KESESUAIAN LAHAN DAN PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA
ARIF MARTONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Arif Martono NRP A-253050104
ABSTRACT ARIF MARTONO. Land Suitability and Landuse Planning for Agriculture at Coastal Area of Kulon Progo District, Yogyakarta. Supervised by SUWARDI and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Kulon Progo district has very large of coastal area covering 14,579.79 ha or about 25% of the total district area. The coastal soils are relatively fertile, so that they area very potential for agricultural development. Along with the development of the district area in the recent years, the coastal area is also developing very fast. For anticipating the development of coastal area, and maintaining the sustainability of the environment landuse planning must be arranged based on land evaluation approach. The objectives of this research are to identify the physical characteristic, financially farm enterprise of the coastal area and to evaluate the suitability of that area for red chili, melon and watermelon cultivation. The result showed that the area is dominated by flat to undulating area and relatively fertile soils of Inceptisol, Alfisol, Mollisol and Vertisol. More than 75% of 32,442 households are farmers or farm workers. Red chili is the main commodity at Temon, Wates and Panjatan Sub District, while melon and watermelon are the main commodities at Galur Sub District. Land suitability analysis for three commodities indicates that most of the land is classified as moderately suitable (S2) with the limiting factor of over rainfall. Therefore, the arrangement of landuse calendar and water management becomes keys for the successful farm enterprise for red chili, melon, and water melon. Financial analysis showed that farm enterprise for red chili, melon and watermelon are financially feasible. Potential land for development of those commodities is 5,617.9 ha. Based on the above analysis, the area development for red chili cultivation is directed at Temon, Wates, Panjatan and part of Galur Sub Districts, especially on existing landuse of grass, paddy field, dry land and shrub; where as the area development for melon and watermelon cultivation is directed at Galur Sub District, particularly on paddy field existing landuse.
ABSTRAK ARIF MARTONO. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Dibimbing oleh SUWARDI dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Kabupaten Kulon Progo memiliki kawasan pesisir sangat luas meliputi 14.579,79 ha atau sekitar 25% dari wilayah kabupaten. Kawasan pesisir tersebut relatif subur sehingga sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Seiring dengan perkembangan wilayah, kawasan pesisir berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk mengantisipasi perkembangan kawasan pesisir, maka penataan lahan perlu dilakukan dengan pendekatan evaluasi lahan sehingga pengembangannya sesuai dengan kemampuan lahan dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik fisik, finansial usaha tani dan mengevaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian khususnya tanaman cabai merah, melon dan semangka. Hasil identifikasi karakteristik fisik menunjukkan bahwa daerah penelitian bertopografi datar sampai berombak dengan kondisi tanah relatif subur dengan order Inceptisol, Alfisol, Mollisol dan Vertisol. Sekitar 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga di kawasan ini berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Hasil analisis memperlihatkan bahwa, cabai merah menjadi komoditas basis di Kecamatan Temon, Wates dan Panjatan, sedangkan melon dan semangka menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Analisis kesesuaian lahan untuk ketiga komoditas tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lahan termasuk sesuai (S2) dengan faktor pembatas utama kelebihan curah hujan tahunan. Oleh karena itu pengaturan pola tanam dan manajemen air menjadi kunci pokok suksesnya usaha tani cabai merah, melon dan semangka. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usaha tani cabai merah, melon dan semangka adalah layak untuk diusahakan. Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan ketiga komoditas tersebut adalah 5.617,9 ha. Berdasarkan berbagai hasil analisis tersebut di atas maka pengembangan komoditas cabai merah diarahkan di wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan sebagian Kecamatan Galur pada existing landuse, rumput, sawah, ladang dan belukar; sedangkan komoditas melon dan semangka diarahkan ke Kecamatan Galur terutama pada existing landuse sawah.
KESESUAIAN LAHAN DAN PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN KULON PROGO, YOGYAKARTA
ARIF MARTONO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah (PWL)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Nama
: Arif Martono
NIM
: A-253050104
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suwardi, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 2 Maret 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala karunia dan hidayahNya, karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini mengambil judul Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pertanian di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Proses penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Suwardi, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis tujukan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Kepada keluarga, teman dan semua pihak yang telah memberikan motivasi dan dukungan bagi kelancaran penulisan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Bogor, Maret 2007
Arif Martono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 5 Maret 1968 sebagai putra ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan Bapak Safuan dan Almh. Ibu Rodjiyah. Menikah dengan Ernawati Purwaningsih dan telah dikarunia tiga orang anak bernama; Muhammad Nadhif Akbari, Talitha Syifa Zayyana, dan Nasywa Yumna Khairunnisa. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Yogyakarta, SMA di Bantul, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Geografi Manusia Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2005 dan diterima di Program Studi Perencanaan Wilayah, melalui fasilitas beasiswa dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas). Penulis sekarang bekerja sebagai staf di Bagian Pemerintahan, Sekretariat Daerah Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta mulai tahun 2000. Pada tahun 1997 sampai dengan 2000 menjadi staf di Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah.
”Maka, sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5-6)
”Dan, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan kemudahan dalam urusannya.”
(QS. Ath-Thalaq: 4)
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………………........ x DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………. xi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………......... xii PENDAHULUAN …………………………………………………………………........ 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Identifikasi dan Perumusan Masalah ............................................................ 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………… 5 Kesesuaian Lahan ………………………………………………………………. 5 Kawasan Pesisir …………………………………………………………………. 7 Analisis Spasial …………………………………………………………………... 8 Sistem Informasi Geografi ............................................................................. 10 METODE PENELITIAN ........................................................................................ 13 Kerangka Pendekatan Studi ......................................................................... 13 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 14 Pengumpulan Data ....................................................................................... 14 Analisis Data ................................................................................................. 14 Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan lahan ............................................................................................ 15 Analisis sektor basis wilayah .................................................................. 15 Analisis kesesuaian lahan ...................................................................... 18 Analisis usaha tani ................................................................................. 19 Analisis perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir .................... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………………. 22 Karakteristik Fisik ………………………………………………………………… 22 Geografis …………………………………………………………………….. 22 Iklim …………………………………………………………………………… 23 Hidrologi ………………………………………………………………………. 26 Topografi ……………………………………………………………………… 28 Tanah …………………………………………………………………………. 28 Satuan lahan …………………………………………………………………. 32 Perekonomian Wilayah ………………………………………………………….. 34 Sosial dan Budaya ……………………………………………………………….. 37 Kependudukan……………………………………………………………….. 37 Pendidikan ……………………………………………………………………. 38 Kesehatan ……………………………………………………………………. 39 Kebudayaan …………………………………………………………………. 40 Pemanfaatan Lahan ……………………………………………………………... 41 Analisis Sektor Basis Wilayah ………………………………………………….. 47 Analisis Kesesuaian Lahan ……………………………………………............. 50 Analisis spasial kesesuaian lahan …………………………………………. 51 Integrasi analisis spasial kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan saat ini …………………………………….................................................. 55 Analisis usaha tani ........................................................................................ 58 Komoditas tanaman cabai merah ........................................................... 58 Komoditas tanaman melon dan semangka ………………………............ 60 Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir ……………………........ 62 KESIMPULAN DAN SAR AN …………………………………………………………. 66 Kesimpulan ……………………………………………………………………….. 66 Saran ………………………………………………………………………........... 67 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 68
ix
DAFTAR TABEL No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Halaman Luas wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian ................... Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan di daerah penelitian periode tahun 1994-2004 ....................................................... Jenis dan sifat tanah serta luasannya di daerah penelitian tahun 2003 Satuan lahan di daerah penelitian .......................................................... Banyaknya rumah tangga dan penduduk di daerah penelitian tahun 2004 ....................................................................................................... Banyaknya kelompok tani, anggota kelompok tani dan petani/buruh tani di daerah penelitian tahun 2004 ...................................................... Banyaknya sarana pendidikan di daerah penelitian tahun 2004 ............ Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di daerah penelitian tahun 2004 ....................................................................................................... Banyaknya perkumpulan seni musik di daerah penelitian ..................... Luas masing-masing jenis penggunaan lahan menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2004 ................................................................. Rekapitulasi analisa LQ, LI dan SI untuk tanaman hortikultura dan padi/palawija di daerah penelitian tahun 2004 ....................................... Luas kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah, melon dan semangka menurut di daerah penelitian ................................................ Luas kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka menurut penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian ...................... Luas penggunaan lahan saat ini menurut kecamatan di daerah penelitian ........................................................................................................ Luas existing areal tanam menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2005 ............................................................................................. Integrasi rata-rata curah hujan dan pola tanam (crop calender) usaha tani tahunan menurut jenis penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian ................................................................................................ Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani cabai merah di daerah penelitian ................................................................................................ Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani melon di daerah penelitian ........................................................................................................ Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani semangka di daerah penelitian ................................................................................................
x
23 24 31 34 37 38 39 40 41 42 49 53 56 56 56 57 58 61 61
DAFTAR GAMBAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Halaman Kerangka pemikiran penelitian ............................................................... Diagram alir tahapan penelitian ............................................................. Daerah penelitian .................................................................................. Peta curah hujan rata-rata daerah penelitian ......................................... Peta pola drainase daerah penelitian ..................................................... Peta kelas lereng daerah penelitian ....................................................... Peta tanah daerah penelitian ................................................................. Peta satuan lahan daerah penelitian ..................................................... Peta jaringan jalan daerah penelitian ..................................................... Peta penggunaan lahan daerah penelitian ............................................ Tanaman cabai merah tumbuh subur di tanah Entisol .......................... Hamparan tanaman cabai merah di lahan semula existing landuse rumput .................................................................................................... ”Sumur renteng” di sela-sela tanaman cabai merah .............................. Penyiraman langsung dari pipa paralon ................................................. Mesin diesel kapasitas 2 PK untuk memompa air tanah ....................... Pekerja perempuan melakukan penyiangan rumput .............................. Tanaman semangka tumbuh subur di tanah Inceptisol ......................... Tanaman cabai merah dengan penyela tanaman terung ...................... Hasil panen cabai merah ....................................................................... Hasil panen semangka ........................................................................... Lahan ”tidur” di daerah penelitian .......................................................... Peta kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka daerah penelitian .................................................................................... Peta perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo ..............................................................
xi
13 15 23 25 27 29 30 33 36 43 44 44 45 45 45 45 46 46 47 47 51 54 65
DAFTAR LAMPIRAN No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Halaman Tabel kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah ......................... Tabel kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka ............................ Tabel analisis kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah masingmasing satuan lahan di daerah penelitian ............................................. Tabel analisis kesesuaian lahan untuk tanaman melon dan semangka masing-masing satuan lahan di daerah penelitian ................................ Tabel analisis LQ, LI dan SI terhadap komoditas subsektor pertanian tanaman sayuran dan buah semusim di daerah penelitian ................... Tabel analisis LQ, LI dan SI terhadap komoditas subsektor pertanian tanaman padi/palawija di daerah penelitian .......................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga Rp. 2.000,00/kg ..................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga Rp. 5.000,00/kg ..................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas cabai merah per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 6 bulan) dengan harga Rp. 10.000,00/kg ................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 750,00/kg ........................................................................................ Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 1.500,00/kg ..................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas melon per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 2.000,00/kg ..................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 500,00/kg ............................................................................................... Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 1.000,00/kg ............................................................................................ Tabel input dan output usaha tani komoditas semangka per 2.000 m 2 di daerah penelitian tahun 2006 (selama 4 bulan) dengan harga Rp. 1.250,00/kg ............................................................................................ Kuesioner usaha tani komoditas cabai merah, melon dan semangka ..
xii
70 70 71 73 75 76 77 79 81 83 85 87 89 91 93 95
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses untuk meningkatkan taraf kehidupan manusia melalui berbagai langkah dan interaksi baik antara manusia maupun antara manusia dengan lingkungannya. Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan proses sosial, ekonomi, dan institusional, mencakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Proses multidimensional karena tidak saja sasarannya yang mencakup ketiga proses tersebut, namun juga ketiganya secara bersama akan saling mempengaruhi satu sama lain. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki dua dimensi penting bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dalam membangun daerah. Di satu sisi undang-undang tersebut berdimensi peluang, yaitu memberi kewenangan yang luas bagi daerah untuk menggali dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di wilayahnya. Di sisi lain undang-undang tersebut berdimensi tantangan, karena dibutuhkan kreativitas, kerja keras dan “effort” yang tinggi untuk mengimplementasikannya, disamping harus bersaing dengan daerah lainnya dalam memperebutkan investasi-investasi yang diperlukan dalam pembangunan. Situasi ini telah mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terus berupaya menggerakkan seluruh kemampuan dan potensi sumberdaya yang dimilikinya, termasuk didalamnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan kondisi topografi wilayahnya yang cukup beragam mulai dari wilayah perbukitan dengan lereng cukup curam hingga wilayah pesisir yang memiliki lereng landai, maka strategi kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten Kulon Progo dibagi dalam tiga zona. Zona utara, dengan topografi berbukit dan sebagian besar wilayah berlereng curam diarahkan untuk kawasan konservasi dan budidaya terbatas. Zona tengah, dengan topografi relatif datar diarahkan untuk kawasan permukiman, budidaya (industri, perdagangan, jasa, pertanian), dan pemerintahan. Zona selatan, yang memiliki topografi wilayah dari datar hingga landai, diarahkan untuk kawasan permukiman, budidaya (perikanan, pariwisata, jasa, dan pertanian), pemerintahan dan sebagian kawasan konservasi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pembangunan di zona selatan, dimana sebagian wilayahnya berupa kawasan pesisir, menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Dengan batasan pengertian bahwa yang dimaksud ”kawasan pesi-
2
sir” adalah wilayah dari titik pasang tertinggi air laut ke arah darat hingga batas administratif kecamatan-kecamatan pesisir maka tidak kurang dari 85% wilayah zona selatan ini termasuk dalam kawasan pesisir. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika strategi pembangunan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terutama diarahkan untuk pengembangan sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata, mengingat potensinya yang cukup besar namun belum tergali dan termanfaatkan secara optimal. Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menyadari bahwa kawasan pesisir merupakan salah satu sumberdaya yang potensial dikembangkan untuk kemajuan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dahuri et al. (1996) bahwa wilayah pesisir merupakan lokasi yang strategis untuk kegiatan berbagai sektor dalam bidang ekonomi antara lain seperti; pariwisata bahari, industri perkapalan, pelabuhan transportasi, perikanan budidaya dan tangkap, pertambangan, kawasan konservasi, dan lain sebagainya. Beragamnya sumberdaya alam kawasan pesisir memberi daya tarik yang besar untuk berbagai penggunaan oleh masyarakat yang pada gilirannya dapat mempengaruhi lingkungan ekologisnya. Selain itu ketersediaan sumberdaya kawasan pesisir juga sangat terbatas. Oleh karenanya diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi kelestarian lingkungan hidup agar tercipta kemampuan yang serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Realitas kawasan pesisir yang demikian dinamis memerlukan suatu pengelolaan yang khusus dan terpadu dalam mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholders, sekaligus tetap terjaga dan terpeliharanya lingkungan ekosistem wilayah secara berkelanjutan. Dengan demikian dalam penyusunan arahan pengembangannya perlu dirumuskan suatu rencana pengelolaan dengan pendekatan keruangan yang dapat mengakomodasikan kepentingan stakeholders. Sebagaimana Ellsworth et al. (1997) yang menegaskan bahwa, sesungguhnya pendekatan dalam perencanaan dan pengelolaan pesisir secara terpadu harus melibatkan seluruh stakeholders, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah termasuk masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Rencana pengelolaan kawasan pesisir muaranya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem pesisir. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan apabila dalam penetapan pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir adalah berdasar-
3
kan “kesesuaian lahan”, yang dikaji secara ilmiah dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dan dinamika masyarakat yang tinggal didalamnya. Mengingat penduduk yang tinggal di kawasan pesisir ini sebagian besar petani dengan usaha tani dominan adalah komoditas; cabai merah, melon dan semangka, maka penelitian ini bertujuan membuat perencanaan ruang kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo untuk pertanian dengan komoditas; cabai merah, melon dan semangka. Identifikasi dan Perumusan Masalah Kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo mempunyai karakteristik khusus, karena memiliki sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya yang unik. Karakteristik unik yang dimilikinya adalah; (1) bentuk lahan (landform) pesisirnya relatif landai, (2) sebagian besar penduduk yang bermukim di kawasan pesisir Kulon Progo adalah petani dan sedikit sekali yang berprofesi sebagai nelayan, (3) sebagian kecil lahan kawasan pesisir telah dimanfaatkan untuk pertanian dengan komoditas; cabai merah, melon dan semangka dan mampu menghasilkan panen sangat bagus, (4) air tanah relatif dangkal dengan kualitas baik (berasa tawar dan belum terjadi intrusi air laut), dan (5) terdapat lahan-lahan tidur cukup luas yang belum termanfaatkan untuk berbagai penggunaan. Kondisi di atas menunjukkan bahwa; (1) pertanian masih menjadi mata pencaharian utama di kawasan pesisir, (2) perlunya analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian, (3) analisis finansial usaha tani diperlukan untuk melihat kemampuan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utama rumah tangga petani, dan (4) perlu adanya arahan pengelolaan kawasan pesisir yang ideal (mampu mempertemukan antara budaya masyarakat/stakeholders dengan kemampuan dan status ekosistem sumberdaya secara ilmiah) sehingga dapat meminimalisir pemanfaatan yang irasional dan tidak terkendali. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang terdapat di wilayah studi dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo? 2. Apakah pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo saat ini sudah sesuai dengan kesesuaian lahan untuk pertanian? 3. Strategi apa yang sebaiknya dilakukan dalam perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian di kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo?
4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo. 2. Mengevaluasi kesesuaian lahan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo untuk pertanian, khususnya tanaman; cabai merah, melon dan semangka. 3. Memberikan alternatif perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam penyusunan ataupun penyempurnaan kebijakan dan rencana strategis pemanfaatan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo.
TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang (FAO, 1976). Menurut FAO (1976) beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah “capability” atau kemampuan dan “suitability” atau kesesuaian, merupakan dua istilah yang mempunyai arti sama sehingga dapat saling menggantikan. Namun demikian, pengertian yang umum dianut dewasa ini adalah bahwa “kemampuan lahan” (land capability) berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan istilah “kesesuaian lahan” (land suitability) berarti potensi lahan untuk penggunaan jenis tanaman tertentu. Dengan demikian “kesesuaian lahan” adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Dalam kaitan ini FAO (1976) menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah. Dalam tahapan evaluasi lahan, pertama harus ditetapkan tujuan yang jelas mengapa evaluasi lahan itu dilakukan. Selanjutnya menentukan faktor-faktor yang digunakan sebagai penciri, dimana faktor-faktor tersebut harus merupakan sifat-sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan erat hubungannya dengan tujuan evaluasi. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan masing-masing satuan lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang akan diterapkan. Pendekatan dalam evaluasi lahan dapat dilalukan melalui dua cara (FAO, 1976), yaitu: 1. Pendekatan dua tahap (two stage approach) Tahap pertama dari pendekatan ini adalah merupakan evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua (kadang-kadang tidak dilakukan) terdiri dari analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilakukan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survai tinjau.
6
Klasifikasi kemampuan lahan dalam tahap pertama didasarkan pada kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Peranan analisa ekonomi dan sosial dalam tahap ini terbatas pada pengecekan terhadap relevansi tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua yaitu analisa ekonomi dan sosial dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Pendekatan dua tahap ini lebih sistematis karena memiliki kegiatan yang jelas terpisah. Survai tanah fisik dilakukan lebih dulu, baru kemudian survai dan analisa ekonomi-sosial, sehingga memungkinkan penjadwalan kegiatan dan penggunaan staf. 2. Pendekatan paralel (parallel approach) Pendekatan paralel merekomendasikan analisa ekonomi dan sosial terhadap jenis penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan secara bersamaan dengan analisa sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pendekatan paralel diharapkan dapat memberi hasil yang lebih tepat dalam waktu yang lebih cepat. Cara ini memberi kemungkinan yang lebih baik untuk memusatkan kegiatan survai dan pengumpulan data pada keterangan-keterangan yang diperlukan untuk evaluasi. Ada berbagai sistem evaluasi kesesuaian lahan yang umum dipakai, yaitu; 1. Sistem USDA atau sering juga dikenal sistem Klingebiel dan Montgomery (1961) dimana dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah (lahan) dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas berbanding lurus dengan kualitas lahan yang semakin jelek. Ini berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. 2. Sistem FAO (1976) membagi kesesuaian lahan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu; ordo, kelas, sub kelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit biasanya digunakan untuk pemetaan skala detail (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
7
Kawasan Pesisir Berbagai pengertian dan batasan mengenai istilah “pesisir” telah dikemukakan oleh para ahli. Namun dari semua pendapat tersebut tidak ada yang dianggap paling benar, karena penggunaan pengertian dan batasan tersebut dapat dianggap benar apabila sesuai dengan tujuan penelitian atau kajian yang akan dilakukan. Pengertian wilayah pesisir menurut Bakosurtanal (1990) dalam Sutikno (1999) adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat. Batas wilayah pesisir arah ke daratan tersebut ditentukan oleh; (a) pengaruh sifat fisik air laut, yang ditentukan berdasarkan seberapa jauh pengaruh pasang air laut, seberapa jauh flora yang suka akan air akibat pasang tumbuh (water loving vegetation) dan seberapa jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah tawar, dan (b) pengaruh kegiatan bahari (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi bahari (desa nelayan) sampai ke arah daratan. Menurut Aprilani (1986) dalam Pethic (1988) yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan laut. Bird (1969) berpendapat bahwa wilayah pesisir adalah mintakat yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas ke arah daratan hingga batas pengaruh marine masih dirasakan. Apabila batasan yang dikemukakan Aprilani dan Bird dipadukan maka mirip dengan pengertian pesisir yang dikemukakan oleh Bakosurtanal tersebut di atas. Pandangan yang lebih moderat dikemukakan oleh Dahuri et al. (1996) bahwa batas wilayah pesisir umumnya berdasarkan tiga kriteria. Pertama, garis linier secara arbitrer tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline). Kedua, batas-batas administrasi dan hukum. Ketiga, karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yaitu atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis, seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut. Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah batasan menurut daerah aliran sungai (catchment area atau watershed). Batas wilayah atas dasar kriteria ekologi, sekalipun dianggap mengikuti kaidah-kaidah konservasi, tidak dapat diberlakukan. Akibatnya para perencana
8
dan pengelola cenderung memilih batasan wilayah pesisir menurut kriteria garis lurus secara arbitrer dan administratif (Nugroho dan Dahuri, 2004). Contoh nyata dari penerapan kriteria ini adalah Proyek MREP (Marine Resource Evaluation and Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Kelautan) menetapkan batas ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis proyek adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000 yang telah diterbitkan Badan Koordinasi dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sedangkan batas ke arah darat mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri et al., 1996). Lingkungan pesisir merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan dari laut. Perubahan lingkungan pesisir dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan lingkungan pesisir sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya, sehingga kajian keruangan dari lingkungan pesisir diperlukan dalam rangka pengelolaannya. Lingkungan pesisir perlu dikelola dengan baik mengingat fungsinya dalam kehidupan manusia sangat besar sejak jaman dahulu hingga jaman sekarang bahkan di masa mendatang. Selanjutnya Sutikno (1999) menyatakan, berhubung perubahan wilayah pesisir pasti terjadi maka dalam pemanfaatan pesisir sedapat mungkin menyesuaikan dengan karakteristiknya. Pendekatan satuan lahan (land unit) dapat diterapkan untuk identifikasi permasalahan lingkungan pesisir dan mengevaluasinya. Analisis Spasial Pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata “spasial” atau ruang itu sendiri dan kedua perbedaan fokus kajiannya (Rustiadi et al., 2005). Dari pandangan geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi dalam sudut pandang geografis sangat jelas, tegas dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli
9
geografi tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, atau dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek “apa” (what), “bagaimana” (why), dan bahkan “dimana” (where) yang terjadi di atas permukaan bumi. Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan “peta” yang memiliki akurasi informasi spasial didalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spasial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial, dan lainnya), kecenderungan spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian yang banyak mendapat perhatian ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan pemodelan dan analisa data spasial. Bailey (1995) dalam Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan analisis spasial sebagai upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data. Spatial summarization of data dilakukan untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan. Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut Haining (1995) dalam Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan analisis spasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah: 1. mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.
10
2. menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, Fischer et al. (1996) dalam Rustiadi et al. (2005) menyatakan bahwa model spasial digunakan untuk tiga tujuan, yaitu; pertama, peramalan dan penyusunan skenario, kedua, analisis dampak terhadap kebijakan, dan ketiga, adalah penyusunan kebijakan dan desain. Data spasial atau data yang mempunyai referensi geografis, visualisasi digunakan untuk membuktikan hipotesis-hipotesis mengenai pola atau pengelompokkan di dalam ruang geografis serta mengenai peranan lokasi terhadap aktivitas manusia dan sistem lingkungannya (Mac Eachren, 1995 dalam Rustiadi et al. 2005). Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistim Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Getis (1995) dalam Rustiadi et al. (2005), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi, dan network analysis. Sistim Informasi Geografi (SIG) Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui SIG berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa serta dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Menurut Danudoro (2006) SIG tumbuh sebagai respon atas kebutuhan akan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Secara garis besar, perkembangan SIG dipicu oleh setidak-tidaknya tiga hal utama, yaitu; (a) perkembangan teknologi komputer dan sistem informasi, (b) perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, dan (c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan masalah di bidang masing-masing, yang terkait dengan aspek keruangan (spasial). Pengertian SIG sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan memiliki arti yang relatif sama. Barus dan Wiradisastra (2000), menyatakan SIG adalah suatu sistim informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi
11
spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan Aronoff (1989) dalam Dulbahri (2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistim informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisis data serta memberi uraian. Pernyataan Aronoff sejalan dengan pernyataan Danudoro (2006) bahwa SIG adalah sebuah sistim untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka bumi. Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus dalam bentuk numerik, artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, sedangkan data lain adalah data atribut (Dulbahri, 2003). Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masingmasing komponen tersebut berbeda dari satu sistim ke sistim lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG (Barus dan Wiradisastra, 2000). Fasilitas perangkat lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu; (1) sub sistem pemasukan data, (2) sub sistem pemrosesan data, dan (3) sub sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG ke dalam komponen-komponen berikut; (a) sistem komputer meliputi perangkat keras dan sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk pengendalian aspek tujuan, manfaat, alasan dan justifikasi dalam penggunaan SIG, dan (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasional, administratif, serta kultural untuk mendukung mendukung operasi SIG, yang juga meliputi ketrampilan, standarisasi, data clearinghouse, serta pola organisasional. Salah satu isu utama dalam SIG adalah pemodelan spasial. Pemodelan spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real world), dan hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau kewilayahan. Danudoro (2006) menyatakan terdapat lima macam model dalam SIG yang biasanya digunakan untuk pemodelan lingkungan dan kewilayahan, yaitu:
12
(1) Model biner, yang bertumpu pada logika biner (boolean logic) pada pengambilan keputusan masuk-tidaknya (atau memenuhi-tidaknya) suatu informasi digunakan pada tahap proses selanjutnya. Karena dasar pengambilan keputusan adalah logika biner (ya atau tidak), risiko kekeliruan pada penentuan nilai/kondisi ambang (threshold) juga cukup tinggi. Model ini biasanya hanya sesuai diterapkan pada skala kecil, di mana tidak tersedia cukup informasi rinci sebagai dasar pengambilan keputusan. Model biner dapat diterapkan dengan SIG vektor maupun raster, (2) Model indeks, melibatkan penggunaan skor untuk setiap kategori yang berbeda dalam suatu peta tematik. Tumpangsusun peta-peta dengan model indeks biasanya akan melibatkan proses kalkulasi aritmetik, baik penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Indeks atau skor akhir yang dimiliki oleh satuan-satuan pemetaan baru pada peta turunan (peta baru) akan menggambarkan kondisi atau performa gabungan dari berbagai kriteria, yang dijadikan dasar pengambilan keputusan. Model ini dapat diterapkan pada SIG vektor maupun raster, (3) Model regresi, merupakan model yang memanfaatkan persamaan regresi untuk mengubah nilai pada peta menjadi nilai baru yang menggambarkan suatu kecenderungan (trend) fenomena tertentu. Model ini biasa diterapkan pada SIG raster, di mana nilai piksel diubah melalui persamaan regresi, dan peta raster berubah menjadi peta kuasi-kontinyu nilai kuantitatif, (4) Model proses, adalah model yang menggunakan pengetahuan mengenai proses lingkungan di dunia nyata ke dalam suatu himpunan persamaan untuk mengkuantifikasi proses tersebut. Model ini lebih efektif dijalankan dalam lingkungan SIG raster, khususnya apabila datanya bersifat kuasi-kontinyu, dan (5) Model jaringan, merupakan jenis pemodelan SIG yang hanya dapat dijalankan pada SIG vektor yang mempunyai struktur topologi (topological vector). Struktur topologi dalam data vektor itu secara eksplisit menyatakan hubungan antar-entitas spasial dalam peta; titik (point), garis (arc) dan area (polygon).
METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Studi Penatagunaan lahan kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo didasarkan pada karakteristik fisik, finansial usaha tani dan pemanfaatan saat ini. Karakteristik fisik adalah kondisi sumberdaya alam kawasan menurut parameter fisik dan biotik yang berinteraksi satu sama lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Karakteristik finansial usaha tani adalah kemampuan manusia dalam mengekspoitasi sumberdaya alam secara lestari untuk pemanfaatannya yang berkelanjutan. Sedangkan pemanfaatan saat ini adalah penggunaan lahan existing yaitu antara lain kegiatan; perikanan, pariwisata, pertanian, perdagangan/jasa, permukiman, dan sebagainya. Selanjutnya dengan menggunakan kriteria kesesuaian lahan, dilakukan analisis terhadap ketiga karakteristik untuk memberikan alternatif penggunaan lahan kawasan pesisir untuk pertanian yang sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kebutuhan manusia dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Selengkapnya Gambar 1 menunjukkan pendekatan yang digunakan dalam studi ini.
Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo Karakteristik Fisik
Pemanfaatan/Penggunaan Lahan Saat Ini
Karakteristik Finansial Usaha Tani
Kriteria Kesesuaian Lahan Fisik dan Finansial Usaha Tani
Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan “kesesuaian lahan” dapat digunakan untuk membuat perencanaan penggunaan lahan untuk pertanian (khususnya komoditas hortikultura) di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi penting untuk
14
meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan akibat dari perkembangan kota yang tidak terarah (urban sprawl). Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo yang mencakup 4 (empat) kecamatan yaitu; Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Penelitian dan pengolahan data berlangsung selama 6 (enam) bulan dimulai pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember 2006. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data fisik, ekonomi, sosial dan budaya. Data fisik meliputi; peta lereng (Shuttle Radar Topographic Mapper/SRTM) skala 1:100.000, peta tanah (BPTP Yogyakarta) skala 1:50.000, peta administrasi, jalan dan penggunaan lahan (Bappeda Kabupaten Kulon Progo dan South Java Flood Control Sector Project/SJFCSP Yogyakarta) skala 1:50.000, peta drainase skala 1:50.000 dan data curah hujan (Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo). Data sosial budaya meliputi; kependudukan, pendidikan, kesehatan, sarana prasarana, dan kesenian (BPS Kabupaten Kulon Progo). Keseluruhan data fisik dan sosial budaya merupakan data sekunder. Data ekonomi meliputi; modal, tenaga kerja, biaya produksi, dan jumlah produksi usaha tani; cabai merah, melon dan semangka diperoleh melalui wawancara langsung dengan sebanyak 15 petani sebagai responden yang ada di daerah penelitian. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi; (a) identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan lahan kawasan pesisir, (b) analisis sektor basis wilayah dengan metode Location Quetient (LQ), (c) analisis kesesuaian lahan secara spasial dengan memanfaatkan kemampuan Sistim Informasi Geografi (SIG), dan (d) analisis finansial usaha tani. Selanjutnya dengan menggabungkan keseluruhan hasil analisis tersebut, dirumuskan perencanaan penggunaan lahan wilayah pesisir. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan diagram alir tahapan penelitian.
15
Karakteristik Fisik - Peta lereng - Peta curah hujan - Peta tanah
Karakteristik Ekonomi
Karakteristik Sosial Budaya
overlay
Persyaratan Penggunaan Lahan
Satuan Lahan (Land Units)
matching Kesesuaian Lahan untuk Hortikultura
Analisis Finasial (BCR, IRR, NPV)
Peta Penggunaan Lahan Saat Ini
overlay
Sesuai
Location Quetient (LQ )
Sektor Basis Wilayah
Analisis Usaha Tani
Tidak Sesuai
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN PESISIR
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian.
Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan lahan Identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan lahan dilakukan secara deskriptif. Dengan demikian keseluruhan karakteristik fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan pemanfaatan lahan di daerah penelitian dijelaskan secara lengkap sesuai data dan fakta yang ada di lapangan. Analisis sektor basis wilayah Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu dan menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan
16
impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar daerah. Sedangkan sektor nonbasis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang. Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis dan nonbasis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah (Rustiadi et al.,2005). Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja, sedangkan jika hasil produksi apa yang berperan dalam ekonomi wilayah maka jumlah hasil produksi yang dipilih sebagai dasar ukurannya. Secara matematis formula LQ adalah sebagai berikut:
LQij =
Xij Xi . X . j X ..
Keterangan: LQij = Location Quotient Xij = derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i. Xi. = total aktifitas di wilayah ke-i. X.j = total aktifitas ke-j di semua wilayah. X.. = derajat aktifitas total wilayah. Kriteria yang muncul dari perhitungan ini adalah: §
jika LQ > 1 : sektor basis; artinya komoditas j di daerah penelitian memiliki keunggulan komparatif,
§
jika LQ = 1 : sektor nonbasis; artinya komoditas j di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di daerah penelitian sendiri.
§
Jika LQ < 1 : sektor nonbasis; artinya komoditas j di daerah penelitian tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sehingga diperlukan pasokan dari luar daerah.
17
Untuk lebih memperdalam analisis LQ selanjutnya dilakukan analisis Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI). Analisis koefisien lokalisasi ( α ) merupakan ukuran relatif konsentrasi pengembangan komoditas tertentu di suatu daerah dibandingkan dengan daerah yang lebih luas dengan besaran tertentu (Warpani, 2000). Hasil perhitungan analisis LI akan menunjukkan apakah pengembangan suatu komoditas terkonsentrasi di daerah tertentu atau tersebar di beberapa daerah. Atau secara umum analisis ini digunakan untuk menentukan daerah mana yang potensial untuk mengembangkan komoditas tertentu. Secara matematis formula LI adalah sebagai berikut:
α = 1 2∑ {( pi Pi ) − ( pt Pt )}× 100 % Setelah diperoleh hasilnya maka hasil perhitungan bernilai positif saja yang dijumlahkan searah dengan komoditas yang diselidiki, dengan kriteria sebagai berikut: § jika 0 < α < 1, artinya pengusahaan komoditas i tersebut menyebar, § jika α > 1, artinya pengusahaan komoditas i tersebut terkonsentrasi di daerah penelitian. Analisis koefisien spesialisasi (β ) merupakan ukuran relatif suatu daerah dalam melakukan pengkhususan untuk menanam komoditas tertentu dan dihitung berdasarkan formula (Warpani, 2000):
β = 1 2∑ {( pi pt ) − ( Pi Pt )}×100% Hasil perhitungan bernilai positif saja yang dijumlahkan searah dengan daerah yang diselidiki, dengan kriteria: § jika 0 < β < 1, artinya bahwa daerah penelitian tidak menspesialisasikan untuk menanam komoditas i, § jika β > 1, artinya bahwa daerah penelitian telah menspesialisasikan untuk menanam komoditas i.
18
Analisis kesesuaian lahan Tahapan dalam evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara, yaitu: 1. Masing-masing komponen karakteristik lahan (karakteristik fisik) dipetakan sehingga diperoleh peta tematik/layer untuk masing-masing karakteristik lahan, yaitu; lereng, curah hujan, dan tanah. 2. Selanjutnya peta tematik/layer yaitu; peta lereng, peta curah hujan, dan peta tanah dilakukan operasi tumpang tindih (overlay) untuk mendapatkan peta satuan lahan (land units)/SPT. 3. Langkah berikutnya adalah mencocokkan (matching) masing-masing satuan lahan (land units)/SPT pada peta satuan lahan dengan persyaratan/kriteria penggunaan lahan (land requirements) untuk mendapatkan peta kesesuaian lahan masing-masing jenis tanaman. Pekerjaan pada proses matching banyak dilakukan dalam data tabular. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan menggunakan kriteria FAO dalam ”Framework of Land Evaluation” (FAO, 1976) dan mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah (BPT, 2003) dengan beberapa penyesuaian. Kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kelas yaitu: Kelas S1
: Sangat Sesuai (Highly Suitable) Daerah ini tidak mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kelas S2
: Sesuai (Moderately Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas ini akan meningkatkan tingkatan perlakuan yang diperlukan.
Kelas S3
: Sesuai Bersyarat (Marginally Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan.
19
Kelas N
: Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan.
Kesesuaian lahan akan ditunjukkan oleh nilai komposit satuan layer yang dilakukan operasi tumpang tindih. Selanjutnya dari angka komposit hasil overlay, kita dapat melakukan penilaian kesesuaian lahan tiap-tiap satuan lahan dengan cara mencocokkan (matching) antara peta hasil overlay dengan faktor pembatasnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (lihat pada Lampiran). Pada tahap ini hasil yang diperoleh adalah peta kesesuaian lahan untuk masing-masing tanaman basis yang telah terpilih pada analisis sektor basis wilayah. Tahap berikutnya dilakukan operasi overlay antara peta kesesuaian lahan tiap-tiap satuan lahan untuk masing-masing tanaman dengan peta penggunaan lahan saat ini (existing landuse) sehingga akan diperoleh peta yang menunjukkan sebaran spasial kesesuaian lahan menurut karakteristik penggunaan lahan saat ini. Terakhir dilakukan overlay antara peta kesesuaian lahan menurut karakteristik penggunaan lahan saat ini dengan peta administrasi kecamatan pesisir. Melalui analisa data tabular pada peta hasil overlay tahap akhir ini dapat dilakukan pemilihan alternatif wilayah pengembangan usaha tani untuk komoditas terpilih. Keseluruhan pengolahan data keruangan (spasial) dalam analisis kesesuaian lahan tersebut di atas dilakukan dengan memanfaatkan SIG, yaitu dengan perangkat lunak ArcView versi 3.2. Analisis usaha tani Pendekatan yang digunakan untuk memperhitungkan usaha tani adalah berdasarkan kajian ekonomi yaitu melalui analisis finansial. Analisis finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pemanfaatan lahan untuk pertanian (dalam hal ini usaha tani komoditas basis terpilih) secara ekonomis layak atau tidak layak. Dengan pendekatan analisis finansial maka kriteria yang umum digunakan untuk menilai suatu usaha layak atau tidak layak adalah; (1) Benefit Cost Ratio (B/C ratio), (2) Internal Rate of Return (IRR), dan (3) Net Present Value (NPV). Benefit Cost Ratio, merupakan merupakan cara evaluasi usaha dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha. Hasil perhitungan B/C ratio ini akan memiliki dua kategori, yaitu jika Net B/C > 1 maka pengusahaan komoditas terpilih tersebut la-
20
yak, namun jika nilai Net B/C < 1 maka pengusahaan komoditas terpilih tersebut tidak layak. Rumus matematis B/C ratio adalah sebagai berikut:
B
C Ratio =
∑ (B − C )/ (1 + i ) n
t
t
t =1
t
B = manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha t
pada (tahun, bulan, minggu, dan sebagainya) ke-t (Rp.)
C
= biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha pada waktu ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) (Rp.) i = merupakan tingkat suku bunga (15%) t = periode (1,2,3,...,n) t
Internal Rate of Return, merupakan tingkat suku bunga dari unit usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat NPV dari unit usaha sama dengan 0 (nol). Kriteria dari perhitungan ini adalah, apabila IRR > discount rate maka maka pengusahaan komoditas terpilih layak, namun jika nilai IRR < discount rate maka pengusahaan komoditas terpilih tidak layak. Secara matematis IRR dapat ditulis sebagai berikut:
IRR = i + '
(i − i ) ( "
'
'
NPV NPV − NPV '
"
)
'
i = tingkat discount rate (DR) pada saat NPV positif i = tingkat discount rate pada saat NPV negatif "
NPV NPV
'
= nilai NPV positif
"
= nilai NPV negatif
Net Present Value, merupakan selisih antara nilai saat ini (present) dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Dari hasil perhitungan NPV ini akan diperoleh dua kriteria, yaitu usaha pertanian komoditas terpilih layak diusahakan jika NPV > 0, atau usaha pertanian komoditas terpilih tidak layak diusahakan jika NPV < 0. Formula matematis dari NPV dapat ditulis sebagai berikut:
21
n
NPV = ∑ t =1
(B − C )
(1 + i ) t
t
t
B = manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha t
pada (tahun, bulan, minggu, dan sebagainya) ke-t (Rp.) = biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha t pada waktu ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) (Rp.) i = merupakan tingkat suku bunga (15%) t = periode (1,2,3,...,n)
C
Analisis perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir Analisis yang digunakan membuat alternatif penggunaan lahan untuk pertanian di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo adalah dengan menggabungkan hasil analisis; identifikasi karakteristik fisik, ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan lahan, sektor basis wilayah, kesesuaian lahan, dan finansial usaha tani di daerah penelitian. Hasil akhir dari seluruh rangkaian analisis tersebut di atas berupa peta perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir untuk pertanian. Untuk lebih meyakinkan hasil perencanaan ruang yang telah dibuat maka perlu dilakukan ground check secara acak terhadap daerah-daerah yang terpilih, sehingga hasil perencanaan tersebut sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Geografis Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat, dengan posisi geografis pada 110o1’37”-110o16’26” Bujur Timur dan 7o38’42”-7o 59’3” Lintang Selatan (Gambar 3). Secara administrasi maka batas wilayahnya adalah: - Sebelah barat
: Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah
- Sebelah timur
: Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi DI Yogyakarta
- Sebelah utara
: Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah
- Sebelah selatan
: Samudera Hindia.
Kabupaten Kulon Progo yang beribukota Wates memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 586,28 km 2 terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedukuhan. Berdasarkan karakteristik topografinya maka wilayah ini dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: - Bagian utara
: merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500-1.000 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan; Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap.
- Bagian tengah
: merupakan daerah punggung perbukitan dengan ketinggian antara 100-500 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan; Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah.
- Bagian selatan
: merupakan dataran rendah dengan ketinggian sampai dengan 100 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan; Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah.
Daerah penelitian termasuk dalam kategori bagian selatan secara administratif meliputi 4 kecamatan, 41 desa, dan 339 pedukuhan. Adapun luas wilayah, jumlah desa dan dukuh yang ada di daerah penelitian secara rinci disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
23
Tabel 1 Luas wilayah, jumlah desa dan dukuh di daerah penelitian. No.
Kecamatan
Luas (ha)
Jumlah desa
Jumlah dukuh
1.
Temon
3.629,09
15
96
2.
Wates
3.200,24
8
68
3.
Panjatan
4.459,23
11
100
4.
Galur
3.291,23
7
75
Total
14.579,79
41
339
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
390 000
400 000
410000
420000
KABUPATEN MAGELANG
91500 00
915 0000
PETA DAERAH PENELITIAN
N
2
KABUPATEN PURWOREJO
0
2 km
LEGENDA
9140000
9 140000
KABUPATEN SLEMAN batas kecamatan
KABUPATEN KULON PROGO
Kecamatan:
batas kabupaten
Temon
batas propinsi
Wates
batas pantai
Panjatan
91 30000
9 13000 0
Galur
Sumber data: Bappeda Kab. KulonP rogo
GA M BAR SITUA SI
LAU T J AW A
912 000 0
KABUPATEN BANTUL
HIN DIA
91 200 00
SA MU DE RA
JAWA TENGAH Daer ah Penelitian N
DI YO GYAKARTA
390 000
400 000
410000
420000
SAMUDERA HIND IA
Gambar 3 Daerah penelitian.
Iklim Daerah penelitian memiliki iklim tropis dengan temperatur rata-rata bulanan antara 25,2o - 27,8 o C, dengan suhu maksimum mencapai 31,5 o C sedangkan suhu minimum dapat mencapai 22,8 o C. Kelembaban udara di daerah penelitian berkisar antara 81% hingga 86%. Data curah hujan yang dikumpulkan dari stasiun pengamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur memperlihatkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari sedangkan curah hujan terendah antara bulan Agustus hingga September setiap tahunnya. Tabel 2 menunjukkan secara rinci rata-rata curah hujan bulanan di masing-ma-
24
sing kecamatan yang ada di daerah penelitian selama periode tahun 1994 hingga 2004.
Bulan
Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan menurut kecamatan di daerah penelitian periode tahun 1994-2004. Kecamatan Temon
Wates
Panjatan
Galur
Januari
333
398
164
372
Pebruari
344
402
173
372
Maret
201
239
125
312
April
167
113
83
153
Mei
54
41
27
52
Juni
66
46
13
35
Juli
33
12
8
21
8
16
2
6
22
4
2
14
Oktober
168
92
93
113
Nopember
368
662
122
290
Desember
341
684
148
421
2.104
2.711
960
2.161
Agustus September
Jumlah
Sumber data: Dinas Pertanian dan Kelautan Kab. Kulon Progo
Secara umum , dari Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa; (1) Bulan Basah (yaitu curah hujan > 200 mm/bulan) terjadi pada bulan Nopember, Desember, Januari, Pebruari, dan Maret, (2) Bulan Lembab (yaitu curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan) terjadi pada bulan April, dan Oktober, dan (3) Bulan Kering (yaitu curah hujan < 100 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September. Sedangkan menurut rata-rata curah hujan tahunan dikategorikan sedang dengan curah hujan antara 2.000 hingga 2.500 mm/tahun (Gambar 4). Berdasarkan klasifikasi Oldeman (1979) daerah penelitian masuk ke dalam zona agroklimat C2 (5 bulan basah dan 5 bulan kering). Dengan kondisi ini, khususnya pada lahan sawah di daerah penelitian dapat dilakukan usaha tani dengan 2 kali periode tanam, yaitu 1 kali penanaman padi dan 1 kali penanaman palawija atau masing-masing satu kali penanaman padi atau jagung dan palawija. Secara umum ketersediaan air untuk pertanian tidak menjadi kendala bagi para petani, karena di daerah penelitian terdapat jaringan irigasi yang cukup baik dan sumur dengan kedalaman air tanah cukup dangkal.
25
(Gambar 4_peta curah hujan)
26
Hidrologi Kondisi topografi, geologi dan geomorfologi wilayah secara bersama-sama akan membentuk pola-pola aliran sungai yang ada di wilayah tersebut. Pola drainase di bagian hulu termasuk tipe dendritik dan bagian hilirnya berpola paralel. Daerah penelitian dilalui oleh tiga sungai yang relatif besar yaitu; (1) Kali Progo dengan lebar + 50 meter memiliki debit air normal 34 m3/detik terletak pada bagian timur daerah penelitian sekaligus menjadi batas administrasi antara Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (2) Kali Serang dengan lebar + 20 meter mempunyai debit air normal 12 m 3/detik melewati bagian tengah daerah penelitian, dan (3) Kali Bogowonto mempunyai lebar + 25 meter dengan debit air normal 15 m3/detik terletak di bagian barat daerah penelitian yang sekaligus berbatasan dengan Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, dan beberapa sungai kecil (sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5). Sebelum dibangun Waduk Sermo yang terletak di Kecamatan Kokap, daerah penelitian terutama sebagian besar wilayah Kecamatan Temon sering mengalami banjir apabila musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Saat ini, bencana banjir dan kekeringan dapat diatasi dengan perbaikan jaringan irigasi yaitu pembangunan saluran irigasi Sapon yang melintasi empat kecamatan di daerah penelitian. Hingga saat ini saluran irigasi Sapon merupakan satusatunya sarana irigasi terbesar yang ada di daerah penelitian dengan fungsi utama sebagai pendistribusi air untuk irigasi areal-areal pertanian yang ada di wilayah ini. Sebagian besar penduduk, terutama yang tinggal di desa-desa pesisir dimana saluran irigasi tidak dapat menjangkau wilayah mereka, selain memanfaatkan air sungai juga memanfaatkan air tanah dengan cara membuat sumur bor untuk keperluan irigasi. Kedalaman air tanah di daerah penelitian berkisar antara 1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas cukup baik. Santosa (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sepanjang kepesisiran Kabupaten Kulon Progo mengandung air tanah tawar termasuk pada sepanjang satuan gumuk pasir hingga kedalaman + 40 meter dari permukaan tanah. Air tanah payau ditemukan pada sebagian kecil wilayah, yaitu di bagian sebelah barat daerah penelitian mendekati Kali Bogowonto. Selanjutnya Santoso (2004) menyatakan sepanjang pantai Kulon Progo dan wilayah kepesisirannya belum terjadi intrusi air laut melalui akuifer.
27
( Gambar 5_peta sungai)
28
Topografi Secara umum karakteristik lereng daerah penelitian sebagian besar relatif datar, yaitu lebih dari 90% wilayah memiliki lereng kurang dari 8% sedangkan sisanya dengan lereng 9 hingga 16%. Secara spasial dapat dikatakan bahwa, Kecamatan Galur seluruh wilayahnya memiliki lereng < 3%, Kecamatan Panjatan dengan lereng < 3-5%, Kecamatan Wates lereng tertinggi 6-8%, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Temon dengan lereng 9-16%. Gambar 6 menunjukkan kondisi kelerengan daerah penelitian. Tanah Secara garis besar di daerah penelitian terdapat 5 ordo tanah, yaitu; Entisol, Inceptisol, Alfisol, Mollisols, dan Vertisol (BPPT, 2003). Tanah-tanah ordo Inceptisol, Vertisol, dan Mollisols, di daerah penelitian umumnya bertekstur berat (liat). Sedangkan ordo Entisol memiliki tekstur pasir lebih dari 90%. Ordo Entisol terdapat dua sub group yaitu; Typic Tropopsamments dan Typic Udipsamments. Ordo Inceptisol terdapat tiga sub group yaitu; Aeric Halaquepts, Typic Endoaquepts, dan Typic Eutrudepts. Ordo Alfisol memiliki satu sub group yaitu Typic Endoaqualfs. Ordo Mollisols dengan dua sub group yaitu; Pachic Argiudolls dan Typic Argiudolls. Sedangkan ordo Vertisol mempunyai dua sub group yaitu; Leptic Hapluderts/Chromuderts dan Typic Haplusterts. Jika dilihat persebaran jenis tanah menurut wilayah maka untuk Kecamatan Temon didominasi tanah dengan sub group Typic Endoaqualfs. Sub ordo Pachic Argiudolls dominan terdapat di Kecamatan Wates, sedangkan sub group Typic Endoaquepts dominan terdapat di Kecamatan Panjatan dan Kecamatan Galur. Gambar 8 memperlihatkan sebaran spasial jenis tanah hingga tingkat sub grup yang ada di daerah penelitian. Pada tanah-tanah ordo Alfisol, Mollisols dan Vertisol kandungan mineral liatnya didominasi oleh mineral liat tipe 2:1 dengan kandungan KTK liat lebih dari 60 me/100 g liat. Untuk tanah ordo Inceptisol dan Entisol di daerah penelitian didominasi oleh mineral liat campuran. Jika dikaitkan dengan batuan pembentuknya maka sebagian besar daerah penelitian merupakan campuran batu pasir dan batu gamping yang dikenal dengan formasi Sentolo, sebagian wilayah Kecamatan Galur berbahan induk endapan liat dan tufa napalan, dan bahan induk aluvium terdapat di sebagian kecil wilayah Kecamatan Temon. Tabel 3 menunjukkan jenis dan sifat tanah serta luas masing-masing jenis tanah yang ada di daerah penelitian.
29
(Gambar 6_peta lereng)
30
(Gambar 7_peta tanah)
31
(Tabel 3_jenis dan sifat tanah)
32
Tabel 3 di muka memperlihatkan bahwa di daerah penelitian 46,0% wilayahnya dengan jenis tanah ordo Inceptisol (meliputi sub group; Typic Endoaquepts sebesar 32,8%, Typic Eutrudepts sebanyak 11,1%, dan Aeric Halaquepts sebesar 2,1%). Sarwono (2002) menyatakan jenis tanah ini merupakan tanah muda, namun lebih berkembang dibandingkan ordo Entisol. Umumnya jenis tanah Inceptisol memiliki horison kambik (yaitu horison bawah yang telah terbentuk struktur tanah atau warna sudah lebih merah daripada bahan induk). Karena tanah belum berkembang lanjut, kebanyakan tanah ini cukup subur. Selanjutnya ordo Entisol sebesar 19,7% yang meliputi sub group; Typic Tropopsamments sebesar 18,9% dan Typic Udipsamments sebanyak 0,8%. Tanah ordo Entisol merupakan tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik atau histik apabila tanah sangat lembek. Tanah ini dahulu disebut tanah Aluvial atau Regosol. Karena masih dalam taraf permulaan perkembangan maka tanah Entisol relatif kurang subur dibandingkan tanah Inceptisol. Ordo Alfisol ditemukan pada sub group Typic Endoaqualfs sebesar 14,5%. Tanah ordo Alfisol dicirikan terdapat penimbunan liat di horison bawah dan mempunyai kejenuhan basa (berdasar jumlah kation) tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya di daerah penelitian, tanah ordo Mollisols sebesar 11,2% yang meliputi sub group; Pachic Argiudolls sebanyak 7,0% dan Typic Argiudolls sebanyak 4,2% sedangkan ordo Vertisol sebesar 8,6% dengan sub group; Leptic Hapluderts/Chromuderts sebesar 6,2% dan Typic Haplusterts sebesar 2,4%. Jadi secara umum daerah penelitian memiliki tingkat kesuburan yang relatif tinggi dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol. Dengan kondisi ini maka berbagai jenis tanaman baik padi, palawija, hortikultura, dan buah-buahan memungkinkan tumbuh baik di daerah penelitian. Satuan lahan Satuan lahan merupakan lahan yang memiliki karakteristik fisik yang seragam yang digunakan sebagai unit analisis. Satuan lahan diperoleh dengan cara melakukan overlay antara peta lereng, peta curah hujan dan peta tanah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 20 satuan lahan (lihat Gambar 8). Deskripsi masing-masing satuan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 4.
33
(Gambar 8_satuan lahan)
34
Satuan lahan 1
Tabel 4 Satuan lahan di daerah penelitian. Kelas Curah hujan Nama tanah lereng (%) (mm/thn) Aeric Halaquepts <3 2.000-2.500
Luas (ha) 303,3
% 2,1
2
Typic Tropopsamments
<3
2.000-2.500
2.713,9
18,9
3
Typic Endoaquepts
<3
2.000-2.500
4.452,7
31,1
4
Typic Endoaqualfs
<3
2.000-2.500
140,6
1,0
5
Typic Endoaqualfs
<3
2.000-2.500
1.337,2
9,3
6
Typic Endoaqualfs
<3
2.500-3.000
338,3
2,4
7
Leptic Hapluderts/Chromuderts
<3
2.000-2.500
610,9
4,3
8
Typic Endoaqualfs
6-8
2.500-3.000
90,7
0,6
9
Typic Endoaqualfs
9-16
2.500-3.000
168,0
1,2
10
Pachic Argiudolls
<3
2.000-2.500
831,8
5,8
11
Typic Eutrudepts
<3
2.000-2.500
876,3
6,1
12
Typic Eutrudepts
3-5
2.000-2.500
241,6
1,7
13
Pachic Argiudolls
6-8
2.500-3.000
177,6
1,2
14
Typic Eutrudepts
<3
1.500-2.000
468,2
3,3
15
Leptic Hapluderts/Chromuderts
<3
1.500-2.000
280,7
2,0
16
Typic Endoaquepts
<3
1.500-2.000
101,9
0,7
17
Typic Haplusterts
<3
2.000-2.500
341,9
2,4
18
Typic Endoaquepts
<3
2.000-2.500
153,7
1,1
19
Typic Argiudolls
<3
2.000-2.500
603,7
4,2
20
Typic Udipsamments
<3
2.000-2.500
104,2
0,7
14.337,2
100,0
Jumlah Sumber: Hasil Analisis, 2006
Perekonomian Wilayah Struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kulon Progo utamanya bertumpu pada sektor pertanian, hal ini mengingat sebagian besar penduduknya masih mengandalkan mata pencaharian pokok dari bercocok tanam di areal pertanian yang ada. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo menunjukkan dari total 103.271 rumah tangga, sebanyak 78,13% (80.685 rumah tangga) merupakan rumah tangga pertanian dengan nilai PDRB sebesar Rp. 388.269.000,00 dan 21,87% (22.586 rumah tangga) merupakan rumah tangga nonpertanian. Selanjutnya dari total PDRB Kabupaten Kulon Progo tahun 2004 sebesar Rp. 1.399.243.000,00 (atas dasar harga konstan tahun 2000) sebanyak; 27,75% berasal dari sektor pertanian, 17,97% dari sektor jasa, 16,23% dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, 16,02% dari industri pengolahan, 10,03% dari sektor
35
angkutan dan komunikasi, serta sisanya dari sektor keuangan, bangunan/konstruksi, pertambangan dan penggalian, dan listrik, gas dan air bersih. Nilai PDRB per kapita pada tahun yang sama adalah sebesar Rp. 3.722.539,00 (BPS, 2004). Jika dilihat perkembangan persentase PDRB dari tahun 2002-2004 (atas dasar harga konstan tahun 2000) untuk lapangan usaha pertanian menunjukkan tren yang cenderung menurun, yaitu; 28,28% di tahun 2002, turun menjadi 27,96% di tahun 2003, dan menjadi 27,75% di tahun 2004. Penurunan persentase PDRB ternyata diimbangi dengan kenaikan di sektor lapangan usaha; angkutan dan komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, walaupun kenaikannya relatif kecil. Walaupun terjadi tren penurunan sumbangan PDRB dari lapangan usaha pertanian, namun secara keseluruhan untuk tiap-tiap tahun tersebut sumbangan PDRB sektor pertanian tetap paling tinggi dibandingkan sektor lainnya. Dengan demikian peranan sektor pertanian dalam struktur PDRB Kabupaten Kulon Progo masih dominan dan mempunyai peluang untuk ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Perkembangan perekonomian wilayah tentu tidak terlepas dari kemajuan di bidang infrastruktur, baik; jalan, perbankan atau jasa keuangan, pos dan telekomunikasi. Secara lokasi, wilayah kecamatan pesisir Kulon Progo mempunyai letak yang strategis. Wilayah ini dilalui jalan negara yang menghubungkan Yogyakarta ke Jakarta atau Bandung dengan melewati jalur selatan Jawa. Informasi yang diperoleh dari instansi terkait menyebutkan bahwa secara bertahap dengan kegiatan awal pada tahun 2004 berupa pendataan kepemilikan tanah, maka jalan Daendels yang statusnya merupakan jalan propinsi akan ditingkatkan statusnya menjadi jalan nasional. Dengan adanya rencana pembangunan jalur jalan lintas selatan Jawa ini, memungkinkan lebih terbukanya aksesibilitas dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian di wilayah pesisir Kulon Progo. Adapun pola jaringan jalan di daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 9. Di sektor perbankan atau jasa keuangan (termasuk didalamnya koperasi) maka terdapat kurang lebih 13 lembaga perbankan, 12 lembaga KUD, 210 lembaga non KUD. Peranan lembaga perbankan atau jasa keuangan cukup penting karena menjadi salah satu sarana bagi petani untuk mendapatkan modal atau menyimpan dananya. Yang cukup menarik, keberadaan lembaga non KUD dimana jumlahnya cenderung meningkat, yaitu dari sebanyak 184 lembaga di tahun 2000 menjadi 210 lembaga di tahun 2004. Ini berarti lembaga non KUD telah menggeser peran KUD dalam penyediaan jasa keuangan di daerah penelitian.
36
( Gambar 9_peta jalan )
37
Sosial dan Budaya Kependudukan Jumlah penduduk di kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2004 sebesar 152.287 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 73.893 jiwa dan perempuan 78.394 jiwa, dengan rasio jenis kelamin 94 dan jumlah rumah tangga 32.244 kepala keluarga. Keadaan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, rasio jenis kelamin, dan rumah tangga di masing-masing kecamatan pesisir secara lengkap disajikan pada tabel 5 berikut:
Kecamatan 1. Temon 2. Wates
Tabel 5 Banyaknya rumah tangga dan penduduk di daerah penelitian tahun 2004. Rumah Penduduk Sex Tangga Ratio Laki-laki Perempuan 6.756 15.308 16.311 94
Jumlah Penduduk 31.619
10.173
23.434
24.742
95
48.176
3. Panjatan
8.139
19.337
20.540
94
39.877
4. Galur
7.176
15.814
16.801
94
32.615
32.244
73.893
78.394
94
152.287
Jumlah
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
Apabila dikaitkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah masingmasing kecamatan (sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 di muka) maka wilayah dengan kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Wates yaitu 1.505 jiwa/km 2 dan terendah Kecamatan Temon sebesar 871 jiwa/km 2, sedangkan secara total wilayah kecamatan pesisir mempunyai kepadatan penduduk 1.044 jiwa/km 2. Kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan Wates dikarenakan pada wilayah ini pusat pemerintahan Kabupaten Kulon Progo berlokasi yaitu tepatnya di Desa Wates. Berdasarkan pengamatan di lapangan tampak bahwa distribusi penduduk di wilayah pesisir pada umumnya membentuk pola linear terkonsentrasi di sepanjang jalan arteri primer. Khusus di Desa Wates permukiman membentuk pola radial dengan zona inti (core) adalah pusat pemerintahan kabupaten sedangkan permukiman atau gedung lainnya melingkar di wilayah pinggiran (pheripheri), sebagaimana umumnya yang terjadi pada kota-kota lain yang memiliki topografi wilayah relatif datar. Peranan strategis sektor pertanian sebagai ”prime mover” dalam pengembangan wilayah kecamatan pesisir khususnya dan kabupaten pada umumnya, selain kontribusinya terhadap PDRB wilayah, juga dapat dilihat dari keterlibatan penduduk dalam sektor ini. Data yang diperoleh dari instansi terkait menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai ”petani atau buruh tani” yaitu; di Keca-
38
matan Temon sebanyak 34,06%, Kecamatan Wates sebesar 23,35%, Kecamatan Panjatan sebanyak 34,33%, dan di Kecamatan Galur sebesar 17,72%. Secara rinci banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai petani atau buruh tani di masing-masing kecamatan pesisir ditunjukkan pada Tabel 6 di bawah ini: Tabel 6 Banyaknya kelompok tani, anggota kelompok tani dan petani/buruh tani di daerah penelitian tahun 2004. Anggota Kecamatan Kelompok Tani Petani/Buruh Tani Kelompok Tani 1. Temon 76 3.038 10.770 2. Wates
50
5.517
11.250
3. Panjatan
62
4.529
13.689
4. Galur
51
4.126
5.778
239
17.210
41.487
Jumlah
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
Masyarakat kecamatan pesisir Kabupaten Kulon Progo pada umumnya memeluk agama Islam. Pada tahun 2004 komposisi penduduk menurut agama di daerah penelitian menunjukkan bahwa dari sejumlah 152.864 jiwa, sebanyak 97,30% memeluk agama Islam, 1,8% beragama Protestan, 0,9% memeluk agama Katolik, dan sisanya beragama Hindu dan Budha. Kehidupan keagamaan yang menyatu dengan aktifitas penduduk di wilayah ini tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Secara keseluruhan di wilayah kecamatan pesisir terdapat 620 masjid/mushola/langgar, 9 gereja/rumah kebaktian, dan ditunjang dengan keberadaan berbagai perkumpulan majelis taklim serta Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Kesemarakan kehidupan keagamaan yang mewarnai dinamika kehidupan penduduknya ternyata tidak mengurangi rasa kebersamaan antar pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat dan pembangunan wilayah, terbukti bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antar pemeluk agama. Pendidikan Tingkat kesadaran masyarakat di wilayah ini akan arti pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi, hal ini tampak pada ketersediaan sarana dan prasarana yang ada. Secara keseluruhan di wilayah ini terdapat 122 sekolah TK, 125 jenjang Sekolah Dasar (SD), 20 sekolah jenjang SMP, 8 sekolah jenjang SMA, dan 2 sekolah jenjang Perguruan Tinggi. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah dimana salah satu programnya adalah peningkatan dan pengembangan pembangunan sektor kelautan, maka di wilayah Kecamatan Temon sejak tahun 2003 telah dibuka Sekolah Menengah Atas Kejuruan Negeri Minat Kelautan de-
39
ngan tujuan pokok menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan. Selain itu di Kecamatan Wates terdapat dua perguruan tinggi yaitu; Universitas Negeri Yogyakarta Cabang Wates dan IKIP PGRI. Kedua perguruan tinggi tersebut tidak hanya menarik minat warga masyarakat Kabupaten Kulon Progo, tetapi juga mampu menyerap mahasiswa yang berasal dari kabupaten lainnya seperti dari Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di wilayah kecamatan pesisir secara lengkap ditunjukkan pada tabel 7 di bawah ini:
1. Temon
Tabel 7 Banyaknya sarana pendidikan di daerah penelitian tahun 2004. Sarana Jenjang Pendidikan TK SD SMP SMA 25 27 3 1
2. Wates
33
41
9
5
2
3. Panjatan
25
29
4
-
-
4. Galur
39
28
4
2
-
122
125
20
8
2
Kecamatan
Jumlah
PT -
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
Kesehatan Disamping akses terhadap pendidikan, kemajuan suatu wilayah juga sangat dipengaruhi oleh akses masyarakat terhadap sarana dan prasarana kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan (baik dalam arti jarak maupun biaya) atas sarana dan prasarana kesehatan berpengaruh signifikan terhadap derajat kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Derajat kesehatan masyarakat yang tinggi mencerminkan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi pula, sehingga ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan di suatu wilayah memiliki peranan penting untuk menggambarkan kemajuan wilayah tersebut. Di daerah penelitian, ketersediaan dan keterjangkauan sarana dan prasarana kesehatan oleh masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan 6 rumah sakit, 6 unit Puskesmas, 21 unit Puskesmas Pembantu (Pustu), 62 tenaga dokter, dan 292 tenaga paramedis. Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakatnya tampak dari usaha terus-menerus untuk meningkatkan status Rumah Sakit Umum Daerah Wates dari rumah sakit tipe C menjadi tipe B. Demikian pula halnya pada pelayanan kesehatan di tingkat lini, yakni melalui upaya peningkatan dana dan peralatan bagi Puskesmas -Puskesmas
40
yang ada agar mampu melayani masyarakat dengan menjadikannya sebagai Puskesmas Rawat Inap. Di sektor swasta, kemajuan pelayanan bidang kesehatan juga semakin tampak hasilnya. Terbukti, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, telah berdiri beberapa rumah sakit (umumnya rumah sakit ibu dan anak tipe kecil) yaitu; 1 rumah sakit di Kecamatan Temon, 2 rumah sakit di Kecamatan Wates, dan 1 rumah sakit di Kecamatan Panjatan. Data selengkapnya ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang ada di daerah penelitian ditunjukkan pada tabel 8 di bawah ini:
Kecamatan 1. Temon
Tabel 8 Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di daerah penelitian tahun 2004. Sarana dan Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Puskesmas Pustu Dokter 1 2 4 10
Paramedis 47
2. Wates
4
1
6
41
178
3. Panjatan
1
1
7
3
27
4. Galur
-
2
4
8
40
6
6
21
62
292
Jumlah
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
Kebudayaan Nilai-nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat sangat mem pengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari mereka. Demikian juga halnya di daerah penelitian. Sebagian besar penduduk, yakni lebih dari 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga yang tinggal di wilayah pesisir Kulon Progo, berprofesi sebagai petani atau buruh tani sedangkan yang berprofesi sebagai nelayan jumlahnya relatif kecil. Sebagian besar nelayan yang berdomisili di wilayah ini adalah para nelayan perantau, umumnya berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Sehingga, walaupun wilayah daerah penelitian berbatasan langsung dengan Samudera Hindia namun budaya melaut merupakan budaya asing terutama bagi sebagian besar penduduk asli. Namun demikian, bukan berarti para petani atau buruh tani di wilayah pesisir Kulon Progo adalah petani atau buruh tani yang memiliki sifat lemah dan tidak kreatif. Keterbatasan kesuburan tanah dan kondisi iklim lingkungan pesisir justeru mendorong para petani dan buruh tani menjadi pribadi yang ulet dan penuh kreatifitas. Dinamisasi kehidupan para petani, buruh tani, dan nelayan serta masyarakat lainnya di wilayah pesisir tercermin dari berkembangnya perkumpulan seni tari tradisional yang memiliki bobot gerak dinamis tinggi, seperti;
41
jatilan sebanyak 42 perkumpulan, reog sebanyak 4 perkumpulan, dan angguk sebanyak 3 perkumpulan. Selain perkumpulan seni tari, di daerah penelitian juga berkembang perkumpulan seni musik. Jenis seni musik yang banyak diminati oleh penduduk di wilayah ini antara lain adalah; qasidah, campursari, karawitan, dan keroncong. Seni musik lainnya walaupun jumlahnya relatif sedikit namun tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat pesisir Kulon Progo. Adapun jumlah perkumpulan seni musik menurut kecamatan di wilayah pesisir Kulon Progo secara rinci ditunjukkan pada tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Banyaknya perkumpulan seni musik di daerah penelitian tahun 2004. Kecamatan
Jenis Perkumpulan Seni Musik QosiOrkes Musik Band dah Melayu Bambu
Karawitan
Keroncong
Paduan Suara
Campur Sari
1. Temon
8
2
32
2
1
1
1
5
2. Wates
10
2
32
3
2
-
-
11
3. Panjatan
5
6
48
-
1
-
-
5
4. Galur
4
2
32
1
1
-
-
9
Sumber data: BPS Kabupaten Kulon Progo
Pasar sebagai wujud budaya masyarakat juga tersedia di daerah penelitian. Hingga tahun 2004 di wilayah ini terdapat; kurang lebih 14 pasar umum, 6 unit tempat pelelangan ikan (TPI), 2 pasar hewan, dan 1 pasar unggas/burung. Keberadaan pasar dan TPI telah mampu menghidupkan roda perekonomian wilayah. Selain berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan kebutuhan seharihari, keberadaan pasar dan TPI juga dimanfaatkan penduduk sebagai tempat menjual hasil pertanian dan perikanan. Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan menunjukkan bagaimana suatu lahan digunakan oleh manusia yang tinggal di atasnya, atau dengan kata lain bagaimanakah lahan digunakan oleh manusia untuk berbagai aktifitas kehidupannya. Penggunaan lahan umum (major kinds of landuse) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Berdasarkan pengertian penggunaan lahan secara umum tersebut, di daerah penelitian terdapat beberapa jenis penggunaan lahan saat ini (existing landuse) yaitu; pasir pantai, air tawar, belukar, gedung, kebun, pemukiman, rumput, sawah, dan tanah ladang (lihat Tabel 10).
42
Penggunaan Lahan
Tabel 10 Luas masing-masing jenis penggunaan lahan menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2004. Galur Panjatan Temon
0,03
Luas (ha) 0,0
0,00
Luas (ha) 0,4
29,1
0,90
4,4
0,10
- Belukar
0,0
0,00
4,4
- Gedung
0,3
0,01
1.234,4
- Pemukiman - Rumput
- Pasir pantai - Air tawar
- Kebun
- Sawah - Tanah ladang Jumlah
Luas (ha) 1,0
Wates
0,01
Luas (ha) 0,0
0,00
50,0
1,40
41,2
1,31
0,10
20,7
0,58
0,0
0,00
42,5
0,97
1,1
0,03
2,5
0,08
38,14
2.432,4
55,47
1.085,6
30,42
1.147,1
36,45
138,9
4,29
81,1
1,85
247,0
6,92
418,6
13,30
173,3
5,35
186,8
4,26
301,2
8,44
167,7
5,33
1.383,3
42,74
364,0
8,30
1.109,9
31,10
262,8
8,35
276,2
8,53
1.269,5
28,95
753,0
21,10
1.107,1
35,18
3.236,5
100
4.385
100
3.568,7
100
3.147
100
%
%
%
%
Sumber data: - BAPPEDA Kabupaten Kulon Progo - South Java Flood Control Sector Project (SJFCSP) Yogyakarta
Data diatas memperlihatkan bahwa, secara umum jenis penggunaan lahan; kebun, tanah ladang, dan sawah, merupakan penggunaan lahan yang dominan di 4 kecamatan, kecuali di Kecamatan Wates dimana penggunaan lahan pemukiman lebih besar angkanya dibandingkan penggunaan lahan sawah. Keberadaan ibukota Kabupaten Kulon Progo di Kecamatan Wates kemungkinan besar telah mengkonversi lahan-lahan sawah yang ada menjadi pemukiman sebagai dampak pemusatan penduduk di wilayah ini. Konversi lahan sawah menjadi pemukiman atau industri merupakan fenomena umum yang terjadi pada wilayah “urban fringe” atau wilayah-wilayah pinggiran dari perkembangan suatu kota atau pusat aktifitas. Namun, hal ini harus ada pembatasan agar ketahanan pangan wilayah tetap dapat dipertahankan karena sawah merupakan lahan utama penghasil beras. Yeh dan Li (1999) menyebut pembatasan ini sebagai model pembangunan berkelanjutan yaitu sebuah arahan dan pola perkembangan kota ke depan yang dibutuhkan untuk pengembangannya sekaligus meminimalisir berkurangnya lahan pertanian dalam kegiatan pengembangan kota itu sendiri. Luas penggunaan lahan sawah tertinggi di Kecamatan Galur, diikuti Kecamatan Temon, Kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Wates. Kecamatan Galur merupakan salahsatu wilayah lumbung beras utama bagi Kabupaten Kulon Progo. Untuk jenis penggunaan lahan kebun luas terbesar di Kecamatan Panjatan selanjutnya kecamatan; Galur, Wates, dan Temon. Gambar 10 menunjukkan sebaran spasial jenis penggunaan lahan di daerah penelitian.
43
(Gambar 10_peta landuse)
44
Lahan sawah selain digunakan untuk usaha tani komoditas padi atau palawija, kadangkala juga ditanami dengan komoditas; cabai merah, melon, atau semangka. Khususnya komoditas cabai merah, dalam kurun enam tahun terakhir pengusahaannya mulai berkembang dari semula hanya pada lahan sawah berkembang ke lahan existing landuse rumput. Sebagian besar lahan existing landuse rumput ini adalah lahan dengan kondisi tanah dominan tekstur pasir yaitu ordo Entisol khususnya sub ordo Psamments . Sebanyak 10 responden dari sebanyak 15 petani yang berhasil diwawancarai menyatakan bahwa, komoditas utama yang ditanam di lahan dengan jenis tanah Entisol ini adalah cabai merah. Pada awalnya para petani pesimistis terhadap keberhasilan usaha tani di lahan dengan jenis tanah yang dominan tekstur pasir. Lambat laun rasa pesimis tersebut terhapus setelah tiga tahun berikutnya tanaman cabai merah tumbuh subur (sebagaimana tampak pada Gambar 11 dan 12 di bawah ini).
Gambar 11 Tanaman cabai merah tumbuh subur di tanah Entisol (latar belakang sanddune).
Gambar 12 Hamparan tanaman Cabai merah di lahan semula existing landuse rumput.
Keberhasilan petani dalam usaha tani di tanah yang tergolong ’marginal’ ini sebanding dengan kerja keras yang dilakukannya. Untuk mengatasi tingkat kesuburan tanah yang rendah, para petani menambahkan pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing atau sapi. Pemberian mulsa atau jerami diatas tanah yang akan digunakan bercocok tanam dimaksudkan untuk mengatasi sifat tekstur pasir yang cepat melalukan air, yang merupakan sifat pembatas dari jenis tanah ini. Kendala alam yang lain, selain tingkat kesuburan tanah dan kecepatan drainase, terutama bagi petani yang mengusahakan di lahan mendekati garis pantai adalah kecepatan angin laut yang cukup tinggi. Terhadap kendala ini, umumnya petani di daerah penelitian memanfaatkan daun-daun pohon kelapa
45
yang banyak tumbuh di wilayah ini sebagai pagar mengelilingi lahan pertaniannya agar dapat menahan laju kecepatan angin. Ketersediaan air untuk irigasi tidak menjadi kendala dalam usaha tani. Petani menggunakan pompa diesel untuk memompa air tanah. Bagi petani yang bermodal kecil, air yang telah dipompa selanjutnya disalurkan pada
bak-bak
penampung yang terbuat dari beton berdiameter 60 cm, dimana satu bak dengan bak lainnya dihubungkan dengan pipa paralon berdiameter 3 inchi. Masyarakat di daerah penelitian menyebutnya dengan istilah ”sumur renteng”. Biaya pembuatan ”sumur renteng” beserta pompa dieselnya rata-rata sebesar Rp. 1.500.000,00 lebih rendah dibandingkan metode pembuatan saluran paralon tanpa bak-bak penampung air yang dapat mencapai Rp. 2.500.000,00. Penyiraman tanaman dilakukan sekali dalam sehari yaitu antara pukul 08.00 hingga 10.00 pagi. Pekerjaan penyiraman umumnya dilakukan oleh laki-laki sedangkan kaum perempuan melakukan penyiangan rumput atau memetik buah yang telah siap panen.
Gambar 13 ”Sumur renteng” di sela-sela tanaman cabai merah.
Gambar 14 Penyiraman langsung dari pipa paralon.
Gambar 15 Mesin diesel kapasitas 2 PK untuk memompa air tanah.
Gambar 16 Pekerja perempuan melakukan penyiangan rumput.
Bibit tanaman, baik untuk komoditas; cabai merah, melon, atau semangka dibeli petani dari toko bibit yang tersebar di kota Wates. Untuk komoditas cabai
46
merah terdapat dua jenis bibit yang umum ditanam oleh para petani, yaitu; Lado dan Helix. Kedua jenis bibit cabai merah mempunyai keunggulan dan kelemahan berbeda. Menurut petani setempat, bibit jenis Helix lebih tahan terhadap jamur pada awal masa pertumbuhan tanaman. Sedangkan bibit jenis Lado memiliki keunggulan pada hasil panen lebih banyak dibandingkan Helix. Begitu juga halnya untuk komoditas melon atau semangka, terdapat dua jenis bibit yang sangat dikenal petani di daerah penelitian yaitu merek Tanindo dan Kapal Terbang. Secara umum harga bibit komoditas melon lebih mahal dibandingkan komoditas semangka, yaitu; Rp. 85.000,00/bungkus untuk melon sedangkan semangka Rp. 80.000,00/bungkus. Komoditas melon dan semangka lebih banyak ditanam di lahan sawah atau tanah ladang. Hal ini tidak lepas dari kemampuan kedua komoditas tersebut bertahan pada kondisi tanah yang memiliki drainase kurang baik, sebagaimana dijumpai pada lahan sawah atau tanah ladang. Selanjutnya pengamatan di lapangan menjumpai sebanyak 5 orang responden sedang mencoba melakukan usaha tani komoditas semangka di lahan dengan jenis tanah bertekstur campuran pasir dan liat. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan dicocokkan dengan peta tanah maka tanah ini termasuk dalam ordo Inceptisol, yaitu jenis tanah ini lebih berkembang dibandingkan tanah ordo Entisol. Tanah ordo Inceptisol karena belum berkembang lanjut maka tanahnya relatif subur sehingga memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik (tampak pada Gambar 17 di bawah ini).
Gambar 17 Tanaman semangka tumbuh subur di tanah Inceptisol.
Gambar 18 Tanaman cabai merah dengan penyela tanaman terung.
Terutama dalam usaha tani komoditas cabai merah, petani seringkali juga menanam tanaman penyela yaitu ketela pohon atau terung. Gambar 18 di atas menunjukkan tanaman terung tampak tumbuh subur di sela komoditas cabai merah di daerah penelitian. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sebagian
47
hasil panen terung dijual di pasar lokal dengan harga berkisar Rp. 600,00 – Rp. 700,00/kg. Harga jual panen terung yang relatif murah dibandingkan komoditas; cabai merah, melon atau semangka, membuat sebanyak 8 responden yang berhasil diwawancarai, kurang berminat menanam terung sebagai komoditas utama dalam usaha taninya. Dengan demikian komoditas; cabai merah, melon, dan semangka masih menjadi komoditas andalan petani di daerah penelitian. Pada umumnya rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di daerah penelitian adalah; lahan sawah dengan luas 5.000 m2 dan lahan kering sebesar 2.000 m 2 untuk masing-masing petani. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa, dengan luas lahan sebesar 2.000 m2 dapat dihasilkan produk rata-rata untuk; cabai merah mencapai 5,5 ton sedangkan melon atau semangka sebesar 10 ton per satu kali masa tanam. Khususnya komoditas cabai merah, hasil panen 5,5 ton dalam satu kali masa tanam merupakan total pemanenan buah yang dapat mencapai 20 kali pemetikan. Tahap perawatan dalam masa tumbuh tanaman sangat berpengaruh tidak hanya pada kualitas buah yang dihasilkan tetapi juga terhadap frekuensi pemetikan. Jika perawatan kurang maka dalam satu kali masa tanam hanya mampu melakukan proses pemetikan buah sebanyak 15 kali pemetikan dan jika perawatannya baik maka dapat dilakukan hingga 25 kali pemetikan buah. Gambar 19 dan 20 menunjukkan hasil panen cabai merah dan semangka di daerah penelitian. Sebagian besar hasil panen dipasarkan ke Jakarta melalui para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang bermodal besar dan telah mempunyai jaringan pemasaran ke pasar luar daerah terutama Jakarta.
Gambar 19 Hasil panen cabai merah.
Gambar 20 Hasil panen semangka.
Analisis Sektor Basis Wilayah Ekonomi wilayah tersusun atas berbagai aktifitas-aktifitas ekonomi sehingga pemerintah dituntut melakukan perhitungan-perhitungan yang cermat dan teliti
48
dalam melakukan berbagai bentuk investasi pembangunan khususnya untuk akti-fitas-aktifitas berbentuk usaha. Idealnya, secara sosial dari kacamata ekonomi setiap bentuk investasi pembangunan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi wilayah tersebut. Di sisi lain, idealnya secara finan-sial setiap aktifitas dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu sistem usaha yang mandiri dan berkelanjutan harus menjadi usaha yang sehat, menguntungkan dan mampu melakukan investasi-investasi dalam jangka pendek dan jangka panjang (Rustiadi et al., 2005). Perekonomian suatu wilayah dapat dikategorikan dalam dua sektor utama yaitu; sektor basis dan sektor non basis. Potensi aktivitas ekonomi masuk dalam kategori basis atau non basis dapat diketahui dengan analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini berhubung data yang tersedia adalah produksi sub sektor pertanian tanaman hortikultura dan padi/palawija hanya sampai tingkat kecamatan, maka analisis LQ merupakan perbandingan relatif kemampuan tingkat kecamatan dengan kemampuan tingkat kabupaten. Untuk melengkapi analisis LQ maka dilakukan pula analisis LI dan SI. Berdasarkan data produksi pertanian subsektor tanaman pangan padi/palawija dan hortikultura tahun 2004 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo, maka hasil analisis LQ, LI dan SI untuk ketiga komoditas yaitu; cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian ditunjukkan pada Tabel 11. Hasil analisis memperlihatkan bahwa, komoditas cabai merah menjadi komoditas basis di Kecamatan Temon, Wates, dan Panjatan dengan nilai LQ masing-masing adalah; 2,31, 1,16, dan 1,40. Selanjutnya komoditas melon dengan nilai LQ sebesar 1,77 dan semangka dengan nilai LQ sebesar 1,46 menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Walaupun beberapa komoditas lainnya juga memiliki nilai LQ lebih dari 1, namun karena komoditas tersebut kurang diminati petani dan hanya sedikit petani yang menanamnya, di sisi lain cabai merah, melon dan semangka merupakan komoditas yang cukup diminati petani maka ketiganya dikategorikan menjadi komoditas basis di daerah penelitian.
49
(Tabel 11_rekap LQ, LI, dan SI)
50
Selanjutnya hasil analisis LI menunjukkan bahwa untuk komoditas; cabai merah, melon dan semangka, pengusahaannya tidak terkonsentrasi di wilayah itu saja namun juga diusahakan di kecamatan lainnya di Kabupaten Kulon Progo. Nilai koefisien lokasional ketiga komoditas masing-masing; cabai merah (0,34), melon (0,17) dan semangka (0,13) atau memiliki nilai lebih kecil dari 1 (begitu pula dengan komoditas lainnya). Analisis SI menunjukkan nilai koefisien spesialisasi tidak ada yang lebih besar dari 1, atau dengan kata lain bahwa daerah penelitian tidak terjadi spesialisasi untuk menanam komoditas baik hortikultura maupun padi/palawija. Ini berarti terdapat variasi usaha tani yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian. Hasil analisis LQ, LI dan SI tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, meskipun tidak terjadi spesialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertanian baik hortikultura maupun padi/palawija, namun komoditas; cabai merah, melon dan semangka merupakan komoditas basis di daerah penelitian. Ini berarti, sebagai komoditas basis maka pengembangan usaha tani komoditas; cabai merah, melon dan semangka mempunyai peluang besar untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Untuk mewujudkan kondisi tersebut dibutuhkan dukungan yang kuat dan langkah nyata dari seluruh stakeholder yang ada di daerah penelitian, termasuk didalamnya pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo. Dengan langkah nyata dari seluruh stakeholder maka sangat mungkin ketiga komoditas tersebut menjadi ”prime mover” dan secara simultan mampu menggerakkan sektor-sektor lainnya. Analisis Kesesuaian Lahan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat direalisir secara efektif dan efisien apabila didukung ketersediaan data dan informasi keruangan yang lengkap dan akurat. Ketersediaan data dan informasi dengan sendirinya akan da-pat membantu dalam menentukan daerah pengembangan berdasarkan kriteria peruntukan dan ketersediaan lahan. Dalam aspek pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, maka informasi keruangan memiliki peranan sangat penting, diantaranya adalah: 1. Penyediaan dan penataan ruang untuk tujuan pengelolaan dengan cara membuat batas (boundaries) yang membutuhkan pemahaman mendalam menyangkut karakteristik, struktur, fungsi dan dinamika perubahan lingkungan pesisir, baik secara fisik maupun manusia sebagai pelakunya.
51
2. Meminimalisir atau menghindari dampak negatif jangka panjang yang mungkin muncul akibat dari pemanfaatan wilayah pesisir itu sendiri. Indikatornya adalah berupa adanya ”incompatibility” atau terjadinya tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang pesisir sehingga diperlukan ”batas” untuk berbagai penggunaannya. Batas dalam hal ini dapat memiliki dimensi ”ruang” dan ”waktu”. Analisis spasial kesesuaian lahan Di muka telah dijelaskan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Berdasarkan kondisinya, kesesuaian lahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu; kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami, tanpa ada upaya perbaikan lahan. Sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakukan upaya perbaikan lahan, misalnya; pemberian pupuk, pembuatan teras, pemberian kapur, dan lain sebagainya. Observasi lapangan menunjukkan bahwa, selain padi maka komoditas hortikultura yaitu; cabai merah, melon, dan semangka merupakan komoditas pertanian andalan yang banyak diusahakan penduduk di daerah penelitian (yang merupakan wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo). Hasil pengamatan juga mendapatkan di beberapa wilayah dalam daerah penelitian terdapat lahan yang belum termanfaatkan ataupun kalau sudah termanfaatkan namun belum optimal. Lahan ”tidur” (sebagaimana ditunjukkan Gambar 21 di bawah) memungkinkan pengembangan luas areal untuk usaha tani komoditas tersebut, yaitu; cabai merah, melon, dan semangka. Untuk mengidentifikasi kebutuhan ruang atau lahan maka perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan yang cocok untuk pengembangan usaha pertanian komoditas; cabai merah, melon, dan semangka.
Gambar 21 Lahan ”tidur” di daerah penelitian.
52
Hasil analisis evaluasi lahan tiap-tiap satuan lahan di daerah penelitian didapatkan bahwa, seluruh satuan lahan atau sebanyak 20 satuan lahan mempunyai kelas kesesuaian aktual “sesuai bersyarat atau S3”. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan, kelas kesesuaian lahan aktual S3 tersebut dibedakan atas dua subkelas kesesuaian lahan aktual yaitu; S3wa dan S3wa.rc1 (Tabel 12). Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah, melon dan semangka yang ditetapkan (lihat Lampiran) maka tanah dengan subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa ini memiliki faktor pembatas berupa curah hujan ratarata tahunan yang cukup tinggi, yaitu > 1.400 mm. Selanjutnya untuk subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan dua faktor pembatas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan > 1.400 mm dan subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar. Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 ini secara spasial tersebar pada lahan sepanjang garis pantai kawasan pesisir Kulon Progo dengan jenis tanah dominan pasir yaitu group Entisol. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dapatkah dan bagaimanakah usaha perbaikan dilakukan pada kondisi kualitas lahan yang demikian? Perkembangan teknologi yang pesat saat ini memungkinkan berbagai usaha perbaikan kualitas lahan, namun dalam pelaksanaannya sangat perlu mempertimbangkan aspek ekonomi. Bahkan secara tegas dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003), usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Apabila lahan tersebut diatasi kendala-kendalanya apakah secara ekonomis akan dapat memberikan keuntungan, artinya antara modal atau investasi dan teknologi yang diberikan dibandingkan dengan nilai produksi yang dihasilkan masih mampu memberikan keuntungan. Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa dengan faktor pembatas berupa curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi yaitu > 1.400 mm, dapat saja dilakukan perbaikan dengan cara pembuatan semacam ”rumah kaca” pada lahan-lahan pertanian yang ada, namun secara ekonomi sulit diterapkan oleh petani di perdesaan Jawa dengan skala usaha tani kecil (lahan garapan < 5 ha). Apakah dengan demikian tidak ada cara untuk mengatasi hambatan ini? Jika dicermati lebih jauh pada kondisi iklimnya, daerah penelitian memiliki fluktuasi ratarata curah hujan bulanan yang cukup besar, yaitu pada bulan Nopember hingga April curah hujan mencapai > 100 mm sedangkan bulan Mei hingga Oktober curah hujan < 100 mm. Terjadinya variasi curah hujan bulanan tersebut memberi
53
peluang diminimalisirnya kendala curah hujan dengan pelaksanaan pola tanam, yaitu untuk bulan-bulan dengan curah hujan > 100 mm dapat ditanam komoditas; cabai merah, melon, semangka dan padi sedangkan pada bulan-bulan dengan curah hujan < 100 mm dapat ditanam komoditas palawija. Subkelas kesesuaian lahan aktual S3wa.rc1 adalah kelas ”sesuai” dengan dua faktor pembatas, yaitu; subkelas ”wa” yaitu curah hujan rata-rata tahunan > 1.400 mm dan subkelas ”rc1” yaitu tekstur tanahnya agak kasar karena dominan pasir. Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirannya berukuran lebih besar maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Secara fisik tekstur tanah sulit untuk dilakukan perbaikan, namun teknologi yang sederhana dapat diterapkan untuk mengatasi faktor pembatas ini yaitu dengan pemberian mulsa atau jerami dan pupuk kandang. Pemberian mulsa atau jerami akan meningkatkan daya serap air. Pemberian pupuk kandang disamping bertujuan meningkatkan kesuburan tanah, juga meningkatkan terjadinya reaksi kimia dalam tanah. Metode inilah yang banyak dilakukan oleh para petani di daerah penelitian dan fakta di lapangan menunjukkan tanaman komoditas; cabai merah, melon dan semangka yang diusahakan dapat tumbuh subur dan produksi buah baik. Dengan demikian jika upaya perbaikan dapat dilakukan pada seluruh faktor pembatas yang ada sehingga kelasnya naik satu tingkat maka kelas kesesuaian lahan di daerah penelitian menjadi ”sesuai atau S2”. Tabel 12 di bawah ini menunjukkan luas kesesuaian lahan masing-masing satuan lahan di daerah penelitian sedangkan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 22. Tabel 12 Luas kesesuaian lahan untuk tanaman cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian. Kelas kesesuaian Satuan Kecamatan (ha) lahan aktual potensial Temon Wates Panjatan Galur S3wa
S2wa
1,3,4,5,6,
Jumlah (ha)
3.741,3
2.867,4
3.256,2
1.681,5
11.546,3
579
391
1.085,4
755,4
2.790,9
4.300,3
3.258,4
4.341,6
2.436,9
14.337,2
7 s/d 19 S3wa.rc1
S2wa.rc1
2 dan 20
Jumlah total Sumber: Hasil Analisis, 2006
Tabel 12 di atas memperlihatkan bahwa, lahan yang ada di daerah penelitian dapat diusahakan untuk penanaman komoditas cabai merah (Capsicum annuum), melon (Citrulus vulgaris SHRAD) dan semangka (Colocynthis citrulus) dengan dominasi subkelas kesesuaian S2wa.
54
( Gambar 22_peta suit cabai )
55
Integrasi analisis spasial kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan saat ini Mengingat wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan zona peralihan antara daratan dan lautan maka dalam pemanfaatan ruang pesisir perlu memperhatikan karakteristik fisik lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya setempat. Pemanfaatan sumberdaya pesisir terutama pada aspek fisik lingkungan harus menjadi perhatian khusus, karena sumberdaya dan ekosistem pesisir memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi pada satu ekosistem pesisir akan mempengaruhi ekosistem lainnya, demikian pula sebaliknya. Disamping faktor alamiah, wilayah pesisir dapat juga berubah akibat dari aktifitas manusia, seperti; kegiatan reklamasi, lagunisasi, dan konservasi hutan mangrove. Berdasarkan pada strategisnya kawasan pesisir ini Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia. Konsentrasi penduduk dan aktifitas pembangunan di wilayah pesisir bukan suatu hal yang sifatnya kebetulan, namun didasarkan pada tiga alasan ekonomis yaitu; (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan mudah untuk aktifitas industri, permukiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan kawasan atasnya, dan (c) wilayah pesisir umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang menguntungkan (Bengen dalam Syukri, 2003). Oleh karena wilayah pesisir mempunyai peluang ekonomis yang tinggi pada akhirnya wilayah ini mendapatkan tekanan yang serius dan membahayakan kelestariannya. Melihat posisi strategis wilayah pesisir maka perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan (dalam hal ini kesesuaian lahan untuk komoditas; cabai merah, melon, dan semangka) dengan penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian. Integrasi ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan lahan saat ini sudah sesuai dengan kesesuaian lahannya. Untuk kepentingan analisis maka beberapa jenis penggunaan lahan yang bersifat ’given’ atau tidak mungkin diubah perlu dibuang atau dikeluarkan, yaitu; pasir pantai, air tawar, bangunan, pemukiman, dan kebun sehingga lahan yang mungkin dikembangkan adalah lahan dengan penggunaan lahan saat ini sawah
56
(rotasi), tanah ladang, rumput dan belukar. Hasil analisis menunjukkan sebagai berikut: Tabel 13 Luas kesesuaian lahan tanaman cabai merah, melon dan semangka menurut penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian. Kelas Penggunaan lahan saat ini (ha) kesesuaian Jumlah Sawah Tanah Rumput Belukar lahan ladang S2wa 2.934,3 2.382,5 461,0 13,5 5.791,5 S2wa.rc1 Jumlah
90,7
973,1
519,8
5,0
1.588,6
3.025, 0
3.355,6
980,8
18,5
7.379,9
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Apabila seluruh penggunaan lahan saat ini (existing landuse) pada Tabel 13 di atas dimanfaatkan untuk pengembangan usaha tani komoditas; cabai merah, melon dan semangka maka di daerah penelitian terdapat kesesuaian lahan seluas 7.379,9 Ha. Data Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo menyatakan bahwa pada tahun 2005 luas areal tanam ketiga komoditas di daerah penelitian adalah seluas 1.762 Ha. Berdasarkan data areal tanam tersebut maka di daerah penelitian masih terdapat potensi lahan seluas (7.379,9 –1.762) Ha atau 5.617,9 Ha yang dapat dikembangkan untuk usaha tani komoditas; cabai merah, melon, dan semangka. Selanjutnya untuk melihat pengembangan ketiga komoditas jika menurut wilayah administrasi di daerah penelitian, maka perlu dilakukan perhitungan dengan mengintegrasikan antara data penggunaan lahan saat ini (existing landuse) dengan existing luas areal tanam tahun 2005, yaitu: Tabel 14 Luas penggunaan lahan saat ini menurut kecamatan di daerah penelitian. Penggunaan Luas (ha) Jumlah lahan Temon Wates Panjatan Galur Belukar 20,7 0,0 4,4 0,0 25,1 Rumput 301,2 167,7 186,8 173,3 829,0 Ladang 753,0 1.107,1 1.269,5 276,2 3.405,8 Sawah 1.109,9 262,8 364,0 1.383,3 3.120,0 Total 2.184,8 1.537,6 1.824,7 1.832,8 7.379,9 Sumber: Hasil Analisis, 2006
Komoditas Cabai merah Melon Semangka Total
Tabel 15 Luas existing areal tanam menurut kecamatan di daerah penelitian tahun 2005. Luas tanam (ha) Temon Wates Panjatan Galur 399 76 131 47 72 6 40 362 153 45 141 290 624 127 312 699
Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan Kab. Kulon Progo
Jumlah 653 480 629 1.762
57
Hasil perhitungan luas pengembangan ketiga komoditas untuk; kecamatan Temon adalah (2.184,8 – 624) Ha atau 1.560,8 Ha, kecamatan Wates sebesar (1.537,6 – 127) Ha atau 1.410,6 Ha, kecamatan Panjatan seluas (1.824,7 – 312) Ha atau 1.512,7 Ha, dan kecamatan Galur sebesar (1.832,8 – 699) Ha atau 1.133,8 Ha. Luas pengembangan tersebut dengan asumsi seluruh existing landuse (yaitu; belukar, rumput, tanah ladang dan sawah) di daerah penelitian memungkinkan dimanfaatkan untuk usaha tani ketiga komoditas. Optimalisasi potensi lahan untuk pengembangan ketiga komoditas tersebut juga perlu memperhatikan rata-rata curah hujan bulanan sehingga dapat dilakukan pola tanam (crop calender), sebagaimana Tabel 16 berikut: Tabel 16 Integrasi rata-rata curah hujan dengan pola tanam (crop calender) usaha tani tahunan menurut jenis penggunaan lahan saat ini di daerah penelitian.
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Pola 1
S
Pola 2
S
Pola 3
R
Pola 4
R
Pola 5
L
Pola 6
L
Pola 7
B
Pola 8
B
Keterangan: S = sawah, L = tanah ladang, R = rumput, B = belukar = padi, = cabai merah, = melon/semangka, Sumber: Hasil Analisis, 2006
= palawija
58
Analisis Usaha Tani Dilihat dari aspek ekonomi, sumberdaya pesisir menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan. Kekayaan biota dan bentang lahannya yang indah mengakibatkan saling berebutnya berbagai kepentingan dalam pemanfaatan lahan wilayah pesisir. Dinamika perekonomian wilayah mengakibatkan perubahan yang sangat cepat pada nilai atau opportunity cost dari lahan pesisir, misalnya; adanya pengembangan pelabuhan, tambak udang, atau bahkan permukiman penduduk berpendapatan menengah ke atas sebagaimana yang terjadi di pantai utara Jakarta. Berpijak dari kenyataan tersebut di atas, perlu dilakukan analisis yang dapat menunjukkan nilai ekonomi pemanfaatan ruang pesisir untuk usaha tani komoditas; cabai, melon dan semangka. Di satu sisi, analisis ini mampu memperlihatkan opportunity cost lahan pesisir yang dapat dinikmati petani setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan di sisi lainnya, analisis ini bertujuan untuk memprediksikan apakah usaha tani tersebut menguntungkan atau tidak, sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah dalam jangka panjang usaha tani tersebut layak dipertahankan atau tidak. Metoda analisis yang digunakan adalah melalui analisa finansial, yaitu menghitung nilai ekonomis usaha tani komoditas; cabai, melon dan semangka, melalui perhitungan nilai; IRR, B/C Rasio, dan NPV. Komoditas tanaman cabai merah Hasil wawancara dengan sebanyak 15 petani yang menjadi responden dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa jual harga cabai merah di tingkat petani sangat berfluktuasi setiap harinya yaitu antara Rp. 2.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per kilogram. Berdasarkan analisis finansial usaha tani komoditas cabai merah dengan luas lahan 2.000 m2, tingkat suku bunga 15% dan jumlah panen 5,5 ton adalah sebagai berikut:
Harga (Rp./kg)
Tabel 17 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani cabai merah di daerah penelitian. Input Output B/C IRR (Rp.) (Rp.) Rasio
NPV (Rp.)
2.000,00
4.020.000,00
11.000.000,00
1,68
39,25
2.257.000,00
5.000,00
4.020.000,00
27.500.000,00
4,20
56,93
10.616.000,00
10.000,00
4.020.000,00
55.000.000,00
8,40
62,09
24.548.000,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006
59
Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan harga cabai merah di tingkat petani berada pada tingkat paling rendah sekalipun, yaitu Rp. 2.000,00/kg; nilai B/C Rasio lebih dari 1, nilai IRR lebih dari 15% (tingkat suku bunga yang ditetapkan), dan NPV lebih dari 0, atau dengan kata lain usaha tani komoditas cabai merah di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan. Walaupun hasil analisis finansial menunjukkan kelayakan usaha tani cabai merah dengan harga jual Rp. 2.000,00/kg, namun wawancara dengan 15 petani responden di daerah penelitian menyatakan bahwa mereka merasa rugi apabila harga cabai merah pada tingkat petani hanya mencapai Rp. 2.000,00/kg. Para petani lebih lanjut menyatakan bahwa usaha tani yang dilakukannya berada pada titik impas (petani secara finansial tidak untung dan tidak pula rugi) jika harga jual berada di kisaran Rp. 4.000,00 hingga Rp. 5.000,00/kg. Hasil analisis memperkuat pernyataan para petani tersebut, dimana jika harga jual hanya sebesar Rp. 2.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar Rp. 2.257.000,00 diperoleh pendapatan Rp. 376.000,00 per bulan (nilai NPV sebesar Rp. 2.257.000,00 dibagi lamanya usaha tani yaitu 6 bulan). Dengan pendapatan sebesar Rp. 376.000,00 per bulan tentulah tidak mencukupi berbagai keperluan hidup mereka sehari-hari termasuk untuk keperluan operasional usaha taninya. Jika harga jual cabai merah mencapai Rp. 5.000,00/kg dengan nilai NPV sebesar Rp. 10.616.000,00 maka pendapatan yang dapat diperoleh petani bisa mencapai Rp. 1.769.000,00 per bulan. Keuntungan yang cukup besar bagi petani apabila harga cabai merah bisa mencapai Rp. 10.000,00/kg, dimana petani akan memperoleh pendapatan Rp. 4.091.000,00 per bulannya. Meskipun harga jual cabai merah cenderung berfluktuasi sangat cepat setiap hari bahkan dalam hitungan jam, para petani di daerah penelitian tetap menjadikan cabai merah sebagai komoditas andalannya. Tentu hal ini beralasan, karena jika harga jual cabai merah dapat mencapai angka di atas Rp. 5.000,00/kg, dipastikan petani akan memperoleh keuntungan cukup besar. Untuk alasan inilah, para petani menerapkan strategi menunda panen jika pada saat itu harga jual cabai merah kurang memberikan keuntungan yang memadai. Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi harga yang sangat dinamis/cepat adalah panen yang melimpah, disamping lemahnya posisi tawar harga (bargaining position of price) petani terhadap produk mereka. Untuk mengantisipasi melimpahnya hasil panen sebagai akibat dari panen yang bersamaan waktunya, maka masing-masing kelompok tani membuat strategi penjadwalan pada kegiat-
60
an paling awal dalam usaha tani, yaitu tahap penanaman. Perbedaan waktu tanam diharapkan berimbas pada terjadinya perbedaan waktu panen cabai merah di masing-masing kelompok tani. Terhadap permasalahan kedua, yakni posisi tawar harga, umumnya sulit diatasi oleh petani bermodal kecil, yang merupakan kelompok dominan di daerah penelitian. Hingga saat wawancara dilakukan, sebagian besar hasil panen cabai merah dijual kepada para ”pengepul”, yaitu petani lokal yang mempunyai modal besar dan memiliki akses terhadap pemasaran. Selanjutnya dari para ”pengepul” akan dikirim ke pasar utama yaitu di Jakarta atau kota besar lainnya. Disamping modal, lemahnya akses komunikasi pasar (misalnya; informasi harga, jumlah permintaan, tujuan pasar, dan sebagainya) ke pasar utama adalah kendala lain yang harus dihadapi para petani bermodal kecil. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketergantungan yang semakin besar para petani (utamanya yang bermodal kecil) terhadap peran ”pengepul” dalam menjual hasil panennya. Dengan demikian kelembagaan pasar yang dijumpai di daerah penelitian adalah; petani ke ”pengepul” dan selanjutnya dari ”pengepul” ke pasar utama (pabrik mie instan atau pasar sayur mayur). Berkaitan dengan jumlah/kuantitas panen dengan pasar, seluruh responden di daerah penelitian menyatakan bahwa tidak ada permasalahan, atau dengan kata lain seluruh hasil panen dapat diserap pasar. Jika petani memilih untuk menunda waktu panen, bukan disebabkan pasar yang tidak mampu menyerap, namun lebih didasarkan pada kepentingan petani menunggu tingkat harga lebih tinggi dengan perhitungan mereka tidak rugi. Komoditas tanaman melon dan semangka Tanaman melon dan semangka termasuk dua komoditas yang diusahakan oleh petani di wilayah pesisir Kulon Progo. Dibandingkan dengan usaha tani komoditas cabai merah, perkembangan usaha tani komoditas melon dan semangka relatif baru bagi para petani di daerah penelitian. Operasional pemeliharaan yang lebih rumit dan membutuhkan ketelitian tinggi dibandingkan komoditas cabai merah, merupakan salah satu penyebab petani relatif lambat dalam merespon usaha tani komoditas melon dan semangka. Nilai jual dari produk komoditas melon dan semangka sangat ditentukan oleh kualitas hasil panen. Selain ukuran buah (yang mempengaruhi bobot buah), kriteria kualitas buah juga didasarkan pada bentuk (bulat, lonjong, atau kurang beraturan) dan kehalusan dari permukaan buah melon atau semangka.
61
Wawancara langsung dengan petani diperoleh keterangan bahwa harga jual buah melon dibedakan berdasarkan kualitas buahnya yaitu untuk; kualitas A (kategori baik) bisa mencapai Rp. 2.000,00/kg, kualitas B (kategori sedang) sebesar Rp. 1.500,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sebesar Rp. 750,00/kg. Sedangkan untuk komoditas semangka harganya lebih rendah, yaitu; kualitas A (kategori baik) mencapai Rp. 1.250,00/kg, kualitas B (kategori sedang) sebesar Rp. 1.000,00/kg, dan kualitas C (kategori jelek) sebesar Rp. 500,00/kg. Dengan luas lahan rata-rata sebesar 2.000 m2, harga jual kualitas B (kategori sedang), dan hasil panen 10 ton maka hasil analisis finansial untuk komoditas melon dan semangka adalah sebagai berikut:
Harga (Rp./kg)
Tabel 18 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani melon di daerah penelitian. Input Output B/C IRR (Rp.) (Rp.) Rasio
NPV (Rp.)
750,00
3.664.500,00
7.500.000,00
1,26
25,16
889.800,00
1.500,00
3.664.500,00
15.000.000,00
2,52
50,80
5.178.000,00
2.000,00
3.664.500,00
20.000.000,00
3,36
55,25
8.036.800,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Selanjutnya hasil analisis memperlihatkan bahwa dengan harga jual melon Rp. 750,00/kg petani hanya memperoleh pendapatan Rp. 222.450,00 per bulan, harga jual Rp. 1.500,00/kg dengan pendapatan Rp. 1.294.500,00 per bulan, dan harga jual Rp. 2.000,00/kg pendapatan petani Rp. 2.009.000,00 per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa dengan asumsi hasil panen 10 ton dan tingkat suku bunga 15%, keuntungan usaha tani melon dapat dicapai petani jika margin harga jual buah adalah Rp. 1.500,00/kg.
Harga (Rp./kg)
Tabel 19 Hasil perhitungan analisis finansial usaha tani semangka di daerah penelitian. Input Output B/C IRR (Rp.) (Rp.) Rasio
NPV (Rp.)
500,00
3.374.500,00
5.000.000,00
0,92
- 16,48
- 249. 500,00
1.000,00
3.374.500,00
10.000.000,00
1,84
43,37
2.609.000,00
1.250,00
3.374.500,00
12.500.000,00
2,30
49,12
4.039.000,00
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa dengan harga jual Rp. 500,00/kg maka usaha tani komoditas semangka memiliki B/C rasio < 1, IRR < tingkat suku bunga yang ditetapkan, dan NPV < 0 maka tidak layak diusahakan. Jika harga jual semangka mencapai Rp. 1.000,00/kg ke atas maka usaha tani semangka layak diusahakan. Petani akan memperoleh pendapatan Rp.
62
652.000,00 per bulan jika harga jual semangka adalah Rp. 1.000,00/kg, dan keuntungan akan diperoleh apabila harga jual bisa mencapai Rp. 1.250,00/kg. Hasil panen petani dalam usaha tani melon dan semangka ini, sebagaimana usaha tani cabai merah, adalah melalui para ”pengepul” yang selanjutnya dari ”pengepul” akan dimasukkan ke pasar utama di Jakarta dan sebagian ke Yogyakarta atau kota-kota lainnya. Berbeda dengan komoditas cabai merah dimana para petani melalukan pemanenan sendiri, para petani melon dan semangka diberikan pilihan apakah pemanenan dilakukan dengan sistim ”tebasan” atau pemanenan sendiri oleh petani. Sistim ”tebasan” adalah pemanenan dilakukan oleh ”pengepul” sehingga seluruh biaya tenaga kerja mulai dari proses pemetikan hingga pengangkutan buah ke alat transportasi (truk) menjadi tanggung jawab ”pengepul”. Jika petani memilih pemanenan dilakukan sendiri oleh mereka maka ”pengepul” akan memberi ganti ongkos/biaya panen (dari pemetikan hingga buah siap angkut) sebesar Rp. 100.000,00 kepada petani. Sebagaimana cabai merah, hasil panen melon atau semangka hingga penelitian dilakukan menurut para petani dapat terserap seluruhnya di pasar, baik lokal maupun luar daerah. Pasar lokal adalah pedagang buah yang selama dua tahun terakhir ini banyak bermunculan di sepanjang jalur utama jalan Yogyakarta – Jakarta atau Bandung, terutama sebelum masuk kota Wates. Pasar luar daerah adalah Jakarta, Yogyakarta, Purworejo, Magelang atau kota-kota lain di Jawa Tengah. Khususnya Yogyakarta, dimana kota ini dikenal sebagai kota wisata dengan banyak fasilitas akomodasi seperti hotel, tempat penginapan (guest house), dan restoran atau rumah makan, menjadikan kota ini merupakan pasar cukup besar dalam penyerapan hasil-hasil pertanian termasuk buah-buahan seperti melon dan semangka. Perencanaan Penggunaan Lahan Kawasan Pesisir Hasil identifikasi fisik menunjukkan bahwa, 90% daerah penelitian memiliki lereng kurang dari 8% atau bertopografi landai hingga datar, berada pada posisi strategis karena merupakan simpul akses ke kota Jakarta dan Bandung, dengan curah hujan tahunan rata-rata kategori sedang yaitu antara 2.000-2.500 mm/tahun. Ketersediaan air untuk irigasi memadai dengan kedalaman air tanah berkisar antara 1,5 hingga 2,5 meter dengan kualitas baik. Kondisi tanah di daerah penelitian relatif cukup subur dengan jenis tanah; Alfisol, Mollisols dan Vertisol.
63
Perekonomian wilayah bertumpu pada sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar dalam struktur PDRB daerah. Peranan stategis sektor pertanian dalam perekonomian wilayah didukung oleh jumlah penduduk yang terlibat dalam aktifitas ”on farm” yaitu sebanyak 41.487 jiwa. Secara sosial, mayoritas penduduk di daerah penelitian memeluk agama Islam yaitu sebanyak 97,30% dan terdapat lebih 75% dari sebanyak 32.442 rumah tangga yang tinggal di daerah ini berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Pemanfaatan lahan di daerah penelitian berdasarkan luas arealnya yang terbesar adalah; kebun, sawah, tanah ladang, rumput, dan pemukiman. Khususnya di Kecamatan Wates, penggunaan lahan untuk pemukiman lebih besar dibandingkan penggunaan lahan sawah karena konsentrasi penduduknya yang besar di wilayah ini. Lahan sawah selain diusahakan dengan komoditas utama padi, juga diselingi dengan komoditas; cabai merah, melon, atau semangka. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, usaha tani komoditas cabai merah bergeser ke areal dengan existing landuse rumput. Pengamatan di lapangan menunjukkan, sebanyak 5 petani yang melakukan usaha tani komoditas cabai merah di lahan dengan jenis tanah ordo Entisol mampu menghasilkan tanaman dengan hasil yang baik. Selanjutnya berdasarkan analisis sektor basis wilayah, cabai merah merupakan komoditas basis di wilayah; Kecamatan Temon (LQ=2,31), Kecamatan Wates (LQ=1,16) dan Kecamatan Panjatan (LQ=1,40). Komoditas melon dengan nilai LQ=1,77 dan semangka dengan nilai LQ=1,46 menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Hasil analisis juga mengungkapkan bahwa tidak terjadi spesialisasi dan konsentrasi pengusahaan komoditas pertanian baik komoditas hortikultura maupun padi/palawija di daerah penelitian. Analisis kesesuaian lahan di daerah penelitian untuk komoditas cabai merah, melon dan semangka terdapat satu kelas kesesuaian lahan yaitu ”sesuai atau S2”. Selanjutnya luas lahan potensial untuk pengembangan komoditas cabai merah, melon dan semangka di daerah penelitian adalah 5.617,9 Ha (tidak termasuk lahan yang sudah diusahakan komoditas yang sama seluas 1.762 Ha). Dikaitkan dengan kondisi existing landuse dan memperhatikan curah hujan bulanan maka optimalisasi lahan dilakukan dengan pelaksanaan pola tanam, baik pada penggunaan lahan; sawah, tanah ladang, rumput, atau belukar. Analisis usaha tani diperoleh hasil bahwa, usaha tani komoditas; cabai merah, melon dan semangka untuk seluruh harga jual adalah layak, terkecuali pada
64
komoditas semangka pada harga jual panen Rp. 500,00/kg adalah tidak layak diusahakan. Memperhatikan hasil identifikasi fisik, ekonomi, sosial budaya, analisis sektor basis wilayah, analisis kesesuaian lahan, dan analisis usaha tani, dirumuskan perencanaan penggunaan lahan kawasan pesisir (secara spasial ditunjukkan pada Gambar 23) sebagai berikut: q
Untuk mencapai ”economic of scale” maka pengembangan komoditas cabai merah; (a) prioritas I pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse) ”rumput dan belukar” yang mencakup 4 kecamatan, yaitu; Temon, Wates, Panjatan dan Galur, (b) prioritas II pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse) ”tanah ladang” kecamatan, yaitu; Temon, Wates dan Panjatan, (c) prioritas III pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse) ”sawah” yang mencakup 3 kecamatan yaitu; Temon, Wates dan Panjatan.
q
Pengembangan komoditas melon dan semangka diarahkan di Kecamatan Galur pada areal penggunaan lahan saat ini (existing landuse) ”sawah dan tanah ladang”.
q
Untuk mendukung tetap terjaganya ketahanan pangan wilayah (khususnya beras) maka optimasi pemanfaatan lahan sawah untuk pengembangan komoditas; cabai merah, melon dan semangka dapat dilakukan dengan pelaksanaan pola tanam (crop calender), yaitu; (1) pola 1 (kombinasi padi – cabai merah), musim tanam padi dilakukan pada bulan Nopember hingga Pebruari sedangkan cabai merah pada bulan Maret hingga Agustus, dan (2) pola 2 (kombinasi padi – melon/semangka), musim tanam padi dapat dilakukan mulai bulan Nopember hingga Pebruari sedangkan melon atau semangka dapat ditanam mulai bulan Maret hingga Juni.
65
(Gambar 23_peta perencanaan)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan pertanian, khususnya komoditas; cabai merah, melon dan semangka. Potensi tersebut dicerminkan dari karakteristik fisik wilayahnya yang sebagian besar berlereng datar hingga berombak, tanahnya relatif subur dengan order Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Vertisol, serta penduduknya sebagian besar masih menggantungkan hidupnya pada aktifitas ”on farm”. Analisis potensi basis wilayah menunjukkan bahwa, cabai merah menjadi komoditas basis di kecamatan; Temon, Wates dan Panjatan, sedangkan komoditas melon dan semangka menjadi komoditas basis di Kecamatan Galur. Selanjutnya, kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo terdapat satu kelas kesesuaian lahan yaitu ”sesuai atau S2” dengan potensi lahan untuk pengembangan ketiga komoditas tersebut adalah 5.617,9 Ha pada existing landuse; sawah, rumput, ladang dan belukar. Optimalisasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh existing landuse melalui pelaksanaan pola tanam (crop calender). Usaha tani komoditas cabai merah dan melon dengan luas lahan 2.000 m 2 dan asumsi bunga 15% adalah layak untuk diusahakan di daerah penelitian, kecuali semangka jika harga jual panen hanya mencapai Rp. 500,00/kg maka usaha tani tersebut tidak layak. Petani akan memperoleh pendapatan yang layak untuk usaha tani komoditas cabai merah jika harga jual buah mencapai lebih dari Rp. 5.000,00/kg. Usaha tani komoditas melon dengan harga jual lebih dari Rp. 1.500,00/kg akan memberikan pendapatan yang layak untuk petani, sedangkan untuk komoditas semangka dengan harga jual minimal Rp. 1.000,00/kg. Berdasarkan berbagai hasil analisis tersebut di atas maka pengembangan komoditas cabai merah diarahkan di wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan sebagian Kecamatan Galur pada existing landuse, rumput, sawah, ladang dan belukar; sedangkan komoditas melon dan semangka diarahkan ke Kecamatan Galur terutama pada existing landuse sawah. Saran 1. Pemerintah daerah harus mendorong dan memfasilitasi terciptanya kemudahan akses dan informasi pasar, khususnya untuk para petani yang bermodal kecil.
67
2. Pemerintah daerah harus mendorong tumbuhnya industri pengolahan yang berbasis produk komoditas; cabai merah, melon, dan semangka di wilayah ini, sehingga keuntungan lokal (value added) dapat diciptakan diantaranya; hasil panen tetap terserap, fluktuasi harga dapat ditekan, dan terciptanya peluang kerja di sektor ”off-farm”. 3. Pemerintah daerah dan atau petani perlu mengatur pola tanam (crop calender) dan manajemen air secara tepat sehingga tercipta optimalisasi lahan yang ada dan diperoleh hasil panen yang maksimal. 4. Pemerintah daerah perlu mengendalikan konversi lahan untuk penggunaan yang bersifat ”irreversible” (tidak dapat balik), misalnya; permukiman, industri, gedung dan lain sebagainya, agar tetap terjaganya kelestarian lingkungan. 5. Penelitian lebih mendalam terkait pendapatan petani, khususnya aspek aktivitas ”on-farm” dan ”off-farm”, serta skala ekonomi perlu dilakukan untuk melengkapi dan menjelaskan secara utuh peranan usaha tani ketiga komoditas tersebut dalam menggerakkan perekonomian wilayah pesisir.
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kulon Progo. 2003. Status dan Luas Tanah Pesisir Kabupaten Kulon Progo. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. 2005. Kulon Progo Dalam Angka 2004. Kerjasama BPS dan BAPPEDA Kabupaten Kulon Progo. [BPT] Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Puslittanak Badan Litbang Departemen Pertanian. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2003. Laporan Kegiatan TA. 2003: Karakterisasi Zona Agroekologi dan Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1:50.000. Barus, B., dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi: Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Bird, E.C.F. 1969. Coasts An Introduction to Systematic Geomorphology. The M.I.T. Press. Cambridge. Chang, K.T. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. Prentice Hall. New York. Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Danudoro, P. 2006. Sains Informasi Geografis: Dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Penerbit: Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Dulbahri. 2003. Sistem Informasi Geografi. Pelatihan Sistem Informasi Geografis Tingkat Operator untuk Staf UPT Direktur Jenderal RPLS. Departemen Kehutanan. Ellsworth, J.P., L.P. Hildebrand dan E.A. Glover. 1997. Canada’s Atlantic Coastal Action Program: A community-based approach to collective governance. Ocean and Coastal Management, Vol. 36, No. I-3, pp. 121-142. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin 32. FAO. Rome. Hardjowigeno, S., dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah: Buku Pegangan Mata Kuliah. Departemen Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
69
Nugroho, I., dan R. Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta. Pethic, J. 1988. An Introduction to Coastal Geomorphology. Edward Arnold. London. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo. Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan Dyah R.P. 2005. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Santosa, L.W. 2004. Studi Akuifer Pada Bentanglahan Kepesisiran Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 18, Nomor 2, September 2004. Sutikno. 1999. Karakteristik Bentuk Pantai. Pelatihan Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Pesisir dan Kelautan Tingkat Pengelola (Manager) Basis Data. PUSPICS-Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Syukri, M. 2003. Studi Kesesuaian dan Pemanfaatan Ruang untuk Pengembangan Wisata Bahari di Kawasan Pesisir Bandara Ketaping, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman. [thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa Drs. Hari Munandar, MS. Penerbit Erlangga. Jakarta. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Warpani, S. 2000. Analisis Kota dan Daerah. Penerbit ITB. Bandung. Wiradisastra, U.S. 1989. Metodologi Evaluasi Lahan Dalam Hubungan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan. Lokakarya Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang. Kerjasama Fakultas Geografi UGM bersama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Yogyakarta 24-25 Desember 1989. Yeh, A.G., dan X. Li, 1999. Economic Development and Agricultural Land Loss in The Pearl River Delta, China. Habitat International, Vol. 23, No. 3, pp. 373-390.
70
Tabel lampiran 1 Kriteria kesesuaian untuk tanaman cabai merah. Karakteristik 1. Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (oC) 2. Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) 3. Ketersediaan oksigen (oa) Drainase 4. Media perakaran (rc) Tekstur (rc1) Kedalaman tanah (cm) (rc2) 5. Retensi hara (nr) KTK liat (emol(+) kg-1) (nr1) pH H 2O (nr2) C-organik (%) (nr3) 6. Bahaya erosi (eh) Lereng (%) 7. Bahaya banjir (fh) Genangan
Kelas kesesuain lahan untuk tanaman Cabai merah (Capsicum annuum ) S1 S2 S3 N 21-27
27-28 16-21
28-30 14-16
> 30 < 14
600-1.200
500-600 1.200-1.400
400-500 > 1.400
< 400
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang > 75
-
agak kasar
kasar
50-75
30-50
< 30
< 5,5 > 8,0
-
> 0,8
< 16 5,5-6,0 7,6-8,0 < 0,8
<8
8-16
16-30
> 30
F0
-
F1
> F1
> 16 6,0-7,6
Sumber: BPT, 2003 (dengan penyesuaian)
Tabel lampiran 2 Kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka. Karakteristik 1. Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (oC) 2. Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) 3. Ketersediaan oksigen (oa) Drainase 4. Media perakaran (rc) Tekstur (rc1) Kedalaman tanah (cm) (rc2) 5. Retensi hara (nr) KTK liat (emol(+) kg-1) (nr1) pH H 2O (nr2) C-organik (%) (nr3) 6. Bahaya erosi (eh) Lereng (%) 7. Bahaya banjir (fh) Genangan
Kelas kesesuain lahan untuk tanaman Semangka (Colocynthis citrullus) S1 S2 S3 N 22-30
30-32 20-22
32-35 18-20
> 35 < 18
400-700
700-1.000 300-400
> 1.000 200-300
< 200
baik, agak terhambat
agak cepat, sedang
terhambat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang > 50
-
agak kasar
kasar
> 50
30-50
<30
< 5,5 > 8,0 < 0,8
-
> 1,2
< 16 5,5-5,8 7,6-8,0 0,8-1,2
<8
8-16
16-30
> 30
F0
-
F1
> F1
> 16 5,8-7,6
Sumber: BPT, 2003 (dengan penyesuaian)
Kriteria kesesuaian untuk tanaman melon (Citrulus vulgaris SHRAD) adalah sama dengan kriteria kesesuaian untuk tanaman semangka (Colocynthis citrullus) (BPT, 2003).