka pembentukan struktur tata ruang kota dan pemanfaatan ruang yang optimal bagi Sidoarjo, adalah tetap menjaga keseimbangan pembangunan antar Sub Satuan Wilayah Pembangunan (SSWP) yaitu : 1. SSWP I dengan pusat di Kecamatan Waru, akan dikembangkan sebagai pusat pengembangan kegiatan industri dan perdagangan, dengan dukungan pengembangan di bidang jasa transportasi Bandara Juanda dengan skala Internasional dan Terminal Purabaya. Kegiatan penunjang lainnya yang akan dikembangkan untuk mend ukung kegiatan utama adalah pendidikan dan pariwisata. 2. SSWP II dengan pusat di Kecamatan Sidoarjo, kebijaksanaan pengembangan ditetapkan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa. Perdagangan dan jasa yang dikembangkan berskala lokal, urban dan regional, yang didukung oleh kegiatan industri mempertahankan yang sudah ada sekarang. Kegiatan perumahan dan pemukiman diarahkan untuk pengembangan pemukiman dengan kepadatan rendah dan sedang.
Pendidikan terutama
pendidikan tinggi negeri maupun swasta. Pariwisata dengan mempertahankan yang telah ada.
96 3. SSWP III dengan pusat di Kecamatan Porong, kebijakan pengembangan diarahkan untuk kegiatan industri dan pertanian. 4. SSWP IV dengan pusat di Kecamatan Krian, dengan kegiatan utama perdagangan dan jasa dengan skala lokal dan urban disamping itu juga diarahkan pada pengembangan kawasan pertanian.
Sedangkan kegiatan
penunjangnya adalah kegiatan pendikan, industri dan wisata. Kebijakan struktur tata ruang ini dirasakan sesuai dengan trend perkembangan kota-kota tersebut, sehingga pemerintah tidak perlu bersusah-susah untuk mengarahkan penataan ruang di wilayah-wilayah tersebut.
5.4. Sektor-Sektor Prioritas Pembangunan Sebagaimana dilaporkan dalam RTRW Kabupaten Sidoarjo tahun 2002, dari hasil analisis terhadap potensi dan permasalahan wilayah disimpulkan bahwa sektor-sektor prioritas meliputi enam sektor dan tujuh sub sektor sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sektor-Sektor Prioritas di Wilayah Kabupaten Sidoarjo No.
Klasifikasi
Sektor a. Pertanian
1
2
Sangat Strategis
Strategis
Sub Sektor
c. Perikanan/Pertambakan
(1) Pertanian tanaman pangan (2) Perkebunan (3) Industri besar, sedang dan kecil (4) Tambak
a. Perdagangan dan jasa b. Sarana dan Prasarana c. Transportasi
(1) Pasar / Swalayan (2) Terminal, Bandar Udara (3) Stasiun KA
b. Perindustrian
Sumber : RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2002 – 2011
Penetapan sektor-sektor prioritas tersebut sudah sesuai dengan
share
masing- masing sektor tersebut pada PDRB Kabupaten. Namun data ini kurang
97 memiliki nilai informasi manakala tidak didukung oleh suatu analisis yang relevan.
5.5. Rencana Pengembangan Kawasan Perikanan Kontribusi sektor perikanan Kabupaten Sidoarjo relatif besar, sehingga pengembangan sektor perikanan ini perlu diupayakan seoptimal mungkin, dengan mengembangkan produksi perikanan dengan memanfaatkan potensinya. Kawasan perikanan di Kabupaten Sidoarjo yang berpotensi untuk dikembangkan adalah : (1) perikanan tambak, (2) perikanan kolam, dan (3) pengolahan pasca panen. Rencana pengembangan perikanan di Kabupaten Sidoarjo sebgaimana disajikan pada Tabel 8, berada di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Waru, Buduran, Sedati, Sidoarjo, Candi, Tanggulangin, Porong dan Jabon. Luas rencana pengembangan kawasan tambak pada tahun 2003 – 2012 adalah 15 766.2 ha. Rencana pengembangan kawasan perikanan di Kabupaten Sidoarjo, meliputi : 1. Kawasan perikanan tambak organik yang ada (seluas 7 000 ha) tetap dipertahankan dan dilindungi dari pemanfaatan lainnya. 2. Melindungi kawasan tambak yang ada dari perkembangan kegiatan industri. 3. Melindungi kawasan perikanan tambak maupun sungai dari pencemaran oleh limbah industri. 4. Melakukan peningkatan produktivitas budidaya perikanan dan pencegahan terhadap penurunan fungsi akibat intervensi manusia serta terhadap bahaya banjir, erosi dan lain- lain. 5. Budidaya tambak diarahkan di daerah yang telah ditentukan dengan memperhatikan kawasan pantai.
98 6. Kawasan tambak yang berbatasan dengan sungai harus memperhatikan sempadan sungai, demikian juga bila berbatasan dengan pantai. 7. Pengembangan kawasan tambak perlu diimbangi dengan peningkatan normalisasi saluran dan jalan menuju lokasi tambak. Dari poin-poin tersebut yang sudah diupayakan oleh pemerintah baru sebatas melakukan proteksi kawasan pertambakan dari pencemaran limbah industri yang dibawa melalui Sungai Porong, sedang limbah industri di perkotaan yang disalurkan melalui sungai-sungai kecil belum nampak ada penanganan secara khusus. Barangkali karena sungai-sungai tersebut masih berfungsi sebagai saluran irigasi, sehingga konsentrasi limbah industri terlebih dahulu diserap oleh tanaman pangan (sawah) sebelum sampai ke lokasi pertambakan.
Tabel 8. Rencana Kawasan Perikanan Tambak di Kabupaten Sidoarjo No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Waru Sedati Buduran Sidoarjo Candi Tanggulangin Porong Jabon Jumlah
Luas (Ha) 459.6 4 255.2 1 860.0 2 697.6 1 142.4 435.6 567.0 4 348.8 15 766.2
Sumber : RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2002 – 2011
5.6. Hutan Mangrove Hutan mangrove di Kabupaten Sidoarjo terdapat di pesisir timur yang membentang sepanjang 27 km (PT. Intermulti Planindo, 2004).
Luas hutan
mangrove hingga tahun 2004 sebagaimana disajikan pada Tabel 9 mencapai 401.86 ha tersebar di lima kecamatan. Jika luas hutan mangrove tersebut
99 dikonversi kedalam satuan ketebalan hutan mangrove dari garis pantai maka akan diperoleh rata-rata ketebalan 148.83 m dari garis pantai. Kondisi ini masih jauh dari amanat Perda No. 17 Tahun 2003 yang menghendaki terbentuknya ketebalan hutan mangrove mencapai 400 m dari garis pantai. Dengan ketebalan tersebut, maka akan diperoleh luas hutan mangrove mencapai 1 038.25 ha. Hutan mangrove di Kabupaten Sidoarjo banyak didominasi oleh famili Rhizophoraceae seperti ; Rhizophora apiculata, R.mucronata, Bruguira sp. Hutan bakau ini banyak yang telah terganggu karena adanya penebangan yang dilakukan oleh masyarakat masing- masing desa untuk keperluan pencetakan lahan tambak baru, serta untuk keperluan kayu bakar industri batu bata dan genting.
Tabel 9. Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sidoarjo No. 1 2 3 4 5
Kecamatan
Waru Sedati Buduran Sidoarjo Jabon Jumlah Sumber : RTRW Kabupaten Sidoarjo 2002 – 2011
Luas (Ha) 6.15 200.01 12.31 20.31 163.08 401.86
Keberadaan hutan mangrove ini dalam lima tahun terakhir senantiasa mengalami pertambahan akibat terjadinya sedimentasi yang membentuk tanah timbul (tanah oloran). Dalam tiga puluh tahun terakhir (dari tahun 1970 – 2003) luas tanah oloran mencapai 3 525.25 ha atau rata-rata mengalami pertambahan 106.825 ha per tahun. Jadi luas hutan mangrove sekarang mencapai 401.86 ha +
100 320.475 ha 1 = 722.335 ha atau setara dengan ketebalan rata-rata hutan mangrove 267.53 m dari garis pantai.
5.7. Target Produksi Barang dan Jasa Ada enam jenis barang produksi yang dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo yang berhasil dikumpulkan peneliti secara series dari tahun 1999 - 2005, yaitu : Bandeng, Udang Intensif, Udang Organik, Udang Campur, Kupang (Remis) dan Kerang.
Untuk memperoleh proyeksi target
produksi tahun 2006 dan 2011, peneliti menghitung trend produksi dengan menggunakan program perangkat lunak Excel versi Window XP. Hasil dari penghitungan tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Setiap komoditi (barang) yang dihasilkan di pesisir Sidoarjo menunjukan kecenderungan yang semakin meningkat kecuali untuk produksi udang intensif. Peningkatan kapasitas produksi ini menunjukan bahwa tingkat eksploitasi pemanfaatan lahan masih dibawah potensi dari kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu produk tertentu. Sehingga dalam hal ini masih dimungkinkan adanya suatu usaha intensifikasi pemanfaatan lahan. Sedang untuk kasus produksi udang intensif sebelum tahun 2001 ada kecenderungan peningkatan produksi, namun setelah adanya desakan dari berbagai pihak tentang bahaya polusi yang berpotensi mencemari areal disekitarnya seperti usaha tambak organik dan usaha tambak sejenis, maka ada kecenderungan para petambak intensif beralih ke tambak organik. Dari hasil analisis trend untuk tahun 2011 didapatkan angka
1
320.475 Ha diperoleh dari hasil perkalian pertambahan hutan mangrove per tahun sebesar 106.825 Ha dikalikan dengan 3 tahun – (terhitung dari 2004 – 2006).
101 yang negatif. Karena tidak ada produksi yang negatif, maka untuk penggunaan target produksi udang intensif tahun 2011 adalah 0 (nol). Tabel 10. Produksi Perikanan Kabupaten Sidoarjo dan Target Produksi Produksi (ton / tahun) Tahun
Bandeng U Organik U Intens U Campur Kupang 1999 1 110.80 3 499.500 3 500 1 706.1 2000 1 166.34 3 484.032 3 568 1 982.0 2001 1 224.65 3 655.485 6 615 2 081.1 2002 1 355.22 3 985.045 7 055 1 575.8 2003 1 422.98 4 185.043 6 657 1 654.6 929.48 2004 1 446.40 3 397.000 4 400 1 638.6 945.26 2005 1 524.41 3 580.340 3 960 1 727.5 970.09 Target Produksi 2006 16 071.543 3 769.228 2 633 1616.657 988.8867 2007 16 785.571 3 790.593 1 478 1 579.189 1 009.1917 2008 17 499.600 3 811.958 324 1 541.721 1 029.4967 2009 18 213.629 3 833.323 -830 1 504.254 1 049.8017 2010 18 927.657 3 854.688 -1 984 1 466.786 1 070.1067 2011 19 641.686 3 876.052 -3 138 1 429.318 1 090.4117 2011 19 641.686 3 876.052 0 1 429.318 1 090.4117 Sumber : Laporan DKP Kabupaten Sidoarjo 1999 – 2005 (diolah).
Kerang
311.80 276.45 363.80 369.350 395.350 421.350 447.350 473.350 499.350 499.350
1. Target Produksi Garam Produksi garam diperoleh dari hasil wawancara dengan petani garam, mereka (ada 6 orang pengusaha garam) mengusahakan areal seluas 12 ha. Produktivitas per ha tambak garam adalah 10 000 kg/ha/tahun – sehingga total produksi garam dalam satu tahun mencapai 120 000 kg/ha/tahun. 2. Kayu Bakar Data produksi kayu bakar diperoleh dari hasil pemantauan dilapangan terhadap aktivitas pencarian kayu bakar oleh pencari kayu baik penduduk lokal maupun mereka yang sengaja datang dari daerah lain seperti Kab. Mojokerto yang secara khusus untuk mencari kayu bakar bagi keperluan bahan bakar industri batu bata di wilayah Mojosari - Mojokerto. Kayu bakar yang dieksploitasi dari hutan mangrove setiap hari rata-rata 30 kubik (setara dengan 5 buah truck ukuran 3/4).
102 Jika dalam satu tahun hari kerja efektif pencari kayu bakar 300 hari, maka produksi total kayu bakar mencapai 9 000 kubik/tahun atau setara 22.39 kubik/ha/tahun. Angka inilah yang ditetapkan sebagai target produksi kayu bakar. 3. Jasa Lingkungan Untuk dapat menghitung besaran jasa lingkungan, didekati dengan menghitung nilai keberadaan hutan mangrove sebagai penyangga kawasan pesisir dari pencemaran polusi yang dibawa melalui aliran Sungai Porong akibat pembuangan limbah oleh pabrik kertas PT. Ciwi Kimia dan PT. Pakerin. Untuk menghitung nilai keberadaan hutan mangrove digunakan metode substitusi (proksi). Artinya jika hutan mangrove tersebut tidak ada sama sekali maka alat apa yang dapat menggantikan keberadaan hutan mangrove tersebut sehingga fungsi perlindungan terhadap ekosistem dari ancaman polusi Kali Porong dapat di cegah. Melihat perilaku polutan yang cenderung mengalir di dasar sungai sehingga polutan tersebut ikut tersedot oleh aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh para penambang disepanjang bantaran Sungai Porong di wilayah Kabupaten Sidoarjo, maka peneliti mengasumsikan dengan keberadaan sebuah Dam yang berfungsi sebagai bendungan untuk meninggikan permukaan air Sungai Porong – maka polutan akan tersedot keluar oleh penambangan pasir sehingga air sungai yang mengalir ke laut merupakan sisa-sisa air yang sudah bersih karena. tuntutan terhadap pembangunan Dam ini pernah diwacanakan oleh para pendemo pada tahun 1999 dan 2001. Setelah melalui observasi lapangan di sepanjang sungai Brantas terdapat tujuh jenis Dam (Bendungan). Diantara ketujuh jenis
103 Dam tersebut karakter Dam yang paling sesuai dengan fungsi sebagai peninggi air permukaan adalah Bendungan Wlingi Raya. Menurut hasil penilaian Asset Management For Hydraulic Infrstructure hasil kerjasama Bappenas dan Bank Dunia tahun 2002 : sebuah bendungan yaitu Bendungan Wlingi yang kurang lebih setara dengan bendungan yang diharapkan masyarakat Sidoarjo mencapai Rp 125 300 000 000,- (dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 9 500 / $1) untuk usia ekonomis selama 100 tahun sehingga nilai ekono mi Dam kotor adalah Rp 1 253 000 000/tahun. Nilai ini masih ditambah dengan biaya perawatan dan operasional
yang diperkirakan
mencapai
Rp 90 000 000/tahun2 , sehingga nilai bersih keberadaan hutan mangrove per tahun adalah Rp 1 343 000 000. Nilai
manfaat
pilihan
diestimasi
dengan
mengacu
pada
nilai
keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove di Indonesia yaitu sebesar US $ 15/ha/th atau sekitar Rp 135 000 (Ruitenbeek, 1991). Karena luas hutan mangrove mencapai 722.335 ha, maka nilai manfaat pilihan hutan mangrove total mencapai Rp 97 515 225. Angka-angka inilah yang selanjut nya ditetapkan sebagai target nilai jasa lingkungan dari sebuah hutan mangrove, sebagaimana disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 . Prakiraan Nilai Hutan Mangrove Kabupaten Sidoarjo Per Tahun
2
No 1.
Barang/Jasa Nilai Eksistensi *)
2.
Manfaat Pilihan **) Total
Total Nilai (Rp) 1 343 000 000 54 251 100
Nilai (Rp/ha) 3 341 959.88 135 000.00 3 476 959.88
Nilai ini ditambah dengan biaya operasional untuk gaji 5 orang pegawai dengan upah Rp 1500000,- /org/bln, yang mencapai Rp 90 000 000,- /th. Sehingga : 1 253 000 000 + 90 000 000 = Rp 1 343 000 000,-
104 4. Target Keuntungan. Target keuntungan yang diperoleh petani tambak dari hasil usahanya minimal harus lebih besar sama dengan keuntungan yang diperoleh tahun sebelumnya (2005) sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Total Keuntungan Pengelolaan Pesisir Tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6
Jenis Pengusahaan Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Bndg + U Organik + U Cmpr U Intensif Semi Intensif Eksploitasi Campuran Htn Mangrove Total
Keuntungan per Hektar (Rp 000/Ha) 13 696.7 12 569.8 11 817 112 200 62 008.4 18 879.09
6481.800
Total Keuntungan (Rp 000) 88 779 270.06
12.000 8541.700 50.000 680.700 722.335 16 488.535
150 837.60 100 937 268.90 5 610 000.00 42 209 117.88 13 637 027.47 251 323 521.91
Luas Areal (Ha)
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh target produksi barang dan jasa dan keuntungan di pesisir Kabupaten Sidoarjo sebagaimana disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Produksi Pesisir Kabupaten Sidoarjo No.
Barang/Jasa
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam Kayu Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Total Keuntungan
Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun m3 /tahun (Rp 000/tahun) (Rp 000/tahun)
Target Produksi 2006 2011 16 071.543 19 641.689 3 769.228 3 876.052 263.300 0 1 616.657 1 429.318 988.887 1 090.412 369.350 499.350 125.957 125.95728 9 000.000 9 000.000 1 440 515.225 2 160 772.837 251 323 521.910
376 985 282.86
VI. MODEL DAN SIMULASI PENGGUNAAN LAHAN
Tujuan pengelolaan lahan kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Akan tetapi untuk kepentingan pemodelan penulis menspesifikasi tujuan pengelolaan lahan kedalam pernyataan yang lebih kongkrit dan mudah untuk dinyatakan dalam pernyataan matematik yang akan disusun. Tujuan spesifik pengelolaan lahan adalah sebagai berikut : 1.
Melestarikan lingkungan yang tercermin dari kawasan lindung mangrove.
2.
Menghasilkan produk-produk tambak dan hutan mangrove yang tercermin dari masing- masing target produksi.
3.
Menghasilkan tingkat keuntungan masyarakat.
4.
Pemanfaatan lahan yang memenuhi batas-batas kendala sumberdaya; ketersediaan lahan, lingkungan, sosial (tenaga kerja), dan ekonomi sehingga memberikan dampak positif yang maksimal dan berkesinambungan dalam menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
5.
Menentukan tataguna lahan yang terpadu untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan dan kegiatan masyarakat, LSM dan Pemerintah. Tujuan spesifik tersebut yang dapat dikuantifikasikan tidak lain adalah
jumlah produksi barang dan jasa kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo pada suatu waktu tertentu yang selanjutnya menjadi target produksi yang harus dicapai dari suatu
pengelolaan
lahan
dengan
lingkungan, sosial, dan ekonomi.
keterbatasan-keterbatasan
sumberdaya,
106 6.1. Membangun Model Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo.
6.1.1. Analisis Lahan 1. Stratifikasi (klasifikasi) Kemampuan Lahan Selama ini belum ada data yang secara jelas mengemukakan kelas-kelas kemampuan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo.
Data dasar yang
digunakan adalah peta yang dibuat dalam RTRW tahun 2002, yang membagi wilayah pesisir dalam dua kategori peruntukan yaitu lahan tamb ak dan kawasan lindung mangrove. Menurut metode FAO pada tingkat ini sebenarnya kita sudah masuk dalam kategori ordo. Padahal kita ingin mengetahui kelas-kelas yang lebih detail dari kawasan tambak yang secara fisik seolah-olah terlihat flat (datar/homogen), padahal dalam kenyataannya masing- masing tambak memiliki spesifikasi yang berbeda-beda dalam penggunaannya untuk tujuan budidaya udang dan ikan. Sebagaimana Boyd (1991), mengemukakan bahwa penggunaan lahan tambak untuk memproduksi ikan berhubungan erat dengan kualitas air, meliputi unsur- unsur : salinitas, oksigen terlarut, suhu, kekeruhan, kemasaman (pH), kadar amoniak dan lain- lain. Dasar inilah yang selanjutnya dipakai untuk membagi kawasan tambak menjadi satuan-satuan lahan yang lebih sempit lagi. Untuk mempermudah analisis penulis membagi satuan-satuan kawasan (lahan) menurut batasan wilayah administrasi kecamatan.
Karena di pesisir
Sidoarjo ada delapan kecamatan, maka untuk seluruh wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo diperoleh 8 (delapan) satuan-satuan lahan.
Pada kategori kelas kita
hanya bisa membedakan antara kelas satuan lahan tambak dengan kelas satuan lahan non tambak, sebagaimana disajikan pada Tabel 14.
107 Tabel 14 . Satuan-Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Waru Sedati Buduran Sidoarjo Candi T’angin Porong Jabon H. Lindung*) Jumlah
Luas (Ha) 459.6 4 255.2 1 860.0 2 697.6 1 142.4 435.6 567.0 4 348.8 722.335 16 488.535
Kesesuaian Untuk Usaha Budidaya Tambak S S S S S S S S N
Sumber : RTRW Kabupaten Sidoarjo 2002 - 2011 (Diolah)
Keterangan :
S N *)
: Sesuai Untuk Usaha Budidaya Tambak : Tidak Sesuai Untuk Usaha Budidaya Tambak : Dihitung berdasarkan proyeksi tahun 2005/2006
Pada kategori sub-kelas kita ingin melihat secara lebih detail ada tidaknya faktor- faktor yang membedakan antara tambak satu dengan lainnya demikian juga dengan kawasan non tambak (hutan mangrove). Kawasan pertambakan walaupun secara fisik relatif sama karena semua wilayah dapat diusahakan tambak, namun ada beberapa kriteria yang membedakan daerah satu dengan lainnya. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium di beberapa titik sampel, ditemukan bahwa daerahdaerah yang selama ini tidak bisa diusahakan untuk ditanami udang memiliki salinitas yang sangat tinggi mencapai 300 /oo – 400 /oo sementara kawasan tambak lainnya yang bisa ditanami udang salinitasnya berkisar antara 200 /oo – 300 /oo, serta tingkat kemasaman yang tinggi pula.
Menurut Kinne (1964),
keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturut-turut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0.50 /oo), perairan payau dengan salinitas 0.50 /oo–30 0 /oo, hypersaline (salinitas 30 – 80 0 /oo), dan brain water (salinitas lebih besar dari 80
0
/oo). Daerah ini juga dicirikan oleh tingginya pH yang
108 mencapai rata-rata diatas 7.5 sementara daerah lainnya memiliki pH antara 6.2 – 7.0. Berdasarkan informasi tersebut kawasan tambak dapat dibagi menjadi dua dan kawasan mangrove juga mengikutinya karena secara geofisik memiliki sifat yang sama dan berada pada lokasi yang sejajar. Informasi ini dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Satuan-Satuan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2005 Menurut Kriteria Kesesuaian Secara Agronomis dan Kualitas Air dan Tanah. No
Kesesuaian Untuk Usaha Budidaya Udang 459.6 S S2 4 255.2 S S2 1 860.0 S S2 2 697.6 S S1 1 142.4 S S1 435.6 S S1 567.0 S S1 4 348.8 S S1 722.335 N NS1 16 488.535 N NS2 Sesuai untuk budidaya udang windu; salinitas 20%o – 30%o Sesuai hanya untuk budidaya bandeng dan Garam; salinitas > 31%o Kawasan hutan mangrove yang memungkinkan untuk pengembangan Tambak bandeng dan garam – memiliki geofisik yang sama dengan S1. Kawasan hutan mangrove yang memungkinkan untuk pengembangan tambak udang windu – memiliki geofisik yang sama dengan S2.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waru Sedati Buduran Sidoarjo Candi T’angin Porong Jabon H. Mangrove Jumlah Keterangan : S1 : S2 : NS1 : NS2 :
Luas (Ha)
Kesesuaian Untuk Budidaya Tambak
Pada kategori yang lebih detail yaitu kategori unit dimasukan aspek faktorfaktor pembatas seperti kualitas air, pH, salinitas dan lain- lain. Ada kemungkinan klasifikasi pada tingkat sub-kelas masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi satuansatuan lahan yang lebih mendetail. Dari kagiatan ini diperoleh informasi sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan informasi pada Tabel 16 dapat kita tetentukan satuan-satuan penggunaan lahan melalui evaluasi kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 16. Kesesuaian Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 2005 Lokasi (Kecamatan) Waru Sedati Buduran Sidoarjo Candi T’angin Porong Jabon H. Mangrove 1 H. Mangrove 2 Jumlah Keterangan :
SI N S/N NS1 a b c d e
Luas Bandeng (Ha) 459.6 SI 4 255.2 SI 1 860.0 SI 2 697.6 SI 1 142.4 SI 435.6 SI 567.0 SI 4 348.8 SI 300.0 NSI 422.335 NSI 16 488.535 : : : : : : : : :
U. Windu
U. Campur
Kupang
Kerang
Garam
K Bakar
N N N SI SI SI SI SI N NSI
SI SI SI SI SI SI SI SI NSI NSI
N N N N N N N N SI SI
N N N N N N N N SI SI
S/N S/N S/N N N N N N N N
N N N N N N N N SI SI
Sesuai secara agronomis, ekonomis dan lingkungan. Tidak sesuai secara agronomis. Pada umumnya tidak sesuai tetapi ada sebagian kecil yang dapat diusahakan. Sesuai untuk pengembangan jarak lokasi tambak dengan jalan umum yang cukup jauh sehingga biaya angkutnya menjadi mahal. tipisnya ketebalan hutan mangrove, sehingga mempengaruhi kualitas air tanah. salinitas yang tinggi. pH (keasaman air). Eksternalitas oleh tambak intensif.
Faktor Pembatas a, b, c, d a, b, c, d a, b, c, d e e e e e a,c a
Tabel 17. Hasil Evaluasi Kesesuaia n Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 2005 Kecamatan Waru Sedati Buduran Sidoarjo Candi T’angin Porong Jabon H. Lindung 1 H. Lindung 2 Jumlah Keterangan:
Luas (Ha) 459.6 4255.2 1860.0 2697.6 1142.4 435.6 567.0 4348.8 300.0 422.335 16 488.535 SI N S/N SE NSI/NSE
Bandeng SI SI SI SI SI SI SI SI NSI NSI : : : : :
Udang Organik N N N SI SI SI SI SI N NSI
Udang Intensif N N N SE SE SE SE SE N NSE
Udang Campur SI SI SI SI SI SI SI SI NSI NSI
Kupang
Kerang
Garam
K Bakar
N N N N N N N N SI SI
N N N N N N N N SI SI
S/N S/N S/N N N N N N N N
N N N N N N N N SI SI
Sesuai secara agronomis, ekonomis dan lingkungan. Tidak sesuai secara agronomis. Pada umumnya tidak sesuai tetapi ada sebagian kecil yang dapat diusahakan. Sesuai secara agronomis tetapi menimbulkan dampak eksternalitas. Sesuai untuk pengembangan
Satuan Lahan 1
2
3 4
111 Berdasarkan rangkaian analisis klasifikasi lahan tersebut, kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo dapat dibagi dalam empat kelas satua n lahan, sebagai mana disajikan pada Gambar 17.
Kelas Lahan : NS1
Kelas Lahan : NS2
Kawasan Hutan Mangrove
Kelas Lahan : S1
Kelas Lahan : S2
Kawasan Tambak
Gambar 17. Kelas Lahan Menurut Kesesuaian Untuk Usaha Budidaya
2. Analisis Kesesuaian (Kelayakan) Penggunan Lahan. Alternatif kegiatan penggunaan lahan ditentukan melalui suatu proses analisis kelayakan penggunaan lahan.
Kelayakan diartikan bahwa komoditas
yang dihasilkan dari alternatif penggunaan lahan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada sistem sosial yang ada dan sekaligus harus memberikan keuntungan yang dinilai dengan profit rate yang lebih besar atau sama dengan tingkat inflasi atau suku bunga bank. Berdasarkan pemantauan di lapangan dan hasil evaluasi penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 17. maka wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo dapat dibagi menjadi empat
satuan lahan, delapan komoditi dan satu jasa
lingkungan yang dihasilkan dalam enam pola usaha strategi penggunaan lahan. Secara lebih jelas informasi tentang strategi lahan dapat dilihat pada Tabel 18.
112 Tabel 18. Alternatif Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 2005 Komoditi Yg Diusahakan
Satuan Lahan 1 X1 X2
Bandeng
V
V
Satuan Lahan 2 X1
X3
X4
V
V
V
V
V
Udang (o) Udang (I) U Camp.
V V
V
Satuan Lahan 3 X5
X1
X2
V
V
X6
Satuan Lahan 4 X1
V
V
V
X3
X4
X5
V
V
V
X6
V
V
V
Kupang
V
V
Kerang
V
V
Kayu Bakar
V
V
Jasa Lingk.
V
V
Garam
V
Keuntungan
Keterangan:
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V : cocok untuk diusahakan karena layak secara agronomis dan lingkungan
3. Evaluasi Penggunaan Lahan Alternatif penggunaan lahan perlu dievaluasi dampaknya baik secara sosial yang meliputi tena ga kerja, dan akseptabilitasnya ; secara ekonomi meliputi aspek produksi, biaya produksi dan keuntungan ; serta secara lingkungan menyangkut dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Evaluasi aspek ekonomi suatu jenis lahan pada satuan lahan tertentu dimaksudkan untuk melihat kelayakan tingkat keuntungan dari suatu pengusahaan komoditas tertentu. Jika profit ratenya diatas tingkat suku bunga bank maka jenis penggunaan lahan tersebut dijadikan sebagai alternatif penggunaan lahan. Dari sana akan diketahui besaran data input dan output usahatani seperti produktivitas, biaya, dan tenaga kerja sehingga diperoleh koefisien teknologi dan kendala dalam model yang disusun. Hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa responden terhadap usaha pertambakan mereka dan usaha penangkapan kupang, kerang dan pencarian kayu bakar yang selanjutnya manjadi koefisien teknologi masingmasing satuan lahan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Koefisien Teknologi Pilihan Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo 2005 Kom
Sat
Satuan Lahan 1 X1 X2 3.75 1.5
X1 3.75
X3 0.375 0.1
0.0793
0.1448
0.1622
Bd T/th UOr T/th UIts T/th UCp T/th 0.1448 Kpg T/th Krg T/th Grm T/th K Bk Kb/th JS Lkg Rp/th Profit Rp/th 13 697 Keterangan: X1 X2 X3 X4 X5 X6
Satuan Lahan 2 X4
4.4
60
: : : : : :
Satuan Lahan 3 X5 0.1875 0.05 2.2 0.0811
X1 3.75
X2 1.5
0.1448
0.0793
X6
Satuan Lahan 4 X1 3.75
X3 0.375 0.1
0.1448
0.162
X4
4.4
X5 0.1875 0.05 2.2 0.0811
X6
2.3522 0.688
2.35221 0.68795
22.39 3477 18 879
22.39 3 476.96 18 879.1
60
12 570 13 697 118 17 112 200 62 008 13 697 12 570 13 697 11 817 Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
112 200
62 008.4
114 Informasi pada Tabel 19 dapat divisualisasikan dalam bentuk gambar sebagai mana disajikan pada Gambar 18.
Kawasan Hutan Mangrove
Kelas Lahan : NS1 Pola Usaha : X1 , X2 , X6
Kelas Lahan : NS2 Pola Usaha : X1 , X3 , X4 , X5
Kelas Lahan : S1 Pola Usaha : X1 , X2
Kelas Lahan : S2 Pola Usaha : X1 , X3 , X4 , X5 , X6
Kawasan Tambak
Gambar 18. Pola Usaha yang Mungkin Untuk Dikembangkan di Masing-Masing Klas Satuan Lahan
6.1.2. Kendala-Kendala Penggunaan Lahan Dalam rangka penyusunan model perlu ditetapkan kendala-kendala yang membatasi penggunaan lahan.
Secara umum di Kawasan Pesisir Kabupaten
Sidoarjo kendala-kendala tersebut meliputi : kendala sumberdaya, kendala lingkungan, kendala sosial, dan kendala ekonomi.
Kendala sumberdaya
dinyatakan dalam ketersediaan lahan. Kendala lingkungan digambarkan dalam luas hutan mangrove minimal yang perlu dipertahankan agar keberadaannya dapat menjaga kelestarian ekosistem disekitarnya. Kendala ekonomi dinyatakan dalam bentuk kemampuan dana petani. Kendala sosial dinyatakan dalam ketersediaan tenaga kerja keluarga petani tambak. Semua kendala tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan atau ketidak samaan.
1. Kendala Sumberdaya Lahan Kesesuaian dan kelayakan penggunaan lahan pada suatu satuan lahan tertentu menjadi kendala dalam penyusunan model. Dari tabel diatas dapat dilihat kemungkinan suatu satuan lahan bagi berbagai alternatif penggunaan. Akan tetapi
115 luas semua penggunaan lahan pada suatu satuan lahan akan dibatasi oleh luas satuan lahan tersebut. Pada satuan lahan 2, alternatif penggunaannya adalah tambak bandeng, udang organik, udang intensif dan udang campur.
Berarti pada satuan lahan
tersebut terjadi persaingan atau konflik penggunaan lahan untuk menghasilkan empat komoditas tersebut. Tetapi keempat penggunaan lahan tersebut dibatasi oleh luas wilayah Kecamatan Jabon, Porong, Tanggulangin, Cand i dan Sidoarjo sebesar 9 191.4 ha. Demikian juga untuk satuan lahan 1 mencapai 6 574.8 ha meliputi Kecamatan Sedati, Waru dan Buduran. Satuan lahan 3 meliputi hutan mangrove yang menjadi satu wilayah geofisik dengan satuan lahan 1 adalah 300 ha, dan satuan lahan 4 yang meliputi hutan mangrove yang menjadi satu wilayah geofisik dengan satuan lahan 2 adalah 422.335 ha. Kendala luas lahan keseluruhan adalah meliputi luas keberadaan lahan secara keseluruhan yang mencapai 16 488.535 ha.
2. Kendala Lingkungan Dalam model alokasi penggunaan lahan ini, yang dimaksud dengan kendala lingkungan dicerminkan oleh luas hutan mangrove minimal yang perlu dipertahankan sehingga keberadaannya tetap efektif dalam menjaga kelestarian ekosistem disekitarnya terutama ekosistem tambak. Untuk menentukan luas hutan mangrove lestari, dilakukan analisis regresi terhadap data kualitas air dan tanah disekitar hutan mangrove, lihat Lampiran 9. Dugaan modelnya sebagai berikut : P = a.j-b ; dalam bentuk linear setelah dilog-kan adalah P = A – b J + u ; dimana: P A
: Kadar senyawa biokimia : Intersep
116 B J
: Parameter dugaan (koefisien regresi) : Jarak (Ketebalan hutan mangrove)
Perhitungan Jarak dari Pantai, Jika Nilai Salinitas (P) = 30.25 P 30.25 30.25/22.5516 1.341366 Ln (1.341366) 0.293688 J J
= 22.5516 exp (0.002779 J) = 22.5516 exp (0.002779 J) = exp (0.002779 J) = exp (0.002779 J) = Ln (exp (0.002779 J)) = 0.002779 J = 0.293688/0.002779 = 105.6812
Perhitungan Jarak dari Pantai, Jika Nilai BOD (P) = 0.288 P 0.288 0.288/0.33266 0.86575402 Ln (0.865754) -0.1441545 J J
= 0.332658exp (-0.001547 J) = 0.332658exp (-0.001547 J) = exp (-0.001547 J) = exp (-0.001547 J) = Ln (exp (-0.001547 J) = -0.001547 J = -0.1441545/-0.001547 = 93.1832289
Dari hasil analisis
regresi
diperoleh dugaan parameter ma sing-
masing: A = 33.26 %o ; b = - 0.001547. Sehingga pada tingkat salinitas rata-rata air tambak P = 30.25 %o terjadi pada ketebalan mangrove 105.6812 m1 . Angka ini setara dengan luas hutan mangrove ; 105.6812 x 27 000 m = 285.33924 ha. Dari luas total hutan mangrove minimal masih harus dibagi menjadi dua bagian masing- masing untuk satuan lahan 3 dan satuan lahan 4. Panjang pantai satuan lahan 3 adalah 11.8 km sehingga luas minimal hutan mangrove untuk satuan lahan ini adalah 11 800 m x 105.6812 m = 124.7 ha. Sedang untuk satuan lahan 4 dengan panjang pantai mencapai 15.2 km luas minimal hutan mangrove untuk satuan lahan ini adalah 160.64 ha.
Luas inilah yang merupakan batasan luas
hutan mangrove minimal sehingga fungsinya sebagai biofilter dalam menjaga
1
Penulis lebih menggunakan hasil perhitungan jarak untuk kadar salinitas, karena memberikan hasil perhitungan jarak paling jauh dibandingkan dengan kadar polutan lainnya.
117 ekosistem tambak tidak berkurang. Informasi ini dapat melengkapi peta peruntukan lahan sebagai mana disajikan pada Gambar 19 Kendala Lingkungan : Luas minimal hutan mangrove 124.7 ha
Kendala Lingkungan : Luas minimal hutan mangrove 160.64 ha
Sat. Lahan 3 = 175.3 ha Pola Usaha : X1 , X2 , X6
Sat. Lahan 4 = 261.695 ha Pola Usaha : X1 , X3 , X4 , X5
Sat. Lahan 1 = 6574.8 ha Pola Usaha : X1 , X2
Sat. Lahan 2 = 9191.4 ha Pola Usaha : X1 , X3 , X4 , X5 , X6
Kawasan Hutan Mangrove
Kawasan Tambak
Gambar 19. Klas Satuan Lahan dengan Kendala Luas Minimal Hutan Mangrove
3.
Kendala Sosial Kendala sosial yang paling penting berhubungan dengan penggunaan
lahan di Kawasan Pesisir Sidoarjo adalah akseptabilitas (kesediaan masyarakat untuk menerima) suatu teknologi yang akan dikembangkan di suatu satuan kawasan tertentu. Dari semua kemungkinan jenis-jenis usaha penggunaan lahan hampir semuanya dapat diterima oleh masyarakat. Ada satu jenis penggunaan lahan yaitu untuk usaha budidaya udang intensif yang dewasa ini sebagian besar anggota masyarakat sudah tidak mau lagi untuk menggunakannya karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan (eksternalitas) yang merugikan petambak lainnya. Tetapi karena belum ada aturan yang melarangnya, maka tidak ada seorangpun yang bisa melarang bagi setiap pemilik lahan untuk melakukan usaha apapun termasuk budidaya udang intensif. Kendala sosial lainnya dinyatakan dalam bentuk ketersediaan tenaga kerja, yang pada tahun 2005 mencapai jumlah 22 418 orang usia kerja (15 – 55 tahun). Angka ini merupakan penjumlahan dari pandiga dengan petambak seluruh
118 Kabupaten Sidoarjo yang diperoleh dari laporan Tahunan Bidang Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004. Jika tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2.4837 persen/ tahun, maka pada tahun 2006 jumlah ketersediaan tenaga kerja mencapai
23 590 orang.
Diasumsikan jumlah tenaga kerja ini dapat
dimobilisasi untuk keperluan pengelolaan tambak maupun mangrove.
Jika
diasumsikan dalam satu tahun jumlah hari kerja efektif 300 hari kerja, maka jumlah hari kerja seluruhnya yang tersedia adalah 7 077 000 HOK.
4. Kendala Ekonomi Kendala ekonomi dicerminkan dari ketersediaan dana yang dimiliki oleh seluruh petani tambak yang ada di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo. Untuk itu kita bisa menghitung dari hasil total produksi seluruh masyarakat Kawasan Pesisir berikut dana-dana bantuan pemerintah dan potensi tenaga kerja yang dimiliki masing- masing anggota keluarga.
Jumlah ini selanjutnya dikurangi
dengan biaya hidup perkapita seluruh anggota keluarga petani tambak di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo. Jumlah tenaga kerja yang tersedia mencapai 23 590 orang dan diasumsikan mereka bekerja efektif 300 hari dalam satu tahun dengan upah sebesar Rp 35 000/ HOK ; sehingga potensi modal yang dimiliki petani dari tenaga kerja dalam keluarga mencapai Rp 288 977 500 000.
Sementara itu
anggaran pembangunan pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang dialokasikan untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan mencapai Rp 1 500 000 000/tahun dan ada dua kecamatan yang memperoleh dana bantuan untuk Program Pengembanga n Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sebesar Rp 2 000 000 000, sehingga total dana ya ng tersedia Rp 292 477 500 000.
119 Jumlah KK petambak yang ada mencapai 3 256 KK, jika diasumsikan satu KK terdiri dari 4-5 orang dengan masing- masing 2-3 anak dan sepasang suami istri, maka jumlah anggota keluarga petani tambak total mencapai 14 652 orang. Jika diasumsikan biaya hidup setiap orang dalam satu tahun mencapai Rp 2 400 000, maka total biaya hidup seluruh masyarakat petani tambak dengan anggota keluarganya mencapai 35 164 800 000. Dari informasi tersebut sehingga bisa dihitung total potensi biaya yang tersedia di tingkat petani, sebagaimana disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Potensi Biaya Petambak Yang Tersedia di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 Komoditi
Satuan
Total Produksi
Harga Satuan
Bandeng Kg 14 464 000.00 Udang Organik Kg 2 625 000.00 Udang Intensif Kg 945 467.47 Udang Campuran Kg 2 548 900.00 Kupang Kg 945 260.00 Kerang Kg 276 460.00 Garam Kg 120 000.00 Kayu Bakar Kubik 9 000.00 Sub Total : (+)Potensi Tenaga Kerja + Dana Pemerintah (-) Biaya Hidup Seluruh Anggota KK Petambak Pesisir Sidoarjo Total Potensi Biaya Yang Tersedia
8 000 70 000 60 000 30 000 7 000 12 000 1 600 50 000
Total Nilai (Rp) 115 712 000 000 183 750 000 000 56 728 048 200 76 467 000 000 6 616 820 000 3 317 520 000 190 200 000 450 000 000 443 231 588 200 247 695 000 000 35 164 800 000 655 761 788 200
6.1.3. Asumsi-Asumsi Model Dalam pemodelan ini selain berlaku asumsi-asumsi dalam linear programming (linearitas, deterministik, divisibilitas, proporsionalitas, non negativitas) juga digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo adalah suatu kawasan yang dikelola dalam satu kesatuan dimana hutan mangrove ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui Perda No. 17 Tahun 2003, yang ketebalannya tidak harus 400 m dari garis pantai.
120 2. Seluruh satuan lahan yang ada di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo dapat dioptimalkan termasuk didalamnya kawasan lindung. 3. Setelah dilakukan klasifikasi lahan, maka setiap satuan lahan produktivitasnya dianggap homogen. 4. Usaha budidaya tambak dan mencari remis dan kayu baker di hutan mangrove merupakan mata pencaharian utama penduduk di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo, yang bisa bersaing satu dengan lainnya baik dalam hal penggunaan lahan maupun penggunaan sumberdaya lainnya.
6.1.4. Model Operasional Penggunaan Lahan Komponen model dengan menggunanan pendekatan goal programming memiliki tiga kelompok persamaan yaitu persamaan-persamaan kendala tujuan, persamaan-persamaan kendala fungsional, dan persamaan fungsi tujuan. 1. Persamaan Fungsi Kendala Tujuan : (1). Tujuan Menghasilkan Barang dan Jasa Q
T
∑ ∑t i =1
j =1
ij
X ij + d i − − d i + = Gi ..................................................................(1)
keterangan : tij Xij i
j Gi di-, di+
: Hasil produk (barang/jasa) per unit luas lahan, untuk tujuan prod. ke-i pada satuan lahan ke j. : Luas lahan (ha) yang dialokasikan untuk produk i pada satuan lahan ke-j : Tujuan jenis produk yang dihasilkan, i = 1, 2, 3, .. Q ; dimana Q = 9, meliputi : Bandeng, Udang Organik, Udang Intensif, Udang Campur, Kupang, Kerang, Kayu Bakar, Garam dan Jasa Lingkungan : Satuan lahan, j = 1, 2, …T ; dimana T = 4 : Target (tujuan) barang dan jasa ke-i, i = 1, 2, 3, .. Q; dimana Q=9 : Deviasi ketidaktercapaian dan kelebihtercapaian dari tujuan i.
121 Tujuan adalah meminimumkan di-. (2). Tujuan Ekonomi Q
T
i =1
j =1
∑ ∑
rij t ij X ij + d i − − d i + ≥ R .................................................................(2)
keterangan: tij Xij i j rij
di-, di+ R
: Hasil produk (barang/jasa) per unit luas lahan, untuk tujuan produk i pada satuan lahan ke-j. : Luas lahan yang dialokasikan untuk produk i pada satuan lahan ke-j : Tujuan jenis produk yang dihasilkan, i = 1, 2, 3, .. Q; dimana Q=9 : Pola pengelolaan lahan, j = 1, 2, 3, … T; dimana T = 3 : Keuntungan atau kerugian (Rp/h/tahun) untuk produk i di lahan ke-j r = TR – TC; untuk TR : penerimaan total per ha; dan TC : biaya total per ha. Karena keterbatasan informasi, maka nilai jasa lingkungan hanya dihitung untuk manfaat keberadaan dan manfaat pilihan. Sementara untuk manfaat pewarisan seperti habitat dan spesies langka tidak termasuk dalam perhitungan. Nilai rij selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. baris ke 10. : Deviasi ketidak tercapaian dan kelebihtercapaian dari tujuan i. : Target keuntungan, dimana R=
Q
T
i =1
ji =1
∑ ∑r
ij
=Rp 251 323 522 000/tahun.
Tujuan adalah meminimumkan di-. 2. Persamaan-Persamaan Kendala Fungsional (1). Kendala Anggaran (Budget) Q
T
i =1
j =1
∑ ∑
Cij X ij ≤ ( Bm + Bp ) ......................................................................(3)
keterangan: Cij Bm Bp
: Besarnya biaya produksi per ha untuk produk ke-i pada satuan lahan ke-j : Jumlah dana tahunan masyarakat petani yang tersedia untuk tujuan pengelolaan lahan. : Anggaran atau dana tahunan pemerintah dan investor yang tersedia untuk pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo.
122
dimana (Bm + Bp ) = Rp 655 761 788 000/tahun. (2). Kendala Tenaga Kerja Petani Tambak / Nelayan Q
T
i =1
j =1
∑ ∑W
ij
X ij ≤ Wp ..................................................................................(4)
keterangan: Wij
: Kebutuhan tenaga kerja per ha untuk tujuan produk i pada satuan lahan ke-j : Jumlah TK seluruhnya di Pesisir Sidoarjo.= 7 077 000 HOK
Wp
(3). Kendala Luas Lahan Hutan Mangrove
Xmangrove≥ X MSY ........................................................................................(5) keterangan: Xmangrove : Luas lahan mangrove XMSY : Luas minimal lahan mangrove = 285.33924 ha (4). Kendala Luas Satuan Lahan Sat 1
:
6574. ha > X1 + X2 ..................................................................(6)
Sat 2
: 9 191.4 ha > X1 + X3 + X4 + X5 ..............................................(7)
Sat 3
: 175.3 ha > X1 + X2 + X6 ..........................................................(8)
Sat 4
: 261.695 ha > X1 + X3 + X4 + X5 + X6 ....................................(9)
dimana : X1 X2
: :
X3 X4 X5
: : :
X6
:
Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
(5). Kendala Luas Lahan Keseluruhan X ij ≤ LA .................................................................................................(10)
123 keterangan : Xij LA
: Luas lahan yang dikelola di Pesisir Kabupaten Sidoarjo : Luas total lahan di Pesisir Sidoarjo = 16 488.535 ha.
(6). Non- negativity Xij, di-, di+ > 0 ..........................................................................................(11) 3. Fungsi Tujuan Q
Minimumkan : Z =
∑
(Py Wi,ydi- + Ps Wi,s Di+ ) .............................................(12)
i =1
keterangan : P y , Ps Wi, y Wi, s
: Faktor-faktor prioritas ke- y dan ke-s (ordinal) – dimodifikasi menurut skenario dalam simulasi model. : Bobot yang diberikan terhadap di- dalam prioritas ke-y. : Bobot yang diberikan terhadap di+ dalam prioritas ke-s. Dalam hal ini semua prioritas tidak diberi bobot karena konsep multi objective multi party, multi party-nya tidak eksplisit.
Keseluruhan informasi tersebut selanjutnya disusun dalam sebuah model alokasi penggunaan lahan dalam bentuk matriks, lihat Tabel 22 Fungsi tujua n dari model di atas adalah ingin meminimumkan deviasi dari target ketidak tercapaian atau kelebih tercapaian2 . Karena satuan barang dan jasa yang dihasilkan adalah berbeda satu dengan lainnya – agar bisa dijumlahkan maka harus dinormalkan terlebih dahulu, sehingga diperoleh model sebagaimana disajikan pada Tabel 23.
6.2. Pengembangan Model – Skenario Untuk Simulasi 1. Skenario pembangunan ekonomi. Skenario pembangunan ekonomi dilakukan dengan memanipulasi skala prioritas masing- masing komoditi. Informasi tentang skala prioritas untuk tujuan 2
inilah yang menjadi keunggulan utama model goal programming yang dapat mengkompromikan berbagai kepentingan masyarakat dalam menghasilkan produk barang dan jasa.
124 pembangunan ekonomi diperoleh dari merangking share masing- masing komoditi terhadap PDRB Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Sidoarjo 2005 3 distribusi share masing- masing komoditas pada PDRB sebagaimana disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21.
Skala Prioritas Masing-Masing Komoditi Untuk Pengembangan Ekonomi
No.
Barang / Jasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keuntungan Udang Organik Bandeng U. Campuran Udang Intensif Kupang Kerang Kayu Bakar (m3 ) Garam Jasa Lingkungan*)
Produksi (kg) 2 625 000.00 14 464 000.00 2 548 900.00 945 467.47 945 260.00 276 460.00 9 000.00 120 000.00
Harga Satuan (Rp/kg) 70 000 8 000 30 000 60 000 7 000 12 000 125 000 1 600
Kontribusi thd PDRB/tahun
Skala Prioritas
183 750 000 000 115 712 000 000 76 467 000 000 56 728 048 200 6 616 820 000 3 317 520 000 1 125 000 000 192 000 000 1 125 000 000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber : BPS Kab. Sidoarjo 2005 (diolah) *) Data diperoleh dari Bappenas Direktorat Sumberdaya Air dan Irigasi
Keuntungan merupakan tujuan utama setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat, karena itu sektor ini diberi prioritas pertama melebihi sektor atau komoditi lainnya.
Sedang jasa lingkungan merupakan sesuatu yang kurang
mendapat prioritas karena hal itu bertentangan dengan tujuan pembangunan ekonomi. 2. Skenario pembangunan lingkungan. Skenario ini dilakukan juga dengan memanipulasi skala prioritas. Informasi tentang skala prioritas diperoleh dengan menggunakan teknik AHP. Dalam kaitan dengan hal tersebut, penulis mewawancarai tentang preferensi stakeholders terdiri dari unsur masyarakat, pemerintah dan LSM. 3
Data BPS Kabupaten Sidoarjo tahun 2005, pada saat penelitian dilakukan statusnya belum dipublikasi
Tabel 22. Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 Komoditi
Satuan
Prioritas
W
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bandeng Ton/th Udang Org Ton/th U Intensif Ton/th U Campur Ton/th Kupang Ton/th Kerang Ton/th Garam Ton/th Kayu Bakar Kbk/th Js Lingk Rp/th Profit Rp/th Kendala-Kendala : B Ptn Rp /th TK HOK/th SL1 Ha SL2 Ha SL3 Ha SL4 Ha MSY 1 Ha MSY 2 Ha Lh Seluruh
Keterangan:
X1 X2 X3 X4 X5 X6
X1
X2
X3
3.75
1.5
0.375 0.1
0.14478
0.07934
0.1622
X5
4.4
X6
0.1875 0.05 2.2 0.0811 2.35221 0.68795
60
13 696.7
12 569.8
11 817
112 200
62 008
22.39 3 476.956 18 879.09
20 646.7 304 1 1 1 1
16 058.7 548 1
1 799.2 64
151 800 857
88 100 599
11 981.79 479
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1 Fungsi Tujuan
: : : : : :
X4
Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
Deviasi d1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 ? P y Wiy d-
Target = = = = = = = = = =
16 071.543 3 769.228 2 633 1 616.657 988.887 369.35 125.957 9 000 1 440 515.225 251 323 521.9
< < < < < < > > <
655 761 788.2 7 077 000 6 574.8 9 191.4 175.3 261.695 124.7 160.64 16 488.535 Minimum
126
Tabel 23. Model Alokasi Penggunaan Lahan di Pesisir Sidoarjo Tahun 2006 Setelah Dimoneterkan Komoditi Bandeng Udang O Udang I Udang C Kupang Kerang Garam K. Bakar JS Lingk Profit Kendala-Kendala : Bi Ptn TK Sat L 1 Sat L 2 Sat L 3 Sat L 4 MSY 1 MSY 2 Lh total
Keterangan:
Satuan 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th
Priritas P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
000/th HOK/th Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha
X1 X2 X3 X4 X5 X6
W 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 26 250
X2 10 500
X4
264 000 4 343.4
2 380.2
4 866
X5 1 312.5 3 500 132 000 2 433
X6
21 169.89 8 255.4 90000
13 696.7
12 569.8
11 817
112 200
62 008.4
1 119.5 3 476.956 18 879.09
20 646.7 304 1 1 1 1
16 058.7 548 1
1 799.2 64
151 800 857
88 100 599
11 981.79 479
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1 Fungsi Tujuan
: : : : : :
X3 2 625 7 000
Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
Deviasi dddddddddd-
= = = = = = = = = = < < < < < < > > <
1 1 1 1 1 ? P y Wiy d-
Target 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 14 405 15.2 251 323 522 655 761 788 7 077 000 6 574.8 9 191.4 175.3 261.695 124.7 160.64 16 488.535 Minimum
127 Langkah awal dalam melakukan analisis dengan AHP adalah mencari nilai eigen factor untuk alternatif komoditi. Langkah ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk matriks perbandingan berpasangan terhadap berbagai komoditi yang menjadi tujuan pengelolaan lahan. Hal ini dilakukan sendiri oleh masyarakat, LSM dan pemerintah – penulis hanya memberi pemahaman dan emfasilitasi. Contoh matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat di Tabel 24. Tabel 24.
Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan Barang-Barang Produksi Pesisir Sidoarjo. Bdg
Bandg U. Organik U. Intensif U. Camp. Kupang Kerang Garam Kayu Bakar Jasa Link Keuntungan
1 7 0.5 3 5 4 2 2 5 0.5
U.O. 0.14 1 0.25 0.33 0.5 0.33 0.25 0.25 0.5 0.33
U.I 2 4 1 2 4 3 2 2 4 2
U.C 0.33 3 0.5 1 2 0.5 0.5 0.33 0.33 2
Kpg 0.2 2 0.25 0.5 1 0.33 0.25 0.25 2 0.5
Krg 0.3 3 0.3 2 3 1 0.3 0.5 3 0.3
Grm 1 4 1 2 4 3 1 2 3 1
K.Bkr 0.5 4 0.5 3 4 2 0.5 1 4 2
Js. Link 0.2 2 0.25 3 0.5 0.33 0.33 0.25 1 0.33
Keuntgn 2 3 0.5 0.5 2 3 1 0.5 3 1
Keterangan : Data diambil tahun 2006
Selanjutnya mengkuadratkan matriks di atas. Dari hasil perkalian kuadrat tersebut selanjutnya dilakukan penjumlaha n baris, sehingga diperoleh angkaangka yang disebut sebagai nilai eigen (eigen factor). Langkah ini dilakukan iterasi terus menerus hingga diperoleh struktur eigen factor yang relatif stabil (tidak berubah-ubah lagi) setelah dinormalkan. Hal yang sama juga dilakukan terhadap matriks perbandingan berpasangan untuk Pemerintah dan LSM. Langkah yang sama juga ditempuh untuk melakukan pembobotan bagi pelaku pembangunan sehingga akan diperoleh nilai eigen factor.
Nilai eigen
factor alternatif komoditi dikalikan dengan nilai eigen factor pembobotan pelaku pembangunan sehingga diperoleh nilai eigen total (total eigen factor) yang
128 mencerminkan skala prioritas untuk masing- masing komoditas. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 25. Dari hasil analisis AHP, nampak bahwa udang organik menempati urutan pertama karena sistem pengusahaannya sama sekali mengandalkan produk-produk plankton alami, sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan. Sebaliknya udang intensif
yang semata-mata mengandalkan asupan bahan
makanan sintetis, menimbulkan dampak kerusakan lingkungan paling besar. Karena itu dia mendapatkan prioritas paling bawah. Tabel 25.
Hasil Analisis AHP Penetapan Skala Prioritas Untuk Pembangunan Lingkungan
Petani Pemerintah Bandeng 0.037133 0.059041 U. Organik 0.157908 0.163875 U. Intensif 0.030464 0.034203 U. Campur 0.122787 0.112888 Kupang 0.149566 0.138706 Kerang 0.088454 0.081129 Garam 0.043612 0.057455 Kayu Bakar 0.046713 0.039413 Jasa Lingk 0.258216 0.246973 Keuntungan 0.065148 0.066318 Keterangan : Data diambil tahun 2006
LSM 0.060504 0.165429 0.048962 0.100827 0.134569 0.084768 0.063728 0.043303 0.233942 0.063969
Pelaku Pembangunan 0.244382 0.615742 0.139876
Total Eigen Faktor 0.053992 0.162634 0.035354 0.11362 0.140781 0.083428 0.054949 0.041741 0.247898 0.065704
Prioritas 8 2 10 4 3 5 7 9 1 6
Kupang dan kerang merupakan dua produk tidak langsung dari hutan mangrove. Dengan melakukan pemanenan terhadap kedua jenis komoditi tersebut berarti mengangkat sebagian polutan yang termakan olehnya bersama-sama keluar dari ekosistem. Dengan begitu maka, kadar polutan di sekitar pesisir dapat dikurangi.
Aktivitas penebangan kayu bakar, walaupun hanya bagian-bagian
cabang dari pohon bakau, namun hal itu dikhawatirkan akan mengurani kerapatan daun dari pohon bakau. Demikian juga dengan budidaya bandeng (terutama bandeng intensif), lebih banyak mengandalkan asupan makanan sintetis sehingga
129 limbahnya akan merusak kualitas lingkungan.
Pengusahaan garam sifatnya
netral, dia tidak bisa memperbaiki kualitas lingkungan dan juga tidak menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan.
3. Skenario terjadinya eksternalitas dan upaya mengatasinya. Skenario
ini
dibuat
sedemikian
sehingga
menangkap
fenomena
eksternalitas yang ditimbulkan antar pelaku kegiatan ekonomi. Dalam skenario ini koefisien teknologi pada jenis-jenis usaha tambak yang rawan pencemaran diberikan bobot kurang dari 100 persen (misal 75 persen: tercemar sedang, 50 persen tercemar berat dan 25 persen tercemar sangat berat). Dalam skenario ini diasumsikan tambak udang organik tercemar berat – sehingga koefisien teknologi untuk udang organik berkurang 25 persen. Perubahan koefisen teknologi ini dapat dilihat pada Tabel 27. Dampak eksternalitas hanya bisa diatasi dengan memperbanyak tegakan mangrove. Karena itu dalam model ini diasumsikan pola pengusahaan tegakan mangrove bisa dikembangkan di lahan tambak.
Dalam model, fenomena ini
dicerminkan oleh pola usaha X6 yang memungkinkan untuk dikembangkan pada satuan lahan 1 dan satuan lahan 2.
4. Skenario jika tidak ada hutan mangrove. Pada skenario ini pola usaha yang layak hanyalah pola usaha yang ketika terjadi penebangan besar-besaran hutan mangrove tahun 1998-1999 terbukti tetap eksis walaupun kondisi hutan mangrove mengala mi kerusakan yang hebat. Pola usaha yang tetap eksis waktu itu hanyalah : X1 (Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran) dan X2 (Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang
130 Gilir Dg. Garam).
Skenario ini berarti merubah seluruh struktur satuan
penggunaan lahan yang ada.
Informasi yang berkaitan dengan skenario ini
disajikan pada Tabel 28. 5. Skenario pembangunan ekonomi tahun 2011 Skenario ini untuk menangkap aspek dinamik yang terjadi di lapangan akibat terjadinya perubahan harga-harga baik harga input maupun harga output. Semua koefisien teknologi tidak berubah kecuali : koefisien keuntungan, kendala luas lahan untuk satuan lahan 3, satuan lahan 4 dan luas lahan keseluruhan serta target produksi. Terjadinya petambahan luas satuan lahan 3, satuan 4 dan luas lahan keseluruhan disebabkan oleh adanya tanah timbul.
Pertambahan tanah
timbul setiap tahun mencapai 106.825 ha. Pada tahun 2006 luas hutan mengrove mencapai 722.335 ha, sehingga dalam jangka waktu lima tahun kedepan luas hutan mangrove menjadi 1 256.46 ha 4 atau ketebalan rata-rata 465.35 m. Satuan lahan 3 dengan panjang garis pantai mencapai 11.8 km memiliki luas 549.12 ha – Tabel 26. Target Produksi Barang dan Jasa di Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
4
Barang / Jasa Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam Kayu Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Total
Target Produksi Tahun 2011 (Ton) 19 641.689 3 876.052 0 1 429.318 1 090.412 499.350 125.957 9 000.000 2 160 772.837
Nilai Moneter Target Tahun 2011 (000 Rp) 176 775 201.00 310 084 160.00 0.00 100 052 260.00 13 084 944.00 7 490 250.00 251 914.56 675 000.00 3 241 159.255
Luas hutan mangrove tahun 2006 = 722.335 Ha ditambah dengan tanah oloran selama lima tahun dari tahun 2006 – 2011 sebesar 106.825 Ha x 5 = 534,125 Ha. Sehingga luas hutan mangrove tahun 2011 menjadi 722.335 Ha + 534.125 Ha = 1256.46 Ha.
Tabel 27. Perubahan Koefisien Teknologi Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas Komoditi Satuan Bandeng 000 Rp/th U Org 000 Rp/th Udang I 000 Rp/th Udang C 000 Rp/th Kupang 000 Rp/th Kerang 000 Rp/th Garam 000 Rp/th K. Bakar 000 Rp/th JS Lingk 000 Rp/th Profit 000 Rp/th Kendala-Kendala : Bi Ptn 000/th TK HOK/th Sat L 1 Ha Sat L 2 Ha Sat L 3 Ha Sat L 4 Ha MSY 1 Ha MSY 2 Ha Lh total Ha Keterangan:
Prioritas P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
W 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 26 250
X2 10 500
X3 2 625 3 500
4 343.4
2 380.2
4 866
X4
264 000
X5 1 312.5 1 750 132 000 2 433
X6
21 169.89 8 255.4 90 000
13 696.7
12 569.8
11 817
112 200
62 008.4
20646.7 304 1 1 1 1
16058.7 548 1
1799.2 64
151800 857
88100 599
1
1
1
1
1
1
1
1 1 1 1 1 Fungsi Tujuan Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran
X1 X2 X3 X4 X5
: : : : :
X6
: Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
Data diolah dari model penggunaan lahan tahun 2006
1 119.5 3 476.956 18 879.09 11981.79 479 1 1 1 1 1 1 1
Deviasi dddddddddd-
= = = = = = = = = = < < < < < < > > <
? P y Wiy d-
Target 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 10 800 450 000 1 440 515.2 251 323 522 655 761 788 7 077 000 6 574.8 9 191.4 175.3 261.695 124.7 160.64 16 488.535 Minimum
132
Tabel 28. Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Komoditi Bandeng Udang O Udang I Udang C Kupang Kerang Garam K. Bakar JS Lingk Profit Kendala-Kendala Biaya Ptn TK Lh Seluruh
Satuan 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th
Prioritas P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
W 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 26 250
4 343.4
X2 10 500
2 380.2
90 000
13 696.7
12 569.8
20 646.7 304 1
16 058.7 548 1
= = = = = = = = = =
Target 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 1 440 515.2 251 323 522
: 000/th HOK/th Ha Fungsi Tujuan
Keterangan:
Deviasi dddddddddd-
X1 : Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran X2 : Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Data diolah dari model penggunaan lahan tahun 2006
< < < ? P y Wiy d-
655 761 788 7 077 000 16 488.535 Minimum
133 dan satuan lahan 4 dengan panjang garis pantai 15.2 km memiliki luas 707.34 ha. Demikian juga dengan luas lahan keseluruhan dari yang tadinya 16 488.535 ha – pada tahun 2011 menjadi 17 022.66 ha. Target produksi tahun 2011 sudah diestimasi dengan menghitung trend produksi, sebagaimana pada Tabel 26. Perubahan keuntungan dihitung berdasarkan perubahan harga-harga input dan output, sehingga diperoleh data sebagaimana disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Target Keuntungan Pengelolaan Pesisir Sidoarjo Tahun 2011 Jenis Pengusahaan Bandeng intensif+U. Campur B intnsf+U Cmpr – Tumpng gilir dg Grm Bndg+U Organik+U Cmpr U Intensif Semi Intensif Eksploitasi Campuran Ht Mangrove Total :
Keuntg/Ha Tahun 2006 (Rp 000) 13 696.7
Keuntng/Ha Tahun 2011 (Rp 000) 18 391.238
Luas Areal (Ha) 6481.800
Total Keuntungan (Rp 000) 119 208 326.468
12 569.8
11 763.139
12.000
141 157.668
11 817 112 200 62 008.4 18 879.09
13 248.315 129 392.000 73 038.645 6 505 480
8541.700 50.000 680.700 1256.460 17 022.66
113 163 132.236 6 469 600.000 49 717 405.652 6 506 736.46 295 206 358.484
Berdasarkan informasi diatas dapat disusun model alokasi lahan untuk tujuan pembangunan ekonomi tahun 2011, sebagaimana disajikan pada Tabel 30. Dalam skenario ini diasumsikan koefisien teknologi untuk tujuan produksi tahun 2011 tidak mengalami perubahan (statis), karena dianggap kemampuan lahan untuk berproduksi tidak berubah sehingga produktivitasnya tetap.
6. Skenario penggunaan lahan berdasarkan konsep RTRW 2002 – 2011 Pada skenario ini beberapa kendala sumberdaya yang harus dipenuhi adalah : (1) batasan hutan mangrove lestari adalah 400 m dari garis pantai atau setara dengan 1 080 ha, (2) luas tambak udang organik minimal 7 000 ha. Karena permintaan lahan untuk kawasan lindung yang begitu besar, maka kekurangan itu akan dipenuhi dengan mengkonversi satuan lahan 1 dan 2 serta MSY 1 dan MSY
134 2. Alokasi untuk satuan lahan 1 dan satuan lahan 2 menjadi berkurang. Satuan lahan 1 dari 6 574.8 ha menjadi 6 387.030 ha sedang satuan lahan 2 dari 9 191.4 ha berkurang 8 899 983 ha. Akibat pertambaha n permintaan lahan untuk kawasan Sedangkan untuk MYS 1 dan MSY 2 sudah tidak ada lagi karena sudah dikover oleh MSY total yang mencapai 1080 Ha. Perubahan tersebut dalam Tabel 31 ditunjukkan oleh angka-angka yang bercetak tebal. Selengkapnya model dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 30. Model Alokasi Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Tahun 2011 Komoditi Bdeng U Org U Ints U Cmp Kpang Krang Gram K Bkr
Satuan 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th 000 Rp/th
Js Ling P.fit Kendala-Kendala : 000/th Bi Ptn HOK/th TK Ha Sat L 1 Ha Sat L 2 Ha Sat L 3 Ha Sat L 4 Ha MSY 1 Ha MSY 2 Ha Lhn ttl Keterangan:
Prioritas P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
W 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 26 250
X2 10 500
X3 2 625 7 000
4 343.4
2 380.2
4 866
X4
264 000
X5 1 312.5 3 500 132 000 2 433
X6
21 169.89 8 255.4 90 000 1 119.5 18 421.4
11 763.1
13 248.3
129 392
73 038.6
3 476.956 6 505.5
20 646.7 304 1 1 1 1
16 058.7 548 1
1 799.2 64
151 800 857
88 100 599
11 981.79 479
1
1
1
1
1
1
1
1 1 1 1 1 Fungsi Tujuan Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran
X1 X2 X3 X4 X5
: : : : :
X6
: Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
1 1 1 1 1
Dev dddddddd-
= = = = = = = =
dd-
= =
Target 176 775 201 310 084 160 0 100 052 260 13 084 944 7 490 250 251 914,56 675 000 3 241 159,255 295 206 358.5
< 655 761 788 < 7 077 000 < 6 574.8 < 9 191.4 < 424.42 < 546.7 > 124.7 > 160.64 < 17 022.66 ? P y Wiy d = Minimum
Tabel 31. Model Untuk Skenario Penerapan Konsep RTRW 2002 – 2011 Komoditi Satuan Bandeng 000 Rp/th Udang O 000 Rp/th Udang I 000 Rp/th Udang C 000 Rp/th Kupang 000 Rp/th Kerang 000 Rp/th Garam 000 Rp/th K. Bakar 000 Rp/th JS Lingk 000 Rp/th Profit 000 Rp/th Kendala-Kendala : Bi Ptn 000/th TK HOK/th Sat L 1 Ha Sat L 2 Ha MSY Ha Lh total Ha Lhn. Org Ha Keterangan:
Prioritas P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
W 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
X1 26 250
X2 10 500
X3 2 625 7 000
X4
264 000 4 343.4
2 380.2
4 866
X5 1 312.5 3 500 132 000 2 433
X6
21 169.89 8 255.4 90000
13 696.7
12 569.8
11 817
112 200
62 008.4
1 119.5 3 476.956 18 879.09
20 646.7 304 1 1
16 058.7 548 1
1 799.2 64
151 800 857
88 100 599
11 981.79 479
1
1
1
1
1
1 1
1
1 1
Fungsi Tujuan Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir dengan Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campuran Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir dengan Bandeng + U. Organik + U. Campuran
X1 X2 X3 X4 X5
: : : : :
X6
: Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
Deviasi dddddddddd-
= = = = = = = = = = < < < < > < >
1 1 ? P y Wiy d-
Target 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 14 405 15.2 251 323 522 655 761 788 7 077 000 6 387.030 8981.505 1080.000 16 488.535 7 000.00 Minimum
VII. SOLUSI MODEL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini secara khusus akan membahas seluruh hasil simulasi dengan enam skenario yang digunakan. Hal ini penting dilakukan sebelum selanjutnya dilakukan dua hal : (1) analisis perbandingan (comparative analysis) antar berbagai skenario dalam rangka manjawab tujuan nomor 3, dan (2) analisis kelembagaan untuk melihat kinerja alokasi lahan berdasarkan konsep RTRW 2002 – 2011 untuk menjawab tujuan nomor 4. Analisis alokasi penggunaan lahan dengan pendekatan Model Goal Programming dijalankan dengan paket program ABQM versi DOS.
Rincian
program dan output disajikan pada Lampiran 1 sampai Lampiran 6. Solusi yang dihasilkan Goal Programming memperlihatkan nilai- nilai variabel keputusan yang memperlihatkan solusi alokasi luas penggunaan lahan yang paling optimal dari berbagai alternatif strategi penggunaannya untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa dalam kondisi dan kendala yang dipertimbangkan dalam berbagai skenario. Nilai-nilai variabel deviasi memperlihatkan tingkat ketercapaian tujuan yang diinginkan. Apabila variabel deviasi negatif (d-) dan mempunyai nilai, itu berarti tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Apabila variabel deviasi positif (d+) dan mempunyai nilai, itu berarti tujuan yang diinginkan terlampaui. Apabila tujuan yang diinginkan tepat tercapai maka nilai variabel d- dan d+ akan bernilai sama dengan nol. Nilai total fungsi tujuan (Z) dalam hal ini kurang bermakna untuk pembuatan keputusan karena tidak memperlihatkan deviasi pencapaian dari setiap tujuan yang diinginkan. Jadi dari output Goal Programming ini yang penting
138 diinterpretasikan adalah alokasi variabel keputusan, deviasi ketercapaian dan ketidaktercapaian dari setiap barang dan jasa yang diinginkan dan status/kondisi kendala sumberdaya
yang dipertimbangkan sehubungan dengan berbagai
alternatif penggunaan lahan yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dari beberapa skenario yang disusun dimaksudkan untuk melihat sejauhmana suatu kebijakan pembangunan dengan atau tanpa mengintegrasikan aspek lingkungan.
Bagaimana dampak eksternalitas akan mempengaruhi
produktivitas total suatu wilayah dan upaya-upaya apa yang dapat
dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut, berapa biaya opportunitas yang ditanggung masyarakat dan lain- lain akan dapat dilihat
dengan melakukan analisis
perbandingan antar skenario (selanjutnya akan dibahas pada Bab VIII).
7.1. Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Skenario untuk tujuan pembangunan ekonomi menunjukkan pergeseran peruntukan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 32 yaitu dari kondisi semula terutama untuk usaha budidaya udang intensif dan budidaya udang organik + bandeng. Hasil solusi optimal untuk budidaya udang intensif adalah nol dari kondisi semula 50 ha. Hal ini bis a dipahami mengingat pola usaha udang intensif ini dalam skala besar dan dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan pencemaran pada kawasan sekitarnya. Memang produktivitas udang dari pola budidaya udang intensif ini sangat tinggi, namun jika akhirnya mencemari lingkungan dan mengancam ekosistem sekitarnya sehingga hal ini akan menurunkan potensi ekonomi secara keseluruhan. Solusinya agar potensi udang intensif
tetap ada, maka pola pengusahaannya diarahkan pada pola usaha
139 budidaya udang semi intensif. Pola ini jauh lebih aman, mengingat pada pola ini sebagian masih mengandalkan peran dari alam terutama tanaman mangrove yang sengaja dibudidaya di sekeliling tambak. Keberadaan tanaman mangrove ini akan mampu menetralisir racun-racun yang ada di dalam kolam tambak sehingga tidak menimbulkan pencemaran baik di dalam kolam sendiri maupun kolam-kolam lain di sekitarnya. Pergeseran pola budidaya kearah pola budidaya udang semi intensif lebih banyak dikontribusi oleh tambak-tambak organik. Kita tahu bahwa produktivitas udang pada tambak udang organik ini relatif rendah, sehingga penggunaan lahan untuk usaha jenis ini yang terlalu luas jelas akan menurunkan potensi ekonomi yang dihasilkan kawasan pesisir. Tabel 32. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi Variabel Keputusan
Luas (Ha) Strategi Pengembangan Lahan
Kondisi Saat Penelitian 6 481.800
Solusi Optimal 6 556.552
12.000
18.248
8 541.700
3 457.784
50.000
0.000
Semi Intensif
680.700
5 734.797
Eksploitasi Campuran Ht Mangrove
722.335
721.154
16 488.535
16 488.535
X1
Bandeng intensif + U. Campur
X2
B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam
X3
Bndg + U Organik + U Cmpr
X4
U Intensif
X5 X6 Total
Sebagaimana disajikan pada Tabel 33, secara umum skenario ini dapat meningkatkan potensi ekonomi yang ditunjukkan oleh terlampauinya target keuntungan hampir dua kali lipat yaitu sebesar Rp 248 789 934 610. Semua target produksi barang dan jasa terlampuai
kecuali untuk udang organik.
Penurunan hasil produksi udang organik lebih disebabkan oleh berkurangnya luas lahan tambak organik dari 8 541.7 ha menjadi 3 457.784 ha.
140 Tabel 33. Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Ekonomi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9. 10
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan
Satuan
Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam K Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Keuntungan
(000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th)
Deviasi Target Target 2006 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 1 440 515.2 251 323 522
Deviasi (+) 144 146 185.800 (-) 219 569 681.930 (+) 599 013 223.240 (+) 10 801 510.380 (+) 6 366 764.596 (+) 1 521 213.462 (+) 91 576.642 (+) 357 331.731 (+) 1 066 907.877 (+) 248 789 934.610
Tabel 34 menunjukan kondisi sumberdaya akibat skenario pembangunan ekonomi. Sumberdaya lahan dapat teralokasi 100 persen, sedang potensi buaya petani yang tidak terserap untuk menunjang aktivitas perekonomian yang ada sebesar Rp 6 557 733 atau sekitar 0.001 persen,. Hal ini mengindikasikan suatu aktivitas perekonomian yang tinggi terutama untuk investasi yang mengarah pada usaha budidaya yang padat modal yaitu tambak semi intensif. Tabel 34. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Tujuan Pembangunan Ekonomi No.
Jenis Sumber Daya
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Biaya Petani Tenaga Kerja Tenaga Kerja Untuk Garam Luas Satuan Lahan 1 Luas Satuan Lahan 2 Luas Satuan Lahan 3 Luas Satuan Lahan 4 Hutan Mangrove Lestari 1 Hutan Mangrove Lestari 2 Luas Lahan Seluruhnya
(000) HOK HOK (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
Deviasi RHS Value 655 761 788.000 7 077 000.000 10 000.000 6574.800 9191.400 175.300 261.695 124.700 160.640 16 488.535
Deviasi (-) 6 557.733 (-) 1 071 933.833 (+) 3 960.837 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Sebagai konsekuensi dari peningkatan investasi di sektor usaha tambak semi intensif, hal itu menuntut suatu penyediaan tenaga kerja yang memadai.
141 Dari potensi 7 077 000 HOK yang tersedia hanya 1 071 933 HOK atau sekitar 15 persen potensi tenaga kerja yang tidak terserap.
7.2. Solusi Model Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan Solusi
model
untuk
skenario
tujuan
pembangunan
lingkungan
mengarahkan para pelaku pembangunan aga r menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan hasil ekonomi tidak dipentingkan. Sebagaimana disajikan pada Tabel 35 bahwa teknologi produksi yang tidak ramah lingkungan seperti budidaya udang intensif dan semi intensif disarankan untuk tidak dilakukan. Hal ini karena kedua jenis pola budidaya tersebut masih menggunakan asupan pakan udang yang dibuat oleh pabrik (pelet) yang berpotensi mencemari lingkungan sehingga akan mengancam kelestarian ekosistem disekitarnya.
Indikator-
indikator teknologi ramah lingkungan begitu menonjol seperti : udang organik, dan hutan mangrove mengalami peningkatan. Tabel 35. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Tujuan Pembangunan Lingkungan
Variabel Keputusan X1 X2
Strategi Pengembangan Lahan
X3 X4
Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Bndg + U Organik + U Cmpr U Intensif
X5 X6
Semi Intensif Eksploitasi Campuran Ht Mangrove
Total
Luas (Ha) Kondisi Solusi Saat Optimal Penelitian 6 481.800 6 556.552 12.000
18.248
8 541.700 50.000
8 803.496 0.000
680.700 722.335
0.000 1 110.239
16 488.535
16 488.535
Pada skenario ini target keuntungan mengalami penurunan yang signifikan yaitu mencapai Rp 36 299 806 908 atau turun sekitar 14,44 persen dari yang
142 ditargetkan.
Penurunan ini lebih banyak dikontribusi oleh penurunan target
produksi udang intensif.
Walaup un secara umum produksi berbagai jenis
komoditi seperti kupang, kerang dan bandeng mengalami peningkatan, namun ada penurunan sedikit saja pada produksi udang, maka dampaknya secara akonomis akan sangat terasa karena harga udang relatif mahal yaitu mencapai Rp 60 000/kg. Informasi tentang deviasi target produksi barang dan jasa untuk skenario pembangunan lingkungan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Deviasi Target Untuk Skenario Pembangunan Lingkungan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9. 10
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam Kayu Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Keuntungan
Deviasi Target
Satuan (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th)
Target 2006 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 1 440 515.2 251 323 522
Deviasi (+) 82 909 466.658 (-) 20 222 148.955 (-) 157 980 000.000 (+) 22 859 261.959 (+) 14 603 659.201 (+) 4 733 268.872 (+) 91 576.642 (+) 79 291.809 (+) 2 419 742.165 (-) 36 299 806.908
Tabel 37 menunjukan kondisi sumberdaya setelah dialokasikan untuk tujuan skenario pembangunan lingkungan. Semua sumberdaya dapat teralokasi 100 persen kecuali untuk biaya petani dan tenaga kerja. Solusi untuk skenario pembangunan lingkungan mengarahkan pada penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan cenderung tidak padat modal.
Seperti pola budidaya udang
organik dan eksploitasi hutan mangrove, kedua jenis pengusahaan tersebut lebih banyak mengandalkan proses alamiah dalam memproduksi barang-barang seperti udang organik, kupang, kerang dan kayu bakar.
Teknologi budidaya udang
organik dan eksploitasi hutan mangrove tidak padat karya. Hal itu terbukti dari
143 besarnya potensi tenaga kerja yang tidak terpakai yang mencapai 3 978 579.9 HOK atau sekitar 56 persen lebih. Tabel 37. Kondisi Sumberdaya Setelah Dia lokasikan Untuk Tujuan Skenario Pembangunan Lingkungan No.
Jenis Sumber Daya
Deviasi
Satuan
1
Biaya Petani
(000)
RHS Value 655 761 788.000
Deviasi (-) 490 955 684.660
2
Tenaga Kerja
HOK
7 077 000.000
(-) 3 978 579.928
3
HOK
10 000.000
0.000
4
Tenaga Kerja Untuk Garam Luas Satuan Lahan 1
(Ha)
6574.800
0.000
5
Luas Satuan Lahan 2
(Ha)
9191.400
0.000
6
Luas Satuan Lahan 3
(Ha)
175.300
0.000
7
Luas Satuan Lahan 4
(Ha)
261.695
0.000
8
Hutan Mangrove Lestari 1
(Ha)
124.700
0.000
9
Hutan Mangrove Lestari 2
(Ha)
160.640
0.000
10
Luas Lahan Seluruhnya
(Ha)
16 488.535
0.000
7.3. Solusi Model Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas dan Upaya Untuk Mengatasinya Solusi model untuk skenario ini akan mengarahkan pada pola pemanfaatan lahan yang mengurangi budidaya udang organik.
Kita tahu bahwa budidaya
udang organik sangat rentan akibat tekanan lingkungan oleh polusi dari limbah udang intensif. Jika mereka berada bersama-sama dalam satu lokasi, maka hal tersebut akan berdampak pada penurunan potensi produksi udang organik. Budidaya udang organik mengandalkan asupan makanan dari aliran air laut yang masuk ke dalam tambak melalui pintu outlet dan inlet secara bebas tanpa ada hambatan (open access). Bersamaan dengan itu unsur-unsur polutan yang dihasilkan oleh budidaya udang intens if masuk kedalam lingkungan tambak organik.
Jika pada suatu kondisi dimana lingkungan sekitar tambak terjadi
144 pencemaran, maka solusinya adalah sementara waktu masyarakat tidak mengusahakan budidaya udang organik yang rentan terhadap kondisi lingkungan yang tercemar tersebut.
Dan bersamaan dengan hal tersebut usaha budidaya
udang intensif sementara waktu juga dihentikan. teknologi budidaya udang tersebut
Penghentian kedua bentuk
harus ada teknologi alternatif yang bisa
menggantikan yaitu budidaya udang semi intensif. Langka kedua untuk mengatasi dampak eksternalitas yaitu memperbanyak tegakan mangrove, karena kita tahu bahwa mangrove terbukti dapat menyerap racun-racun yang berpotensi mengancam ekosistem tambak. Uraian ini sejalan dengan solusi alokasi lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas Variabel Keputusan X1
Luas (Ha) Strategi Pengembangan Lahan
Kondisi Saat Penelitian 6 481.800
Solusi Optimal 6 556.552
12.000
18.248
8 541.700
0.000
50.000
0.000
X3
Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Bndg + U Organik + U Cmpr
X4
U Intensif
X5
Semi Intensif
680.700
5 377.451
X6
Eksploitasi Campuran Ht Mangrove
722.335
3 867.881
16 488.535
16 488.535
X2
Total
Akibat terjadinya pergeseran dari pola budidaya udang organik ke arah udang semi intensif, maka terjadi peningkatan produksi udang intensif
yang
signifikan sebaliknya produksi udang organik menurun tajam. Secara umum target produksi barang dan jasa dari skenario ini mengalami peningkatan kecuali untuk udang organik, udang campur dan garam.
Secara kumulatif dampak dari
skenario ini menunjukkan peningkatan keuntungan yang cukup besar hampir dua
145 kali lipat dari target semula.
Secara ekonomis skenario ini cukup menjanjikan
dan secara lingkungan dampak penggunaan taknologi yang ada dijamin tidak akan menimbulkan dampak eksternalitas negatif yang besar sehingga skenario ini sebenarnya cukup ideal untuk direkomendasikan.
Informasi tetang deviasi
pencapaian target produksi barang dan jasa dapat dilihat pada Tabel 39. Penerapan teknologi budidaya tambak semi intensif menuntut penggunaan sumberdaya terutama sumberdaya modal dan tenaga kerja yang cukup banyak. Potensi sumberdaya modal (pembiayaan) yang tersedia semuanya terserap habis, sementara potensi tenaga kerja yang ada tidak mencukupi untuk menopang kelangsungan pola usaha ini.
Hanya untuk sumberdaya lahan masih ada sisa
lahan yang tidak teralokasi yaitu sebesar 668.403 Ha. Penggunaan sisa lahan yang tidak teralokasi ini bebas sepanjang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Dan karena letaknya ada pada satuan lahan 2 yang umumnya
digunakan orang untuk budidaya udang organik, maka peruntukan lahan sisa tersebut dapat digunakan untuk melanjutkan usaha udang organik atau usaha udang semi intensif. Informasi kondisi sumberdaya setelah dialokasikan untuk tujuan skenario ini dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 39. Deviasi Target Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9. 10
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam Kayu Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Keuntungan
Satuan (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th)
Deviasi Target Target 2006 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 1 440 515.2 251 323 522
Deviasi (+) 130 379 337.140 (-) 254 435 420.410 (+) 551 843 557.360 (-) 6 893 596.521 (+) 72 982 631.514 (+) 27 498 704.500 (+) 91 576.642 (+) 3 880 092.738 (+) 12 007 952.192 (+) 245 178 194.600
146 Tabel 40. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Terjadinya Eksternalitas No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Sumber Daya Biaya Petani Tenaga Kerja Tenaga Kerja Untuk Garam Luas Satuan Lahan 1 Luas Satuan Lahan 2 Luas Satuan Lahan 3 Luas Satuan Lahan 4 Hutan Mangrove Lestari 1 Hutan Mangrove Lestari 2 Luas Lahan Seluruhnya
Deviasi
Satuan (000) HOK HOK (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
RHS Value 655 761 788.000 7 077 000.000 10 000.000 6574.800 9191.400 175.300 261.695 124.700 160.640 16 488.535
Deviasi 0.000 (+) 2 742.603 (+) 5 798.526 0.000 (-) 668.403 0.000 0.000 0.000 0.000 (-) 668.403
7.4. Solusi Model Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Skenario ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana peranan hutan mangrove dalam pembangunan ekonomi yang ada. Jika tidak ada lagi hutan mangrove maka fungsi penyaringan polutan dari laut yang masuk ke kawasan tambak tidak ada lagi. Kondisi ini hampir bisa dipastikan bahwa untuk pola budidaya udang baik udang intensif maupun udang organik tidak lagi bisa diusahakan, karena udang sangat peka terhadap polusi air laut. Sehingga praktis yang masih bisa bertahan hanya bandeng dan garam.
Hasil solusi optimal
mengarahkan agar semua lahan yang ada semuanya diusahakan untuk budidaya bandeng, lihat Tabel 41. Skenario ini juga bisa menjelaskan fenomena pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan Lumpur Lapindo ke laut. Jika tingkat pencemaran sudah sedemikian tinggi sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa dibudidaya udang sementara hanya bandeng yang masih tetap bertahan, maka kondisinya mirip dengan skenario tersebut diatas.
147 Tabel 41. Alokasi Penggunaan La han Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove Luas (Ha)
Variabel Keputusan X1
Strategi Pengembangan Lahan
Kondisi Saat Penelitian
Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Lahan peruntukan lain diluar (X1 dan X2)
X2
Total
Solusi Optimal
6 481.800
16 488.535
12.000
0.000
9 994.735
0.000
16 488.535
16 488.535
Semua target produksi tidak ada yang tercapai (nol) kecuali untuk bandeng dan udang campur, lihat Tabel 42. Dari hasil perhitungan secara kumulatif nampak bahwa target keuntungan mengalami penurunan sebesar Rp 25 485 004 666 atau turun lebih kurang 10 persen dari target semula. Nilai ini sebenarnya
menggambarkan jasa hutan mangrove secara ekonomi. Jika kita menghitung jasa hutan mangrove berdasarkan metode oportunitas, maka nilai kesempatan yang hilang tersebut adalah nilai jasa hutan mangrove yaitu sebesar Rp 25 485 004 666/tahun.
Tabel 42. Deviasi Target Untuk Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove No.
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan
Satuan
Deviasi Target
1
Bandeng
(000/th)
Target 2006 112 500 801
Deviasi (+) 320 323 242.750
2
Udang Organik
(000/th)
263 845 960
(-) 263 845 960
3
Udang Intensif
(000/th)
157 980 000
(-) 157 980 000
4
Udang Campuran
(000/th)
48 499 710
(+) 23 116 592.919
5
Kupang
(000/th)
8 899 983
(-) 8 899 983
6
Kerang
(000/th)
4 432 200
(-) 4 432 200
7
Garam
(000/th)
108 000
(-) 108 000
8
Kayu Bakar (mangrove)
(000/th)
450 000
(-) 450 000
9.
Jasa Lingkungan
(000/th)
1 440 515.2
(-) 1 440 515.2
10
Keuntungan
(000/th)
251 323 522
(-) 25 485 004.666
148 Pengusahaan budidaya bandeng intensif ternyata memerlukan curahan tenaga kerja dan biaya yang sangat besar, sehingga dari potensi biaya dan tenaga kerja yang tersedia ternyata tidak mencukupi untuk itu.
Hal itu terbukti dari
deviasi yang negatif untuk kedua jenis sumberdaya tersebut sebagaimana nampak pada Tabel 43.
Tabel 43. Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Pada Kondisi Jika Tidak Ada Hutan Mangrove No.
Jenis Sumber Daya
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Biaya Petani Tenaga Kerja Tenaga Kerja Untuk Garam Luas Satuan Lahan 1 Luas Satuan Lahan 2 Luas Satuan Lahan 3 Luas Satuan Lahan 4 Hutan Mangrove Lestari 1 Hutan Mangrove Lestari 2 Luas Lahan Seluruhnya
(000) HOK HOK (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
Deviasi RHS Value 655 761 788.000 7 077 000.000 10 000.000 6574.800 9191.400 175.300 261.695 124.700 160.640 16 488.535
Deviasi (-) 315 327 952.420 (-) 2 064 485.360 0.000
7.5. Solusi Model Untuk Skenario Tahun 2011 Solusi alokasi penggunaan lahan untuk skenario pembangunan ekonomi tahun 2011 disajikan pada Tabel 44. Disini tidak banyak terjadi pergeseran penggunaan lahan dibandingkan dengan skenario yang sama tahun 2006, kecuali untuk pola usaha udang organik dari 3 457.784 ha (2006) menjadi 2 505.499 ha (2011) serta pola usaha udang semi intensif dari 5 734.797 ha (2006) menjadi 5 523.330 ha (2011). Pergeseran ini berdampak pada meningkatnya alokasi laha n untuk hutan mangrove dari 721.154 ha (2006) menjadi 2 419.031 ha (2011). Hal tersebut
mengindikasikan
semakin
pentingnya
mempertahankan
kualitas
lingkungan dengan memperbesar alokasi lahan untuk hutan mangrove. Sementara
149 untuk kepentingan ekonomi dicerminkan dengan besarnya porsi alokasi lahan untuk usaha udang semi intensif, karena pola usaha ini menjanjikan hasil produksi udang yang relatif tinggi dibandingkan dengan pola usaha udang organik. Memperbesar alokasi lahan untuk hutan mangrove bukan berarti akan menghilangkan pendapatan.
kesempatan
masyarakat
untuk
memperoleh
peningkatan
Kita tahun bahwa hutan mangrove disamping memiliki manfaat
eksistensi dia juga memiliki manfaat langsung dan tidak langsung yaitu sebagai penghasil kayu bakar, kupang dan kerang yang selama ini dikenal memiliki pasar cukup baik.
Dari pengusahaan hutan mangrove tersebut dapat diperoleh
keuntungan ekonomi yang cukup besar yaitu Rp 6 505 500/ha/tahun.
Tabel 44. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Tahun 2011 Variabel Keputusan X1
Luas (Ha) Strategi Pengembangan Lahan Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Bndg + U Organik + U Cmpr
X2 X3 X4
U Intensif
X5
Semi Intensif
X6
Eksploitasi Campuran Ht Mangrove
Total
Solusi Tahun 2006 6 556.552
Solusi Tahun 2011 6 556.552
18.248
18.248
3 457.784
2 505.499
0.00
0.000
5 734.797
5 523.330
721.154
2 419.031
16 488.535
17 022.660
Tabel 45 menyajikan informasi tentang deviasi pencapaian target produksi barang dan jasa untuk tujuan skenario pembangunan ekonomi tahun 2011. Secara umum skenario ini masih menjanjikan penghasilan yang tinggi bagi masyarakat. Hal itu terbukti dengan kelebihan keuntungan dari yang ditargetkan yang mencapai Rp 212 595 582 270 atau ada peningkatan sebesar 72.2 persen lebih. Namun peningkatan ini tidak sebesar pencapaian oleh skenario yang sama tahun
150 2006 yang mencapai 98.99 persen. Diduga penurunan kenaikan keuntungan dari target ini karena terlalu besarnya alokasi lahan untuk tujuan hutan mangrove. Tabel 45. Deviasi Target Untuk Skenario Tahun 2011 No.
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9. 10
Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam K Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Keuntungan
(000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th)
Deviasi Target Target 2011 176 775 201.000 310 084 160.000 0.000 100 052 260.000 13 084 944.000 7 490 250.000 251 914.560 675 000.000 3 241 159.250 295 206 358.000
Deviasi (+) 74 596 531.901 (-) 273 214 010.890 0.000 (-) 45 899 420.706 (+) 38 125 672.726 (+) 12 479 817.172 0.000 (+) 2 033 105.022 (+) 5 169 714.209 (+) 212 595 582.270
Seluruh potensi sumberdaya dapat teralokasikan secara penuh kecuali untuk tenaga kerja dimana masih ada potensi tenaga kerja yang tidak terpakai yaitu sebesar 446 265.852 HOK atau ada sisa sebesar 6.3 persen dari yang ditargetkan.
Dibandingkan tahun 2006, berarti ada peningkatan penyerapan
tenaga kerja sebesar sebesar 8.7 persen dari potensi tenaga kerja yang tidak terserap yang mencapai 15 persen. Kondisi perekonomian tahun 2011 bisa dikatakan mengalami peningkatan yang cukup besar.
Hal itu terbukti dari seluruh potens i
dana yang ada di
masyarakat, semuanya terserap habis untuk kegiatan investasi di sektor pesisir. Adanya penambahan tanah oloran (tanah timbul) sebesar 534.125 ha selama kurun waktu lima tahun (2006-2011) ternyata juga habis dialokasikan untuk memperluas hutan mangrove, lihat Tabel 46 Ternyata sinyal perubahan harga- harga yang terjadi baik untuk harga input maupun harga output selama kurun waktu lima tahun akan mengarahkan para
151 pelaku ekonomi untuk mengalokasikan lahan pesisir untuk tujuan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan kepentingan untuk tetap menjaga kualitas lingkungan. Tabel 46.
No.
Kondisi Sumberdaya Setelah Dialokasikan Untuk Skenario Tahun 2011 Jenis Sumber Daya
Satuan
Deviasi RHS Value
Deviasi
1 2
Biaya Petani Tenaga Kerja
(000) HOK
655 761 788.000 7 077 000.000
0,000 (-) 446 265.852
3 4
Tenaga Kerja Untuk Garam Luas Satuan Lahan 1
HOK (Ha)
10 000.000 6574.800
0.000 0.000
5
Luas Satuan Lahan 2
(Ha)
9191.400
0.000
6 7
Luas Satuan Lahan 3 Luas Satuan Lahan 4
(Ha) (Ha)
424.420 546.700
0.000 0.000
8 9
Hutan Mangrove Lestari 1 Hutan Mangrove Lestari 2
(Ha) (Ha)
124.700 160.640
0.000 0.000
10
Luas Lahan Seluruhnya
(Ha)
17 022.660
0.000
7.6. Solusi Model Untuk Skenario Konsep RTRW 2002 – 2011 Tujuan utama dari konsep RTRW 2002 - 2011 adalah untuk mencapai dua hal yaitu : (1) luas hutan lindung mangrove mencapai 1 080 ha, dan (2) luas tambak organik yang mencapai 7 000 ha. Tujuan dari konsep RTRW tersebut sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi ekosistem pesisir agar tetap lestari.
Tetapi setelah disimulasikan berdasarkan
kondisi aktual dilapangan seperti produktivitas lahan, kondisi kendala sumberdaya dan factor- faktor biofisik lainnya, ternyata apa yang dicita-citakan dalam konsep RTRW tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Luas tambak udang organik ternyata hanya dipenuhi oleh kombinasi antara organik denga n intensif yang mencapai 5 040.708 ha. Sedangkan kondisi hutan
152 lindung mangrove justru mengalami peningkatan yang signifikan dari 722.335 ha menjadi 2 839.117 ha, lihat Tabel 47. Hal itu karena adanya pergeseran besarbesaran dari tambak udang organik seluas 8 541.700 ha manjadi 0.000. Padahal fungsi sekunder tambak organik adalah untuk penyangga ekosistem.
Dengan
tidak adanya pola budidaya tambak organik secara murni, maka harus ada kompensasi agar ekosistem pesisir tetap terjaga yaitu dengan memperbesar luas kawasan lindung mangrove. Tabel 47. Alokasi Penggunaan Lahan Untuk Skenario Konsep RTRW 2002 –2011 Variabel Keputusan X1
Strategi Pengembangan Lahan
Luas (Ha) Kondisi Saat Solusi Skenario Penelitian RTRW 6481.800 8590.462
X3 X4
Bandeng intensif + U. Campur B intensif + U Cmpr – Tumpang gilir dg Garam Bndg + U Organik + U Cmpr U Intensif
X5
Semi Intensif (Organik dan Intensif)
680.700
5040.708
X6 Total
Eksploitasi Campuran Ht Mangrove
722.335
2839.117
16 488.535
16 488.535
X2
12.000
18.248
8541.700 50.000
0.000 0.000
Tabel 48. Deviasi Target Untuk Skenario Konsep RTRW 2002 – 2011 No.
Barang dan Jasa Yang Ditargetkan
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9. 10
Bandeng Udang Organik Udang Intensif Udang Campuran Kupang Kerang Garam K Bakar (mangrove) Jasa Lingkungan Keuntungan
(000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th) (000/th)
Deviasi Target Target 2006 112 500 801 263 845 960 157 980 000 48 499 710 8 899 983 4 432 200 108 000 450 000 1 440 515.2 251 323 522
Deviasi (+) 179 349 732.100 (-) 246 203 483.200 (+) 507 393 410.910 (+) 1 121 092.845 (+) 51 203 805.644 (+) 19 005 844.164 (-) 91 576.642 (+) 2 728 391.167 (+) 8 430 980.068 (+) 232 732 997.740
153 Secara umum strategi penggunaan lahan berdasarkan skenario konsep RTRW 2002 – 2011 dapat memenuhi dua tujuan yaitu tujuan ekonomi dengan indikator pencapaian target keuntungan total dan tujuan lingkungan dengan indikator pencapaian target jasa lingkungan, lihat Tabel 48.
Semua indikator
tersebut menunjukkan nilai kelebihtercapaian yang cukup signifikan.
Jasa
lingkungan ada potensi kenaikan sebesar lebih dari 500 persen sedang 81.31 persen.
Kelebihtercapaian ini lebih dikontribusi oleh pertambahan luas hutan
mangrove dan luas pola budidaya tambak udang semi intensif.
Tabel 49. Kondisi Sumberdaya Setelah Dia lokasikan Untuk Skenario Konsep RTRW 2002 – 2011 No.
Jenis Sumber Daya
Satuan
Deviasi RHS Value
Deviasi
1 2
Biaya Petani Tenaga Kerja
(000) HOK
655 761 788.000 7 077 000.000
0.000 (-) 76 178.620
3
Tenaga Kerja Untuk Garam
HOK
10 000.000
(+) 4 649.665
4 5
Luas Satuan Lahan 1 Luas Satuan Lahan 2
(Ha) (Ha)
6387.030 8981.505
0.000 0.000
6 7
Hutan Mangrove Lestari Tambak Udang Organik
(Ha) (Ha)
1080.000 7 000.000
0.000 (-) 1 959.292
8
Luas Lahan Seluruhnya
(Ha)
16 488.535
0.000
Informasi tentang kondisi sumberdaya untuk tujuan skenario RTRW 20022011 dapat dilihat pada Tabel 49.
Secara umum seluruh sumberdaya yang
tersedia sudah dapat dialokasikan untuk mendukung proses produksi pesisir. Untuk sumberdaya lahan seluruhnya habis teralokasi untuk berbagai kegiatan ekonomi. Namun target pemenuhan luas tambak udang organik seluas 7 000 ha tidak bisa dipenuhi seluruhnya. Indikator ketenagakerjaan menunjukan masih ada potensi tenaga kerja yang tidak terserap sebesar 76 178.620 HOK atau sekitar 1 persen dari seluruh potensi tenaga kerja yang ada. Sementara untuk tenaga kerja
154 khusus pengolahan garam ada peningkatan potensi permintaan sebesar 4 649.665 atau sekitar 47.49 persen.
VIII. IMPLIKASI STRATEGI PENGGUNAAN LAHAN
Pembahasan pada bab ini diorientasikan untuk menjawab tujuan penelitian nomor 3 yaitu mencari alternatif strategi penggunaan terbaik yang dapat mengkompromikan pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan, dan tujuan penelitian nomor 4 yaitu mengkaji apakah rencana penggunaan lahan sesuai konsep RTRW 2002 – 2011 dapat diimplementasikan.
8.1. Analisis Komparatif Analisis komparatif dimaksudkan untuk membandingkan kinerja alokasi penggunaan lahan dari beberapa alternatif strategi penggunaan lahan yang sudah disimulasikan. Namun sebelumnya terlebih dahulu peneliti membandingkan dua skenario penggunaan lahan yang masing- masing bertujuan untuk pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan, lihat Tabel 50. Hal ini dilakukan karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu ingin membangun model penggunaan lahan yang dapat mengintegrasikan aspek ekonomi dengan aspek lingkungan. Landasan teori utama yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu teori ekonomi kesejahteraan dan ekonomi lingkungan. Teori ekonomi kesejahteraan berkaitan dengan alokasi satu sumberdaya – yaitu sumberdaya lahan untuk dua kemungkinan produksi yaitu barang lingkungan dan barang ekonomi. Sedangkan teori ekonomi lingkungan berkaitan dengan adanya fenomena eksternalitas. Eksternalitas terjadi ketika satu alternatif strategi penggunaan lahan untuk tujuan memproduksi barang ekonomi – melebihi dari kapasitas yang seharusnya sehingga kualitas lingkungan terancam terdegradasi. Kelebihan produksi ini akan
156 berdampak pada meningkatnya limbah yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar sehingga ekosistem tambak menjadi terancam.
Pencemaran itu telah
menjadi beban biaya eksternal bagi masyarakat petambak lainnya tanpa ada kompensasi yang diterimanya. Untuk melihat kinerja masing- masing strategi penggunaan lahan peneliti menggunakan tiga kriteria pembangunan yaitu : 1. Kriteria ekonomi yang dicerminkan dari tingkat keuntungan total yang diperoleh masyarakat. 2. Kriteria lingkungan yang dicerminkan oleh luas tegakan hutan mangrove, luasan usaha budidaya tambak udang organik, dan luasan budidaya tambak intensif.
Semakin luas hutan mangrove dan usaha budidaya udang intensif
semakin bagus kualitas lingkungannya. Dan semakin berkurang luas usaha budidaya udang intensif semakin bagus kualitas lingkungannya 3.
Kriteria penyerapan tenaga kerja yang dicerminkan dari tingkat penyerapan potensi tenaga kerja. Skenario pembangunan ekonomi (skenario 1) memperlihatkan tingkat
pencapaian keuntungan total yang diterima masyarakat melebihi dari target produksi tahun 2006, sebesar 98.99 persen (hampir dua kali lipat). Demikian juga untuk kriteria penyerapan tenaga kerja. Dari seluruh potensi tenaga kerja yang ada yang tidak terserap oleh pasar mencapai 15.15 persen. Kondisi ini relatif lebih baik jika dibandingkan dengan skenario pembangunan lingkungan (skenario 2), namun untuk itu masyarakat harus rela kondisi ekosistem pesisir terancam terdegradasi manakala tingkat pencemaran tinggi yang dikontribusi oleh pola X5 yaitu budidaya udang semi intensif.
Dan hal itu tidak bisa diminimalisir
157 manakala keberadaan hutan mangrove tidak cukup tersedia untuk menetralisir dampak pencemaran lingkungan akibat sisa limbah makanan dari usaha tambak semi intensif tersebut. Skenario
pembangunan
lingkungan
penggunaan lahan yang sangat pro konservasi.
memperlihatkan
pola
alokasi
Luasan pola budidaya udang
organik mencapai 8 803.496 ha jauh melebihi strategi pembangunan ekonomi yang hanya mencapai 3 457.784 ha.
Sementara keberadaan tegakan hutan
mangrove mencapai 1 110.239 ha jauh melebihi strategi pembangunan ekonomi yang mencapai 721.154 ha. Sementara itu strategi ini tidak merekomendasikan adanya pola budidaya udang semi intensif yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak eksternalitas berupa pencemaran lingkungan oleh limbah sisa-sisa makanan sintetis. Dengan demikian strategi ini dapat menciptakan keamanan lingkungan. Namun untuk mencapai tingkat keamanan lingkungan yang cukup baik tersebut, masyarakat harus membayar dengan harga yang sangat mahal. Paling tidak untuk itu masyarakat harus rela kehilangan potensi keuntungan total yang mencapai
Rp 36 299 806 900
per tahun atau ada potensi penurunan
produktivitas total yang mencapai sekitar 14.44 persen dan masih ditambah lagi dengan beban pengangguran yang mencapai 56.22 persen dari seluruh potensi tenaga kerja yang ada. Jika hanya berpedoman pada dua skenario tersebut pastilah sulit untuk memilih satu diantara dua pilihan strategi, karena masing- masing ada nilai untung ruginya. Ada trade off disana, manakala kita lebih memilih tujuan ekonomi maka ada nilai lingkungan yang harus dikorbankan – demikian juga sebaliknya.
158 Solusinya maka kita harus mencari alternatif strategi yang dapat mengakomodir kedua kepentingan tersebut. Dari empat kemungkinan strategi yang tersisa (empat skenario), yang memenuhi syarat secara ekonomi adalah skenario 3, skenario 5 dan skenario 6 karena
masing- masing berdampak positif bagi peningkatan keuntungan
masyarakat.
Dari segi prosentase ternyata skenario 3 mampu memberikan
peningkatan keuntungan total sebesar 97.55 persen, paling tinggi diantara ketiga skenario lainnya disusul kemudia skenario 6 sebesar 92.59 persen dan skenario 5 sebesar 72.2 persen.
Berdasarkan kriteria ekonomi ternyata skenario 3 dapat
memberikan janj i tingkat keuntungan yang paling tinggi. Kriteria pembangunan lingkungan menunjukkan hanya dua skenario yang dapat menjamin kualitas lingkungan yang lebih baik yaitu skenario 3 dan skenario 6. Untuk skenario 3, masih dimungkinkan adanya pola budidaya udang intensif tetapi dikemas dalam pola 5 yaitu semi intensif yang merupakan kombinasi antara organik dengan intensif.
Namun untuk mengantisipasi terjadinya ancaman
kerusakan lingkungan maka dialokasikan suatu tegakan mangrove yang me ncapai 3 867.881 ha. Angka ini dicapai dengan memperbanyak pohon-pohon mangrove diluar sempadan pantai yang memang selama ini sudah cukup baik, seperti misalnya di pinggir-pinggir pematang tambak dan sempadan sungai.
Dengan
begitu limbah yang dihasilkan akibat penerapan pola X5 (semi intensif), akan bisa dinetralisir sehingga tidak membahayakan bagi lingkungan.
Sementara itu
skenario 6 tidak kalah bagusnya dalam menggaranti kepentingan lingkungan. Tidak adanya budidaya udang intensif dan luasan hutan mangrove ya ng mencapai 2 839.117 ha diyakini dapat menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Berdasarkan
159 kriteria lingkungan kedua skenario (skenario 3 dan skenario 6 ) sama baiknya atau tidak berbeda nyata. Kriteria penyerapan tenaga kerja, jelas bahwa tidak satupun dari seluruh skenario yang ada dapat menyerap potensi tenaga kerja di pesisir Sidoarjo, kecuali skenario 3. Dengan skenario 3, seluruh potensi tenaga kerja dapat terserap di berbagai kegiatan ekonomi bahkan ada kelebihan permintaan tenaga kerja sebesar 0.03 persen. Kelebihan permintaan ini bisa diisi oleh tenaga kerja lepas yang datang dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti Lamongan, Jombang, Mojokerto dan Gresik. Mereka bekerja paruh waktu ketika di daerahnya sedang dalam masa reses. Dari analisis komparatif tersebut dapat disimpulkan bahwa skenario untuk pola penggunaan lahan yang paling baik adalah skenario 3 karena dapat mengkompromikan kepentingan ekonomi, lingkungan serta dapat memenuhi kriteria penyerapan tenaga kerja.
8.2. Analisis Kelembagaan Aspek kelembagaan acapkali kurang mendapat perhatian dari para peneliti. Padahal kelembagaan sangat besar pengaruhnya terhadap suatu pelaksanaan program secara berkelanjutan. Dan salah satu indikator keberlanjutan apabila melalui mekanisme kelembagaan tertentu telah dicapai suatu ”keadilan”. Aspek distribusiaonal ini akan membentuk struktur strata ekonomi ditengah-tengah masyarakat. Dan untuk itu Peach (1994) dalam Brown (2005) menyatakan bahwa kemelaratan terjadi bukan karena sumberdaya yang terbatas atau keterbatasan dalam pengetahuan teknis, tetapi karena sesuatu yang bersifat pengaturan institusional (distribusional).
160 Analisis kelembagaan dilakukan untuk menjawab tujuan nomor 4 yaitu ”mengkaji apakah rencana penggunaan lahan sesuai konsep RTRW 2002 – 2011 dapat diimplementasikan?”.
Bahwasannya suatu konsep penggunaan lahan
sebagus apapun, tidak akan dapat diimplementasikan kecuali dapat menjawab paling tidak dua persoalan yaitu : (1) adakah potensi keuntungan yang dapat diperoleh seluruh pelaku pembangunan dan tidak seorangpun yang dirugikan untuk itu?, dan (2) adakah tersedia suatu mekanisme koordinasi yang efektif dan efisien yang memungkinkan semua pelaku pembangunan dapat memperoleh akses terhadap proses pengambilan keputusan dan dalam sharing keuntungan?
8.2.1. Potensi Peningkatan Keuntungan Untuk melihat ada tidaknya potensi peningkatan keuntungan yang dapat didistribusikan kepada seluruh stakeholders sehingga tidak ada seorangpun yang merasa dirugikan, peneliti melakukan analisis kelembagaan dengan pendekatan model teori agensi. Dalam hal ini penulis membagi pelaku pembangunan dalam dua kelompok besar yaitu : petani pemilik tambak sebagai principal
dan
pemerintah di sisi lain sebagai agent. Dalam kaitan dengan masalah pengelolaan lahan diantara kedua belah pihak tersebut terdapat suatu pola hubungan agensi. Hubungan agensi yang terjadi antara petambak (principal) dengan pemerintah (agent) sebagai pengelola penggunaan lahan yang mengandung sistem kontrak didalamnya, akan efektif jika masing- masing pihak yakin bahwa dari implementasi kontrak tersebut mereka akan mendapatkan insentif (keuntungan). Insentif yang diharapkan oleh petambak (principal) adalah kenaikan keuntungan dari bentuk-bentuk usaha yang dikelolanya. Sedang insentif yang diharapkan oleh
Tabel 50. Perbandingan Berbagai Skenario Alokasi Penggunaan Lahan
(+) 248 789 934,61 98,99 (-) 1 071 933,833
Skenario 2 : Pemb. Lingkungan (-) 36 299 806,90 (-) 14,44 (-) 3 978 579,928
(+) 245 178 194,60 97,55 (+) 2 742,603
6556,552
6556,552
6 556,552
Skenario 1 : Pemb.Ekonomi Keuntungan (Rp) Prosentase Penyerapan TK (HOK) Pola X1 (Ha)
Skenario 3: Eksternalitas
Skenario 4 : Jika Tidak Ada Hutan Mangrove (-) 25 485 004,66 (-) 10,14 (-) 2 064 485,360
Skenario 5 : Pemb. Ekonomi Tahun 2011 (+) 212 595 582,3 72,02 (-) 446 265.852 6556,552
8590.462
Skenario 6 : RTRW 2002 - 2011 (+) 232732997.740 92.59 (-) 76178.620
Pola X2 (Ha)
18,248
18,248
18,248
16 488,535 0,000
18,248
18.248
Pola X3 (Ha)
3457,784
8803,496
0,000
0,000
2505,499
0.000
Pola X4 (Ha)
0,00
0,000
0,000
0,000
0,000
0.000
Pola X5 (Ha)
5734,797
0,000
5 377,451
0,000
5523,330
5040.708
Pola X6 (Ha)
721,154
1110,239
3 867,881
0,000
2419,031
2839.117
16.488,535
16.488,535
16 488,535
16 488,535
17 022,660
16 488,535
Luas Total (Ha) Kriteria : K. Ekonomi K. Lingkungan K. Pnyrapan TK Keterangan: Pola X1 Pola X2 Pola X3 Pola X4 Pola X5 Pola X6
OK Belum Tentu (-) 15,15%
NO OK (-) 56,22%
OK OK (+) 0,03%
NO NO (-) 29,17%
Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir Dg. Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campur Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir Dg Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
OK Belum Tentu (-) 6,30%
OK Belum Tentu (-) 17.68%
162 pemerintah (agent) adalah apabila birokrat dapat mengembangkan anggaran pembangunan yang dapat dikelolanya – yang lazim dalam sistem pemerintahan daerah disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selama masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan (tidak mendapatkan insentif) maka pengelolaan penggunaan lahan tidak akan efektif. Memang tujuan utama dari pelaksanaan pengelolaan penggunaan lahan bagi masyarakat pemilik tambak adalah untuk memperoleh peningkatan keuntungan, namun hal tersebut tidak terjadi pada semua orang, ada pihak-pihak yang dirugikan dan mereka inilah yang harus diberikan kompensasi sehingga tidak ada satu orangpun
pemilik tambak yang merasa dirugikan akibat
implementasi rencana penggunaan lahan tersebut. Mekanisme pemberian kompensasi ini adalah menjadi domain dari pemerintah, sementara mereka (pemerintah) juga dihadapkan dengan tuntutan untuk mendapatkan peningkatan PAD yang akan diambil dari potensi peningkatan keuntungan yang diterima kelompok petambak yang diuntungkan. Adanya trade off antara kepentingan pejabat untuk menambah PAD dengan tuntutan pemberian kompensasi bagi pemilik tambak yang dirugikan harus bisa dikelola dengan baik oleh birokrat dengan berbagai kebijakan (misal: kebijakan fiskal). Kebijakan tersebut dimaksudkan agar semua pihak diuntungkan dan tidak seorangpun merasa dirugikan. Karena itu dalam laporan ini penulis mencoba melakukan kalkulasi terhadap potensi anggaran (PAD) yang dapat dikelola untuk keperlua n tersebut. Semakin besar terjadinya pergeseran peruntukan lahan, semakin besar potensi konflik yang ada, berarti semakin besar pula biaya (transaksi) yang
163 diperlukan untuk memberikan kompensasi pada pemilik lahan yang dirugikan. Biaya transaksi yang besar berarti akan menurunkan potensi penerimaan PAD. Jika potensi kenaikan PAD tidak dapat menutup biaya transaksi yang timbul, maka implementasi pengelolaan penggunaan lahan tidak akan efektif.
Untuk
mengetahui peta konflik akibat pergeseran penggunaan lahan akan dijelaskan melalui Tabel 51. Terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan akan menimbulkan potensi konflik jika terdapat pengurangan terhadap pola tertentu. Akibatnya ada pihakpihak yang merasa dirugikan karena dia terpaksa harus meninggalkan kebiasaan berusaha yang sudah dia kenal sejak lama – sementara dia dituntut untuk belajar memahami dan merubah cara berproduksinya sesuai dengan pola baru tersebut. Perubahan pola mengandung potensi opportunity cost bagi petambak yang dirugikan sehingga untuk hal tersebut mereka harus memperoleh kompensasi sehingga dia mau melakukan perubahan pola usaha. Sesuai dengan informasi pada Tabel 51. pergeseran pola penggunaan lahan yang menimbulkan potensi konflik yaitu pola X3 dan pola X4 .
Pola X3 dari
kondisi awal seluas 8 541.7 ha – bergeser (berkurang) sehingga menjadi nol. Kemungkinan pergeseran itu akan mengarah ke pola X1 , X5 dan X6 . Sedang pergeseran pola X3 ke pola X4 tidak terjadi karena hasil solusi optimal menunjukan pola X4 adalah nol. Pergeseran pola X3 ke pola X1
relatif besar, terbukti dari adanya
pertambahan luas pola X1 sebesar 2 108.662 ha (dari 6 481.8 ke 8 590.462 ha). Pergeseran ini akan menimbulkan beban biaya tambahan yang harus ditanggung petambak pola X3 . Kita tahu bahwa pola X3 adalah kombinasi udang organik
164 dengan bandeng, yang semata-mata mengandalkan asupan makanan dari alam. Artinya setelah bibit ditabur, petambak tidak perlu mengeluarkan modal lagi untuk membeli pakan – sampai panen tiba. Kondisi ini jauh berbeda dengan pola budidaya bandeng intensif (pola X1 ) yang semata- mata mengandalkan asupan makanan dari produk pabrik.
Pergeseran ini menuntut tambahan modal bagi
petambak pola X3 yang cukup besar untuk dapat memberikan pakan sintetis secara terus menerus pada bandeng intensifnya dari awal tanam sampai panen. Kesulitan kelompok petambak pola X3
untuk menutupi kekurangan modal
mereka harus diakomodir oleh pemerintah (agent).
Kebijakan yang bisa
dilakukan pemerintah untuk itu adalah memberikan kompensasi kepada mereka dalam bentuk subsidi atau mempermudah akses permodalan dengan memberikan bantuan dana penjaminan kepada Bank. Pergeseran pola X3 ke X5 cukup besar, hal itu terlihat dari adanya pertambahan pola X5 dari 680.70 ha ke 5 040.708 ha. Pergeseran ini tentunya melibatkan jumlah petambak dan dana yang cukup besar. Pola X5 merupakan kombinasi budidaya udang organik dengan budidaya udang intensif (semi intensif). Pola X5 mengenal dua teknik budidaya yang terbagi dalam dua musim. Musim tanam pertama diusahakan untuk udang organik sedang musim tanam kedua diusahaka untuk udang intensif atau semi intensif. Adanya pola budidaya udang intensif atau semi intensif yang tidak dikenal oleh petambak pola X3 , tentunya menuntut pengerahan modal dalam jumlah yang cukup besar agar mereka bisa melaksanakan penggunaan lahan sesuai skenario RTRW 2002 - 2011. Kebutuhan dana yang besar ini membuat implementasi pola X5 oleh petambak pola X3 menjadi sangat sulit. Hal ini bisa diatasi dengan berbagai kebijakan
165 terutama untuk meningkatkan akses permodalan mereka. Untuk itu pemerintah (agent) bisa memberikan bantuan dana penjaminan di Bank atau memberikan subsidi input dan keringanan pajak. Pergeseran pola X3 ke X6 terjadi dalam skala yang cukup besar. Hal itu terbukti dari adanya pertambahan luas lahan untuk peruntukan pola X6 dari 722.335 ha menjadi 2 839.117 ha. Pola X6 yang merupakan hamparan hutan mangrove pengusahaannya relatif tidak memerlukan biaya yang besar. Walapun begitu bukan berarti pergeseran dari pola X3 ke pola X6 tidak ada masalah. Justru yang menjadi kendala utama dalam hal ini adalah kemungkinan terjadinya pergeseran status kepemilikan lahan dari private property rights menjadi common property rights. Hutan mangrove merupakan barang publik (public good) sementara tambak adalah lahan- lahan milik pribadi (private good). Pergeseran dari status private ke status public tentunya akan membawa konsekuensi sosial ekonomi dan kelembagaan yang sangat serius.
Kebijakan untuk memberikan
kompensasi kepada pemilik laha n ini akan sangat mahal dan cenderung tidak mungkin. Pergeseran peruntukan pola penggunaan lahan akan lebih mudah jika hanya sebatas teknologinya saja. Jika hal ini yang terjadi, maka kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu mengkampanyekan tentang pentingnya pengusahaan hutan mengrove. Disamping itu pemerintah juga bisa memberikan insentif
lain kepada pemilik tambak pola X3 agar mereka dengan sukarela
merubah pola penggusahaannya dari pola X3 ke pola X6 – yaitu dalam bentuk subsidi dan atau keringanan pajak. Sebagaimana disebutkan diawal bahwa disamping pola X3 , yang mengalami pergeseran penggunaan lahan adalah juga pola X4 . Pola X4
166 kemungkinan bisa bergeser kearah pola X1 , X3 , X4 , X6 . Kita tahu bahwa pola X4 adalah budidaya udang intensif sepanjang tahun. Pola ini dikenal sangat padat modal.
Petani yang terbiasa dengan pola ini tidak akan mengalami kesulitan
masalah finansial ketika dia harus berpindah ke pola-pola lainnya. Yang menjadi persoalan adalah mereka sudah terbiasa memperoleh tingkat keuntungan yang sangat tinggi.
Sementara dengan merubah ke pola-pola lainnya dipastikan
keuntungan tinggi tersebut tidak akan dia peroleh lagi. Disinilah akar persoalan bagi pergeseran dari petambak pola X4 ke pola-pola lainnya.
Mengarahkan
pergeseran petambak pola X3 dapat didekati dengan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permodalan dan hal itu relatif mudah dilakukan oleh pemerintah. Namun untuk mengarahkan pergeseran petambak pola X4 ke pola-pola lainnya tidak mungkin didekati dengan kebijakan-kebijakan yang ada kaitannya dengan masalah permodalan.
Masalah mereka adalah bukan persoalan kesulitan
permodalan sebagaimana petambak pola X3 . Untuk itu pemerintah bisa menempuh dua pendekatan yaitu : pendekatan persuasif dan pendekatan destruktif. Pendekatan persuasif dengan melakukan kampanye pentingnya menjaga kualitas lingkungan. Kita tahu bahwa pola X4 , seringkali menimbulkan dampak pencemaran lingkungan bagi usaha-usaha budidaya lain disekitarnya, sehingga dengan mengurangi luas panen pola X4 , diharapkan tekanan terhadap lingkungan akan bisa dikurangi. Pendekatan destruktif bisa dilakukan melalui sistem perundang- undangan, yaitu dengan melarang pengusahaan tambak secara intensif sepanjang tahun. Untuk itu pola yang dianjurkan kepada mereka adalah pola X5 yang merupakan kombinasi pola tradisional dengan pola intensif.
167 Terbukti pola ini menjanjikan tingkat keuntungan yang relatif besar yang menjadi tujuan utama dari petambak pola X4 . Jika diasumsikan pemerintah dapat menarik pajak 1 persen dari potensi peningkatan keuntungan total sebesar : 1 persen x Rp 232 732 997 740 = Rp 2 327 329 977.40 maka biaya transaksi yang diperlukan untuk memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan tidak boleh lebih besar dari potensi penerimaan PAD tersebut.
Jika syarat ini tidak dipenuhi
maka
implementasi konsep penggunaan lahan sesuai skenario RTRW 2002 – 2011 di atas tidak akan efektif.
8.2.2. Sistem Koordinasi Saat Ini Adanya potensi kenaikan keuntungan dari suatu implementasi konsep penggunaan lahan menjadi syarat perlu, namun belum cukup, karena itu harus tersedia suatu mekanisme koordinasi yang efektif yang memungkinkan semua pelaku pembangunan dapat memperoleh akses terhadap proses pengambilan keputusan dan dalam profit sharing dari suatu pengelolaan lahan. Dalam kasus terjadinya perubahan pola penggunaan lahan, masih terdapat konflik diantara pemerintah versus petambak yang merasa dirugikan. Jika persoalan konflik ini belum clear, itu artinya masih ada kelompok masyarakat yang belum mendapatkan kepastian bahwa dia akan memperoleh keuntungan atau paling tidak dia tidak merasa dirugikan akibat dari suatu implementasi konsep penggunaan lahan.
Wilayah
konflik tersebut ada pada besaran potensi peningkatan PAD sebesar Rp 2 327 329 977. Angka ini relatif kecil jika dikaitkan dengan besarnya potensi kerugian yang diderita oleh petambak pola X3 dan X4 yang harus mendapatkan kompensasi
Tabel 51. Kondisi Keuntungan Sebelum dan Sesudah Optimasi Untuk Skenario RTRW 2002 - 2011 Variabel Keputusan
Profit (Rp 000/Ha)
Pola X1
13696.7
Pola X2
12569.8
Pola X3 Pola X4
11817 112200
Pola X5 Pola X6
62008.4 18879.1
Total
Kondisi Sebelum Optimasi Luas Profit (Ha) (Rp 000) 6481.800 88 779 270.06
Kondisi Setelah Optimasi Luas Profit (Ha) (Rp 000) 8590.462 117 660 980.90
Kemungkinan Pergeseran Pola Penggunaan Lahan X2, X3, X4, X5, X6
150 837.60
18.248
229 373.71
78 536.110
X1, X6
8541.700 50.000
100 937 268.90 5 610 000.00
0.000 0.000
0.000 0.000
680.700 722.335 16 488.535
42 209 117.88 13 637 027.47 251 323 521.91
5 040.708 2 839.117
312 566 237.9 53 599 945.36
(-) 100 937 268.900 (-) 5 610 000.000 270 357 120.100 39 962 917.89
X1, X4, X5, X6 X1, X3, X5, X6 X1, X3, X4, X6 X1, X2, X3, X4, X5
16 488.535
496 501 705.584
232 732 997.740
12.000
Keterangan: Pola X1 Pola X2 Pola X3 Pola X4 Pola X5 Pola X6
Pertambahan Profit (Rp 000) 28 881 710.820
Budidaya Bandeng Intensif + Udang Campuran Budidaya Bandeng + Udang Campuran – Tumpang Gilir Dg. Garam Budidaya Bandeng + Udang Organik + Udang Campur Budidaya Udang Intensif Budidaya Udang Intensif – Tumpang Gilir Dg Bandeng + U. Organik + U. Campuran Eksploitasi Campuran : Kupang + Kerang + Kayu Bakar
169 agar mereka mau melakukan perubahan pola penggunaan lahan sesuai konsep alokasi lahan pada skenario RTRW 2002 – 2011. Karena itu diperlukan suatu mekanisme koordinasi yang memungkinkan proses negosiasi dan kompromi diantara mereka yang berkonflik dapat berjalan efisien dan efektif. Efisiensi berkaitan dengan suatu proses yang tidak berbelit-belit sehingga dapat menekan biaya negosiasi dan biaya kompromi. Efektifitas berkaitan dengan kecepatan suatu proses – melalui pendekatan persuasif sehingga dapat membujuk para pelaku pola X3 dan X4 . Dengan demikian mereka secara sukarela mau melakukan perubahan pola usahanya sesuai konsep penggunaan lahan yang diinginkan. Berkaitan dengan hal tersebut kita lihat sejauhmana institusi yang ada memungkinkan bagi terselenggaranya suatu mekasnisme proses negosiasi dan kompromi yang efektif dan efisien. Di Pesisir Sidoarjo terdapat suatu lembaga Forum Komunikasi Masyarakat Pesisir (FKMP) yang anggotanya terdiri dari seluruh unsur masyarakat pelaku pembangunan di sana, yaitu : Petambak, LSM lokal, OISCA, LPP–Mangrove Bogor, Asosiasi Tambak Jepang (ATJ). Pemerintah melalui instansi teknis yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sidoarjo berperan sebagai pembina. Keterkaitan FKMP dengan lembaga perencanaan pembangunan seperti Bappeda Kabupaten Sidoarjo tidak jelas, sehingga aspirasi masyarakat pesisir tidak pernah terekam oleh pejabat berwenang. Bahkan dengan Bappeda- lah para petambak harus bermusyawarah dan bernegosiasi untuk menemukan titik kompromi tertentu. Kompromi tersebut berkaitan dengan isu-isu potensi kerugian petambak, kemungkinan pemberian kompensasi serta upaya- upaya pembujukan.
170 Jika hal ini tidak bisa diwujudkan, maka bisa dipastikan bahwa potensi kenaikan PAD sebesar Rp 2 327 329 977 tidak akan cukup untuk menutupi seluruh potensi kerugian yang diderita petani sehingga sebagian petani tambak masih ada yang tidak puas
dan hal itu berarti implementasi konsep penggunaan lahan sesuai
skenario RTRW 2002 – 2011 tidak dapat dilakukan.
Pola koordinasi antar
lembaga dalam kaitannya dengan pengelolaan pesisir Sidoarjo disajikan pada Gambar 20.
DPRD 1
3 ORGANISASI PEMERINTAHAN
2 DKP
BAPPEDA
FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PESISIR
Petambak
OISCA -Jepang
ATJ
LSM Lokal
LPP Mangrove Bogor
RTRW Di dalamnya Terdapat Kebijakan Tentang Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir
Keterangan : 1 : Hubungan konstituensional 2 : Fungsi pembinaan 3 : Hubungan koordinasi
Gambar 20. Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Pesisir Kabupaten Sidoarjo
Sistem Pembangunan di
8.2.3. Kreasi Sistem Koordinasi Dalam sistem organisasi pembangunan wilayah pesisir yang ada sekarang, masyarakat diposisikan sebagai outsider yang tidak memiliki akses secara langsung dalam proses negosiasi dan kompromi guna penyusunan rencana
171 pengelolaan lahan
wilayah pesisir. Kalaupun hal itu dilakukan tentunya
memerlukan prosedur dan mekanisme yang berbelit-belit sehingga biaya untuk itu menjadi sangat mahal.
Dalam sistem kelembagaan seperti ini peluang untuk
menangkap aspirasi dan kompromi dari stakeholders menjadi sangat kecil. Implikasinya jelas masyarakat tidak merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konsep rencana penggunaan lahan sebagaimana ada dalam RTRW 2002
–
2011.
Dalam
sistem
kelembagaan
dimana
pihak-pihak
yang
berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya tidak berada dalam satu forum, maka kontrol terhadap implementasi konsep penggunaan lahan yang sudah disepakati menjadi sulit dilakukan. Kecurangan dan kecurigaan antar partisipan senantiasa menjadi pemandangan sehari-hari dan berlangsung sepanjang waktu dan hal ini terus mendorong terjadinya moral hazard dan perilaku oportunistik. Ketika kelembagaan itu tidak cukup efektif, maka setiap orang hanya mau mementingkan tujuannya sendiri-sendiri tanpa menghiraukan dampak negatif dari tindakannya tersebut terhadap sumberdaya lahan. Organisasi dan kelembagaannya menjadi tidak berkemampuan (good governance) sehingga implementasi konsep penggunaan lahan tidak bisa diwujudkan. Williamson (1985),
berpendapat bahwa pemecahan masalah dari
pertentangan (konflik) tersebut membutuhkan suatu pelerai eksternal dengan cara membangun suatu struktur organisasi yang berkemampuan (governance structure). Struktur governance yang demikian mencerminkan pengaturan institusional yang dapat diadopsi oleh para pesertanya secara sukarela sehingga dapat menjunjung komitmen guna melaksanakan transaksi (proses pengelolaan) secara berulang-ulang diantara semua anggota partisipan. Williamson (1985)
172 melukiskan berbagai kemungkinan bentuk organisasi yang dapat dikreasikan tergantung pada dua dimensi utama yaitu human asset specificity dan frekuensi transaksi. Kemungkinan bentuk-bentuk organisasi tersebut berada dalam kisaran spektrum mulai dari spot market sampai hierarki yang kompleks sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Pengelolaan sumberdaya lahan memiliki ciri asset specificity yang rendah dengan frekuensi transaksi antar anggota yang tinggi.
Karena itu bentuk
organisasi yang dapat dikreasikan berupa ”Kelompok Otonom”.
Bentuk
organisasi yang sesuai akan dapat mengurangi tindakan oportunisme individual dan akan dapat mendukung terjadinya tindakan kolektif (collective action). Adanya organisasi dalam bentuk ”Kelomopok Otonom”, memungkinkan terjadinya suatu komunimkasi yang intens, information sharing sehingga partisipasi seluruh stakholders dalam menjunjung komitmen bersama dapat terwujud.
Forum Komunikasi Masyarakat Pesisir (FKMP) dapat dipandang
sebagai sebuah ”Kelompok Otonom” ketika semua partisipan yang terlibat dalam proses pengelolaan dan conflict of interest masuk di dalamnya. Harusnya unsur pemerintah kabupaten seperti Bappeda dan DKP masuk melebur dalam FKMP.
Di sana mekanisme koordinasi akan lebih mudah
dilakukan. Proses penyerapan aspirasi, negosiasi, kompromi dan pengawasan terhadap implementasi konsep penggunaan lahan yang sudah disepakati dapat dilakukan secara efektif dan efisien karena untuk itu tidak diperlukan biaya transaksi yang mahal. Dengan demikian potensi peningkatan PAD sebesar Rp 2 327 329 977 dapat dihemat karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu besar untuk proses pengelolaan penggunaan lahan.
173 Menurut Hutagaol (2001), kelembagaan seperti FKMP akan efektif jika memenuhi prinsip-prinsip manajemen yang meliputi : Plan, Do, Check, dan Action.
Sehingga kelembagaan pengelolaan kawasan pesisir ini dapat
diformalkan fungsi dan peranannya meliputi aspek-aspek : 1. Lembaga perencanaan 2. Lembaga pelaksanaan 3. Lembaga pemantauan dan evaluasi 4. Lembaga pengawasan dan penegakan hukum Formalisasi FKMP dapat dilakukan dengan membuat badan hukum misalnya dengan Surat Keputusan Bupati. Hal ini penting mengingat di dalamnya ada unsur pelibatan pejabat berwenang, sehingga dengan SK Bupati mekanisme kerja mereka akan memiliki dasar hukum yang jelas. Mekanisme kerja FKMP harus disesuaikan dengan kondisi wilayah pesisir, terdiri dari : 1. Penyusunan Rencana Pengelolaan Pesirir. Rencana pengelolaan pesisir merupakan pedoman utama dalam melakukan pengelolaan pesisir secara reguler, untuk itu diharapkan rencana ini mampu mengakomodir keperluan stakeholders, karena itu perlu pendekatan partisipatif. Kegiatan penyusunan rencana meliputi : (1). Pengumpulan data dan identifikasi permasalahan ;
kegiatan ini
dilakukan secara berkala dengan melibatkan seluruh unsur stakeholders. Guna memperoleh keakuratan informasi kegia tan ini bisa dibantu oleh tenaga ahli sehingga hasilnya lebih obyektif.
174 (2). Penyusunan draft rencana aksi ; kegiatan ini dilakukan oleh setiap lembaga yang mengacu pada tugas dan fungsinya masing- masing. 2. Pelaksanaan pengelolaan pesisir. Pelaksanaan pengelolaan pesisir dilakukan oleh instansi teknis seperti Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sidoarjo dengan melibatkan unsur pemerintahan desa.
Hal ini
penting karena lembaga pemerintahan desa dianggap cukup efektif dalam mengarahkan program-program pembangunan diwilayah desa bersangkutan. 3. Pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat baik yang duduk di dalam FKMP maupun masyarakat pelaku usaha dilapangan. Dengan demikian adanya tindak penyelewengan yang dilakukan oleh siapapun akan cepat diketahui. 4. Pengawasan dan penegakan hukum. Lembaga ini tugasnya menindak lanjuti laporan dari masyarakat, dan memberikan rekomendasi kepada lembaga terkait (misal : Dispenda dan Pemerintahan Desa) yang dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan ”sanksi”. Kelembagaan pengelolaan pesisir memiliki wilayah kerja lintas kecamatan dalam satu Kabupaten. Oleh karena itu agar lembaga ini dapat terbentuk maka Bupati sebagai Kepala Daerah diharapkan mampu melakukan tugas inisiasi untuk itu.
Kreasi pola hubungan kelembagaan sistem pembangunan di Pesisir Sidoarjo
dapat dilihat pada Gambar 21.
175
FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PESISIR
Nelayan Pembudidaya Ikan
ATJ
LSM Lokal
Petambak Udang Organik LPP Mangrove Bogor
Petambak Udang Intensif Bappeda Sekretariat
Petambak Semi Intensif OISCA -Jepang Petambak Garam DKP Kabupaten Pemanfaat Hutan Mangrove : Langsung dan Tidak Langsung
Lembaga Perencana
Lembaga Pelaksana
Lembaga Pemantauan
Lembaga Pengawasan dan Penegakan Hukum
Gambar 21. Kreasi Diagram Pola Hubungan Kelembagaan Sistem Pembanguna n di Pesisir Kabupaten Sidoarjo
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : 1. Model penggunaan lahan di pesisir Kabupaten Sidoarjo merupakan gambaran dari suatu fenomena penggunaan lahan yang terbaik dengan beberapa kendala yang dipertimbangkan.
Model yang disusun terdiri dari enam variabel
keputusan, sepuluh komoditas yang dipertimbangkan dengan sembilan kendala sumberdaya. 2. Berdasarkan simulasi yang dilakukan dengan enam skenario, maka skenario ke 3 yaitu konsep penggunaan lahan dengan mempertimbangkan faktor eksternalitas dan upaya mengatasinya adalah merupakan alternatif strategi penggunaan lahan terbaik, karena memenuhi tiga kriteria pembangunan meliputi : (1). Kriteria ekonomi : memberikan peningkatan keuntungan total dari yang ditargetkan sebesar Rp 245 178 194 600/tahun. (2). Kriteria lingkungan : tidak menimbulkan dampak pencemaran yang dapat mengganggu ekosistem di sekitarnya. (3). Kriteria penyerapan tenaga kerja : ada kelebihan permintaan tenaga kerja sebesar 0.03 persen dari seluruh potensi tenaga kerja yang ada. Terjadi trade off antara kepentingan pembangunan ekonomi dengan kepentingan
pembangunan
lingkungan.
Pilihan
alternatif
strategi
pembangunan ekonomi, masyarakat akan menanggung biaya oportunitas
177 dalam bentuk ancaman degradasi lingkungan.
Sedang pilihan alternatif
strategi pembangunan lingkungan, masyarakat akan menanggung biaya oportunitas
dalam
bentuk
kehilangan
potensi
ekonomi
sebesar
Rp 36 299 806 900 dari ketidaktercapaian target keuntungan total ditambah dengan beban pengangguran yang mencapai 56.22 persen. Strategi pembangunan yang didasarkan konsep RTRW 2002 – 2011 tidak lebih baik dari alternatif strategi pembangunan berdasarkan skenario 3 yang mengkompromikan
antara
kepentingan
ekonomi
dengan
kepentingan
lingkungan. Hal itu disebabkan karena penetapan kawasan lindung mangrove dan kawasan tambak organik yang terlalu luas tanpa berkompromi dengan stakeholders. 3. Walaupun ada potensi peningkatan PAD sebesar Rp 2 327 329 977 namun jika sistem kelembagaan tetap seperti sekarang ini, maka konsep penggunaan lahan sesuai RTRW 2002 – 2011 tidak akan dapat diimplementasikan, karena struktur
organisasi
yang
ada
tidak
berkemampua n
sehingga
tidak
memungkinkan terjadinya suatu mekanisme koordinasi dan kompromi antara pihak-pihak yang memiliki konflik kepentingan terhadap sumberdaya pesisir secara efektif dan efisien.
9.2. Saran 1. Dalam penyusunan model, peneliti mengalami kesulitan untuk mengeksplorasi seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan terutama untuk nilai jasa lingkungan yang menyangkut manfaat pewarisan (keanekaragaman hayati dan fungsi hutan mangrove sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan ikan-ikan
178 yang ada). Karena itu dalam penelitian selanjutnya agar hal ini menjadi perhatian sehingga nilai jasa lingkungan tidak under estimate. 2. Dari enam skenario yang disusun, skenario ke 3 merupakan alternatif strategi penggunaan lahan terbaik, namun tidak menutup kemungkinan masih ada alternatif strategi lainnya yang lebih baik. Untuk itu disarankan agar dalam penelitian mendatang supaya pilihan alternatif strategi dapat diperbanyak lagi. 3. Agar alokasi penggunaan lahan sesuai konsep RTRW 2002 – 2011 dapat diimplementasikan
maka
perlu
dilakukan
reformasi
kelembagaan
pembangunan kawasan pesisir yang ada sekarang ini menjadi sebuah lembaga koordinasi yang berkemampuan (good governance). Struktur organisasi yang dibangun hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik sumberdaya pesisir yang dicirikan oleh aset spesifik yang rendah dengan tingkat frekuensi transaksi (pengelolaan) yang tinggi. Organisasi tersebut hendaknya mampu menerapkan prinsip-prinsi manajemen yaitu ; plan, do, check, and action.
179
DAFTAR PUSTAKA Aldrianto, E. 1999. Proses Pengambilan Keputusan Sistem Pengelolaan Irigasi : Kasus Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anwar, A. 1995. Kebijakan Ekonomi Untuk Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup Dalam Rangka Pembangunan Wilayah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD), Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. _________ 1997. Kerangka Agenda Penelitian P3DT Kearah Sistem Pengelolaan Prasarana Berkelanjutan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD), Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. American Public Health Association. 1989. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. Port City Press, Baltimore. Agrawal, R.C. and E.O. Heady. 1972. Operation Research Methods for Agricultural Decisions. The Iowa State University Press, Ames. Balangue, T.O. 1979. A Goal Programming Model For Integrated Forest Management Problems. Thesis Master of Science, University of the Philippines, Los Banos. _____________. 1988. Interactive Land- use Planning Algoritma. PhD Dissertation, University of the Philippines, Los Banos. Balteiro, L.D. and C. Romero. 2003. Forest Management Optimisation Models when Carbon Captured is Considered : A Goal Programming Approach. Forest Ecology and Management, 174(1) : 447-457. Bappenas. 2002. Asset Management for Hydraulic Infrastructure. Proceedings of the Workshop Sponsored By Development Planning Agency and The World Bank, Denpasar. Barlow, R. 1972. Land Resource Economics. Prentice Hall. Inc., New Jersey. Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Fish Pond Culture. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Bottom, K.E. and E.T. Bartlett. 1975. Resource Allocation through Goal Programming. Journal of Range Management, 28(6) : 442 – 447. BPS. 2004. Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo, Sidoarjo.
180
Brikman, A.R. and A.J. Smyth. 1973. Land Evaluation For Rural Purpose. International Land Research Institute (ILRI), Wageningen. Brown, C. 2005. Is There an Institutional Theory of Distribution?. Journal of Economic Issues, 39(4) : 915 – 931. Clark, J.R. 1977. Coastal Ecosystem Management. John Wiley & Sons Inc., New York. Christian, C.S. and G.A. Stewart. 1968. Methodology of Integrated Survey. Proc. Unesco Conf. on Aerial Survey and Integrated Studies, Toulouse. Creel, J.B., C.L. Santos, C.M. Islas, J. Carranza, J. McCann, P. Rubinofe, T. Goddard, D. Robadue and L. Hale. 1999. Participatory Coastal and Marine Management in Quintana Roo Mexico. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, 2(2) : 51 – 60. Dahuri, R.H., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dahuri, R.H. 1998. The Application of Carrying Capacity Concept for Sustainable Coastal Resources Development in Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, 1(1) : 13 – 20. Dantzig, G.B. 1963. Linear Programming and Extentions. Princeton University Press, New Jersey. Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Daerah Pantai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Laha n, Departemen Kehutanan, Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005. Laporan Tahunan Bidang Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo, Sidoarjo Falconer, K. and C. Saunders. 2002. Transaction Cost for Sites of Special Scientific Interest (SSSI) and Policy Design. Land Use Policy, 19(1): 157–166. Freeman III. and A. Myrick. 1992. The Measurement of Environmental and Resource Values: Theory and Methods, Resource for the Future, Washington DC. Gordon, G. 1980. Systems Simulation. Prentice Hall of India, New Delhi.
181 Hernanto, F. 1999. Prospek Pola Kredit pada Proyek Perhutanan Sosial Sebagai Upaya Pelestarian Hutan Mangrove dan Pengembangan Sistem Usahatani Wilayah Pesisir Pantai Utara Jawa. Studi Kasus di Kesatuan Pemangku Hutan Purwakarta. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hodgson, G.M. 2006. What Are Institution?. Journal of Economic Issues, 40(1) : 1 – 25. Hufscmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower and J.A. Dixon. 1996. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Hutagaol, P.M. 2001. Penyusunan Tata Laksana Program Kali Bersih (Prokasih) Visi 2005 di Daerah. Kerjasama Proyek Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extentions. D.C. Health and Company, Lexington. Intermulti Planindo PT. 2004. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Sidoarjo – Propinsi Jawa Timur. PT. Intermulti Planindo, Jakarta. Jamieson and Neil. 1989. The Paradigm Significance of Rapid Rural Appraisal. Dalam KUU Prosiding, Bangkok. Jeffers, J.N.R. 1978. An Introduction to System Analysis: With Ecological Applications. Edward Arnold Limited, London. Keeney, R.L. and H. Raiffa. 1976. Decision With Multiple Objectives: Preferences and Values Trade-offs. John Wiley and Sons Co. Inc., New York. Kinne, O. 1964. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackish Water Animal. George Allen and Uwin Ltd., London. Kreger, J. and Douglas. 2001. Economic Value of Forest Ecosystem Survive: Review. The Wilderness Society, Washington DC. Mize, J.H. and J.G. Cock. 1968. Essentials of Simulation. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Mackentum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State Department of The Interior, Federal Water Pollution Control. Administration Division of Technical Support, Washington DC.
182 Masduki, W. 2005. Optimalisasi Penerimaan dan Belanja Daerah di Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat : Suatu Model Kombinasi Goal Programming dan Input Output. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mitchell, R.C. and R.T. Carson. 1989. Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Methods. Resource for the Future, Washington DC. Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nasendi, B.D. dan A. Anwar. 1985. PT. Gramedia, Jakarta.
Program Linear dan Variasinya.
Nielsen, L.K. 1979. The Influence of Sediments on Changed Phosphorus Loading to Hypertropic Ecosystem. The Hauge Publishers, London. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan (Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan?). Fery Agung Corporation (Feraco), Jakarta. Nikijuluw, V.P.H. 1998. Management of Coastal Areas By Villagers of Jemluk Bali Island. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, 1(1) : 21 – 30. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nur, S.H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk Tambak Tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pal, B. B. and I. Basu. 1996. Selection of Appropriate Priority Structure for Optimal Land Allocation in Agricultural Planning through Goal Programming. Indian Journal of Agricultural Economics, 51(3): 342–354. Panayoutou, T. 1997. Basic Concept and Common Valuation Errors in CostBenefit Analysis. Harvard University, Harvard. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice Hall Inc., New Jersey. Pretty, J. and I. Guijt. 1992. Primary Environmental Care : An Alternative Paradigm for Development Assistance. Dalam Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
183
Prowse, G.A. 1962. Diatom of Malayan Freshwater, Phytoplankton. The Gardens Bull, Singapore. Rachman, S. 2000. Model Penggunaan Lahan Untuk Pengembangan Konservasi Alam Terpadu : Studi Kasus Pulau Siberut Propinsi Sumatera Barat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reynolds, C.S. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press, Cambridge. Ruitenbeek, H.J. 1991. Mangrove Management : An Economics Analysis of Management Option With a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI). EMDI Environmental Reports, Jakarta. Ruslan. 1989. Pola Penggunaan Lahan Optimal Berdasarkan Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi Daerah Aliran Sungai Peusangan Aceh. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saenger, P.E.J., Hegerl, and J.S.D. Davie. 1983. Status of Mangrove Ecosystem. Prepared by The International Unition for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Commission of Ecology Papers, Gland. Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin : Proses Hirarkhi Analitik Untuk Penga mbilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Presindo, Jakarta. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Santoso, N. dan H.S. Alikodra. 1998. Rencana Pengelolaan Hutan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Dati II Cilacap. Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, Bogor. Santoso, N. 1999. Status dan Kondisi Pemanfaatan Hutan Bakau oleh Masyarakat Untuk Pemenuhan Kebutuhan Energi (Arang) di Indonesia. Majalah Globe, Jakarta. Sediadi, A. 1991. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi di Pantai Teluk Jakarta. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan Bekerjasama Dengan LIPI, Jakarta. Senn, P. 1971. Social Science and Its Methods. Holbrook, Boston.
184 Siregar, D.D. 2004. Manajemen Aset: Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional Dalam Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’s Pada Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. PT. Gramedia, Jakarta. Snedaker, S.C. and L.S. Hamilton. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. United Nation Environment Programme and Environment Policy Institute. East-West Centre, Honolulu. Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Konto Kabupaten Malang Jawa Timur. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soerianegara, I. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukardjo, S. dan S. Akhmadi. 1982. The Mangrove Forest of Java and Bali. Biotrop Special Publication, Bogor. Soemarna, Y. 1985. Peranan Jalur Hijau Mangrove terhadap Pelestarian Sumberdaya Perikanan. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove, LIPI, Jakarta. Tobey, J.A. 2000. Tailoring Coastal Management Interventions for Long- Term Success. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, 3(1) : 19 – 23. Vink, A.P.A. 1975. Man and Biosphere Program. Man Belong to the Earth, Paris. Welch, R.G. and T. Lindell. 1980. Ecological Effects of Waste Water, Cambridge University Press, London. Widaningsih, D.S. 1991. Peranan Sistem Pertanaman Agroforestry dalam Penggunaan Lahan Kering Pertanian yang Berlereng Curam di DAS Cimanuk Jawa Barat. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williamson, O.E. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. The Free Press. A Division of Macmillan Inc., New York.
186 Lampiran 1. Program - Output Skenario Pembangunan Ekonomi Tahun 2006 ***** Input Data ***** Min Z =
Subject to biayaptn TK TKX2 L Sat L1 L Sat L2 L Sat L3 L Sat L4 MSY1 MSY2 L Seluruh bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
1P3d-11 + 1P2d-12 + 1P5d-13 + 1P4d-14 + 1P6d-1 + 1P7d-16 + 1P9d-17 + 1P8d-18 + 1P10d-19 + 1P1d-20 20646.7X1 + 16058.7X2 + 1799.2X3 + 151800X4 + 88100X5 + 11981.79X6 <= 655761788 304X1 + 548X2 + 64X3 + 857X4 + 599X5 + 479X6 <= 7077000 548X2 <= 10000 1X1 + 1X2 <= 6574.8 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X5 <= 9191.4 1X1 + 1X2 + 1X6 <= 175.3 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X6 <= 261.695 1X6 >= 124.7 1X6 >= 160.64 1X1 + 1X2 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 <= 16488.535 26250X1 + 10500X2 + 2625X3 + 13125X5 + d-11 - d+11 = 112500801 7000X3 + 3500X5 + d-12 - d+12 = 263845960 264000X4 + 132000X5 + d-13 - d+13 = 157980000 4343.4X1 + 2380.2X2 + 4866X3 + 2433.3X5 + d-14 - d+14 = 48499710 21169.89X6 + d-15 - d+15 = 8899983 8255.4X6 + d-16 - d+16 = 4432200 900X2 + d-17 - d+17 = 108000 1119.5X6 + d-18 - d+18 = 450000 3476.96X6 + d-19 - d+19 = 1440515.2 13696.7X1 + 12569.8X2 + 11817X3 + 112200X4 + 62008.4X5 + 18879.09X6 + d-20 - d+20 = 251323522 ***** Program Output *****
Analysis of decision variables --------------------------------------------------Variable Solution Value --------------------------------------------------X1 6556.552 X2 18.248 X3 3457.784 X4 0.000 X5 5734.797 X6 721.154 ------------------------------------------------- --
187 Lampiran 1. Lanjutan Analysis of deviations -----------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d--------------------------------------------------------------------------- --------------------biayaptn 655761788.000 0.000 6557.733 TK 7077000.000 0.000 1071933.886 TKX2 10000.000 3960.837 0.000 L Sat L1 6574.800 0.000 0.000 L Sat L2 9191.400 0.000 0.000 L Sat L3 175.300 0.000 0.000 L Sat L4 261.695 0.000 0.000 MSY1 124.700 0.000 0.000 MSY2 160.640 0.000 0.000 L Seluruh 16488.535 0.000 0.000 bandeng 112500801.000 144146185.800 0.000 udang O 263845960.000 0.000 219569681.930 udang I 157980000.000 599013223.240 0.000 U campur 48499710.000 10801510.380 0.000 kupang 8899983.000 6366764.596 0.000 kerang 4432200.000 1521213.462 0.000 garam 108000.000 91576.642 0.000 k bakar 450000.000 357331.731 0.000 jasa link 1440515.200 1066907.877 0.000 keuntungan 251323522.000 248789934.610 0.000 ------------------------------------------------------------------------------------------------***** End of Output *****
188 Lampiran 2. Program – Outpurt Skenario Pembangunan Lingkungan Tahun 2006 ***** Input Data ***** Min Z = Subject to biayaptn TK TKX2 L Sat L1 L Sat L2 L Sat L3 L Sat L4 MSY1 MSY2 L Seluruh bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
1P8d-11 + 1P2d-12 + 1P10d-13 + 1P4d-14 + 1P3d-1+1P5d-16 + 1P7d-17 + 1P9d-18 + 1P1d-19 +1P6d-20 20646.7X1 + 16058.7X2 + 1799.2X3 + 151800X4 + 88100X5 + 11981.79X6 <= 655761788 304X1 + 548X2 + 64X3 + 857X4 + 599X5 + 479X6 <= 7077000 548X2 <= 10000 1X1 + 1X2 <= 6574.8 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X5 <= 9191.4 1X1 + 1X2 + 1X6 <= 175.3 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X6 <= 261.695 1X6 >= 124.7 1X6 >= 160.64 1X1 + 1X2 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 <= 16488.535 26250X1 + 10500X2 + 2625X3 + 13125X5 + d-11 - d+11 = 112500801 7000X3 + 3500X5 + d-12 - d+12 = 263845960 264000X4 + 132000X5 + d-13 - d+13 = 157980000 4343.4X1 + 2380.2X2 + 4866X3 + 2433.3X5 + d-14 - d+14 = 48499710 21169.89X6 + d-15 - d+15 = 8899983 8255.4X6 + d-16 - d+16 = 4432200 900X2 + d-17 - d+17 = 108000 1119.5X6 + d-18 - d+18 = 450000 3476.96X6 + d-19 - d+19 = 1440515.2 13696.7X1 + 12569.8X2 + 11817X3 + 112200X4 + 62008.4X5 +18879.09X6 + d-20 - d+20 = 251323522 ***** Program Output *****
Analysis of decision variables -------------------------------------------------------Variable Solution Value -------------------------------------------------------X1 6556.552 X2 18.248 X3 8803.496 X4 0.000 X5 0.000 X6 1110.239 ------------------------------------------------------
189 Lampiran 2. Lanjutan Analysis of deviations ----------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d----------------------------------------------------------------------------------------------biayaptn 655761788.000 0.000 490955684.660 TK 7077000.000 0.000 3978579.928 TKX2 10000.000 0.000 0.000 L Sat L1 6574.800 0.000 0.000 L Sat L2 9191.400 0.000 0.000 L Sat L3 175.300 0.000 0.000 L Sat L4 261.695 0.000 0.000 MSY1 124.700 0.000 0.000 MSY2 160.640 0.000 0.000 L Seluruh 16488.535 0.000 0.000 bandeng 112500801.000 82909466. 658 0.000 udang O 263845960.000 0.000 20222148.955 udang I 157980000.000 0.000 157980000.000 U campur 48499710.000 22859261.959 0.000 kupang 8899983.000 14603659.201 0.000 kerang 4432200.000 4733268.872 0.000 garam 108000.000 91576.642 0.000 k bakar 450000.000 792912.809 0.000 jasa link 1440515.200 2419742.165 0.000 keuntungan 251323522.000 0.000 36299806.908 -----------------------------------------------------------------------------------------------***** End of Output *****
190 Lampiran 3. Program - Output Skenario Pembangunan Ekonomi Yang Mengakomodir Terjadinya Elksternalitas Dan Upaya Untuk Mengatasinya ***** Input Data ***** Min Z = Subject to biayaptn TK TKX2 L Sat L1 L Sat L2 L Sat L3 L Sat L4 MSY1 MSY2 L Seluruh bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
1P3d-11 + 1P2d-12 + 1P5d-13 + 1P4d-14 + 1P6d-1 + 1P7d-16 + 1P9d-17 + 1P8d-18 + 1P10d-19 + 1P1d-20 20646.7X1 + 16058.7X2 + 1799.2X3 + 151800X4 + 88100X5 + 11981.79X6 <= 655761788 304X1 + 548X2 + 64X3 + 857X4 + 599X5 + 479X6 <= 7077000 548X2 <= 10000 1X1 + 1X2 + X6 <= 6574.8 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 <= 9191.4 1X1 + 1X2 + 1X6 <= 175.3 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X6 <= 261.695 1X6 >= 124.7 1X6 >= 160.64 1X1 + 1X2 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 <= 16488.535 26250X1 + 10500X2 + 2625X3 + 13125X5 + d-11 - d+11 = 112500801 3500X3 + 1750X5 + d-12 - d+12 = 263845960 264000X4 + 132000X5 + d-13 - d+13 = 157980000 4343.4X1 + 2380.2X2 + 4866X3 + 2433.3X5 + d-14 - d+14 = 48499710 21169.89X6 + d-15 - d+15 = 8899983 8255.4X6 + d-16 - d+16 = 4432200 900X2 + d-17 - d+17 = 108000 1119.5X6 + d-18 - d+18 = 450000 3476.96X6 + d-19 - d+19 = 1440515.2 13696.7X1 + 12569.8X2 + 11817X3 + 112200X4 + 62008.4X5 + 18879.09X6 + d-20 - d+20 = 251323522 ***** Program Output ***** Analysis of decision variables ---------------------------------Variable Solution Value ---------------------------------X1 6556.552 X2 18.248 X3 0.000 X4 0.000 X5 5377.451 X6 3867.881 -----------------------------------
191 Lampiran 3. Lanjutan Analysis of deviations ---------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d---------------------------------------------------------------------------------------------biayaptn 655761788.000 0.000 0.000 TK 7077000.000 2742.603 0.000 TKX2 10000.000 5798.526 0.000 L Sat L1 6574.800 0.000 0.000 L Sat L2 9191.400 0.000 668.403 L Sat L3 175.300 0.000 0.000 L Sat L4 261.695 0.000 0.000 MSY1 124.700 0.000 0.000 MSY2 160.640 0.000 0.000 L Seluruh 16488.535 0.000 668.403 bandeng 112500801.000 130379337.140 0.000 udang O 263845960.000 0.000 254435420.410 udang I 157980000.000 551843557.360 0.000 U campur 48499710.000 0.000 6893596.512 kupang 8899983.000 72982631.514 0.000 kerang 4432200.000 27498704.500 0.000 garam 108000.000 91576.642 0.000 k bakar 450000.000 3880092.738 0.000 jasa link 1440515.200 12007952.192 0.000 keuntungan 251323522.000 245178194.600 0.000 --------------------------------------------------------------------------------------------***** End of Output *****
192 Lampiran 4. Program - Output Skenario Jika Tidak Ada Hutan Mangrove ***** Input Data ***** Min Z = Subject to biayaptn TK L Seluruh bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
1P3d-4 + 1P2d-5 + 1P5d-6 + 1P4d-7 + 1P6d-8 + 1P7d-9 + 1P9d-10 + 1P8d-11 + 1P10d-12 + 1P1d-13 20646.7X1 + 16058.7X2 <= 655761788 304X1 + 548X2 <= 7077000 1X1 + 1X2 <= 16488.535 26250X1 + 10500X2 + d-4 - d+4 = 112500801 + d-5 - d+5 = 263845960 + d-6 - d+6 = 157980000 4343.4X1 + 2380.2X2 + d-7 - d+7 = 48499710 + d-8 - d+8 = 8899983 + d-9 - d+9 = 4432200 900X2 + d-10 - d+10 = 108000 + d-11 - d+11 = 450000 + d-12 - d+12 = 1440515.2 13696.7X1 + 12569.8X2 + d-13 - d+13 = 251323522 ***** Program Output ***** Analysis of deviations
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d-----------------------------------------------------------------------------------------------------------biayaptn 655761788.000 0.000 315327952.420 TK 7077000.000 0.000 2064485.360 L Seluruh 16488.535 0.000 0.000 bandeng 112500801.000 320323242.750 0.000 udang O 263845960.000 0.000 263845960.000 udang I 157980000.000 0.000 157980000.000 U campur 48499710.000 23116592.919 0.000 kupang 8899983.000 0.000 8899983.000 kerang 4432200.000 0.000 4432200.000 garam 108000.000 0.000 108000.000 k bakar 450000.000 0.000 450000.000 jasa link 1440515.200 0.000 1440515.200 keuntungan 251323522.000 0.000 25485004.666 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Analysis of decision variables --------------------------------------Variable Solution Value --------------------------------------X1 16488.535 X2 0.000 --------------------------------------***** End of Output *****
193 Lampiran 5. Program - Output Skenario Pembangunan Ekonomi Tahun 2011 ***** Input Data ***** Min Z = Subject to biayaptn TK TKX2 L Sat L1 L Sat L2 L Sat L3 L Sat L4 MSY1 MSY2 L Seluruh bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
1P3d-11 + 1P2d-12 + 1P5d-13 + 1P4d-14 + 1P6d-1 + 1P7d-16 +1P9d-17 + 1P8d-18 + 1P10d-19 + 1P1d-20 20646.7X1 + 16058.7X2 + 1799.2X3 + 151800X4 + 88100X5 + 11981.79X6 <= 655761788 304X1 + 548X2 + 64X3 + 857X4 + 599X5 + 479X6 <= 7077000 548X2 <= 10000 1X1 + 1X2 <= 6574.8 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X5 <= 9191.4 1X1 + 1X2 + 1X6 <= 424.42 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X6 <= 546.7 1X6 >= 124.7 1X6 >= 160.64 1X1 + 1X2 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 <= 17022.66 26250X1 + 10500X2 + 2625X3 + 13125X5 + d-11 - d+11 = 176775201 7000X3 + 3500X5 + d-12 - d+12 = 3100841 60 + d-13 - d+13 = 0 4343.4X1 + 2380.2X2 + 4866X3 + 2433.3X5 + d-14 - d+14 = 100052260 21169.89X6 + d-15 - d+15 = 13084944 8255.4X6 + d-16 - d+16 = 7490250 900X2 + d-17 - d+17 = 251914.56 1119.5X6 + d-18 - d+18 = 675000 3476.96X6 + d-19 - d+19 = 3241159.25 13696.7X1 + 12569.8X2 + 11817X3 + 112200X4 + 62008.4X5 + 18879.09X6 + d-20 - d+20 = 295206358 ***** Program Output ***** Analysis of decision variables --------------------------------------Variable Solution Value --------------------------------------X1 6556.552 X2 18.248 X3 2505.499 X4 0.000 X5 5523.330 X6 2419.031 ---------------------------------------
194 Lampiran 5. Lanjutan Analysis of deviations --------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d--------------------------------------------------------------------------------------------biayaptn 655761788.000 0.000 0.000 TK 7077000.000 0.000 446265.852 TKX2 10000.000 0.000 0.000 L Sat L1 6574.800 0.000 0.000 L Sat L2 9191.400 0.000 0.000 L Sat L3 424.420 0.000 0.000 L Sat L4 546.700 0.000 0.000 MSY1 124.700 0.000 0.000 MSY2 160.640 0.000 0.000 L Seluruh 17022.660 0.000 0.000 bandeng 176775201.000 74596531.901 0.000 udang O 310084160.000 0.000 273214010.890 udang I 0.000 0.000 0.000 U campur 100052260.000 0.000 45899420.706 kupang 13084944.000 38125672.726 0.000 kerang 7490250.000 12479817.172 0.000 garam 251914.560 0.000 0.000 k bakar 675000.000 2033105.022 0.000 jasa link 3241159.250 5169714.209 0.000 keuntungan 295206358.000 212595582.270 0.000 --------------------------------------------------------------------------------------------***** End of Output *****
195 Lampiran 6.
Program – Output Skenario Penerapan Konsep Penggunaan Lahan Sesuai Konsep RTRW 2002 – 2011
***** Input Data ***** Min Z = 1P3d-9 + 1P2d-10 + 1P5d-11 + 1P4d-12 + 1P6d-13 + 1P7d-14 + 1P9d-15 + 1P8d-16 + 1P10d-17 + 1P1d-18 Subject to biayaptn TK TKX2 L Sat L1 L Sat L2 MSY L Seluruh L Organik bandeng udang O udang I U campur kupang kerang garam k bakar jasa link keuntungan
20646.7X1 + 16058.7X2 + 1799.2X3 + 151800X4 + 88100X5 + 11981.79X6 = 655761788 304X1 + 548X2 + 64X3 + 857X4 + 599X5 + 479X6 = 7077000 548X2 = 10000 1X1 + 1X2 <= 6387.03 1X1 + 1X3 + 1X4 + 1X5 <= 8981.505 0.3804X6 = 1080 1X1 + 1X2 + 1X3 + 1X4 + 1X5 + 1X6 = 16488.535 1X3 + 1X5 >= 7000 26250X1 + 10500X2 + 2625X3 + 13125X5 + d-9 - d+9 = 112500801 7000X3 + 3500X5 + d-10 - d+10 = 263845960 264000X4 + 132000X5 + d-11 - d+11 = 157980000 4343.4X1 + 2380.2X2 + 4866X3 + 2433.3X5 + d-12 - d+12 = 48499710 21169.89X6 + d-13 - d+13 = 8899983 8255.4X6 + d-14 - d+14 = 4432200 900X2 + d-15 - d+15 = 108000 1119.5X6 + d-16 - d+16 = 450000 3476.96X6 + d-17 - d+17 = 1440515.2 13696.7X1 + 12569.8X2 + 11817X3 + 112200X4 + 62008.4X5 + 18879.09X6 + d-18 - d+18 = 251323522 ***** Program Output *****
Analysis of decision variables -------------------------------------------------Variable Solution Value -------------------------------------------------X1 8590.462 X2 18.248 X3 0.000 X4 0.000 X5 5040.708 X6 2839.117 -------------------------------------------------
196 Lampiran 6. Lanjutan Analysis of deviations -------------------------------------------------------------------------------------------------Constraint RHS Value d+ d-------------------------------------------------------------------------------------------------biayaptn 655761788.000 0.000 0.000 TK 7077000.000 0.000 76178.620 TKX2 10000.000 4649.665 0.000 L Sat L1 6387.030 0.000 0.000 L Sat L2 8981.505 0.000 0.000 MSY 1080.000 0.000 0.000 L Seluruh 16488.535 0.000 0.000 L Organik 7000.000 0.000 1959.292 bandeng 112500801.000 179349732.100 0.000 udang O 263845960.000 0.000 246203483.200 udang I 157980000.000 507393410.910 0.000 U campur 48499710.000 1121092.845 0.000 kupang 8899983.000 51203805.644 0.000 kerang 4432200.000 19005844.164 0.000 garam 108000.000 91576.642 0.000 k bakar 450000.000 2728391.167 0.000 jasa link 1440515.200 8430980.068 0.000 keuntungan 251323522.000 232732997.740 0.000 -------------------------------------------------------------------------------------------------***** End of Output *****
197
Lampiran 7. Perhitungan Ketebalan Hutan Mangrove
Curve Fit MODEL:
MOD_1.
Dependent variable.. Y1
Method.. EXPONENT
Listwise Deletion of Missing Data Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error
.81130 .65821 .64267 .08538
Analysis of Variance: DF
Sum of Squares
Mean Square
1 22
.30884510 .16037572
.30884510 .00728981
42.36671
Signif F =
Regression Residuals F =
.0000
-------------------- Variables in the Equation -------------------Variable X (Constant)
B
SE B
Beta
T
Sig T
.002779 22.551643
.000427 .621442
.811300
6.509 36.289
.0000 .0000
Salinitas (0/00) 34 32 30 28 26 24 22 20
Observed
18 -20
Exponential 0
20
Jarak Dari Grs Pantai
40
60
80
100
120
198
Salinitas (0/00)
Lampiran 7. Lanjutan
40 35 30 25 20 15
y = 22.552e0.0028x R2 = 0.6582
10 5 0 -50
0
50
100
150
Jarak dari Garis Pantai (M)
Curve Fit MODEL: MOD_2. Dependent variable.. Y2
Method.. EXPONENT
Listwise Deletion of Missing Data Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error
.14038 .01971 -.02485 .46529
Analysis of Variance:
Regression Residuals F =
DF
Sum of Squares
Mean Square
1 22
.0957457 4.7628333
.09574567 .21649242
.44226
Signif F =
.5129
-------------------- Variables in the Equation -------------------Variable X (Constant)
B
SE B
Beta
T
Sig T
-.001547 .332658
.002326 .049956
-.140380
-.665 6.659
.5129 .0000
199 Lampiran 7. Lanjutan BOD(mg/lt) .7
.6
.5
.4
.3
.2 Observed .1 -20
Exponential 0
20
40
60
80
100
120
BOD (mg/lt)
Jarak Dari Grs Pantai
y = 0.3327e -0.0015x R2 = 0.0197
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -50
0
50
100
Jarak dari Garis Pantai (M)
150
200 Lampiran 7. Lanjutan Perhitungan Jarak dari Pantai Jika Nilai Salinitas (Y) = 30.25 Y 30.25 30.25/22.5516 1.341366 Ln (1.341366) 0.293688 X X
= 22.5516exp (0.002779 X) = 22.5516exp (0.002779 X) = exp (0.002779 X) = exp (0.002779 X) = Ln (exp (0.002779 X)) = 0.002779 X = 0.293688/0.002779 = 105.6812 meter
Perhitungan Jarak dari Pantai Jika Nilai BOD (Y) = 0.288 Y 0.288 0.288/0.33266 0.86575402 Ln (0.865754) -0.1441545 X X
= 0.332658exp (-0.001547 X) = 0.332658exp (-0.001547 X) = exp (-0.001547 X) = exp (-0.001547 X) = Ln (exp (-0.001547 X)) = -0.001547 X = -0.1441545/-0.001547 = 93.1832289 meter
201
Lampiran 8. Peta Kabupaten Sidoarjo
202
Lampiran 9. Kualitas Air Tanah