DISERTASI
KEBERDAYAAN, KEMAJUAN, DAN KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN : KASUS KABUPATEN SIDOARJO DAN KABUPATEN MAGETAN PROVINSI JAWA TIMUR
Hamidah Nayati Utami
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Keberdayaan, Kemajuan, dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin: Kasus di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber daya dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2007
Hamidah Nayati Utami Nrp.P061020021
ABSTRAK Industri kecil memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, menjadi penyumbang pendapatan asli daerah yang signifikan, prospektif untuk ekspor, dan mampu bertahan dalam kondisi krisis. Meskipun industri kecil memiliki peran strategis dalam pembangunan, namun masih banyak permasalahan yang dihadapi pengrajin terutama terkait dengan kualitas SDM pengrajin. Pengrajin masih lemah terutama dalam hal pengelolaan usaha, orientasi jangka panjang, kemampuan menjalin kerjasama. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan perilaku wirausaha, kemandirian usaha, kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha pengrajin di Sidoarjo dan Magetan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas perilaku wirausaha para pelaku industri kecil, (3) menjelaskan faktor-faktor yang menentukan tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil, (4) menjelaskan faktor-faktor yang cenderung menentukan kemajuan usaha, (5) menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha, dan (6) merumuskan model pemberdayaan pengrajin. Penelitian ini dilakukan terhadap pengrajin dari bahan kulit di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Sidoarjo berada di wilayah yang mewakili daerah yang jauh dengan sumber bahan baku dan Magetan mewakili daerah yang dekat dengan sumber bahan baku, dengan dasar penentuan strata adalah kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku. Sampel diambil dengan metode stratified random sampling. Jumlah populasi sebanyak 741 pengrajin, jumlah sampel dihitung dengan rumus Slovin sehingga diperoleh jumlah 260 pengrajin. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2005 sampai Pebruari 2006. Data primer diperoleh dengan mendatangi dan melakukan wawancara terhadap responden dengan berpedoman pada kuesioner. Data dianalisis dengan: (1) analisis statistik deskriptif, (2) analisis Structural Equation Modelling (SEM), dan (3) uji beda rata-rata one way anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengrajin memiliki perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha yang rendah. Perilaku wirausaha secara positif dan nyata dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungan. Tingkat kemandirian usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh karakteristik individu, pendukung usaha, dukungan lingkungan, dan perilaku wirausaha, dan faktor yang paling menentukan adalah perilaku wirausaha. Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha. Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh kemajuan usaha. Model pemberdayaan yang efektif memberdayakan pengrajin adalah dengan meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha dalam organisasi yang didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah. Kata Kunci: keberdayaan pengrajin, perilaku wirausaha, kemandirian usaha, kemajuan usaha, keberlanjutan usaha.
ABSTRACT Small industries potentially could contribute to national development. They do not only enhance the economic growth, potential to export, or improve the gross domestic product; they can also promote sustainable employment and income for the working poor. Although small industries have strategic role in development, but there are still many problems faced by craftsmen especially related to quality of human resources that needs improvement. The objectives of this study was intended to formulate the model of craftsmen empowerment through determining: the influencing factors of entrepreneurial behavior, business interdependency, business progress, and business sustainability. This study was conducted the craftsmen of leather goods at Sidoarjo regency and Magetan Regency, East Java. Sample taken with stratified random sampling method. Survey and interview technique were implemented among 260 craftsmen, started April 2005 until Pebruari 2006. Data was analyzed by using descriptive statistic, one way anova test, and structural equation modeling. The results indicated that the craftsmen had a low level of entrepreneurial behavior, business interdependency, business progress, and business sustainability. The entrepreneurial behavior was influenced by individual quality and environment intervention. Especially, the business interdependency was influenced by entrepreneurial behavior, individual quality, and environment intervention. The business progress was influenced by entrepreneurial behavior and business interdependency. Finally, business sustainability was influenced by the business progress. This study suggests a model of craftsmen empowerment with entrepreneurial behavior and business interdependency improvement in order to business progress and business sustainability. Key words: the level of craftsmen empowerment, entrepreneurial behavior, business interdependency, business progress, and business sustainability.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEBERDAYAAN, KEMAJUAN, DAN KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN : KASUS KABUPATEN SIDOARJO DAN KABUPATEN MAGETAN PROVINSI JAWA TIMUR
Hamidah Nayati Utami
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Keberdayaan, Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin: Kasus Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Hamidah Nayati Utami
Nomor Pokok
: P 061020021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. H. Sumardjo, MS. Ketua
Prof. Dr. H. Pang S. Asngari Anggota
Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc.
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.
Tanggal Ujian: 24 Nopember 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha besar yang menguasai alam semesta ini, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi berjudul “Keberdayaan, Kemajuan, dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin: Kasus di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur” ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan kehadapan: Bapak Dr. Ir. H. Sumardjo, MS, Bapak Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Bapak Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan dan dukungan yang tidak terhingga sehingga penulis dapat melewati tahapan studi S3 hingga terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kehadapan: Bapak Dr.Amri Jahi, MSc. selaku ketua program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak memberi masukan dalam ujian tertutup dan penyempurnaan disertasi ini, Bapak. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA selaku penguji luar pada ujian tertutup yang telah banyak memberi masukan kepada penulis. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada Bapak Dr.Ir.Muhammad Taufik, MSc. Deputy SDM Kementerian Koperasi dan UKM dan Bapak Prof.Dr.Ravik Karsidi, MS staf pengajar Pascasarjana UNS Surakarta yang telah berkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka. Penyelesaian Disertasi ini tidak lepas dari dukungan dan pengorbanan yang sangat besar dari suami penulis, Ir. Sandra, MP yang juga sedang berjuang menyelesaikan disertasinya pada program studi Keteknikan Pertanian SPS IPB. Penulis juga mendapat semangat yang sangat besar dari ananda Nisrin Naziha Isma (6 tahun) dan ananda Ahmad Humam Isma (1 bulan). Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih kepada ibunda Hj. Siti Maratusholihah yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis dan Ayahanda Drs.H.M.Koestoer (alm) yang selalu menjadi semangat dalam hidup penulis. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada ibu mertua yang turut memberi dukungan kepada penulis, seluruh keluarga besar di Jawa Timur dan Sumatera Barat yang telah banyak memberi perhatian kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh pengrajin di Sidoarjo dan Magetan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk wawancara dan berdiskusi di sela-sela kesibukan usaha kerajinannya, pada para pengrajin ini saya banyak belajar tentang kehidupan dan usaha. Kepada pimpinan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya penulis sampaikan ucapan terima kasih atas ijin studi, dukungan moril, dan bantuan materiil yang diberikan kepada penulis. Kepada seluruh dosen di PPN penulis ucapkan terima kasih karena telah banyak memberikan pengalaman belajar selama studi di IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para guru penulis di SD, SMP, dan SMA di Lamongan, serta seluruh Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman di PPN SPS IPB, Direktorat Apneg Bappenas, IKBUA, dan semua pihak yang banyak memberikan dukungan kepada penulis. Harapan penulis semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, pada 17 Nopember 1972 sebagai putri kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak Drs.H.M.Koestoer (alm) dan Ibu Hj. Siti Maratusholihah. Pada Tahun 1994 penulis lulus sebagai Sarjana Ilmu Administrasi pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, Jurusan Administrasi Bisnis. Pada Tahun 1995 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Program Studi Ilmu Administrasi dan lulus pada Tahun 1997. Studi S3 pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan mulai ditempuh pada Tahun Ajaran 2002/2003. Sejak Tahun 1996 penulis bertugas sebagai dosen di Jurusan Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Tulisan ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah selama lima tahun terakhir adalah Pengaruh Jaringan Sosial terhadap Penetapan Harga pada Pedagang Asongan (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial- Unibraw, 2003), Bentuk Penerapan Strategi Pemasaran On Line pada Sektor Pariwisata (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial-Unibraw, 2005), Paradigma dan Revolusi Sains, Merefleksikan Pemikiran Thomas Kuhn dalam Ilmu Administrasi (Jurnal Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Adminsitrasi Unibraw, 2005), dan Perilaku Wirausaha Masyarakat Pesisir dalam Pengembangan Industri Pariwisata Bahari (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial- Unibraw, 2006).
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Masalah Penelitian ....................................................................................... 4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6 Manfaat Hasil Penelitian ............................................................................... 6 Definisi Istilah ............................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga ..................................................... Konsep Pengrajin ......................................................................................... Karakteristik Individu Pengrajin .................................................................. Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan ........................................................... Potensi Industri Kecil terhadap Pertumbuhan Ekonomi .............................. Pembangunan Industri Kecil Berkelanjutan ................................................ Keberdayaan Masyarakat Pengrajin............................................................. Peranan Penyuluhan dalam Memberdayakan Pengrajin .............................. Faktor Perilaku dalam Konteks Keberdayaan .............................................. Perubahan Perilaku Melalui Proses Belajar .................................................
9 9 10 12 21 22 25 27 29 33 37
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................ Kerangka Berpikir........................................................................................ Perkembangan Paradigma Pemberdayaan .............................................. Model Pemberdayaan bagi Pengrajin .................................................... Konsep Perilaku Wirausaha .................................................................... Konsep Kemandirian Usaha.................................................................... Konsep Keberdayaan Pengrajin .............................................................. Konsep Kemajuan Usaha ........................................................................ Konsep Keberlanjutan Usaha.................................................................. Hipotesis Penelitian .....................................................................................
40 40 42 44 48 52 54 57 60 62
METODE PENELITIAN................................................................................ Populasi dan Sampel .................................................................................... Rancangan Penelitian ................................................................................... Data dan Instrumentasi ................................................................................ Data .......................................................................................................... Instrumentasi ............................................................................................ Uji Validitas ............................................................................................. Uji Reliabilitas ......................................................................................... Pengumpulan Data ....................................................................................... Analisis Data ...............................................................................................
63 63 64 64 64 76 76 77 78 79
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ Karakteristik Individu Pengrajin .................................................................. Faktor Pendukung Usaha ............................................................................. Faktor Lingkungan ....................................................................................... Gambaran Perilaku Wirausaha Pengrajin .................................................... Tingkat Kemandirian Usaha ........................................................................ Tingkat Kemajuan Usaha ............................................................................. Tingkat Keberlanjutan Usaha ...................................................................... Perbedaan Perilaku Wirausaha, Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha......... Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha.............................. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha ............................. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemajuan Usaha.................................. Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Usaha ........................... Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin ................................ Visi, Misi, dan Strategi Pengembangan Industri Kecil ............................... Model Pemberdayaan Pengrajin .................................................................
87 94 101 104 107 113 120 123 126 129 140 150 154 157 162 169
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................ 194 Saran ........................................................................................................... 195 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
197
LAMPIRAN………………………………………………………………...
203
DAFTAR TABEL
4.
Halaman Sintesa Model Intervensi untuk Komunitas Pengrajin ……...................... 45 Pokok-pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Pembangunan Penunjang........................................................................................................ 46 Kualitas Perilaku Wirausaha ............................................................................ 51 Paradigma Kemandirian Usaha ........................................................................ 55
5.
Karakteristik Masyarakat Berdaya ................................................................... 56
6. 7.
Paradigma Kemajuan Usaha ............................................................................ 59 Tingkat Keberlanjutan Usaha ........................................................................... 61
8.
Kerangka Sampel Penelitian ............................................................................ 64
1. 2. 3.
9.
Peubah Karakteristik Individu Pengrajin ......................................................... 66 10. Peubah Pendukung Usaha 68 11. Peubah Lingkungan .......................................................................................... 69 12. Peubah Perilaku Wirausaha.............................................................................. 71 13. Peubah Kemandirian Usaha ............................................................................. 72 14. Peubah Kemajuan Usaha .................................................................................. 74 15. Peubah Keberlanjutan Usaha ........................................................................... 76 16. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ................................ 78 17. Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran............................................ 82 18. Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo .................................................................... 87 19. Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan ......................................................... 89 20. Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola ........................ 90 21. Sebaran Responden Menurut Umur ................................................................ 91 22. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha ....................................... 92 23. Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga ....................................... 92 24. Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan Sidoarjo ..... 93 25. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu ....................................... 95 26. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha dan Pemenuhan Kebutuhan ..................................................................................... 97 27. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga dan Motivasi Berusaha ............................................................................................ 98 28. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Komunikasi dan Pendidikan ........................................................................................................
99 29. Distribusi Persen tase Responden Pengrajin menurut Gender dan Kemandirian Produksi ......................................................................................100 30. Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha ...............................102 31. Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha ..........................105 32. Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha ...........................................107 33. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha .............................114 34. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha................................ 121 35. Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha ...........................123 36. Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova ...................................127 37. Ringkasan Hasil Uji Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha .........................................................................................................129 38. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha ..............................................................................135 39. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Tingkat kemandirian usaha ............................................................................................140 40. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kemajuan Usaha ................................................................................................................150 41. Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha ..........155 42. Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan pengrajin ................................173 43. Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan.......................................................180 44. Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha ................................ 181
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)……………………...... 32
2.
Model Dasar Perilaku (Gibson, Ivancevich dan Doonely, 1995) .................... 34
3.
Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku dalam ......................... 36
4.
Elemen-elemen yang Membentuk Perilaku Wirausaha (Bird, 1996) .............. 37
5.
Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengrajin ................................................... 40
6.
Hubungan Antar Peubah Penelitian ................................................................ 41
7. 8.
Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974) .............................................................................................. 47 Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Satu ............... 80
9.
Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Dua ............... 80
10.
Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Tiga............... 81
11.
13.
Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Empat............ 81 Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan Pengrajin Menuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha ....................................... 85 Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur ........... 88
14.
Tingkat Keinovatifan .......................................................................................108
15.
Tingkat Inisiatif ................................................................................................109
16.
Tingkat Pengelolaan Resiko.............................................................................111
17.
Tingkat Daya Saing..........................................................................................112
18.
Tingkat Kemandirian Permodalan ...................................................................115
19
Tingkat Kemandirian Proses Produksi.............................................................116
20.
Tingkat Kemandirian Kerjasama .....................................................................117
21.
Tingkat Kemandirian Pemasaran .....................................................................119
22.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha ................................130
23.
Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha .......131
24. 25.
Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadap 135 Perilaku Wirausaha .......................................................................................... Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku Wirausaha......138
26.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung Tingkat Kemandirian Usaha ......141
27.
Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian 142 Usaha................................................................................................................
12.
28.
31.
Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian 144 Usaha ................................................................................................................ Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian 147 Usaha................................................................................................................ Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan Tingkat Kemandirian Usaha.......148 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha ......................................151
32.
Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha.............................155
33.
Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin .....................................158
34.
Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo ......................................................160
35.
Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan......................................................161
36.
Model Pemberdayaan Pengrajin ......................................................................170
37.
Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk Pengrajin 178
29. 30.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Analisis SEM Total ............................................................................. 203 2. Hasil Analisis SEM Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan 206 3. Hasil Uji Beda Rata-rata One way Anova ................................................... 207
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan terencana dari satu situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik. Pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan pengembangan sumberdaya manusia berakibat pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang kurang mendapat sentuhan pembangunan menjadi tidak kuat dan goyah ketika dihadapkan pada situasi krisis. Mereka yang bergantung pada industri-industri besar menjadi terhempas ketika industri besar tersebut jatuh. Pemutusan hubungan kerja (akibat penciutan usaha atau kepailitan) pada industri sering berdampak pada terjadinya pengangguran karena tenaga kerja tidak terserap dalam pasar kerja tidak terelakkan. Industri kecil merupakan salah satu soko guru perekonomian yang turut mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi karena dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar (padat karya). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri kecil meningkat tajam sejak tahun 1985 dengan laju pertumbuhan tenaga kerja 6,4% per tahun. Pada tahun 1989 jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini berjumlah 7.334.874 orang dan pada akhir tahun 2003 mencapai 11.643.072 orang (BPS, 2004) Selain menyerap tenaga kerja, industri kecil menjadi penyumbang pendapatan asli daerah yang signifikan. Pada beberapa jenis produk, hasil produksi industri kecil di bidang pangan, sandang, kulit, kimia dan bahan bangunan, kerajinan dan umum prospektif untuk ekspor (Hubeis, 1997). Oleh karena itu, dalam rangka otonomi daerah pemerintah memberikan perhatian yang lebih optimal guna meningkatkan produktivitas sektor ini.
Pemerintah telah
melakukan upaya pembangunan industri kecil dalam jangka waktu puluhan tahun, namun apabila dilihat fakta yang ada kondisi pengrajinnya masih banyak yang belum mengalami kemajuan. Kondisi pengrajin pada saat ini sebagian besar masih seperti pada saat orang tua atau sanak kerabatnya memulai usaha itu puluhan tahun yang lalu.
Upaya menjalin kerjasama dengan individu lain terutama yang terkait dengan bidang usaha, meliputi pemasok barang, pemodal, pelanggan atau mitra usaha lainnya masih lemah. Terdapat beberapa faktor penyebab lemahnya kemampuan kerjasama ini. Beberapa diantaranya adalah kemampuan komunikasi, pengetahuan tentang kerjasama itu sendiri, upaya subordinasi dan dominasi elit bisnis (pemodal, pemasok barang, distributor), dan yang paling utama adalah rasa percaya diri yang masih rendah (Wijaya, 2001; Karsidi, 1999; Tawardi, 1999). Karsidi (1999) menemukan bahwa permasalahan utama yang menghambat peningkatan kesejahteraan pengrajin adalah pola hidup mereka
yang masih
tradisional, mereka cepat puas, kurang tanggap terhadap peluang, dan kurang memiliki kemampuan. Selain itu, para pengrajin industri kecil masih belum siap dan mereka memiliki latar belakang pendidikan yang kurang. Oleh karena itu, kompetensi pengrajin perlu dikembangkan dengan kegiatan penyuluhan yang dirancang sesuai dengan kelompok jabatan: buruh pengrajin, pengrajin dan pengusaha pengrajin. Pelham (1999) menemukan bahwasanya industri kecil masih lemah dalam hal
perencanaan,
pemikiran
strategis
dan
orientrasi
jangka
panjang.
Kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek mengakibatkan mereka tidak melakukan perencanaan ke depan tentang pasar, pengelolaan keuangan, atau persediaan sumber daya yang dibutuhkan. Kurang dari 50% pengusaha industri kecil yang secara rutin dan berkelanjutan mengumpulkan infromasi tentang pertumbuhan pasar atau segmen pasar. Selain itu, pengrajin masih belum memposisikan diri sebagai wirausaha yang berkualitas, kreativitas menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan belum dipenuhi dengan optimal dan masih bersifat subsisten menjadikan kualitas perilakunya masih rendah (Megginson et al., 2000, Sigito 2001, Tawardi, 1999). Ismawan (2002) mencatat beberapa keterbatasan yang dijumpai pengrajin yaitu: (1) manajemen, pengelolaan keuangan, keberlanjutan lembaga dan semacamnya; (2) scope dan skala ekonomi yang terbatas dan tidak dapat dengan mudah serta cepat dikembangkan karena keterbatasan akses pelayanan keuangan, informasi, dan pasar; dan (3) lingkungan usaha yang kurang fair, adil,
diskriminatif, kurang jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan main yang ada. Permasalahan lain yang dihadapi pengrajin adalah bahwasanya industri kerajinan sangat dipengaruhi oleh perkembangan mode. Oleh karena itu, permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas dan inovasi produk yang tinggi pula. Kenyataan yang ada menunjukkan variasi produk sangat monoton, sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen (Sigito, 2001). Selain itu, tingkat disiplin pengrajin juga kurang sehingga sering target tidak dapat dipenuhi. Tingginya persaingan dalam industri kerajinan menuntut
ketrampilan
pengrajin
untuk
membaca
peluang
pasar
dan
mengembangkan daerah pemasaran. Perkembangan strategi penjualan produk juga tampaknya perlu dikuasai oleh pengrajin. Berdasarkan pendapat tersebut maka permasalahan industri kecil dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) Kapasitas, permasalahan yang terkait dengan rendahnya kapasitas pengrajin dalam hal: perencanaan, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, keberlanjutan usaha, pertumbuhan skala ekonomi. (2) Akses, keterbatasan akses terutama dalam hal akses pada pelayanan keuangan, informasi, dan pasar. (3) Lingkungan, rendahnya keberpihakan lingkungan terutama pemerintah dalam memberikan pembinaan terhadap industri kecil, regulasi terhadap arus produk pesaing dari luar negeri, dan regulasi lainnya yang fair, adil, tidak diskriminatif, jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan main yang ada. Menyadari kenyataan yang ada, maka pada masa mendatang diperlukan adanya suatu model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan pengrajin sehingga mampu berkolaborasi dengan pengrajin dan pendukung usaha lainnya (stakeholder). Selain itu, agar pengrajin yang telah ada mampu mengembangkan skala usahanya. Pemberdayaan ini tidak terlepas dari upaya yang ditujukan untuk menempatkan pengrajin menjadi subyek pembangunan, serta menempatkan sumber daya manusia pengrajin sebagai komponen utama dalam
pembangunan industri kecil sehingga pengrajin mampu mandiri menghadapi persaingan usaha.
Masalah Penelitian Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah menimbulkan kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap industri kecil selama ini kurang banyak manfaatnya. Kurang berhasilnya kebijakan dan program pengembangan industri kecil di Indonesia disebabkan antara lain oleh: adanya tumpang tindih dalam program dan populasi sasaran serta pendekatan yang tidak terkoordinasi dan tidak konsisten. Akibatnya, mereka sering menjadi obyek pembangunan, tergantung, dan tidak mandiri. Berdasarkan hasil analisis Pardede (2000) diketahui bahwa kebijakan pemerintah dalam membangun industri kecil
lebih menekankan pada upaya meningkatkan
produktivitas dan kurang menyentuh aspek peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM pengrajin adalah sasaran yang seharusnya menjadi tujuan pembangunan industri kecil, sehingga dengan SDM yang berkualitas akan dapat membawa pengrajin ke arah keberlanjutan dan kemajuan usaha, dan keberhasilan pembangunan industri kecil dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat industri kecil. Menurut Megginson, Byrd dan Magginson (2000), berbagai penelitian telah berhasil memetakan permasalahan industri kecil namun aspek perilaku belum mendapat perhatian khusus. Pada saat ini gaya hidup pengrajin industri kecil pada umumnya masih berada dalam gaya hidup transisi (pre modern), sebab untuk mencapai kemandirian perlu diubah menjadi gaya hidup modern, kegiatan industrialisasi menjadi dominan (Karsidi, 1999). Sebagai seorang wirausaha pengrajin industri kecil masih belum mempunyai sifat tanggap terhadap peluang usaha. Hal ini apabila dikaitkan dengan sifat perilaku wirausaha yang berhasil adalah bersifat opportunistis (Bird, 1989). Sebagai salah satu contoh yang terjadi pada industri kecil tas dan sepatu yang seringkali tidak dapat merespon dengan baik penawaran yang diberikan oleh pasar berupa pesanan tas dan sepatu, pesanan tidak diselesaikan tepat waktu, kualitas menjadi menurun karena jumlah pesanan banyak dan sebagainya sehingga pasar
tidak puas. Sifat kurang tanggap ini juga terkait dengan pengambilan keputusan yang lambat dari pengusaha industri kecil. Industri kecil dari bahan kulit adalah industri yang terkait dengan mode, yakni mode akan berjalan sesuai dengan trend. Kejenuhan pasar akan terjadi pada saat industri kecil tidak mampu menghasilkan kreasi yang sesuai dengan trend yang ada. Kreativitas pengrajin tas dan koper di Sidoarjo untuk mengikuti trend yang dibutuhkan pasar adalah masih rendah (Sigito, 2001). Perilaku pengrajin industri kecil sekarang ini masih belum kondusif. Berdasarkan penelitian Tawardi (1999) ditemukan bahwa: (1) orientasi hidup pengusaha kecil masih untuk memenuhi keperluan hari ini, (2) kadang-kadang merasa rendah diri karena ekonomi lemah, dan (3) percaya diri terlalu tinggi sehingga merasa mutu produknya lebih baik dibanding orang lain. Perkembangan teknologi yang cepat dalam proses produksi akan menunjang kualitas produk dan ketepatan waktu pengerjaan. Mengingat karakteristik produk kerajinan barang dari bahan kulit terkait dengan selera, maka sangat dibutuhkan peralatan yang bisa menghasilkan produk yang berkualitas, misalnya jenis mesin jahit, jarum, alat pengguntingan, pengepresan dan sebagainya. Kondisi yang dihadapi sebagian besar industri kecil kerajinan barang dari bahan kulit kurang bisa merespon perubahan selera konsumen dan perubahan teknologi dengan cepat. Apabila dikaji lebih mendalam permasalahan yang dihadapi industri kecil ini adalah perilaku pengrajinnya yang sedang dituntut berubah. Aspek perilaku wirausaha terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pengrajin industri kecil masih belum kondusif. Berdasarkan latar belakang penelitian, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin? (2) Faktor-faktor manakah yang berpengaruh terhadap kualitas perilaku wirausaha para pelaku industri kecil? (3) Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil? (4) Faktor-faktor manakah yang cenderung lebih menentukan kemajuan usaha? (5) Faktor-faktor manakah yang lebih menentukan keberlanjutan usaha?
(6) Bagaimana model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha? Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah-masalah yang telah disebutkan, maka secara umum tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Mendapatkan gambaran tentang perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin. (2) Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perilaku wirausaha para pelaku industri kecil. (3) Menjelaskan faktor-faktor penentu tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil. (4) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan kemajuan usaha para pelaku industri kecil. (5) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha para pelaku industri kecil. (6) Merumuskan model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha. Manfaat Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan se cara ilmiah dan secara praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: (1) Bagi perkembangan ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap: Pengembangan model intervensi terhadap komunitas pengrajin. Pengembangan paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin. Pengembangan konsep perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin. Peningkatan kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha industri kecil. (2) Bagi pembangunan industri kecil, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program pemberdayaan pengrajin.
Definisi Istilah (1) Industri kerajinan adalah aktivitas usaha di tingkat rumah tangga yang mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah perusahaan/usaha yang memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak. (2) Pengrajin adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual untuk memenuhi nafkah hidupnya yang memiliki kemampuan menjalankan aktivitas di bidang produksi dan perdagangan. (3) Karakteristik individu pengrajin adalah ciri-ciri yang melekat pada individu pelaku kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. (4) Faktor pendukung usaha adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor yang sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang bermutu. (5) Dukungan lingkungan adalah individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin. (6) Keberdayaan pengrajin adalah daya yang dimiliki pelaku kegiatan usaha kerajinan yang ditekankan pada perilaku wirausaha (yang tercermin pada sifat inovatif, memiliki inisiatif atas usahanya, mampu mengelola resiko, berdaya saing) dan kemandirian dalam kegiatan usahanya (permodalan, produksi, kerjasama dan pemasaran).
(7) Perilaku wirausaha adalah aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. (8) Kemandirian usaha adalah kemampuan pelaku usaha kerajinan dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan terbesar bersama. (9) Kemajuan usaha pengrajin adalah kondisi perkembangan aktivitas di bidang kerajinan dalam bentuk penjualan, keuntungan dan pangsa pasar yang diperoleh pengrajin. (10) Keberlanjutan usaha adalah aktivitas dan sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen secara terus menerus dari masa ke masa. (11) Pemberdayaan
pengrajin
adalah
proses
pembelajaran
yang
berkesinambungan yang ditujukan untuk mengembangkan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga Atribut “kecil” pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam berbagai konteks dan lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan interpretasi bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan atau pengalaman negara lain dalam pengembangan industri kecil. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefinisikan industri kecil berdasarkan asset dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Kriteria industri kecil yang ditetapkan oleh Undangundang Usaha Kecil No. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milliar dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Konsep usaha kecil menurut Kamar Dagang dan Industri (KADIN) adalah sektor usaha yang memiliki asset maksimal Rp.250 juta, tenaga kerja paling banyak tiga orang dan nilai penjualan di bawah Rp.100 juta perbulan. BPS (1995) membagi empat kriteria tentang industri: (1) industri kerajinan dan rumah tangga yaitu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang, (2) industri kecil yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 5-19, (3) industri sedang atau menengah yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang, dan (4) industri besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang. Apabila dilihat dari sifat dan bentuknya, menurut Haeruman (2001), industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu me-ngembangkan sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology) agar dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, pengertian industri kerajinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada industri rumah tangga yang mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang termasuk dalam kategori tersebut jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.
Konsep Pengrajin Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengrajin = perajin adalah subyek melakukan suatu kegiatan yang menghasilkan kerajinan. Kata “kerajinan” menurut ilmu asal usul bahasa adalah berasal dari kata dasar “rajin” yang mendapat imbuhan ke-an, menunjuk kata benda yang dihasilkan melalui proses yang membutuhkan sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif dari pembuatnya. Jadi pengrajin adalah orang yang bekerja membuat barang kerajinan yang memiliki sifat-sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif. Karsidi (1999) membagi tiga jabatan pengrajin yaitu : (1) tenaga kerja terampil industri kecil, (2) pengrajin industri kecil, dan (3) pengrajin pengusaha industri kecil. Wijaya (2001) menemukan pengelompokan pengrajin dalam industri kerajinan seni ukir dalam tiga kelompok yaitu: (1) buruh pengrajin atau yang tergolong semi terampil dalam kegiatan produksi, (2) pengrajin yang tergolong terampil dalam kegiatan produksi, dan (3) pengusaha hiasan seni ukir yang keterampilan dalam kegiatan produksi dan perdagangan. Sigito (2001) menemukan dua kelompok pengrajin di Industri Kecil Tas yaitu: (1) pengrajin sekaligus pedagang dan (2) pengrajin tukang. Nadvi dan Barientoss (2004) mengelompokkan pekerja sektor industri kecil menjadi tiga yaitu: (1) small producers, yang memiliki buruh, beberapa asset dan memiliki keuntungan kecil tetapi rentan terhadap kebangkrutan; (2) subcontractor, orang-orang yang tergantung pada broker (middle man) yang menghubungkan ke pasar, bahan baku dan kredit, mereka memiliki pendapatan
yang rendah; dan (3) homeworker and casual day labourer, yang memiliki pendapatan sangat rendah yaitu 1 dollar per hari. Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep pengrajin dalam penelitian ini adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang memiliki ketrampilan produksi dan perdagangan. Kelompok ini memiliki fungsi-fungsi usaha yang masih sangat sederhana dan masih terikat dengan middle man atau menjadi subkontrak (Wijaya, 2001; Sigito, 2001) dalam mengakses pasar, bahan baku dan kredit sehingga perlu dikembangkan kemandirian usahanya. Aspek informalitas, masih banyak ditemui di kalangan pengrajin. Meskipun terdapat beberapa industri kecil yang memiliki badan hukum, namun sebagian besar pelaku bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) yang ada. Informalitas Industri kecil ini menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal. Ketidakformalan industri kecil dapat membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlanjutan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktifitas industri kecil. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor industri kecil menjadi sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktifitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya; sebaliknya, apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki posisi pengrajin yang lebih banyak memilih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Sebagaimana digambarkan oleh Getz (2005) yang menggambarkan pengrajin dan pengusaha kecil sebagai seorang seniman, wirausahawan yang bergaya hidup (lifestyle entrepreneur), usahanya dikelola secara kekeluargaan. Para pengrajin ini sering diasumsikan sebagai pihak yang menolak resiko atas usahanya karena mereka
lebih memprioritaskan keselamatan keluarga daripada meningkatkan pertumbuhan usahanya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengrajin merasa nyaman dengan kondisi saat ini dan kurang senang menghadapi tantangan demi kemajuan usahanya. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengarahkan pengrajin pada peningkatan daya saing dan kualitas usahanya. Sebagaimana hasil penelitian Getz (2005) yang menemukan adanya kelompok wirausahawan yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Kelompok ini akan diarahkan untuk memaksimumkan daya saing, meningkatkan kualitas dan nilai tambah. Selain itu, ada kelompok wirausahawan yang berorientasi pada laba dan pertumbuhan (profit and growth) akan diarahkan pada peningkatan inovasi produk dan pemasaran.
Karakteristik Individu Pengrajin Kegiatan usaha kerajinan digerakkan oleh individu yang sebagian besar adalah pemilik usaha tersebut. Pengrajin tersebut selain sebagai pemilik usaha, tenaga produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar. Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka perlu mendapatkan pengetahuan yang lebih dari pada seorang manajer yang spesialis dalam bidangbidang tertentu sesuai dengan fungsinya. Konteks individu menjadi pembahasan yang menarik dalam berbagai riset tentang SDM, dengan karakteristik yang bersifat multiple, terkait dengan interaksi sosial yang didasarkan pada aspek-aspek kondisi genetik dan lingkungan prenatal (seperti karaktersitik biologis, neurologist, dan fisiologis) (Salkind, 1989). Haber dan Reichel (2006) mengukur SDM pengusaha kecil berdasarkan: tingkat pendidikan, pengalaman dan ketrampilan. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kinerja usaha kecil, serta pengalaman usaha menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan kesuksesan penguatan jejaring. Sedangkan ketrampilan managemen pengusaha sangat kondusif bagi kinerja dan pertumbuhan usaha. Stewart Jr et al. (1998) memfokuskan penelitiannya pada individu wirausahawan yang didasarkan pada teori-teori psikologi. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor-faktor individu yaitu: umur, pendidikan, gender,
suku (race). Faktor individu tersebut
menjadi faktor penentu keberhasilan
kegiatan kewirausahaan. Adapun kegiatan kewirausahaan tersebut diawali dari perumusan tujuan, pembentukan usaha, perencanaan strategis sampai dengan dihasilkannya kinerja. Dalam konteks wirausaha, menururt Bird (1996), faktor individu wirausaha merupakan individu yang menjalankan usaha, faktor-faktor yang ada pada individu tersebut adalah: (1) karakteristik biologis meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, (2) latar belakang wirausaha yaitu: pengalaman usaha, alasan berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga, dan (3) motivasi. Stewart Jr (1998) menemukan bahwa faktor kepribadian memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan usaha seorang wirausahawan. Meskipun faktor sosial dan faktor situational merupakan komponen yang terintegrasi dalam proses kewirausaahan, tetapi tidak semua wirausahawan mampu mengkombinasikan kedua komponen tersebut, sebab masih ada satu faktor lain yang cukup penting bagi pengembangan proses kewirausahaan yaitu faktor kepribadian wirausahwan tersebut. Menurut Sen (Nadvi dan Barientoss (2004)), kemampuan dan kesungguhan individu berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Sen cenderung mendefinisikan kemiskinan sebagai deprivasi terhadap kemampuan individu daripada rendahnya pendapatan. Oleh karena itu, untuk memberdayakan masyarakat miskin perlu ditingkatkan kemampuan individu terlebih dahulu yang kemudian akan mendorong peningkatan pendapatan secara berkelanjutan. Berdasarkan pendapat di atas, maka faktor individu adalah ciri-ciri yang melekat pada pribadi pengrajin yang membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. Menurut Rakhmat (2001) faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap sesuatu obyek tertentu, maka karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui. Azwar (2003), menyebutkan bahwa karakteristik individu meliputi variabel sepert motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling
berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Umur Pada usaha pertanian, umur petani akan sejalan dengan pengalaman dan pengetahuannya sesuai dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikisnya. Petani yang lebih tua tampaknya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada kesan mereka relatif kurang responsif atau lambat. Sebenarnya bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan, tapi mereka mungkin punya pertimbangan praktis seperti kesehatan, kekuatan fisik yang kurang mengizinkan, atau ingin menikmati masa tua mereka (Soekartawi, 1988). Robbins (1996) memberikan pendapat tentang efek yang ditimbulkan oleh usia pada pergantian karyawan, kemangkiran, produktivitas dan kepuasan. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa: (1) makin tua seseorang maka makin kecil kemungkinannya berhenti dari pekerjaan, (2) usia memiliki hubungan terbalik dengan kemangkiran, orang dengan usia yang lebih tua memiliki kemampuan yang lebih tinggi dengan masuk kerja yang lebih teratur, (3) tidak terbukti bahwasanya semakin tua usia maka produktivitas semakin menurun akibat menurunnya kecekatan, kecepatan, kekuatan dan koordinasi, jika ada penuruan karena usia, maka akan diimbangi dengan pengalaman, (4) pada individu yang profesional kepuasan cenderung meningkat dengan meningkatnya usia, pada individu yang non profesional kepuasan cenderung menurun dengan meningkatnya usia pada setengah baya dan akan naik lagi pada tahun-tahun berikutnya. Bird (2001) mencatat beberapa hasil penelitian tentang usia wirausahawan yaitu: (1) kronologis umur memulai usaha berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang, wirausahawan muda akan memiliki karir yang lebih lama, (2) terdapat usia-usia tertentu yang dianggap sebagai titik tumpu untuk memulai usaha yang akan berkontribusi terhadap motivasi untuk benar-benar akan memulai usaha, (3) semakin awal seseorang me-mulai karir wirausaha, semakin lama mereka akan tinggal di dalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) tentang keberhasilan usaha kecil menengah di Thailand juga menemukan adanya
hubungan yang positif dan memimiliki signifikansi tinggi antara umur dengan keberhasilan usaha kecil. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, umur mempengaruhi perilaku pengrajin dalam melaksanakan aktivitas usaha dan dalam konteks usaha kecil umur mempunyai pengaruh positif terhadap kemajuan usaha. Pendidikan Pendidikan, baik formal maupun non formal adalah sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Bird (2001) mengumpulkan beberapa fakta yang menyatakan bahwa pendidikan adalah penting bagi kebanyakan wirausahawan sehingga upaya pengembangan kompetensi melalui pendidikan penting untuk keberhasilan usaha. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan semakin lama tahun menempuh pendidikan maka semakin besar kesuksesan yang dapat diraih. Pendidikan formal ditujukan untuk memperkuat dan mendorong kreatifitas, keingintahuan (curiosity), open mindedness, dan ketrampilan yang bagus, hal tersebut berkontribusi terhadap keinovatian dan kemampuan mengelola sumberdaya dalam kehidupannya. Selain itu, pelatihan teknis penting bagi karir dan usaha yang menggunakan teknologi dan produksi yang maju. Pendidikan juga dapat mempengaruhi motivasi, pelatihan profesional dapat memperkuat nilai dan posisi karir yang mantap. Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya. Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Wirausahawan yang bekerja dengan pendidikan rendah dapat menghadapi kesulitan dalam memperoleh materi-materi pendidikan selanjutnya. Seringkali sulit untuk menentukan gaji seseorang yang berpendidikan lebih baik, lebih berpengalaman dan lebih pandai. Pendidikan yang diperoleh pada usia muda (sebagian besar wirausahawan tidak mau kembali sekolah formal) memiliki kontribusi yang penting terhadap kemampuan wirausahawan dan menunjang keberhasilan usaha karena lebih kritis dalam mengakses informasi. Tanggungan Keluarga Usaha kecil dilaksanakan dengan mengandalkan anggota keluarga. Menurut
Soekartawi
(1988)
anggota
keluarga
sering
dijadikan
bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan suatu inovasi. Konsekuensi penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga, mulai dari isteri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan (Azwar, 2003). Pengalaman Usaha Pengalaman berusaha perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena menentukan mudah tidaknya bagi wirausahawan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan biofisik, sosial ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan dan kompetensi, yang memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide usaha, sama pentingnya dengan nilai (value), kebutuhan (need) dan insentif. Hal-hal yang telah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah-satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Sehubungan dengan itu Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001). Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: (1) belajar dari pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan, (2) merefleksikan pengalaman dengan melibatkan ego, emosi dan asumsi untuk melihat apa yang akan terjadi, (3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan dilakukan, (4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan pengalaman usaha memiliki pengrauh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah. Jadi pengalaman usaha menjadi prediktor yang baik bagi pengambilan keputusan, keberhasilan usaha dan perilaku wirausahawan. Motivasi berusaha Semua kegiatan manusia selalu berhubungan dengan motivasi. Motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dan asi (action). Motif berarti dorongan, dan asi berarti usaha. Sehingga motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Setiap tindakan manusia, pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan atau motif ini ada di belakang setiap tindakan manusia.
Motif adanya di dalam tubuh manusia.
Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Motif ada dibelakang tindakan. Motif mendorong timbulnya tindakan.
Namun demikian, timbulnya motif bisa
dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Oleh karena itu kita mengenal dua bentuk motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan pada diri seseorang berasal dari kesadarannya sendiri. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan berasal dari luar atau orang lain (Padmowihardjo 2001).
Usaha yang dilakukan oleh seseorang karena adanya motivasi, dimana Luthans (Thoha, 1988) menyebutkan ada tiga unsur motif yang saling berinteraksi, yaitu kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goal). Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motivaasinya (motifnya), yakni semua unsur penggerak atau alasan-alasan dalam diri manusia yang menyebkan ia berperilaku tertentu (Gerungan, 1999 dan Thoha, 1988), seperti: kebutuhan, dorongan, keinginan dan aspirasi. Orang berusaha dalam situasi tertentu dapat dilihat dari pendekatan kognitif, yaitu: adanya kebutuhan, keinginan, hasrat, nilai, dan harapan serta pendekatan non kognitif, yaitu: pengaruh atau konsekuensi yang mengikutinya seperti hadiah dan hukuman (Kast dan Rozenzweig, 1995). Dikemukakan pula bahwa, motivasi dapat didekati dari dua dimensi, yaitu (1) apa yang menggerakkan orang (isi), teori isi berfokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi usaha seseorang, seperti kebutuhan internal atau kondisi eksternal, dan (2) bagaimana perilaku itu dihasilkan (proses), teori proses berfokus pada insentif, dorongan (drive), penguatan (reinvocement), dan harapan (expectations). Hiks dan Gullet (1996) mengemukakan bahwa, berbagai kebutuhan, keinginan, harapan yang terdapat di dalam diri seseorang dapat membentuk motivasi internal, sedangkan upah/gaji, keadaan kerja, penghargaan, tanggung jawab membentuk motivasi eksternal. Pemenuhan Kebutuhan Kebutuhan dalam teori motivasi Maslow merupakan hirarki kebutuhan (hierarchi of need), yaitu: kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan tersebut bisa dicapai secara bertahap tapi bisa juga melompat pada kebutuhan yang lebih tinggi (Thoha, 1988), sedangkan Aldefer mengenalkan tiga kelompok inti kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk berkembang (growth). Keberhasilan melakukan usaha agribisnis adalah suatu prestasi, demiian juga produktivitas adalah sebuah prestasi. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) dari McClelland juga merupakan suatu motif yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan budaya (McClelland, 1987) dan seseorang dikatakan
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain. Karakteristik orang-orang berprestasi tinggi adalah: suka mengambil resiko yang moderat, memerlukan umpan balik yang segera, lebih memperhitungkan keberhasilan,
dan
menyatu
dalam
tugas-tugasnya
(McClelland,
1987).
McClelland (1987) mengemukakan bahwa masyarakat yang memiliki n-Ach tinggi
menghasilkan wiraswatawan-wiraswastawan yang lebih giat, dan pada
gilirannya menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih pesat. Orang yang mempunyai n-Ach tinggi akan berprestasi lebih tinggi serta bekerja lebih efisien. Insentif dapat menjadi dorongan bagi pengrajin, seperti: perbandingan harga yang menguntungkan, pembagian hasil, tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli, dan penghargaan masyarakat terhadap prestasi (Mosher, 1987), motif mencari laba menurut Ricardo (McClelland, 1987), harapan untuk memperoleh penghargaan (keuangan) disebut juga insentir (Thoha, 1988).
Kast dan
Rosenzweig (1995) mengemukakan bahwa pekerjaan itu sendiri (yang benarbenar menarik, menguntungkan dan memuaskan) serta tanggung jawab pribadi terhadap pekerjaan itu dapat menjadi motivator. Informasi di atas memberi gambaran bahwa motivasi dapat membentuk upaya yang dilakukan seseorang, yang terdiri atas: (1) motif kebutuhan (needs), yakni
kebutuhan
akan
keberadaan
(exixtence),
kebutuhan
berhubungan
(relatedness), kebutuhan untuk berkembang (growth), dan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach), dan (2) motif dorongan, yakni dorongan karena adanya desakan atau rangsangan dari luar (eksternal). Komunikasi Pada
dasarnya
komunikasi
merupakan
proses
penyampaian
dan
penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti. Dalam komunikasi yang penting adalah pengertian bersama dari lambang-lambang tersebut, dan karena itu komunikasi merupakan proses sosial. Bila komunikasi itu berlangsung terusmenerus antara pengrajin dengan pihak lain, maka akan terjadi interaksi yaitu proses saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Terdapat beberapa hal yang terkait dengan kegiatan komunikasi diantaranya adalah: aksesibiltas terhadap sumber informasi dan sifat kosmopolitansi.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang pasif apalagi yang sekalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru (Lionberger, 1964). Menurut Lionberger (1964), golongan
yang inovatif, biasanya banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat,
sesama pengrajin, maupun dari lembaga-lembaga komersial
(pedagang). Berbeda dengan golongan inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (pengrajin) setempat, dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media masa. Menurut Mardikanto (1996), sifat kekosmopolitan adalah tingkat hubungannya dengan “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri.
Sifat
kekosmopolitan dicirikan oleh fekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media masa.
Bagi warga masyarakat yang relatif lebih
kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat. Tetapi, bagi yang lebih “localit” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa, dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya. Aspek Gender Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Berdasarkan Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000, Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Pada konteks pembangunan masyarakat pengrajin, diperlukan kesetaraan gender dalam seluruh aspek kegiatan usaha guna meningkatkan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hal ini dapat menunjang keberhasilan usaha kerajinan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil.
Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan Lingkungan merupakan suatu tempat dimana suatu unit usaha memulai atau menjalankan usahanya untuk meraih peluang dan kesempatan serta kemungkinan akan memperoleh ancaman dari pesaing. Menurut Kotler (1995), terdapat ada enam kekuatan utama yang membentuk lingkungan usaha yaitu : (1) Lingkungan demografi, misalnya: pertumbuhan penduduk, perubahan angka harapan hidup, adat istiadat, tingkat pendidikan, pola berumah tangga, perubahan dari satu mass market ke beberapa micromarkets. (2) Lingkungan ekonomi, kekuatan membeli konsumen dari sudut ekonomi akan dipengaruhi oleh: distribusi pendapatan, harga, tabungan, pinjaman, dan ketersediaan kredit. (3) Kondisi alam, perusahaan harus waspada terhadap kecenderungan kondisi : ketersediaan bahan mentah, kenaikan biaya sumber daya energi, kenaikan tingkat polusi serta perubahan peraturan pemerintah tentang proteksi lingkungan. (4) Lingkungan teknologi, kecenderungan teknologi berikut ini harus dicermati oleh perusahaan : pengakselerasian perubahan teknologi, kesempatan inovasi yang tidak terbatas, keanekaragaman anggaran riset dan develompent, peningkatan aturan perubahan teknologi. (5) Lingkungan politik, perkembangan lingkungan politik berpengaruh secara kuat terhadap keputusan pemasaran. Lingkungan ini terdiri dari hukum, lembaga pemerintah dan kelompok yang berkuasa. (6) Lingkungan budaya, kehidupan masyarakat tidak bisa terlepas dari kepercayaan, nilai dan norma-norma. Berikut ini beberapa karakteristik budaya yang ada dalam masyarakat : nilai-nilai kebudayaan murni yang memiliki persistensi yang tinggi, di dalam kebudayaan terdapat sub kebudayaan. Senada dengan enam kekuaatan tersebut, Badri et al, (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan yang penting dicermati pengusaha yaitu trend ekonomi, perubahan teknologi, kondisi politik, perubahan sosial, ketersediaan sumberdaya vital dan kekuatan kolektif konsumen dan supplier.
Haber dan Reichel (2006) menginventarisasi beberapa dukungan yang diperoleh dari lingkungan luar untuk kemajuan usaha kecil pada masa yang akan datang, yaitu: (1) bimbingan keuangan (financial assistance), usaha kecil biasanya memiliki keterbatasan dalam hal mengakses sumber pendanaan. Untuk itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan usaha pada jangka pendek, dan pada jangka panjang akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah; dan (2) bimbingan inkubator, diperlukan untuk memperkecil gap dalam keuangan dengan meningkatkan kualitas talenta wirausaha berbasis lokal dan pembangunan perusahaan berbasis kearifan lokal (indigenous companies). Secara singkat, Heizer dan Render (1993) menyebutkan variabel lingkungan usaha kecil meliputi: ekonomi, budaya. Teknologi, demografi dan hukumpolitik. Wirausahawan perlu melakukan kontak dengan lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Zhao dan Aram (1995), bahwasanya kontak personal antara wirausahawan dengan orang lain akan dapat memberi dua manfaat yaitu: (1) meningkatkan dukungan sosial, jaring pengaman (safety net) yang menghindarkan wirausahawan melanggar norma sosial dalam proses pengambilan resiko, (2) dapat menjadi alat untuk mengakses sumber daya lingkungan dan sebagai wadah untuk mewujudkan misi organisasi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka faktor lingkungan dalam penelitian didefinisikan sebagai individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.
Potensi Industri Kecil Kerajinan Industri kecil kerajinan merupakan salah satu alternatif usaha yang dipilih oleh masyarakat pada negara-negara berkembang disamping sektor pertanian. Di Indonesia, usaha kecil banyak ditekuni masyarakat di pedesaan dan di perkotaan dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga kerja, peralatan, metode, atau seni dan budaya lokal. Usaha kecil berbasis pada sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan secara partisipatif.
Industri kecil memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi goncangan
ekonomi.
Mardhuki
(APO,
2000)
menyatakan:
“massive
unemployment, falling unemployment benefits and other welfare transfers and scarcity of job opportunities in transition economies, have led to a growing movement towards self-employment and a small business creation.” Permasalahan di bidang ekonomi yang timbul akibat krisis mendorong manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri melalui kreasi di bidang usaha kecil. Selain itu, Nadvi dan Barientos (2004 mengemukakan bahwa terdapat banyak industri kecil pedesaaan dan pinggiran perkotaan (peri-urban) di Indonesia yaitu: kuningan dan perabot (furniture) mampu bertahan dalam kondisi krisis, bahkan industri ukiran dari Jepara yang didukung koperasi yang kuat dan jaringan pemasaran global tetap bertahan mengekspor produknya ke beberapa pasar luar negeri. Bahkan ketika kondisi krisis menyebabkan beberapa perusahaan besar mengurangi tenaga kerjanya, industrikecil ini masih mampu mempertahankan tenaga kerjanya dan tingkat upah mereka lebih baik daripada tingkat upah regional. Industri kecil memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan eknomi lokal maupun nasional. Belajar dari pengalaman China yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat cepat. Menurut Gibb dan Jun Li (2003), pada dua dekade terakhir pertumbuhan eknomi cina yang cepat diperoleh keberhasilan usaha kecil baik di pedesaan maupun perkotaan, usaha kecil tersebut diantaranya berupa, usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang dikenal dengan istilah Micro, Small and Medium-Sized Entreprisess (MSME), usaha kecil ini dikelola oleh masyarakat lokal dan dikontrol oleh pemerintah daerah. Di Indonesia, industri kecil dilaksanakan secara padat karya sehingga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Hal ini memberikan kontribusi terhadap permasalahan pengangguran. Dalam konteks pembangunan lokal, hal ini dapat menjadi sarana pemerataan kesejahteraan masyarakat baik sebagai penyedia tenaga di bidang produksi, penyedia input bahan baku atau penyedia jasa lainnya, sebagai efek dari munculnya usaha di tingkat lokal. Meskipun industri kecil
memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi, beberapa permasalahan masih banyak dihadapi oleh mereka. Pola kebijakan sosial ekonomi lokal dan nasional banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan konsep pembangunan internasional. Peningkatan penggunaan teknologi komunikasi telah memfasilitasi transfer pengetahuan dan ide-ide kepada dunia usaha secara cepat, tanpa ada batas skala nasional lagi. Trend model bisnis dan produk terbaru lebih mudah diadopsi dalam skala global. Kebijakan makro ekonomi memiliki peran terbesar bagi keberhasilan pembangunan industri kecil. Menurut Ismawan (2002), pergeseran orientasi pembangunan sudah mulai diarahkan untuk melihat industri kecil sebagai stakeholder penting yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth), dahulu industri besar menjadi lokomotif pembangunan berubah ke strategi pertumbuhan yang berbasis luas (broad based growth) atau yang oleh Bank Dunia disebut pertumbuhan yang berkualitas (the quality of growth). Dharmawan (2000) menyatakan bahwa istilah pertumbuhan masih memberi kesan adanya bias pengukuran kekayaan dan berkembangnya budaya korupsi. Apabila kebijakan makro telah dapat mengapresiasi sektor industri kecil maka akan tercipta lingkungan yang mendukung (enabling environment). Oleh kartena itu, upaya pengembangan kapasitas sektor industri kecil dan penyediaan berbagai akses yang dibutuhkan oleh sektor industri kecil dapat dilaksanakan. Pembinaan terhadap industri kecil telah dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi dan sebagainya. Diharapkan pembinaan dapat ditujukan untuk: (1) meningkatkan kemampuannya agar kuat dan tahan terhadap perubahan-perubahan ekonomi, (2) meningkatkan posisi tawamya (bargaining position) terhadap konsumen/pasar di dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, dan (3) meningkatkan motivasi untuk mencapai kemajuan berusaha di dalam wadah kebersamaan dalam bentuk koperasi. Dari beberapa kebijakan tersebut dapat dikritisi bahwa kebijakan pengembangan industri kecil di Indonesia masih perlu penekanan pada aspek pengembangan sumber daya manusianya. Kelemahan utamanya adalah aspek
sumber daya manusianya kurang mendapat sentuhan, khususnya berkaitan dengan kepribadian.
Pelatihan-pelatihan
maupun
insentif
yang
diberikan
perlu
mempertimbangkan aspek keberlanjutannya sehingga akan meningkatkan efektivitasnya. Peningkatan kapasitas sektor industri kecil hanya bisa dilaksanakan secara efektif manakala satu elemen kunci dimasukkan yaitu pendampingan yang berkelanjutan. akses pada pelayanan keuangan, informasi, dan pasar. Dalam hal akses terhadap pelayanan keuangan jelas kiranya pendekatan keuangan mikro menjadi jawaban yang efektif. Selain itu informasi dan pasar yang disediakan melalui berbagai pihak seringkali diluar kapasitas pengrajin untuk dapat mengapresiasi dan memenuhinya. Karena itu, akan lebih bijak apabila penyediaan akses informasi dan pasar dilakukan seiring dengan pengembangan kapasitasnya, kemitraan perlu dijadikan salah satu oroientasi kebijakan sehingga interdependesi pengrajin dapat tercapai.
Pembangunan Industri Kecil Berkelanjutan Pembangunan ialah suatu perubahan yang berguna menuju suatu system sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu negara (Rogers,1976). Pembangunan menurut Todaro (1998) diartikan sebagai proses perubahan dan pertumbuhan (change and growth) ke arah yang lebih baik dan berhubungan dengan masalah ekonomi, kelembagaan dan transformasi sosial. Banyak teori-teori pembangunan pada saat ini tidak mampu untuk menunjukkan arah yang pasti pembangunan itu sendiri, sehingga setiap bangsa mempunyai caracara sendiri untuk melaksanakan pembangunan tidak terkandung oleh salah satu teori pembangunan tertentu. Kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Sesuatu yang dimaksud kebutuhan sekarang, cara untuk dapat memenuhinya, dan cara agar pemenuhan kebutuhan masa datang tidak terganggu, merupakan permasalahan yang bisa berlainan dan beraneka untuk setiap tempat.
Menurut Serageldin (Setiana, 2001) pada tahap perkembangan berikutnya, para
pakar
mengidentifikasikan
tiga
pandangan
tentang
pembangunan
berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan yaitu: (1) pandangan dari sudut ekonomi yang meletakkan pusat perhatiannya pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam ketersediaan modal dan kemampuan teknologi; (2) pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya keutuhan ekosistem alami sebagai satu syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan; dan (3) pandangan dari segi sosial yang menekankan kepada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan pendapat tersebut kita bisa mencermati bahwa dalam pembangunan
berkelanjutan
disamping
memfokuskan
pada
peningkatan
kesejahteraan masyarakat juga perlu memperhatikan aspek ekologi dan tidak meninggalkan aspek sosial yang menenkankan pada pentingnya partisipasi masyarakat. Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, suatu bisnis yang berkelanjutan adalah bisnis yang sangat mampu memproduksi yang terbaik (producing better) bukan memproduksi yang biasa-biasa saja (producing less), memenuhi kebutuhan konsumen yang lain dari yang lain (consumer differently) bukan kebutuhan yang biasa-biasa saja (consumer less), dan pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) bukan pertumbuhan yang terbatas (limits to growth) (Young, 2006). Faktor-faktor penentu kinerja dan daya tahan usaha kecil menjadi domain penelitian yang sangat penting, penelitian di bidang kewirausahaan mulai merubah fokus penelitiannya dari manajemen strategis tradisional ke arah studi tentang pengujian penciptaan usaha baru yang bermanfaat bagi kesejahteraan sosial. Penemuan tentang teori-teori dan variabel dependen operasional yang cocok akan berperan bagi penciptaan usaha baru bagi kesejahteraan sosial.. Hal ini tentu menjadi tantangan yang berat bagi seluruh stake holder pembangunan industri kecil karena perlu peningkatan motivasi dan kemampuan SDM untuk
mencipatkan suatu inovasi yang tentunya perlu dukungan teknologi dan lingkungan yang kondusif. Variabel
dependen
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
usaha
yang
berkelanjutan harus bersifat multifaceted (beraneka segi) dan membutuhkan ukuran yang kompleks, tidak hanya kinerja keuangan, tetapi juga ukuran kesejahteraan
sosial
yang
meliputi:
ekonomi,
sosial
dan
lingkungan.
Sebagaiamana telah diungkapkan di atas bahwa bahwa ketiga segi tersebut penting bagi pembangunan industri kecil yang berkelanjutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui perlunya diadopsi konsep pembangunan berkelanjutan dalam membangunan industri kecil. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti yang dimulai dari mengkarakterisasikan variabel usaha berkelanjutan berdasarkan sudut pandang yang komplek, global, interdependent, dam memiliki titik pandang ke depan. Tantangan bagi usaha berkelanjutan tidak hanya menyediakan laba dan lapangan pekerjaan tetapi aktivitas kewirausahaan yang mengarahkan pada cara hidup yang lebih berkelanjutan (sustainable ways of living (Cohen dan Winn, 2005).
Keberdayaan Pengrajin Secara etimologis, istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian: (i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain), dan (ii) to give ability, to enable (usaha untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Istilah ini menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi yang mengakibatkan salah satu pihak memiliki kekuatan yang lebih dari kondisi sebelumnya. Terminologi pemberdayaan berkembang terus seiring dengan perubahan yang ada pada masyarakat, Oxaal dan Baden (1997)
mendefinisikan
pemberdayaan berasal dari asal-usul kata “power” yang dapat dipahami sebagai: (1) power over, yang terkait dengan kekuatan untuk menghindari dominasi dan subordinasi, ancaman kejahatan dan intimidasi, (2) power to, yaitu kekuatan yang berhubungan dengan kemampuan mengambil keputusan, otoritas, pemecahan masalah dan kreativitas, (3) power with, kekuatan untuk bekerjasama dalam
rangka mencapai tujuan bersama, dan (4) power within, kekuatan dalam diri individu berupa kepercayaan diri, kesadaran, dan ketegasan (assertiveness). Ife (1995), mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan ketrampilan. Berdasarkan sudut pandang ilmu penyuluhan, Slamet (2003) menyatakan bahwa istilah pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan, yang berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Dalam konteks pengembangan masyarakat, Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat memerlukan persiapan penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan kelembagaan masyarakat yang kuat diharapkan menjadi wadah bagi pengembangan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Sejalan dengan konteks pengembangan masyarakat tersebut, Ndraha (1987) memberi ciri-ciri pemberdayaan: (1) meningkatkan kemampuan, (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih dan memutuskan (4) membangkitkan kemandirian, dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Berdasarkan pengertian tentang pemberdayaan di atas, maka dalam konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.
Pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya dengan berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko, berdayasaing, tidak terdeprivasi dan tersobordinasi oleh pihak lain. Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif.
Peranan Penyuluhan dalam Memberdayakan Pengrajin Seperti yang telah dinyatakan di atas, garis besar upaya pemberdayaan adalah proses pembelajaran yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Istilah penyuluhan pertama kali digagas oleh James Stuart dari Trinity College (Canbridge) pada tahun 1967-68, sehingga kemudian Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan (Van Den Ban dan Hawkins, 1999) Berbagai istilah digunakan pada berbagai negara menggambarkan prosesproses belajar penyuluhan (extention), seperti’ (1) voorichting (Bahasa Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3) fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan (Van Den Ban, 1999). Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut
dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu (dalam Rejeki dan Herawati, 1999) Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
Secara sistematis pengertian penyuluhan
tersebut adalah proses yang; (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani, (4) membantu
petani memperoleh pengetahuan yang khusus
berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan pendidikan luar sekolah yang bertujuan: (a) memberdayakan sasaran, (b) meningkatkan kesejahteraan secara mandiri, dan (c) membangun masyarakat madani. Pengertian penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran. Tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutlan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu
masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah dan mampu menolong dirinya sendiri menuju peningkatan kesejahteraan. yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Peran penyuluh adalah menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahanperubahan, memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran. Menurut Lippit (1956) peran penyuluh dapat dikembangkan menjadi beberapa peran yaitu: (1) Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan yang mencakup:diagnosa masalah yang benar-benar diperlukan masyarakat sasaran, pemilihan obyek yang tepat, analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki masyarakat sasaran, analisa sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh penyuluh untuk perubahan seperti yang direncanakan (2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan . Kegiatan yang harus dilakukan
penyuluh meliputi menjalin hubungan yang akrab
dengan masyarakat sasaran, menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, bersamasama
masyarakat,
menentukan
sumberdaya
(mengumpulkan
membentuk
dan
prioritas
dana,
mengembangkan
kegiatan
memobilisasi
menyelenggarakan kelembagaan)
dan
pelatihan, memimpin
perubahan yang direncanakan (3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran, melalui upayaupaya yaitu, terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat sasaran, terutama tokoh-tokohnya, bersama-sama tokoh masyarakat memantapkan upaya-upaya perubahan dan merancang tahapan-tahapan
perubahan
yang
direncanakan,
terus
menerus
memberikan sumbangan terhadap perubahan yang profesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan-rumusan konseptual. Berdasarkan hal tersebut kita melihat bahwasanya pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari penyuluhan. Asngari (2001) menggambarkan
proses penyuluhan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia pembangunan terlihat pada Gambar 1, sebagaimana dicontohkan di bidang pertanian. Tujuan jangka pendek Penyuluhan Pembangunan
Mengubah perilaku : 1. Pengetahuan 2. Sikap mental 3. Ketrampilan
SDM Klien
Tahu Mau Mampu memanfaatkan IPTEK, dll
SDM Klien
Bertani lebih baik (Better farming) Berusahatani lebih baik (Better business)
Ditunjang
Sarana usaha yang memadai (agro support) Iklim usaha yang kondusif (agroclimate)
Pendapatan meningkat Tujuan jangka panjang Hidup lebih baik
Hidup lebih sejahtera
Masyarakat lebih makmur
Gambar 1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001) Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan, hal ini sesuai dengan “falsafah kontinyu“; yang dimulai dengan tujuan agar klien tahu, mau dan mampu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Untuk itu, harus dimulai dari proses penyadaran. Industri kecil kerajinan banyak ditekuni masyarakat pedesaan, namun kesejahteraan pengusahanya masih belum meningkat. Untuk itu perlu penyadaran agar mereka tahu masalah yang dihadapi, mau untuk berubah dan mampu memecahkan masalah. Perubahan perilaku yang menjadi penentu kemajuan usaha pengrajin adalah terkait dengan kualitas SDM pengrajin, kemandirian usaha dan perilaku wirausahanya. Oleh karena itu, perlu disusun suatu program penyuluhan yang dapat merubah perilaku wirausaha, dengan pelatihan terhadap materi-materi tersebut, pendampingan (fasilitasi), kredit/modal (misalnya: bantuan langsung masyarakat), networking untuk membantu memasarkan produk kerajinannya.
Proses ini berjalan secara kontinyu sampai terjadi perubahan usaha yang lebih baik (better business). Kegiatan penyuluhan tidak hanya sampai pada peningkatan usaha tetapi sampai pada membuat pengrajin berdaya; berdaya dalam konteks industri kecil kerajinan ini adalah: (1) berdaya dalam usaha/memproduksi, (2) berdaya dalam mengambil keputusan (tidak terdeprivasi oleh pihak lain), dan (3) berdaya dalam keberlanjutan usaha. Keberdayaan akan mengarahkan mereka mencapai kehidupan yang lebih baik dan makmur sejahtera. Didalam kegiatan penyuluhan menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, yakni terdapat tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2) Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan keadaan individu klien.
Faktor Perilaku dalam Konteks Keberdayaan
Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis (Kast dan Rosenzweig, 1995) dan pola perilaku dikatakan sebagai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Menurut Skinner (Salkind, 1989), perilaku adalah fungsi dari konsekuensi. Perilaku timbul karena ada stimulus, kualitas dan karakteristik stimulus yang mengikuti
perilaku
adalah
sangat
penting.
Konsekuensi
perilaku
akan
menyebabkan peningkatan, penurunan atau tidak adanya perubahan dalam probabilitas timbulnya perilaku yang terjadi kemudian. Berdasarkan pada studi dan analisis konsekuensi Skinner ini, maka pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku sangat penting. Perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya, Lewin (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996) membuat
persamaan dasar perilaku manusia : B = f P,S, B adalah perilaku individu, f berarti fungsi atau disebabkan oleh, P adalah Persons dan S adalah Situations. Persamaan Lewin ini diartikan bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri individu dan di luar individu yaitu situasi. Sesuatu yang berasal dari dalam diri inidvidu digerakkan oleh motif atau kebutuhan yang kemudian direfleksikan dalam sikap (cara individu merasakan sesuatu hal) dan dimainkan oleh kepribadian (kecenderungan seseorang untuk bertindak). P dan S tidak independen tetapi interdependen. Seseorang dipengaruhi oleh situasi dimana dia temukan diri mereka, dan situasi dipengaruhi oleh orang tersebut. Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1994), terdapat beberapa faktor penting yang menyebabkan perbedaan individu dalam perilaku (Gambar 2).
Stimulus
Orang Perilaku Variabel Fisiologis Variabel Lingkungan Variabel Psikologis
Frustasi Konflik
Tujuan
Kegelisahan
Umpan balik
Gambar 2. Model Dasar Perilaku (Gibson, Ivancevich dan Doonely, 1995). Model Dasar Perilaku disajikan sebagai titik pangkal untuk memahami perilaku individu. Hal penting yang dapat dipetik dari model tersebut adalah: (1) proses perilaku adalah serupa bagi semua orang; (2) perilaku yang sebenarnya dapat berbeda karena variabel fisiologis, lingkungan dan psikologis, dan karena faktor-faktor seperti frustasi, konflik dan kegelisahan; dan (3) banyak variabel yang mempengaruhi perilaku terbentuk sebelum orang memasuki organisasi pekerjaan. Proses yang mendasari perilaku seseorang adalah sama, dengan empat asumsi penting mengenai perilaku manusia yaitu: (1) perilaku timbul karena sesuatu sebab (caused), (2) perilaku diarahkan kepada tujuan, (3) perilaku yang terarah pada tujuan dapat diganggu oleh frustasi, konflik dan kegelisahan, dan (4) peri-laku timbul karena motivasi. Berdasarkan empat asumsi tersebut, maka dapat
diketahui bahwa seseorang berperilaku tidak dapat secara spontan dan tanpa tujuan, tetapi harus ada sasaran secara eksplisit maupun implisit dan timbul sebagai reaksi atas sasaran. Pola perilaku bisa saja berbeda tetapi proses terjadinya adalah hal yang mendasar bagi semua individu, yakni terjadi karena disebabkan, digerakkan dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 1995). Berdasarkan teori perilaku dan asumsi di atas, perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan, sehingga harus ada sasaran baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan (penyebab) yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dan kondisi baru yang diharapkan, dan perilaku yang timbul adalah untuk menutup jarak tersebut. Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut biologis, psikologis dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character) yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat mental, nilai-nilai, sikap kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self) (Kast dan Rosenzweig, 1995) Untuk mengetahui proses perilaku ini terbentuk dan berkembang, komponen kognitif, afektif dan psikomotorik, menurut Mar’at (1982), dikaitkan dengan hal-hal berikut: (1) Kognisi berhubungan dengan belief, ide dan konsep. Kepercayaan datang dari apa yang pernah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Setelah kepercayaan terbentuk, ia dapat memprediksi masa datang, termasuk didalamnya pengalamn pribadi yang cenderung membentuk stereotip. Ranah/domain kognisi akan menjawab pertanyaan sesuatu yang dipkirkan atau dipersepsikan tentang obyek. (2) Afeksi, menyangkut
kehidupan emosional
seseorang. Secara umum
disamakan dengan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Reaksi emosional ditentukan oleh kepercayaan.
(3) Konasi/Psikomotor, merupakan kecenderungan bertingkah laku, berkaitan dengan obyek yang dihadapi. Kecenderungan berperilaku secara konsisten. Selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang membentuk perilaku individu. Dalam penelitian ini perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor biologi. Faktor lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan internal dan eksternal. Menurut Kast dan Rosenzweig (1995), terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individual dalam suatu situasi kerja (Gambar 3). Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga konteks yaitu: konteks individual yang berhubungan dengan konteks organisasi kerja dan konteks umum yang berada di luar konteks individual dan konteks organisasi kerja.
Konteks Organisasi Kerja Sasaran Harapan dan peranan Kebijakan prosedur & peraturan Norma-norma formal dan informal Sistem imbalan: Ekonomi dan non ekonomi Tugas Sistem perencanaan dan pengawasan Teknologi Struktur Dinamika kelompok Kepemimpinan
Konteks Perorangan Sifat dan kemampuan bawaan & kemampuan diperoleh Pengalaman masa lampau Kebiasaan Nilai dan sikap Kepercayaan
Konteks Umum Kebudayaan Ekonomi Masyarakat Keluarga Hukum Pengaruh lain
Diri atau keprobadian yang unik (kecenderungan untuk berpikir atau bertindak dg n cara tertentu)
Situasi sekarang (persepsi & kognisi) Motivasi (kebutuhan, hasrat, ambisi, dan harapan yang menggerakkan, mengarahkan dan mempertahankan) PERILAKU
Gambar 3. Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku dalam Situasi Kerja (Kast dan Rosenzweig, 1995) Menurut Bird (1996), terdapat empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu, (2) faktor organisasi, (3) faktor lingkungan, dan (4) faktor proses sebagaimana tercantum pada Gambar 4.
Individual(s) (Characteristics & motivations
Environment (context)
Organizations (Outcomes)
Process (behaviors & relationships)
Gambar 4. Elemen-elemen yang Membentuk Perilaku Wirausaha (Bird, 1996) Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis, latar belakang wirausaha, dan motivasi. Faktor organizational outcomes, adalah unit usaha, kekayaan, produk dan sebagainya. Faktor lingkungan mencakup kekuatan yang lebih besar yaitu : faktor sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga. Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh wirausaha dalam kegiatan usahanya meliputi: pemahaman usaha (conceiving), kreasi (creating), pengelolaan (organizing), dan promosi (promoting). Berdasarkan uraian di atas, maka setidak-tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wirausaha dapat digolongkan menjadi dua yaitu: faktor internal yang merupakan faktor yang ada dalam diri pribadi dan faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan dan faktor pendukung kegiatan usaha.
Perubahan Perilaku melalui Proses Belajar Belajar merupakan salah satu proses fundamental yang mendasari perilaku. Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995) mendefinisikan belajar sebagai proses terjadinya perubahan yang relatif tetap dalam perilaku sebagai akibat dari
praktek. Menurut Robbins (1996), terdapat tiga hal yang perlu mendapat penjelasan mengenai perubahan perilaku dan belajar yaitu: (1) belajar melibatkan perubahan, (2) perubahan itu harus relatif permanen, dan (3) belajar berlangsung dimana ada suatu perubahan tindakan. Suatu perubahan proses berpikir atau sikap seseorang individu jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku, itu bukan merupakan pembelajaran. Beberapa ilmuwan yang berperan dalam perkembangan Aliran Behavioristik mengembangkan beberapa teori belajar, diantaranya adalah: Ivan Pavlov dengan teori Classical Conditioning, John Watson dengan teori Stimulus-Respon, Skinner dengan Teori Operant Conditioning, Albert Bandura dengan teori Social Learning, Carl rogers dengan Teori Belajar Bebas, dan lain-lain. Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995), terdapat tiga teori yang mendasari pola-pola perilaku, yaitu: (1) Teori Classical Conditioning, (2) Teori Operant Conditioning dan (3) Teori Observational Learning. Robbins (1996) menambahkan satu teori belajar dari Albert Bandura, yaitu: Teori Social Learning. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dirumsukan empat metode pembentukan perilaku yaitu: lewat penguatan positif, penguatan negatif, hukuman dan pemunahan. Aliran behavioristik merujuk pada sebuah set teori tentang proses perkembangan pada diri manusia. Atribut teori-teori ini adalah bahwa individu berkembang karena lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor biologi. Asumsi-asumsi dasar paham perilaku ini adalah; (1) Perkembangan adalah suatu fungsi pembelajaran. Robert Gagne (Salkind, 1989) mendefinisikan perkembangan sebagai kumpulan efek pembelajaran. Pembelajaran merupakan perubahan perilaku jangka pendek dan jika perubahan ini digabung dan diorganisir secara hirarkis akan menghasilkan perkembangan. Jadi perkembangan adalah hasil akumulasi pengalaman yang terkait satu sama lain. Perkembangan berasal dari pembelajaran dan pembelajaran bukan hasil perkembangan. Bijou (Salkind, 1989) juga berpendapat sama tentang perkembangan. Dia mendefinisikan pembelajaran sebagai hubungan antara penguatan dan
pelemahan fungsi stimulus dan respon. Dalam paradigma ini reinforcement dan punishment dikontrol oleh perilaku. (2) Perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda. Mempelajari tipe-tipe belajar yang mengatur perkembangan adalah penting. Tipe-tipe pembelajaran ini diasosiasikan dengan terori-teori lain. (3) Perbedaan-perbedaan
individu
dalam
perkembangan
menggambarkan
perbedaan-perbedaan dalam sejarah dan pengalaman sebelumnya. Perbedaan dalam perkembangan individu dihasilkan dari pengalaman masa lalu yang berbeda-beda. Pengalaman dan sejarah masa lalu menjadi dasar perkembangan. Cara pengalaman-pengalaman tersebut disimpan, diambil dan kemudian ditransfer ke dalam situasi baru merupakan elemen penting dalam perspektif perilaku. (4) Perkembangan adalah hasil dari pengorganisasian perilaku-perilaku. Perkembangan adalah proses pengorganisasian perilaku-perilaku sederhana yang terpisah-pisah (yang dihasilkan dari pengalaman sebelumnya) menjadi perilaku yang lebih kompleks. (5) Faktor-faktor biologis membentuk batasan-batasan umum pada jenis perilaku yang dikembangkan, tetapi lingkungan menentukan perilaku-perilaku dimana organisme berada. Meskipun proses biologis menghasilkan framework perilaku, faktor lingkungan akan menentukan jenis-jenis perilaku yang dihasilkan. Lingkungan menentukan perilaku-perilaku yang diperoleh. Kesehatan kandungan, kematian ibu, merokok, minum alkohol, dapat mempengaruhi perkembangan, input lingkungan mempengaruhi perkembangan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perubahan perilaku pada individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Dengan dukungan dari lingkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Berpikir Alur berpikir dan proses penelitian disajikan dalam Gambar 5. dimulai dari: (1) alasan penelitian ini dilakukan, (2) menguraikan jawaban secara deduktif beberapa teori dasar dan hasil penelitian sebelumnya, dan (3) mengkristalisasikan teori dan hasil penelitian menjadi konsep yang dijadikan landasan untuk merumuskan model pemberdayaan yang menjadi tujuan utama penelitian ini.
Faktor pendukung usaha
Kebijakan Pemerintah Keberdayaan Pengrajin
Lingkungan Kemandirian Usaha
Kemajuan Usaha
Paradigma Pemberdayaan Keberlanjutan Karakteristik Individu Pengrajin
Perilaku Wirausaha
Persaingan Global
Model Pemberdayaan Pengrajin
Gambar 5Kerangka
Berpikir Pemberdayaan Pengrajin Gambar 5. Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengrajin
Usaha
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dan untuk menjawab tujuan penelitian maka hubungan antar peubah secara keseluruhan digambarkan sebagai berikut:
Faktor pendukung usaha yang tersedia (X2) ▪Bahan baku (X2.1) ▪Pasar (X2.2) ▪Teknologi (X2.3) ▪Transportasi (X2.4) ▪Alat Komunikasi (X2.5)
Dukungan Lingkungan Usaha (X3) ▪Keluarga (X3.1) ▪Pemimpin Informal (X3.2) ▪Pemerintah Daerah (X3.3) ▪Organisasi Non Pemerintah (X3.4) ▪Norma / adat (X3.5)
Karakteristik Individu Pengrajin (X1) ▪Umur (X1.1) ▪Pendidikan (X1.2) ▪Tanggungan Keluarga (X1.3) ▪Pengalaman berusaha (X1.4) ▪Motivasi berusaha (X1.5) ▪Pemenuhan Kebutuhan (X1.6) ▪Intensitas Komunikasi (X1.7) ▪Kesetaraan Gender (X1.8)
Keberdayaan Pengrajin
Tingkat Kemandirian Usaha Y2 ▪Permodalan (Y2.1) ▪Proses Produksi (Y2.2) ▪Kerjasama (Y2.3) ▪Pemasaran (Y2.4)
Perilaku Wirausaha Y1 ▪Keinovatifan (Y1.1) ▪Inisiatif (Y1.2) ▪Pengelolaan resiko (Y1.3) ▪Daya saing (Y1.4)
Gambar 6 Hubungan Antar Peubah Penelitian
Gambar 6. Hubungan Antar Peubah Penelitian
Tingkat Kemajuan Usaha Y3 ▪Pertumbuhan Usaha (Y3.1) ▪Efisiensi usaha (Y3.2) ▪Efektifitas usaha (Y3.3)
Keberlanjutan Usaha Y4 Kontinyuitas produksi (Y4.1) Kontinyuitas penjualan (Y4.2) Kontinyuitas Input (Y4.1)
Perkembangan Paradigma Pemberdayaan Konsep pemberdayaan terus berkembang dan terus mendapat revisi baik dari kalangan birokrat maupun kalangan ilmuwan. Perubahan struktur masyarakat, kebutuhan masyarakat dan berkembangnya pemikiran kritis masyarakat menuntut perubahan makna, visi, misi dan strategi pembangunan. Konsep pemberdayaan muncul pada 1970-an, pada masa itu masyarakat mulai berkembang pemikirannya dan bereaksi untuk mengembangkan kapasitasnya. Mereka melakukan gerakan populis, antistruktur, antisistem dan antideterminisme yang diaplikasikan dalam kekuasaan. Berkaitan dengan konsep pemberdayaan tersebut, Dharmawan (2000) merangkum beberapa pemahaman tentang pemberdayaan yaitu: (1) pemberdayaan sebagai proses, mekanisme antara masyarakat, organisasi dan komunitas dalam menghadapi hidupnya, (2) pemberdayaan digunakan untuk menggambarkan cara memperoleh kekuatan sehingga dapat keluar dari kemiskinan, ini berarti dalam pemberdayaan harus ada pengetahuan, pendidikan, organisasi, hak dan suara yang posisinya sama dengan sumberdaya material dan keuangan, (3) dari sudut pandang politis, pemberdayaan dipahami sebagai adanya suatu kondisi dimana masyarakat tidak memiliki kekuatan sehingga menjadikan mereka mampu menyuarakan keinginannya kepada pemerintah, dan (4) pemberdayaan dipahami sebagai proses transformasi atas ketidakseimbangan hubungan kekuatan, ketidakselarasan struktur masyarakat dan kebijakan pembangunan sehingga terjadi perubahan dan perluasan peluang individu. Rothman (1974) menyajikan tiga pendekatan pemberdayaan melalui intervensi komunitas yaitu locality development, social planning dan social action. Pendekatan ini merupakan upaya peningkatan kapasitas masyarakat sehingga mampu menolong diri sendiri, melakukan perubahan kekuatan hubungan dan sumber daya dan menyelesaikan substansi masalah yang dihadapi masyarakat. Oxaal dan Baden (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukan sekedar membuka akses untuk mengambil keputusan tetapi harus memproses masyarakat
agar mereka untuk merasa mampu dan berhak menduduki ruang pengambilan keputusan. Upaya pemberdayaan ditujukan untuk menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kelompok
masyarakat,
negara,
regional
maupun
internasional.
Proses
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu: (1) proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan (2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan, menentukan hal-hal yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar. Hubeis (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (Community Empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P; Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, Penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Berpijak pada perkembangan paradigma pemberdayaan diatas, tampak bahwa kebutuhan peningkatan kapasitas manusia sangat mendesak untuk dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting, apalagi didukung dengan pemberdayaan yang berorientasi pada pertumbuhan sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Mengkritisi pendekatan pemberdayaan yang berbasis pada pertumbuhan, bahwasanya dalam model pembangunan pertumbuhan telah terjadi bias pengukuran kekayaan (affluent-bias measures) dan berkembangnya budaya korupsi, sehingga visi
pemberdayaan harus disusun dengan semangat untuk membangkitkan kemampuan mengekspresikan diri (self-expression) dan menentukan nasib sendiri (self determination) (Dharmawan, (2000); Adi (2003), Nadvi dan Barientoss 2004; dan Baden 1997)). Berdasarkan perkembangan paradigma pemberdayaan di atas, maka dalam konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya, (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang lebih baik.
Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat
berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif.
Model Pemberdayaan bagi Komunitas Pengrajin Mengacu pada pengertian pemberdayaan yang telah diuraikan sebelumnya dan melihat keterbatasan yang dihadapi pengrajin, kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin, maka penelitian ini mencoba memformulasikan model pemberdayaan dengan melakukan peningkatan kualitas SDM pengrajin melalui proses pembelajaran yang berkesinambungan agar tercapai perilaku wirausaha berkualitas, tingkat kemandirian dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dan memajukan usaha pengrajin. Salah satu model pemberdayaan yang memiliki relevansi dengan upaya pemberdayaan pengrajin adalah yang disintesakan secara deduktif dari tiga model intervensi komunitas dari Rothman (1974) seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Sintesa Model Intervensi dalam Pemberdayaan untuk Komunitas Pengrajin Variabel
Model A, (Locality Development) Peningkatan kapasi tas integrasi : menolong diri sendiri
Model B (Social Planning) Penyelesaian : Substansi masalah dari komunitas
Model C (Social Action) Perubahan kekuatan hubungan dan sumberdaya
Sintesa (Model Untuk Komunitas Pengrajin) Peningkatan Kapasitas menuju kemandirian
Asumsi kondisi problem komunitas secara struktural
Kemunduran komunitas anomi, hubungan yang tak harmonis, kemampuan menyelesai-kan masalah komunitas tradisional yang statis
Substansi masalah sosial pada kejaahatan, kesehatan mental dan fisik, perumahan, rekreasi dll.
Ketidakadilan sosial, deprivasi, unequality
Kemampuan menyelesaikan masalah komunitas tradisional yang statis.
Strategi dasar perubahan
Melibatkan komunitas dalam menentukan dan memecahkan
Memburu data tentang masalah dan membuat keputusan dalam yang logis
Kristalisasi isu dan mobilisasi massa
Melibatkan komunitas dalam menentukan dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan logis
Karakteristik perubahan: taktik dan tehnis
Konsensus, komunikasi antar kelompok yg. memperhatikan kepentingan melalui diskusi/musyawarah
Konsensus atau konflik
Konfrontasi konflik, aksi langsung atau negosiasi
Konsensus, komunikasi antar kelompok yg. memperhatikan kepentingan melalui diskusi/musyawarah
Peran Praktisi
Sebagai katalisator : mengkoordinasi ahli pemecah masalah yang bersumber dari dari nilai-nilai idealistik
Pencari fakta, penganalisis, pengimplentasi program serta pelancar/ penghubung
Advokasi aktivis, agitator, negosiator, partisipan
Sebagai katalisator, mengkoordinasi ahli pemecah masalah dan menjadi penghubung komunitas dengan pasar atau mitra.
Media perubahan
Petunjuk kecil, orientasi tugas kelompok
Petunjuk formal organisasi dan data
Petunjuk organisasi massa dan proses politik
Petunjuk kecil, orientasi tugas kelompok
Orientasi thd kekuasaan struktur
Kekuasaan struktur berada pada kolaborasi keanggotaan
Kekuasaan struktur berada pada penguasa dan sponsor
Kekuasaan struktur bersifat eksternalpenindas
Kekuasaan struktur berada pada kolaborasi keanggotaan
Batasan atas target yang diuntungkan
Total komunitas secara geografi
Total atau sebagian komunitas
Sebagian komunitas
Sebagian komunitas yang memiliki kesamaan usaha
Asumsi Kepentingan
Kepentingan bersama atau perdamaian dengan perbedaan
Penyatuan kepentingan atau konflik
Pertentangan kepentingan yang tidak mudah didamaikan, sumberdaya terbatas
Kepentingan bersama atau perdamaian dengan perbedaan
Yang diuntungkan
Warga komunitas
Pengguna
Korban
Warga komunitas
Peran target yang diuntungkan
Partisipan yg dapat berinteraksi dgn proses penyelasaian masalah
Konsumen atau penerima
Pekerja, pemilih, anggota
Partisipan yg dapat berinteraksi dengan proses penyelasaian masalah
Penggunaan wewenang
Membangun kapasitas komunitas untuk mendukung kerjasama dan pengambilan keputusan
Mendapatkan pola kebutuhan dan pelayanan serta informasi pilihan bagi pengguna
Pencapaian sistem kekuasaan yang objektif terhadap yang memegang peranan
Membangun kapasitas komunitas untuk mendukung kerjasama, penyediaan informasi dan pengambilan keputusan
Kategori tujuan
Jadi hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sintesa model pemberdayaan yang akan memandirikan pengrajin dalam berusaha, meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan memajukan usahanya. Pemberdayaan pengrajin merupakan bagian dari kegiatan penyuluhan pembangunan. Pokok-pokok pikiran mengenai penyuluhan pembangunan yang menunjang pembangunan industri kecil di masa depan tidak terlepas dari paradigma baru penyuluhan pembangunan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan adalah jasa pendidikan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Pokok-pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Pembangunan Penunjang Pembangunan Industri Kerajinan dan Rumah Tangga Pokok Pikiran a. Ruang lingkup
b. Tujuan.
c. Pendekatan.
d.Peran penyuluh
e. Peran Pengrajin f. Teknik Penyuluhan
f. Outcome
Penyuluhan yang Kurang Memberdayakan (Memperdayai) Penyuluhan industri kecil merupakan penyampaian informasi kepada pengrajin agar terjadi peningkatan produksi. ▪Meningkatkan kuantitas produksi ▪Transfer teknologi ▪Penguasaan pengetahuan ▪Top Down Planning perencanaan ditetapkan dari atas / policy maker, dengan berdasarkan pada kebutuhan dan keinginan policy maker. ▪Non Partisipatif, tidak melibatkan pengrajin dalam kegiatan perencanaan implementasi dan evaluasi. ▪Bersifat monologis, abstrak dan verbal ▪Source of knowledge, penyuluh sebagai sumber pengetahuan. ▪Director, mengarahkan pengrajin untuk melakukan suatu kegiatan berdasarkan petunjuknya. ▪Agen Pemerintah, menjalankan tugas sesuai dengan program yang dibuat seragam dalam skala nasional. ▪Evaluator, semata-mata sebagai tim penilai keberhasilan program. ▪Problem Solver, berperan sebagai pemecah masalah pengrajin. ▪Obyek penyuluhan ▪Penerima informasi ▪Penerap teknologi ▪Ceramah ▪Presentasi tulisan atau gambar. ▪Tanya jawab. ▪Produktifitas, menghasilkan pengrajin yang dapat memenuhi jumlah produksi tertentu, menghasilkan produk tertentu. ▪Ketergantungan, setelah tidak ada penyuluhan kegiatan usaha berhenti.
Penyuluhan yang Memberdayakan Penyuluhan industri kecil merupakan proses perubahan perilaku individu pengrajin dan keluarganya. ▪Perubahan Perilaku ▪Memecahkan masalah pengrajin ▪Peningkatan kualitas usaha ▪Meningkatkan kesejahteraan masa depan. ▪Bottom up planning, melakukan perencanaan dari bawah / dengan berdasarkan pada kebutuhan pengrajin. ▪Partisipatif, melibatkan pengrajin dalam seluruh kegiatan. Mulai dari merencanakan, implementasikan dan mengevaluasi. ▪Bersifat dialogis, nyata dan terapan. ▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. ▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau dengan pemerintah. ▪Motivator, memotivasi pengrajin untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri. ▪Advocator, berperan sebagai konsultan untuk menangani masalah pengrajin. ▪Subyek penyuluhan ▪Pengolah informasi ▪Penghasil teknologi ▪Diskusi kelompok ▪Simulasi ▪Demonstrasi ▪Praktek kerja ▪Kunjungan lapangan ▪Peningkatan kualitas perilaku. ▪Kemandirian, menghasilkan pengrajin industri kecil yang mandiri. ▪Kemajuan usaha. ▪Sustainability, perubahan berkelanjutan.
Agar dapat memenuhi pokok-pokok pikiran tentang strategi penyuluhan pembangunan industri kecil di atas, maka hendaknya didasarkan pada : Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, bahwasanya penyuluhan adalah proses pendidikan orang dewasa maka harus memperhatikan karakteristik orang dewasa yang kembali belajar. Cara mengorganisasikan pengalaman belajar akan digunakan teori-teori belajar orang dewasa, misalnya: Teori Belajar Bebas dari Carl Roger, Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura, dan sebagainya. Hal tersebut akan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan orang dewasa. Intervensi Komunitas Terencana, bahwasanya pemberdayaan pengrajin adalah
salah satu bentuk pengembangan sekelompok masyarakat, sehingga proses perubahan yang dibutuhkan untuk menuju keberdayaan pengrajin diperlukan pendekatan intervensi komunitas. Pendekatan yang dimaksud adalah mengacu pada pendapat Rothman (1974), pendekatan yang sesuai untuk pengrajin adalah pada area entreprise yang merupakan gabungan (intermixed) antara pendekatan Social Planning dan Locality Development dengan posisi model intervensi seperti yang tercantum dalam Gambar 7. Pertimbangan digunakan model Development Planning (Gabungan Locality Development dan Social Planning) adalah: (1) pengembangan pada industri kecil masih membutuhkan kontribusi dari luar, misalnya pemerintah, dan (2) pengrajin merupakan sekelompok kecil masyarakat yang bersifat spesifik lokal. Posisi model intervensi Development planning Social Planning
Enterprise Locality Development
Action Planning
Intermixed
Action Development
Social Action Gambar 7 Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Gambar 7. Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Partisipatif: proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif yang memerlukan keterlibatan klien secara interaktif dan maksimal dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan penilaian dengan tetap memperhatikan prinsip lokalitas dan kemampuan klien. Berorientasi pada kebutuhan pengrajin: kebutuhan pengrajin merupakan fokus kegiatan penyuluhan (bukan kebutuhan program atau penyuluh), sehingga kelemahan-kelemahan program pemberdayaan masa lalu yang berorientasi pada kebutuhan nasional bisa dikaji kembali untuk diarahkan pada kebutuhan pengrajin. Pendekatan kelompok: penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok bukan hanya karena prinsip efisiensi, tetapi agar terjadi interaksi antar pengrajin yang sekaligus menjadi forum belajar dan forum pengambilan keputusan diantara mereka. Selain itu, proses difusi inovasi juga lebih mudah terjadi dengan pendekatan kelompok.
Konsep Perilaku Wirausaha Pengertian Wirausaha Menurut Meredith et al. (1996), para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan yang ada; mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Wirausaha akan berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Sejalan dengan pendapat di atas, Winardi (2003) mendefinisikan kewirausahaan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan/masyarakat. Caranya dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen.
Definisi di atas mengandung asumsi bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. Menurut Sukardi (1991), terdapat sembilan ciri psikologis wirausaha yang berhasil: (1) selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan peluang kinerjanya; (2) selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan dan berupaya agar kinerjanya lebih baik dari sebelumnya; (3) selalu bergaul dengan siapa saja, membina kenalan, mencari kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi; (4) dalam berusaha selalu terlibat dalam situasi kerja, tidak mudah menyerah sebelum pekerjaan selesai; (5) optimis bahwa usahanya akan berhasil, percaya diri dan bergairah, tidak ragu-ragu; (6) tidak khawatir meng-hadapi situasi yang tidak pasti, berarti mengambil antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan kegagalan, segala tindakan diperhatikan secara cermat; (7) benar-benar memperhitungkan apa yang harus dilakukan dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri; (8) selalu bekerja keras mencari cara-cara baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerjanya; dan (9) hal yang dilakukannya merupakan tanggung jawabnya, kegagalan dan keberhasilan dikaitkan dengan tindakan pribadinya. Profil wirausaha, menurut Meredith et al. (1996) adalah memiliki ciri: (1) percaya diri, (2) berorientasikan tugas dan hasil, (3) pengambil risiko, (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan. Memperhatikan uraian tersebut di atas, wirausaha bukanlah sekedar pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsipprinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha. Apabila hal tersebut dimiliki oleh pengrajin dengan kualitas yang tinggi, maka kesejahteraan pengusaha dan tenaga kerja serta keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha tersebut akan dapat ditingkatkan.
Pengertian Perilaku Wirausaha Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang: mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-
nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif. Gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan usaha atau transformasi bisnis. Haber dan Reichel (2006) menemukan empat faktor yang menentukan proses kewirausahaan dalam menciptakan usaha baru: (1) keterlibatan individual dalam perencanaan usaha, (2) aktivitas yang dilakukan selama proses usaha, (3) struktur dan strategi organisasi, dan (4) konteks lingkungan usaha. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aktivitas wirausahawan dalam mengelola usahanya dengan inovasi radikal, strategi proaktif dan pengambilan resiko yang dimanifestasikan dalam dukungan proyek dan dengan hasil yang tidak pasti. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pengertian perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan pengrajin adalah perilaku yang dimiliki pengrajin dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam menghadapi resiko, keinovatifan dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha adalah mereka yang secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko. Berdasarkan hasil penelitian Perry, Batstone dan Pulsarum (2003), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Ditemukan bahwa keberhasilan usaha kecil menengah eceran di Thailand meningkat karena dipengaruhi faktor: orientasi kewirausahaan, pengalaman bisnis wirausahanya, strategi peningkatan penjualan, dan pembangunan intangible asset. Kajian yang dilakukan berbagai pihak membuktikan ternyata tidak terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan kapasitas berusaha. Sebaliknya, justru waktu berwirausaha (entrepreneurial age) merupakan variabel yang dominan. Sehubungan dengan hal ini, kenyataan memang menunjukkan hanya wirausaha kecil yang memiliki pengalaman panjang dalam jenis usaha
tertentu yang dapat berhasil sedangkan orang-orang yang baru masuk kedalam usaha atau selalu berganti-ganti usaha lebih sulit berkembang (Ismawan, 2002) Berpijak pada kajian tentang perilaku wirausaha di atas, dan mengacu pada definisi perilaku wirausaha dari Bird (1996), Meredith et al. (1996) dan Sukardi (1991) maka dapat dinyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. Perbandingan kualitas perilaku wirausaha dapat diliohat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas Perilaku Wirausaha Aspek Perilaku Wirausaha Keinovatifan
Inisiatif
Pengelolaan Resiko
Daya saing
Perilaku Wirausaha Berkualitas Rendah (1) Menunggu datangnya informasi dari pengrajin lainnya. (2) Menerapkan cara-cara berusaha yang telah ada. (3) Mencoba menerapkan inovasi setelah orang lain menerapkannya. (1) Menghasilkan produk sejenis dengan pengrajin lain. (2) Melayani pasar yang sudah ada. (3) Mengabaikan peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian. (1) Memulai suatu usaha tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resiko. (3) Takut menghadapi resiko kegagalan. (3) Berputus asa pada saat menghadapi resiko (1) Menghasilkan produk sesuai dengan standar kemampuan dirinya. (2) Mengupayakan terjualnya produk seperti yang dicapai pada hari-hari sebelumnya tanpa persaingan. (3) Berusaha tanpa strategi untuk menghadapi perubahan lingkungan.
Perilaku Wirausaha Berkualitas Tinggi (1) Ulet mencari informasi baru
(2) Melakukan modifikasi untuk meningkatkan kinerja usaha. (3) Mampu menghasilkan inovasi penunjang perkembangan usaha. (1) Mengupayakan untuk memulai memproduksi jenis produk baru (2) Mengupayakan untuk melayani pangsa pasar baru (3) Sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha. (2) Memprediksi terjadinya resiko pada setiap akan dimulainya usaha.
(2) Selalu percaya diri dalam menghadapi resiko. (4) Mengupayakan meningkatkan kemungkinan sukses dan mengurangi kemungkinan gagal. (1) Mengupayakan pembuatan produk yang bermutu sesuai selera konsumen dan permintaan pasar. (2) Berusaha meraih penjualan tertinggi dibanding pengrajin lainnya. (3) Mengamati setiap perubahan lingkungan persaingan dan menyiapkan strategi bersaing yang tepat.
Konsep Kemandirian Usaha Kant (1962) menyatakan bahwa kemandirian seseorang itu terkait dengan kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian tersebut memiliki nilai-nilai moral yang harus ditaati. Seseorang yang merasa dirinya mandiri, dia akan bertanggung jawab terhadap keputusannya dan akan menerima segala konsekuensinya. Orang yang mandiri sadar bahwa tindakannya harus dapat menggambarkan hak dan kewajibannya terhadap orang lain dalam sosial. Adapun ciri-ciri individu yang mandiri antara lain: mempunyai keyakinan diri, kepercayaan moral, visi yang jelas dan fokus, serta bertanggungjawab terhadap tindakannya. Menurut Hubeis (2000), kemandirian merupakan perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang dicirikan oleh kemampuan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Covey (1999) menjelaskan bahwa kematangan individu dalam satu kontinuum kematangan dimulai dari: ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence) hingga kesalingtergantungan (interdependence). Individu yang tergantung membutuhkan orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, individu yang mandiri dapat memperoleh apa yang mereka kehendaki melalui usaha sendiri dan individu yang saling tergantung menggabungkan upayanya sendiri dan upaya orang lain untuk mencapai keberhasilan terbesar bersama. Kemandirian, menurut Hatta (Swasono, 2003), bukan berarti pengucilan diri, kemandirian berada dalam ujud dinamiknya yaitu interdependensi. Namun dalam kaitannya dengan kemandirian global dan ekonomi terbuka tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Paham kemandirian dianggap sebagai lawan dari ketergantungan dan menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit namun yang penting adalah terjadi kerjasama antar ummat manusia.
Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa kemandirian adalah kesaling tergantungan (interdependence), sehingga kemandirian petani akan mantap apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani
yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan kesaling tergantungan yang berkesinambungan. Di dalam bidang usaha, kemandirian seseorang dapat dikaitkan dengan aspek permodalan. Modal seringkali menjadikan seseorang tergantung dengan pihak
lain
sehingga
beberapa
aktivitasnya menjadi
tersubordinasi
dan
dikendalikan (diatur) oleh pihak pemberi modal. Berdasarkan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan konteks industri kecil, maka pengertian kemandirian pengrajin meliputi unsur kemampuan yang dimiliki dalam dirinya bergabung dengan kemampuan individu lain yang membentuk kerjasama guna mewujudkan kemajuan usahanya. Jadi kemandirian adalah kesaling tergantungan, (Covey, 1999; Sumardjo, (1999); dan Hatta (Swasono, 2003)) bukan individualisme, eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme dimana dengan kemampuan yang tidak tersubordinasi oleh pihak lain menjalin kerjasama yang harmonis dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan bersama. Pengrajin yang kurang berminat untuk menjadi mandiri (autonom) dalam berusaha akhirnya akan kurang dapat merealisasikan pertumbuhan usaha. Hal ini disebabkan
keterbatasan
modal,
keengganan
untuk
menambah
hutang,
keengganan menambah pekerjaan atau menambah resiko, sehingga orientasi kemandirian sering dinomorduakan oleh pengusaha kecil, Getz (2005) Zhao dan Aram (1995) menemukan bahwa aktivitas memperkuat jejaring (networking) sangat penting untuk memotivasi kemandirian. Jarak dan intensitas kontak dengan jejaring akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan usaha, penentu keberhasilan bagi usaha baru, dan keberhasilan meraih sumber daya yang dibutuhkan. Dalam konteks kemandirian permodalan Zhao dan Aram (1995) menambahkan pentingnya networking bagi wirausahawan. Hal ini terkait dengan konteks “asset parsimony” (sikap hemat dalam pengelolaan aktiva/harta). Networking berperan dalam kegiatan wirausahawan mendistribusikan harta
seminimal mungkin untu mencapai tujuan usaha dan mengatur kebutuhan sumber daya dengan biaya seminimal mungkin. Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha bisa dimengerti sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri dalam mengambil keputusan secara bebas dan bijaksana (Karsidi, 1999). Pengrajin yang mandiri akan dapat terlihat dari potensi yang dimiliki dalam bekerjasama dengan yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Ismawan (2002) menyatakan bahwa, yang perlu mendapat tekanan dalam pengembangan industri kecil/UKM adalah agar SDM sektor ini memiliki kapasitas dan mulai membangun paradigma kerja sama dan kesalingtergantungan (interdependency). Berdasarkan kajian tentang pengrajin di atas (Karsidi, 1999 dan Ismawan, 2002) serta pengertian kemandirian dari Hatta (Swasono, 2003), Sumardjo (1999) dan Covey (1999) maka kemandirian usaha pengrajin dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan bersama. Perbandingan tingkat kemandirian usaha diuraikan pada Tabel 4.
Konsep Keberdayaan Pengrajin Arti berdaya menurut Slamet (2003) sama dengan tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Menurut Sumardjo (1999), masyarakat yang berdaya memiliki ciri-ciri: (1) mampu
memahami
diri
dan
potensinya;
(2)
mampu
merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya; (3) memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai; dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Tabel 4. Paradigma Kemandirian Usaha Kemandirian Usaha Proses Produksi
Usaha yang Tergantung (Dependence) (1) Menghasilkan produk dengan menggunakan pola yang sudah ada. (2) Lambat dalam berproduksi dan banyak menghasilkan produk cacat. (3) Mampu menghasilkan produk sebatas dengan standar dirinya.
Pemasaran
Permodalan
Kerjasama
Usaha yang Mandiri (Interdependence) (1) Mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan konsumen. (2) Terampil, cekatan dan teliti dalam berproduksi
(3) Mampu menghasilkan produk yang memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. (4) Menggunakan peralatan yang (4) Melakukan upaya modifikasi sudah ada dan memperbaiki jika peralatan efisien dan sesuai ada kerusakan. dengan tuntutan produk. (5) Menerapkan cara-cara produksi (5) Mampu mengembangkan teknik yang sudah ada. produksi yang paling efisien dan sesuai dengan tuntutan produk. (1) Menjual yang dapat dihasilkan (1) Menghasilkan produk yang (orientasi produk). dibutuhkan konsumen (orientasi pasar). (2) Melayani pembeli sebatas (2) Melayani pembeli dengan kemampuan pelayanan. pelayanan prima. (3) Kurang tertarik pada kegiatan (3) Mempromosikan produk untuk promosi produk. meraih loyalitas pelanggan. (4) Mengabaikan kepuasan konsumen (4) Mengutamakan kepuasan dan kualitas pelayanan. konsumen (1) Tergantung pada sumber (1) Mampu mencari sumber permodalan. permodalan alternatif. (2) Tidak proaktif mencari bantuan (2) Mampu meraih modal sesuai modal. kebutuhan usaha. (3) Mengelola modal dengan (3) Mampu mengelola modal dan pertimbangan jangka pendek dan berkeinginan tinggi tidak ada orientasi mengakumulasikan keuntungan mengakumulasikan keuntungan ke ke dalam investasi modal. dalam investasi modal. (1) Melakukan kerjasama pada (1) Percaya diri dalam bekerjasama lingkup yang terbatas, yang dalam lingkup yang lebih luas. dikenali. (2) Bekerja untuk dirinya dan (2) Mampu bekerjasama dengan usahanya sendiri. pelanggan, distributor, supplier dan pemodal demi kemajuan bersama. (3) Menerima tindakan subordinasi (3) Mampu bersinergi dengan dan deprivasi asal mendapat menghindari subordinasi dan keuntungan. deprivasi dalam kerjasama (4) Orientasi kerjasama untuk (4) Orientasi kerjasama untuk jangka keuntungan jangka pendek. panjang dan kemitraan.
Menurut Ife (1995) masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengakses sumberdaya dan peluang serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Dharmawan (2000) menyatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kemampuan, dapat mengambil keputusan sendiri dan memiliki kemudahan dalam mengakses sumber daya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dibuat suatu rangkuman tentang ciri masyarakat berdaya dan masyarakat yang lemah seperti ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Masyarakat Berdaya Aspek Perilaku Kognitif
Masyarakat Lemah
(1) Mempunyai relatif sedikit ilmu pengetahuan (2) Kurang mampu memahami kebutuhan riil dan potensi diri (3) Tidak mengetahui adanya permasalahan yang dihadapi Afektif (1) Takut mengalami kegagalan (2) Meninggalkan tanggung jawab (3) Tergantung pada pihak lain (4) Menerima hasil yang diperoleh apa adanya Psikomotorik (1) Ceroboh dan sering salah dalam bekerja (2) Memiliki respon yang lemah atas peluang usaha (3) Bekerjasama tanpa memperhitungkan untung atau rugi (4) Bekerja semampunya
Masyarakat Berdaya (1) Mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup (2) Faham atas kebutuhan riilnya dan potensi dirinya (3) Memiliki pengertian atas permasalahan yang dihadapi.
(1) Berani menghadapi resiko (2) Mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya (3) Menolak tindakan subordinasi atas dirinya (4) Menyukai prestasi
(1) Teliti dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya (2) Tanggap dalam memanfaatkan peluang (3) Cermat dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan (4) Memiliki etos kerja yang tinggi
Berdasarkan terminologi masyarakat berdaya di atas, maka ciri-ciri perilaku wirausaha dan kemandirian merupakan ciri-ciri yang ada pada masyarakat yang berdaya. Oleh karena itu, dalam konteks pengrajin dapat dinyatakan bahwa pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya dengan berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko.
Konsep Kemajuan Usaha Dalam konteks industri kecil, kemajuan usaha terkait dengan kemajuan di bidang keuangan. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) mengindikasikan kemajuan usaha kecil dari peningkatan penjualan dan peningkatan asset, efisiensi, diferensiasi mutu dan inovasi produk, dan reduksi biaya. Megginson, Byrd dan Megginson (2000) mengemukakan bahwa kemajuan usaha dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemajuan di bidang profit, kepuasan konsumen, kepuasan manajer dan non financial rewards. Menurut (Badri et al., 2000) bagi kebanyakan perusahaan kemajuan dan pertumbuhan usaha di masa depan tergantung pada ekspansi usaha pada pasar yang lebih besar yang di luar batas operasi usahanya, terutama pada pasar global. Terkait dengan kemajuan usaha, Bird (1996) merumuskan kemajuan usaha dengan pendekatan model Kinerja Wirausahawan P = A x M, yakni P=Performing adalah pemilihan karier wirausaha dan profitabilitas, sedangkan
A adalah
Abilities (kemampuan) dan M adalah Motivasi. Kemampuan dan motivasi dinilai melalui ukuran kepribadian dan melalui latar belakang pribadi. Jika keduanya rendah, maka kinerjanya juga akan rendah. Menyadari akan pentingnya faktor individual, (Stewart JR et al, 1998) menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan berdasarkan kecemerlangan aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di masa depan yang penuh
resiko, sehingga hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja sangat ditentukan oleh faktor individu. Berdasarkan output dan outcome yang diperoleh, Pelham (1999) mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan (1) pemasaran / efektifitas penjualan yang merupakan hasil implementasi strategi berupa peningkatan kualitas produk, keberhasilan produk baru, dan kepuasan konsumen; (2) pertumbuhan usaha yang terdiri dari item : tingkat pendapatan, pertumbuhan penjualan, peningkatan efisiensi biaya dan waktu, peningkatan pangsa pasar; dan (3) profitabilitas yang diukur dari laba bersih, ROE (tingkat pengembalian modal) dan investasi aktiva. Lebih luas lagi, Getz (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan usaha kecil diukur dari keberhasilannya dalam memperoleh peningkatan ukuran usaha, pertumbuhan usahanya, kemandirian pemilik usaha, menjadi bos di tempatnya sendiri, dimana terdapat perbedaan antara pengrajin yang opportunistis dan pengrajin yang enggan menghadapi resiko, pertumbuhan usahanya lambat, dan memfokuskan diri pada kenyaman hidup. Haber dan Reichel (2006) mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan empat kategori: (1) short-term objective measures, (2) long-term objective measures, (3) short-term subjective measures, dan (4) long-term subjective measures.
Ditemukan
bahwa
kinerja
obyektif
jangka
panjang
(seperti
pertumbuhan pendapatan dan jumlah tenaga kerja) relatif jarang Berdasarkan pendapat tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan konsep kesalingtergantungan, maka kemajuan usaha adalah perkembangan usaha yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan dalam asset, penjualan, keuntungan, dan diversifikasi produk serta dicapainya efektifitas dan efisiensi usaha. Usaha kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien serta
mengalami
peningkatan
dari
segi
keuangan
(profit
dan
asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Pemikiran tentang kemajuan usaha digambarkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Paradigma Kemajuan Usaha Aspek Kemajuan Usaha Pertumbuhan Usaha
Efisiensi
Efektifitas
Ciri-ciri Usaha Konvensional (1) Tidak ada pertumbuhan permintaan konsumen dan produksi statis. (2) Volume penjualan stagnan dan hanya mampu memasarkan produk ke pasar tradisional terdekat. (3) Menghasilkan produk yang monoton. (4) Beroperasi dengan modal yang terbatas. (1) Mengabaikan penjadwalan kerja sehingga terdapat banyak waktu menganggur. (2) Tidak mempertimbangkan aspek mutu sumber daya manusia. (3) Mengabaikan hal-hal yang dapat memberi nilai tambah dan pendapatan. (4) Meninggalkan kegiatan perencanaan keuangan sehingga meningkatkan biaya tak terduga. (1) Tidak menjadikan perencanaan sebagai awal melaksanakan usaha. (2) Bekerja tidak teratur tanpa ada koordinasi.
Usaha Maju (1) Volume produksi meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumen. (2) Mengalami peningkatan (improvement) volume penjualan dan perluasan daerah pemasaran. (3) Terdapat variasi jenis produk yang dihasilkan. (4) Terdapat peningkatan jumlah modal. (1) Selalu mengupayakan penggunaan waktu secara lebih produktif.
(2) Mengupayakan penggunaan sumber daya manusia lebih berkualitas secara optimal. (3) Berusaha meningkatkan nilai tambah dan meraih peluang. (4) Melakukan kegiatan penganggaran pada setiap kegiatan usaha sebagai acuan pengeluaran biaya. (1) Menyusun perencanaan berbasis pada evaluasi.
(2) Memiliki struktur yang mengikuti fungsi pencapaian tugas (3) Berusaha tanpa (3) Mempunyai target dan menyusun target pencapaian target pada pencapaian keuntungan. setiap periode tertentu. (4) Bersikap pasif atas (4) Mengevaluasi pencapaian kerugian atau target berdasarkan periode penurunan keuntungan. tertentu.
Konsep Keberlanjutan Usaha Menurut Labuschagne et al. (2005) keberlanjutan usaha didefinisikan sebagai berikut: “business sustainability is ‘‘adopting business strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders today whileprotecting, sustaining and enhancing the human and natural resources that will be needed in the future’’. Hal ini menunjukkan bahwa seorang wirausahawan tidak cukup memandang usahanya hari ini saja, tetapi memandang usahanya ke depan juga sangat penting. Oleh karena itu, Olson et al. (2003) juga menyatakan bahwa keberlanjutan dan keberhasilan usaha akan dapat menjamin ketahanan keuangan keluarga dan kesejahkteraan ekonomi lokal. Sejalan dengan itu, Young (2006) menyatakan bahwa masyarakat bisnis yang menginginkan usahanya dapat berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Masyarakat pengusaha akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi. Tekanan pasar terhadap produk yang bersifat inovatif menuntut peningkatan eksperimen di kalangan pengusaha. Pembangkitan inovasi merupakan bagian penting untuk dapat menarik pasar. Haber dan Reichel (2006) mengindikasikan bahwa peluang usaha kecil bisa tetap survive dan berkelanjutan adalah rendah. Seringkali usaha kecil berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan untuk hidup (survival) dan meningkatkan pendapatan keluarga secukupnya dan gaya hidup wirausahawan masih kurang tertarik pada pertumbuhan cepat. Menurut Korten (Supriatna, 1997), pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subyek manusia dilandasi pada tiga kebutuhan dasar yaitu: justice, sustainability and inclusiveness. Konsep keberlanjutan menjadi sangat penting bagi masyarakat kecil seperti pengrajin, sebab komunitas ini mampu mempertahankan usahanya secara turun temurun dari orang tua mereka (Wijaya, 2001). Orientasi kegiatan penyuluhan tidak semata-mata pada peningkatan produktivitas saja akan tetapi pada perubahan perilaku klien. Dengan adanya perubahan perubahan perilaku tersebut diharapkan klien dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, aspek keberlanjutan usaha pengrajin menjadi penting untuk dikaji. Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika pada pengrajin memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini keberlanjutan usaha diartikan sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Perbandingan tingkat keberlanjutan usaha diuraikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Keberlanjutan Usaha Keberlanjutan Kontinyuitas Produksi
(1) (2)
(3)
Kontinyuitas penjualan
(1)
(2)
(3)
(4) Kontinyuitas bahan (1) baku
(2)
(3)
Rendah Tidak ada keajegan dalam memproduksi barang. Memproduksi barang berdasarkan “insting” tanpa melakukan perencanaan. Mengabaikan mutu produk dan menghasilkan produk sebatas kemampuan saat ini. Berusaha menjual produk semampunya dan tidak memiliki target penjualan. Penjualan sangat fluktuatif dan tidak menentu. Pelayanan tidak menjadi bagian dari kegiatan usahanya. Tidak tersedia dana untuk kegiatan promosi. Melakukan pembelian bahan baku secara mendadak pada saat produksi dijalankan. Tidak melakukan pengecekan terhadap tersedianya bahan baku. Faktor mutu bahan tidak menjadi pertimbangan utama dalam pengadaan bahan baku.
Tinggi (1) Mampu menghasilkan produksi barang secara terus menerus. (2) Melakukan perencanaan produksi dengan didasarkan prediksi jumlah kebutuhan konsumen. (3) Selalu mengupayakan dihasilkannya produk bermutu sesuai kebutuhan konsumen. (1) Senantiasa mengupayakan terpenuhinya target penjualan. (2) Trend penjualan meningkat.
(3) Selalu melakukan tindakan proaktif untuk melayani konsumen. (4) Secara sadar mengalokasikan dana untuk promosi. (1) Melakukan perencanaan kebutuhan bahan baku yang tepat dan secara periodik. (2) Selalu mengupayakan pengendalian bahan baku secara cermat. (3) Selalu mengupayakan terpenuhinya kebutuhan bahan baku yang bermutu.
HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis penelitian berikut: Keberhasilan pemberdayaan
pengrajin menuju kemajuan dan
keberlanjutan usaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, kualitas pendukung usaha dan lingkungan. Hipotesis Kerja: (1) Perilaku wirausaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha dan lingkungannya. (2) Kemandirian usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh karakteristik individu, pendukung usaha, lingkungan dan perilaku wirausaha. (3) Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh perilaku wirausaha dan kemandirian usaha. (4) Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh kemajuan usaha. (5) Terdapat perbedaan secara nyata kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin di kedua lokasi penelitian.
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur yang merupakan daerah padat industri kecil karena 25% dari jumlah industri kecil yang ada di Indonesia berada di Jawa Timur. Sebagian besar industri kecil di Jawa Timur tumbuh dan berkembang di Sentra Industri kecil (SIK) sebanyak 2167 SIK yang terdiri dari 177216 unit usaha yang tersebar di 562 kecamatan (97,2% dari 578 kecamatan yang ada di Jawa Timur). Penelitian dilakukan terhadap seluruh pengrajin industri kecil kelompok kerajinan barang dari bahan kulit. Alasan dipilihnya kelompok ini karena: (1) perkembangan yang sangat baik, (2) menyerap tenaga kerja yang besar, dan (3) menghasilkan produk dan pendapatan paling banyak dari seluruh kelompok industri kecil di Jawa Timur.
Di Jawa Timur terdapat enam Kabupaten yang memiliki sentra industri kecil kerajinan paling potensial dari bahan kulit yang paling potensial yaitu: (1) Sidoarjo, (2) Mojokerto, (3) Malang, (4) Pasuruan, (5) Ponorogo, dan (6) Magetan. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik pengambilan sampel bertingkat (stratified random sampling), dengan dasar penentuan strata adalah kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku. Lokasi yang terpilih adalah Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Sidoarjo berada di wilayah yang mewakili daerah yang jauh dengan sumber bahan baku dan Magetan mewakili daerah yang dekat dengan sumber bahan baku. Populasi penelitian ini adalah seluruh pengrajin pada kelompok kerajinan barang dari bahan kulit yang berada pada Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan dengan jumlah populasi pengrajin 741 orang. Penarikan sampel dari setiap strata dilakukan secara proporsional, yang dalam hal ini jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Umar, 2002) sebagai berikut : n=
N 1 N (e) 2
Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran sebesar 5 % Berdasarkan rumus slovin tersebut jumlah sampel sebesar 260 pengrajin. Matrik kerangka sampel disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kerangka Sampel Penelitian Kabupaten Sidoarjo
Jumlah Populasi Pengrajin 413 pengrajin
Jumlah Sampel Pengrajin 145 pengrajin
Magetan
328 pengrajin
115 pengrajin
Total
741 pengrajin
260 pengrajin
Tabel 8Kerangka Sampel Penelitian
Rancangan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey korelasional yang dilaksanakan untuk
melihat hubungan antara peubah-peubah penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya. Peubah dalam penelitian ini adalah: (1) Karakteristik individu Pengrajin (X1), (2) Kualitas pendukung usaha (X2), (3) Lingkungan (X3), (4) Perilaku wirausaha (Y1), (5) Kemandirian pengrajin (Y2), (6) kemajuan Usaha (Y3), dan (7) Keberlanjutan usaha (Y4). Untuk mengetahui adanya hubungan atau pengaruh dilakukan uji statistik sehingga menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk menjelaskan substansi hasil uji statistik digunakan pendekatan kualitatif. Data dan Instrumentasi Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Data tersebut mencakup data pada peubah : (1) Karakteristik individu Pengrajin (X1), (2) Kualitas pendukung usaha (X2), (3) Lingkungan (X3), (4) Perilaku wirausaha (Y1), (5) Kemandirian Usaha (Y2), (6) Kemajuan usaha (Y3), dan (7) Keberlanjutan Usaha (Y4): (1) Karakteristik Individu Pengrajin (X1) adalah ciri-ciri yang melekat pada individu pengrajin yang dinyatakan dalam tingkatan yang membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. Dalam penelitian ini ciriciri pengrajin industri kecil kerajinan yang diperhatikan adalah: (a) Umur adalah lamanya tahun kehidupan pengrajin yang diukur berdasarkan jumlah tahun kehidupan. (b) Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan non formal yang ditempuh pengrajin selama hidupnya. Tingkat pendidikan formal diukur berdasarkan jumlah tahun pendidikan formal. Tingkat pendidikan non formal diukur berdasarkan jumlah jam pendidikan non formal. (c) Tanggungan Keluarga adalah jumlah individu yang masuk dalam tanggungan biaya pengrajin, diukur berdasarkan jumlah jiwa yang dibiayai hidupnya. (d) Pengalaman berusaha adalah lamanya waktu dalam tahun dalam hal melakukan aktivitas dalam bidang kerajinan, diukur berdasarkan jumlah tahun bekerja.
(e) Motivasi berusaha adalah hal yang mendorong pengrajin bekerja di bidang kerajinan saat ini, dilihat dari alasan bekerja sebagai pengrajin. (f) Pemenuhan Kebutuhan adalah aspek fisik dan psikologis yang harus dipenuhi pengrajin dalam kehidupannya yang terdiri dari sandang, pangan, papan, rekreasi dan pendidikan. Kebutuhan diukur berdasarkan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, rekreasi dan pendidikan anak dalam rupiah per tahun, serta rencana pencapaian tingkat pendidikan anak diukur dalam tahun. (g) Intensitas komunikasi adalah proses pertukaran informasi pengrajin dengan sumber informasi interpersonal berikut pencarian informasi pada media dan sumber informasi usaha. Komunikasi diukur berdasarkan: tingkat kekerapan berkomunikasi dengan sesama pengrajin, pembeli dan pemasok barang tentang hal yang berkaitan dengan usaha kerajinan, tingkat kekerapan membaca informasi tentang usaha kerajinan dari surat kabar, majalah, radio dan televisi, tingkat kekrapan bepergian ke luar desa dan keanggotaan pada organisasi sosial. (h) Aspek gender adalah persepsi pengrajin dalam melihat perbedaan yang tampak antara pria dan wanita berdasar tugas dan haknya, diukur berdasarkan tingkat perbedaan pembagian tugas antara pria dan wanita dan tingkat perbedaan upah antara kaum pria dan wanita. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Peubah Karakteristik Individu Pengrajin Indikator
Parameter
(1) Umur (2) Pendidikan
Lamanya tahun kehidupan Tingkat pendidikan formal Tingkat pendidikan non formal Anggota keluarga yang masuk dalam tanggungan pengrajin Lama bekerja sebagai pengrajin Lama bekerja di luar bidang kerajinan Pendorong bekerja sebagai pengrajin Kebutuhan dasar Kebutuhan pendidikan anak Akses jaringan komunikasi interpersonal Akses pada Media cetak dan elektronik Kosmopolitansi Persepsi pengrajin terhadap kesetaraan tugas berdasar jenis kelamin Persepsi pengrajin terhadap kesetaraan hak berdasar jenis kelamin
(3) Tanggungan Keluarga (4) Pengalaman berusaha (5) Motif berusaha (6) Tingkat Pemenuhan Kebutuhan (7) Intensitas Komunikasi
(8) Aspek Gender
Tabel 9Peubah Karakteristik Individu Pengrajin
Pengukuran data dalam peubah karakteristik individu pengrajin terbagi menjadi dua skala pengukuran yaitu skala rasio dan ordinal. Data yang berskala pengukuran rasio adalah: umur, pendidikan, tanggungan keluarga, pengalaman usaha dan kebutuhan, agar terpenuhi kesamaan skala pengukuran, maka terhadap data berskala rasio ini dilakukan transformasi ke dalam skala pengukuran ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Data motivasi berusaha, intensitas komunikasi, dan aspek gender, diukur dengan skala likert jenjang empat (1, 2, 3, dan 4) yang kemudian ditranformasikan ke dalam skala pengukuran ordinal tiga jenjang rendah, sedang dan tinggi. Guna keperluan analisis statistik dilakukan proses transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio, dengan mengunakan rumus Transformasi indeks indikator :
indeks transformasi indikator
Jumlah skor indikator n Jumlah skor maksimum
x100
Transformasi indeks peubah : Nilai indek var iabel (2)
jumlah indek indikator tiap var iabel jumlah indek maksimum tiap var iabel
x100
Pendukung Usaha (X2) adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor
yang diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang meliputi: (a) Bahan baku adalah ketersediaan bahan yang akan diolah menjadi produk kerajinan yang berasal dari kulit dan imitasinya, bahan baku diukur berdasarkan tingkat mutu bahan baku, tingkat kemudahan memperoleh bahan dan tingkat keterjangkauan harga bahan baku. (b) Pasar adalah tingkat permintaan dan jangkauan pemasaran
yang harus
dilayani pengrajin, diukur berdasarkan tingkat permintaan konsumen, jangkauan daerah pemasaran dan tingkat kesetiaan konsumen.
(c) Teknologi adalah peralatan yang digunakan dalam membuat kerajinan yang diukur dari cara memperoleh, keterjangkauan harga dan perkembangan peralatan. (d) Transportasi adalah tingkat ketersediaan sarana angkutan yang digunakan untuk kegiatan usaha, diukur berdasarkan tingkat kemudahan memperoleh, tingkat kenyamanan dan keterjangkauan harga. (e) Alat komunikasi adalah tingkat ketersediaan sarana telepon yang diukur berdasarkan tingkat kekerapan pemakaian telepon rumah, seluler dan warung telekomunikasi untuk kegiatan usaha. Keseluruhan pengukuran data dalam variabel kualitas pendukung usaha adalah menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 10.
Tabel 10. Peubah Pendukung Usaha Indikator (1) Bahan Baku
(2) Pasar
(3) Ketersediaan Teknologi
(4) Ketersediaan Sarana Transportasi (5) Ketersediaan Alat komunikasi
1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
Parameter Kualitas bahan baku Ketersediaan bahan baku Keterjangkauan harga bahan baku Permintaan Pasar Jangkauan pasar Loyalitas Konsumen Cara Memperoleh Keterjangkauan harga peralatan Perkembangan peralatan Kemudahan memperoleh angkutan Keterjangkauan ongkos angkutan Keamanan angkutan Kekerapan pemakaian telepon rumah untuk usaha Kekerapan pemakaian telepon seluler untuk usaha. Kekerapan pemakaian telepon di Wartel untuk usaha
Tabel 10Peubah Pendukung Usaha
(3) Dukungan Lingkungan (X3) adalah
individu lain, sekelompok
individu, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan
dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin industri kecil. Dukungan lingkungan ini terdiri dari: (a) Keluarga adalah individu yang memiliki hubungan darah dengan pengrajin dan individu yang memiliki hubungan darah dengan suami atau isteri pengrajin yang mempengaruhi kegiatan usahanya. Indikator ini diukur berdasarkan tingkat dukungan yang diberikan keluarga terhadap usaha kerajinan dan kesesuaian jenis usaha dengan jenis pekerjaan keluarga. (b) Pemimpin informal adalah individu yang tidak mendapat pengangkatan secara formal sebagai pemimpin namun karena memiliki sejumlah kualitas unggul memiliki kedudukan sebagai seorang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku pengrajin, diukur berdasarkan tingkat dukungan pemimpin informal terhadap kegiatan usaha masyarakat dan tingkat kekerapan pertemuan pemimpin informal dengan masyarakat. (c) Bimbingan pemerintah paerah adalah bimbingan yang diberikan oleh lembaga dinas yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan koordinasi dalam pengembangan industri kerajinan, diukur berdasarkan Tingkat kekerapan kegiatan pelatihan, dan kunjungan petugas. (d) Bimbingan Organisasi Non Pemerintah adalah organisasi non pemerintah yang
melakukan
kegiatan
pengembangan
industri
kerajinan,
diukur
berdasarkan tingkat kekerapan kegiatan pelatihan dan kunjungan organisasi non pemerintah. (e) Sistem Norma adalah aturan yang dipatuhi masyarakat dan berlaku secara lokal, diukur berdasarkan tingkat kesesuaian nilai-nilai dalam masyarakat dengan prinsip-prinsip usaha kerajinan kulit dan tingkat keterikatan pada norma dan adat istiadat. Pengukuran data dalam variabel lingkungan adalah menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 11.
Tabel 11. Peubah Lingkungan Indikator (1) Pemimpin informal (2)
Keluarga
(3)
Bimbingan Pemerintah Daerah Bimbingan Organisasi Non Pemerintah Norma dalam masyarakat
(4)
(5)
1) 2) 1) 2) 1) 2) 1) 2) 1) 2)
Parameter Dukungan pemimpin informal Pertemuan pemimpin informal dengan masyarakat. Dukungan keluarga Kesesuaian jenis usaha dengan keluarga Kekerapan kegiatan pelatihan. Kekerapan kunjungan petugas dinas Kekerapan kegiatan pelatihan. Kekerapan kunjungan petugas Organisasi Non Pemerintah Kesesuaian nilai Keterikatan pada norma
Tabel 11Peubah Lingkungan
(5) Perilaku Wirausaha (Y1) adalah cara bertindak pengrajin dalam menjalankan usaha yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. Keinovatifan adalah cara bertindak pengrajin untuk menghasilkan inovasi dan menerapkan inovasi tersebut dalam usaha kerajinan kerajinannya. Aspek kognitif keinovatifan diukur berdasarkan: pengetahuan sumber informasi inovatif, pemahaman tentang penciptaan inovasi, dan pemahaman tentang penerapan inovasi. Aspek afektif keinovatifan diukur berdasarkan: ketertarikan terhadap sumber informasi inovatif, ketertarikan untuk menciptakan inovasi, dan menerapkan inovasi. Aspek psikomotorik keinovatifan diukur berdasarkan: kecepatan mencari sumber informasi inovatif, kecepatan menghasilkan inovasi, dan kecermatan menerapkan inovasi Inisiatif adalah cara bertindak pengrajin dalam memprakarsai atau memulai suatu peluang usaha yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Aspek kognitif inisiatif diukur berdasarkan: pengetahuan tentang peluang usaha, pengetahuan tentang cara mencari identifikasi peluang usaha, dan pemahaman tentang cara menjalankan peluang usaha. Aspek afektif inisiatif diukur berdasarkan:
ketertarikan terhadap peluang usaha, ketertarikan melakukan
identifikasi peluang usaha, dan sikap dalam menjalankan peluang usaha. Aspek psikomotorik inisiatif diukur berdasarkan: kecermatan menemukan peluang usaha, ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha.
Pengelolaan Resiko adalah cara bertindak pengrajin dalam mengelola resiko usaha kerajinan baik yang akan dihadapi maupun yang sedang dihadapi. Aktivitas ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif pengelolaan resiko diukur berdasarkan pengetahuan tentang cara memprediksi resiko, pemahaman cara menjalankan usaha yang beresiko, dan pengetahuan cara menghindari resiko. Aspek afektif pengelolaan resiko diukur berdasarkan sikap terhadap usaha yang beresiko, sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko, dan sikap menghindari resiko. Aspek psikomotorik pengelolaan resiko diukur berdasarkan ketepatan memprediksi terjadinya resiko, kecermatan menjalankan usaha yang berisiko, dan ketepatan menghindari risiko. Daya saing adalah cara bertindak pengrajin dalam menghadapi persaingan usaha di bidang kerajinan. Aktivitas ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif daya saing diukur berdasarkan pengetahuan tentang strategi bersaing, pemahaman cara menghadapi persaingan, dan pemahaman tentang etika persaingan. Aspek afektif daya saing diukur berdasarkan sikap untuk menghadapi persaingan, sikap terhadap etika persaingan usaha, dan ketertarikan terhadap penerapan strategi usaha. Aspek psikomotorik daya saing diukur berdasarkan:
kemampuan
menghasilkan
keunggulan
bersaing,
kecepatan
merumuskan strategi bersaing, dan ketepatan memenangkan persaingan Pengukuran data dalam variabel perilaku wirausaha adalah menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 12. Tabel 12. Peubah Perilaku Wirausaha Indikator Keinovatifan
Parameter 1) Pengetahuan sumber informasi inovatif 2) Pemahaman tentang penciptaan inovasi 3) Pemahaman tentang penerapan inovasi 4) Ketertarikan terhadap sumber informasi inovatif 5) Ketertarikan untuk menciptakan inovasi 6) Ketertarikan menerapkan inovasi 7) Kecepatan mencari sumber informasi inovatif 8) Kecepatan menghasilkan inovasi 9) Kecermatan menerapkan inovasi
Inisiatif
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Pengelolaan Resiko
Daya Saing
Pengetahuan tentang peluang usaha Pengetahuan tentang cara mencari identifikasi peluang usaha Pemahaman tentang cara menjalankan peluang usaha Ketertarikan terhadap peluang usaha Ketertarikan melakukan identifikasi peluang usaha Sikap dalam menjalankan peluang usaha Kecermatan menemukan peluang usaha Ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha Ketepatan menjalankan peluang usaha. Pengetahuan tentang cara memprediksi resiko Pengetahuan cara menghindari resiko Pemahaman cara menjalankan usaha yang beresiko Sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko Sikap menghindari resiko Sikap terhadap usaha yang beresiko Ketepatan memprediksi terjadinya resiko Kecermatan menjalankan usaha yang berisiko Kecepatan menghindari risiko Pengetahuan tentang strategi bersaing Pemahaman cara menghadapi persaingan Pemahaman tentang etika persaingan Sikap untuk menghadapi persaingan Sikap terhadap etika persaingan usaha Ketertarikan terhadap penerapan strategi usaha Kemampuan menghasilkan keunggulan bersaing Kecepatan merumuskan strategi bersaing Ketepatan memenangkan persaingan
Tabel 12Peubah Perilaku Wirausaha
(4) Kemandirian Usaha (Y2) adalah kemampuan pengrajin dalam mengatur usahanya secara berkualitas dan kemampuan bekerjasama dengan individu atau organisasi penunjang kegiatan usaha, kemandirian ini meliputi: (1) kemandirian dalam proses produksi, (2) kemandirian dalam permodalan, (3) kemandirian dalam pemasaran, dan (4) kemandirian dalam bekerjasama. Pengukuran
data
dalam
variabel
kemandirian
pengrajin
adalah
menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala ordinal dengan kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 13. Tabel 13. Peubah Kemandirian Usaha Indikator (1) Permodalan
Parameter 1) Pengetahuan sumber permodalan 2) Pemahaman cara mengakses sumber permodalan 3) Pemahaman pengelolaan modal 4) Tanggapan terhadap sumber-sumber permodalan 5) Ketertarikan mengakses sumber-sumber permodalan 6) Sikap hemat dalam pengelolaan modal. 7) Kecepatan mencari sumber permodalan 8) Ketepatan mengakses sumber-sumber permodalan
(2) Proses Produksi
(3) Kerjasama
(4) Pemasaran
9) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Kecermatan mengelola modal. Pengetahuan tahapan proses produksi Pemahaman cara kerja peralatan produksi Pengetahuan persyaratan mutu produksi Ketertarikan atas setiap tahapan produksi Ketertarikan atas cara kerja peralatan produksi Ketertarikan terhadap pentingnya mutu produksi Ketepatan menjalankan tahapan produksi Kecermatan menggunakan peralatan produksi Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi Wawasan tentang bentuk kerjasama Pengetahuan perjanjian kerjasama Pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama Sikap mengutamakan kerjasama kemitraan (partnership) Sikap percaya diri dalam bekerjasama Sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi kerjasama Kecermatan memilih bentuk kerjasama Ketelitian menyusun perjanjian kerjasama Kecermatan bekerjasama dengan pihak lain Pengetahuan bauran promosi Pemahaman teknik menjual Pengetahuan mutu pelayanan Ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosi Tanggapan terhadap perkembangan teknik menjual Sikap mengutamakan kualitas pelayanan Kecermatan mempromosikan produk Kecepatan menjual produk Keluwesan melayani pelanggan
Tabel 13Peubah Kemandirian Usaha
(a) Kemandirian dalam permodalan adalah kemampuan pengrajin dalam pengelolaan modal secara hemat dan akumulatif serta mengakses sumber permodalan seluas-luasnya. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Aspek
kognitif
permodalan
diukur
berdasarkan
pengetahuan sumber permodalan, pemahaman cara mengakses sumber permodalan, pemahaman pengelolaan modal. Aspek afektif permodalan diukur
berdasarkan
tanggapan
terhadap
sumber-sumber
permodalan,
ketertarikan mengakses sumber-sumber permodalan, dan sikap hemat dalam pengelolaan modal. Aspek psikomotorik permodalan diukur berdasarkan kecepatan mencari sumber permodalan, ketepatan mengakses sumber-sumber permodalan, dan kecermatan mengelola modal. (b) Kemandirian dalam proses produksi adalah kemampuan pengrajin dalam melakukan proses produksi meliputi cara penanganan bahan baku sampai dengan menghasilkan barang jadi. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif proses produksi diukur berdasarkan pengetahuan tahapan proses produksi, pemahaman cara kerja peralatan produksi, dan pengetahuan persyaratan mutu produksi. Aspek afektif proses produksi diukur berdasarkan ketertarikan atas: setiap tahapan produksi, cara
kerja peralatan produksi, dan pentingnya mutu produksi Aspek psikomotorik proses produksi diukur berdasarkan ketepatan menjalankan tahapan produksi, kecermatan menggunakan peralatan produksi, dan ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi (c) Kemandirian
dalam
kerjasama
adalah
kemampuan
pengrajin
dalam
melakukan kerjasama usaha kerajinan dengan pihak yang berkaitan dengan bidang usaha kerajinan, tanpa tersubordinasi dan terdeprivasi. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif kerjasama diukur berdasarkan wawasan tentang bentuk kerjasama pengetahuan perjanjian kerjasama pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama. Aspek afektif kerjasama diukur berdasarkan sikap mengutamakan kerjasama kemitraan (partnership) sikap percaya diri dalam bekerjasama sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi kerjasama sikap percaya diri dalam bekerjasama, sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi dalam kerjasama,
dan
sikap
mengutamakan
kerjasama
kemitraan.
Aspek
psikomotorik kerjasama diukur berdasarkan kecermatan memilih bentuk kerjasama, ketelitian menyusun perjanjian kerjasama, dan kecermatan bekerjasama dengan pihak lain (d) Kemandirian dalam pemasaran adalah kemampuan pengrajin dalam melakukan kegiatan pemasaran secara prima dengan mengutamakan pelayanan kepada pelanggan secara memuaskan. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif pemasaran diukur berdasarkan pengetahuan bauran pemasaran, pemahaman teknik menjual, dan pengetahuan mutu pelayanan Aspek afektif pemasaran diukur berdasarkan ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosi, tanggapan terhadap teknik menjual, dan sikap mengutamakan kualitas pelayanan. Aspek psikomotorik pemasaran
diukur
berdasarkan
kecermatan
mempromosikan
produk,
kecepatan menjual produk, dan keluwesan melayani pelanggan. (5) Kemajuan Usaha (Y3) adalah kondisi perkembangan usaha yang diperoleh pengrajin yang dinilai dari: (1) Pertumbuhan Usaha, (2) Efisiensi Usaha, dan (3) Efektivitas Usaha.
Pertumbuhan usaha adalah peningkatan dan diversifikasi produk kerajinan yang dihasilkan dicapai pengrajin dari kondisi saat ini dengan sebelumnya. Pertumbuhan usaha diukur dari pertumbuhan penjualan, pertumbuhan produksi, pertumbuhan aktiva, perkembangan jenis produk dan pangsa pasar. Efisiensi Usaha adalah penghematan dalam biaya dan waktu yang diperoleh dalam pelaksanaan kegiatan usaha kerajinan, diukur berdasarkan perbandingan jumlah biaya produksi secara periodik dan perbandingan penggunaan waktu perunit produk yang dihasilkan secara periodik. Efektivitas usaha adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan pengrajin dalam kurun waktu tertentu, diukur berdasarkan perbandingan
jumlah
target
penjualan
dengan
realisasi
penjualan
dan
perbandingan jumlah target produksi dan realisasi produksi. Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 14. Tabel 14Peubah Kemajuan Usaha
Tabel 14. Peubah Kemajuan Usaha Indikator (1) Pertumbuhan Usaha
(2) Efisiensi usaha (3) Efektivitas usaha
Parameter (1) Pertumbuhan Penjualan (2) Pertumbuhan Volume produksi (3) Pertumbuhan Aktiva (4) Perkembangan Jenis produk kerajinan (5) Perkembangan Pangsa pasar (1) Tingkat efisiensi biaya (2) Tingkat efisiensi waktu (1) Pencapaian target produksi (2) Pencapaian target penjualan
Pengukuran data dalam variabel kemajuan usaha menggunakan skala rasio, agar terpenuhi kesamaan skala pengukuran, maka terhadap data berskala rasio ini dilakukan transformasi ke dalam skala pengukuran ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. (6) Keberlanjutan Usaha (Y4), sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Keberlanjutan usaha dinilai dari kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas input. Kontinyuitas produksi adalah sikap pengrajin dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan konsumen akan produk kerajinan yang bermutu.
Kontinyuitas produksi diukur dari: kelancaran proses, mutu produk, dan pemenuhan permintaan. Kontinyuitas penjualan adalah sikap proaktif pengrajin untuk dapat memenuhi selera konsumen atas produk kerajinan pada masa yang akan datang. Kontinyuitas penjualan diukur dari: target penjualan, peningkatan pelayanan, dan kesadaran melakukan promosi. Kontinyuitas input adalah sikap antisipatif untuk memperoleh dan merencanakan terpenuhinya bahan baku dengan jumlah yang tepat dan memiliki mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Kontinyuitas bahan baku diukur dari: perencanaan persediaan, pengendalian persediaan, dan mutu persediaan. Indikator dan pengukuran masing sub peubah tercantum pada Tabel 15.
Tabel 15. Peubah Keberlanjutan Usaha Indikator Kontinyuitas Produksi
Kontinyuitas Penjualan
Kontinyuitas Bahan baku
Parameter 1) Ketertarikan terhadap kelancaran proses produksi. 2) Tanggapan terhadap tingkat kekerapan hasil produksi pada masa yang akan datang. 3) Ketertarikan terhadap produk bermutu 4) Tanggapan terhadap upaya pengendalian mutu 5) Tanggapan tentang permintaan masa yang akan datang 6) Ketertarikan terhadap upaya pemenuhan jumlah permintaan. 1) Tanggapan atas pentingnya perencanaan dan penyusunan target 2) Ketertarikan pada upaya pemenuhan target 3) Tanggapan terhadap pelayanan bermutu 4) Ketertarikan pada upaya peningkatan pelayanan 5) Ketertarikan mengalokasikan dana untuk promosi 6) Tanggapan terhadap upaya-upaya promosi 1) Tanggapan atas pentingnya perencanaan persediaan bahan baku. 2) Ketertarikan pada upaya penyusunan perencanaan persediaan yang tepat. 3) Tanggapan terhadap pengendalian persediaan 4) Ketertarikan pada upaya pengendalian persediaan 5) Ketertarikan terhadap persediaan bahan baku bermutu 6) Tanggapan terhadap upaya memperoleh bahan baku bermutu.
Tabel 15Peubah Keberlanjutan Usaha
Pengukuran data dalam variabel keberlanjutan usaha adalah menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala ordinal jenjang rendah dan tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Instrumentasi Dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati dalam obyek penelitian. Kuesioner tersebut tersusun menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu: (1) Karakteristik individu Pengrajin, (2) Kualitas pendukung usaha, (3) Lingkungan, (4) Kemandirian Usaha, (5) Perilaku wirausaha, (6) Keberlanjutan Usaha, dan (7) Kemajuan usaha. Uji Validitas Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1987) menyatakan bahwa uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Alat ukur dikatakan sahih (valid) apabila alat ukur tersebut dapat mengukur yang sebenarnya ingin diukur. Peubah-peubah dalam penelitian sosial bersifat lebih abstrak, oleh karena itu sulit untuk menentukan fenomena secara persis. Sehingga validitas dalam ilmu sosial merupakan derajat kedekatan kepada kebenaran, bukan sesuatu yang mutlak. Untuk menentukan validitas alat ukur dalam penelitian ini dipakai tiga cara: ▪ Uji validitas konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional berdasarkan kerangka dari konsep yang akan diukur. Setelah kerangka konsep penelitian yang dibangun dari hasil pemahaman literatur ditetapkan, kemudian disusun tolok ukur operasionalnya. Penelitian ini ditekankan pada perilaku wirausaha, kemandirian usaha, kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha. ▪ Uji validitas isi, yaitu mengukur keterwakilan seluruh aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Dalam pengujian validitas isi, dilakukan penyesuaian isi alat ukur atau daftar pertanyaan dengan teori yang telah
diuraikan sebelumnya. Teori yang mendasari penelitian ini adalah: (1) teori belajar orang dewasa berdasarkan aliran behavioristik yang terdiri dari teori operant conditioning, teori belajar sosial dan teori belajar bebas, (2) teori perilaku Kurt Lewin, (3) konsep kewirausahaan, (4) konsep kemandirian, (5) konsep kinerja usaha, dan (5) konsep keberlanjutan usaha. ▪ Uji validitas konkuren, yaitu mengukur kesahihan prediktif berdasarkan hubungan yang teratur antar seluruh variabel penelitian. Dalam penelitian ini validitas konkuren dilihat dari signifikansi hubungan antara item pertanyaan pada masing-masing variabel penelitian. Hubungan diuji dengan analisis korelasi product moment pearson. Sebagai pembanding, Masrun (1979) menyatakan bilamana koefisien korelasi antara skor suatu indikator positif dan ≥0,3 maka instrumen tersebut dianggap valid (validitas kriteria). Hasil uji validitas dijelaskan pada Tabel 16. Uji Reliabilitas Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1987) menyatakan bahwa uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Reliabilitas data seluruh item pertanyaan dari seluruh variabel penelitian diuji dengan analisis reliabilitas dengan koefisen αcronbach. Merujuk pada pendapat Malhotra (1996) suatu instrumen penelitian (keseluruhan indikator) diangp reliabel (reliabilitas konsistensi internal) bilamana αcronbach ≥0,6. Hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Tabel 16. Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian No
Nama Peubah
1
Karakteristik individu (X1)
Validitas (Koefisen r) 0,793(**)
Reliabilitas (Alpha Cronbach) 0, ,7370
Keterangan valid dan reliabel
2 Pendukung Usaha (X2) 0,797(**) 3 Lingkungan (X3) 0,832(**) 4 Kemandirian Usaha (Y1) 0,855(**) 5 Perilaku wirausaha (Y2) 0,900(**) 6 Kemajuan Usaha (Y3) 0,665(**) 7 Keberlanjutan usaha (Y4) 0,686(**) Keterangan: ** Signifikan pada alpha = 0,01
0, ,8237 0, 8369 0, 6725 0, 6371 0, 6931 0, 8966
valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel valid dan reliabel
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa keseluruhan instrumen dari seluruh variabel penelitian adalah valid dan reliabel. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan mendatangi dan melakukan wawancara terhadap responden dengan berpedoman pada kuesioner yang kemudian diklarifikasi dengan wawancara mendalam dan wawancara bebas. Wawancara ini dibantu oleh 4 (empat) asisten peneliti dengan latar belakang pendidikan sarjana ilmu sosial, kemudian dibekali ketrampilan untuk mewancarai responden guna mendapatkan data. Dalam penelitian ini selain melakukan tanya jawab dengan responden, juga dilakukan wawancara dengan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penelitian, seperti pemuka adat, pengurus koperasi, pengurus LIK, petugas dinas perindustrian, dinas Koperasi dan UKM, dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Data sekunder yang diperoleh dari dokumen pelengkap yang diterbitkan oleh instansi pada dua Kabupaten yang meliputi: Kantor Pemerintah Daerah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Koperasi, dan Lingkungan Industri Kecil. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dengan menggunakan statistik meliputi: (1) analisis statistik deskriptif untuk mendeskripsikan kondisi ketujuh kelompok peubah, (2) analisis SEM (Structural Equation Modelling) untuk menguji hipotesis kesatu hingga hipotesis keempat, dan (3) uji beda rata-rata one way anova untuk menguji hipotesis kelima.
Analisis Structural Equation Modeling (SEM) yang juga dinamakan Model Persamaan Struktural merupakan salah satu metode analisis data yang sering digunakan di bidang ilmu-ilmu sosial dan perilaku (Adnyana, 2004). Metode ini digunakan untuk menunjukkan keterkaitan secara simultan antara peubah latent / peubah X dan Y (unobserved variabel) dengan peubah manifest / indikator (observed variabel). Menurut Ferdinand (2000) Model Persamaan Struktural (SEM) ini dapat menunjukkan model dalam skema lintas yang menjelaskan posisi dan arah faktorfaktor yang saling terkait, sehingga jelas faktor mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap faktor lain. Alasan digunakan Model Persamaan Struktural digunakan dalam penelitian ini karena kemampuannya untuk: (1) menampilkan sebuah model komprehensif, (2) mengkonfirmasikan dimensidimensi dari faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan pengrajin, dan (3) mengukur pengaruh hubungan-hubungan yang secara teoritis mendukung. Sehubungan dengan hipotesis yang diajukan, maka uji statistik pada hipotesis satu menggunakan analisis lintas yang kemudian digambarkan dalam model skema lintas. Adapun rumusan hipotesis satu adalah: Perilaku wirausaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha dan lingkungannya. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas pada Gambar 8. Karakteristik individu (X1) Perilaku Wirausaha (Y1) Pendukung Usaha (X2)
Lingkungan (X3)
Gambar 8. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Satu Gambar 8Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Satu
Uji statistik pada hipotesis dua menggunakan analisis lintas. Adapun rumusan hipotesis dua adalah: kemandirian usaha dipengaruhi secara langsung
oleh karakteristik individu, pendukung usaha, lingkungan, dan perilaku wirausaha. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas pada Gambar 9. Pendukung Usaha X2 KEMANDIRIAN USAHA Y2
Lingkungan X3
Perilaku Wirausaha Y1
Karakteristik individu X1
Gambar 9. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Dua Gambar 9Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Dua
Uji statistik pada hipotesis tiga menggunakan analisis lintas. Adapun rumusan hipotesis tiga adalah: kemajuan usaha dipengaruhi secara langsung oleh perilaku wirausaha dan kemandirian usaha. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas pada Gambar 10.
Kemandirian Usaha Y2
Perilaku Wirausaha (Y1)
Kemajuan Usaha Y3
Gambar 10. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Tiga Gambar 10Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Tiga
Uji statistik pada hipotesis empat menggunakan analisis lintas. Adapun rumusan hipotesis empat adalah: keberlanjutan usaha dipengaruhi secara langsung oleh kemajuan usaha. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas pada Gambar 11.
Kemajuan Usaha Y3
Keberlanjutan Usaha Y4
Gambar 11. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Empat Gambar 11Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Empat
Tahapan analisis SEM pada penelitian ini mengacu pada Joreskog dan Sorbom (1998): (1) pengembangan
model
berbasis
teori,
dalam
penelitian
ini
proses
pengembangan dijelaskan pada bagian kerangka berpikir dan hipotesis, (2) mengembangkan skema lintas hubungan yang komprehensif berdasarkan landasan teori sebagaimana tercantum pada Gambar 13. (3) konversi skema lintas ke dalam persamaan model struktural dan model pengukuran. (4) Memilih matrik input berupa matrik kovarians dari data yang telah ditransformasi ke data normal baku dengan menggunakan rumus transformasi yang telah dijelaskan pada bagian pengukuran variabel dan indikator di atas. (5) Mengevaluasi kriteria goodnes of fit. (6) Interpretasi sesuai denga hipotesis yang diajukan.
Model Pengukuran Penelitian ini adalah penelitian perilaku yang mengukur beberapa variabel berdasarkan indikator penelitian, agar semua indikator yang dianalisis benar-benar terbebas dari kekeliruan maka dalam penelitian ini digunakan analisis faktor konfirmatory yang bertujuan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan korelatif indikator dan konstruknya. Berdasarkan hasil analisis faktor terdapat beberapa indikator yang tidak fit dengan data (nilai Goodness of Fit < 0,90) sehingga dikeluarkan dari model dengan didasarkan pada pertimbangan aspek teoritis. Indikator-indikator yang fit dengan data yang kemudian di analisis lebih lanjut sehingga diperoleh hasil perhitungan model pengukuran sebagaimana ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 17Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran
Tabel 17. Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran
Variabel
Kode
Karakteristik individu X1
x12 x15 x16 x17 x18 x21 x22 x23 x24 x31 x32 x33 x34
Indikator
Pendidikan Motivasi berusaha Pemenuhan Kebutuhan Intensitas Komunikasi Aspek Gender Pendukung Usaha Bahan baku X2 Pasar Ketersediaan teknologi Ketersediaan transportasi Dukungan Pemimpin informal Lingkungan X3 Keluarga Bimbingan Pemda Bimbingan Organisasi Non Pemerintah Perilaku Wirausaha y11 Keinovatifan Y1 y12 Inisiatif y13 Pengelolaan Resiko y14 Daya Saing Tingkat y21 Kemandirian Permodalan Kemandirian y22 Kemandirian Produksi Usaha Y2 y23 Kemandirian Kerjasama y24 Kemandirian Pemasaran Tingkat Kemajuan y31 Pertumbuhan Usaha Usaha Y3 y32 Efisiensi usaha y33 Efektivitas usaha Keberlanjutan y41 Kontinyuitas Produksi Usaha Y4 y42 Kontinyuitas Penjualan y43 Kontinyuitas Bahan baku Nyata pada α= 0,05; t-hitung > t-tabel (1,965)
Koef. Bobot Faktor 0,47 0.40 0.73 0.81 0.56 0.63 0.88 0.63 0.78 0.67 0.66 0.94 0.95 0.91 0.86 0.63 0.75 0.76 0.81 0.62 0.50 0.88 0.53 0.55 0.77 0.97 0.77
Nilai t-hitung
Hasil Uji
7.73 6.46 13.16 15.11 9.35 10.83 17.14 10.69 14.32 11.93 11.71 19.81 20.43
* * * * * * * * * * * * *
12.01 11.85 9.04 10.50 10.21 10.51 8.88 8.69 13.40 8.21 8.62 12.40 14.19 12.40
* * * * * * * * * * * * * *
Berdasarkan Tabel 17, variabel karakteristik individu yang dimanifeskan menjadi lima indikator: pendidikan, motif berusaha, pemenuhan kebutuhan, komunikasi, dan gender memiliki potensi yang nyata untuk meningkatkan karakteristik individu pengrajin. Pada tingkat α=0,05 terdapat empat indikator pada variabel pendukung usaha adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa: bahan baku, pasar, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan transportasi secara nyata dapat mendukung usaha kerajinan. Variabel lingkungan dimanifeskan pada empat indikator: pemimpin informal, keluarga, bimbingan Pemda, bimbingan Organisasi Non Pemerintah, dan Norma dalam masyarakat. Indikator tersebut merupakan faktor lingkungan yang secara nyata kondusif bagi pengrajin.
Kemandirian usaha diukur berdasarkan indikator kemandirian permodalan, kemandirian
proses
produksi,
kemandirian
kerjasama,
dan
kemandirian
pemasaran. Keseluruhan nilai t-hitung indikator lebih besar dari t-tabel. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan indikator secara nyata memiliki hubungan dengan kemandirian usaha. Oleh karena itu, keempat indikator memiliki potensi untuk menentukan kemandirian usaha pengrajin. Selain itu, keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko dan daya saing secara nyata pada α=0,05 menjadi ukuran bagi kualitas perilaku wirausaha pengrajin. Secara teoritis, kemajuan usaha dilihat berdasarkan tingkat pertumbuhan usaha dan efektivitasnya. Pada penelitian ini, terbukti secara nyata bahwa kemajuan usaha dapat diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan usaha, efektivitas usaha dan efisiensi usaha, yang ditunjukkan dari nila t-hitung> t-tabel. Pada tingkat α=0,05 nilai t-hitung seluruh indikator pada variabel keberlanjutan usaha adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa: kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas bahan baku secara nyata dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha kerajinan. Berdasarkan hasil uji model pengukuran atas seluruh indikator dalam model pemberdayaan pengrajin tersebut, maka dapat dilakukan uji lanjut yaitu model persamaan struktural
Persamaan model pengukuran dalam penelitian ini adalah: Indikator Variabel X x12 x15 x16 x17 x18 x21 x22 x23 x24 x31 x32 x33 x34 Indikator Variabel
Karakteristik individu = = = = = = = = = = = = =
Pendukung Usaha
Lingkungan
λx12*X1 λx15*X1 λx16*X1 λx17*X1 λx18*X1 λx21 *X2 λx22 *X2 λx23 *X2 λx24 *X2 λx31*X2 λx32*X2 λx33*X2 λx34*X2 Perilaku Wirausaha
Kemandirian Usaha
Kemajuan Usaha
Error
+ + + + + + + + + + + + +
Keberlanjutan Usaha
δ2 δ5 δ6 δ7 δ8 δ9 δ10 δ11 δ12 δ14 δ15 δ16 δ17 Error
Y y11 y12 y13 y14 y21 y22 y23 y24 y31 y32 y33 y34 y41 y42 y43 y44
λy11*Y1 λy12*Y1 λy13*Y1 λy14*Y1
= = = = = = = = = = = = = = = =
λ y21*Y2 λ y22*Y2 λ y23*Y2 λ y24*Y2
λ y31*Y3 λ y32*Y3 λ y33*Y3 λ y34*Y3
λy41*Y4 λy42*Y4 λy43*Y4 λy44*Y4
+ + + + + + + + + + + + + + + +
ε19 ε20 ε21 ε22 ε23 ε24 ε25 ε26 ε27 ε28 ε29 ε30 ε31 ε32 ε33 ε34
Keterangan: λ = koefisien bobot faktor δ = kesalahan pengukuran indikator pada variabel X ε= kesalahan pengukuran indikator pada variabel Y
Model Struktural Hubungan kausal antar faktor dalam penelitian ini dirumuskan dalam persamaan struktural sebagai berikut: Perilaku Wirausaha (Y1)
=
γ1X1+γ 2X2+γ 3X3
+
Kemandirian Usaha (Y2)
=
γ41X1+γ 5X2+ γ6X3
+
β1Y1
Kemajuan Usaha (Y3)
=
β2Y1+ β3Y2
+
ζ 3
Keberlanjutan Usaha (Y4)
=
β4Y3
+
ζ 4
+
ζ 1 ζ 2
Keterangan: γ = koefisien jalur variabel X terhadap Y, β = koefisien jalur variabel Y terhadap Y , ζ = residu persamaan struktural
Secara keseluruhan model persamaan struktural pemberdayaan pengrajin digambarkan pada Gambar 12. Gambar 12Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan Pengrajin
δ
Menuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha
λ
β
λ
ε
Y 11 X 12
X 15
PRIBADI
WIRA
Y 12
Y 13 X 16 Y 14 X 17 Y 2 1 X 18
MAND
X 2 1
PENDUSAH
Y 2 2
Y 2 3
X 2 2 Y 2 4 X 2 3 Y 3 1 X 2 4
MAJU
Y 3 2
X 3 1 Y 3 3
Keterangan: Variabel X: PRIBADI = Karakteristik individu (X1) PENDUSAH= Pendukung Usaha (X2) LING = Lingkungan (X4) Indikator Variabel X: X12 = Pendidikan X15 = Motivasi berusaha X16 = Pemenuhan kebutuhan X17 = Intensitas Komunikasi X18 = Kesetaraan Gender X21 = Bahan baku X22 = Pasar X23 = Teknologi X24 = Transportasi X31= Keluarga X32 = Pemimpin informal X33 = Bimbingan Pemda X34 = Bimbingan Organisasi Non Pemerintah
Variabel Y: MAND = Kemandirian Usaha (Y1) WIRA = Perilaku Wirausaha (Y2) MAJU = Kemajuan Usaha (Y3) LANJUT = Keberlanjutan Usaha (Y4) Indikator Variabel X: Y11= Keinovatifan Y12=Inisiatif Y13=Pengelolaan resiko Y14=Daya saing Y21=Kemandirian Permodalan Y22=Proses Produksi Y23=Kerjasama Y24=Pemasaran Y31=Pertumbuhan Usaha Y32=Pertumbuhan Usaha Y33=Efisiensi usaha Y41=Kontinyuitas produksi Y42=Kontinyuitas penjualan Y43=Kontinyuitas penjualan
Gambar 12. Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan Pengrajin Menuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha Gambar 12 menggambarkan posisi dan arah faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasil pemberdayaan pengrajin. Pada model tersebut terlihat faktor-faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap: (1) perilaku wirausaha, (2) kemandirian usaha, (3) kemajuan usaha, dan (4) keberlanjutan usaha. Berdasarkan hasil uji hipotesis dilakukan analisis kualitatif dengan pendekatan induktif yakni tidak hanya menyajikan hasil berupa penolakan atau penerimaan hipotesis tetapi menjelaskan dan memahami situasi yang ada di lapangan. Analisis kualitatif dilakukan melalui kajian mendalam terhadap: (a) alasan filosofis pengrajin untuk melakukan usaha kerajinan (b) harapan-harapan pengrajin (c) hambatan-hambatan yang dihadapi pengrajin dalam melakukan usaha dan (d) peranan pembinaan pemerintah
Hasil akhir penelitian ini adalah menyusun model pemberdayaan yang efektif memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas guna memajukan usaha kerajinan dan meningkatkan keberlanjutan usaha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Posisi geografis Kabupaten Sidoarjo terletak berdekatan dengan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Batas sebelah utara Kabupaten Sidoarjo adalah Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Mojokerto. Kabupaten Magetan terletak di bagian barat Jawa Timur, sekitar 200 km arah barat Kota Surabaya. Sebelah barat berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo. Kedua daerah ini merupakan daerah yang menjadi sentra Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga (IKKR) barang dari bahan kulit di Jawa Timur. Beberapa jenis produk yang mampu dihasilkan pengrajin di beberapa desa di kedua kabupaten ini dijelaskan pada Tabel 18. Tabel 18Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo
Desa
Tabel 18. Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo Kecamatan Kabupaten Jenis Produksi
Balegondo
Magetan
Magetan
Ringinagung
Magetan
Magetan
Kludan Kalisampurno Kedensari
Tanggulangin Sidoarjo Tanggulangin Sidoarjo Tanggulangin Sidoarjo
Sepatu dan sandal, ikat pinggang, jaket, dompet, tas, dan berbagai asesories dari kulit. Tas, koper, dompet, ikat pinggang, jaket, sepatu sandal, sepatu, rompi, rok, celana, dan berbagai asesories dari kulit.
Berdasarkan Tabel 18, pengrajin memiliki variasi dalam menghasilkan produk kerajinannya. Pengrajin Sidoarjo merupakan penghasil produksi tas dan koper yang dominan. Usaha ini diawali oleh orang tua mereka yang membuat
koper terlebih dahulu, kemudian mengembangkan jenis produk dengan membuat tas, ikat pinggang, dompet, jaket, dan berbagai perlengkapan dari kulit. Pengrajin di Magetan memulai usaha dengan membuat sepatu dan sandal, yang kemudian berkembang menghasilkan ikat pinggang, jaket, dan berbagai produk dari kulit. Terdapat beberapa pola saluran distribusi produk kerajinan di Sidoarjo dan Magetan. Gambaran saluran distribusi yang diterapkan pengrajin dijelaskan pada Gambar 13.
Saluran distribusi dalam negeri
Pengrajin
Konsumen
Pengrajin
Koperasi / Agen kota
Konsumen
Pengrajin
Juragan
Konsumen
Pengrajin
Juragan
Agen luar kota
Konsumen
Eksportir / Trading
Konsumen pemakai
Saluran distribusi Ekspor
Pengrajin
Juragan
Gambar 13. Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur Gambar 13Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur
Pengrajin mendistribusikan produknya di dalam negeri dengan satu atau lebih pola saluran distribusi sebagaimana tercantum pada Gambar 14. Pengrajin yang menjadi anggota koperasi dapat memasarkan produknya melalui koperasi. Bagi non anggota dapat memasarkan melalui: show room sendiri, agen kota, atau juragan. Pada saluran distribusi ekspor, pengrajin masih belum bisa mengekspor langsung tetapi melalui perusahaan trading atau eksportir.
Daerah pemasaran produk kerajinan meliputi: seluruh Jawa Timur, sebagian kota besar di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Sebagian kecil adalah ekspor ke Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, Arab Saudi, dan beberapa negara di timur tengah. Kemampuan pengrajin mendistribusikan produknya ke beberapa daerah pemasaran (jangkauan pemasaran) dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) lokal meliputi kota di wilayah Jawa Timur, (2) nasional meliputi kota-kota diseluruh Indonesia, (3) nasional dan ekspor meliputi kota di seluruh Indonesia dan ekspor ke luar negeri. Sebaran jangkauan pemasaran produk kerajinan ditampilkan pada Tabel 19. Tabel 19Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan
Tabel 19. Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan Jangkauan pemasaran *
Kabupaten
Sidoarjo Magetan N % N % Lokal (Jawa Timur) saja 48 33.1 63 55.3 Nasional 90 62.1 45 39.5 Nasional dan Ekspor 7 4.8 6 5.3 Jumlah 145 100.0 115 100.0 *Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,003; FHitung=9,226) Modus = Nasional
Total N 111 135 13 260
% 42.9 52.1 5.0 100
Sebagian besar (95 persen) pengrajin memiliki jangkauan pemasaran secara nasional, pengrajin mampu memasarkan produk kerajinannya di kota-kota di Indonesia. Terdapat perbedaan yang nyata pada jangkauan pemasaran pengrajin di Sidoarjo dan Magetan; jangkauan pasar pengrajin Sidoarjo lebih luas dibanding pengrajin Magetan. Keterjangkauan transportasi dan jarak antara Sidoarjo dengan Surabaya yang dekat mendukung pengrajin menjangkau pasar yang lebih luas. Untuk menjalankan usaha kerajinan, pengrajin mempergunakan modal kerja. Modal kerja yang dijalankan pengrajin adalah jumlah dana yang dimiliki pengrajin untuk kegiatan produksi dalam jangka waktu satu bulan diluar aktiva tetap berupa mesin, peralatan, dan tempat usaha. Modal kerja ini yang diputar pengrajin setiap bulannya untuk membeli bahan baku, bahan penunjang dan biaya produksi lainnya. Sebaran responden menurut modal kerja yang dikelola terdapat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola Modal Kerja* Sidoarjo
Kabupaten Total
N 83
% 57.2
Rp.2 juta - Rp.4 juta
38
> Rp.4 juta
< Rp.2juta
Total
N
Total
75
% 51.7
N 158
% 60.8
26.2
30
20.7
68
26.2
24
16.6
10
6.9
34
13.1
145
100.0
115
100.0
260
100.0
*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,035; F hitung=4,469) Rataan= Rp.2.650.000 Tabel 20Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola
Rata-rata pengrajin mempergunakan modal kerja perbulan Rp. 2.650.000. Jika diperhatikan persentasenya, lebih dari setengah pengrajin mempergunakan modal kerja dibawah dua juta rupiah. Pengrajin memperoleh modal dari beberapa sumber permodalan yaitu: (1) modal sendiri, (2) modal pinjaman (diperoleh dari: bank, koperasi, dan pribadi), (3) modal dari juragan, dan (4) modal ventura. Seorang pengrajin bisa mengakses satu atau lebih sumber permodalan tergantung pada kemauan dan kemampuan pengrajin. Pada beberapa pengrajin tidak mau mengakses modal dari bank dengan alasan tidak tahu prosedurnya dan beberapa pengrajin tidak mampu mengakses modal dari lembaga keuangan formal (perbankan atau koperasi) karena tidak mampu memenuhi persyaratan agunannya. Modal kerja yang dikelola dipergunakan untuk membeli bahan baku dan perlengkapan usaha. Bahan baku diperoleh di lokasi industri melalui pedagang pemasok bahan baku. Bahan baku tersebut sebagian diperoleh dari sentra penyamakan kulit di Magetan, Yogyakarta, Blitar, dan Malang dengan harga Rp 13.000 - Rp 15.000 per feet. (1 feet = 28 cm persegi). Menurut pengrajin, bahan baku dari Indonesia diakui kualitasnya terbaik sehingga banyak industri luar negeri yang mencari bahan baku kulit dari Indonesia. Kebijakan yang kurang mendukung menyebabkan banyak bahan baku yang diekspor, dalam hal ini tidak ada kuota dalam ekspor bahan baku kulit sehingga kebutuhan lokal terganggu.
Menurut beberapa pengrajin, kulit yang diekspor itu adalah kulit dengan kualitas terbaik sehingga pengrajin kesulitan untuk memperolehnya. Pemda Kabupaten Sidoarjo telah mendirikan pabrik yang mampu mengerjakan pengecoran segala jenis logam non besi, untuk keperluan usaha kerajinan, misalnya: asesoris tas dan koper serta perhiasan dari bahan kuningan, tembaga dan zink. Para pengrajin yang sebelumnya tergantung pada asesoris dari luar dapat lebih menghemat dan dapat mengembangkan kreativitasnya dalam mendapatkan model tertentu sebagai ciri khas. Di Kabupaten Magetan terdapat UPT Penelitian dan Pengembangan Kulit, sehingga beberapa hasil kajian tentang pengembangan industri penyamakan dapat mendukung perkembangan bahan baku yang dapat memenuhi kebutuhan pengrajin di Magetan dan Sidoarjo. Seluruh pengrajin memiliki peralatan pokok usaha kerajinan kulita yaitu mesin jahit, dan alat pemotong. Pengrajin yang memiliki modal besar memiliki beberapa mesin yang diberi nama lokal: mesin plong, mesin seset, mesin press, mesin grinda, oven listrik, dan lain-lain. Pengrajin yang tidak memiliki mesin tersebut dapat menggunakan mesin milik pengrajin lain dengan membayar uang sewa. Pengrajin melaksanakan kegiatan produksi di rumah masing-masing (secara home industry). Pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur, sebagaimana ditampilan pada Tabel 21. Rata-rata pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan kulit di Jawa Timur berusia 37 tahun, mereka adalah generasi penerus usaha kerajinan yang dijalankan orang tua atau keluarga. Para pengrajin telah menjalankan usaha secara turun menurun dari orang tua dan keluarga mereka sebelumnya. Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Umur Umur Muda ( < 31 tahun) Dewasa (31-47 tahun) Lanjut (>47 tahun) Total
Kabupaten Sidoarjo Magetan N % N % 45 31.0 42 36.5 52 35.9 34 29.6 48 33.1 39 33.9 145 100 115 100
Total N 87 86 87 260
% 33.5 33.1 33.5 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,208; F hitung=0,649) Rataan=37,4 tahun
Tabel 21Sebaran Responden Menurut Umur
Pengalaman usaha yang dimiliki juga bervariasi, sebaran responden menurut pengalaman berusaha di bidang kerajinan dapat dilihat pada Tabel 22. Rata-rata pengalaman berusaha di bidang kerajinan kulit 12 tahun, suatu masa yang cukup penting untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik. Pengrajin bekerja sebagai petani, pedagang, karyawan swasta dan buruh pabrik sebelum bekerja di bidang kerajinan ini. Tabel 22Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha
Tabel 22. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha Pengalaman Berusaha Pemula ( <14 tahun) Menengah (14-24 tahun) Lanjut (>24 tahun) Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N % N % 42 29.0 42 36.5
Total N 84
% 32.3
48
33.1
35
30.4
83
31.9
55 145
37.9 100
38 115
33.0 100
93 260
35.8 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,228; F hitung=1,458) Rataan=12,7 tahun
Apabila pengalaman usaha tersebut dikaitkan dengan umur pengrajin (rata-rata pengrajin berumur 37 tahun), maka dapat diketahui bahwa mereka ratarata memulai karir pengrajin pada usia 24 tahun. Kronologis umur memulai usaha berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang karena wirausahawan muda cenderung akan memiliki karir yang lebih lama dan potensial untuk dapat mengembangkan karir wirausahanya (Perry, Batstone dan Pulsarum, 2003). Hasil usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin dipergunakan untuk menghidupi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pengrajin memiliki tanggungan keluarga yang dijelaskan pada Tabel 23. Tabel 23Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga
Tabel 23. Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga Jumlah Tanggungan keluarga
Kabupaten
Total
Sidoarjo Magetan N % N % N Sedikit (< 2 jiwa) 24 16.6 31 27.0 55 Sedang (2-4 jiwa) 66 45.5 57 49.6 123 Banyak (>4 jiwa) 55 37.9 27 23.5 82 Jumlah 145 100 115 100 260 *Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,005; F hitung=7,851)
% 21.2 47.3 31.5 100.0
Rataan=4 jiwa
Berdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan pengrajin rata-rata 4 orang. Terdapat perbedaan yang nyata pada aspek tanggungan keluarga di kedua lokasi, tanggungan keluarga pengrajin di Sidoarjo lebih besar dari Magetan. Sidoarjo adalah daerah pinggiran perkotaan yang memiliki daya tarik bagi pendatang, sehingga anggota keluarga yang berasal dari daerah lain di wilayah Jawa Timur turut tinggal di tempat pengrajin dan menjadi tanggungan keluarganya. Kegiatan pembinaan belum banyak dirasakan oleh pengrajin. Kegiatan pembinaan berupa pelatihan baru dirasakan oleh 67 persen pengrajin, artinya 33 persen pengrajin pengrajin belum pernah mendapatkan pembinaan melalui pelatihan atau pendidikan non formal, mereka bisa melakukan proses produksi karena belajar dari pengrajin lainnya. Beberapa kegiatan pembinaan yang pernah dilakukan di kedua lokasi dijelaskan pada Tabel 24. Tabel 24Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan Sidoarjo
Tabel 24. Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan Sidoarjo Kegiatan
Substansi/Materi
Tempat
Penyelenggara
Pelatihan
Produksi
Magetan dan Sidoarjo Magetan dan Sidoarjo Sidoarjo Sidoarjo Magetan dan Sidoarjo
Disperindag, Diskop & UKM, Koperasi, LIPI, Perguruan Tinggi, LSM.
Manajemen
Pendampingan
SDM Akuntansi Bantuan modal pinjaman dan teknik produksi.
Penyelenggaraan
pembinaan
dilaksanakan
PT POS, PT Telkom, PT BRI, NOKIA.
berdasarkan
keinginan
penyelenggara dan bersifat tidak kontinyu. Karena tidak ada koordinasi antar penyelenggara, sering materi yang diberikan saling overlap. Aspek pemerataan untuk mengakses kegiatan pembinaan masih rendah karena mereka terhalangi oleh beberapa klik pada jalur birokrasi desa seperti perangkat desa (pamong praja), koperasi, atau aktor-aktor dalam Lingkungan Industri Kecil (LIK). Faktor klik yang ada pada jalur birokrasi tersebut terbentuk dari aspek kekeluargaan dan kepemilikan modal
Sarana promosi industri kecil di Jawa Timur yang sering diakses pengrajin adalah kegiatan pameran kerajinan di tingkat Provinsi atau Nasional. Selain itu, Dinas Koperasi dan UKM juga telah membuat situs internet dengan alamat www.diskopjatim.go.id yang menampilkan fitur potensi UKM kulit di Jawa Timur.
Karakteristik Individu Pengrajin Usaha kerajinan barang dari bahan kulit di Kabupaten Sidoarjo dan Magetan dikelola oleh pengrajin yang selain sebagai pemilik usaha, tenaga produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar. Pada usaha kerajinan ini pengrajin merupakan aktor kunci dalam menggerakkan usaha kerajinan. Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka karakteristik individunya akan menentukan bagi upaya pengembangan usahanya. Karakteristik
individu
pengrajin
diukur
berdasarkan:
pendidikan,
pengalaman usaha, motivasi berusaha, tingkat pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi dan aspek gender. Ukuran ini diperoleh dari hasil analisis faktor konfirmatori, sebelumnya terdapat delapan indikator yang diperoleh dari sintesis teori dalam kerangka berpikir penelitian. Setelah dilakukan analisis faktor, indikator umur, tanggungan keluarga, dan pengalaman usaha tidak valid untuk dimasukkan dalam model pengukuran variabel karakteristik individu. Deskripsi responden menurut karakteristik individu ditampilkan pada Tabel 25. Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa aspek karaketeristik individu yang menonjol pada pengrajin di Sidoarjo dan Magetan adalah motivasi berusaha dan intensitas komunikasi. Setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi berusaha yang tinggi dan sangat tinggi, pengrajin telah memiliki motivasi berusaha yang mengarah pada orientasi ekonomi dan perkembangan usaha. Intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin di Sidoarjo juga tinggi, hampir setengah pengrajin melakukan komunikasi dengan intensitas yang tinggi dan sangat tinggi karena didukung oleh kemudahan menggunakan alat komunikasi, keterbukan, dan kemudahan memperoleh sarana transportasi dan prasarana transportasi. Aspek pendidikan non formal pengrajin di kedua lokasi masih sangat rendah. Pengrajin mendapat pendidikan non formal melalui pelatihan yang
diselenggarakan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah namun dengan intensitas yang masih sangat rendah. Tabel 25. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu Karakteristik Individu
Kriteria
Pendidikan Formal Selang skor (6-16) Rataan=9 tahun
Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA/PT Jumlah
Pendidikan Non Formal Selang skor (skor 0-40) Rataan=2,8jam
Rendah ( < 10 jam) Sedang (10–20jam) Tinggi (> 20 jam) Jumlah
Motivasi Berusaha (X15)* Selang skor (skor 0-100) Rataan=55.5
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Pemenuhan Kebuthn(X16)* Selang skor (skor 0-100) Rataan=50.2
Komunikasi (X17)* Selang skor (skor 0-100) Rataan=52.0
Aspek Gender (X18)* Selang skor (skor 0-100) Rataan=33.3
Kabupaten Sidoarjo Magetan N 50 61 34 145 119 18 8 145 16 36 32 20 41 145 21 29 32 28 35 145 16 23 40 39 27 145 50 23 36 6 30 145
% 34,5 42,1 23,4 100,0 82,1 12,4 5,5 100,0 11,0 24,8 22,1 13,8 28,3 100 14,5 20,0 22,0 19,3 24,1 100,0 11,0 15,9 27,6 26,9 18,6 100,0 34,5 15,9 24,8 4,1 20,7 100,0
N 46 41 28 115 89 12 14 115 21 44 12 12 26 115 28 20 34 21 12 115 32 24 23 20 16 115 42 9 39 5 20 115
% 40,0 35,7 24,3 100,0 77,4 10,4 12,2 100,0 18,3 38,3 10,4 10,4 22,6 100 24,3 17,4 29,6 18,3 10,4 100,0 27,8 20,9 20,0 17,4 13,9 100,0 36,5 7,8 33,9 4,3 17,4 100,0
Total N 96 102 62 260 208 30 22 260 37 80 26 50 67 260 49 49 66 49 47 260 48 47 63 59 43 260 92 32 75 11 50 260
Tabel 25Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu
Keterangan: Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Pendidikan Berdasarkan Tabel 25, hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata pengrajin menempuh tingkat pendidikan formal di tingkat SMTP atau
% 36,9 39,2 23,8 100,0 80,0 11,5 8,5 100,0 14,2 30,8 10,0 19,2 25,8 100 18,9 18,9 25,4 18,9 18,1 100,0 18,5 18,1 24,2 22,7 16,5 100,0 35,4 12,3 28,8 4,2 19,2 100,0
masa studi pendidikan formal 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat pendidikan di kedua lokasi. Masa tempuh pendidikan non formal pengrajin masih sangat rendah, rata-rata pengrajin hanya menempuh pendidikan non formal 8 jam selama kurun waktu menjalankan usaha di bidang kerajinan. Pendidikan (baik formal maupun non formal) merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Rata-rata pendidikan pengrajin rendah atau setingkat SMP. Pengrajin yang berpendidikan tinggi mempunyai potensi untuk meraih keberhasilan lebih lanjut dengan memanfaatkan pendidikan yang dimilikinya, sebagaimana dikemukakan oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) yang menemukan bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah. Rajagapolan dan Datta (1996) menemukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan pengalaman usaha terhadap tingkat pertumbuhan usaha. Temuan ini juga mendukung temuan Haber dan Reichel (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan kesuksesan penguatan jejaring. Motivasi dan Pemenuhan Kebutuhan Rata-rata motivasi berusaha pengrajin di Sidoarjo adalah sedang (skor=55,5). Terdapat perbedaan yang nyata pada motivasi berusaha pengrajin di kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi yang lebih tinggi dari pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan kawasan industri di Jawa Timur, dinamika lingkungan usaha yang tinggi cenderung mendorong pengrajin untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga kebutuhan pertumbuhan dan keberlanjutan usahanya di masa depan. Motivasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi berusaha merupakan alasan pokok yang mendasari pengrajin untuk berperilaku dan memutuskan untuk
tetap bertahan melakukan kegiatan usaha di bidang kerajinan. Agar dapat mengembangkan usahanya, seyogyanya seorang pengrajin yang juga seorang wirausahawan memiliki motivasi berusaha yang tinggi guna menggerakkan pengrajin untuk memenuhi kebutuhan perkembangan usaha. Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat (sifat nurani yang timbul dengan sendirinya dan memiliki daya dorong) dan keinginan (sifat hati nurani yang timbul karena orang berminat terhadap sesuatu dan mendorong terbentuknya motif untuk berbuat). Motif yang besar akan timbul manakala ada kebutuhan yang disadari yang menimbulkan keinginan, menimbulkan minat dan menimbulkan motif. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi pengrajin dalam berusaha adalah tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga. Hubungan antara tingkat pemenuhan kebutuhan dan motivasi berusaha ditampilkan pada Tabel 26. Tabel 26. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha dan Pemenuhan Kebutuhan Motivasi berusaha
Sangat rendah N %
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rendah Sedang Tinggi
Total Sangat Tinggi N %
N % N % N % N % Sangat rendah 12 32 20 25 3 13 7 13 7 10 49 19 Rendah 12 32 21 26 4 14 7 14 5 7 49 19 Sedang 10 27 22 28 7 28 14 28 13 19 66 25 Tinggi 0 0 8 10 7 25 13 25 22 33 49 19 Sangat Tinggi 3 8 9 11 5 20 10 20 20 30 47 18 Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100 *Hasil Uji Chi-Square, Nyata pada α= 0,05, (P=0,00) Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. Rata-rata motivasi berusaha sedang (skor=55,5) Tabel 26Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha dan Pemenuhan Kebutuhan
Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan karena pengrajin memiliki motivasi yang rendah. Mereka menjalankan usaha kerajinan mengikuti teman, tetangga dan orang tua. Alasan-alasan ekonomi kurang menjadi pertimbangan dalam memilih berusaha sebagai pengrajin. Upaya memenuhi kebutuhan hidup merupakan salah satu bentuk tanggung jawab terhadap keluarga yang menjadi tanggungannya. Hubungan antara motivasi berusaha dengan tanggungan keluarga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa semakin tinggi tanggungan keluarga, maka
semakin tinggi motivasi berusaha. Pada komunitas pengrajin, terdapat satu keterkaitan antara tingkat pemenuhan kebutuhan, tanggungan keluarga dan motivasi berusaha. Tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi pendorong yang signifikan bagi pengrajin untuk berusaha.
Tabel 27. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga dan Motivasi Berusaha Tanggungan Keluarga
Sangat rendah N %
Motivasi berusaha* Rendah Sedang Tinggi N
%
N
%
N
%
Total Sangat Tinggi N %
N
%
Kurang dari 2 orang
6 17 13 17 4 17 8 17 11 17 43 17 2-4 orang 9 23 19 23 6 23 12 23 16 23 61 23 Lebih dari 4 orang 22 60 48 60 16 60 30 60 40 60 156 60 Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100 Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05. Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. Tabel27Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga dan Motivasi Berus aha
Komunikasi Pengrajin melakukan komunikasi dengan tingkat yang baik dengan rataan sedang (rata-rata skor=52). Suatu kondisi yang potensial untuk mendukung program pemberdayaan pengrajin, karena mereka telah memiliki bekal intensitas komunikasi yang baik. Intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Hubungan antara intensitas komunikasi dan pendidikan ditampilkan pada Tabel 28. Berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 28 terbukti bahwa terdapat hubungan yang nyata antara komunikasi dengan tingkat pendidikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pengrajin, maka semakin tinggi intensitas komunikasinya. Pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih mampu melakukan komunikasi interpersonal, akses media cetak dan elektronik serta kosmopolitansi daripada pengrajin yang tingkat pendidikannya rendah.
Tabel 28. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Intensitas Komunikasi dan Pendidikan Tingkat Pendidikan
Lulus SD/Kurang Lulus SMTP Lulus SMTA ke atas Jumlah
Intensitas Komunikasi* Sangat rendah N %
Rendah N
Sedang
%
N
%
Total
Tinggi N
%
Sangat Tinggi N %
N
18
37
17
37
23
37 22
37
16
37
96
37
19 11
39 24
18 11
39 24
25 15
39 23 24 14
39 24
17 10
39 24
102 62
39 24
48
100
47
100
63
100
43
100
260
100
100
59
Keterangan: *Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05. Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. Rata-rata intensitas komunikasi sedang (skor=52,03) Tabel 28Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Komunikasi dan Pendidikan
Komunikasi diperlukan oleh seseorang demi terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan orang lain. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, yang terpenuhi melalui pertukaran pesan yang merupakan jembatan untuk relasi sosial antar manusia. Begitu pula pada pengrajin, tanpa
%
komunikasi pengrajin akan terisolasi dengan dunia di luar
dirinya, yang diperlukan untuk kebutuhan usaha dan sosialnya. Bagi pengrajin, berkomunikasi dengan konsumen, pemasok, teman sesama pengrajin, pemberi modal sangat penting untuk keberlangsungan usaha kerajinannya. Pengrajin memiliki kemampuan untuk mengkases media cetak dan elektronik yang masih rendah, akses ini terkait dengan informasi model produk. Aspek Gender Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, aspek Gender dalam kegiatan usaha kerajinan masih rendah dengan skor rataan kesetaraan gender pada kedua lokasi menunjukkan nilai yang rendah (33,26). Terdapat perbedaan yang nyata pada aspek gender di kedua lokasi, aspek gender di Sidoarjo lebih tinggi dari Magetan. Pengrajin di Sidoarjo memiliki persepsi tentang adanya kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan yang lebih tinggi dari pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan wilayah industri
dan dekat dengan pusat perdagangan di Jawa Timur. Hal ini menyebabkan banyak tenaga kerja wanita yang bekerja di sektor industri / pabrik yang mengikuti standar upah minimum. Kesadaran wanita akan hak-haknya menjadi lebih baik, posisi tawar wanita untuk bekerja dengan upah yang setara dengan laki-laki menjadi lebih tinggi karena ada pembanding yaitu bekerja di pabrik. Pada Kabupaten Magetan yang wilayahnya jauh dari pusat industri dan lebih dekat dengan pertanian, pengrajin masih membedakan upah untuk tenaga kerja wanita dan laki-laki. Terdapat kesenjangan dalam pembagian tugas kerajinan, kegiatan produksi lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Perempuan mendapat tugas di bagian penjualan sebagai penjaga toko (show room), finishing dan tenaga pemasaran. Sedangkan kegiatan produksi, pengadaan bahan baku, pengaturan keuangan dan permodalan lebih banyak dijalankan oleh laki-laki. Sistem pengupahan pada kegiatan produksi dilakukan per unit produk yang dihasilkan dengan upah untuk sepatu Rp. 6.000,- per unit, tas Rp.3.000,- sampai Rp.5.000, perunit, ikat pinggang dan dompet Rp.3.000 per unit. Sedangkan untuk pekerjaan yang biasa dikerjakan perempuan di bidang kerajinan digaji Rp.200.000,- per bulan, sehingga terdapat kesenjangan dalam upah yang diperoleh pengrajin laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender dalam hal penggajian dan pembagian tugas diangkat dalam penelitian kerajinan ini karena usaha kerajinan membutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam proses produksi. Hubungan antara aspek gender dengan kemandirian produksi diuji dengan chi square, yang ditampilkan pada Tabel 29. Tabel 29. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Aspek Gender dan Kemandirian Produksi Kemandirian Produksi
Aspek Gender* Sangat rendah N %
Rendah N
%
Sedang N
%
Total Tinggi
N
Sangat Tinggi N %
%
Sangat rendah
22
24
9
28
14
19
0
0
Rendah
41
45
2
6
14
19
2
18
Sedang
16
17
2
7
9
12
2
18
Tinggi
8
9
8
24
24
32
2
18
Sangat Tinggi
5
5
11
34
14
19
5
92
100
32
100
75
100
11
Jumlah
14
N
%
10
49
19
3
7
49
19
3,7
19
66
25
12
33
49
19
45
17
30
47
18
100
50
100
260
100
Keterangan:
*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05. Chi-square hitung=16,07
Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. Rata-rata aspek gender rendah (skor=33,26) Tabel29Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Gender dan Kemandirian Produksi
Terdapat hubungan yang nyata antara aspek gender dengan kemandirian produksi, rendahnya kemandirian produksi salah satunya adalah disebabkan oleh kesetaraan gender yang rendah. Ada diskriminasi penggajian dan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan kurang memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam usaha kerajinan ini. Proses produksi yang dijalankan pengrajin dalam membuat tas, sepatu atau asesoris lainnya membutuhkan kegiatan menjahit, mengelem atau merapikan yang membutuhkan ketelitian. Keterlibatan perempuan berpeluang lebih meningkatkan hasil dan mutu produk kerajinan ini. Peran dan posisi perempuan dalam kegiatan usaha tidak lepas dari konstruksi masyarakat yang dikuatkan dengan produk-produk budaya yang bias laki-laki. Produk budaya yang bias laki-laki yang terkait dengan kondisi kedua kabupaten adalah bahwasanya perempuan memiliki tugas primer sebagai ibu rumah tangga, sehingga dalam usaha kerajinan memiliki fungsi sekunder. Faktor Pendukung Usaha Berdasarkan hasil analisis faktor diperoleh empat faktor yang layak untuk mengukur kualitas pendukung usaha yaitu: berdasarkan kualitas bahan baku, ketersediaan
pasar,
ketersediaan
teknologi
peralatan
produksi,
dan
keterjangkauan sarana transportasi. Deskripsi responden menurut kualitas pendukung usaha ditampilkan pada Tabel 30. Ketersediaan Bahan Baku Rata-rata faktor ketersediaan bahan baku adalah rendah (skor rataan=37,4). Ketersediaan bahan baku di kedua lokasi berbeda nyata, ketersediaan bahan baku di kabupaten Magetan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten Sidoarjo. Bahan baku sangat mutlak diperlukan untuk menghasilkan produk kerajinan bermutu. Kabupaten Magetan merupakan salah satu penghasil kulit yang potensial di Indonesia sehingga pengrajin lebih mudah mengakses bahan baku ini. Pengrajin di Kabupaten Sidoarjo mengeluh sering kekurangan bahan baku. Kurangnya bahan baku kulit ini menyebabkan pengrajin hanya mampu memenuhi 50 persen
pesanannya, proses produksi menjadi terlambat dua minggu dari jadwal dan biaya produksi meningkat dua kali lipat. Tabel 30. Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha Kualitas Pendukung Usaha Bahan Baku* Selang skor (0-100) Rataan=37,4
Pasar* Selang skor (0100) Rataan=40,3
Teknologi* Selang skor (0100) Rataan=44,4
Transportasi* Selang skor (0100) Rataan=44,6
Kriteria
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N 45 11 56 15 18 145 17 50 19 30 29 145 11 36 14 56 28 145 14 28 26 36 41 145
% 31,0 7,6 38,6 10,3 12,4 100,0 11,7 34,5 13,1 20,7 20,0 100,0 7,6 24,8 9,6 38,6 19,4 100,0 9,6 19,3 17,9 24,8 28,4 100,0
N 19 6 39 25 26 115 27 37 18 15 18 115 30 47 7 24 7 115 29 28 19 23 16 115
% 16,5 5,2 33,9 21,8 22,6 100,0 23,5 32,2 15,7 13,0 15,6 100,0 26,1 40,9 6,1 20,9 6,0 100,0 25,2 24,3 16,5 20,0 13,9 100,0
Total N 64 17 95 40 44 260 44 87 37 45 47 260 41 83 21 80 35 260 43 56 45 59 57 260
% 24,6 6,5 36,5 15,4 16,9 100,0 16,9 33,5 14,2 17,3 18,1 100,0 15,8 31,9 8,1 30,8 13,4 100,0 16,5 21,5 17,3 22,7 21,9 100,0
Keterangan: Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05. Tabel 30Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha
Meskipun peraturan pemerintah melarang ekspor bahan baku kulit setengah jadi, masih banyak industri penyamak kulit yang mengekspor bahan bakunya ke luar negeri tanpa memperhatikan kebutuhan lokal. Keterbatasan bahan baku menyebabkan harga menjadi naik. Pengrajin juga semakin kesulitan mendapat bahan baku karena industri penyamakan kini menerapkan sistem pembayaran uang tunai. Pengrajin mengharapkan pemerintah ikut memikirkan persediaan bahan baku bagi industri kecil. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini sangat dirasakan oleh pengrajin yang berorientasi ekspor.
Ketersediaan Pasar Faktor ketersediaan pasar bagi pengrajin adalah rendah (rata-rata 37,4). Terdapat perbedaan yang nyata pada ketersediaan pasar diantara kedua lokasi, lebih dari setengah pengrajin Magetan berhadapan dengan ketersediaan pasar yang rendah sedangkan empat puluh persen pengrajin di Sidoarjo menyatakan bahwa ketersediaan pasar tinggi. Jangkauan pemasaran produk kerajinan masih belum optimal dilayani oleh pengrajin Magetan. Pengrajin baru mampu menjangkau pasar lokal (wilayah Jawa Timur). Pasar nasional dan ekspor belum banyak dijangkau oleh pengrajin Magetan, tetapi aspek loyalitas konsumennya bagus. Pengrajin Magetan memiliki konsumen yang loyal dengan produk tersebut karena sepatu kulit yang dihasilkan lebih tahan lama, khususnya produk sepatu sekolah. Ketersediaan pasar di Sidoarjo relatif lebih tinggi karena konsumen lebih mudah menjangkau produk dengan mendatangi lokasi sentra kerajinan dan perdagangan di Sidoarjo, selain itu kedekatan dengan pusat perdagangan (Surabaya) juga mendukung kemudahan pendistribusian produk ke daerah lain. Ketersediaan Sarana Teknologi Ketersediaan sarana teknologi penunjang proses produksi tas dan sepatu pada kedua lokasi adalah sedang (skor rataan= 44,4). Ketersediaan teknologi kerajinan di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki ketersediaan teknologi relatif tinggi sedangkan hampir tujuh puluh persen pengrajin di Magetan memiliki ketersediaan teknologi yang rendah. Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketersediaan teknologi yang lebih tinggi dari Magetan karena perkembangan peralatan pada pengrajin di Sidoarjo dipengaruhi oleh lingkungan industri yang berkembang pesat di kawasan tersebut. Pengrajin lebih mudah melakukan modifikasi mesin-mesin yang tersedia karena komponen mudah diperoleh di sekitar Sidoarjo. Pada pengrajin di Magetan, peralatan yang dimiliki jarang diperbaharui, pengrajin kurang mempertimbangkan aspek
penyusutan peralatan terutama acuan ukuran sepatu, sehingga mempengaruhi kualitas proses dan produk yang dihasilkan.
Keterjangkauan Sarana Transportasi Keterjangkauan sarana transportasi untuk kegiatan usaha kerajinan di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki keterjangkauan teknologi relatif tinggi sedangkan lebih setengah pengrajin Magetan memiliki keterjangkauan transportasi yang rendah. Pengrajin di Magetan mengalami hambatan dalam biaya transportasi yang semakin meningkat, kenaikan harga bahan bakar minyak dirasakan amat memberatkan pengrajin dalam melakukan pengiriman ke luar daerah. Selain itu kepemilikan sarana transportasi yang masih rendah mengakibatkan semakin mahalnya biaya yang berdampak pada keterjangkauan sarana transportasi rendah. Pengrajin Sidoarjo dapat mengakses sarana transportasi Kereta Api untuk pendistribusian produknya, keberadaan sarana transportasi kereta api meringankan beban biaya transportasi karena pengiriman barang di Pulau Jawa bisa di jangkau dengan transportasi ini dengan biaya relatif murah.
Faktor Lingkungan Lingkungan ini memberikan dukungan pada pelaksanaan usaha kerajinan, sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin. Hasil analisis faktor membuktikan bahwa dukungan lingkungan yang melingkupi pengrajin dan usaha kerajinan layak diukur berdasarkan: dukungan keluarga, dukungan pemimpin informal, bimbingan Pemerintah Daerah, dan bimbingan Organisasi non pemerintah. Deskripsi indikator dalam variabel lingkungan tercantum pada Tabel 31. Dukungan Pemimpin Informal Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda di lingkungan pengrajin berinteraksi dengan pengrajin pada kegiatan sosial dan keagamaan. Pada pertemuan-pertemuan tersebut terjadi komunikasi antara pemimpin informal
dengan pengrajin yang menyampaikan informasi di bidang sosial kemasyarakatan dan pesan-pesan yang terkait dengan kegiatan kerajinan. Dukungan pemimpin informal terhadap usaha kerajinan ini adalah sedang (rata-rata 50,3), terdapat perbedaan nyata pada dukungan pemimpin informal di kedua lokasi. Tabel 31. Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha Dukungan Lingkungan Usaha Pemimpin Informal* Selang skor (0-100) Rataan=50,3
Keluarga* Selang skor (0-100) Rataan=51,2
Bimbingan Pemda* Selang skor (0-100) Rataan=31,2
Bimbingan Ornop* Selang skor (0-100) Rataan=33,7
Kriteria
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N 34 26 32 29 24 145 35 11 48 34 17 145 32 30 23 25 35 145 18 43 30 18 36 145
% 23,4 17,9 22,1 20,0 16,5 100,0 24,1 7,6 33,1 23,5 11,7 100,0 22,1 20,7 15,9 17,2 24,1 100,0 12,4 29,7 20,7 12,4 24,8 100,0
N 14 29 18 30 24 115 19 18 19 33 26 115 39 31 13 15 17 115 47 22 5 11 30 115
% 12,2 25,2 15,6 26,1 20,9 100,0 16,5 15,7 16,5 28,7 22,6 100,0 33,9 26,9 11,4 13,0 14,8 100,0 40,9 19,1 4,3 9,6 26,1 100,0
Total N 48 55 50 59 48 260 54 29 67 67 43 260 71 61 36 40 52 260 65 65 35 29 66 260
% 18,5 21,1 19,2 22,7 18,4 100,0 20,8 11,1 25,8 25,8 16,5 100,0 27,3 23,5 13,8 15,4 20,0 100,0 25,0 25,0 13,5 11,1 25,4 100,0
Keterangan: Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05. Tabel 31Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha
Hubungan sosial kemasyarakatan antara pemimpin informal dan masyarakat mengarahkan masyarakat berinteraksi lebih intensif dengan pemimpinnya. Hampir setengah pengrajin Magetan mendapat dukungan pemimpin
informal
relatif
tinggi,
namun
terdapat
hubungan
sosial
kemasyarakatan yang cenderung lemah pada masyarakat di Sidoarjo yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga pada usaha kerajinan di kedua lokasi adalah sedang (rata-rata 51,2). Terdapat perbedaan yang nyata dukungan keluarga pada usaha kerajinan di kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo mendapat dukungan keluarga lebih rendah dari Magetan. Pengrajin menjalankan usaha kerajinan ini secara turun temurun dalam lingkup rumah tangga. Kegiatan kerajinan yang dijalankan dalam keluarga menjadikan mereka memiliki pemahaman yang mendalam dalam usaha kerajinan ini. Terdapat hal menarik untuk dikaji pada pengrajin di Sidoarjo, meskipun keluarga besar telah menjalankan usaha kerajinan yang sama namun dukungan terhadap usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin relatif rendah. Lingkungan berusaha di Sidoarjo mengarah pada lingkungan yang kompetitif sehingga tingkat dukungan kepada anggota keluarga yang menjalankan usaha kerajinan cenderung kurang. Hal ini tidak ditemui pada pengrajin di Magetan, lebih dari setengah pengrajin di Magetan mendapat dukungan keluarga relatif tinggi. Bimbingan Pemerintah Daerah Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Magetan mendapat bimbingan dari pemerintah daerah yang relatif masih rendah. Kurang intensifnya bimbingan yang diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di Magetan diketahui berdasarkan banyaknya pengrajin yang belum pernah mendapat bimbingan pelatihan atau pendampingan (33 persen). Kunjungan petugas dinas kepada pengrajin juga jarang dilakukan kepada pengrajin di Magetan ini. Pengrajin di Sidoarjo memperoleh bimbingan yang lebih baik dari pengrajin di Magetan, kedekatan dengan pusat pemerintahan menjadikan pengrajin relatif lebih sering mendapat pelatihan atau kunjungan baik dari dinas perindustrian dan perdagangan maupun dinas koperasi dan UKM provinsi dan kabupaten. Bimbingan Organisasi Non Pemerintah Organisasi non pemerintah yang memberikan bimbingan kepada pengrajin adalah: perusahaan swasta, perusahaan milik negara, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan LSM. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah pada
pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah (skor rata-rata 33,7). Terdapat perbedaan yang nyata pada faktor bimbingan organisasi non pemerintah antar pengrajin Magetan dan Sidoarjo. Bimbingan organisasi non pemerintah kepada pengrajin di Sidoarjo relatif lebih tinggi dari Magetan karena lokasi Sidoarjo relatif lebih dekat dan mudah untuk didatangi oleh organisasi tersebut. Gambaran Perilaku Wirausaha Pengrajin Perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. Gambaran tentang perilaku wirausaha pengrajin di kedua lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 32. Tabel 32. Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha Indikator Perilaku Wirausaha Keinovatifan* Selang skor (0-100) Rataan=32,5
Inisatif* Selang skor (0-100) Rataan=34,4
Pengelolaan Resiko* Selang skor (0-100) Rataan=27,6
Daya Saing* Selang skor (0-100) Rataan=31,7
Perilaku Wirausaha Selang skor (0-100) Rataan=33,8
Kriteria Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N % N % 23 15,9 34 29,6 14 9,7 28 24,3 25 17,2 31 27,0 45 31,0 13 11,3 38 26,2 9 7,8 145 100,0 115 100,0 27 18,6 27 23,5 25 17,2 26 22,6 27 18,6 27 23,5 48 33,1 18 15,7 18 12,4 17 14,8 145 100,0 115 100,0 41 28,3 18 15,7 34 23,4 28 24,3 14 9,7 19 16,5 29 20,0 25 21,7 27 18,6 25 21,7 145 100,0 115 100,0 29 20,0 32 27,8 32 22,1 25 21,7 18 12,4 5 4,4 33 22,8 34 29,6 33 22,8 19 16,5 145 100,0 115 100,0 30 20,7 21 18,3 24 16,6 24 20,9 28 19,3 30 26,1 29 20,0 21 18,3 34 23,4 19 16,5 145 100,0 115 100,0
Total N 57 42 56 58 47 260 54 51 54 66 35 260 59 62 33 54 52 260 61 57 23 67 52 260 51 48 58 50 53 260
% 21,9 16,2 21,5 22,3 18,1 100,0 20,8 19,6 20,8 25,4 13,5 100,0 22,7 23,8 12,7 20,8 20,0 100,0 23,5 21,9 8,9 25,8 20,0 100,0 19,6 18,5 22,3 19,2 20,4 100,0
Keterangan: Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05. Tabel 32Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha pengrajin (keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing) adalah relatif rendah (rata-rata skor dibawah 40). Terdapat perbedaan yang nyata pada seluruh faktor perilaku wirausaha pengrajin di kedua lokasi. Aspek perilaku wirausaha yang menonjol pada pengrajin Sidoarjo adalah keinovatifan dan inisiatif, sedangkan pengrajin Magetan yang menonjol adalah pengelolaan resiko dan daya saing. Keinovatifan Pengrajin Rata-rata tingkat keinovatifan pengrajin adalah masih rendah (skor=32,5). Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat keinovatifan pengrajin, lima puluh tujuh persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keinovatifan tinggi dan lima puluh empat persen pengrajin Magetan memiliki tingkat keinovatifan rendah. Tingkat keinovatifan pengrajin yang diukur berdasarkan parameter pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin ditampilkan pada Gambar 15.
Sikap
Ketrampilan
50
50
45 40
45 40
45
35
35
40 35
30
30
30
25 20 15
25 20 15
5
10 5
0
0
10
1
2
3
4
Persen
50
Persen
P ersen
Pengetahuan
Sidoarjo
20 15 10 5 0
1
5
25
2
3
4
Magetan
5
1
2
3
4
5
Total
Gambar 14Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Keterangan: Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 14. Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa lebih dari setengah pengrajin di kedua lokasi memiliki pengetahuan inovasi usaha yang rendah, empat puluh persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk menerapkan inovasi pengrajin yang tinggi, dan hampir setengah pengrajin memiliki ketrampilan penerapan inovasi yang masih rendah. Setengah pengrajin di kedua lokasi memiliki pengetahuan dalam inovasi usaha rendah, namun pengrajin memiliki ketertarikan terhadap inovasi berusaha yang lebih baik. Empat puluh persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk menerapkan inovasi yang tinggi, pengrajin di Sidoarjo memiliki ketertarikan untuk mencari inovasi baru yang terkait dengan model atau bentuk produk. Ketrampilan penerapan inovasi secara keseluruhan adalah rendah. Pengrajin kurang cermat dan teliti untuk mencoba membuat cara-cara berusaha baru yang lebih baik. Pengrajin cenderung mengikuti cara-cara berusaha yang telah ada dan mencoba menerapkan inovasi setelah orang lain menerapkannya.
Inisiatif Pengrajin Inisiatif pengrajin dalam berusaha di kedua lokasi adalah relatif rendah (rata-rata skor 34,4). Gambaran pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin dalam menginisiasi suatu usaha dapat dilihat pada Gambar 15. Ketrampilan
Sikap 50
50
45 40
45 40
45 40
35 30
35 30
35 30
25 20
25 20
15 10
15 10
5 0
5 0
1
2
3
4
5
Persen
50
Persen
P ersen
Pengetahuan
15 10 5 0 1
Sidoarjo
25 20
2
3
Magetan
4
5
1
2
3
4
5
Total
Gambar 15Tingkat Inisatif Pengrajin
Keterangan: Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 15. Tingkat Inisatif Pengrajin Aspek pengetahuan, sikap,dan ketrampilan dalam faktor inisiatif berusaha pengrajin di kedua lokasi lebih kondusif dibandingkan ketiga faktor lain dalam variabel perilaku wirausaha. Aspek yang menonjol pada faktor inisiatif berusaha adalah aspek sikap, lebih dari empat puluh persen memiliki ketertarikan terhadap peluang usaha yang tinggi. Lebih dari setengah pengrajin memiliki pengetahuan tentang insiatif memulai usaha pada kategori sedang, dan tiga puluh lima persen pengrajin memiliki ketrampilan memulai usaha baru yang masih rendah. Terdapat perbedaan nyata pada inisiatif pengrajin di kedua lokasi, empat puluh lima persen pengrajin di Sidoarjo memiliki inisiatif relatif tinggi sedangkan empat puluh enam persen pengrajin di Magetan memiliki inisiatif relatif rendah. Rendahnya inisiatif berusaha pengrajin di Kabupaten Magetan ini dapat dilihat dari rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Tiga puluh sembilan persen pengrajin memiliki tingkat pengetahuan (tentang peluang usaha, cara memanfaatkan peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) yang rendah. Terdapat pemikiran pengrajin untuk tidak memproduksi kerajinan dengan jenis produk, model dan pelanggan yang lain karena produk yang dihasilkan saat ini dianggap bisa dipasarkan. Ketertarikan pengrajin (terhadap peluang usaha, cara memanfaatkan peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) adalah rendah. Sikap pengrajin ketika berhadapan dengan jenis produk dan pangsa pasar baru juga tidak kondusif, mereka tidak tertarik untuk memanfaatkan peluang usaha yang baru sebelum ada teman sesama pengrajin yang memulainya. Selain itu mereka lebih tertarik melayani dan menekuni pasar yang sudah ada sehingga cenderung mengabaikan peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian. Ketrampilan
pengrajin
dalam
(menemukan
peluang,
melakukan
identifikasi peluang usaha, dan memanfaatkan peluang usaha) cenderung rendah, tingkat ketelitian dan kecermatan memulai usaha juga cenderung rendah. Lima puluh lima persen pengrajin menjalankan kegiatan usaha kerajinan mengacu kegiatan yang sejenis dengan pengrajin lain. Inisiatif yang lebih baik terdapat pada pengrajin di Kabupaten Sidoarjo, mereka senang terhadap jenis dan pangsa pasar baru serta cermat dalam
memproduksi dan memanfaatkan peluang pasar baru. Ketika produk telepon seluler (ponsel) mulai banyak digunakan orang, beberapa pengrajin menjalin hubungan dengan produsen ponsel Nokia untuk membuat sarung ponsel dari kulit.
Pengelolaan Resiko Pengelolaan resiko usaha pada kedua lokasi adalah rendah dengan rata– rata skor 27,6. Kemampuan mengelola resiko pengrajin di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki pengelolaan resiko relatif rendah sedangkan setengah pengrajin di Magetan memiliki pengelolaan resiko yang relatif tinggi. Pengrajin di Magetan melaksanakan pekerjaan cenderung tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resiko, mereka juga takut menghadapi resiko kegagalan dan berputus asa pada saat menghadapi resiko. Hal ini relevan dengan pernyataan sebelumnya bahwa mereka memiliki keengganan untuk memproduksi produk dengan jenis lain yang berbeda dengan produk dan pasar yang telah ditekuninya. Gambaran kemampuan pengrajin dalam pengelolaan resiko para pengrajin dapat dilihat pada Gambar 16.
Pengetahuan
45 40
Persen
35 30 25 20 15 10 5 0
50 45
50 45
40
40
35
35 30
30 25 20
Persen
50
P ersen
Ketrampilan
Sikap
15 10
15 10
5
5 0
0
1
2
3
4
25 20
5
1
Sidoarjo
2
3
Magetan
4
1
5
2
3
4
5
Total
Gambar 16Tingkat Pengelolaan Resiko
Keterangan: Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 16. Tingkat Pengelolaan Resiko
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa aspek pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan resiko masih rendah, setengah pengrajin memiliki pengetahuan tentang pengelolan resiko yang rendah, dan empat puluh persen pengrajin memiliki ketrampilan pengelolaan resiko yang rendah. Aspek sikap dalam pengelolaan resiko menunjukkan arah yang lebih kondusif, empat puluh persen pengrajin memiliki kategori sikap yang positif untuk mengelola resiko usaha. Tingkat pengetahuan tentang pengelolaan resiko pengrajin adalah sedang. Pengrajin telah mengetahui cara-cara memperkiraan resiko, menjalankan usaha beresiko, dan menghindari resiko meskipun masih terbatas. Pengetahuan pengelolaan resiko pengrajin Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin Magetan. Sikap pengrajin pada usaha yang beresiko cenderung rendah, pengrajin cenderung menolak terhadap kemungkinan terjadinya resiko dalam berusaha. Pengrajin juga masih rendah ketrampilan pengelolaan resikonya. Pengrajin sering dihadapkan pada pembayaran dengan cek kosong, pemesan yang tidak mengambil pesanannya karena ketidakjelasan perjanjian dan proses pemesanan khususnya untuk produk dalam jumlah besar. Daya Saing Daya saing pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah dengan rata-rata skor 31,7. Terdapat perbedaan yang nyata pada aspek daya saing pengrajin di kedua lokasi, sebagian besar pengrajin di Sidoarjo memiliki daya saing relatif lebih tinggi dari pengrajin di Magetan. Gambaran aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan tercantum pada Gambar 17.
P enget ahuan 50
50
50 45
Persen
35 30 25 20 15 10 5
40
45 40
35 30
35 30
Persen
45 40
Persen
Ket rampilan
Sikap
25 20 15
15
10
10 5
5 0
0 1
2
3
4
5
0 1
Sidoarjo
25 20
2
3
Magetan
4
5
Total
1
2
3
4
5
Gambar 17Tingkat Daya Saing Pengrajin
Keterangan: Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 17. Tingkat Daya Saing Pengrajin Aspek yang paling menonjol pada faktor daya saing adalah aspek sikap, empat puluh persen pengrajin memiliki sikap yang cenderung tinggi dalam hal daya saing, namun aspek pengetahuan dan ketrampilan masih rendah. Pengetahuan pengrajin tentang daya saing sangat kondusif untuk keberlanjutan usahanya pada masa mendatang. Pengrajin memiliki kiat-kiat menghadapi persaingan secara normatif telah dimiliki sebagian besar pengrajin. Sikap ulet dalam usaha dan bersaing secara etis serta ketertarikan terhadap persaingan relatif tinggi. Pengrajin memiliki ketertarikan terhadap persaingan yang diwujudkan secara sederhana dalam kegiatan usaha keseharian berupa pengamatan terhadap setiap perubahan harga produk kerajinan dan jumlah permintaan/pesanan dari pengrajin lain. Namun ketrampilan mencapai tingginya daya saing masih kurang, pengrajin belum memperhatikan kecenderungan model yang dibutuhkan konsumen, serta kualitas hasil produksi belum menjadi perhatian pengrajin untuk meningkatkan daya saing usahanya. Tingkat Kemandirian Usaha Gambaran tentang total tingkat kemandirian usaha pengrajin (aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan) dalam hal permodalan, proses produksi, kerjasama dan pemasaran terdapat pada Tabel 32. Tingkat kemandirian usaha (modal, produksi, kerjasama, dan pemasaran) adalah relatif rendah (rata-rata skor dibawah 40), sedangkan tingkat kemandirian proses produksi adalah sedang (ratarata skor 47,3). Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kemandirian usaha di kedua lokasi. Aspek yang menonjol pada pengrajin di Sidoarjo adalah faktor kemandirian pemasaran sedangkan pengrajin Magetan memiliki kelebihan dalam kemandirian produksi. Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha adalah pengrajin yang memiliki kemampuan dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain.
Tabel 33. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha Indikator Tingkat Kemandirian Usaha (Selang Skor ) Kemandirian Modal* Selang skor (0-100) Rataan=28.7
Kemandirian Produksi* Selang skor (0-100) Rataan=37.3
Kemandirian Kerjasama* Selang skor (0-100) Rataan=29,2
Kemandirian Pemasaran* Selang skor (0-100) Rataan=31.6
Kemandirian Usaha Selang skor (0-100) Rataan=35,9
Kriteria
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N % N % 18 12,4 37 32,2 30 20,7 26 22,6 25 17,2 10 8,7 35 24,1 27 23,5 37 25,5 15 13,0 145 100,0 115 100,0 24 16,6 39 33,9 17 11,7 29 25,2 29 20,0 27 23,5 28 19,3 12 10,4 47 32,4 8 6,96 145 100,0 115 100,0 33 22,8 23 20,0 16 11,0 33 28,7 39 26,9 17 14,8 29 20,0 20 17,4 28 19,3 22 19,1 145 100,0 115 100,0 31 21,4 21 18,3 25 17,2 16 13,9 36 24,8 26 22,6 30 20,7 24 20,9 23 15,9 28 24,3 145 100,0 115 100,0 21 14,5 29 25,2 28 19,3 24 20,9 37 25,5 19 16,5 29 20,0 19 16,5 30 20,7 24 20,9 145 100,0 115 100,0
Total N 55 56 35 62 52 260 63 46 56 40 55 260 56 49 56 49 50 260 52 41 62 54 51 260 50 52 56 48 54 260
% 21,2 21,5 13,5 23,8 20,0 100,0 24,2 17,7 21,5 15,4 21,2 100,0 21,5 18,8 21,5 18,8 19,2 100,0 20,0 15,8 23,8 20,8 19,6 100,0 19,2 20,0 21,5 18,5 20,8 100,0
Keterangan: Tabel 33Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Kemandirian Permodalan Kemandirian permodalan relatif adalah rendah (rata-rata skor 28,7). Kemandirian permodalan pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin Magetan, artinya pengrajin di Sidoarjo memiliki kemampuan dalam pengelolaan modal secara hemat dan akumulatif. Pengrajin di Magetan masih tergantung pada sumber permodalan yang dapat diakses saat ini yaitu modal sendiri dan modal pinjaman pribadi dari lembaga keuangan non bank. Gambaran tingkat kemandirian pengrajin di bidang permodalan disajikan pada Gambar 18.
Sikap
Ket rampilan
50
50
50
45 40
45 40
45
35
35
30 25
30 25
20 15
20
10
15 10
5
5
0
0
1
2
3
4
5
r 18Tingkat Kemandirian Permodalan
40 35 Persen
Persen
Persen
P enget ahuan
25 20 15 10 5 0
1
Sidoarjo
30
2
3
4
Magetan
5
1
2
3
4
5
Total
Keterangan: Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 18. Tingkat Kemandirian Permodalan Berdasarkan Gambar 18, aspek yang paling menonjol pada faktor kemandirian permodalan adalah aspek sikap, sebanyak empat puluh lima persen pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan alternatif dan menyukai sifat hemat dalam pengelolaan modal yang tinggi sedangkang aspek pengetahuan dan ketrampilan di bidang permodalan masih belum kondusif. Tingkat pengetahuan tentang sumber-sumber permodalan, cara mengakses modal, dan cara pengelolaan modal cenderung rendah. Ketrampilan di bidang permodalan cenderung rendah, pengrajin masih lambat dalam mencari dan mengakses sumber permodalan. Aspek permodalan yang menonjol pada pengrajin Magetan adalah sikap. Pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan alternatif dan menyukai sifat hemat dalam pengelolaan modal. Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketrampilan mengelola permodalan yang cenderung tinggi, pengrajin mampu secara cepat mengakses sumber permodalan alternatif dan secara cermat mengelola modal untuk usaha kerajinannya. Kemandirian Proses Produksi Kemandirian proses produksi adalah relatif rendah (rata-rata skor 47,3). Faktor kemandirian produksi di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh persen pengrajin di Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi, sedangkan hampir setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian proses produksi yang rendah.
Sikap
50 45
50 45
40 35 30 25 20 15
40 35 30 25 20 15
Ketrampilan 50 45 40 35 Persen
Persen
Penget ahuan
30 25 20 15
Keterangan: Gambar 19Tingkat Kemandirian Produksi Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 19. Tingkat Kemandirian Produksi
Berdasarkan Gambar 19 setengah pengrajin memiliki tingkat pengetahuan produksi yang rendah, empat puluh persen pengrajin memiliki sikap mandiri dalam melakukan proses produksi yang cenderung tinggi, dan lebih dari empat puluh persen pengrajin memiliki ketrampilan proses produksi yang tinggi. Setengah dari pengrajin memiliki tingkat pengetahuan produksi rendah, artinya aspek
pengetahuan
rancangan
produksi,
tahapan
proses
produksi,
dan
pemahaman cara kerja peralatan belum banyak dikuasi pengrajin. Sikap pengrajin di bidang proses produksi, tanggapan terhadap perkembangan peralatan/mesin yang lebih modern, dan sikap terhadap perkembangan bahan baku dan perlengkapan produksi relatif bagus. Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketrampilan produksi cenderung tinggi. Pengrajin mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan konsumen. Kecermatan dan kecepatan merancang pola cenderung tinggi, pengrajin bisa membuat pengembangan desain dengan cepat beserta polanya setelah melihat suatu produk di suatu Media, namun aspek kehalusan dan kerapian dalam menghasilkan produksi masih rendah. Pengrajin di Magetan belum memiliki ketrampilan produksi yang kondusif terhadap tuntutan konsumen. Pengrajin juga belum berupaya melakukan modifikasi peralatan secara efisien dan sesuai dengan tuntutan standar produk. Pengrajin cenderung puas dengan produksi yang telah dihasilkan saat ini. Kemandirian Kerjasama
Kemandirian kerjasama adalah relatif rendah (rata-rata skor 29,2). Faktor kemandirian kerjasama di kedua lokasi berbeda nyata, lebih sepertiga pengrajin di Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi, sedangkan hampir setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian kerjasama rendah. Tingkat kemandirian kerjasama tercantum pada Gambar 20. Ket rampilan
Sikap
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
50 45 40 35 30 25 20
Persen
Persen
Persen
P enget ahuan
15 10 5 0
1
2
3
4
5
1
Sidoarjo
2
3
4
Magetan
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
5
2
3
4
5
Total
Keterangan: Gambar 20Tingkat Kemandirian Kerjasama Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 20. Tingkat Kemandirian Kerjasama Berdasarkan Gambar 20, terlihat bahwa aspek yang paling menonjol pada tingkat kemandirian kerjasama aadalah aspek sikap. Empat puluh lima persen pengrajin memiliki sikap mandiri dalam kerjasama. Sikap
pengrajin
terhadap
tindakan subordinasi dan deprivasi dalam kerjasama, sikap mengutamakan kerjasama kemitraan (partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama adalah kondusif. Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi terhadap dirinya atau orang lain. Namun aspek pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerjasama masih rendah. Keberdayaan pengrajin ditentukan oleh kemandiriannya dalam melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan kegiatan usahanya. Wawasan yang dimiliki pengrajin di kedua lokasi tentang bentuk kerjasama, pengetahuan perjanjian kerjasama, dan pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama relatif rendah. Mereka memperoleh pengetahuan tentang kerjasama sebatas dari sesama pengrajin atau pemasok bahan baku kulit yang sebagian besar diperoleh dari sekitar lingkungan mereka. Sikap pengrajin terhadap tindakan subordinasi dan
deprivasi
dalam
kerjasama,
sikap
mengutamakan
kerjasama
kemitraan
(partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama cenderung tinggi. Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi. Ketrampilan dalam bekerjasama relatif rendah, artinya masih rendah kemampuannya dalam melakukan kerjasama dengan pemodal dan pemasok bahan baku, pengrajin kurang cermat dalam melakukan kesepakatan kerjasama karena berorientasi pada tercukupinya kebutuhan akan modal atau bahan baku saja. Kerjasama dengan pembeli juga masih lemah, hanya berlandaskan pada azas kepercayaan. Pada beberapa pengrajin sering mengalami pembayaran dengan cek kosong karena tidak ada data pembeli yang jelas dan belum adanya perjanjian kerjasama dengan pembeli. Rendahnya kemandirian kerjasama pengrajin di kedua lokasi rentan terhadap bentuk-bentuk penindasan oleh pihak yang memiliki penguasaan tinggi atas sumber daya yang dibutuhkan pengrajin, diantaranya: pemodal, penyedia bahan baku atau pihak yang terlibat dalam pendistribusian produk hasil kerajinan. Kemandirian Pemasaran Kemandirian pemasaran adalah relatif rendah (rata-rata skor 31,6). Faktor kemandirian pemasaran di kedua lokasi berbeda nyata, kemandirian pemasaran pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin di Magetan. Tingkat kemandirian pemasaran pengrajin ditampilkan pada Gambar 21. Sikap
P enget ahuan
35
35
30
30
Persen
40
45 40
25 20
Persen
50
50 45
persen
Ket rampilan
25 20 15 10
15 10 5
5 0
0 1
2
3
4
1
5
Sidoarjo
2
3
4
Magetan
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
5
2
3
4
5
Total
Keterangan: Gambar 21Tingkat Kemandirian Pemasaran Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60, (4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 21. Tingkat Kemandirian Pemasaran
Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa secara keseluruhan aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam melakukan kegiatan pemasaran secara mandiri masih rendah. Empat puluh persen pengrajin memiliki pengetahuan pemasaran yang rendah, empat puluh delapan persen pengrajin memiliki sikap memasarkan produknya secara mandiri yang rendah, dan empat puluh persen pengrajin adalah rendah ketrampilan pemasarannya. Aspek kemandirian pemasaran yang lemah pada pengrajin di Magetan terutama pada sikap, pengrajin belum tertarik melakukan promosi untuk memperkenalkan produknya pada jangkauan pasar yang lebih luas. Pengrajin masih rendah ketanggapannya terhadap perkembangan teknik-teknik menjual, dan kurang mengutamakan kualitas pelayanan prima. Pengrajin di Sidoarjo memiliki keunggulan pada pengetahuan di bidang pemasaran. Artinya pengrajin telah memiliki pengetahuan tentang bauran promosi, teknik menjual, dan mutu mutu pelayanan yang bermanfaat bagi pelaksanaan kegiatan pemasaran produk kerajinan. Pengrajin di kedua lokasi memiliki
ketrampilan
yang
rendah
di
bidang
pemasaran
(kecermatan
mempromosikan produk, kecepatan menjual produk, dan keluwesan melayani pelanggan). Pengrajin hanya mampu memasarkan produk yang dapat dibuat (berorientasi produk), belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen dengan optimal. Pelayanan yang dilakukan terhadap pembeli adalah masih sebatas kemampuan pelayanan sehinggga cenderung mengabaikan kepuasan konsumen dan kualitas pelayanan. Keberdayaan Pengrajin Pengrajin dikedua lokasi rata-rata masih memiliki kualitas perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha yang relatif masih rendah. Hanya sebagian kecil pengrajin yang mempunyai kualitas perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha yang tinggi. Pengrajin yang berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha merupakan pengrajin yang berdaya dalam usaha kerajinan dari bahan kulit. Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap pengrajin yang termasuk dalam kategori pengrajin yang berdaya terdapat beberapa ciri yaitu: (1)
mampu menghasilkan produk secara inovatif sesuai dengan perkembangan model yang ada di pasar, (2) mampu memenuhi permintaan konsumen dengan pelayanan yang memuaskan, (3) sanggup menerima dan memulai usaha baru yang diyakini akan memajukan usahanya pada masa yang akan datang, (4) mampu menghasilkan produk yang berkualitas dengan memiliki ciri khas usaha kerajinannya terutama untuk kebutuhan ekspor, (5) mampu menyediakan modal untuk usahanya secara mandiri dan tanpa tekanan dari pihak penyedia modal jika modal berasal dari pihak lain, (6) mampu mengelola kegiatan penjualan produk kerajinan secara luas dengan jumlah yang cenderung meningkat dan menghasilkan marjin laba yang tinggi, (7) mampu menjalankan proses produksi dengan teknik yang selalu diperbaharui dan didukung dengan peralatan yang cukup, (8) terbebas dari tekanan atau penindasan oleh pihak lain dalam menjalankan usahanya. Ciri pengrajin yang berdaya tersebut telah dimiliki oleh sebagian pengrajin di Kabupaten Sidoarjo dan Magetan namun dalam jumlah yang relatif kecil (kurang dari 20 persen).
Tingkat Kemajuan Usaha Kemajuan usaha pengrajin dari bahan kulit di Provinsi Jawa Timur diukur berdasarkan pertumbuhan usaha, efisiensi usaha dan efektivitas usahanya. Gambaran tentang tingkat kemajuan usaha pengrajin tercantum pada Tabel 34. terlihat bahwa kemajuan usaha pengrajin relatif rendah (rata-rata skor 37,8). Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada faktor kemajuan usaha pengrajin di kedua lokasi, hampir setengah pengrajin di Sidoarjo dan Magetan memiliki kemajuan usaha yang rendah. Pertumbuhan Usaha Pertumbuhan usaha pengrajin adalah rendah (skor rata-rata=27,0), rendahnya pertumbuhan usaha pengrajin di kedua lokasi diketahui dari rendahnya: pertumbuhan volume penjualan
yang diperoleh pengrajin, pertumbuhan
permintaan konsumen. Akumulasi keuntungan yang diperoleh dari pertumbuhan permintaan konsumen dan pertumbuhan volume penjualan belum mampu meningkatkan pertumbuhan aktiva.
Pengrajin menghasilkan produk dengan variasi jenis produk kerajinan yang masih rendah, terutama pada pengrajin di Magetan yang cenderung bertahan dengan jenis produk yang ada. Perkembangan pangsa pasar produk kerajinan juga masih rendah, pengrajin belum memiliki segmen pasar yang lebih variatif. Sebagian besar pengrajin memenuhi kebutuhan konsumen individu, konsumen industri masih belum banyak dijangkau pengrajin (misalnya: permintaan souvenir untuk industri perhotelan atau kemasan beberapa produk industri). Tabel 34. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha Indikator Tingkat Kemajuan Usaha
Kriteria
Kabupaten Total Sidoarjo Magetan N % N % N % Pertumbuhan Usaha* Sangat rendah 40 27,6 24 20,9 64 24,6 Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 12 10,4 36 13,8 Rataan=27,0 Sedang 23 15,9 29 25,2 52 20,0 Tinggi 34 23,4 18 15,7 52 20,0 Sangat Tinggi 24 16,6 32 27,8 56 21,5 Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0 Efisiensi Usaha* Sangat rendah 51 35,2 19 16,5 70 26,9 Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 17 14,8 41 15,8 Rataan=31,5 Sedang 15 10,3 40 34,8 55 21,2 Tinggi 31 21,4 22 19,1 53 20,4 Sangat Tinggi 24 16,6 17 14,8 41 15,8 Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0 Efektivitas Usaha* Sangat rendah 24 16,6 43 37,4 67 25,8 Selang skor (0-100) Rendah 29 20,0 36 31,3 65 25,0 Rataan=46,3 Sedang 30 20,7 11 9,57 41 15,8 Tinggi 19 13,1 16 13,9 35 13,5 Sangat Tinggi 43 29,7 9 7,83 52 20,0 Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0 Kemajuan Usaha Sangat rendah 37 25,5 22 19,1 59 22,7 Selang skor (0-100) Rendah 27 18,6 25 21,7 52 20,0 Rataan=37,8 Sedang 18 12,4 24 20,9 42 16,2 Tinggi 31 21,4 23 20,0 54 20,8 Sangat Tinggi 32 22,1 21 18,3 53 20,4 Total 145 100,0 115 100,0 260 100,0 Keterangan: Tabel 34Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Efisiensi Usaha Pengrajin di Sidoarjo lebih menonjol efisiensi usahanya dibanding pengrajin Magetan, tiga puluh delapan persen pengrajin memiliki tingkat efisiensi yang relatif tinggi, namun secara keseluruhan rata-rata efisiensi usaha pengrajin di kedua lokasi adalah rendah (skor rata-rata=31,5).
Pengrajin di Magetan masih kurang efisien dalam memanfaatkan waktu dalam berusaha. Masih ada waktu menganggur (idle time) di kalangan pengrajin karena belum memiliki penjadwalan kerja, dan urutan proses produksi yang belum terencana dengan baik. Pada pengrajin yang belum memiliki mesin seset atau pres dia tergantung pada penggunaan fasilitas milik pengrajin lain. Pengrajin yang memiliki tukang, masih belum mempertimbangkan aspek mutu sumber daya manusia dalam mencari tenaga kerja. Efisiensi biaya belum diperhatikan secara baik oleh pengrajin, hal-hal yang dapat memberi nilai tambah dan pendapatan masih belum menjadi perhatian. Limbah potongan kulit (perca) yang bisa dimanfaatkan belum dikaji secara baik agar dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan. Perencanaan keuangan juga belum dilakukan dengan baik oleh pengrajin, yang berakibat meningkatnya biaya tak terduga. Efektivitas Usaha Efektivitas usaha pengrajin di Kabupaten Magetan relatif lebih rendah, lebih dari tiga perempat pengrajin tingkat efektivitas usahanya rendah. Hal ini berbeda nyata dengan pengrajin di Sidoarjo yang empat puluh persen pengrajinnya mencapai efektivitas usaha yang relatif tinggi. Pengrajin di Magetan belum membuat target produksi dan target penjualan yang didasarkan perkiraan sederhana tentang jumlah barang yang akan dihasilkan atau akan dijual. Pengrajin menetapkan jumlah barang yang dihasilkan berdasarkan kebiasaan menghasilkan seperti hari-hari sebelumnya. Pengrajin belum membuat perencanaan target pencapaian keuntungan, dan cenderung bersikap pasif atas kerugian atau penurunan keuntungan. Berdasarkan deskripsi tentang pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan efektivitas usaha di atas, maka diketahui bahwa tingkat kemajuan usaha pengrajin di kedua lokasi relatif rendah. Kemajuan usaha adalah perkembangan usaha yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan asset, penjualan, keuntungan, dan diversifikasi produk serta dicapainya efektivitas dan efisiensi usaha. Usaha kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien serta
mengalami
peningkatan
dari
segi
keuangan
(profit
dan
asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Upaya peningkatan kemajuan usaha dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan pertumbuhan usaha, efisiensi, dan efektivitasnya. Tingkat Keberlanjutan Usaha Keberlanjutan usaha pengrajin di Jawa Timur diukur berdasarkan sikap proaktif terhadap kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan dan kontinyuitas bahan baku pada masa yang akan datang. Sebaran keberlanjutan usaha berdasarkan indikator penelitian yang terdiri dari kontinyuitas produksi, dan kontinyuitas bahan baku ditampilkan pada Tabel 35. Tabel 35. Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha Indikator Keberlanjutan Usaha (Selang Skor dan Rataan) Kontinyuitas Produksi* Selang skor (0-100) Rataan=50,9
Kontinyuitas Penjualan* Selang skor (0-100) Rataan=59,5
Kontinyuitas Bahan Baku* Selang skor (0-100) Rataan=58,9
Keberlanjutan Usaha * Selang skor (0-100) Rataan=48,9
Keterangan:
Kriteria
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Kabupaten Sidoarjo Magetan N
%
12 41 37 27 28 145 13 39 30 36 27 145 32 24 47 17 25 145 18 27 34 36 30 145
8,3 28,3 25,5 18,6 19,3 100,0 8,97 26,9 20,7 24,8 18,6 100,0 22,1 16,6 32,4 11,7 17,2 100,0 12,4 18,6 23,4 24,8 20,7 100,0
N 34 23 24 17 17 115 38 23 15 18 21 115 14 24 31 37 9 115 34 26 17 14 24 115
% 29,6 20,0 20,9 14,8 14,8 100,0 33 20 13 15,7 18,3 100,0 12,2 20,9 27 32,2 7,83 100,0 29,6 22,6 14,8 12,2 20,9 100,0
Total N 46 64 61 44 45 260 51 62 45 54 48 260 46 48 78 54 34 260 52 53 51 50 54 260
% 17,7 24,6 23,5 16,9 17,3 100,0 19,6 23,8 17,3 20,8 18,5 100,0 17,7 18,5 30,0 20,8 13,1 100,0 20,0 20,4 19,6 19,2 20,8 100,0
Tabel 35Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100. * Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Kontinyuitas Produksi Secara keseluruhan, kontinyuitas produksi pengrajin di kedua lokasi adalah sedang (rata-rata skor 50,9). Empat puluh sembilan persen pengrajin di Magetan memiliki tingkat keberlanjutan produksi yang relatif rendah dan tiga puluh delapan persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keberlanjutan produksi yang relatif tinggi. Pengrajin di Sidoarjo telah memiliki sikap proaktif tentang kelancaran proses, dan memiliki tanggapan yang baik terhadap tingkat kontinyuitas hasil produksi pada masa yang akan datang sehingga kontinyuitas produksinya lebih tinggi dari pengrajin di Magetan. Pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi pada usaha kerajinan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menjadi salah satu pendorong bagi pengrajin untuk tetap proaktif menjaga kelancaran produksinya. Pengrajin mampu memproduksi kerajinan secara terus menerus sepanjang tahun. Ketertarikan pengrajin Magetan terhadap upaya meningkatkan produksi yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen masih rendah. Pengrajin merasa aman dengan produksi yang sudah ada dan kurang proaktif dalam mengupayakan keberlanjutan produksinya. Kontinyuitas Penjualan Kontinyuitas penjualan di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh dua persen pengrajin di Sidoarjo mencapai kontinyuitas penjualan yang relatif tinggi sedangkan empat puluh tiga persen pengrajin di Magetan memiliki kontinyuitas usaha yang relatif rendah. Pengrajin di Magetan kurang proaktif dalam mengupayakan menarik minat konsumen untuk membeli. Promosi yang dilakukan pengrajin di Magetan masih belum menjangkau khalayak sasaran di luar Jawa Timur, tidak seperti yang telah dilakukan pengrajin Sidoarjo yang secara proaktif melakukan promosi ke luar Jawa Timur melalui agen atau pembeli yang datang ke Sidoarjo. Tanggapan terhadap pelayanan bermutu kepada pelanggan masih belum optimal dilaksanakan pengrajin Magetan, masih sering terjadi penundaan pengiriman barang yang dipesan. Hal ini mengganggu keberlanjutan penjualan
pada masa yang akan datang karena konsumen tidak puas dengan pelayanan yang diberikan pengrajin. Kontinyuitas Bahan Baku Kontinyuitas bahan baku pengrajin di Magetan lebih menonjol dari pengrajin Sidoarjo. Tiga puluh sembilan persen pengrajin Magetan memiliki kontinyuitas bahan baku relatif tinggi. Sikap antisipatif terhadap kelancaran bahan baku pada pengrajin Magetan ditunjukkan melalui tingginya persediaan bahan baku bermutu dan sikap antisipatif merencanakan kebutuhan bahan baku yang tepat. Secara periodik pengrajin telah mengupayakan tersedianya bahan baku secara kontinyu. Pengrajin di Sidoarjo memiliki tanggapan perencanaan bahan baku yang relatif rendah, pengrajin melakukan pembelian bahan baku secara mendadak pada saat produksi dijalankan. Ketersediaan bahan baku saat ini dirasakan pengrajin masih mencukupi kebutuhan mereka, sehingga pengrajin tidak memiliki persediaan bahan baku untuk jangka waktu lebih dari satu minggu karena dianggap sebagai modal kerja yang menganggur. Kondisi ini akan berpengaruh pada keberlanjutan bahan baku pada masa depan. Jika pengrajin tidak tertarik pada perencanaan bahan baku untuk masa depan, maka kondisi ketidakpastian harga bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan menyediakan bahan baku secara berkelanjutan. Berdasarkan deskripsi kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku di atas, sebagian besar pengrajin di kedua lokasi memiliki tingkat keberlanjutan usaha yaitu kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas bahan baku dalam kategori sedang. Terdapat kecenderungan yang baik pada diri pengrajin di kedua lokasi, dalam menyikapi posisi usaha pada masa depan berada pada tingkat yang sedang. Usaha kerajinan barang dari kulit sudah dimulai pada tahun 1960-an, sampai saat ini usaha ini masih berjalan terus menerus. Aktivitas produksi yang dilakukan pengrajin dan penjualan produk kerajinan ini berjalan secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin, permintaan barang dari bahan kulit tidak pernah berhenti sehingga penjualan tetap berjalan dari waktu ke waktu. Keunikan yang ada pada produk sepatu dari bahan kulit yang dihasilkan pengrajin adalah kekuatan/daya tahan sepatu yang dapat diandalkan sehingga konsumen loyal terhadap produk sepatu yang dihasilkan pengrajin di Magetan. Pada pengrajin di Sidoarjo, produksi tas dan koper yang dihasilkan pengrajin memiliki keunggulan beberapa keunggulan. Tas dari bahan kulit yang halus, harga terjangkau, mengikuti trend mode, tersedia dalam variasi yang banyak sehingga permintaan konsumen yang beroerientasi pada mode dan harga tetap ada dari waktu ke waktu.
Pada sisi produsen, semangat pengrajin untuk tetap berusaha di bidang kerajinan ini telah menggantungkan hidupnya pada usaha kerajinan ini sejak lama. Pengrajin merasakan usaha ini mampu menghidupi diri dan keluarganya meskipun dengan keterbatasan. Usaha yang telah dijalankan oleh keluarga secara turun temurun juga menjadi alasan bagi pengrajin untuk tetap menekuni usaha kerajinan ini. Keunikan dari sisi permintaan dan dari sisi pengrajin inilah yang menghasilkan tingkat keberlanjutan usaha yang cenderung sedang. Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika para pengrajin memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Keberlanjutan usaha diartikan sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen mendatang. Perbedaan Perilaku Wirausaha, Kemandirian, Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha Deskripsi tentang tingkat kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha pada kedua lokasi akan diuji lebih lanjut tingkat perbedaannya. Sebagaimana dirumuskan pada hipotesis 5 ”Terdapat perbedaan tingkat
kemandirian
usaha,
perilaku
wirausaha,
kemajuan
usaha,
dan
keberlanjutan usaha pengrajin di kedua lokasi penelitian”. Hipotesis ini diuji dengan menggunakan uji beda rata-rata one way anova. Ringkasan hasil uji beda One Way Anova ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36. Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova Variabel Perilaku Wirausaha
Kabupaten
N
Sidoarjo
145
36.3
Magetan
115
29.5
Sidoarjo
145
39.2
Magetan
115
28.4
Pengelolaan Resiko
Sidoarjo
145
18.3
Magetan
115
35.1
Daya Saing
Sidoarjo
145
29.1
Keinovatifan
Inisiatif
Rata-rata
F-hit
P
4.365 0.038
12.714 0.000
40.310 0.000
4.620 0.033
Tingkat kemandirian usaha
Kemajuan Usaha
Keberlanjutan Usaha
Magetan
115
35.0
Kemandirian permodalan
Sidoarjo
145
32.1
Magetan
115
26.0
Kemandirian produksi
Sidoarjo
145
51.6
Magetan
115
43.8
Kemandirian kerjasama
Sidoarjo
145
32.4
Magetan
115
25.2
Kemandirian pemasaran
Sidoarjo
145
39.1
Magetan
115
22.2
Pertumbuhan usaha
Sidoarjo
145
30.3
Magetan
115
24.3
Efisiensi usaha
Sidoarjo
145
35.2
Magetan
115
28.6
Efektivitas usaha
Sidoarjo
145
54.4
Magetan
115
36.1
Kontinyuitas produksi
Sidoarjo
145
55.2
Magetan
115
45.6
Kontinyuitas penjualan
Sidoarjo
145
54.1
Magetan
115
43.9
Kontinyuitas bahan baku
Sidoarjo
145
45.7
Magetan
115
51.5
4.456 0.036
5.721 0.017
5.439 0.020
35.879 0.000
4.620 0.033
4.207 0.041
30.912 0.000
6.682 0.010
4.140 0.043
7.073 0.008
* Nyata pada α= 0,05. Tabel 36 Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova Berdasarkan hasil uji beda pada Tabel 36, terbukti bahwa perilaku wirausaha (keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing) pengrajin Sidoarjo berebda nyata dengan pengrajin Magetan. Rata-rata keinovatifan dan daya saing pengrajin Sidosrjo lebih tinggi dari Magetan, sedangkan rata-rata pengelolaan resiko dan daya saing pengrajin Magetan lebih tinggi dari Sidoarjo. Tingkat kemandirian usaha (permodalan, produksi, kerjasama, dan pemasaran) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata kemandirian permodalan, produksi, kerjasama, dan pemasaran pengrajin Sidoarjo lebih tinggi dari Magetan.
Tingkat kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan efektivitas usaha) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan efektivitas usaha pengrajin Sidoarjo lebih tinggi dari Magetan. Terdapat perbedaan yang nyata pada keberlanjutan usaha (kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku) di kedua lokasi; rata-rata kontinyuitas produksi dan penjualan pengrajin di Sidoarjo lebih tinggi dibanding Magetan. Pengrajin di Sidoarjo sudah terlihat proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Meskipun belum mengalokasikan dana untuk kegiatan promosi, namun keramahtamahan dalam melayani konsumen merupakan refleksi dari tindakan proaktif untuk melayani konsumen cenderung baik. Promosi dan perencanaan produksi belum dilaksanakan dengan intensif sehingga
trend penjualan
masih stagnant
meskipun
pengrajin
mampu
menghasilkan produksi barang secara terus menerus. Keberlanjutan usaha yang menonjol pada pengrajin Magetan adalah kontinyuitas bahan baku, aspek kontyuitas bahan baku pengrajin magetan lebih tinggi dari pengrajin Sidoarjo karena kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha Hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ”Perilaku wirausaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha dan lingkungannya.” Hipotesis ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan melalui uji lintas. Hasil uji faktor yang berpengaruh terhadap perilaku wirausaha tercantum pada Tabel 37.
Tabel 37. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha
Peubah Terikat
Peubah Bebas
Koefisien Jalur (Standardized) Perilaku Karakteristik 0,50 Wirausaha Individu Pendukung 0,05 Usaha Dukungan 0,39 Lingkungan *Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965 .
Standar Error
Nilai t hitung
0,17
3,02
Hasil Uji α=0,05. *
0,11
0,43
NS
0,08
4,84
*
R2
0,88
Tabel 37Ringkasan Hasil UjiFaktor -Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha dipengaruhi secara nyata oleh faktor karakteristik individu dan dukungan lingkungan, berarti rendahnya perilaku wirausaha pengrajin disebabkan oleh rendahnya karakteristik individu dan dukungan lingkungan. Faktor pribadi pengrajin merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku wirausaha. Faktor pendukung usaha tidak berpengaruh secara nyata positif terhadap perilaku wirausaha. Rendahnya faktor pendukung usaha bukan menjadi penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Peningkatan perilaku wirausaha pengrajin perlu dilakukan karena pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha yang berkualitas adalah ciri-ciri pengrajin yang berdaya, dan keberdayaan pengrajin sangat diperlukan untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Menurut Perry, Batstone dan Pulsarum (2003), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Faktor-faktor yang berpengaruh langsung pada perilaku wirausaha digambarkan dalam Gambar 22.
Karakteristik Individu 0,50
Pendukung Usaha
ζ =0,22
Perilaku Wirausaha 0,05
R 2 = 0,88
0,39 Lingkungan
Gambar 22Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Gambar 22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha Faktor karakteristik individu memiliki pengaruh yang terbesar terhadap perilaku wirausaha. Aspek-aspek yang menjadi indikator karakteristik individu yang diajukan dalam penelitian ini adalah : umur, pendidikan, tanggungan keluarga, pengalaman berusaha, motivasi berusaha, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender. Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan analisis SEM, agar semua indikator yang dianalisis benar-benar terbebas dari kekeliruan maka dalam penelitian ini digunakan analisis faktor konfirmatori yang bertujuan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan korelatif indikator dan konstruknya. Berdasarkan hasil analisis faktor terhadap karakteristik individu pengrajin terdapat beberapa indikator yang tidak fit dengan data yaitu indikator umur, tanggungan keluarga, dan pengalaman berusaha yang ditunjukkan oleh nilai GFI yang kurang dari 0,90 sebagaimana tercantum pada Lampiran 3. Indikator yang tidak fit tersebut dikeluarkan dari model dengan didasarkan pada pertimbangan aspek teoritis, sehingga diperoleh lima aspek yang mengukur tingkat karakteristik individu
pengrajin yaitu: pendidikan, pendidikan, motivasi, pemenuhan
kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender. Hasil analisis SEM menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara karakteristik individu dengan perilaku wirausaha. Beberapa aspek penting pada pribadi pengrajin adalah pendidikan, motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender. Penjelasan lebih lanjut tentang pengaruh masing-
masing aspek dalam karakteristik individu terhadap perilaku wirausaha adalah melalui analisis jalur yang digambarkan pada Gambar 23.
Pendidikan 0,46 Motivasi
0,41 Perilaku Wirausaha 0,58
Kebutuhan 0,76 Komunikasi 0,26 Aspek Gender Gambar 23Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 23. Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha Aspek intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin memiliki pengaruh terbesar pada perilaku wirausaha dengan koefisien lintas sebesar 0,76. Kemampuan pengrajin dalam mengakses jaringan komunikasi interpersonal masih rendah. Kontak dengan pemodal alternatif masih kurang, biasanya pengrajin cenderung melakukan kontak dengan pemodal (yang mereka sebut sebagai juragan) yang ada di desanya ketika mereka berada pada kondisi membutuhkan modal. Pada aspek kontak dengan sesama pengrajin, mereka melakukannya secara intensif karena tinggal dalam lingkungan yang sama. Pertukaran informasi yang bersifat inovatif terjadi pada saat mereka melakukan kontak dengan sesama pengrajin ini. Komunikasi dengan konsumen terjadi pada saat konsumen datang ke lokasi usaha kerajinan mereka dan tempat berjualan, informasi yang dipertukarkan terkait dengan harga, model produk, atau kualitas produk. Informasi dari konsumen ini ditanggapi secara beragam oleh pengrajin. Pada pengrajin yang tanggap akan menangkap informasi ini sebagai bahan untuk mengembangkan daya inovasi usahanya, tetapi pada pengrajin yang kurang tanggap akan
membiarkan informasi itu berlalu tanpa dijadikan pertimbangan dalam kegiatan usahanya. Pada pengrajin di Sidoarjo, kontak dengan pemasok bahan baku sangat kurang dengan alasan jarak antara pemasok dengan pengrajin, sehingga mereka mengalami kendala dalam penyediaan bahan bakunya. Sebaliknya, pengrajin di Magetan tidak mengalami kendala dalam hal aksesibilitas dengan pemasok bahan baku, karena penyamak kulit berada pada lingkungan mereka, bahkan dalam satu keluarga ada yang berprofesi sebagai penyamak kulit sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Akses pada media cetak berupa surat kabar dan majalah tidak dilakukan secara rutin dengan berlangganan atau membeli media cetak secara kontinyu. Keterbatasan dalam akses media cetak ini sangat tampak pada pengrajin di Magetan, sehingga inovasi tentang trend produk yang banyak diinformasikan oleh majalah, tabloid atau surat kabar yang menyajikan perkembangan mode tidak dapat diakses dengan optimal oleh pengrajin. Tingkat kosmopolitansi pengrajin relatif tinggi terjadi pada pengrajin di Sidoarjo, pengrajin sering mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya untuk mencari informasi tentang model atau perkembangan teknik menjual produk barang dari kulit. Sehingga banyak ditemui jenis produk terbaru yang dijual pada butik terkenal dari luar negeri yang mampu diproduksi pengrajin di Sidoarjo ini. Pengrajin di Magetan relatif rendah dalam mencari informasi tentang usaha kerajinan keluar dari sistem sosialnya (sifat kekosmopolitan). Rata-rata intensitas pengrajin mencari informasi keluar sistem sosialnya rendah (43%), maka dapat dikatakan pengrajin di Magetan masih bersifat lokalit.
Sifat ini
berpengaruh terhadap rendahnya perilaku wirausaha. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Mardikanto (1996) yang menyatakan bahwa bagi masyarakat yang bersifat “localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginankeinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dinikmati oleh orangorang lain di luar sistem sosialnya sendiri
Pengrajin yang melakukan kontak dengan sumber informasi inovatif (pemasok bahan baku, sesama pengrajin, konsumen, dan penyedia modal) untuk membicarakan hal-hal yang terkait dengan kegiatan usaha secara intensif dan memiliki frekuensi terpaan media massa yang tinggi, mampu meningkatkan perilaku wirausaha terutama dari aspek keinovatifan dan inisiatif. Menurut Rogers dan Shoemaker (1976) tingginya komunikasi akan berpengaruh terhadap tingginya kemampuan petani melakukan adopsi inovasi. Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek kedua yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha dengan koefisien bobot faktor sebesar 0,58. Rendahnya pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha pengrajin yang muncul dalam bentuk perasaan minder atau tidak percaya diri dalam mengambil keputusan. Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap perilaku wirausaha adalah motivasi berusaha. Rendahnya motivasi berusaha menimbulkan rendahnya ketertarikan pengrajin untuk: menerapkan inovasi, memanfaatkan peluang usaha, mengelola usaha yang dianggap beresiko, dan menerapkan strategi bersaing. Pengrajin lebih tertarik untuk berusaha nyaman dengan cara-cara berusaha yang diterapkan saat ini. Rendahnya motivasi dan pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha. Hal ini ini relevan dengan pernyataan Bird (1996) yang memasukkan faktor motivasi sebagai elemen pembentuk perilaku wirausaha yang penting bagi peningkatan kemajuan usaha. Aspek gender memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha. Terdapat kesenjangan dalam hal penggajian dan kewajiban dikalangan pengrajin pria dan wanita pada usaha kerajinan ini. Sehingga menyebabkan rendahnya keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing pengrajin. Bias gender pada usaha kerajinan barang dari kulit seyogyanya tidak terjadi karena pengrajin wanita memiliki potensi untuk bekerja secara ulet dalam usaha kerajinan ini serta pengrajin wanita memiliki ketangguhan dalam mengelola resiko. Pendidikan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha, dengan koefisen lintas sebesar 0,46. Rendahnya pendidikan formal dan pendidikan non formal pengrajin menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha.
Sebagian besar pengrajin memiliki pendidikan non formal yang rendah, pengrajin kurang mendapat pelatihan yang terkait dengan faktor kewirausahaan berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan pengrajin pada aspek keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing). Pengetahuan dan ketrampilan mengelola resiko usaha masih rendah, pendidikan nonformal tentang manajemen resiko masih rendah. Pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah belum pernah memberikan bimbingan atau pelatihan dengan materi manajemen resiko. Pengrajin juga masih rendah keunggulan bersaingnya (penerapan standar mutu produk dan strategi bersaing), sehingga rendah kemampuannya untuk menembus pasar ekspor. Rendahnya keunggulan bersaing ini karena pengrajin masih rendah tingkat pendidikan tentang keunggulan bersaing Faktor pendidikan memiliki pengaruh langsung yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan intensitas komunikasi dan tingkat pemenuhan kebutuhan, padahal pendidikan merupakan faktor penting untuk meningkatkan perilaku wirausaha, sebagaimana dikemukakan oleh Stewart Jr. et al. (1998). Haber dan Reichel (2006) juga menyatakan bahwa pendidikan menjadi penentu keberhasilan kewirausahaan. Oleh karena itu dilakukan penelusuran terhadap pengaruh tidak langsung faktor pendidikan melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan terhadap perilaku wirausaha sebagaimana digambarkan pada diagram lintas pada Gambar 24.
Pendidikan 0,46 76
0,43 Motivasi
0,38
0,41 0,58
Kebutuhan 0,76
0,36 0,23
Komunikasi
0,42 0,36 Aspek Gender
Perilaku Wirausaha
Gambar 24Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 24. Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha Secara grafis, dapat diketahui pengaruh langsung pendidikan, motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender terhadap perilaku wirausaha. Selain itu juga dapat diketahui pengaruh tidak langsung pendidikan, motivasi, dan aspek gender terhadap perilaku wirausaha melalui komunikasi dan pemenuhan kebutuhannya terhadap perilaku wirausaha, yang kemudian diringkas dalam Tabel 38. Tabel 38. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha Indikator Karakteristik Individu
Pengaruh Tak langsung melalui Pemenuhan Intensitas Kebutuhan Komunikasi Pendidikan 0,46 0,25 0,28 Motivasi 0,41 0,22 0,17 Pemenuhan Kebutuhan 0,58 Intensitas Komunikasi 0,76 Aspek gender 0,26 0,24 0,27 *Nyata pada α= 0,05. Tabel 38Pengaruh Lang Langsung
Total tak langsung
Total
0,53 0,39 0,51
0,99 0,80 0,58 0,76 0,77
sung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha
Berdasarkan Tabel 38 diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi perilaku wirausaha. Melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi ternyata pendidikan memiliki total pengaruh yang paling besar terhadap perilaku wirausaha. Hal ini berarti pendidikan mampu meningkatkan perilaku wirausaha dengan didukung oleh pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi yang tinggi. Tingkat pendidikan formal pengrajin rata-rata pada tingkat SMTP (masa pendidikan 9 tahun) dan tingkat pendidikan formal yang dalam kategori rendah (rata-rata 2,8 jam). Rendahnya tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan komunikasi pengrajin terutama ketika pengrajin berhadapan dengan aktor penyedia sumber daya usaha yang memiliki kemampuan lebih tinggi, baik pemodal, pemasok bahan baku maupun konsumen. Tingkat
pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya perilaku wirausaha di kalangan pengrajin di kedua lokasi. Sebagai salah satu contoh, berdasarkan hasil wawancara, rendahnya aspek kognitif pada aspek pengelolaan resiko dan daya saing usaha disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan non formal tentang kedua aspek tersebut. Tingkat pendidikan pengrajin yang rendah menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan dasar dan tingkat pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan di kalangan pengrajin rendah yang disebabkan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah, sehingga berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pengrajin tidak memeriksakan diri ke dokter atau Puskesmas jika menderita sakit, kecuali jika sudah dalam kondisi yang parah. Begitupula pada pemenuhan kebutuhan pendidikan anak yang masih rendah karena rendahnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan, selanjutnya rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi, motivasi memiliki pengaruh terbesar kedua setelah aspek pendidikan terhadap perilaku wirausaha. Motivasi yang dimiliki pengrajin mampu mendorong tingkat pemenuhan kebutuhan pengrajin. Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat dan keinginan. Motif yang besar pada diri pengrajin muncul ketika mereka dihadapkan pada kebutuhan yang disadarinya. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi pengrajin dalam berusaha adalah tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga. Rendahnya motivasi berusaha di kalangan pengrajin menyebabkan rendahnya pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Motivasi berusaha juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesadaran tentang pentingnya berkomunikasi dengan aktor penyedia sumber daya usaha masih belum dimiliki pengrajin, hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara yang menyatakan bahwa mereka berkomunikasi dengan penyedia sumberdaya usaha seperlunya atau jika dibutuhkan, motivasi untuk berkomunikasi secara intensif masih rendah karena
pengrajin belum sadar terhadap kebutuhan berkomunikasi. Rendahnya motivasi ini menjadi penyebab rendahnya intensitas komunikasi, selanjutnya rendahnya komunikasi menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha. Secara tidak langsung, aspek gender memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesenjangan dalam melihat posisi gender membelenggu seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan bebas dengan orang yang berlawanan jenis, hal ini dipengaruhi oleh nilainilai dan budaya yang ada pada kelompok masyarakat tersebut. Hal ini terjadi juga pada kelompok masyarakat pengrajin di Magetan dan Sidoarjo. Kesenjangan dalam pembagian tugas antara pria dan wanita, pengelolaan sebagian besar usaha dilakukan kaum pria dan kaum wanita mengelola sebagian kecil tugas dalam usaha kerajinan ini. Rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya intensitas komunikasi di kalangan pengrajin, yang kemudian menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha. Aspek gender juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku wirausaha melalui pemenuhan kebutuhan. Kesenjangan dalam hal penggajian antara kaum pria dan wanita pada usaha kerajinan ini secara logika menyebabkan rendahnya penerimaan pendapatan di kalangan pengrajin wanita yang bekerja di sektor ini, sehingga rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Pengaruh Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku Wirausaha Dukungan lingkungan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha, artinya rendahnya aspek dukungan lingkungan (pemimpin informal, keluarga, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non pemerintah) menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha pengrajin. Peran masing-masing aktor dalam lingkungan dalam meningkatkan perilaku wirausaha pengrajin dianalisis lebih lanjut dengan analisis jalur sebagaimana tercantum pada Gambar 25. Keluarga 0,49 Pemimpin Informal
0,42 Perilaku Wirausaha 0,62
Bimbingan Pemerintah
Gambar 25Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 25. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku Wirausaha Bimbingan pemerintah daerah memiliki pengaruh yang paling besar terhadap perilaku wirausaha dengan koefisen lintas sebesar 0,62. Rendahnya bimbingan dari pemerintah daerah dan bimbingan organisasi non pemerintah selama ini menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Bimbingan pemerintah relatif rendah (rata-rata skor 31,2), bahkan jika dirinci lagi terdapat lebih dari seperempat pengrajin mendapat bimbingan yang sangat rendah dari pemerintah daerah. Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pelatihan, yaitu pelatihan tentang produksi dan manajemen usaha kecil masih belum berkesinambungan. Oleh karena itu peningkatan bimbingan pemerintah daerah dapat meningkatkan perilaku wirausaha pengrajin. Bimbingan organisasi non pemerintah terhadap pengrajin memiliki pengaruh besar, namun organisasi non pemerintahan yang memberikan pembinaan terhadap pengrajin kulit di Jawa Timur masih sedikit (1,9 persen) dari total pembinaan bagi pengrajin kulit di Jawa Timur (BPS, 2003). Kegiatan pembinaan yang pernah dilakukan di kedua lokasi belum menyentuh aspek perilaku wirausaha. Rendahnya perilaku wirausaha pengrajin (terutama pada aspek pengelolaan resiko dan daya saing) disebabkan oleh rendahnya bimbingan organisasi non pemerintah. Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,49. Dukungan keluarga secara nyata berpengaruh terhadap keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing. Keberadaan keluarga sangat penting dalam memberikan pembelajaran tentang wirausaha bagi pengrajin sebab sebagian besar pengrajin memiliki orang
tua dan keluarga yang telah menekuni usaha ini sebelumnya. Pembelajaran yang diterima dari keluarga penting untuk membentuk keinovatifan, orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua telah terbiasa membuat pola. Pembuatan pola mengacu pada majalah mode yang berisi iklan produk tas merek terkenal yang kemudian diajarkan kepada anak atau keluarganya. Pada komunitas pengrajin di Jawa Timur terdapat pemimpin informal yang disegani yaitu tokoh agama, pengrajin yang maju, juragan, dan guru pada lembaga pendidikan formal. Pertemuan dengan pemimpin informal terjadi pada saat kegiatan keagamaan, kebiasaan saling berkunjung pemimpin informal juga sering dilakukan masyarakat pengrajin. Dukungan pemimpin informal merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku wirausaha dengan koefisien lintas 0,42 Indikator pembentuk konstruk lingkungan kondusif memberikan pengaruh terhadap perilaku wirausaha dan menjadi faktor penting dalam membangun perilaku wirausaha pengrajin di Jawa Timur. Pada persamaan Lewin (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996) dinyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya, persamaan ini diartikan bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri individu dan di luar individu yaitu situasi. Hal ini sejalan dengan konteks kewirausahaan yang dikembangkan oleh Bird (2000) bahwasanya faktor lingkungan yang memiliki kekuatan yang lebih besar adalah faktor: sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, partner dan dukungan keluarga.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Pengujian terhadap hipotesis kedua penelitian ini tercantum pada Tabel 39. Hasil uji hipotesis menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa: ”Tingkat kemandirian usaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu, pendukung usaha, lingkungan dan perilaku wirausaha.”
Faktor karakteristik individu, perilaku wirausaha, dukungan lingkungan, dan kualitas pendukung usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap tingkat kemandirian usaha dengan koefisien lintas masing-masing sebesar 0,58, 0,56, 0,26, dan 0,20. Rendahnya tingkat kemandirian usaha pada pengrajin barang dari kulit disebabkan oleh masih rendahnya karakteristik individu, perilaku wirausaha, dukungan lingkungan, dan kualitas pendukung usaha. Tabel 39. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat kemandirian usaha Peubah Bebas
Peubah Koefisien Jalur Terikat (Standardized) Tingkat Karakteristik 0,58 kemandirian Individu usaha Pendukung 0,26 Usaha Dukungan 0,20 Lingkungan Perilaku 0,56 Wirausaha *Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965.
Standar Error 0,12
Nilai t hitung 4,67
Hasil Uji α=0,05. *
0,09
3,06
*
0,07
2,86
*
0,12
4,66
*
R
2
0,87
Tabel 39Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh Tingkat kemandirian usaha
Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian usaha digambarkan dalam Gambar 26. Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa tingkat kemandirian usaha dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor: karakteristik individu, pendukung usaha, dukungan lingkungan, dan perilaku wirausaha.
Karakteristik Individu
ζ =0,13 0,58
Pendukung Usaha
0,26
Kemandirian Usaha
0,56
0,20 Dukungan Lingkungan
R 2 = 0,87
Perilaku Wirausaha
Gambar 26 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 26. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Pengaruh Faktor Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Perilaku wirausaha yang dibentuk dari faktor keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing berpengaruh secara nyata terhadap kemandirian usaha. Pada konteks pertanian, kemandirian petani akan mantap apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani
yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan kesaling tergantungan yang berkesinambungan (Sumardjo, 1999). Sedangkan pada konteks industri kecil, kemandirian usaha di bidang kerajinan dimaknai sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan terbesar bersama. Kemandirian usaha yang tinggi dapat dicapai ketika pengrajin mengelola usaha mengelola usaha dengan perilaku wirausaha yang berkualitas. Untuk menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam perilaku wirausaha terhadap tingkat kemandirian usaha adalah melalui analisis jalur yang digambarkan pada Gambar 27.
Keinovatifan 0,67
Inisiatif
0,63
Tingkat Kemandirian Usaha
0,49 Pengelolaan Resiko 0,57 Daya Saing
Gambar 27 Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 27. Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Keinovatifan pengrajin paling besar pengaruhnya terhadap tingkat kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,67. Rendahnya aspek keinovatifan pada pengrajin menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian permodalan, kemandirian produksi, kemandirian pemasaran, dan kemandirian kerjasama. Keinovatifan pengrajin dalam usaha kerajinan kerajinan masih rendah (rata-rata skor 32,5), pengrajin
cenderung menerapkan cara-cara berproduksi
yang sudah mereka terapkan selama bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya kemandirian produksi (rata-rata skor 47,3). Rendahnya
keinovatifan
pengrajin
juga
menyebabkan
rendahnya
kemampuan pengrajin menghasilkan produk yang memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. Keunikan ini merupakan salah satu ciri kemandirian produksi bagi pengrajin barang dari kulit. Perkembangan permintaan konsumen terhadap produk dari bahan kulit mengikuti perkembangan cara-cara berpakaian masyarakat saat ini. Konsumen akan memilih produk yang sesuai dengan mode, sehingga pengrajin yang tidak mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen kurang diminati konsumen. Jadi keinovatifan penting bagi upaya peningkatan kemampuan pengrajin meraih kemandirian produksi (menghasilkan produk bermutu) dan berdaya saing. Rendahnya faktor keinovatifan relevan dibahas bersama-sama dengan rendahnya inisiatif, karena inisiatif juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap kemandirian usaha. Ketidakmampuan menghasilkan produk sesuai standar
kebutuhan konsumen disamping karena rendahnya keinovatifan, juga karena kemampuan untuk memasuki pasar baru yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan dari inisiatif pengrajin untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar dan jangkauan pasar baru yang masih rendah (rata-rata 34,4 persen). Pengrajin masih memproduksi produk yang sejenis dengan pengrajin lainnya, kemampuan untuk segera memulai memproduksi jenis produk baru yang dibutuhkan pasar masih rendah. Inisiatif yang rendah ini juga berdampak pada rendahnya kemandirian pemasaran (rata-rata skor 31,6). Pengrajin masih memiliki ketergantungan pada agen pemasaran yang memasarkan produknya, karena belum mampu mencari alternatif agen pemasaran baru. Agen pemasaran yang menjual produk kerajinan berupa lembaga (koperasi dan toko eceran) dan individu (juragan dan tenaga penjual) merupakan saluran pemasaran yang dipergunakan pengrajin untuk memasarkan produknya. Agen pemasaran hanya memberikan pemasukan sebesar 30 persen dari nilai penjualan yang diterima. Tingginya selisih pemasukan yang diterima pengrajin dengan yang diterima agen pemasaran mengindikasikan ketidakberdayaan pengrajin dalam pemasaran hasil produksinya. Apabila inisiatif pengrajin untuk memulai memasuki pangsa pasar baru atau saluran pemasaran baru ditingkatkan, maka akan meningkatkan alternatif saluran distribusi produknya, hal ini akan meningkatkan kemandirian pengrajin di bidang pemasaran. Aspek inisiatif yang ditingkatkan terutama adalah terkait dengan sikap dan ketertarikan mengidentifikasi peluang pasar dan alternatif saluran distribusi yang ada, karena ketertarikan ini yang akan mendorong pengrajin bertindak untuk memulai peluang usaha baru sehingga tidak tergantung pada saluran distribusi pemasaran yang ada. Saluran distribusi pemasaran ini tidak harus berupa lembaga yang besar tetapi individu yang berusaha di bidang eceran yang potensial dan memiliki perputaran yang kontinyu dapat menjadi alternatif saluran distribusi baru bagi pengrajin. Upaya mendorong pengrajin meningkatkan keinovatifan dan inisiatif sangat penting untuk meningkatkan kemandirian produksi dan pemasaran, pengrajin mampu sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan menghasilkan produk yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen.
Daya saing memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat kemandirian usaha, setelah aspek keinovatifan dan inisiatif. Pengrajin yang berdaya saing memiliki kekuatan untuk memenangkan persaingan pasar yang semakin banyak dimasuki oleh produk dari China dengan harga yang sangat murah. Berdasarkan hasil wawancara, pengrajin yang memiliki keinovatifan tinggi berupa keunikan model dan kehalusan produk yang dihasilkan tidak merasa kesulitan menghadapi pesaing dari luar karena mereka mampu menjalin kerjasama yang baik dengan agen pemasaran. Perilaku wirausaha yang berkualitas secara nyata mampu membentuk kemandirian usaha pengrajin. Pengaruh Faktor Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Berdasarkan Gambar 26, terlihat bahwa karakteristik individu berpengaruh secara positif dan nyata terhadap tingkat kemandirian usaha, faktor karakteristik individu yang rendah menyebabkan tingkat kemandirian usaha rendah. Teori perkembangan manusia juga menyatakan bahwa faktor pribadi berpengaruh terhadap
perkembangan
kemandirian
individu
(Salkind,
1989).
Untuk
menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam karakteristik individu terhadap perilaku wirausaha adalah melalui analisis jalur yang digambarkan pada Gambar 28. Pendidikan 0,47 Motivasi
0,36 0,50
Tingkat Kemandirian Usaha
Kebutuhan 0,63 Komunikasi 0,44 Aspek Gender Gambar 28Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 28. Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Faktor
intensitas
komunikasi
besar
pengaruhnya
terhadap
tingkat
kemandirian usaha, yang ditunjukkan oleh tingginya pengaruh intensitas komunikasi terhadap kemandirian (koefisien lintas 0,63). Rendahnya faktor intensitas komunikasi pengrajin dengan aktor penyedia sumber daya usaha (pemodal, pemasok bahan baku, agen pemasaran, dan konsumen) menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih rendah intensitas komunikasinya dengan pemodal dan pemasok bahan baku, sehingga pengrajin belum memiliki kemampuan untuk melawan tindakan subordinasi yang dilakukan kedua aktor tersebut. Pengrajin yang melakukan pemesanan bahan baku sering dihadapkan pada ketidakpastian dalam waktu penerimaan dan kualitas bahan. Pengrajin masih rendah kemampuannya melawan tindakan subordinasi ini karena tidak dimilikinya informasi yang cukup tentang keberadaan aktor penyedia sumber daya alternatif. Terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam kerjasama yang dilakukan antara pengrajin dan pemodal. Pengrajin memperoleh modal dari juragan tetapi pengrajin memiliki kewajiban untuk mendistribusikan produk kerajinannya kepada pemodal dengan harga yang ditentukan oleh pemodal. Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,50. Rendahnya pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha pengrajin, dengan kata lain pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi pada aktor penyedia sumber daya usaha kerajinan, baik itu pemodal, penyedia bahan baku, agen pemasaran, maupun konsumen. Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap kemandirian adalah pendidikan pengrajin, dengan koefsien lintas 0,47. Rendahnya tingkat pendidikan pengrajin terutama pendidikan non formal menyebabkan rendahnya kemandirian pengrajin. Pengetahun dan ketrampilan pengrajin di bidang proses produksi masih rendah, terutama tentang mutu produk. Pengrajin belum mengetahui standar nasional tentang mutu produk barang kerajinan dari kulit. Pengrajin juga belum memiliki ketrampilan yang tinggi untuk menghasilkan produk bermutu secara tepat. Hal ini disebabkan pengrajin belum pernah mendapat sentuhan pendidikan nonformal tentang standar mutu produk.
Pengrajin pernah mendapat pendampingan tentang pengelolaan modal yang diberikan oleh badan usaha, namun pengrajin belum pernah mendapat penyuluhan tentang aksesibilitas sumber permodalan alternatif dan metode bekerjasama dengan sumber permodalan. Sehingga pengetahuan tentang sumber permodalan alternatif dan ketrampilan mengakses sumber permodalan masih rendah. Ketrampilan mempromosikan produk dan menjual produk secara luwes yang berorientasi pada kepuasan pelanggan adalah rendah, pengrajin belum pernah mendapat bimbingan tentang teknik-teknik promosi, teknik menjual, dan pengelolaan kepuasan pelanggan. Pengrajin sering menerima tindakan subordinasi pada saat bekerjasama. Pengrajin belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan membuat perjanjian secara tertulis. Sehingga ketika terjadi pelanggaran dalam perjanjian pengrajin berada pada pihak yang lemah dan terkalahkan. Rendahnya kemandirian dalam kerjasama ini disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan nonformal tentang perjanjian kerjasama. Pendidikan sangat penting bagi peningkatan pengetahuan, pemahaman, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam memproduksi produk kerajinan bermutu yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen. Rendahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penggajian dan kewajiban dalam usaha kerajinan berpengaruh terhadap kemandirian usah adengan koefisen lintas sebesar 0,44. Hal ini terutama terjadi pada aspek kemandirian produksi dan pemasaran. Terdapat bias gender pada usaha kerajinan barang dari kulit, seluruh pekerjaan utama produksi dikerjakan oleh kaum lakilaki sedangkan wanita menjadi asisten pekerjaan suami dalam produksi atau melakukan pekerjaan sebagai tenaga penjaga toko dan pemasaran. Keterbatasan pekerjaan wanita di bidang produksi mengurangi satu peluang dihasilkannya produk yang bermutu, wanita bisa menyelesaikannya dengan lebih halus dan teliti.
Pengaruh Faktor Pendukung Usaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Tingkat kemandirian usaha mendapat pengaruh positif yang nyata dari pendukung usaha. Rendahnya faktor pendukung usaha yang tersedia (ketersediaan
bahan baku, ketersediaan pasar, ketersediaan teknologi, dan keterjangkauan transportasi) berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kemandirian (permodalan, produksi, pemasaran, dan kerjasama). Pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap tingkat kemandirian pengrajin akan ditelusuri lebih lebih lanjut berdasarkan analisis jalur pada Gambar 29.
Bahan Baku 0,54
Pasar
0,62 0,51
Tingkat Kemandirian Usaha
Teknologi 0,53 Transportasi
Gambar 29Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 29. Pengaruh Indikator Pendukung Usaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Pengaruh paling besar dari aspek pendukung usaha terdapat pada faktor ketersediaan pasar, dengan koefisien lintas sebesar 0,62. Ketersediaan pasar kondusif bagi upaya peningkatan kemampuan pengrajin untuk memasarkan produk sesuai dengan kebutuhan pasar dan berpengaruh kecermatan pengrajin dalam bekerjasama dengan pihak yang terlibat dalam pendistribusian produk hasil kerajinan. Ketersediaan pasar akan mendorong pengrajin untuk mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan konsumen, serta memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. Terhadap aspek kemandirian kerjasama, ketersediaan pasar akan mendorong pengrajin untuk menjalin kerjasama seluas-luasnya dengan konsumen, penyalur, penyedia bahan baku, dan pihak yang terlibat dalam usaha kerajinan. Ketersediaan bahan baku berpengaruh nyata terhadap peningkatan kemandirian usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,54. Bahan baku yang terjamin (mutu, kuantitas, dan ketersediaannya) akan mendorong pengrajin untuk melakukan proses produksi secara tepat waktu dan menghasilkan produk bermutu.
Faktor transportasi juga berpengrauh nyata terhadap tingkat kemandirian usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,53. Transportasi yang terjangkau oleh pengrajin akan memfasilitasi pengrajin untuk menjangkau bahan baku, melakukan kontak dengan penyedia sumber daya, mempercepat pendistribusian hasil produksi penjualan, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Kehalusan dalam melakukan produksi ditunjang oleh ketersediaan peralatan yaitu peralatan yang berkembang sesuai kebutuhan, harga peralatan yang terjangkau dan kemudahan memperoleh peralatan. Faktor penting lainnya yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemandirian usaha adalah ketersediaan teknologi dengan koefsien lintas sebesar 0,51. Teknologi yang tersedia akan menjamin kelancaran proses produksi dan mendukung pengrajinmenghasilkan produk bermutu sesuai dengan tuntutan pasar.
Pengaruh Dukungan Lingkungan terhadap Tingkat Kemandirian Usaha Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin informal, bimbingan pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah) mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kemandirian usaha. Rendahnya dukungan keempat aktor tersebut terhadap pengrajin di kedua lokasi menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha. Aktor yang paling berperan dalam meningkatkan kemandirian usaha pengrajin dapat dilihat dari hasil analisis jalur pada Gambar 30. Keluarga 0,35
Pemimpin Informal
0,42 0,63
Tingkat Kemandirian Usaha
Bimbingan Pemerintah 0,61 Bimbingan Organisasi Non Pemerintah
Gambar 30 Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 30. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Dukungan pemerintah melalui bimbingan yang diberikan kepada pengrajin memiliki pengaruh yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha. Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah berupa pelatihan tentang ketrampilan produksi kerajinan bermutu sehingga pengetahuan dan kemampuan pengrajin dalam menghasilkan produk bermutu dan berdaya saing masih rendah.
Pemerintah
daerah juga telah memberikan pelatihan manajemen usaha kerajinan, namun frekuensinya masih sedikit sehingga masih banyak pengrajin yang memiliki kemampuan yang rendah dalam mengelola usaha kerajinan. Pelatihan tentang perjanjian kerjasama dan permodalan belum pernah dilakukan pemerintah daerah yang menyebabkan rendahnya kemandirian di bidang kerjasama dan permodalan. Organisasi non pemerintahan yang memberikan bimbingan kepada pengrajin terdiri dari: badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah memiliki kontribusi yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha pengrajin dengan koefsien lintas sebesar 0,61. Pembinaan yang pernah dilakukan oleh badan usaha berupa pendampingan terhadap pengrajin yang diberi modal. Pembinaan dari aspek produksi berupa pelatihan produksi sepatu, tas, dan penanganan bahan kulit dilakukan oleh badan usaha dan lembaga swadaya masyarakat, namun pembinaan tersebut tidak berkesinambungan dan jumlah pengrajin yang mendapat pembinaan juga masih terbatas. Oleh karena itu, rendahnya pembinaan yang dilakukan organisasi pemerintah menyebabkan masih rendahnya tingkat kemandirian usaha. Aspek pemasaran masih belum pernah mendapat sentuhan pembinaan atau bimbingan baik oleh pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah, sehingga kemampuan pengrajin dalam menerapkan teknik pemasaran baru, dan kecepatan menjual produk kepada konsumen dengan pelayanan bermutu msih rendah. Pemimpin informal pada komunitas pengrajin di kedua lokasi memiliki kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan kemandirian pengrajin dengan koesfien lintas sebesar 0,42. Pengrajin maju dan pemimpin kelompok usaha pada sentra kerajinan memberikan dukungan dalam kegiatan pengrajin berupa arahan tentang informasi pasar, model produk, atau tentang proses produksi.
Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,35. Pembelajaran yang diberikan oleh keluarga lebih mudah diterima pengrajin karena mereka melihat dan mempraktekkan langsung (learning by doing) terutama tentang proses produksi dan pemasaran. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemajuan Usaha Ringkasan hasil uji hipotesis ketiga yang tercantum pada Tabel 40, menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa ”Kemajuan usaha dipengaruhi secara langsung oleh perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha.” Tabel 40. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kemajuan Usaha Variabel Bebas
Variabel Terikat
Kemajuan Perilaku Usaha Wirausaha Tingkat kemandirian usaha
Koefisien Jalur (Standardized) 0,35
Standar Error
Nilai t hitung
0,18
1,97
Hasil Uji α=0,05. *
0,34
0,15
2,26
*
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965
R2
0,49
Tabel 40 Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kemajuan Usaha
Perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap kemajuan usaha, masing-masing sebesar 0,35 dan 0,34. Rendahnya perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha menyebabkan rendahnya tingkat kemajuan usaha. Hubungan langsung antara faktor perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha terhadap kemajuan usaha terlihat pada Gambar 31. Pengaruh Faktor Perilaku Wirausaha terhadap Kemajuan Usaha Berdasarkan Tabel 40 terlihat bahwa perilaku wirausaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap kemajuan usaha. Perilaku
wirausaha
sangat
penting bagi peningkatan kemajuan usaha, aspek keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing memiliki kontribusi yang besar bagi kemajuan usaha. Stewart JR et al (1998) menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan berdasarkan kecemerlangan aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di masa depan yang penuh resiko, hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha. ζ =0,51 0,34 Kemandirian Usaha
Kemajuan Usaha
R 2 = 0,49
0,35 Gambar 31Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha
Perilaku Wirausaha
Gambar 31. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha Rendahnya
tingkat
kemajuan
usaha
disebabkan
oleh
rendahnya
kemampuan pengrajin untuk menghasilkan inovasi dan menerapkan inovasi tersebut dalam usaha kerajinan kerajinannya masih rendah (rata-rata skor 32,5). Kecenderungan menerapkan cara-cara yang sudah lama mereka terapkan, menyebabkan kejenuhan pada model yang dihasilkan sehingga tidak sesuai lagi dengan mode yang disukai konsumen terutama untuk produk yang berorientasi ekspor. Lebih dari seperempat pengrajin di Kabupaten Magetan memiliki keinovatifan rendah yang berakibat produk sepatu yang dihasilkan tidak mampu diserap pasar secara optimal dari segi kuantitas dan jangkauan pemasaran. Pengrajin Magetan sebagian besar memasarkan produknya untuk kebutuhan lokal (55,3 persen). Rendahnya keinovatifan menyebabkan seperempat pengrajin memiliki tingkat pertumbuhan usaha (penjualan, jenis produk, aktiva, volume produksi, dan pangsa pasar) sangat rendah. Keinovatifan (pemahaman tentang penciptaan inovasi produk, ketertarikan untuk menciptakan inovasi, dan kecermatan menghasilkan inovasi dengan peralatan produksi atau teknik produksi terbaru kondusif) akan meningkatkan pertumbuhan produksi. Pengetahuan sumber informasi tentang teknik pemasaran
dan pelayanan kepada pelanggan yang inovatif akan mendorong pengrajin untuk meningkatkan pertumbuhan penjualan. Faktor inisiatif juga memiliki pengaruh besar terhadap tingkat kemajuan usaha. Ketidakmampuan sebagian besar pengrajin menjangkau pasar ekspor disamping karena rendahnya keinovatifan juga karena kemampuan untuk memasuki pasar baru yang masih rendah yang ditunjukkan dari inisiatif pengrajin untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar dan jangkauan pasar baru yang masih rendah (rata-rata 34,4). Upaya mendorong pengrajin meningkatkan inisiatif sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pengrajin menjangkau pasar yang lebih luas terutama pasar ekspor yang baru 5 persen dijangkau pengrajin. Kecermatan dalam memanfaatkan peluang usaha dengan perencanaan yang matang kondusif untuk mengembangkan kecermatan dan ketepatan mengelola usaha ecara efisien. Ketertarikan dan ketelitian dalam mengidentifikasi peluang usaha yang didukung dengan kemampuan pengrajin dalam mencari sumber informasi inovatif dan kecermatan dalam menghasilkan inovasi usaha akan menjadikan usaha lebih dinamis dan produk menjadi lebih bervariasi. Daya saing yang dimiliki pengrajin juga berpengaruh secara nyata terhadap tingkat kemandirian usaha. Rendahnya daya saing produk kerajinan menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih menggunakan standar lokal pada produk yang dihasilkan. Secara logika, dengan jangkauan pasar yang lebih luas akan menuntut standar mutu produk yang lebih tinggi karena persaingan semakin luas. Produk yang menjadi pesaing tidak hanya produk lokal tapi produk nasional bahkan internasional. Sebagai salah satu contoh, pengrajin tidak dapat menggunakan standar ukuran sepatu untuk orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa atau Timur Tengah. Pengetahuan dan pemahaman tentang cara memprediksi resiko, sikap terhadap resiko, dan ketepatan dan kecermatan mengelola resiko masih rendah yang menyebabkan pertumbuhan usaha dan efektivitas usaha juga rendah. Pengrajin perlu berhati-hati dan teliti dalam menjalankan usaha secara efisien dan efektif. Peluang usaha baru yang berhasil diidentifikasi dan dijalankan pengrajin akan membuka kesempatan untuk meningkatkan volume penjualan dan perluasan
pangsa pasar. Kecermatan menemukan peluang usaha dan ketepatan memprediksi terjadinya resiko dalam menjalankan usaha baru yang didukung perencanaan biaya produksi yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha. Berdasarkan hasil tersebut di atas, faktor perilaku wirausaha sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan kemajuan usaha pengrajin. Pengrajin yang berkualitas perilaku wirausaha sangat kondusif untuk dapat meraih kemajuan usaha. Variabel tersebut penting untuk dikembangkan melalui program pemberdayaan masyarakat. Sehingga pengrajin mampu meraih pertumbuhan usahanya serta dapat bekerja secara efisien dan efektif. Hasil temuan ini relevan dengan temuan Perry et al (2001), Adnyana (2004), dan Steier (2000).
Pengaruh Faktor Tingkat Kemandirian Usaha terhadap Kemajuan Usaha Kemandirian usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap kemajuan usaha. Rendahnya kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efektivitas usaha, dan efisiensi usaha) dengan rata-rata skor 35,9 disebabkan oleh rendahnya tingkat kemandirian usaha (kemandirian permodalan, produksi, pemasaran, dan kerjasama) dengan rata-rata skor 37,8. Pertumbuhan usaha yang rendah (terutama faktor pertumbuhan volume produksi) disebabkan oleh kemandirian produksi yang rendah (ketrampilan proses produksi). Pengrajin masih belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan produksi yang tinggi karena ketepatan dalam menjalankan tahapan produksi masih rendah, pengrajin masih belum membuat perencanaan jumlah barang yang akan diproduksi sehingga tidak bisa selesai tepat waktu. Efek kemandirian produksi yang rendah juga berpengaruh pada rendahnya efisiensi waktu. Pengrajin memiliki keterbatasan akses terhadap peralatan besar (mesin pres, pemotong, dan seset) yang tidak dimilikinya dengan menyewa pada pengrajin lain sehingga menimbulkan waktu menganggur. Faktor kemandirian permodalan yang dimiliki pengrajin masih rendah, hal ini menyebabkan rendahnya kemajuan usaha. Pemahaman tentang pengelolaan modal, sikap hemat dalam mengelola modal, dan ketepatan mengakses sumber
permodalan alternatif masih rendah, sehingga pertumbuhan usaha menjadi rendah, terutama pertumbuhan volume produksi dan pertumbuhan aktiva. Rendahnya pertumbuhan usaha (pertumbuhan penjualan dan perkembangan pangsa pasar) disebabkan oleh kemandirian pemasaran pengrajin yang masih rendah. Kemandirian pemasaran pengrajin masih belum kondusif untuk meningkatkan volume penjualan dan menjangkau pasar yang lebih luas terutama pasar ekspor. Pengrajin masih rendah dalam ketanggapan terhadap perkembangan teknik menjual, promosi produk kerajinan dan keluwesan dalam memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan sehingga pencapaian target penjualan dan perkembangan pangsa pasar masih rendah. Kemandirian kerjasama yang rendah juga menyebabkan kemajuan usaha yang rendah. Kemampuan pengrajin dalam melakukan kerjasama dengan pihak yang berkaitan dengan bidang usaha kerajinan (pemodal, pemasok bahan baku, agen pemasaran, dan
konsumen) masih rendah sehingga pertumbuhan usaha
terutama perkembangan pangsa pasar, pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan aktiva menjadi rendah. Pengrajin belum mampu membuat perjanjian dalam kerjasama dan belum mampu memposisikan dirinya sebagai mitra yang sejajar dengan aktor terkait sehingga timbul tindakan subordinasi oleh aktor tersebut. Sikap percaya diri pengrajin dalam menjalin kerjasama masih rendah, sehingga menghambat perkembangan jangkauan pemasaran. Pengrajin belum mampu memperluas akses jaringan kerjasama, jika pengrajin mampu maka semakin luas dan semakin banyak alternatif jaringan kerjasama yang dimiliki pengrajin akan semakin tinggi kemampuan mencapai pertumbuhan usaha dan semakin tinggi pencapaian target usaha.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Usaha Kemajuan usaha yang dicapai oleh pengrajin diuji pengaruhnya terhadap tingkat keberlanjutan usaha. Ringkasan hasil uji hipotesis yang tersebut pada Tabel 41 menunjukkan bahwa hipotesis ”Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara langsung oleh kemajuan usaha” diterima.
Tabel 41. Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha Variabel Bebas
Variabel Terikat
Koefisien Jalur (Standardized) Keberlanjutan Kemajuan 0,76 Usaha Usaha *Nyata pada α= 0,05, t-tabel=1,965.
Standar Error
Nilai t hitung
0,09
8,46
Hasil Uji α=0,05. *
R2
0,57
Tabel41 Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha
Kemajuan
usaha
berpengaruh
secara
positif
dan
nyata
terhadap
keberlanjutan usaha sebesar 0,76. Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan rendahnya tingkat kemajuan usaha yang diraih pengrajin dari satu periode ke periode. Usaha yang senantiasa tumbuh dari aspek penjualan, keuntungan dan modal yang dimiliki serta berjalan secara efektif dan efisien mampu meningkatkan keberlanjutan usahanya pada masa mendatang. Hubungan langsung kemajuan usaha terhadap keberlanjutan usaha terlihat pada Gambar 32.
Kemajuan Usaha
0,76
ζ =0,43
Keberlanjutan usaha
Gambar 32Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha
Gambar 32. Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan oleh rendahnya tingkat kemajuan usaha. Hampir setengah pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas produksi rendah yang disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha, efektivitas, dan efisiensi usaha. Pengrajin kurang tanggap terhadap pentingnya perencanaan dan penyusunan target produksi. Jumlah barang yang akan diproduksi ditentukan dengan pendekatan tradisional, jumlah yang diproduksi pada bulan ini sama dengan jumlah yang diproduksi pada bulan lalu, tanpa melakukan prediksi atau
perencanaan produksi. Ketanggapan pengrajin terhadap tingkat kekerapan hasil produksi pada masa yang akan datang masih rendah dan pengrajin kurang proaktif pada kelancaran proses produksi. Sikap pengrajin dalam mengantisipasi tercapainya kontinyuitas produksi berupa kelancaran proses produksi, meningkatnya mutu produk dan terpenuhinya kebutuhan konsumen akan produk kerajinan yang bermutu masih rendah, hal ini disebabkan pertumbuhan usaha masih rendah dan pengrajin belum menjalankan usahanya secara efektif dan efisien. Tingkat kontinyuitas penjualan cenderung rendah, hampir setengah pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas penjualan rendah dan sangat rendah. Rendahnya kontinyuitas penjualan disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha (pertumbuhan penjualan dan perkembangan jenis produk kerajinan) dan efektivitas (pencapaian target penjualan) yang rendah. Kesadaran akan pentingnya pelayanan bermutu dalam usaha kerajinannya masih rendah. Penerapan standar mutu produk yang berlaku di pasar masih rendah, standar yang digunakan sebatas kemampuan yang dimiliki dan masih rendah penerapan prinsip-prinsip pelayanan yang memberikan kepuasan pada pelanggan. Peningkatan dan diversifikasi produk kerajinan yang dihasilkan dicapai pengrajin pada kondisi saat ini dengan sebelumnya akan mendorong sikap proaktif pengrajin untuk dapat memenuhi selera konsumen atas produk kerajinan pada masa yang akan datang. Sikap proaktif atas kontinyuitas penjualan ini masih rendah terutama dalam hal membuat perencanaan biaya dan target penjualan, peningkatan pelayanan, dan kesadaran melakukan promosi. Rata-rata kontinyuitas penjualan sedang (rata-rata 59,5), hal ini ditunjukkan oleh oleh pencapaian target produksi dan penjualan yang rendah. Pengrajin masih lemah dalam hal mengantisipasi terpenuhinya input bahan baku dengan jumlah yang tepat dan memiliki mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen pada masa karena pertumbuhan volume produksi dan penjualan masih rendah. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan usaha maka akan meningkatkan semangat pengrajin untuk mengantisipasi keterpenuhan bahan baku dengan membuat perencanaan persediaan, pengendalian persediaan, dan mutu persediaan.
Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengrajin masih memiliki keberdayaan yang rendah, hal ini ditunjukkan dengan perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha yang rendah. Perilaku wirausaha (tingkat keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko dan daya saing) pengrajin adalah rendah. Pengrajin lebih sering menerapkan cara-cara berusaha yang telah ada dan mencoba menerapkan inovasi setelah pengrajin lain menerapkannya. Kecenderungan yang terjadi pada pengrajin adalah memproduksi barang yang sejenis dengan pengrajin yang lain. Mereka kurang merespon peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian atau kegagalan. Sebagian besar pengrajin hanya berupaya menjual produk semampunya, seperti yang telah dicapai pada hari-hari sebelumnya. Tingkat kemandirian usaha (permodalan, proses produksi, kerjasama dan pemasaran) masih rendah. Pengrajin mengelola modal dengan pertimbangan jangka pendek dan belum memiliki orientasi mengakumulasikan keuntungan dalam investasi modal. Pada aspek permodalan pengrajin juga kurang proaktif dalam mencari sumber permodalan alternatif. Pengrajin menghasilkan produk dengan menggunakan pola yang sudah ada yang telah lama mereka pergunakan dengan mengacu pada standar internal. Kemampuan memodifikasi peralatan agar sesuai dengan kebutuhan pasar masih belum banyak dilakukan. Kemandirian kerjasama belum dicapai pengrajin karena mereka melakukan kerjasama dalam lingkup yang masih terbatas, sehingga tidak jarang mereka menerima tindakan subordinasi karena tidak mampu mencari alternatif lain. Orientasi kerjasama juga masih dalam tujuan keuntungan jangka pendek sehingga kurang kontinyu. Berdasarkan kondisi perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pengrajin yang dijelaskan di atas, tampak bahwa pengrajin masih belum berdaya dalam menjalankan usaha kerajinannya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model pemberdayaan bagi pengrajin, sehingga pada masa mendatang diperoleh pengrajin yang berdaya dan mampu meraih kemajuan dan keberlanjutan usahanya. Hasil model persamaan struktural secara keseluruhan (overall) yang digunakan dalam menguji hipotesis satu sampai dengan hipotesis empat dievaluasi lebih lanjut untuk mengkonfirmasi layak-tidaknya model teoritis yang diajukan untuk menduga hipotesis penelitian. Menurut Ferdinand (2002) suatu model dikatakan
fit atau sesuai dengan data apabila matriks kovarian sampel tidak berbeda dengan estimasi matrik kovarians populasi yang dihasilkan. Sehingga model baik untuk digunakan menduga populasi. Nilai Goodness-of-Fit Index (GFI) merupakan ukuran kesesuaian model secara deskriptif. Dalam penelitian ini nilai GFI adalah sebesar 0,93 atau lebih besar dari 0,90 yang mengindikasikan model fit atau model dapat diterima. Nilai GFI ini juga menunjukkan bahwa 93 persen data penelitian mampu menerangkan kenyataan di lapangan. Model
persamaan
struktural
digunakan
sebagai
landasan
untuk
merumuskan model pemberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan usaha. Pengujian hipotesis telah membuktikan bahwa secara empiris pada komunitas pengrajin faktor-faktor karakteristik individu, pendukung usaha, dan lingkungan berpengaruh nyata terhadap keberdayaan pengrajin (perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha). Keberdayaan pengrajin berpengaruh secara nyata terhadap kemajuan usaha yang menjadi faktor penentu keberlanjutan usaha pengrajin di masa depan. Faktor-faktor penentu keberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan usaha tersusun dalam model persamaan struktural (SEM) pada Gambar 33.
Karakteristik Individu
ζ =0,51
ζ =0,13 0,58 * Pendukung Usaha
0,26* 0,20* 0,05
Dukungan Lingkungan
0,39 *
0,50 *
Keberdayaan Pengrajin
Kemandirian Usaha 0,56* Perilaku Wirausaha
0,34*
Kemajuan Usaha
0,76* 0,35* Keberlanjutan Usaha
ζ =0,22
ζ =0,43
Gambar 33Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin * Nyata pada α= 0,05. Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usaha Tingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 33. Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin
Model persamaan struktural keberdayaan pengrajin pada Gambar 33 menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam karakteristik individu (pendidikan, motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender) memiliki peran strategis untuk memberdayakan pengrajin yaitu meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usahanya. Peningkatan keberdayaan pengrajin ini didukung oleh lingkungan dan pendukung usahanya. Terdapat nilai residu ( ζ) yang merupakan faktor di luar model yang diduga berpengaruh terhadap keberdayaan, kemajuan, dan keberlanjutan usaha pengrajin. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin, iklim usaha merupakan salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap keberdayaan pengrajin. Hasil penelusuran melalui analisis jalur dari indikator yang ada pada karakteristik individu pada Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan motivasi merupakan faktor strategis yang menentukan kualitas perilaku wirausaha, terutama setelah melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi. Seyogyanya pemberdayaan diarahkan pada upaya memotivasi pengrajin dan menambah intensitas penyuluhan guna meningkatkan perilaku wirausahanya melalui komunikasi yang intensif antara penyuluh dan aktor yang terlibat dalam pemberdayaan. Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin informal, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non pemerintah) secara nyata berpengaruh terhadap perilaku wirausaha, terutama yang diperankan oleh pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah, sehingga keterlibatan kedua aktor tersebut secara intensif sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas perilaku wirausaha. Penelitian ini juga mengkaji lebih lanjut pengaruh keberdayaan pengrajin pada kemajuan dan keberlanjutan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemajuan usaha secara nyata dan positif dipengaruhi oleh keberdayaan pengrajin yaitu perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usahanya. Kemajuan usaha masih rendah (rata-rata skor 37,8), ini terjadi karena keberdayaan pengrajin masih rendah (perilaku wirausaha rendah dengan rata-rata skor 33,8 dan tingkat kemandirian usaha rendah dengan rata-rata skor 35,9). Kemajuan usaha yang masih rendah berdampak pada masih banyaknya usaha pengrajin yang memiliki tingkat keberlanjutan yang rendah.
Pengembangan kemandirian usaha perlu dilakukan melalui peningkatan perilaku wirausaha pengrajin terutama pada aspek keinovatifan, inisiatif, dan daya saing bagi pengrajin. Hal ini telah dibuktikan melalui analisis jalur pengaruh indikator perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pada Gambar 27. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh karakteristik individu (intensitas komunikasi, pemenuhan kebutuhan, pendidikan, motivasi, dan aspek gender) dan dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan perlu mendapat perhatian serius terutama bimbingan pemerintah daerah, bimbingan organisasi non pemerintah, keluarga, dan pemimpin informal. Pendukung usaha juga perlu mendapat perhatian terutama pada aspek pasar, bahan baku, transportasi, dan teknologi. Faktor strategis penentu keberdayaan pengrajin pada kedua lokasi adalah sama yaitu faktor karakteristik individu dan lingkungan, namun penekanan pengembangan masing-masing faktor berbeda. Model persamaan struktural keberdayaan pengrajin Sidoarjo disajikan pada Gambar 34. Karakteristik Individu
ζ=0,09
ζ=0,04 Keberdayaan Pengrajin 0,42*
Pendukung Usaha
0,14* 0,28* 0,35*
Dukungan Lingku ngan
0,12*
0,36*
Tingkat Kemandirian Usaha 0,49*
Tingkat Kemajuan Usaha
0,28*
0,77*
0,44*
Perilaku Wirausaha
Keberlanjutan Usaha
ζ=0,06
ζ=0,41
Gambar 34Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo
* Nyata pada α= 0,05. Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usaha Tingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 34. Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo Pengembangan dukungan lingkungan menjadi faktor selanjutnya yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan keberdayaan pengrajin di Sidoarjo terutama melalui bimbingan organisasi non pemerintah dan bimbingan pemerintah daerah. Faktor keluarga dan pemimpin informal memiliki peran yang seimbang,
sehingga kedua-duanya sama
diperlukan untuk meningkatkan keberdayaan
pengrajin. Adapun model persamaan struktural keberdayaan pengrajin Magetan disajikan pada Gambar 35. Kualitas Pribadi
ζ=0,25
ζ=0,17 0,21*
Pendukung Usaha
Keberdayaan Pengrajin
0,04 0,33*
Tingkat Kemandirian Usaha
0,29* 0,06 Dukungan Lingkungan
0,31*
0,70*
0,42* Keberlanjutan Usaha
Perilaku Wirausaha
0,35*
Tingkat Kemajuan Usaha
0,36*
ζ=0,51
ζ=0,05
Gambar35Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan * Nyata pada α= 0,05. Jalur Strategis: Dukungan Lingkungan Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usaha Tingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 35. Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan Rendahnya keberdayaan pengrajin di Magetan perlu ditingkatkan melalui pengembangan dukungan lingkungan terutama melalui bimbingan pemerintah daerah. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah penting untuk mengembangkan
perilaku
wirausaha
pengrajin
yang
masih
rendah.
Pengembangan perilaku wirausaha dan intervensi yang dilakukan pemerintah daerah akan meningkatkan kemandirian pengrajin. Keterlibatan organisasi non pemerintah dan keluarga juga penting bagi peningkatan keberdayaan pengrajin Magetan yang memiliki hubungan yang kuat antar sesama anggota keluarga yang secara sinergis mendukung kegiatan usaha kerajinan. Perhatian yang serius terhadap karakteristik individu pengrajin mampu meningkatkan perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pengrajin Magetan. Faktor karakteristik individu yang mempunyai kontribusi paling penting bagi keberdayaan pengrajin Magetan adalah pendidikan pengrajin. peningkatan pendidikan pengrajin terutama pada aspek pendidikan non formal mampu meningkatkan keberdayaan pengrajin.
Visi, Misi dan Strategi Pengembangan Industri Kecil Visi Pengembangan Industri Kecil Pengembangan industri kecil diorientasikan kepada visi agar menjelang tahun 2020 dapat terwujud industri kecil berbasis ekonomi kerakyatan yang maju, kompetitif, mandiri dan berperan secara berarti sebagai basis dan salah satu motor penggerak bagi pengembangan sektor industri secara keseluruhan (Deperindag, 2002). Memperhatikan visi tersebut, maka yang dibangun oleh pemerintah adalah aspek industri kecilnya agar menjadi tumpuan utama kehidupan ekonomi masyarakat di sektor industri, menjadi penyedia lapangan kerja ataupun sumber penghidupan yang luas dengan sumbangan nilai tambah yang besar. Menurut O’Connor (1996) visi atau wawasan adalah lampu jarak jauh yang dapat memberikan arah untuk setiap upaya. Jika visi ini jelas dan cemerlang, maka perhatian orangpun akan tertarik dan minat serta pengetahuannya akan terangsang. Bahkan sekalipun rinciannya tersamar atau tidak jelas, maka visi dapat digunakan sebagai pengikat. Nilai-nilai filosofis yang dijadikan acuan atau landasan perilaku dari setiap pelaku pengembangan industri kecil demi tercapainya tujuan yang ditetapkan tersirat
dalam
pernyataan
“industri
kecil
sebagai
motor
penggerak
pengembangan”, yang diartikan sebagai suatu kondisi industri kecil pada saat menjelang 2020 merupakan segmen industri yang (bersama-sama dengan segmen lainnya) telah berkemampuan mendinamisasi dan memajukan dirinya sendiri bekerja bersama-sama dengan segmen usaha dan pemerintah tanpa saling membebabni Hal ini sejalan dengan falsafah penyuluhan “helping people to help them selves”. Bahwasanya pengembangan industri kecil diarahkan pada upaya memberi kemampuan pada industri kecil untuk menolong dirinya sendiri, namun di dalam visi tersebut tidak tercantum secara jelas adanya aspek pendidikan dalam kegiatan pengembangan industri kecil, sehingga masih belum relevan dengan konteks penyuluhan.
Misi Pengembangan Industri Kecil
Misi pengembangan industri kecil adalah memperluas penciptaan lapangan kerja melalui penciptaan dan pengembangan lapangan berusaha, meningkatkan pendapatan masyarakat luas secara lebih merata, menyebarkan kegiatan pembangunan dengan seoptimal mungkin mendayagunakan sumberdaya dalam negeri (indigeneous resources) secara efisien dalam rangka pendalaman struktur industri atas prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, meningkatkan ekspor, serta menjadikan industri kecil sebagai wahana bagi pelestarian dan pengembangan seni-budaya bangsa (Deperindag, 2002). Misi berisi penjabaran visi ke dalam kegiatan operasional yang nyata untuk mendorong tercapainya tujuan. Untuk mewujudkan industri kecil berbasis ekonomi kerakyatan yang maju, kompetitif, mandiri dan berperan sebagai basis dan motor pengembangan tidak hanya dapat dicapai dengan penciptaan dan pengembangan lapangan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas secara lebih merata sebab berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa aspek karakteristik individu dan intervensi lingkungan secara nyata berpengaruh terhadap kemandirian usaha. Misi pengembangan belum mencantumkan aspek sumber daya manusia dan industri kecil yaitu pengelola usaha atau pengrajinnya.
Tujuan Pengembangan Industri Kecil Deperindag (2002) menetapkan tujuan dilakukannya pengembangan Industri Kecil adalah untuk mewujudkan kemajuan pembangunan industri berupa: (1) Meningkatnya kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan pendapatan masyarakat secara lebih merata. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah unit usaha, sentra produksi, lapangan kerja, output, serta nilai tambah yang dihasilkan. (2) Terwujudnya struktur industri yang kuat, yang ditandai dengan tingginya keterkaitan antara industri kecil dengan industri menengah dan dengan industri besar. Hal tersebut juga ditandai dengan berkembangnya industri pendukung skala kecil menengah, berkurangnya impor suku cadang, komponen dan bahan baku, serta meningkatnya penggunaan hasil produksi dalam negeri.
(3) Semakin banyaknya industri kecil yang berbasis pada hasil karya intelektual yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledgebased) yang ditandai dengan
meluasnya
penggunaan
teknologi
informasi
yang
dapat
mendinamisasi bisnis industri kecil, serta tumbuhnya industri kecil menengah software komputer (beserta komponen hardwarenya), serta industri yang berbasis bio-teknologi. (4) Meningkatnya persebaran industri kecil ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, khususnya daerah terpencil dan daerah perbatasan, yang berarti akan mendorong pemerataan kegiatan pembangunan, penggairahan kehidupan dan pertumbuhan ekonomi daerah, serta memperkecil kesenjangan sosial antar daerah maupun dengan masyarakat di negara tetangga. (5) Meningkatnya ekspor produk industri kecil, baik dalam nilai, dalam ragam jenis produk yang semakin bergeser ke arah produk industri hilir, produk industri yang berteknologi/bernilai tinggi, maupun dalam pangsa saham kontribusinya terhadap nilai ekspor nasional. (6) Terwujudnya upaya pelestarian dan pengembangan seni-budaya melalui kegiatan produktif yang bernilai ekonomis, yang ditandai dengan lestarinya berbagai produk seni dan budaya utamanya yang berciri khas daerah dan mempunyai nilai sejarah maupun nilai seni yang tinggi, sehingga kekayaan seni dan budaya nasional tersebut sekaligus dapat berkembang karena dapat dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakat secara berkesinambungan. Memperhatikan keenam tujuan pengembangan industri kecil yang dicanangkan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Perindustrian, maka terlihat bahwa tujuan lebih diarahkan pada upaya mendorong produktivitas dengan terwujudnya struktur industri yang kuat, penyebaran industri kecil ke beberapa daerah di luar Pulau Jawa, dan peningkatan orientasi ekspor. Pengembangan industri kecil juga ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, namun aspek kualitas sumber daya manusianya terutama peningkatan perilaku wirausaha dan kemandirian usaha belum menjadi salah satu tujuan pengembangan, padahal kedua aspek ini secara nyata berpengaruh terhadap kemajuan usaha yang diukur dari peningkatan pendapatan dan keuntungan industri kecil. Selain itu aspek keberlanjutan usaha belum
menjadi salah satu tujuan pengembangan industri kecil, meskipun di Pulau Jawa memiliki populasi industri kecil dalam jumlah yang besar, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aspek keberlanjutan usahanya masih rendah. Misi Pengembangan Industri Kecil Barang dari Kulit Misi pengembangan industri kecil barang dari kulit yang termasuk dalam kelompok industri kecil berorientasi ekspor adalah untuk : (1) Meningkatkan nilai perolehan devisa bersih (net foreign currency gain) dan sekaligus meningkatkan kontribusi ekspornya terhadap ekspor nasional. (2) Memberikan motivasi dan semangat orientasi ekspor kepada semua pelaku industri nasional khususnya industri kecil, dengan memacu peningkatan mutu dan kapasitas pemasokan tepat waktu. (3) Menjadi wahana untuk peningkatan penggunaan teknologi, termasuk teknologi informasi. (4) Menjadi motor penghela bagi kemajuan/modernisasi industri kecil, dengan tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan sumbangan nilai tambah bagi ekonomi. (5) Mendorong industri kecil yang memiliki kemampuan diversifikasi produk ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi. (6) Memacu industri kecil lainnya untuk meningkatkan daya saing. (7) Memperluas lapangan kerja. (8) Menciptakan hubungan bisnis (networking) antara industri kecil lokal dengan pemasok dunia. Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Barang dari Kulit Pengembangan industri kecil berorientasi ekspor diarahkan untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor industri kecil, baik yang selama ini secara potensial mempunyai kinerja ekspor yang tinggi maupun produk-produk yang berpotensi dapat diekspor melalui peningkatan berbagai faktor internal dan eksternal perusahaan agar dayasaingnya di luar negeri meningkat. Selain itu juga
akan didorong kemampuan mengakses pasar ekspor dalam rangka membantu persaingan pasar ekspor yang semakin ketat. Pengembangan industri kecil orientasi ekspor diarahkan untuk menggeser basis dayasaing ekspor industri kecil dari resoursed-based dan labour-based industries ke arah knowledged-based industries menuju ke pembentukan keunggulan kompetitif. Kemajuan yang ingin dicapai ini antara lain akan ditunjukkan dengan porsi saham nilai ekspor industri kecil yang semakin membesar terhadap nilai outputnya, serta indikator daya saing komparatif terhadap produk sejenis dari negara lain. Strategi umum pengembangannya mengikuti prinsip demand-pull dan supply-push strategy dengan mengutamakan muatan pembinaan dari aspek teknologi mutu, sistim perangsang, pemberdayaan manajerial khususnya dari aspek fasilitasi dan pengembangan jaringan ekspor, serta dukungan sumberdaya/ pendanaan. Peningkatan permintaan pasar (pull factors) dilakukan dengan cara: (a) Membuka outlet-outlet pemasaran untuk produk ekspor di dalam dan luar negeri. (b) Meningkatkan bisnis intelejen dan marketing di luar negeri. (c) Meningkatkan promosi dan pemasaran melalui pameran di luar negeri dan pameran internasional di dalam negeri (d) Melakukan kemitraan usaha dengan trader/eksportir besar (e) Memperbaiki iklim usaha perdagangan luar negeri agar para pedagang eceran dengan mudah dan murah keluar masuk Indonesia. (f) Peningkatan intensitas komunikasi dengan Departemen Perindustrian Peningkatan kemampuan produksi perusahaan (push factors) dilakukan melalui (a) Meningkatkan produktivitas dan effisiensi perusahaan industri kecil (b) Meningkatkan kemampuan teknis produksi industri kecil melalui service centre, Bisnis Development Centre, maupun bantuan langsung ke perusahaan. (c) Meningkatkan kemampuan diversifikasi produk dan berkembangnya desain/ produk baru (d) Fasilitasi permodalan ( modal investasi dan modal kerja). (e) Peningkatan manajemen mutu ditingkat perusahaan.
Aspek produktivitas juga masih menjadi hal yang penting pada misi dan strategi pengembangan kelompok industri kecil barang dari kulit, aspek SDM pengrajin belum banyak dibahas dalam misi tersebut. Kebijakan Pengembangan Industri Kecil Pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan industri kecil yang pelaksanaannya akan didukung bersama oleh semua pihak/instansi terkait, serta tersusun dari komponenkomponen kebijakan yang universal (kebijakan dan strategi yang bersifat spesifik bagi industri kecil terletak pada kadar kepedulian di tiap komponen kebijakan, serta bentuk langkah dan program spesifik dalam strategi pembinaannya,misalnya diprioritaskannya pengolahan SDA dan karya seni tradisional di masing-masing daerah (fokus pembinaan), insentif khusus, prioritas pemberdayaan untuk industri kecil, bantuan teknik, kampanye penyatuan visi tentang keberpihakan industri kecil semua instansi, dan proyek-proyek spesifik industri kecil) yaitu : (1) Menggariskan prioritas sektoral pengembangan industri kecil melalui pemilihan jenis-jenis industri yang dijadikan fokus pengembangan, untuk dijadikan acuan prioritas bagi aparat pembina secara terpadu/lintas instansi, baik di pusat maupun di daerah, di mana pilihan jenis industri dan komoditi yang akan dikembangkan disesuaikan dengan kecocokan potensi dan prospek tumbuh di daerah pengembangan yang bersangkutan, dengan mengutamakan pengembangan ke daerah luar Pulau Jawa, khususnya daerah terpencil, wilayah perbatasan dan kawasan timur Indonesia. (2) Melakukan kegiatan pemberdayaan agar para pelaku industri kecil: (a) Mempunyai wawasan dan jiwa wirausaha yang ulet, patriotik (cinta produk dalam negeri), dan profesional. (b) Mampu
mengidentifikasi,
mengembangkan
ataupun
memanfaatkan
peluang usaha. (c) Mampu mendayagunakan sumberdaya produktif dan mengakses pasar (lokal, dalam negeri maupun ekspor). (d) Mempunyai kemampuan manajemen usaha, keahlian dan ketrampilan teknis/teknologis.
(e) Mampu membangun daya saing (berwawasan efisiensi, produktivitas dan mutu, proaktif-kreatif-inovatif). Pemberdayaan terhadap institusi (instansi-instansi teknis pembina, lembaga litbang industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, dunia usaha, LSM, politisi, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang berkaitan dengan pengembangan industri kecil juga dilakukan agar mereka : (a) Mempunyai komitmen kuat untuk memajukan industri kecil yang diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian, alokasi sumberdaya/dana, upaya dan waktu yang lebih banyak untuk pengembangan industri kecil. (b) Mempunyai wawasan konseptual untuk membuat program pengembangan industri kecil yang berdayaguna dan berhasilguna. (c) Bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk secara bersama mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil sesuai dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing. (3) Mengembangkan iklim usaha yang lebih mendorong, melindungi dan memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pebisnis industri kecil untuk tumbuh berkembang maju. Komponen iklim usaha yang bersifat teknis utamanya adalah : (a) Kepastian hukum dan kejelasan/kesederhanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kondusif dan tidak membebani ekonomi. (b) Tersedia cukupnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi (investasi publik maupun swasta). (c) Sistim insentif yang secara efektif dapat merangsang kegairahan ekonomi melalui industri kecil. (d) Kebijakan makro ekonomi yang menunjang, khususnya dari segi ketersediaan dan kemudahan akses permodalan, suku bunga yang relatif rendah, kestabilan nilai tukar valuta asing, dan sebagainya. (e) Bantuan teknik dan subsidi pemerintah untuk program prioritas. (f) Citra aparat pembina/fasilitator yang bersih (good governance). (4) Meningkatkan pemberian layanan prima (fasilitasi) kepada pelaku industri kecil, baik layanan administratif (perijinan/pencatatan/legalisasi/ketetapan fasilitas/ rekomendasi, informasi kebijakan, dan sebagainya), maupun layanan
bisnis berupa informasi bisnis yang diperlukan (pasar, peluang usaha, teknologi, permodalan, mitra usaha, dan sebagainya.) maupun sistem dan sarana penunjang yang dapat mendinamisasi dan memajukan daya-saingnya (utamanya dengan mensosialisasikan penggunaan teknologi informasi yang mutakhir). (5) Selalu mengembangkan program yang inovatif, realistik dan membumi (menyentuh kepentingan pelaku pasar di sektor riil), mampu menjawab masalah aktual yang dihadapi sesuai kondisi nyata obyek binaan di lapangan.
Model Pemberdayaan Pengrajin Kebutuhan peningkatan kapasitas pengrajin sangat mendesak untuk dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada konteks pengrajin,
makna
pemberdayaan
diartikan
sebagai
proses
pembelajaran
berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin agar: (1) memiliki kesadaran atas kebutuhannya, (2) meningkat kualitas perilaku berusahanya, (3) mandiri dalam seluruh aspek kegiatan usahanya, (4) memiliki motivasi yang tinggi untuk memajukan usahanya, dan (5) peka dan tanggap dalam melakukan perencanaan untuk keberlanjutan usahanya di masa mendatang. Penyuluhan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi pemberdayaan pengrajin
terutama
dalam
fungsi
pengembangan
sumberdaya
manusia.
Penyuluhan yang telah dilakukan pada sentra industri kecil kerajinan di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan belum dilakukan secara melembaga oleh penyuluh resmi yang ditugasi untuk pengembangan industri kecil. Keberlanjutan program juga masih kurang, bahkan beberapa pengrajin menyatakan belum pernah mendapat sentuhan penyuluhan. Model pemberdayaan bagi komunitas pengrajin di kabupaten Sidoarjo dan Magetan
disusun
dengan
pendekatan
input-process-output-outcome
yang
didasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasi melalui model persamaan struktural. Model pemberdayaan ini juga dilandasi oleh hasil sintesa model intervensi komunitas Rothman (1974), yang merupakan gabungan (intermixed) antara pendekatan development planning dan local development. Pertimbangannya adalah: (1) masih rendahnya intensitas kegiatan penyuluhan, (2)
pengrajin masih sangat membutuhkan kontribusi dari pihak luar, (3) pengrajin memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, namun masih banyak aspek yang belum kondusif. Pada dasarnya model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan keberdayaan pengrajin melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkelanjutan oleh seluruh stakeholder pembangunan komunitas pengrajin. Berdasarkan model persamaan SEM yang terlihat pada Gambar 28, maka dirumuskan model pemberdayaan pengrajin menuju kemandirian dan keberlanjutan usaha yang tergambarkan pada Gambar 36. INPUT Pengrajin Lingkungan (Pemda, NGO, Keluarga, Pemimpin informal) Kebijakan Pendukung Usaha
PROSES Penyuluhan yang memberdayakan:
OUTPUT
Fokus pada perubahan perilaku Partisipatif Pengrajin subyek penyuluhan Penyuluh sebagai educator, motivator, fasilitator, dan advokator. Kelembagaan yang tepat Diskusi kelompok, praktek kerja, kunjungan lapangan.
Pengrajin berdaya
Kualitas Perilaku Wirausaha Pengrajin: Inovatif Mampu berinisiatif Mampu mengelola resiko Berdaya saing
Kemandirian Usaha Pengrajin: Permodala n Proses produksi Kerjasama Pemasaran
Monitoring dan evaluasi Gambar 36 Model
Pemberdayaan Pengrajin Gambar 36. Model Pemberdayaan Pengrajin
Input Pengrajin
OUTCOME Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha
Kebutuhan pengrajin perlu diidentifikasi dengan jelas agar tidak terjadi bias dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Diharapkan penyuluhan dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan, untuk memberikan kepuasan diperlukan kesamaan antara kebutuhan pengrajin dengan substansi penyuluhan. Berdasarkan hasil analisis desriptif, keberdayaan pengrajin masih rendah yang ditunjukkan oleh aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam berwirausaha dan dalam kemandirian usaha. Oleh karena itu, identifikasi kebutuhan materi penyuluhan didasarkan pada perlunya peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Data tentang SDM pengrajin ini menjadi input bagi penyelenggaraan program pemberdayaan. Input Lingkungan Tersedianya
penyuluh
yang
kompeten
merupakan
prasarat
terselenggaranya penyuluhan yang mampu memberdayakan pengrajin. Karena belum tersedia penyuluh lapang, maka proses fasilitasi dapat dilakukan oleh penyuluh swakarsa atau swadaya. Penyuluh dikoordinasikan oleh pemerintah daerah (melalui dinas perindustrian dan perdagangan dan dinas koperasi dan UKM) bersama-sama dengan organisasi non pemerintah (badan usaha swasta, perguruan tinggi, LSM, atau orkemas lainnya) dengan melibatkan pengrajin maju, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat yang berpengalaman dalam persoalaan pengrajin. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyuluh adalah komitmen yang kuat untuk membimbing pengrajin melakukan perubahan mencapai keberdayaan hidupnya. Penyuluh hendaknya: (1) memiliki pemahaman tentang masalah yang dihadapi pengrajin, (2) mampu mengembangkan interaksi sosial yang harmonis dengan segenap lapisan masyarakat, (3) memfasilitasi pengrajin agar dapat melaksanakan siklus program secara mandiri dan berkelanjutan, dan (4) mampu menumbuhkan
jejaring
pengembangan pengrajin.
Input Pendukung Usaha
secara
internal
dan
eksternal
untuk
kebutuhan
Ketersediaan pendukung usaha terbukti berpengaruh positif terhadap perkembangan kemandirian usaha. Oleh karena itu dibutuhkan ketersediaan pendukung tersebut yaitu: bahan baku yang berkualitas, kepastian pasar, ketersediaan teknologi peralatan produksi, dan keterjangkauan sarana transportasi. Pemerintah perlu memberi dukungan kebijakan yang kondusif bagi ketersediaan dan keterjangkauan pendukung usaha pengrajin.
Input Kebijakan Dukungan kebijakan diperlukan dalam pengembangan industri kecil, berupa pengalokasian anggaran untuk program pemberdayaan pengrajin dan kebijakan untuk melembagakan kegiatan penyuluhan bagi pengrajin mengingat belum adanya organisasi penyuluhan industri kecil yang otonom di kedua lokasi usaha pengrajin. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang mendukung terciptanya iklim berusaha yang kondusif, tata niaga bahan baku kulit, kebijakan impor produk-produk sejenis yang dihasilkan negara lain, penyediaan infrastruktur yang mampu mendukung perkembangan industri kecil seperti membangun sarana informasi yang merata (akses informasi yang mudah). Sebab dalam rangka otonomi daerah, pemerintah daerah paling berperan dalam pengambilan keputusan pembangunan industri kecil.
Proses Penyuluhan Pemberdaya Pengrajin Pokok-pokok pikiran mengenai proses penyuluhan yang memberdayakan pengrajin merupakan hasil sintesa model intervensi komunitas (Rothman, 1968) dan paradigma baru penyuluhan pembangunan (Slamet, 2003). Paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin dideskripsikan pada Tabel 42. Fokus Penyuluhan Pengembangan industri kecil barang dari kulit didasarkan kepada semangat untuk menumbuhkan ekonomi yang berciri kerakyatan, serta demi untuk menghemat sumberdaya pembangunan yang terbatas. Pengembangan industri kecil ditempuh dengan memilih sektor-sektor atau kelompok industri
pilihan yang diprioritaskan sebagai penghela pertumbuhan industri kecil (fokus pengembangan).
Tabel 42. Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin Pokok Pikiran Fokus Penyuluhan
Pendekatan Peran Pengrajin Peran penyuluh
Aktor yang terlibat
Kelembagaan
Teknik Penyuluhan
Output Outcome
Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Perubahan perilaku pengrajin dan keluarganya agar dapat meningkatkan kesejahteraanya melalui usaha kerajinan. ▪Partisipatif ▪Subyek penyuluhan ▪Sumber informasi dan pengolah informasi ▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. ▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau dengan pemerintah. ▪Motivator, memotivasi pengrajin untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri. ▪Advocator, berperan sebagai konsultan untuk menangani masalah pengrajin. ▪Pemerintah daerah; organisasi non pemerintah (lembaga pendidikan, badan usaha swasta, koperasi, LSM, lembaga penelitian, atau LSM); pemimpin informal; dan keluarga. ▪Lembaga pemberdayaan yang independen adalah lembaga yang memiliki tenaga profesional dalam bidang perilaku dan pemberdayaan yang memiliki akses pada tenaga ahli lintas disiplin ilmu. ▪Pelatihan ▪Diskusi kelompok ▪Simulasi ▪Demonstrasi ▪Praktek kerja ▪Kunjungan lapangan ▪Peningkatan kualitas perilaku wirausaha. ▪Peningkatan kemandirian usaha. ▪Kemajuan dan keberlanjutan usaha pengrajin
Tabel 42Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin
Pemerintah
mengelompokkan
industri
kecil
barang
dari
kulit
dikelompokkan ke dalam kelompok industri kecil berorientasi ekspor dengan kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk memilih sektor-sektor prioritas atau dijadikan fokus pengembangan adalah :
(1) Ketersediaan bahan baku di dalam negeri. (2) Tingkat dan jenis ketrampilan yang diperlukan sudah ada di dalam negeri. (3) Tersedia dan terbukanya pasar. (4) Komoditas/produk mempunyai prospek dipasarkan meskipun pada waktu ini produksinya belum berkembang. (5) Membutuhkan banyak tenaga kerja. (6) Menunjang daerah terbelakang yang akan dikembangkan, khususnya daerah terpencil, daerah perbatasan dan kawasan timur Indonesia. (7) Terkait dengan upaya pelestarian seni-budaya daerah. Industri berorientasi ekspor adalah industri yang telah mempunyai peluang untuk mengisi/memasok kebutuhan pasar dunia di bidang produk yang dihasilkan, baik atas dasar kelangkaan karena kurangnya pemasokan dari negara lain, tingginya permintaan akan jenis produk spesifik dari Indonesia (keunggulan komparatif), maupun terutama karena produknya telah berdayasaing tinggi (unggul kompetitif). Fokus pengembangan industri kecil yang ditetapkan pemerintah belum menyentuh aspek afektif pengrajin sebagai pelaku usahanya padahal aspek ini merupakan inti yang menggerakkan pengrajin untuk bertindak. Kegiatan penyuluhan tidak hanya terfokus pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas pada teknologi dan informasi yang dianjurkan, tetapi pada juga pada teknologi dan informasi yang dibutuhkan petani dan keluarganya. Serta perubahan pada kawasan afektif yang selama ini jarang mendapat sentuhan kegiatan penyuluhan perlu lebih ditekankan (Tjitropranoto, 2003). Berpijak pada pendapat tersebut, maka dalam konteks penyuluhan bagi pengrajin, perlu difokuskan pada kawasan sikap pengrajin untuk berusaha secara mandiri serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengembangkan usaha kerajinannya sesuai dengan kebutuhan riilnya. Agar dapat mewujudkan harapan tersebut, maka proses penyadaran pengrajin akan kebutuhan riilnya menjadi salah satu prioritas kegiatan penyuluhan. Penyuluhan yang memberdayakan pengrajin membutuhkan partisipasi pengrajin dalam kegiatan perencanaan, implementasi, evaluasi. Oleh karena itu
kesadaran pengrajin akan kebutuhan untuk berubah mampu menarik minat pengrajin untuk terlibat dalam kegiatan penyuluhan.
Peran Pengrajin dan Penyuluh Penyuluhan bagi pengrajin merupakan proses perubahan perilaku individu pengrajin dan keluarganya melalui kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia yang memegang prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. Pengrajin dibantu penyuluh untuk: mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan, meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan, menyusun kerangka berpikir berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Pemerintah memposisikan pengelola usaha industri kecil sebagai kelompok yang menjadi target pembinaan dan pengembangan industri kecil barang dari kulit, sebagaimana disebutkan bahwa : “target group pembinaan industri kecil adalah: (1) pengusaha industri kecil menengah yang produk dan proses produksinya sudah mampu memenuhi persyaratan ekspor atau dapat dengan mudah dibina sehingga memenuhi ketentuan dan persyaratan ekspor, dan (2) para pedagang/trader yang menjembatani produsen industri kecil menengah dengan pasar ekspor” (Deperindag, 2002). Seyogyanya pengrajin diposisikan sebagai subyek pengembangan yang sangat diharapkan keterlibatannya dalam proses penyuluhan, karena pengrajin sebagai subyek pembangunan memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman mereka dengan teknologi dan struktur sosial masyarakat mereka. Pengrajin yang dibina seyogyanya tidak dipatok persyaratan tertentu (misalnya: ekspor atau mudah dibina) karena hal tersebut belum tentu menjadi kebutuhan pengrajin. Selain itu, pengrajin akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam program pembangunan jika ikut bertanggung jawab didalamnya. Pada masyarakat yang demokratis, pengrajin berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan
yang ingin mereka capai. Partisipasi masyarakat sebagai kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan (van den Ban, 1999). Peran penyuluh dalam kegiatan pemberdayaan pengrajin adalah sebagai: (1) Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa; (2) Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau dengan
pemerintah,
dan
(3)
Motivator,
memotivasi
pengrajin
untuk
menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri. Pemerintah telah mengupayakan pemberdayaan aktor yang berperan dalam pengembangan industri kecil agar: (1) mempunyai komitmen kuat untuk memajukan industri kecil yang diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian, alokasi sumberdaya/dana, upaya dan waktu yang lebih banyak untuk pengembangan industri kecil, (2) mempunyai wawasan konseptual untuk membuat program pengembangan industri kecil yang berdayaguna dan berhasilguna, dan (3) bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk secara bersama mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil sesuai dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing (Deperindag, 2002). Pemberdayaan aktor ini diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan profesionalitas aktor dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan. Pada penyuluhan yang memberdayakan pengrajin, diperlukan penyuluh profesional yang memiliki keahlian sebagai penyuluh bukan keahlian dalam penguasaan materi penyuluh. Menurut Tjitropranoto (2003) penyuluh yang profesional tidak cukup hanya sebagai penyedia atau penyampai teknologi dan informasi saja tetapi lebih diperlukan sebagai motivator, dinamisator, fasilitator dan sebagai konsultan. Kelembagaan penyuluhan dan Aktor yang Terlibat Sebelum dilaksanakan tahap proses pemberdayaan dibutuhkan pelembagaan kegiatan penyuluhan melalui koordinasi dan komunikasi antar aktor yang terlibat dalam penyelenggaran penyuluhan karena ini selamam ini penyuluhan masih bersifat sporadis.
Pemerintah daerah didorong untuk secara bottom-up mengembangkan program/proyek berdasarkan kajian potensi ekonomi daerah dan prospek pasar masing-masing, dengan mengikuti kebijakan nasional sebagaimana termuat dalam pedoman dan arahan pengembangan industri kecil. Setiap daerah didorong untuk melakukan : (1) Identifikasi sentra industri kecil yang berpotensi untuk ditumbuhkembangkan berdasarkan peluang pasar lokal/regional dan nasional. (2) Identifikasi terhadap peluang intervensi pemerintah, aspek kelemahan, dan hambatan yang mengganggu suksesnya pengembangan industri kecil di daerahnya, misalnya : (a) Investasi pemerintah daerah (maupun kerjasama dengan swasta) untuk pengembangan prasarana dan sarana usaha industri kecil. (b) Bantuan teknik yang diperlukan. (c) Pengaturan yang dapat menciptakan kepastian usaha dan iklim kondusif bagi kegiatan usaha industri kecil, termasuk sistim insentif. (d) Pengembangan sistim layanan fasilitatif dan penataran aparat pembina. (e) Pemberdayaan para pelaku usaha. (3) Identifikasi peluang investasi industri kecil yang memiliki bobot manfaat tinggi bagi pembangunan masyarakat dan memiliki prospek layak usaha. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya pemerintah (pemerintah daerah) saja yang perlu memberikan dukungan bagi pada pemberdayaan pengrajin, akan tetapi organisasi non pemerintah, keluarga dan tokoh masyarakat juga sangat dibutuhkan keterlibatannya. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dalam bentuk fasilitasi program penyuluhan (penjadwalan, penyiapan materi, penyediaan tenaga penyuluh, dan pendanaan) yang disesuaikan dengan kebutuhan riil pengrajin. Keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam penyuluhan untuk pengrajin digambarkan pada Gambar 37.
Badan Usaha
Pemda
LSM
Lembaga Pendidikan Fasilitasi program penyuluhan
Penyuluh Kebutuhan Riil pengrajin
Pengrajin
Gambar 37Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk Pengrajin
Gambar 37. Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk Pengrajin Peran aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan adalah: (1) Pemerintah Daerah yang terdiri dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Koperasi dan UKM sebagai fasilitator (penyuluh) yang selama ini menyelenggarakan kegiatan pembinanaan dan pengembangan usaha kerajinan. (2) Lembaga Pendidikan (Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta) yang berfungsi sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK dan dukungan pendidikan, pelatihan, konsultasi, bimbingan dan penyuluhan. (3) Lembaga
Swadaya
Masyarakat,
sebagai
fasilitator/penyuluh
yang
menyelenggarakan proyek pembinaan dan pendampingan bagi pengrajin. (4) Badan usaha (Perusahaan Swasta, BUMN, dan koperasi) memberikan pembinaan terhadap pengrajin dalam bentuk pendanaan, konsultansi, penguatan jejaring, dan pemagangan. Selama proses pelaksanaan penyuluhan, pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah berkoordinasi dan berkomunikasi agar tidak terjadi overlapping pada materi kegiatan. Pengrajin perlu berkelompok dengan didukung keluarga dan pemimpin informal menyediakan suasana yang kondusif dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Sumber dana pengembangan industri kecil dapat disediakan dari APBN, APBD, hasil penyisihan laba BUMN untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi
(PUKK), dana untuk pelatihan tenaga kerja hasil kontribusi dari tenaga ekspatriat (DPKK), dana dari hasil kerjasama gabungan antara pemerintah dengan swasta (misalnya program Riset Unggulan Kemitraan/RUK untuk inovasi teknologi, khususnya yang berkaitan dengan upaya memajukan industri kecil), serta dana dari hibah maupun pinjaman dari luar negeri untuk pengembangan industri kecil. Sumber dana alternatif yang perlu ditingkatkan penggunaannya adalah dari badan usaha sebagai bentuk dari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat, khususnya pengrajin, yang dalam penelitian ini ditemukan terdapat beberapa instansi badan usaha swasta yang telah mengalokasikan dananya untuk pengembangan industri kecil. Teknik dan Materi Penyuluhan Menurut Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan yang dibutuhkan klien harus didasarkan pada kesempatan, kemauan dan kemampuan klien untuk menerapkan dan atau memanfaatkannya. Berdasarkan hasil temuan di lapangan yang menunjukkan rendahnya perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin, serta kecilnya kesempatan pengrajin untuk memperoleh pendidika n non formal yang terkait dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam berwirausaha secara mandiri, maka dirumuskan materi penyuluhan untuk memberdayakan pengrajin. Tujuan penyuluhan adalah menyadarkan pengrajin akan kebutuhan mengelola usaha secara mandiri agar kesejahteraannya meningkat oleh karena intervensi yang dilakukan melalui kegiatan penyuluhan akan memberikan kesempatan pengrajin untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan penyuluhan kewirausahaan lebih menekankan pada upaya perubahan perilaku yang meliputi: pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan keinovatifan, inisiatif, daya saing, dan pengelolaan resiko. Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan kewirausahaan secara ringkas tersaji pada Tabel 43
Tabel 43. Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan Perilaku
Ranah
Materi Pokok Materi Penyuluhan
Teknik Penyuluhan
Wirausaha Keinovatifan
Pengetahuan
Sumber informasi inovatif Penciptaan inovasi Penerapan inovasi Sikap Ketertarikan terhadap sumber informasi inovatif Ketertarikan untuk menciptakan inovasi Ketertarikan menerapkan inovasi Ketrampilan Kecepatan mencari sumber informasi inovatif Kecepatan menghasilkan inovasi Kecermatan menerapkan inovasi Inisiatif Pengetahuan Peluang usaha Cara mengidentifikasi peluang usaha Cara menjalankan peluang usaha Sikap Ketertarikan terhadap peluang usaha Ketertarikan melakukan identifikasi peluang usaha Sikap dalam menjalankan peluang usaha Ketrampilan Kecermatan menemukan peluang usaha Ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha Ketepatan menjalankan peluang usaha. Pengelolaan Pengetahuan Cara memprediksi resiko Resiko Cara menghindari resiko Cara menjalankan usaha yang beresiko Sikap Sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko Sikap menghindari resiko Sikap terhadap usaha yang beresiko Ketrampilan Ketepatan memprediksi terjadinya resiko Kecermatan menjalankan usaha yang berisiko Kecepatan menghindari risiko Daya Saing Pengetahuan Strategi bersaing Keunggulan bersaing Etika persaingan Sikap Sikap untuk menghadapi persaingan Sikap terhadap etika persaingan usaha Ketertarikan terhadap penerapan strategi usaha Ketrampilan Kemampuan menghasilkan keunggulan bersaing Kecepatan merumuskan strategi bersaing Ketepatan memenangkan persaingan Tabel 43Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan
Pendidikan/pelatihan Magang Riset dan pengembangan
Pendidikan/pelatihan Magang Bimbingan usaha
Magang Pendidikan/pelatihan Bimbingan usaha
Magang Pendidikan/pelatihan Bimbingan usaha
Kegiatan penyuluhan tentang kemandirian usaha bertujuan meningkatkan kemandirian pengrajin melalui berubahnya perilaku meliputi: pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan proses produksi, pemasaran, permodalan, kerjasama dan pengelolaan usaha dengan tujuan untuk meningkatan pendapatan dan kesejahteraan pengrajin dan akhirnya dapat memperbaiki kualitas
kehidupan pengrajin. Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan tentang kemandirian usaha secara ringkas tersaji pada Tabel 44. Tabel 44. Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha Materi Pokok Materi penyuluhan
Teknik Penyuluhan
Sumber permodalan Cara mengakses sumber permodalan Pengelolaan modal Sikap Tanggapan terhadap sumber permodalan alternatif Ketertarikan mengakses sumber permodalan alternatif Hemat dalam pengelolaan modal. Ketrampilan Kecepatan mencari modal Ketepatan mengakses sumber permodalan Kecermatan mengelola modal. (6) Proses Pengetahuan Tahapan proses produksi Produksi Cara kerja peralatan produksi Persyaratan mutu produksi Sikap Ketertarikan atas setiap tahapan produksi Ketertarikan atas cara kerja peralatan produksi Ketertarikan terhadap pentingnya mutu produksi Ketrampilan Ketepatan menjalankan tahapan produksi Kecermatan menggunakan peralatan produksi Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi (7) Kerjasama Pengetahuan Bentuk kerjasama Perjanjian kerjasama Cara melakukan kerjasama Sikap Sikap mengutamakan kerjasama kemitraan (partnership) Sikap percaya diri dalam bekerjasama Sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi kerjasama Ketrampilan Kecermatan memilih bentuk kerjasama Ketelitian menyusun perjanjian kerjasama Kecermatan bekerjasama dengan pihak lain (8) Pemasaran Pengetahuan Bauran promosi Teknik menjual Mutu pelayanan Sikap Ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosi Tanggapan terhadap perkembangan teknik menjual Sikap mengutamakan kualitas pelayanan Ketrampilan Kecermatan mempromosikan produk Kecepatan menjual produk Keluwesan melayani pelanggan Tabel 44Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha
Pendidikan/ pelatihan Bimbingan permodalan
Kemandirian Usaha (5) Permodalan
Ranah Pengetahuan
Magang Pendidikan/ pelatihan Riset dan pengembangan Bimbingan produksi
Magang Pendidikan/ pelatihan Bimbingan kerjasama
Magang Pendidikan/ pelatihan Bimbingan pemasaran
Dalam program penyuluhan bagi pengrajin, warga belajarnya adalah orang yang dewasa, mereka mempraktekkan langsung hal yang ingin dikembangkan pada dirinya, terutama kemampuan untuk mengelola usaha serta dalam mengubah
sikap sendiri. Memperhatikan kondisi tersebut, maka teknik penyelenggaraan penyuluhan menekankan pada cara berfikir reflektif dengan konsep aksi dan refleksi. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk: (1) pendidikan/pelatihan yang menggunakan teknik diskusi kelompok, simulasi, atau demonstrasi, (2) pemagangan pada badan usaha yang lebih besar atau pengrajin maju untuk memberi pengalaman langsung tentang materi tertentu, (3) bimbingan usaha oleh penyuluh/fasilitator secara berkelanjutan dalam membantu pemecahan masalah pengrajin. Proses belajar dapat dilakukan dimana saja, sehingga proses belajar tidak hanya harus berlangsung di dalam kelas. Setiap materi yang diberikan dalam proses belajar merupakan alternatif pemecahan masalah. Warga belajar akan mengenal proses pemecahan masalah melalui keikutsertaannya secara langsung dan mereka mampu menghubungkan pemecahan masalah yang dipelajari. Kegiatan penyuluhan yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa perlu memegang teguh tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2) Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan keadaan individu klien. Upaya-upaya
yang
telah
dilakukan
pemerintah
pusat
dalam
mengembangkan industri kecil pada kelompok industri kecil barang dari kulit adalah: (1). Pemberian Bantuan Teknik, Bantuan Modal dan Prasarana /Sarana Penunjang Dalam rangka peningkatan kemampuan, pemberian dukungan kelancaran usaha, akses pasar, penyediaan prasarana dan sarana usaha, dukungan permodalan, pengenalan teknologi dan alat produksi, dan sebagainya., intervensi pemerintah untuk memajukan Industri Kecil (selain melalui pemberdayaan SDM) dapat berupa pemberian bantuan antara lain : (a) pengembangan feeder points untuk penyediaan bahan baku/ bahan penolong, (b) bantuan hibah barang modal (mesin dan peralatan), (c) bantuan promosi melalui penyelenggaraan pameran, (d)
bantuan sarana usaha lingkungan industri kecil, dan (e) bantuan alokasi dana untuk modal usaha kecil (modal ventura, dana bergulir, penyisihan laba BUMN, kredit industri kecil, kredit modal kerja permanen.). (2). Pemberdayaan SDM (Pendidikan dan Pelatihan) Kegiatan pemberdayaan kemampuan SDM melalui Pendidikan dan Pelatihan yang pernah dilakukan adalah : (a) kursus/pelatihan manajemen sederhana, (b) pelatihan teknologi produksi untuk berbagai jenis usaha industri kecil, (c) pelatihan manajemen dan teknik pemasaran, dan (d) pelatihan desain produk. (3). Kelembagaan Pengembangan kelembagaan yang telah dilakukan untuk memajukan industri kecil, antara lain: (a) pembangunan sentra-sentra industri kecil dan (b) pengembangan pusat promosi khusus. Output Pemerintah menetapkan output yang dihasilkan oleh pengembangan industri kecil kelompok barang dari kulit yaitu: (1) Bertambahnya jumlah perusahaan yang mampu membuat produk yang memenuhi permintaan ekspor (memenuhi persyaratan QCD) (2) Meningkatnya produktivitas dan effisiensi industri kecil binaan sehingga mampu memenuhi persyaratan permitaan ekspor. (3) Berkurangnya jumlah dan nilai impor dari produk orientasi ekspor dipasaran. (4) Meningkatnya minat, volume dan nilai ekspor para eksportir produk IKM. (5) Penghematan devisa. Kelima output tersebut belum mampu menunjukkan keberdayaan dan keberlanjutan usaha pengrajin karena lebih banyak pada output produktivitas dan ekspor. Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan kegiatan program pemberdayaan pengrajin adalah perubahan perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usahanya. Oleh karena itu, disamping aspek produktivitas dan orientasi ekspor, seyogyanya program pengembangan industri kecil mampu menghasilkan pengrajin dengan perilaku wirausaha yang berkualitas tinggi adalah memiliki ciri: (1) ulet mencari informasi baru, (2) melakukan modifikasi untuk meningkatkan kinerja usaha, (3) mampu menghasilkan inovasi penunjang
perkembangan usaha, (4)
mengupayakan untuk memulai memproduksi jenis
produk baru, (5) mengupayakan untuk melayani pangsa pasar baru, (6) sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha, (7) memprediksi terjadinya resiko pada setiap akan dimulainya usaha, (8) selalu percaya diri dalam menghadapi resiko, (9) mengupayakan meningkatkan kemungkinan sukses dan mengurangi kemungkinan gagal, (10) mengupayakan pembuatan produk yang bermutu sesuai selera konsumen dan permintaan pasar, (11) berusaha meraih penjualan tertinggi dibanding pengrajin lainnya, dan (12) mengamati setiap perubahan lingkungan persaingan dan menyiapkan strategi bersaing yang tepat/sehat. Pengrajin yang mandiri usahanya adalah memiliki ciri: (1) mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan konsumen, (2) terampil, cekatan dan teliti dalam berproduksi mampu menghasilkan produk sesuai memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen, (3) melakukan upaya modifikasi peralatan efisien dan sesuai dengan tuntutan produk, (4) mampu mengembangkan teknik produksi yang paling efisien dan sesuai dengan tuntutan produk, (5) menghasilkan produk yang dibutuhkan konsumen (orientasi pasar), (6) melayani pembeli dengan pelayanan prima, (7)mempromosikan produk untuk meraih loyalitas pelanggan, (8) mengutamakan kepuasan konsumen mampu mencari sumber permodalan alternatif, (9) mampu meraih modal sesuai kebutuhan usaha, (10) mampu mengelola modal dan berkeinginan tinggi mengakumulasikan keuntungan ke dalam investasi modal, (11) percaya diri dalam bekerjasama dalam lingkup yang lebih luas, (12) mampu bekerjasama dengan pelanggan, distributor, supplier dan pemodal demi kemajuan bersama, (13) mampu bersinergi dengan menghindari subordinasi dan deprivasi dalam kerjasama, dan (14) memiliki orientasi kerjasama untuk jangka panjang dan kemitraan. Penilaian keberhasilan pemberdayaan sebaiknya dilakukan pengrajin karena mereka yang paling merasakan adanya perubahan perilaku tersebut. Apabila pengrajin menilai program belum memberikan hasil yang memuaskan, maka pengrajin dapat memberikan umpan balik untuk penyempurnaan pemberdayaan pada masa mendatang. Outcome
Hasil jangka panjang dari peningkatan pemberdayaan pengrajin adalah tercapainya kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha. Usaha yang maju ditandai dengan: (1) volume produksi meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumen, (2) mengalami peningkatan (improvement) volume penjualan dan perluasan daerah pemasaran, (3) terdapat variasi jenis produk yang dihasilkan, (4) terdapat peningkatan jumlah modal, (5) selalu mengupayakan penggunaan waktu secara lebih produktif, (6) mengupayakan penggunaan sumber daya manusia lebih berkualitas secara optimal, (7) berusaha meningkatkan nilai tambah dan meraih peluang, (8) melakukan kegiatan penganggaran pada setiap kegiatan usaha sebagai acuan pengeluaran biaya, (9) menyusun perencanaan berbasis pada evaluasi, (10) memiliki struktur yang mengikuti fungsi pencapaian tugas, (11)mempunyai target dan pencapaian target pada setiap periode tertentu, dan (12)mengevaluasi pencapaian target berdasarkan periode tertentu. Usaha yang berkelanjutan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu menghasilkan produksi barang secara terus menerus, (2) melakukan perencanaan produksi dengan didasarkan prediksi jumlah kebutuhan konsumen, (3) selalu mengupayakan dihasilkannya produk bermutu sesuai kebutuhan konsumen, (4)senantiasa mengupayakan terpenuhinya target penjualan trend penjualan meningkat, (5) selalu melakukan tindakan proaktif untuk melayani konsumen, (6)secara sadar mengalokasikan dana untuk promosi, (7) melakukan perencanaan kebutuhan bahan baku yang tepat dan secara periodik, dan (8) selalu mengupayakan pengendalian bahan baku secara cermat selalu mengupayakan terpenuhinya kebutuhan bahan baku yang bermutu. Monitoring dan Evaluasi Tujuan dari monitoring dan evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik berupa koreksi atau pelurusan apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan
dan
berupa
rekomendasi-rekomendasi
bagi
perbaikan
dan
penyempurnaan proses perencanaan selanjutnya. Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara formal oleh penyuluh berdasarkan tolak ukur perilaku wirausaha dan kemandirian usaha yang telah disusun bersama-sama dengan pengrajin pada tahap perencanaan. Ukuran
keberhasilan program yang dilakukan oleh penyuluh tersebut tidak akan memberikan dampak yang lebih baik bagi penyempurnaan kegiataan tanpa didukung evaluasi yang dilakukan oleh pengrajin, mengingat pengrajin sebagai subyek pemberdayaan yang lebih merasakan terjadinya perubahan pada perilakunya.
Program Aksi Pengembangan Industri Kecil
Model pemberdayaan pengrajin yang dirumuskan di atas, juga masih relevan untuk memperoleh dukungan dari beberapa program aksi pengembangan industri kecil dan menengah yang telah dirumuskan pemerintah melalui jalur pengembangan sektoral yaitu pengembangan kelompok-kelompok industri. Pemerintah telah merumuskan beberapa program pendukung yang secara umum diperlukan untuk memfasilitasi pengembangan dan merangsang pertumbuhan kelompok-kelompok industri kecil. Namun program tersebut belum sepenuhnya diterapkan pada kelompok industri kecil barang dari kulit. Perlu dilakukan evaluasi terhadap efektifitas dan pemerataan program-program tersebu pada kelompok industrik ecil yang ada pada masing-masing daerah. Adapun jenis-jenis program pendukung yang masih relevan dengan model pemberdayaan pengrajin adalah program yang bersifat pengembangan kelembagaan, program penunjang iklim usaha, dan fasilitasi bagi kemajuand an keberlanjutan usaha pengrajin.
Pengembangan Business Development Services (BDS) BDS atau Layanan Pengembangan Usaha didefinisikan oleh Committee of Donor Agencies for Small Enterprise Development sebagai jasa layanan nonfinansial yang mencakup beraneka upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan pembangunan daya tumbuhnya ke depan (khususnya industri kecil), seperti penguatan sumberdaya produktifnya, akses dan pengembangan pasarnya, maupun peningkatan kemampuan bersaing lainnya. Keaneka-ragaman layanan BDS meliputi berbagai bentuk seperti : konsultansi manajemen (teknis, produksi, riset pasar, pemasaran, keuangan, pengembangan usaha), pelatihan, pengembangan desain, jasa informasi, dan
sebagainya. dengan bentuk lembaga pelayanan antara lain melalui pembangunan Unit Pelayanan Teknis (UPT), pembentukan kelompok Tenaga Fungsional Penyuluh Perindustrian (TFPP), Klinik Layanan Kemasan dan Merk, Unit Pelayanan Informasi, Unit Pengembangan Desain Produk, maupun dorongan pembentukan usaha jasa di bidang BDS oleh swasta yang beroperasi secara profesional dan komersial, khususnya bagi segmen industri menengah atas (maupun besar). Keberadaan BDS bagi industri kecil binaan akan banyak membantu penyehatan dan pengembangan usahanya, dalam batas-batas beban biaya yang ringan atau tidak terlalu berat. Jenis-jenis layanan yang diberikan melalui BDS disesuaikan dengan kebutuhan industri kecil di tiap daerah, tergantung pada jenis industrinya maupun kondisi kehidupan industri di lokasi masing-masing. Pembiayaan operasi pelayanan BDS untuk industri kecil utamanya dipikul oleh pemerintah, baik dari APBN, APBD, maupun yang berasal dari dana bantuan luar negeri, kecuali bagi usaha industri menengah atas yang sudah mampu tumbuh sehat secara mandiri dibenarkan untuk memungut fee oleh lembaga swadana pemberi layanan milik pemerintah maupun oleh konsultan swasta.
Klinik Layanan Kemasan dan Merek Klinik
ini berfungsi
membantu
pengusaha industri
kecil
untuk
memperbaiki dan mengembangkan sistim pengemasan produk yang dihasilkan, serta memecahkan masalah kemasan yang dihadapinya. Klinik ini juga membantu pengusaha industri kecil dalam pengembangan merek produk yang dihasilkan, dengan adanya klinik ini diharapkan para pengusaha industri kecil akan lebih terbantu dan teringankan upaya dan bebannya untuk melakukan promosi penjualan produknya dengan penuh percaya-diri karena lebih memperoleh citra positif dari segi mutu dan kesan elitis di mata konsumen. Lingkup Industri yang dilayani klinik ini adalah: industri-industri pangan, sandang dan kerajinan tertentu. Lokasi/Daerah diadakannya Klinik ini disesuaikan dengan populasi industri sasaran layanan yang tergolong prioritas.
Pengembangan Trading House
Trading House merupakan kegiatan usaha bersemangat kemitraan yang berfungsi membantu memasarkan berbagai produk-produk industri kecil secara bulk khususnya untuk ekspor, berhubung kemampuan mengekspor para produsen industri kecil secara individual terbatas, atau kalau dilakukan sendiri kurang efisien (upaya ekspor kurang sepadan dengan hasilnya). Trading house diharapkan dapat membantu melakukan modifikasi penampilan produk (misalnya melalui pengemasan dan pemberian merk) agar dapat lebih memenuhi selera pasar di negara tujuan ekspor. Trading house juga berfungsi untuk melakukan survey pasar dan mempelajari fenomena pasar dalam rangka menghimpun permintaan pasar dunia, termasuk menghimpun pesanan barang beserta spesifikasi teknis dan mutunya, untuk dipesankan pembuatannya kepada para produsen industri kecil dalam negeri. Trading house juga dapat menyelenggarakan promosi dagang, dengan adanya trading house maka pemasaran ekspor produk industri kecil akan sangat terbantu kelancaran dan peningkatannya. Lingkup komoditi yang ditangani ekspornya lebih diutamakan bagi produk-produk industri kecil.
Layanan Informasi Layanan Informasi baik informasi bisnis maupun informasi mengenai kebijakan
dan
ketentuan
administratif
dimaksudkan
untuk
memberikan
kemudahan dan keringanan bagi pengusaha industri kecil yang pada umumnya kurang berkemampuan dalam mendapatkan informasi yang sangat mereka perlukan untuk menunjang usahanya. Tersedianya informasi yang dapat diperoleh secara mudah dan murah akan sangat membantu para pengusaha untuk mengambil keputusan dan langkah bisnisnya secara cepat dan tepat. Hal ini akan membantu pengusaha industri kecil dalam memanfaatkan peluang pasar, peluang usaha,
peluang
akses
permodalan,
peluang
kemitraan
usaha,
peluang
memanfaatkan fasilitas, dan sebagainya. Jenis informasi yang ditawarkan dalam layanan terutama diutamakan yang berkaitan dengan kebutuhan kalangan industri kecil, khususnya industri kecil yang tergolong prioritas untuk dikembangkan. Adapun fungsi dan kegunaannya adalah:
memasyarakatkan penggunaan perangkat penunjang (yaitu teknologi informasi) untuk memodernisasi sistim pengelolaan usaha bagi industri kecil. membantu pengusaha industri kecil untuk mendinamisasi langkah-langkah bisnis yang perlu diambil oleh para pengusaha agar dapat mengambil keputusan cepat, memudahkan pengelolaan dan pengendalian bisnisnya secara lebih cepat, tepat dan akurat, sehingga tidak akan ketinggalan dalam persaingan usaha. Adapun lingkup teknologi informasi yang perlu dimasyarakatkan di kalangan industri kecil terutama adalah yang berkaitan dengan kegiatan spesifik bidang usahanya, misalnya sistim administrasi pengadaan barang, keuangan, pemasaran dan informasi pasar.
Pengembangan Desain Produk Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran para pengusaha industri kecil akan peran pentingnya desain produk untuk merebut pasar. Dengan tumbuhnya kesadaran dan tertariknya para pengusaha untuk berpeduli kepada aspek desain produk, diharapkan akan dapat menambah kemampuan bersaing dan agresivitas para pengusaha industri kecil dalam merebut pasar.
Pemberian SME’s Award Pemberian
penghargaan
kepada
pihak
yang
telah
berjasa
ikut
mengembangkan industri kecil dimaksudkan sebagai salah satu sistim perangsang pelengkap yang ditujukan untuk mendorong semua pihak berpeduli kepada upaya memajukan industri kecil. Sistim pemberian award ini memperoleh dukungan dari pemegang otoritas tertinggi (Kepala Negara). Hal ini diharapkan akan dapat menimbulkan citra dan reputasi baik bagi mereka yang telah berjasa mengembangkan industri kecil, selain itu juga dapat berpengaruh terhadap simpati dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan profesi/usaha maupun gerakan moral pembangunan dari yang bersangkutan.
Sistim perangsang pemberian award ini diharapkan akan bisa ikut mendorong semakin banyaknya peminat dan pemerduli untuk menjadi penggerak pengembangan industri kecil. Lingkup Penerima Penghargaan adalah: Para pengusaha industri kecil yang telah berhasil mengembangkan industri kecil dengan sukses dan berkembang, dengan bobot nilai prestasi yang besar. Anggota masyarakat lainnya yang dinilai telah berjasa ikut memajukan industri kecil.
Pemasyarakatan HaKI Pemasyarakatan HaKI di kalangan pengusaha industri kecil dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh para pengusaha industri yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing industri. Oleh karena itu karya temuan orang lain yang didaftarkan untuk dilindungi harus dihormati dan dihargai. Di samping itu kesadaran dan wawasan mengenai HaKI diharapkan akan dapat menimbulkan motivasi dan dorongan agar pengusaha industri kecil terdorong untuk berkreasi dan berinovasi di bidang produk dan teknologi produksi, serta manajemen. Lingkup pemasyarakatan dilakukan terhadap: Pemasyarakatan HaKI kepada para pengusaha. Bimbingan penerapan HaKI pada level unit usaha. Pengembangan Klinik HaKI di daerah. Pengembangan kerjasama antara Klinik HaKI Pusat dan Daerah.
Pengembangan Prasarana dan Sarana Fisik Prasarana dan Sarana Fisik bagi industri kecil antara lain meliputi : Kawasan Industri Kecil dan Menengah dengan sewa murah, showroom bagi produk industri kecil menengah dan kerajinan, pergudangan dan pengangkutan, unit pengo lahan limbah, situs informasi (website) dan fasilitas penunjang lainnya. Kebutuhan akan prasarana dan sarana penunjang ini dipertimbangkan menurut
tingkat kebutuhan, efisiensi dan kelaikannya untuk diadakan/dibangun bagi kepentingan industri kecil secara bersama di suatu daerah/atau skala nasional Prasarana dan sarana fisik ini diadakan untuk memfasilitasi kegiatan usaha industri kecil di suatu daerah/nasional secara lebih efisien, cepat dan efektif, termasuk promosi pemasarannya, dengan efisiensi dan kelancaran operasi yang diraih akan menimbulkan dampak peningkatan daya saing industri kecil (di tingkat daerah, nasional maupun global) yang pada gilirannya akan memperluas pasar dan kapasitas produksi. Industri kecil yang dibantu dengan fasilitas prasarana/sarana penunjang hanya segmen industri kecil yang kondisinya di daerah yang bersangkutan dinilai mendesak dan mutlak tingkat kebutuhannya akan dukungan fasilitas tersebut untuk bisa tumbuh berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Pemasyarakatan Sistim Gugus Kendali Mutu (GKM) GKM adalah suatu sistim dalam manajemen usaha yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan mutu produksi, dalam rangka meningkatkan daya-saing produk yang dihasilkan. Sistim ini dilaksanakan melalui pemasyarakatan cara pandang, cara analisa dan diagnosa dan solusi sesuatu masalah (inefisiensi, produktivitas rendah dan rendahnya mutu pekerjaan/produk) di lingkungan kerja seluruh jajaran SDM perusahaan, sehingga dapat membentuk kebiasaan (habit) yang diterapkan dalam etos kerja dan budaya produksi kompetitif. Penerapan/pentradisian GKM di lingkungan perusahaan industri kecil akan ikut mempercepat sosialisasi budaya produksi kompetitif melalui praktek nyata dalam kehidupan perusahaan sehari-hari, sehingga hasilnya akan jauh lebih efektif daripada sistim ceramah teori yang sering terkendala oleh daya-serap peserta dari kalangan industri kecil. Apabila pemasyarakatan GKM dapat diterapkan semakin meluas di kalangan industri kecil, hal ini akan berdampak positif bagi kemajuan dan pertumbuhan industri kecil terutama oleh faktor pendorong knowledge-based. Mengingat luasnya sasaran/populasi obyek binaan, maka penerapan gerakan GKM di kalangan industri kecil perlu menempuh prioritas dengan
mendahulukan industri kecil yang tingkat tantangan kompetisi pasarnya cukup tajam. Meskipun demikian, pemasyarakatan GKM tidak boleh diskriminatif bagi jenis-jenis industri yang sudah waktunya memerlukan, dan penerapannya dilakukan simultan di semua daerah. Keterbatasan kapasitas pemasyarakatan GKM mendorong perlunya ditempuh program TOT (Training of Trainers).
Pengembangan Bakat Ketrampilan Tradisional Karya seni tradisional berpangkal dari bakat seni tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Potensi adanya bakat ketrampilan karya seni tradisional ini apabila tidak didayagunakan melalui kegiatan produksi barang seni yang laku dijual dengan menimbulkan nilai-tambah yang dapat menghidupi, lama kelamaan akan bisa punah (generasi muda tidak tertarik untuk menggeluti) karena tidak bisa bersaing dengan lapangan kerja yang lain. Dilain pihak apabila kekayaan budaya ini dapat dilestarikan dengan improvisasi seni, sentuhan teknologi dan manajemen yang tepat, maka potensi sumberdaya berupa bakat ketrampilan seni tradisional daerah tersebut akan dapat dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi yang menghidupi masyarakat secara berkelanjutan, yang karenanya justru dapat melestarikan peninggalan budaya tersebut. Pengembangan bakat ketrampilan seni tradisional berguna untuk menumbuhkannya menjadi kegiatan produktif yang menghasilkan nilai-tambah. Dengan demikian akan dapat melestarikan bahkan mengembangkan/ memajukan seni tradisional daerah. Bakat ketrampilan yang dikembangkan tergantung jenis bakat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi yang
menghasilkan
nilai-tambah
(terutama
yang
dapat
prospek
untuk
menghasilkan produk ketrampilan unggulan daerah) yang terdapat di daerah masing-masing.
Peningkatan Peran Wanita di bidang IDKM Peningkatan peran partisipasi wanita dalam kegiatan usaha lebih tepat dimaksudkan sebagai upaya untuk mensosialisasikan wawasan industri atau wawasan produktif secara lebih cepat meluas ke kalangan masyarakat dengan mendayagunakan wanita sebagai media sosialisasi/penyebaran. Pendayagunaan
wanita sebagai media sosialisasi wawasan industri dan wawasan produktif ini berarti juga untuk mendayagunakannya sebagai media modernisasi bagi masyarakat. Tingkat peran wanita dalam kegiatan industri tersebar dari tataran sebagai tenaga pekerja biasa, tenaga pekerja trampil, sampai dengan tingkat manajemen maupun sebagai wirausaha. Secara bersamaan, metoda tersebut sekaligus akan menimbulkan dampak manfaat dan kegunaan dari berbagai aspek, antara lain : (a) Secara psikologis kaum wanita akan mempunyai kepercayaan diri yang meningkat
karena
semakin
banyak
yang
terlibat
dalam
kegiatan
produktif/industri, sehingga posisi mereka yang pada umumnya terkesan termarjinalkan akan semakin bergeser menjadi tenaga produktif dalam ekonomi nasional. (b) Secara ekonomis, dengan semakin meningkatnya partisipasi kaum wanita dalam kegiatan produktif, maka secara agregat potensi tenaga produktif secara nasional akan meningkat secara nyata. (c) Memperkecil risiko negatif yang dapat diakibatkan oleh kerawanan pengangguran di kalangan angkatan kerja wanita. (d) Membantu peningkatan pemerataan kesejahteraan ekonomis di kalangan masyarakat. (e) Karakter kerja dan talenta kaum wanita banyak yang cocok dan menunjang upaya pemenuhan tuntutan mutu produk industri kecil (industri kerajinan, produk seni, dan produk yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan pengerjaan/workmanship).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
(1) Gambaran tentang komponen dalam penelitian keberdayaan pengrajin adalah: -
Kualitas perilaku wirausaha (tingkat keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing) adalah rendah.
-
Tingkat kemandirian usaha (kemandirian permodalan, kemandirian produksi, kemandirian kerjasama, dan kemandirian pemasaran) adalah rendah.
-
Kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efektivitas usaha, dan efisiensi usaha) adalah rendah.
-
Keberlanjutan usaha (kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku) adalah sedang.
(2) Faktor karakteristik individu dan lingkungan berpengaruh positif yang nyata terhadap perilaku wirausaha, semakin meningkatnya karakteristik individu dan intervensi lingkungan akan mendorong pengrajin berperilaku wirausaha yang berkualitas. Beberapa aspek karakteristik individu yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha adalah pendidikan, motivasi berusaha, dan aspek gender melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan. Intervensi lingkungan yang menentukan peningkatan kualitas perilaku wirausaha adalah bimbingan pemerintah daerah, bimbingan organisasi non pemerintah, keluarga, dan pemimpin informal. (3) Faktor karakteristik individu, pendukung usaha, dukungan lingkungan, dan perilaku wirausaha berpengaruh positif yang nyata terhadap tingkat kemandirian usaha. Faktor karakteristik individu dan perilaku wirausaha merupakan faktor yang paling menentukan tingkat kemandirian usaha. Aspek perilaku wirausaha yang penting adalah: keinovatifan dan inisiatif, aspek karakteristik individu yang penting adalah pendidikan, motivasi, dan aspek gender. Faktor pribadi pengrajin dan perilaku wirausaha secara positif dapat meningkatkan kemandirian usaha, dalam hal ini aspek perilaku wirausaha yang penting adalah: keinovatifan, inisiatif, kemampuan mengelola resiko dan daya saing yang dimiliki. Materi penyuluhan yang terkait dengan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan telah dirumuskan untuk meningkatkan kemandirian usaha yang disampaikan melalui teknik penyuluhan yang berpedoman pada prinsip pendidikan orang dewasa.
(4) Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif yang nyata oleh perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha. Perilaku wirausaha merupakan faktor yang paling menentukan kemajuan usaha. Secara tidak langsung karakteristik individu, pendukung usaha, dan lingkungan berpengaruh secara positif terhadap kemajuan usaha, karakteristik individu memiliki pengaruh tidak langsung yang paling besar terhadap kemajuan usaha melalui perilaku wirausaha. Pengrajin yang maju akan dapat meningkatkan keberlanjutan usahanya di masa depan. (5) Faktor kemajuan secara positif dan nyata berpengaruh langsung terhadap keberlanjutan usaha. Secara tidak langsung karakteristik individu, pendukung usaha, lingkungan, perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha berpengaruh positif terhadap keberlanjutan usaha. Perilaku wirausaha memiliki pengaruh tidak langsung terbesar terhadap keberlanjutan usaha. (6) Model pemberdayaan yang efektif memberdayakan pengrajin dengan meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha adalah yang telah terlembagakan dalam organisasi yang didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan, perusahaan, perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi). Kegiatan pemberdayaan membutuhkan input data kebutuhan pengrajin, penyuluh yang kompeten dan pengrajin yang telah dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya.
Saran (1) Perilaku wirausaha memiliki nilai strategis untuk meningkatkan kemandirian, kemajuan dan keberlanjutan usaha, oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah penyuluhan yang berorientasi pada peningkatan perilaku wirausaha terutama aspek keinovatifan dan insiatif yang disertai pengembangan dukungan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah. (2) Mengingat kemandirian usaha sangat menentukan kemajuan usaha, maka penyuluhan seyogyanya dimaksudkan untuk memandirikan pengrajin dari aspek permodalan, pemasaran, dan produksi. Masih rendahnya kemandirian dan kemajuan usaha pengrajin, maka yang diperlukan adalah pemerintah
memfasilitasi pengrajin agar lebih mandiri dalam mengakses sumber permodalan, pasar, dan bahan baku (pengrajin tidak tersubordinasi aktor penyedia sumber daya tersebut). (3) Pemerintah daerah dan seluruh aktor penunjang kegiatan pemberdayaan (yang terdiri dari LSM, badan usaha, dan lembaga pendidikan) perlu melakukan koordinasi untuk menyusun kelembagaan penyuluhan bagi pengrajin, dan menyusun program aksi peningkatan perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin. (4) Diperlukan penyuluhan yang berkelanjutan dan terkoordinir dalam suatu sistem
penyuluhan
industri
kecil,
sehingga
akan
dapat
memantau
perkembangan keberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan usahanya. (5) Paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin yang dihasilkan dalam penelitian ini menghasilkan beberapa pokok pikiran tentang: fokus, pendekatan, kelembagaan, dan teknik penyuluhan yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model penyuluhan yang memberdayakan pengrajin. Faktor iklim usaha merupakan salah satu faktor di luar model yang diduga berpengaruh terhadap keberdayaan pengrajin yang perlu dikaji dalam penelitian selanjutnya. (6) Aspek sumber daya manusia merupakan faktor penting bagi pembangunan industri kecil oleh karena itu aspek SDM (potensi individu) perlu ditonjolkan dalam perumusan misi pembangunan industri kecil.
DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. APO Agriculture Report. 2000. Promotion Of Rural-Based Small Industries in Asia and The Pacific. Tokyo: Asian Productivity Organization.
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh dalam Usaha memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: IPB. Azwar, S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty.
Yogyakarta:
Badri, M., D. Davis, dan D Davis. 2000. Operations Strategy, Environmental Uncertainty and Performance: A Path Analytic Model of Industries in Developing Countries. The International Journal of Management Science. New York: Elsevier Science Inc. Bird, M.J. 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore: Irwin Mc Graw Hill. BPS. 1995. Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga Indonesia. Jakarta. BPS. 2004, Survei Usaha Terintegrasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga, Jakarta: Biro Pusat Statistik. Covey, S.R. 1999. The Seven Habits of Highly Effective People. Edisi revisi. Dialihbahasakan oleh Lyndo Saputra. Jakarta: Binarupa Aksara. Cohen, B. dan M.I. Winn. 2003. Market Imperfections, Opportunity and Sustainable Entrepreneurship. Journal of Business Venturing. New York: Elsevier Science Inc Deperindag. 2002a. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil, Buku I, Deperindag: Jakarta. Deperindag. 2002b. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil, Buku II, Deperindag: Jakarta Dharmawan, A.H. 2000. Poverty, Powerlessness, and Poor People Empowerment: A Conceptual Analysis with Special Reference to the Case of Indonesia. Makalah Workshop on Rural Institutional Empowerment held in the Indonesian Consulate General of the Republic of Indonesia in Frankfurt am Main Germany: 26 Agustus 2000. Ferdinand, A. 2002. SEM dalam Penelitian Manajemen. Semarang: BP UNDIP. Gerungan, W.A. 1996. Psikologi Sosial. Ed. Ke-2. Cet. Ke-13. Bandung: PT. Eresco. Getz, D., dan T. Peterson. 2005. Growth and Profitt-Oriented Entrepreneurship Among Family Business Owners In The Tourism and Hospitality Industry. International Journal of Hospitality Management. New York: Elsevier Science Inc.
Gibb, A. dan J Li. 2003. Organizing for Enterprise In China: What Can We Learn From The Chinese Micro, Small, and Medium Enterprise Development Experience Futures. New York: Elsevier Science Inc. Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, dan J.H. Doonelly. 1995. Organisasi dan Manajemen, Perilaku, Struktur dan Proses. Edisi Keempat. Dialihbahasakan oleh Djoerban Wahid. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haeruman, H., dan Eriyatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta: Penerbit Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan Busines Inovation Centre Indonesia. Haber, S., dan A. Reichel. 2006. The Cumulative Nature Of The Entrepreneurial Process: The Contribution Of Human Capital, Planning And Environment Resources To Small Venture Performance. Journal of Business Venturing. New York: Elsevier Science Inc Heizer, J., dan B. Render. 1993. Production and Operations Management: Strategies And Tactics, 3rd ed. Prentice Hall: New York. Hersey, P., dan K.H. Blanchard. 1996. Management of Organizational Behavior. Prentice Hall Inc. Engelwood Cliffs, New Jersey. Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Hiks, H.G., dan G.R. Gullet. 1996. Organisasi Teori dan Tingkah Laku. Edisi Bahasa Indonesia. Cet. Ke-3. G. Kartasaputra, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Hubeis, A.V. 2000. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Dalam Proseeding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani. Bogor: 25-26 September 2000. Hubeis, M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah Guru besar Tetap Ilmu Manajemen Industri. Bogor: IPB. Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives (Vision, Analysis and Practice). Australia: Longman Press. Ismawan, B. 2002, “Masalah UKM www.binaswadaya.org 23 Des 2003 .
dan
Peran
LSM”.
Jakarta:
Joreskog, K.G, dan D. Sorbom. 1998. LISREL 8, User’s Reference Guide. Chicago: SSI Software International.
Kant, I. 1962. Fundamental Principles of the Metaphysics of Ethics. Australia: Trans. T.K. Abbott Longman. Karsidi, R. 1999. “Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari Petani Ke Pengrajin Industri Kecil.” Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Kast, F.E., dan J.E. Rosensweig. 1995. Organisasi dan Manajemen. Dialihbahasakan oleh Hasyim Ali. Jakarta: Bumi Aksara. Kotler, P. 1995. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi Dan Pengendalian. Alih bahasa: Jaka Wasana. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. Labuschagne, C. A.C. Brent, dan R.P.G. van Erck. 2005. “Assessing The Sustainability Performances of Industries.” Journal of Cleaner Industries. New York: Elsevier Science Inc Lionberger, H.F., 1964, Adoption of New Ideas and Practices. New York: The IOWA State University Press. Lippitt R., J.Watson., dan B.Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change. Harcourt, Brace& World, Inc. Mar’at. 1982. Sikap Manusia: Perubahan dan Pengukuran. Bandung: Ghalia Indonesia. Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta: Kerjasama: Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan RI, dan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. McClelland, D.C. 1987. Memacu Masyarakat Berprestasi: Mempercepat Laju Pertumbuhan Ekonomi Melakui Peningkatan Motif Berprestasi. S. Suparna, Editor. S. Suyanto dan W.W Bakowatun, Penerjemah. Jakarta: CV. Intermedia. Terjemahan dari: The Achieving Society. Megginson, W.L., M.J. Byrd, dan L.C. Megginson. 2000. Small Business Management, An Entreprneurs’s Guidebook. Singapore: Irwin Mc Graw Hill. Meredith, G.G., R.E. Nelson, dan P.A. Nick. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Dialihbahasakan oleh Andre Asparsayogi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Mosher, A.T. 1977. Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syarat-syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi. Disadur oleh Krisnandhi dan Bahrin Samad. Jakarta: CV Yasaguna. Nadvi, K., dan S. Barrientos, 2004, Industrial Clusters and Poverty Reduction”. London: Jurnal Institute of Development Studies, http://www.ids.ac.uk. 20 Des 2004 .
Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Olson, P.D., V.S. Zuikera, dan S.M. Danesa. 2003. “The Impact of The Family and The Business On Family Business Sustainability.” Journal of Business Venturing. New York: Elsevier Science Inc Oxaal, Z., dan S. Baden. 1997. Gender and empowerment: Definitions, Approaches and Implications for policy. Report 40 for the Swedish International Development Cooperation Agency (CIDA), Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton. UK Padmowihadjo, S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian RI. Pardede, F.R. 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil. [thesis]. ITB. Perry, G., C. Batstone, P. Pulsarum. 2002. The Determinants of Retail SME Success in Thailand.: Makalah International Seminar Graduates Studies Program UMM. Malang Pelham, A.M. 1999. Influence of Environment, Strategy, and Market Orientation on Performance in Small Manufacturing Firms. Journal of Business Research. New York: Elsevier Science Inc. Pranarka, A.M.W., dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS. Rakhmat, J. 1986. Teori-Teori Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi, Kosep, Kontroversi, Aplikasi. Dialihbahasakan oleh Hadayana Pujaatmaka. Jakarta: PT Prenhallindo. Rogers, E.M. 1976. Communication and Development. London: Sage Publication. _______, Kincaid L. 1981. Communication Network. New York: Mac Millan Publishing Co. Inc. _______, R.J Burdge, dan P.F. Korsching. 1983. Diffusion of Innovation.s (3rd editions). New York: The Free Press A Division of Mc Millan Publishing Co. Inc. Rothman, J.E. 1974. Strategies to Community Intervention. Colombia: Colombia University Press Copyright NCSW Salkind, N.J. 1989. Theories of Human Development. New York: John Willey and Sons.
Setiana, D.D.. 2001. “Membangun Struktur Industri Indonesia yang Kokoh dan Seimbang”. Bandung: Jurnal Politea Vol.1 No.1 Sigito, S.P. 2001. Pengembangan Model Pendaftaran Merek Secara Massal sebagai Sarana Pemberdayaan Kalangan Pengusaha Industri Kecil di Bidang HaKI Menghadapi Era Pelaksanaan Trip’s di Indonesia. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Brawijaya Malang Vol 13 No 2. Singarimbun, M., dan S. Effendy. 1987. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Steers, R.M., L.W. Porter, dan G.A. Bigley. 1991. Motivation and Leadership at Work. San Fransico: The Mcgraw-Hill Company. Stewart Jr, W.H., W.E. Watson, J.C Carland, dan J.W. Carland. 1998. A Proclivity for Entrepreneurship: A Comparison of Entrepreneurs, Small Business Owners, and Corporate Managers. Journal of Business Venturing. New York: Elsevier Science Inc. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pengembangan Kemandirian Petani. [disertasi]. IPB
Pertanian
menuju
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: Gramedia Sukardi, I.S. 1991. Intervensi Terencana Faktor-faktor Lingkungan terhadap Pembentukan Sifat Entrepreneur. [Disertasi]. UI. Sulekale. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org. 12 Sept 2003 Supriatna, T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung: Humaniora Utama Press. Susanto, D. 2001. Peran Penyuluh Pertanian dalam Mewujudkan Kemandirian Petani, Tasikmalaya: Makalah disajikan pada Seminar Perhiptani 2001. Swasono, S. 2003. Kemandirian, Dasar Martabat Bangsa. Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat. II-No.6-September 2003. Tawardi, B. 1999. Sikap Kewirausahaan Anggota Kelompok Belajar Usaha dan Beberapa faktor yang Mempengaruhinya. [tesis]. IPB.
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Alih Bahasa: Haris Munandar. Edisi keenam. Jakarta: penerbit Erlangga. Thoha, M. 1988. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Ed. Ke-1, Cet. Ke-3. Jakarta: CV. Rajawali. Umar, H. 2003. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia. van den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Wijaya, M. 2001. Prospek Industrialisasi Pedesaan. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta. Winardi. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Bogor: Penerbit Kencana. Young, R. 2005. Sustainability: From Rhetoric to Reality Through Markets. Journal of Cleaner Production. New York: Elsevier Science Inc Zhao, L., dan J.D. Aram. 1995. Networking and Growth of Young TechnologyIntensive Ventures In China. Journal of Business Venturing. New York: Elsevier Science Inc
Lampiran 1. Analisis SEM DATE: 9/ 6/2006 TIME: 11:59
L I S R E L
8.30
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675 -0720, Fax: (847)675 -2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981 -99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\HAMIDAH\NEW.SPJ: JUDUL PEMBERDAYAAN PENGRAJIN OBSERVED VARIABLES X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X21 X22 X23 X24 X25 X31 X32 X33 X34 X35 Y11 Y12 Y13 Y14 Y21 Y22 Y23 Y24 Y31 Y32 Y33 Y41 Y42 Y43 COVARIANCE MATRIX FROM FILE NEW.COV SAMPLE SIZE=260 LATENT VARIABLES PRIBADI PENDUSAHA LING WIRA MAND MAJU LANJUT RELATIONSHIPS X12 X15 X16 X17 X18=PRIBADI X21 X22 X23 X24=PENDUSAHA X31 X32 X33 X34=LING Y11 Y12 Y13 Y14=WIRA Y21 Y22 Y23 Y24=MAND Y31 Y32 Y33=MAJU Y41 Y42 Y43=LANJUT WIRA=PRIBADI PENDUSAHA LING MAND=PRIBADI PENDUSAHA LING WIRA MAJU=WIRA MAND LANJUT=MAJU LISREL OUTPUT SC MI RS EF SC AD=OFF PATH DIAGRAM END OF PROBLEM
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai t-hitung
11.07
X12
12.01
Y11
8.10
WIRA 11.18
11.85
7.73 X15
3.02 6.46
PRIBADI
10.50
13.16
9.98
X16
8.80
X17
Y12
8.87
9.04 Y13
10.97
15.11
10.89
10.43
9.35 0.43 4.67
10.21 X21
X22
X23
9.10
X24
17.14
PENDUSAH
4.84 3.06
8.88
MAND
11.32
Y22
10.97
Y23
11.63
8.69 Y24
11.63
1.97
14.32 2.26
13.40
2.86
Y31
4.85
Y32
10.66
8.21 MAJU
X31
10.97
X32
6.87
X33
8.62
Y33
10.56
11.93 11.71 19.81
Y41
8.46
LING
12.40 20.43
5.54
Y21
10.50
10.69 10.46
10.94
10.54
X18
10.83 6.33
Y14 4.66
14.19 LANJUT
X34
Y42
9.85 11.91
12.40 Y43
9.84
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai koefisien lintas
0.78
X12
0.91 WIRA
0.84
0.47 0.35
0.69
0.60
0.50
0.47 X15
0.63 0.40
PRIBADI
0.81 0.56
0.58 0.76 X21
Y21
0.41
Y22
0.35
Y23
0.62
0.81
X22
0.88
0.39 PENDUSAH
X23
0.62
MAND
0.60 0.26
Y24
X24
0.35
Y31
0.22
Y32
0.72
0.88 0.53 MAJU
X31
0.55 Y33
0.57
0.94
LING
0.76
X33 X34
Y41
0.40
Y42
0.06
Y43
0.40
0.77 0.95
0.09
0.69
0.67 X32 0.66
0.12
0.64
0.78
0.20 0.56
0.43
X18
0.34 0.39
0.61
Y14
0.63 0.61
Y13
0.56
0.63 0.22
0.21
0.05
X17
0.17
Y12
0.75
0.73 X16
Y11
0.89
0.97 LANJUT
0.77
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 450 Minimum Fit Function Chi-Square = 288.73 (P = 1.00) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 316.60 (P = 1.00) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 0.0) Minimum Fit Function Value = 1.11 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.0) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.34 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.34 ; 2.34) ECVI for Saturated Model = 4.08 ECVI for Independence Model = 10.00 Chi-Square for Independence Model with 496 Degrees of Freedom = 2524.84 Independence AIC = 2588.84 Model AIC = 472.60 Saturated AIC = 1056.00 Independence CAIC = 2734.78 Model CAIC = 828.33 Saturated CAIC = 3464.04
Root Mean Square Residual (RMR) = 16.81 Standardized RMR = 0.043 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.92 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.79 Normed Fit Index (NFI) = 0.89 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.09 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.80 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.08 Relative Fit Index (RFI) = 0.87 Critical N (CN) = 469.89
Lampiran 2. Analisis SEM Kabupaten Sidoarjo dan Magetan Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai Koefisien Lintas Sidoarjo 0.57
X12
0.42
X15
0.58
X16
0.56
X17
0.50
X18
0.66 0 .76 0.65 0.71 0.66
PRIBADI
0.74 0.64 0.76 0.77
0.42 WIRA 0.36 0.49
0.71
X21
0.22
X22
0.44
X23
0.28
X24
0.28
0.88 0.88 0.75 0.54
0.72 0.66 0.68 0.32
MAND
PENDUSAH 0.14
0.28
0.28 0.17
0.12 MAJU
X33
Y12
0.59
Y13
0.43
Y14
0.41
Y21
0.49
0.85 0.85 0.89 0.91
Y22
0.76 0.86 0.77
0.57
Y23
0.54
Y24
0.90
Y31
0.43
Y32
0.26
0.28
X31 X32
0.45
0.35
0.4 4
0.21
Y11
Y33
0.41
0.77
LING
LANJUT
0.72 0.90 0.70
X34
Y41
0.48
Y42
0.19
Y43
0.51
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai Koefisien Lintas Magetan 0.63
X12
Y11
0.51
Y12
0.76
0.49 0.65
Y13
0.58
0.71
Y14
0.49
0. 72 0.70 0. 68
0.48
0.21 PRIBADI
X15
WIRA
0.61 0.70
0.54
X16
0.63
X17
0.29
0.61
0.42 0.31 0.04
0.51
X18
MAND 0.57
X21
0.21
X22
0.06 0.85 0.89
Y21
0.50
0.71 0.53
Y22
0.72
0.58 0.23
Y23
0.66
Y24
0.95
0.77
Y31
0.41
0.87 0.72
Y32
0.25
Y33
0.48
Y41
0.56
Y42
0.15
Y43
0.56
0.36 PENDUSAH
0.80 0.37
X23
0.82 0.35
0.33
MAJU
X24
0.33 0.32
X31
0.70 0.31
X32
0.89 0.34
X33
0.93 0.19
0.67
0.81
X34
LING
LANJUT
0.92 0.66
0.90
Lampiran 3 Hasil Uji Beda Rata-rata One Way Anova Indikator Umur
Pendidikan
Tanggungan Kel
Pengalaman Kerja
Motivasi
Pemenuhan Kebutuhan
Intensitas Komunikasi
Sum of Squares
Ketersediaan Bahan baku
Ketersediaan Pasar
Ketersediaan Teknologi
18.35230077
1
18.352
Within Groups
25529.89385
258
98.953
Total
25548.24615
259
Between Groups
8.894960212
1
8.895
Within Groups
1923.489655
258
7.455
Total
1932.384615
259
Between Groups
40.83105178
1
40.831
Within Groups
774.9343328
258
3.004
Total
815.7653846
259
Between Groups
145.777788
1
145.778
Within Groups
17038.46837
258
66.041
Total
17184.24615
259
Between Groups
8159.171122
1
8159.171
Within Groups
289037.8135
258
1120.302
Total
297196.9846
259
Between Groups
3879.183306
1
3879.183
Within Groups
144523.3205
258
560.168
Total
148402.5038
259
Between Groups
13559.41681
1
13559.417
217826.337
258
844.288
Total
231385.7538
259
Between Groups
4666.639972
1
4666.640
Within Groups
261847.5754
258
1014.913
Total
266514.2154
259
Between Groups
11160.60452
1
11160.605
Within Groups
145826.1493
258
565.218
Total
156986.7538
259
Between Groups
2538.359826
1
2538.360
Within Groups
136895.5286
258
530.603
Total
139433.8885
259
Between Groups
26431.96642
1
26431.966
Within Groups
158826.4336
258
615.606
185258.4
259
Total Ketersediaan Transportasi
Alat Komunikasi
Mean Square
Between Groups
Within Groups Aspek gender
df
Between Groups
9369.715719
1
9369.716
Within Groups
12589 9.1304
258
487.981
Total
135268.8462
259
Between Groups
2313.001868
1
2313.002
Within Groups
92879.85967
258
359.999
Total
95192.86154
259
F
Sig. 0.185
0.667
1.193
0.276
13.594
0.000
2.207
0.014
7.283
0.007
6.925
0.009
16.060
0.000
4.598
0.033
19.746
0.000
4.784
0.030
42.936
0.000
19.201
0.000
6.425
0.012
Indikator Pemimpin Informal
Dukungan keluarga
Bimbingan Pemda
Dukungan NGO
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2861.634927
1
2861.635
4.140
0.043
Within Groups
178341.5766
258
691.246
Total
181203.2115
259
Between Groups
4426.058269
1
4426.058
6.682
0.010
Within Groups
170894.4456
258
662.382
Total
175320.5038
259
Between Groups
5424.815961
1
5424.816
7.073
0.008
Within Groups
197869.2456
258
766.935
Total
203294.0615
259
Between Groups
3536.245508
1
3536.246
3.968
0.047
229905.693
258
891.107
Total
233441.9385
259
Between Groups
2940.790503
1
4.365
0.038
Within Groups
173828.1133
258
Total
176768.9038
259
Between Groups
7543.098974
1
12.714
0.000
Within Groups
153064.6549
258
Total
160607.7538
259
Between Groups
17987.80939
1
40.310
0.000
115128.406
258
Total
133116.2154
259
Between Groups
2171.341397
1
4.620
0.033
121258.024
258
Total
123429.3654
259
Between Groups
18253.51845
1
18253.518
35.879
0.000
131258.77
258
508.755
Total
149512.2885
259
Between Groups
2375.083756
1
2375.084
4.456
0.036
Within Groups
137505.4201
258
532.967
Total
139880.5038
259
Between Groups
3858.869571
1
3858.870
5.721
0.017
Within Groups
174017.8189
258
674.488
Total
177876.6885
259
3269.03529
1
3269.035
5.439
0.020
Within Groups
155053.7493
258
600.984
Total
158322.7846
259
Within Groups
Keinovatifan
Inisiatif
Pengelolaan Resiko
Within Groups
Daya Saing
Within Groups Kemandirian Pemasaran
Within Groups Kemandirian pemodalan
Kemandirian produksi
Kemandirian kerjasama
Between Groups
2940.791 673.752
7543.099 593.274
17987.809 446.234
2171.341 469.992
Indikator Pertumbuhan Usaha
Efisiensi Usaha
Efektifitas Usaha
Kontinyuitas Penjualan
Kontinyuitas Produksi
Kontinyuitas bahan baku
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2315.081127
1
2315.081
4.224
0.041
Within Groups
141397.8843
258
548.054
Total
143712.9654
259
Between Groups
2806.664998
1
2806.665
4.207
0.041
Within Groups
172108.2735
258
667.086
Total
174914.9385
259
21565.0543
1
21565.054
30.912
0.000
Within Groups
179988.4996
258
697.630
Total
201553.5538
259
Between Groups
2861.634927
1
2861.635
4.140
0.043
Within Groups
178341.5766
258
691.246
Total
181203.2115
259
Between Groups
4426.058269
1
4426.058
6.682
0.010
Within Groups
170894.4456
258
662.382
Total
175320.5038
259
Between Groups
5424.815961
1
5424.816
7.073
0.008
Within Groups
197869.2456
258
766.935
Total
203294.0615
259
Between Groups