ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN POTENSI TERJADINYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
EDY SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Edy Santoso NRP A156090144
ABSTRACT EDY SANTOSO. Analysis of Land Use Change and Occurring Potency of Critical Land in Kulon Progo District Daerah Istimewa Yogyakarta. Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and KHURSATUL MUNIBAH. Population growth and development activities have been affecting change of land use. The change of land use, in many case has caused land degradation that lead to formation of critical land. This study aims to (1) analyzed the spatial patterns of land use in Kulon Progo District during 1996 until 2009, (2) analyzed the formation of critical land, (3) analyzed change of land use that affect for critical land. The method used in the study include land use interpretation using landsat image, analyze change of land use by utilizing remote sensing technology. Determining critical land using criteria from forestry according to SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004. The result of study showed that land use in Kulon Progo District during period 1996-2009 have two type of change: decrease and increase. Land use that decrease include bush: 148 ha, forest: 981 ha, mixed garden: 406 ha, and paddy field: 168 ha. Land use type that increase include residential: 1,101 ha, rain fed field: 74 ha, farmstead: 390 ha, and waduk (water reservoir): 144 ha. During 1996-2009, the land in Kulon Progo District show that area of critical land increase 657 ha from 3,274 ha to 3,931 ha, rather critical land increase 227 ha from 4,025 ha to 4,252 ha. Meanwhile, the area of potential critical land decrease 746 ha from 16,127 ha to 15,381 ha, and un-critical land decrease 138 ha from 34,601 ha to 34,463 ha. The change of land use that cause critical land especially in conservation area is conversion land use of forest to land use non-forest include rain fed field, and farmstead. Rehabilitation of critical land have to consider level of critical land, and the function area so that can be effective and efficient.
Keyword: land use, land use change. critical land, Kulon Progo District
RINGKASAN EDY SANTOSO. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan KHURSATUL MUNIBAH. Pelaksanaan pembangunan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang secara menyeluruh. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, yang berdampak pada kebutuhan lahan. Peningkatan jumlah dan keragaman aktivitas penduduk terkait erat dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Masalah tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya konversi lahan, sehingga berdampak kepada perubahan ekologis yang mengarah ke degradasi lingkungan. Konversi lahan umumnya terjadi dari lahan hutan dan pertanian ke lahan-lahan terbangun. Lahan-lahan yang penggunaanya tidak sesuai karakteristiknya akan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan lahan sampai batas-batas yang diharapkan. Gambaran penurunan kualitas lahan dapat terlihat dengan terjadinya erosi, bencana banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, serta pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana pengairan. Penurunan kualitas lahan secara langsung akan berdampak terhadap penurunan produktifitas, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang telah berlanjut, sangat sulit dapat pulih kembali secara alami, sehingga akan terbentuk lahan kritis. Tujuan dari penelitian adalah menganalisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo, menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo, dan menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo. Analisis yang digunakan untuk perubahan penggunaan lahan dengan menginterpretasi citra landsat band 542 (RGB) tahun 1996 dan 2009 sehingga diperoleh peta penggunaan lahan dari kedua tahun tersebut. Dengan proses overlay, diperoleh luasan perubahan masingmasing penggunaan lahan. Penilaian tingkat kekritisan lahan digunakan kriteria kehutanan, mengacu SK Dirjen RLPS No. SK.167/V-SET/2004. Analisis sebaran lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW digunakan analisis spasial dengan proses overlay. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 dan 2009, didominasi oleh kebun campuran, diikuti penggunaan lahan hutan, tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Penggunaan lahan yang lain luasannya relatif kecil dengan persentase kurang dari 10%. Penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan luas yang paling dominan, sementara penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang terbesar adalah permukiman. Sampai dengan tahun 2009, di Kabupaten Kulon Progo tingkat kekritisan lahan meliputi : lahan tidak kritis seluas 34.463 ha, lahan potensial kritis: 15.381 ha, lahan agak kritis: 4.252 ha, dan lahan kritis: 3.931 ha. Hal ini menunjukan
bahwa selama periode tahun 1996 sampai 2009 lahan tidak kritis dan lahan potensial kritis berkurang masing-masing 138 ha dan 746 ha, sementara lahan agak kritis dan lahan kritis bertambah masing-masing 227 ha dan 657 ha. Peningkatan lahan agak kritis dan lahan kritis disebabkan konversi lahan hutan menjadi non hutan meliputi sawah tadah hujan dan tegalan/ladang. Rencana tata ruang wilayah atau RTRW Kabupaten Kulon Progo, membagi wilayah Kulon Progo menjadi beberapa kawasan yang meliputi kawasan industri, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan lindung, kawasan perikanan pantai, dan kawasan permukiman. Setelah dibandingkan dengan sebaran lahan kritis, sampai dengan tahun 2009 wilayah yang direncanakan untuk kawasan lindung, mempunyai sebaran lahan kritis yang paling dominan yaitu sebesar 3.909 ha. Hal ini terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan pada kawasan tersebut. Kawasan lindung agar dapat berfungsi optimal, maka penggunaan lahan yang terbaik adalah hutan. Terjadinya konversi hutan ke penggunaan lahan yang lain menyebabkan fungsi sebagai kawasan lindung berkurang atau mengalami kerusakan. Pada alokasi rencana tata ruang yang lain dalam RTRW sebaran lahan kritis sangat kecil. Penyebarannya hanya meliputi kawasan untuk permukiman sebesar 14 ha, kawasan untuk pertanian lahan basah dan lahan kering masing-masing sebesar 4 ha. Hal ini menunjukkan bahwa rencana tata ruang wilayah dalam RTRW dapat diterapkan, karena daya dukung lahan yang cukup.
Kata kunci : penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, lahan kritis, Kabupaten Kulon Progo
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN POTENSI TERJADINYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
EDY SANTOSO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
Judul Tesis
Nama NRP
: Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta : Edy Santoso : A156090144
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 06 Juni 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Boedi Tjahjono
Kupersembahkan Karya ini untuk Orang-Orang yang Selalu Menyayangiku dan Kusayangi Ayahanda (Sakur) Almarhum, Mama (Wajiyah), Isteriku Tercinta (Indah Sumanti), dan Putraku Tersayang (Javier Nur Zulfahdli), serta Kakak dan Adik-adikku yang telah Mendukungku Selama Ini
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 di Kabupaten Kulon Progo. Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Khursatul Munibah, M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Boedi Tjahjono selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi, saran, dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan kami kepada Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB dan Dr.Ir. Baba Barus, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, beserta segenap staf pengajar dan manajemen. Disamping itu terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa pascasarjana yang diberikan kepada kami, juga kepada Kementerian Kehutanan atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan PWL kelas Bappenas angkatan 2009 atas segala doa, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai. Tak akan terlupakan persaudaraan dan keakraban yang indah selama ini, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satupersatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, terima kasih banyak. Akhirnya rasa hormat, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya teruntuk seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Edy Santoso
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 April 1979 dari pasangan Sakur dan Wajiyah, dan merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah di Kabupaten Kulon Progo. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jurusan Budidaya Hutan dan lulus tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak tahun 2006 di lingkungan Kementerian Kehutanan dan bertugas sebagai staf di Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan di Makassar.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
vi
I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 1.4 Lingkup Penelitian .............................................................................
1 1 3 3 4
II
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan ............................................... 2.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan .......................................................... 2.3 Perubahan Penggunaan Lahan .......................................................... 2.4 Lahan Kritis ....................................................................................... 2.5 Manajemen/Pengelolaan Lahan ......................................................... 2.6 Pemanfaatan SIG untuk Analisis Perubahan Lahan dan Lahan Kritis 2.7 Landsat ..............................................................................................
5 5 6 8 9 12 14 16
III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 3.1 Kerangka Alur Penelitian ................................................................... 3.2 Lokasi Penelitian ................................................................................ 3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 3.3.1 Persiapan .................................................................................. 3.3.2 Pengumpulan Data ................................................................... 3.3.3 Analisis Data ............................................................................
19 19 21 21 21 21 22
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 4.1 Kondisi Lingkungan Fisik ................................................................. 4.1.1 Letak, Luas, dan Batas Wilayah ............................................. 4.1.2 Topografi.................................................................................. 4.1.3 Jenis Tanah............................................................................... 4.1.4 Pola Curah Hujan ..................................................................... 4.1.5 Penggunaan Lahan ................................................................... 4.2 Kondisi Sosial Budaya ....................................................................... 4.2.1 Penduduk.................................................................................. 4.2.2 Kebudayaan .............................................................................
34 34 34 35 38 40 42 43 43 45
i
V
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 5.1 Interpretasi Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009 ................. 5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1996 - 2009 .......... 5.3 Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo ........................ 5.4 Potensi Terbentukknya Lahan Kritis ............................................. 5.5 Sebaran Lahan Kritis di Setiap Penggunaan Lahan ....................... 5.6 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Terbentuknya Lahan Kritis ..................................................................................... 5.7 Tingkat Kekritisan Lahan di Setiap Kelas Kemampuan Lahan ..... 5.8 Tingkat Kekritisan Lahan di Kabupaten Kulon Progo ................... 5.9 Potensi Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten ....................... 5.10 Arahan Penanganan Lahan Kritis ................................................... 5.11 Evaluasi Penilaian Kekritisan Lahan Menurut Kriteria Kehutanan
46 46 55 64 68 79 85 91 95 96 100 102
VI SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 6.1 Simpulan ........................................................................................... 6.2 Saran .................................................................................................
103 103 104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
105 108
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Halaman
Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+ ................................... Karakteristik Landsat ETM+ .................................................................... Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan ................... Klasifikasi produktivitas lahan dan skoringnya untuk penilaian lahan kritis ................................................................................................. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung.................... Kriteria penilaian lahan kritis di kawasan budidaya untuk usaha pertanian .................................................................................................... Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan ........................................................................................... Ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo ........................................... Keadaan topografi Kabupaten Kulon Progo ............................................. Kelas kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo ............................... Jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo ..................................................... Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Kulon Progo .. Jumlah dan pertumbuhan penduduk, serta jumlah kepala keluarga di Kabupaten Kulon Progo ............................................................................ Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996-2009 ..... Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009 ................ Penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 .............. Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ............ Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 ................................................................................. Luas tiap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 ................................................................................. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 .... Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996-2009 ...................................................................................... Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 .. Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009 ....................................................................................... Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 ................................................................................ Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 ............................................................................... Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ................................................................ Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 ............................................ Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan
17 18 24 27 29 30 32 36 36 38 40 41 43 56 57 60 61 63 67 71 72 75 76 78 79 82 84
iii
29 30 31 32 33 34 35 36 37
lindung tahun 1996-2009 .......................................................................... Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009 ....................................................................... Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996-2009 ...................................... Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 ................................. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 ............................... Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 ............. Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 ............. Luasan alokasi wilayah Kabupaten Kulon Progo sesuai RTRW .............. Tingkat kekritisan lahan lahan di setiap rencana tata ruang Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 ......................................................... Tingkat kekritisan lahan lahan di setiap rencana tata ruang Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 .........................................................
86 88 90 91 94 95 95 98 98 99
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Halaman
Skema Kerangka Alur Pemikiran ............................................................. Diagram Alir Tahapan Penelitian ............................................................. Diagram Alir Analisis Perubahan Penggunaan Lahan .............................. Kriteria Tingkat Kekritisan Lahan dari Kehutanan................................... Peta Administrasi Kabupaten Kulon Progo .............................................. Peta Ketinggian Wilayah Kabupaten Kulon Progo................................... Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Kulon Progo ................................... Peta Jenis Tanah di Kabupaten Kulon Progo ............................................ Peta Curah Hujan di Kabupaten Kulon Progo .......................................... Jumlah Penduduk Kabupaten Kulon Progo Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 ............................................................................................... Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 ............ Penggunaan Lahan Hutan ......................................................................... Penggunaan Lahan Semak Belukar .......................................................... Penggunaan Lahan Kebun Campuran ....................................................... Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang ......................................................... Penggunaan Lahan Sawah Tadah Hujan ................................................... Penggunaan Lahan Permukiman di Perkotaan ........................................ Penggunaan Lahan Sungai ........................................................................ Penggunaan Lahan Waduk Sermo ............................................................ Peta Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996 ... Peta Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 ... Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 1996 ................................ Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 2009 ................................ Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 1996 .............................. Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 2009 .............................. Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Tahun 2009 ............................................................................................... Lahan Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang......................................................................................... Lahan Tidak Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Hutan .............................................................................................. Penggunaa Lahan Semak Belukar atau Alang-Alang Akan Mempertahankan Lahan Tetap Tidak Kritis ............................................. Peta RTRW Kabupaten Kulon Progo 2003-2013 .....................................
4 20 23 25 34 35 37 39 42 44 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 66 66 69 70 73 74 77 80 81 92 97
v
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3 4 5 6 7 8
Halaman
Matrik Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996-2009 .............................................. Peta Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 1996 ............. Peta Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 2009 ............. Peta Tingkat Erosi di Kabupaten Kulon Progo ......................................... Peta Singkapan Batuan di Kabupaten Kulon Progo ................................. Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 1996 ................... Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 2009 ................... Rekapitulasi Curah Hujan Kabupaten Kulon Progo tahun 2000-2010 .....
108 114 115 116 117 118 119 120
vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki arti penting bagi daerah, karena memberikan otonomi dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. UndangUndang tersebut juga memberikan peluang yang luas bagi daerah dalam memanfaatkan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan. Konsekuensi pelaksanaan pembangunan adalah pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya. Pemanfaatan sumber daya alam termasuk diantaranya adalah penggunaan lahan. Rustiadi et al. (2009), menyatakan bahwa pembangunan bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan keberlanjutan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan harus berjalan selaras. Selama ini ada anggapan bahwa kedua hal tersebut saling bertentangan, dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpengaruh terhadap menurunnya sumberdaya dan kualitas lingkungan. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu daerah yang mempunyai kewenangan
otonomi
untuk
melaksanakan
pembangunan.
Pelaksanaan
pembangunan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang secara menyeluruh. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, akan berdampak pada kebutuhan lahan yang makin meningkat. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kulon Progo dari tahun 2007 sampai 2008, sebesar 2,81% (Kulon Progo dalam Angka, 2009). Hal ini berdampak terhadap kebutuhan dan pemanfaatan lahan yang semakin meningkat. Peningkatan jumlah dan keragaman aktivitas penduduk terkait erat dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan yang berdampak terhadap perubahan ekologis, sehingga dapat mengarah ke degradasi lingkungan. Konversi lahan yang umum terjadi adalah perubahan lahan hutan dan pertanian ke lahan non hutan dan non pertanian. Terlebih saat ini semakin besar tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di
2
daerah pedesaan sehingga membuat lahan subur semakin berkurang akibat alih fungsi lahan pertanian (Slaymaker dan Spencer, 1998). Berkembangnya usaha disektor industri dan jasa, menyebabkan banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan di luar sektor pertanian, sedangkan disisi lain produksi pertanian harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan suplai bahan baku industri (Hardjasoemantri, 2004). Peruntukan penggunaan lahan yang pemanfaatanya tidak sesuai dengan karakteristik lahan akan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan. Gambaran penurunan kualitas lahan dapat terlihat dengan terjadinya erosi, bencana banjir dan tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, serta pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana pengairan. Penurunan kualitas lahan secara langsung akan berdampak terhadap penurunan produktifitas, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang telah berlanjut, sangat sulit dapat pulih kembali secara alami, sehingga akan terbentuk lahan kritis. Lahan kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun media tata air (Departemen Kehutanan, 2004). Kementerian Kehutanan (2011), meyatakan bahwa dari hasil peninjauan kembali (review) data lahan kritis di Indonesia, total luas lahan kritis sebesar 82,1 juta ha dengan rincian luas lahan sangat kritis dan kritis adalah 29,9 juta ha, sedangkan luas lahan agak kritis 52,2 juta Ha. Lahan kritis seluas 29,9 juta ha tersebut merupakan sasaran priorotas untuk segera direhabilitasi. Kulon Progo dalam Angka (2009) menyebutkan, sampai tahun 2008 lahan kritis di wilayah Kabupaten Kulon Progo telah mencapai 6.416 ha atau 11,06% dari luas wilayah kabupaten. Dampak kerusakan yang timbul dari perubahan penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis harus diminimalkan dan lahan kritis yang terbentuk harus segera direhabilitasi. Rehabilitasi lahan kritis dimaksudkan untuk memulihkan kesuburan tanah, melindungi tata air, dan kelestarian daya dukung lingkungan. Data dan informasi sangat diperlukan terkait dengan perubahan penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis. Data dan informasi tersebut,
3
salah satunya dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Data dan informasi perubahan penggunaan lahan dan penyebaran lahan kritis akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang lebih tepat. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap perubahan penggunaan lahan dan potensi terjadinya lahan kritis.
1.2 Perumusan Masalah Penggunaan lahan sebaiknya sesuai dengan karakteristik fisik lahan, supaya kelestarian lingkungan tetap terjaga. Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Kulon Progo, penggunaan lahan saat ini ada yang sesuai dengan karakteristik fisik lahan dan atau RTRW Kabupaten, namun ada juga penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan pengalokasiannya dalam RTRW. Dampak yang dapat terjadi dari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik fisik lahan yaitu terbentuknya lahan kritis. Di sisi lain, sampai saat ini belum ada pemutakhiran data perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sangat penting dilakukan oleh karena perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan yang dapat dikaji adalah 1.
Sejauhmana perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2.
Sejauhmana terbentuknya lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo
3.
Sejauhmana terbentuknnya lahan kritis tersebut berpengaruh terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah 1.
Menganalisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo periode tahun 1996 sampai 2009.
2.
Menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo periode tahun 1996 sampai 2009.
4
3.
Menganalisis sebaran terbentuknya lahan kritis terhadap kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo.
Manfaat penelitian adalah Penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi pengambil atau pembuat kebijakan, terkait penggunaan dan pengendalian penggunaan lahan sehingga terbentuknya lahan kritis dapat ditekan sekecil mungkin.
1.4 Lingkup Penelitian Lingkup dari penelitian adalah wilayah Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
penggunaan
lahan
sebelum
dan
setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perubahan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan terbentuknya lahan kritis serta kesesuaian RTRW Kabupaten Kulon Progo dengan terbentuknya lahan kritis. Secara skematik lingkup penelitian ini tersaji melalui alur pemikiran penelitian pada Gambar 1. Aspek Sosial dan Ekonomi
Penggunaan Lahan
Dinamika Penggunaan Lahan
Karakteristik Fisik Lahan
Penggunaan Lahan yang tidak Sesuai dengan Karakteristik Fisik Lahan
RTRW Kabupaten
Potensi Terbentuknya Lahan Kritis
Kesesuaian/Penyimpangan dengan RTRW
Dampak
Arahan dan Masukan Pengembangan Wilayah
Gambar 1 Skema Kerangka Alur Pemikiran
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Lahan meliputi akibat-akibat yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dalam rentang waktu lampau maupun sekarang, sebagai contoh reklamasi daerah pantai, reboisasi dan kegiatan manusia yang merugikan yaitu penebangan hutan, erosi, banjir dan lain-lain. Dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan lahan maka perlu suatu perencanaan tataguna lahan sehingga pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Menurut FAO (1995), lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Menurut Sitorus (2001), penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyekobyek tersebut. Satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu 1) pengunaan lahan pertanian dan 2) penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan secara umum tergantung dari kemampuan lahan dan lokasi lahan. Aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
6
Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi
penutup/penggunaan
lahan
yang
telah
dikembangkan,
yang
dilatarbelakangi oleh kepentingan atau pada waktu tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan hasil analisis citra landsat dapat menyadap tujuh kategori penutup lahan/penggunaan lahan. Kategori yang menonjol dan mudah diinterpretasikan oleh seorang peneliti adalah 1) air, 2) hutan, 3) lahan pertanian, 4) lahan rawa, 5) lahan perdagangan, 6) lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat tinggi, dan 7) lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat rendah (Sutanto, 1998). 2.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan Pengambilan
keputusan
memanfaatkan
sumberdaya
lahan
untuk
penggunaan tertentu diperlukan pertimbangan yang mendalam, mengingat karakteristik dari lahan bersangkutan. Klasifikasi kelas kemampuan lahan untuk penggunaan tertentu sangat diperlukan. Sitorus (2001) menyatakan bahwa penggunaan dan pemanfaatan lahan yang optimal harus sesuai dengan daya dukung dan dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan termasuk informasi kesesuaian lahan. Istilah yang sering muncul adalah kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability). Kemampuan lahan berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan kesesuaian lahan berarti potensi lahan untuk jenis tanaman tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. FAO (1995), menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tataguna lahan. Tujuan dari evaluasi lahan merupakan hal yang akan menentukan lahan akan digunakan dengan tujuan tertentu. Tujuan evaluasi lahan akan ditentukan dengan faktor-faktor penciri, yang merupakan sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan berhubungan erat dengan tujuan evaluasi
7
lahan. Faktor-faktor penciri tersebut akan menentukan kualitas lahan yang akan dibandingkan dengan kesesuaian persyaratan untuk penggunaan tertentu. FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menjelaskan bahwa pendekatan dalam evaluasi lahan dapat melalui dua cara yaitu: 1.
Pendekatan Dua Tahap (Two Stage Approach) Tahap pertama dari pendekatan ini adalah evaluasi lahan secara kualitatif,
sedangkan tahap kedua (biasanya tidak dilaksanakan) merupakan analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilaksanakan dalam kegiatan evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survei tinjau. Pendekatan dua tahap ini memiliki kegiatan yang jelas terpisah yaitu tahap survei tanah dan survei sosial ekonomi sehingga lebih sistimatis. 2.
Pendekatan Paralel (Paralel Approach) Pendekatan paralel mempunyai tahapan antara analisis ekonomi sosial dari
jenis penggunaan lahan yang direncanakan dan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut dilakukan secara bersama. Hasil dari pendekatan ini memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pendekatan ini memberikan hasil yang lebih tepat dalam waktu yang relatif singkat dan kemungkinan untuk memusatkan kegiatan survei dan pengumpulan data-data yang diperlukan dalam evaluasi. FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menyatakan bahwa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang sering dipakai adalah sistem USDA, dimana lahan dibagi menurut tingkatan kelas yang tiap kelas ditentukan oleh faktor pembatas untuk penggunaan tertentu. Lahan dikelompokkan dalam kelas I sampai dengan kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas kualitas lahan semakin jelek karena semakin besar faktor pembatas sehingga alternatif penggunaan lahan juga semakin sedikit. Kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori yaitu ordo, kelas, subkelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, subkelas untuk pemetaan lahan semidetail, dan unit digunakan untuk pemetaan skala rinci.
8
2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Deteksi perubahan adalah sebuah proses mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada rentang waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang (Winoto et al, 1996). Rustiadi et al. (2009), menyatakan perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Dampak dari pembangunan dapat bersifat fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap flora dan fauna, dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Perubahan penggunaan lahan yang umum terjadi adalah berubahnya penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi areal-areal terbangun, terutama permukiman.
Menurut
Warsono,
et
al
(2009),
faktor
dominan
yang
mempengaruhi perkembangan kelompok permukiman yang menyebar tidak teratur sebagai bentuk lingkungan perumahan adalah faktor persaingan memperoleh lahan. Gambaran faktor persaingan memperoleh lahan yang terjadi terhadap perkembangan permukiman yang tidak teratur adalah penduduk perkampungan akan lebih memilih mempertahankan lahan pekarangan dan memindahkan aktivitas sosial ekonominya yang berlatar belakang pertanian ke lahan-lahan pekarangan dan sekaligus sebagai tempat hunian. Oleh karena itu kegiatan campuran akan menurunkan daya dukung penggunaan lahan tertentu. Ketersediaan ruang di dalam kota cenderung tetap dan terbatas. Secara alamiah terjadi pemilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk
9
tempat tinggal atau permukiman dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (Yunus, 1999). Adanya kebutuhan data satelit yang terdiri dari data lama dan data baru dengan tenggang waktu yang relatif lama sehingga dapat dilakukan kajian dan analisis perubahan lahan (Lu, 2004). 2.4 Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahan sehingga terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis yang berakibat membahayakan fungsi hidrologis, sosial-ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi permukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir. Lahan kritis tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan (Zain, 1998). BALITBANGTANAK (2003), mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya. Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan kritis merupakan lahan dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Definisi kehutanan menitikberatkan lahan kritis dari segi hidrologi lahan dan kurang memperhatikan kondisi tanah. Istilah kritis berkaitan dengan keadaan biofisik yang dapat menyangkut fungsi produksi, fungsi lingkungan, fungsi konstruksi, dan fungsi lain-lain, atau semua fungsi lahan. Keadaan ini dapat merupakan bawaan alami lahan (misalnya lahan gurun), atau karena kerusakan oleh alam (bencana alam) atau oleh perilaku manusia (salah menggunakan lahan). Kekritisan lahan ditentukan oleh interaksi antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah maupun yang berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia (Notohadiprawiro, 2006). Ciri utama lahan kritis adalah gundul, gersang, dan bahkan muncul batubatuan dipermukaan tanah dengan topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produktivitas lahan rendah yang ditandai dengan
10
tingginya tingkat kemasaman tanah. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik rendah. Sebaliknya kadar Al, dan Mn tinggi dapat meracuni tanaman. Lahan kritis juga ditandai dengan tumbuhnya vegetasi alang-alang yang mendominasi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang menghasilkan zat allelopati sehingga menghambat pertumbuhan vegetasi (Hakim 1991, dalam Yunita, 2005) Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan berdasarkan tingkat kekritisannya dapat dibedakan menjadi lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis. Suwardjo dalam Yunita (2005), menyatakan bahwa lahan potensial kritis merupakan lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak menjadi kritis. Lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis mempunyai ciri-ciri antara lain; 1.
Lahan masih mempunyai fungsi produksi, hidrologi sedang, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi.
2.
Lahan masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau keadaan lereng sedemikian curam (>45%), sangat bertoreh dan kondisi tanah atau batuan yang mudah longsor, atau peka erosi, sehingga bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat.
3.
Lahan yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya hutan yang baru dibuka. Lahan agak kritis merupakan lahan yang kurang atau tidak produktif dengan
ciri-ciri antara lain: 1.
Lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang (horizon A<5 cm), erosi meliputi erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya yang rendah karena tingkat kesuburannya juga rendah.
2.
Lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga fungsi hidrologi telah menurun. Apabila tidak ada usaha perbaikan maka akan menjadi lahan kritis dalam waktu yang relatif singkat. Solum tanah sedang (60-90 cm) dengan ketebalan lapisan atas (horizon A) umumnya kurang dari 5 cm. Lahan
11
ditumbuhi vegetasi yang didominasi alang-alang, rumput semak belukar dan tanaman tahunan dengan sebaran yang jarang. Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, dengan ciri-ciri: 1.
Lahan yang telah mengalami erosi berat, dengan jenis erosi umumnya erosi parit (gully erosion).
2.
Kedalaman tanah sangat dangkat kurang dari 60 cm.
3.
Persentase penutupan lahan kurang dari 50%
4.
Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah perladangan, padang rumput/alang-alang dan semak belukar tandus. Lahan sangat kritis merupakan lahan yang sangat rusak sehingga tidak
berpotensi lagi untuk lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi, dengan ciri-ciri: 1.
Lahan telah mengalami erosi sangat berat (horizon A dan B telah hilang), selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor, (landslide/slumping), tanah merayap (land creeping) dengan dinding longsoran yang sangat tebal.
2.
Lapisan tanah dangkal sampai sangat dangkal (<30 cm) atau tanpa lapisan atas dan atau tinggal bahan induk, sebagian besar horizon B telah tererosi.
3.
Persentase penutupan vegetasi sangat rendah (<25%) bahkan gundul dan tandus. Departemen Kehutanan (2009), dalam penilaian lahan kritis di setiap lahan
mengacu pada definisi lahan kritis yaitu sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Berdasarkan fungsi lahan penetapan lahan kritis dikelompokkan dalam tiga kawasan meliputi: 1.
Kawasan hutan lindung, adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan kawasan rawan
12
bencana alam. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; penutupan lahan dari vegetasi pohon, kelerengan lapangan, tingkat erosi, dan manajeman lahan. 2.
Kawasan budidaya untuk usaha pertanian, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; produktivitas lahan, kelerengan lapangan, kenampakan tingkat erosi, penutupan batu-batuan, dan manajemen lahan.
3.
Kawasan lindung di luar kawasan hutan, merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tetapi tidak lagi sebagai hutan dan pada umumnya telah diusahakan sebagai daerah produksi. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; penutupan lahan dari vegetasi pohon, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen lahan. Lahan kritis merupakan sasaran indikatif rehabilitasi hutan dan lahan yang
diprioritaskan untuk segera direhabilitasi. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan dari aspek hidrologi bertujuan Pengendalian banjir dan meningkatkan potensi air, dari aspek lahan bertujuan untuk Rehabilitasi lahan kritis, Pengendalian erosi dan sedimentasi, dan Peningkatan produktivitas lahan dan dari aspek sosial ekonomi bertujuan untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat.
2.5 Manajemen/Pengelolaan Lahan Menurut Departemen Kehutanan (2004), manajemen/pengelolaan lahan adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif, atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi agar menjadi lebih produktif. Manajemen atau tindak konservasi lahan ini dapat diamati langsung di lapangan dengan melihat perlakuan terhadap lahan misalnya metode konservasi lahan yang diterapkan pada
13
kawasan budidaya sesuai dengan petunjuk teknis. Sedangkan pada kawasan hutan yaitu adanya pengawasan, penyuluhan, dan tata batas kawasan. Menurut Sitorus (1998), pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan. Sistem pengelolaan lahan mencakup upaya untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lahan meliputi lima unsur kegiatan, yaitu : 1.
Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya
2.
Tindakan konservasi tanah dan air
3.
Penyiapan tanah dalam keadaan olah yang baik
4.
Penggunaan sistem pergiliran tanaman yang baik
5.
Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah untuk menanggulangi lahan kritis
diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Usaha konservasi tanah terdiri dari 3 metode yaitu : a.
Metode Fisik Mekanik Metode fisik mekanik merupakan usaha-usaha pengawetan tanah untuk
mengurangi banyaknya tanah yang hilang pada lahan pertanian dengan cara-cara mekanis. Metode mekanis konservasi tanah berfungsi sebagai berikut: 1.
Memperlambat aliran permukaan
2.
Menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak
3.
Memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah
4.
Penyediaan air bagi tumbuhan Beberapa metode konservasi mekanik yang dikemukakan Arsyad sebagai
berikut: 1) pengolahan tanah (tillage), 2) pengolahan tanah menurut kontur (contur cultivation), 3) guludan saluran menurut kontur, 4) teras, 5) dam penghambat (chek dam), 6) waduk, rorak, tanggul, dan 6) perbaikan drainase dan irigasi.
14
b.
Metode Kimiawi Metode kimiawi merupakan usaha konservasi tanah menggunakan bahan
kimia atau secara kimiawi, baik bahan kimia sintesis atau alami. Arsyad (2000), menyatakan
bahwa
senyawa
organik
tertentu
dapat
memperbaiki
dan
meningkatkan stabilitas agregat tanah, akan tetapi senyawa organik tersebut masih terlalu mahal untuk dipergunakan secara luas. Metode kimiawi ini jarang digunakan dalam usaha konservasi tanah. c.
Metode Biologis/Vegetatif Metode vegetatif merupakan usaha konservasi tanah dengan melakukan
penanaman dengan berbagai jenis tanaman. Metode vegetatif yang digunakan dalam konservasi tanah meliputi; 1) penanaman majemuk (multiple cropping), 2) pergiliran tanaman (crop rotation), 3) tumpang sari (intercropping), 4) mulsa dan lain-lain.
2.6 Pemanfaatan SIG untuk Analisis Perubahan Lahan dan Lahan Kritis Pengertian SIG menurut Barus dan Wiradisastra (2000), adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data dan berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. Suatu SIG suatu sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Danudoro (2006), menyatakan bahwa SIG merupakan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka bumi. Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), tumbuhnya SIG merupakan respon akan kebutuhan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Perkembangan SIG didasari oleh halhal sebagai berikut: a) perkembangan komputer dan sistem informasi, b) perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan permasalahan di bidang masing-masing yang terkait dengan aspek keruangan (spasial).
15
Prahasta (2005), menyatakan bahwa SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain : 1. Data input berfungsi mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain atau dari bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG. 2. Data manajemen berfungsi mengorganisasikan baik data spasial maupun non spasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, pemutakhiran (updating) dan penyuntingan (editing). 3. Data manipulasi dan analisis berfungsi memanipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. 4. Data output berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahan-bahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat dibaca oleh komputer. Kekuatan fungsi GIS memberikan alat untuk pengolahan data multisumber dan efektif dalam menganalisis deteksi perubahan yang menggunakan data multisumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan penggunaan lahan. Menurut Barus dan Wiradisatra (2000), aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang lingkungan aplikasi
16
SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan. Penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian GIS melalui pengolahan peta-peta digital yang dibutuhkan untuk penilaian lahan kritis seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Aplikasi GIS untuk memperoleh data lahan kritis adalah overlay dan skoring setiap parameter untuk penilaian tingkat kekritisan suatu lahan. Perencanaan pembangunan wilayah harus mempertimbangkan lahan kritis oleh karena berkaitan erat dengan kerusakan lahan. Kerusakan lahan mempengaruhi ketersediaan sumber daya air dan produktivitas lahan yang berakibat terhadap kehidupan masyarakat. Sumberdaya air yang makin berkurang berpengaruh terhadap suplai air irigasi pertanian sehingga produksi pertanian berkurang. Sumber daya air untuk pembangkit energi berpengaruh terhadap aktivitas industri, dan rumah tangga apabila sumber daya air berkurang.
2.7 Landsat Landsat
merupakan
program
tertua
dalam
observasi
bumi
yang
dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, yang merupakan satelit percobaan (eksperimental). Generasi pertama memiliki dua jenis sensor, yaitu penyiam multi spektral (MSS) dengan empat saluran dan tiga kamera RBV (Return Beam Vidicon). Setelah tahun 1982, generasi kedua satelit membawa dua sensor Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Saat ini, hanya Landsat-5 dan 7 sedang beroperasi. Terakhir kali NASA menambahkan penajaman sensor band pankromatik yang ditingkatkan resolusi spasialnya menjadi 15x15 meter sehingga dengan kombinasi diperoleh citra komposit dengan resolusi 15x15 meter (Lindgren, 1985). Saluran TM mempunyai nilai lebih untuk analisis pemisahan vegetasi, pengukuran kelembaban tumbuhan dan tanah, pembedaan awan dan salju, dan
17
identifikasi perubahan hidrothermal pada tipe-tipe batuan tertentu. Data ETM mempunyai proyeksi tanah IFOV (instantaneous field of view) atau ukuran daerah yang diliput dari setiap piksel disebut resolusi spasial. Resolusi spasial keenam saluran spektral sebesar 30 meter, sedangkan resolusi spasial untuk saluran inframerah thermal adalah 120 meter (Jensen, 1986). Saluran atau band-band spektral pada citra landsat mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda. Perbedaan panjang gelombang pada saluran citra landsat mempunyai kelebihan atau kegunaan masing-masing dalam melakukan interpretasi citra. Fungsi dari tiap-tiap band pada citra landsat tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+
1
Kisaran Gelombang (µm) 0,45 – 0,52
2
0,52 – 0,60
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak di antara dua saluran penyerapan. Digunakan untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan tanaman sehat dengan tanaman yang tidak sehat
3
0,63 – 0,69
Untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil
4
0,76 – 0,90
Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air
5
1,55 – 1,75
Untuk membedakan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kelembaban tanah
6
2,08 – 2,35
Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal
7
10,40 – 12,50
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembaban tanah, dan analisis lain yang berkaitanan dengan gejala termal
8
Pankromatik
Analisis wilayah untuk permukiman misalnya permukiman kota yang padat, penajaman batas linier, analisis setiap rencana tata ruang
Saluran
Kegunaan Utama interpretasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997
Landsat telah mengalami berbagai perkembangan atau penyempurnaan dari generasi pertama dan kedua. Hal ini akan menyebabkan landsat juga mengalami perubahan karakteristik. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dari landsat ETM+.
18
Tabel 2 Karakteristik Landsat ETM+ No
Sistem
Landsat-7 0
1
Orbit
705 km, 98.2 , sun-synchronous, 10:00 AM crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle)
2
Sensor
ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
3
Swath Width
185 km (FOV=150)
4
Off-track viewing
Tidak tersedia
5
Revisit Time
16 hari
6
Band-band Spektral (µm)
0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)
7
Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi spasial)
15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6
8
Arsip data
earthexplorer.usgv.gov
Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Alur Penelitian Penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk (aspek sosial) dan perkembangan ekonomi (aspek ekonomi). Di samping itu, kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan juga akan mempengaruhi penggunaan lahan. Seiring dengan perkembangan aspek sosial dan ekonomi, penggunaan lahan juga akan meningkat. Konsekuensinya kebutuhan akan lahan meningkat sedangkan lahan sendiri ketersediaannya tetap. Peningkatan kebutuhan lahan secara langsung berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan seringkali tidak memperhatikan karakteristik fisik lahan sehingga dapat menimbulkan terbentuknya lahan kritis. Pola dan struktur penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis, dapat diidentifikasi dengan menganalisis perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dan sebaran lahan kritis, dapat digunakan sebagai dasar penyusunan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik fisiknya. Kerangka dari tahapan alur penelitian ini tersaji pada Gambar 2.
20
Citra Landsat Tahun 1996 dan 2009 Band 542 Peta Jenis Tanah Kriteria Kehutanan
Interpretasi Citra
Peta Kelerengan Peta Erosi
Klasifikasi Penggunaan Lahan
Cek Lapangan
Peta Solum Tanah Peta Drainase Peta Singkapan Batuan
Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009
Lahan Kritis Tahun 1996 dan 2009
Overlay
Lahan Kritis yang Mendekati Kondisi Lapangan
Peta Rawan Longsor
Overlay
Kelas Kemampuan Lahan
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009 RTRW Kabupaten
-
Analisis : Perubahan Penggunaan Lahan Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Penggunaan Lahan Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Pada Berbagai Kemampuan Lahan Sebaran Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten Kulon Progo
Masukan dan Arahan Pengembangan Wilayah
Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian
21
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas Kabupaten Kulon Progo ± 58. 027 ha (580,27 km2), secara geografis terletak pada 11001’37’’–110016’26’’ Bujur Timur dan 7038’42’’–7059’3’’ Lintang Selatan. Kabupaten Kulon Progo sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Persiapan penelitian dilakukan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran sumber data, baik data sekunder maupun data primer. Penelusuran data dilakukan melalui buku-buku pustaka, peta-peta terkait, internet, peraturan perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait baik instansi pemerintah daerah maupun pusat atau instansi/lembaga lainnya. Sumber data primer diperoleh melalui survei/cek di lapangan terutama terkait dengan penggunaan lahan hasil analisis citra Landsat dan lahan kritis dengan kondisi sesungguhnya di lapangan.
3.3.2 Pengumpulan Data Data dan informasi dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan primer. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang meliputi: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kulon Progo, Bappeda Kabupaten Kulon Progo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Kantor Pertanahan Kabupaten Kulon Progo, BPKH Wilayah XI Jawa-Madura, Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan instansi lain yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Data primer diperoleh melalui cek lapangan dan pengambilan dokumentasi sebagai validasi dan verifikasi dari analisis penggunaan lahan dan lahan kritis. Verifikasi bertujuan untuk mengecek kebenaran, ketepatan dan kenyataan di
22
lapangan. Di samping itu, data primer juga diperoleh melalui wawancara terhadap stakeholder pemangku pengelola lahan, terkait perubahan penggunaan lahan dan terbentuknya lahan kritis. Stakeholder meliputi Penyuluh Kehutanan dan Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, dan BPKH Wilayah XI Jawa-Madura.
3.3.3 Analisis Data Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi citra Landsat TM band 542 tahun 1996 dan tahun 2009. Berdasarkan hasil interpretasi kemudian dilakukan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine dengan metode klasifikasi secara terbimbing (supervised classification) pada kombinasi band 5, 4, dan 2 (RGB). Perubahan penggunaan lahan diperoleh dengan membandingkan penggunaan lahan hasil dari interpretasi citra tahun 1996 dan 2009, yang diperkuat dengan pengecekan lapangan. Proses membandingkan perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui overlay kedua peta penggunaan lahan dengan software ArcGis versi 9.3 atau Arcview versi 3. Hasil overlay akan diperoleh jenis penggunaan lahan apa saja yang mengalami perubahan dari tahun 1996 sampai 2009. Perhitungan dari luasan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dilakukan dengan program excel. Alur analisis perubahan penggunaan lahan tersaji pada Gambar 3.
23
Citra Landsat Tahun 1996 Tahun 2009
Persiapan Citra : 1. Komposit Citra pada Band 542 (RGB) 2. Koreksi Geometri 3. Clip Citra dengan Peta Administrasi 4. Interpretasi Citra
Klasifikasi Terbimbing : 1. Training area 2. Metode maximum likelihood 3. Recoding-clump-eliminite-filtering 4. Editing
Peta Penggunaan Lahan Tahun 1996 sementara
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009 sementara
Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 1996
Cek Lapangan
Perbaikan Peta Penggunaan Lahan 2009
Peta Penggunaan Lahan Tahun 1996
Overlay
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009
Perubahan Penggunaan lahan
Gambar 3 Diagram Alir Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis Kemampuan Lahan Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem USDA yang dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 210 (Klingebiel dan Montgomery, 1961). Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang meliputi sifat tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Lahan dikelompokkan ke dalam kelas I-VIII (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kelas kemampuan lahan dilakukan terhadap satuan lahan. Satuan lahan diperoleh melalui overlay peta jenis tanah, peta kelerengan, peta erosi, peta kedalaman solum, peta rawan bahaya longsor, peta drainase, dan peta singkapan batuan. Overlay dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dari overlay tiap peta diperoleh kombinasi parameter, sehingga dapat dilakukan
24
identifikasi lahan. Besarnya hambatan dari masing-masng parameter, menentukan kelas kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan yang dihasilkan memuat informasi dan data yang berhubungan dengan karakteristik fisik lahan. Evaluasi kelas kemampuan lahan dilakukan dengan membandingkan setiap satuan lahan dengan kriteria yang digunakan. Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan dijelaskan dalam Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi kemampuan lahan dan arahan penggunaan lahan Kelas I
Kriteria Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan dalam penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan terutama pertanian.
Penggunaan Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput, hutan, dan cagar alam.
II
Mempunyai beberapa hambatan dan memerlukan tindakan konservasi sedang. Faktor penghambat ; lereng landai, erosi sedang, struktur tanah kurang baik, gangguan salinitas, kadang tergenang, drainase buruk yang mudah diperbaiki dengan saluran.
Pertanian tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan, dan cagar alam.
III
Faktor penghambat agak berat, yang meliputi : lereng agak curam, erosi cukup berat, sering tergenang banjir.
Pertanian : tanaman semusim, tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.
IV
Faktor penghambat yang berat, meliputi : lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang terjadi berat, tanah dangkal, sering tergenang banjir, dan drainase terhambat meskipun telah dibuat saluran.
Pertanian semusim, rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam.
V
Tidak ada ancaman erosi tetapi mempunyai penghambat lain yang sukar dihilangkan, misalnya drainase yang sangat buruk, sering kebanjiran, berbatu-batu, dan penghambat iklim yang besar.
Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam.
VI
Mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng sangat curam, bahaya erosi dan erosi yang terjadi sangat berat, berbatu-batu, solum dangkal, drainase buruk, dan penghambat iklim besar.
Tanaman rumput, penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam.
VII
Lahan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. Faktor penghambat meliputi : lereng terjal, erosi sangat berat, berbatu-batu, dangkal, drainase buruk, dan iklim sangat menghambat.
Padang rumput dan hutan produksi.
VIII
Lahan harus dibiarkan dalam keadaan alami, atau di bawah vegetasi hutan. Penghambat tidak dapat diperbaiki lagi yang meliputi : lereng sangat terjal, erosi sangat berat, iklim sangat buruk, berbatu-batu, dan selalu tergenang.
Hutan lindung, rekreasi alam, dan cagar alam.
Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup
25
Analisis Potensi Lahan Kritis Penetapan lahan kritis dalam penelitian ini mengacu pada kriteria kehutanan, menurut SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Gambar 4 menunjukkan tingkat kekritisan lahan menurut kriteria kehutanan. Peta Kelas Lereng Kelas Skor • Datar 5 • Landai 4 • Agak Curam 3 • Curam 2 • Sangat Curam 1
Peta Erosi Kelas • Ringan • Sedang • Berat • Sangat Berat
Skor 5 4 3 2
Peta Manajemen Kelas • Baik • Sedang • Buruk
Skor 5 3 1
Overlay Peta Tutupan Lahan Kelas Skor • Sangat Baik 5 • Baik 4 • Sedang 3 • Buruk 2 • Sangat Buruk 1
Peta Tingkat Kekritisan Lahan
Tingkat Kekritisan Lahan Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
Total Skor ≤ 180 181-270 271-360 361-450 ≥ 451
Total Skor ≤ 200 201-275 276-350 351-425 ≥ 426
Total Skor ≤ 200 201-275 276-350 351-425 ≥ 426
Gambar 4 Kriteria Tingkat Kekritisan Lahan dari Kehutanan Penilaian lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yaitu lahan yang
telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun diluar kawasan hutan. Sasaran penilaian lahan kritis dibedakan berdasarkan fungsi lahan yang berkaitan, yaitu fungsi kawasan lindung bagi hutan
26
lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Data spasial lahan kritis disusun setelah data spasial masing-masing parameternya disusun terlebih dahulu. Data spasial masing-masing parameter harus dibuat dengan standar yang sama, meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan data atributnya. Setiap fungsi lahan, ditentukan parameter pendukungnya yang terbagi lagi ke dalam beberapa kelas. Untuk penilaiannya, masing-masing parameter diberi bobot dan masing-masing kelas diberi skoring. Total skor setiap parameter merupakan perkalian bobot dengan skor dari masing-masing parameter. Penjumlahan dari total skor masing-masing parameter setiap fungsi lahan menunjukkan tingkat kekritisan lahan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan sesuai dengan SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004 meliputi : kondisi tutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, singkapan batuan (outcrop), kondisi pengelolaan (manajemen), dan produktivitas lahan. Informasi tentang tutupan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+. Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan persentase tutupan tajuk pohon dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Tutupan lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk. Kemiringan lereng merupakan sudut yang terbentuk antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan satuan %(persen) dan o(derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta rupa bumi. Pengolahan data ketinggian menghasilkan model elevasi digital (Digital Elevation Model/DEM). Kemiringan lereng yang dihasilkan selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi lahan kritis. Kemiringan lereng dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: datar, landai, agak curam, curam, dan sangat curam.
27
Data spasial tingkat erosi, salah satu sumbernya dapat diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Tingkat erosi pada suatu lahan dalam penentuan lahan kritis dibedakan menjadi empat kelas yaitu: ringan, sedang, berat dan sangat berat. Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, yang berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Produktivitas lahan dalam penilaian lahan kritis dibagi menjadi lima kelas yaitu : sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi produktivitas lahan dan skoringnya untuk penilaian lahan kritis Kelas
Besaran / Deskripsi
Skor
Total Skor
Sangat Tinggi
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : > 80%
5
150
Tinggi
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 61 – 80%
4
120
Sedang
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 41 – 60%
3
90
Rendah
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 21 – 40%
2
60
Sangat Rendah
Ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : < 20%
1
30
Total skor = skor x % bobot (untuk produktivitas lahan adalah 30)
Manajemen
dinilai
berdasarkan
kelengkapan
aspek
pengelolaan.
Manajemen untuk fungsi kawasan lindung meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Manajemen pada kawasan lindung di luar kawasan hutan adalah ada atau tidak adanya penerapan teknologi konservasi tanah. Manajemen pada kawasan budidaya untuk pertanian berdasarkan usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan.
28
Manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Berkaitan dengan penyusunan data spasial lahan kritis, kriteria tersebut perlu dispasialisasikan dengan menggunakan atau berdasar pada unit pemetaan kriteria produktivitas, yaitu unit pemetaan land system atau unit pemetaan yang lebih detail. Kriteria manajemen dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi tiga kelas yaitu : baik, sedang, dan buruk. Singkapan batuan (outocrop) merupakan batuan yang tersingkap/terungkap di atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang terpendam dalam tanah. Parameter ini hanya digunakan untuk pemetaan lahan kritis pada kawasan budidaya tanaman pertanian. Klasifikasi singkapan batuan dibagi menjadi tiga kelas yaitu : sedikit, sedang, dan banyak. Setiap fungsi lahan mempunyai parameter masing-masing dalam penilaian tingkat kekritisannya. Berikut merupakan parameter yang digunakan dalam penilaian lahan kritis setiap fungsi lahan.
Fungsi Kawasan Lindung Kawasan hutan lindung merupakan kawasan perlindungan dan pelestarian sumberdaya tanah, hutan, air, dan bukan sebagai daerah produksi. Parameter penilaian kekritisan lahan kawasan hutan lindung dikonsentrasikan pada parameter penilaian kekritisan yang berkaitan dengan fungsi perlindungan pada sumberdaya hutan (vegetasi), tanah dan air, faktor kemiringan lereng, tingkat erosi dan manajemen pengelolaan yang dilakukan. Penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase penutupan oleh tajuk pohon. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung disajikan pada Tabel 5.
29
Tabel 5 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan hutan lindung Parameter (% Bobot) Penutupan Lahan (50)
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
>80 % 61-80 % 41-60 % 21-40 % < 20 %
5 4 3 2 1
Total Skor 250 200 150 100 50
Lereng (20)
1. 2. 3. 4. 5.
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat curam
<8% 8- 15 % 16-25 % 25-40 % > 40 %
5 4 3 2 1
100 80 60 40 20
Erosi (20)
1. Ringan
-Tanah dalam: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m -Tanah dangkal: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m - Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 25-50 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-50 m - Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 2050 m - Tanah dangkal: 25-75 % lapisan tanah atas hilang - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 25 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m - Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi
5
100
4
80
3
60
2
40
Lengkap *) Tidak lengkap Tidak ada
5 3 1
50 30 10
Kelas
2. Sedang
3. Berat
4. Sangat Berat
Manajemen (10)
*) : -
1. Baik 2. Sedang 3. Buruk
Tata batas kawasan ada Pengamanan pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan
Besaran/Deskripsi
Skor
30
Fungsi Kawasan Budidaya Untuk Usaha Pertanian Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, penutupan oleh batu-batuan dan manajemen. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan budidaya untuk usaha pertanian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria penilaian lahan kritis di kawasan budidaya untuk usaha pertanian Parameter (% Bobot) Produktivitas (30)
Kelas
Besaran/Deskripsi
Skor
1. Sangat tinggi 2. Tinggi 3. Sedang 4. Rendah 5. Sangat rendah
>80 % 61-80 % 41-60 % 21-40 % < 20 %
5 4 3 2 1
Total Skor 150 120 90 60 30
Lereng (20)
1. 2. 3. 4. 5.
<8% 8- 15 % 16-25 % 25-40 % > 40 %
5 4 3 2 1
100 80 60 40 20
Erosi (15)
1. Ringan
5
75
4
60
3
45
2
30
5 3 1
25 15 5
5 3 1
150 90 30
Datar Landai . Agak Curam Curam Sangat curam -
2. Sedang
-
3. Berat
4. Sangat Berat
-
-
Batuan (5)
1. 2. 3.
Sedikit Sedang Banyak
Manajemen (30)
1. 2. 3.
Baik Sedang Buruk
*) : -
Tanah dalam: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m Tanah dangkal: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m Tanah dangkal: 25-50 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-50 m Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m Tanah dangkal: 25-75 % lapisan tanah atas hilang Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 25 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi < 10 % 10-30 % > 30 %
-
Penerapan teknologi konservasi
Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada
31
Kawasan budidaya untuk pertanian adalah kawasan yang fungsi utamanya adalah sebagai daerah produksi dan diusahakan agar berproduksi secera lestari. Oleh sebab itu penilaian kekritisan lahan di daerah produksi dikaitkan dengan fungsi produksi dan pelestarian sumberdaya tanah, vegetasi, dan air untuk produktivitas.
Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan adalah tutupan lahan, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen. Kawasan lindung di luar kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung tetapi kawasan tersebut tidak lagi sebagai hutan. Pada umumnya daerah tersebut sudah diusahakan sebagai kawasan budidaya terutama untuk kegiatan produksi. Namun secara prinsip daerah ini masih tetap berfungsi sebagai daerah perlindungan atau pelestarian sumberdaya tanah, hutan, dan air. Oleh karena itu parameter penilaian kekritisan lahan di daerah ini harus dikaitkan dengan fungsi sumberdaya tanah, vegetasi permanen, kemiringan lereng, tingkat erosi dan tingkat pengelolaan atau manajemen lahan. Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan disajikan pada Tabel 7.
32
Tabel 7 Kriteria penilaian lahan kritis untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan Parameter (% Bobot) Tutupan Lahan (50)
Kelas
Besaran/Deskripsi
Skor
1. Sangat baik 2. Baik 3. Sedang 4. Buruk 5. Sangat buruk
>40 % 31-40 % 21-30 % 10-20 % < 10 %
5 4 3 2 1
Total Skor 250 200 150 100 50
Lereng (20)
1.Datar 2.Landai 3.Agak Curam 4.Curam 5.Sangat curam
<8% 8- 15 % 16-25 % 26-40 % >40 %
5 4 3 2 1
100 80 60 40 20
Erosi (20)
1. Ringan
- Tanah dalam: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m - Tanah dangkal: Kurang dari 25 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m - Tanah dalam: 25-75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 m - Tanah dangkal: 25-50 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur dengan jarak < 20-50 m - Tanah dalam: lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m - Tanah dangkal: 25-75 % lapisan tanah atas hilang - Tanah dalam: Semua lapisan tanah atas hilang lebih dari 25 % lapisan tanah bawah hilang dan atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m - Tanah dangkal: > 75 % lapisan tanah atas telah hilang dan sebagian lapisan tanah bawah tererosi
5
100
4
80
3
60
2
40
- Lengkap*) - Tidak lengkap - Tidak ada
5 3 1
50 30 10
2. Sedang
3. Berat
4. Sangat Berat
Manajemen (10)
*) : -
1. Baik 2. Sedang 3. Buruk
Tata batas kawasan ada Pengamanan pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan
33
Analisis Karakteristik Lahan Terhadap Lahan Kritis Analisis ini digunakan untuk mendukung validasi dan verifikasi yang telah dilaksanakan melalui cek lapangan. Data dan informasi yang tidak dapat diperoleh di lapangan atau keterbatasan dalam melaksanakan cek lapangan, untuk memperkuat validasi dilakukan pendekatan dengan membandingkan peta karakteristik lahan terhadap lahan kritis yang diperoleh dari hasil analisis.
Analisis Sebaran Lahan Kritis Terhadap RTRW Kabupaten Analisis dilakukan dengan overlay peta lahan kritis hasil analisis dengan peta RTRW Kabupaten. Hasil dari overlay akan diperoleh sebaran lahan kritis di setiap arahan pemanfaatan ruang yang terdapat pada RTRW. Data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan, dasar pertimbangan dan arahan pengembangan wilayah kabupaten.
34
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Lingkungan Fisik 4.1.1 Letak, Luas, dan Batas Wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten di bagian barat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah ± 58.027 ha (580,27 km2). Letak geografis Kabupaten Kulon Progo pada 11001’37’’–110016’26’’ BT dan 7038’42’’–7059’3’’ LS sebagaimana pada Gambar 5, dengan batas-batas : - sebelah utara
: Kab. Magelang Propinsi Jawa Tengah
- sebelah timur
: Kab. Sleman dan Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta
- sebelah selatan : Samudera Hindia - sebelah barat
: Kab. Purworejo Propinsi Jawa Tengah
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Gambar 5 Peta Administrasi Kabupaten Kulon Progo
35
4.1.2 Topografi Secara umum wilayah Kabupaten Kulon Progo dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan terutama di wilayah bagian utara. Oleh karena itu wilayahnya mempunyai ketinggian yang cukup beragam. Gambar 6 menunjukkan ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Gambar 6 Peta Ketinggian Wilayah Kabupaten Kulon Progo Wilayah Kabupaten Kulon Progo didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 100 m dpl yaitu sebesar 56,12%. Wilayah dataran rendah tersebut, terdapat pada bagian selatan memanjang ke utara di bagian timur. Ketinggian wilayah 100-500 m dpl tersebar di wilayah Kabupaten Kulon Progo
36
bagian tengah ke utara. Wilayah dengan ketinggian 500-1.000 m dpl merupakan yang paling kecil luasannya, dengan penyebarannya meliputi wilayah Kulon Progo bagian barat memanjang dari tengah ke utara. Berdasarkan ketinggian wilayah, Kabupaten Kulon Progo terbagi atas tiga bagian dengan luasan dari masing-masing bagian tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo No.
Ketinggian (m dpl)
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
0 - 100
32.563
56,1
2
100 - 500
19.543
33,7
3
500 - 1.000
5.922
10,2
Jumlah (Ha)
58.027
100,0
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Penyebaran ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo tidak mengikuti batas administrasi dalam hal ini batas kecamatan. Kecamatan Nanggulan, Kokap, Girimulyo, dan Pengasih mempunyai ketinggian wilayah yang beragam. Hal ini berbeda dengan wilayah Kulon Progo bagian selatan. Kecamatan Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan sebagian Pengasih merupakan kecamatan dengan wilayah relatif datar dan ketinggian kurang dari 100 m dpl. Keadaan topografi Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Keadaan topografi Kabupaten Kulon Progo Kelompok
Keadaan Topografi
Wilayah Kecamatan
Bagian Utara
Perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 - 1.000 m dpl
Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Nanggulan
Bagian Tengah
Daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 - 500 m dpl
Kalibawang, Nanggulan, Girimulyo, sebagian Samigaluh, sebagian Pengasih, dan sebagian Kokap
Bagian Selatan
Dataran rendah dengan ketinggian sampai 100 m dpl
Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan sebagian Pengasih
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Kabupaten Kulon Progo mempunyai karakteristik wilayah dengan ketinggian yang tersebar cukup beragam. Hal ini akan berpengaruh terhadap
37
tingkat kemiringan lereng. Gambar 7 menunjukkan sebaran tingkat kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo.
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Gambar 7 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Kulon Progo Gambar 7 menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Kulon Progo mempunyai tingkat kemiringan dari datar sampai dengan sangat curam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-3%) sangat mendominasi, tersebar di Kulon Progo bagian selatan. Kelerengan 3-8% umumnya mempunyai penyebaran di sekitar tingkat kemiringan kelerengan 0-3%, terutama di wilayah Kulon Progo sebelah timur bagian utara. Tingkat kemiringan lereng 3-8% mempunyai luasan yang kecil. Tingkat kemiringan lereng 8-15% tersebar secara terpencar dengan luasan
38
kecil-kecil di bagian tengah wilayah Kulon Progo. Tingkat kemiringan lereng 1525% tersebar terutama di Kulon Progo bagian tengah sebelah timur. Di samping itu tingkat kemiringan lereng 15-25% tersebar terpencar di antara lereng dengan kemiringan lebih dari 25%. Tingkat kemiringan lereng 25-40% atau lebih terdapat pada wilayah Kulon Progo sebelah barat mulai dari tengah ke utara. Berdasarkan persentase luas tiap tingkat kemiringan lereng, lereng 0-3% mendominasi wilayah Kabupaten Kulon Progo. Tingkat kemiringan lereng 2540% atau lebih mempunyai persentase luasan yang tidak terpaut jauh masingmasing 25,6% dan 21,5%. Tingkat kemiringan lereng yang lain mempunyai luasan dengan persentase yang kecil yaitu kurang dari 10%. Sebaran kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Kelas kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo No.
Kelas Kelerengan
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
0-3%
20.680
35,6
2
3-8%
2.733
4,7
3
8 - 15 %
2.356
4,1
4
15 - 25 %
14.885
25,6
5
25 - 40 %
4.912
8,5
6
> 40 %
12.460
21,5
Jumlah 58.027 Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
100,0
4.1.3 Jenis Tanah Kabupaten Kulon Progo mempunyai tujuh jenis tanah meliputi aluvial, litosol, regosol, renzina, podsolik, mediteran, dan latosol. Tanah latosol merupakan jenis yang dominan, tersebar di Kecamatan Pengasih, Kokap, Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh dengan persentase 42,19% dari luas wilayah kabupaten. Tanah aluvial, tersebar di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, Sentolo, Pengasih dan Nanggulan dengan persentase 22,77%. Tanah regosol tersebar di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Lendah, dan Galur dengan persentase 9,22%. Tanah regosol dan litosol mempunyai persentase luasan yang cukup besar sekitar 12,51% dengan penyebaran meliputi Wates, Panjatan, Lendah, Sentolo,
39
Nanggulan dan Kalibawang. Tanah litosol, mediteran dan renzina mempunyai persentase luasan 12,38% dengan penyebaran meliputi Kokap, Wates, Pengasih, Sentolo, Nanggulan, dan Kalibawang. Tanah podzolik dan regosol mempunyai persentase luasan yang sangat kecil sekitar 1% yang tersebar diperbatasan antara Nanggulan, Kalibawang dan Girimulyo. Tanah latosol dan litosol sangat kecil dan terdapat di Kecamatan Kalibawang. Gambar 8 menunjukkan persebaran jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo.
Sumber data : BPDAS Serayu Opak Progo, 2009
Gambar 8 Peta Jenis Tanah di Kabupaten Kulon Progo Sebaran jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo selengkapnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 11.
40
Tabel 11 Jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo No.
Jenis Tanah
1
Aluvial
2
Komplek Litosol, Mediteran dan Renzina
3
Komplek Latosol dan Litosol
4
Komplek Podsolik dan Regosol
5
Komplek Regosol dan Litosol
6 7
Luas (Ha)
Persentase (%)
13.215
22,8
7.183
12,4
11
0,0
525
0,9
7.261
12,5
Latosol
24.481
42,2
Regosol
5.351
9,2
58.027
100,0
Jumlah (Ha)
Sumber data : BPDAS Serayu Opak Progo, 2009
4. 1.4 Pola Curah Hujan Curah hujan di Kabupaten Kulon Progo rata-rata mencapai 2.388 mm/tahun, dengan rata-rata hari hujan (hh) sebanyak 112 hh/tahun atau 9 hh/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya ± 24,20C (bulan Juli) dan tertinggi ± 25,40C (bulan April). Kelembaban terendahnya 78,6% (bulan Agustus) dan tertingginya 85,9% (bulan Januari). Intesitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang 45,5%, dengan intensitas terendah 37,5% pada bulan Maret dan tertinggi 52,5% pada bulan Juli. Distribusi curah hujan yang meliputi bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai April, sementara bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September. Menurut Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, tipe iklim dapat diketahui dengan perbandingan antara rata-rata jumlah bulan kering dengan rata-rata jumlah bulan basah. Berdasarkan distribusi curah hujan yang menunjukkan jumlah bulan basah dan bulan kering, diperoleh nilai Q sebesar 71,4%. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, Kabupaten Kulon Progo mempunyai tipe iklim D (sedang). Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 12.
41
Tabel 12 Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Kulon Progo No.
Bulan
Rerata Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hari)
1
Januari
351
16,8
2
Februari
332
15,7
3
Maret
329
15,3
4
April
219
10,3
5
Mei
96
7,0
6
Juni
91
4,6
7
Juli
39
3,4
8
Agustus
30
1,8
9
September
57
2,8
10
Oktober
162
7,4
11
Nopember
303
13,3
12
Desember
320
14,0
2.388
112,0
Rerata Tahunan
Sumber data: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Kulon Progo, 2009
Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa nilai curah hujan akan meningkat seiring meningkatnya ketinggian wilayah. Pola persebaran hujan dan topografi wilayah saling berhubungan antara ketinggian tempat terhadap besarnya curah hujan, dimana daerah yang lebih tinggi secara topografi akan memiliki curah hujan yang lebih besar pula. Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo sesuai dengan topografi wilayah menunjukkan bahwa semakin ke utara curah hujan semakin tinggi. Curah hujan yang tinggi terutama terjadi di Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang. Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Gambar 9.
42
Sumber data : BPKH Wil. XI Jawa-Madura, 2009
Gambar 9 Peta Curah Hujan di Kabupaten Kulon Progo 4.1.5 Penggunaan Lahan Pemanfaatan sumber daya alam harus optimal dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kelestarian, kesesuaian, dan berkelanjutan. Tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan lahan di daerah pesisir sebagian besar telah dikembangkan menjadi lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Wilayah dengan karakteristik kelerengan yang curam merupakan kawasan perlindungan setempat dan perlindungan daerah-daerah dibawahnya. Penggunaan lahan terutama sebagai kawasan hutan. Permukiman, sawah, dan ladang mempunyai persentase
43
penggunaan yang kecil pada kawasan lindung karena keterbatasan topografi dan fungsi kawasan. Kawasan untuk perlindungan meliputi Kecamatan Kokap, Nanggulan, Samigaluh, dan Kalibawang. Area pertanian dan permukiman terutama di bagian tengah dan bagian selatan wilayah kabupaten. Areal pertanian meliputi sawah, tegalan, dan kebun. Daerah lagun digunakan sebagai kebun dengan tanaman seperti pisang, kelapa, dan tanaman lain yang tahan terhadap pengaruh air laut. Selain itu daerah lagum juga digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, daerah pesisir juga berpotensi untuk digunakan sebagai area tambak udang. Secara umum penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo meliputi penggunaan lahan hutan, sawah, tegalan/ladang, kebun campur, dan permukiman. Gambaran dari penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat dari analisis citra yang tersaji pada hasil penelitian ini.
4.2 Kondisi Sosial Budaya 4.2.1 Penduduk Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2008 sebesar 2,81%, dengan jumlah 476.387 orang. Jumlah penduduk tersebut, terdiri dari laki– laki sebanyak 234.364 jiwa dan perempuan sebanyak 242.023 jiwa (Kulon Progo dalam Angka, 2009). Keadaan kependudukan di Kabupaten Kulon Progo menurut registrasi selama lima tahun terakhir tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan pertumbuhan penduduk, serta jumlah kepala keluarga di Kabupaten Kulon Progo No.
Tahun
Laki-laki (jiwa)
Penduduk Perempuan (jiwa)
Jumlah
Pertumbuhan
Jumlah KK
1.
2004
221.326
231.486
452.812
0,7%
96.933
2.
2005
222.567
233.122
455.689
0,6%
98.523
3.
2006
224.779
235.316
460.095
1,0%
99.365
4.
2007
225.993
236.425
463.343
0,7%
100.760
5.
2008
234.364
242.023
476.387
2,8%
100.879
Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Komposisi penduduk di Kabupaten Kulon Progo berdasarkan umur mulai tahun 2008, didominasi kelompok usia produktif dengan usia 19 s/d 59 tahun yakni sebesar 288.919 orang atau 60,65%, sedangkan usia muda umur 0 s/d 18
44
tahun sebanyak 118.079 orang (24,79%) dan yang minoritas adalah kelompok usia tua 60 tahun keatas sebanyak 69.389 orang (14,57%). Komposisi penduduk yang didominasi oleh kelompok usia produktif menunjukkan efektivitas penduduk yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya manusia sebagai modal pembangunan sangat terpenuhi di Kabupaten Kulon Progo. Gambar 10 menunjukkan komposisi penduduk Kabupaten Kulon Progo menurut kelompok umur sampai tahun 2008.
31.448
69.389
45.967 40.664
26.885
0 - 5 tahun 6 - 12 tahun 13 - 18 tahun 19 - 22 tahun 23 - 59 tahun ≥ 60 tahun
262.034 Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009
Gambar 10 Jumlah Penduduk Kabupaten Kulon Progo Menurut Kelompok Umur Tahun 2008
Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk di Kabupaten Kulon Progo paling dominan berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebesar 201.145 orang, SLTA sebesar 125.103 orang dan yang terkecil berpendidikan pascasarjana yakni sebesar 596 orang. Penduduk yang belum sekolah sebesar 78.352 orang, tidak tamat SD sebesar 45.160 orang, dan berpendidikan diploma sebesar 9.628 orang. Berdasarkan mata pencaharian, jenis pekerjaan yang mendominasi adalah petani atau pekebun sebesar 127.496 orang 26,7%, belum/tidak bekerja sebesar 19,25%, pelajar dan mahasiswa sebesar 14,0%, wiraswasta sebesar 10,9%, dan karyawan swasta sebesar 7,7%.
45
4.2.2 Kebudayaan Seni dan budaya merupakan identitas bagi suatu daerah. Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo bernuansa budaya jawa, berkaitan dengan benda-benda bersejarah, upacara adat dan berbagai karya seni lainnya. Kemajuan seni dan budaya akan membawa pengaruh yang positif baik dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya itu sendiri maupun bagi masyarakat pendukungnya baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. Beberapa upacara adat di Kabupaten Kulon Progo sudah dikemas dengan cukup baik sehingga menjadi daya tarik wisata maupun untuk kelestarian budaya itu sendiri. Kesenian Angguk Putri memberikan warna tersendiri sebagai identitas kebanggaan daerah serta diupayakan terwujudnya seni unggulan yang lain yaitu sendratari dengan mengangkat tema lokal. Di wilayah Kabupaten Kulon Progo juga banyak ditemukan peninggalan benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi, dimana sebagian sudah berhasil diidentifikasi.
46
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Interpretasi Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009 Hasil interpretasi citra landsat tahun 1996 dan tahun 2009 pada band 542 (RGB), menunjukkan berbagai penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Penggunaan lahan terdiri dari sembilan jenis meliputi: hutan (HT), kebun campuran (KC), permukiman (PK), sawah (SW), sawah tadah hujan (SWT), tegalan/ladang (TG), semak belukar (SB), sungai (SN), dan waduk (WD). Adapun peta penggunaan lahan Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12.
Sumber data: Interpretasi citra landsat band 542(RGB) tahun 1996
Gambar 11 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996
47
Sumber : Interpretasi citra landsat band 542 (RGB) tahun 2009
Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 Deskripsi dari masing-masing jenis penggunaan lahan hasil analisis citra landsat pada band 542 (RGB) dan pengecekan di lapangan sebagai berikut :
Hutan Hutan mempunyai kenampakan pada citra landsat band 542 dengan warna hijau tua, tekstur kasar, pola tidak teratur umumnya bergerombol dengan luasan yang besar. Penggunaan lahan hutan di Kabupaten Kulon Progo tersebar di sebelah barat dari tengah memanjang ke utara. Kawasan hutan diperuntukkan
48
sebagai kawasan lindung terhadap wilayah setempat dan wilayah yang berada dibawahnya. Vegetasi penyusun hutan lindung merupakan campuran berbagai jenis tanaman tahunan antara lain mahoni, jati, acasia, pinus, kenanga, akasia, kayu putih, sono keling, dan kemiri. Penyebaran hutan terdapat pada wilayah dengan karakteristik fisik kelerengan yang curam sampai sangat curam, terutama dijumpai di Kecamatan Samigaluh, Pengasih, Nanggulan, Kokap, Kalibawang, dan Girimulyo. Kondisi vegetasi penyusun hutan relatif masih baik dengan kondisi penutupan tajuk yang cukup rapat dan merata, seperti terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Penggunaan Lahan Hutan
Semak Belukar Penampakan penggunaan lahan semak belukar pada citra Landsat band 542 (RGB) berwarna coklat kemerahan dengan tekstur kasar, berpola tidak teratur dan menyebar. Semak belukar merupakan lahan-lahan yang ditumbuhi rerumputan, tanaman perdu, dan tumbuhan menjalar. Semak belukar umumnya mempunyai kerapatan cukup padat dan merata menutupi permukaan tanah sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan mempertinggi resapan air. Penggunaan lahan semak belukar sebagian merupakan peralihan dari penggunaan lahan yang satu ke penggunaan lahan lainnya. Penggunaan lahan pertanian yang akan dirubah menjadi areal terbangun biasanya akan tumbuh semak belukar terlebih dahulu. Jenis tanaman semak belukar di Kabupaten Kulon Progo secara umum adalah
49
alang-alang/rumput
dan
tumbuhan
menjalar.
Gambar
14
menunjukkan
penggunaan lahan semak belukar di lahan pesisir Kabupaten Kulon Progo.
Gambar 14 Penggunaan Lahan Semak Belukar
Kebun Campuran Kenampakan penggunaan lahan kebun campuran pada citra landsat band 542 (RGB) berwarna hijau kecoklatan, pola tidak teratur dan menyebar. Kebun campuran di Kabupaten Kulon Progo mempunyai penyebaran di wilayah bagian selatan dan bercampur dengan penggunaan lahan permukiman dan sawah. Di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan kebun mempunyai pola penanaman campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau tumpangsari. Batas tepi kebun ditanami tanaman tahunan dengan jarak tanam teratur dan cukup rapat. Tanaman tahunan penghasil kayu digunakan sebagai batas antar pemilik kebun. Tanaman tahunan yang dimanfaatkan untuk hasil bukan kayu ditanam dalam area kebun bukan sebagai tanaman pagar. Sebagai contoh pada tepi kebun ditanam tanaman tahunan dengan hasil kayu yaitu jenis kayu jati. Tanaman kelapa ditanam dengan jarak tanam secara teratur dalam areal kebun sebagai hasil bukan kayu. Di antara tanaman kelapa ditanami ketela yang merupakan tanaman musiman. Lahan-lahan kebun yang kurang subur oleh masyarakat ditanami tanaman tahunan tanpa tanaman semusim. Gambar 15 menunjukkan penggunaan lahan sebagai kebun campuran.
50
Gambar 15 Penggunaan Lahan Kebun Campuran
Tegalan/Ladang Tegalan/ladang pada citra landsat band 542 (RGB) mempunyai kenampakan seperti kebun campuran. Pada umumnya tegalan/ladang terletak jauh dari permukiman. Tegalan/ladang merupakan areal pertanian untuk tanaman semusim yang tidak memerlukan air dalam jumlah banyak. Tanaman yang dibudidayakan di lahan tegalan/ladang adalah palawija, antara lain kacang tanah, jagung, dan ketela. Tegalan/ladang yang didominasi oleh tanaman palawija membuat lahan sering dalam kondisi terbuka terutama saat tanaman selesai dipanen dan ada waktu tunggu untuk musim tanam berikutnya saat datangnya hujan. Vegetasi tanaman tahunan pada tegalan/ladang juga cukup jarang karena naungannya dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman palawija. Di Kabupaten Kulon Progo tegalan/ladang banyak ditemukan terutama di wilayah dengan kondisi topografi berbukit yaitu wilayah bagian tengah. Tegalan/ladang dengan luasan yang kecil-kecil tersebar di seluruh wilayah. Kegiatan perladangan dilakukan pada lahan-lahan yang cukup subur untuk tanaman palawija, sedangkan untuk lahan-lahan yang diperkirakan kurang menghasilkan apabila ditanami palawija, ditanami tanaman tahunan yang menghasilkan kayu. Pada lahan tegalan/ladang biasanya juga dilakukan teknik konservasi dengan pembuatan teras yang diperkuat dengan susunan batu. Gambar 16 menunjukkan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang.
51
Gambar 16 Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang
Sawah dan Sawah Tadah Hujan Sawah dan sawah tadah hujan pada citra Landsat band 542 (RGB) berbentuk petak-petak yang ukurannya relatif seragam dengan warna kecoklatan atau hijau. Penyebaran sawah irigasi di Kabupaten Kulon Progo terutama dijumpai pada wilayah bagian tengah ke selatan, dengan topografi datar dan ketinggian tempat yang lebih rendah. Petak-petak sawah irigasi lebih seragam dan bentuk yang jelas sedangkan pada sawah tadah hujan bentuk petakannya kurang seragam. Luasan petak/hamparan sawah irigasi cenderung lebih besar daripada sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan dijumpai di Kulon Progo bagian utara, yaitu daerah perbukitan terutama di Kecamatan Samigaluh, Girimulyo dan Kalibawang. Sawah tadah hujan biasanya menyatu dengan tegalan/ladang dan ditanami padi pada saat musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau ditanami palawija. Masyarakat tetap mempertahankan sawah tadah hujan, sehingga tidak dirubah ke penggunaan lahan yang lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat tetap mengharapkan ada hasil pertanian berupa padi setiap tahunnya, sedangkan lahan untuk menghasilkan padi satu-satunya adalah sawah tadah hujan mengingat tidak ada sawah irigasi. Gambar 17 menunjukkan penggunaan lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Kulon Progo.
52
Gambar 17 Penggunaan Lahan Sawah Tadah Hujan
Permukiman Permukiman pada citra landsat band 542 (RGB) mempunyai kenampakan berbentuk kotak-kotak, berwarna magenta tua, bertekstur halus sampai kasar dengan pola teratur. Permukiman di Kabupaten Kulon Progo dapat dibedakan antara permukiman di pedesaan dengan permukiman di perkotaan. Permukiman di pedesaan merupakan permukiman tradisional dengan pola terpencar tidak teratur dengan kelompok kecil-kecil yang berbaur menjadi satu kelompok dengan vegetasi. Jarak antar permukiman juga cukup jauh. Permukiman di perkotaan mempunyai pola berkelompok besar-besar, teratur dengan vegetasi antar permukiman cukup sedikit. Permukiman di perkotaan dengan pola teratur dan seragam merupakan daerah perumahan modern/realestate yang terdiri dari blokblok perumahan. Pola permukiman di perkotaan mengikuti jalan utama dan sebagian juga mengikuti sungai untuk daerah di sekitar kota. Arah perkembangan permukiman di Kulon Progo menunjukkan ke arah selatan wilayah kabupaten, oleh karena dipengaruhi kondisi fisik wilayah yang relatif lebih datar. Penambahan luasan permukiman cukup besar terjadi di Kecamatan Wates, Temon, Sentolo, Panjatan, Nanggulan, dan Galur. Kecamatan Panjatan dan Temon menunjukkan tingkat perkembangan permukiman yang cukup tinggi mengingat kecamatan tersebut berdekatan dengan Wates sebagai ibu kota kabupaten. Pada Kecamatan Sentolo, Nanggulan, dan Galur perkembangan permukiman juga cukup tinggi. Ketiga kecamatan tersebut merupakan jalur
53
penghubung Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Sleman dan Bantul. Kecamatan Pengasih, Lendah, Kokap, Kalibawang, Samigaluh dan Girimulyo merupakan kecamatan dengan tingkat pertumbuhan permukiman yang tidak terlalu tinggi. Gambar 18 menunjukkan Permukiman di perkotaan.
Gambar 18 Penggunaan Lahan Permukiman di Perkotaan
Sungai Sungai pada citra landsat band 542 (RGB) dapat dikenali dari bentuknya yang memanjang berkelok-kelok dan berwarna biru tua atau gelap. Sungai cenderung tetap dari waktu ke waktu karena tidak ada aktivitas manusia yang berakibat terhadap berubahnya bentuk sungai. Di Kabupaten Kulon Progo sebelah timur dijumpai Sungai Progo yang menjadi batas dengan Kabupaten Sleman dan Bantul. Sungai Progo mempunyai anak-anak sungai yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah disekitarnya. Kecamatan Galur dan Lendah merupakan kecamatan yang terluas sungainya, oleh karena disisi timur memanjang ke selatan pada kedua kecamatan ini merupakan muara dari Sungai Progo. Di Kulon Progo bagian tengah, terdapat Sungai Serang yang berhulu di kawasan lindung, di Kecamatan Kokap dan Girimulyo. Sungai Serang melintasi Kecamatan Pengasih, Wates, dan Temon dengan muara di Pantai Glagah. Penggunaan Sungai Serang juga untuk sarana irigasi, sedangkan di daerah muara dibangun pelabuhan laut. Gambar 19 menunjukkan penggunaan lahan sungai di Kabupaten Kulon Progo.
54
Gambar 19 Penggunaan Lahan Sungai
Waduk Waduk yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo yaitu Waduk Sermo, terletak di Kecamatan Kokap. Waduk Sermo merupakan satu-satunya waduk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dibangun pada tahun 1994 dan selesai tahun 1997. Luas genangan dari Waduk Sermo ± 157 ha, dapat menampung air ± 25 juta m3, dengan bentuk waduk yang berkelok-kelok. Waduk Sermo dibangun dengan membendung sungai Ngrancah. Bendungan dibangun menghubungkan dua bukit dengan ukuran bendungan lebar atas delapan meter, lebar bawah 250 meter, panjang 190 meter dan tinggi 56 meter. Pada pembangunan waduk ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo memindahkan 107 KK untuk bertransmigrasi, dengan tujuan 100 KK ke Bengkulu dan 7 KK ke Riau. Waduk Sermo dikelola oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Sermo. Waduk Sermo mempunyai multifungsi, dimana tujuan awal dibangunnya adalah suplai air untuk mengairi sawah seluas 8.100 ha yang berada di wilayah Kulon Progo bagian barat dan selatan. Wilayah ini sebelumnya mendapat pengairan irigasi dari Sungai Progo, akan tetapi sungai Progo tidak sepanjang tahun dapat mengalirkan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian di wilayah Kulon Progo bagian barat dan selatan. Irigasi dari Sungai Progo sekarang hanya digunakan untuk pengairan lahan pertanian di wilayah Kulon Progo bagian timur dan tenggara.
55
Waduk Sermo juga mempunyai fungsi sebagai sarana konservasi dan sudah berfungsi dengan cukup bagus. Sekitar Waduk Sermo merupakan hutan suaka margasatwa dengan landscape perbukitan menoreh. Fungsi lain seperti sumber air minum, belum maksimal. Air Waduk Sermo kedepan diproyeksikan untuk mensuplai air minum PDAM mulai Pengasih, Kokap hingga Wates, Panjatan, Lendah dan Galur, namun saat ini baru sampai di sebagian Kokap dan Pengasih saja. Waduk Sermo juga sebagai obyek wisata, tetapi belum maksimal karena kurang promosi. Pemandangan dan suasana waduk cukup eksotik dengan keindahan panorama alam dan bangunan waduk. Sarana wisata berupa gardu pandang untuk menikmati keindahannya dan perahu yang dapat digunakan untuk mengelilingi waduk. Fungsi lain waduk yaitu sebagai budidaya ikan air tawar. Gambar 20 memperjelas gambaran tentang Waduk Sermo.
Gambar 20 Penggunaan Lahan Waduk Sermo
5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1996 - 2009 Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo selama periode tahun 1996 sampai 2009 telah mengalami perubahan. Gambaran perubahan yang jelas adalah dibangunnya Waduk Sermo. Adapun luas setiap penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 disajikan pada Tabel 14.
56
Tabel 14 Luas Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 - 2009 Penggunaan Lahan
Tahun 1996
Tahun 2009
SB
1.365
2,4
Luas (Ha) 1.216
HT
15.460
26,6
Luas (Ha)
(%)
Perubahan
Laju/Tahun
2,1
-148
-10,9
Luas (Ha) -11
14.479
25,0
-981
-6,3
-75
-0,5
(%)
Luas (Ha)
(%)
(%) -0,8
KC
17.180
29,6
16.774
28,9
-406
-2,4
-31
-0,2
PK
3.842
6,6
4.943
8,5
1.101
28,7
85
2,2
SW
9.064
15,6
8.896
15,3
-168
-1,9
-13
-0,1
SWT
1.181
2,0
1.255
2,2
74
6,2
6
0,5
TG
9.216
15,9
9.606
16,6
390
4,2
30
0,3
SN
720
1,2
714
1,2
-6
-0,9
MA
1
0,0
1
0,0
0
0,0
WD
0
0,0
144
0,2
144
100,0
Jumlah 58.027 Sumber : Hasil Analisis
100,0
58.027
100,0
Berdasarkan Tabel 14, penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 didominasi oleh kebun campuran dengan luas 17.180 ha atau 29,6% dari luas kabupaten. Urutan kedua adalah hutan 26,6%, diikuti tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Pada tahun 2009, dominasi penggunaan lahan tidak mengalami perubahan, dimana kebun campuran tetap menempati urutan pertama seluas 16.774 ha atau 28,9%, diikuti penggunaan lahan hutan 25%, tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Penggunaan lahan yang lain mempunyai luasan yang kecil dengan persentase luasan di bawah 10%. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo ada yang positif (mengalami penambahan luas) dan ada yang negatif (mengalami pengurangan luas). Penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas meliputi semak belukar, hutan, kebun campuran, sawah. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas meliputi permukiman, sawah tadah hujan, tegalan/ladang, dan adanya bangunan waduk. Hutan mengalami pengurangan luas paling besar yaitu 981 ha. Pengunaan lahan selanjutnya yang mengalami pengurangan luas berturut-turut adalah kebun campuran, sawah, semak belukar, dan waduk. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas paling besar adalah permukiman seluas 1.101 ha. Peningkatan permukiman ini tercermin dari pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 2008 yang mencapai 2.8% dengan kepadatan 813 jiwa/km2
57
(Kulon Progo dalam Angka, 2009). Penggunaan lahan selanjutnya yang mengalami penambahan luas berturut-turut adalah tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan waduk. Pengurangan luasan setiap penggunaan lahan, dapat digunakan untuk memperkirakan laju dari besarnya pengurangan atau penambahan luasan. Selama periode tahun 1996 sampai 2009, laju pengurangan luasan terbesar yaitu penggunaan lahan hutan dengan perkiraan laju pengurangan luas rata-rata sebesar 75 ha/tahun. Laju penambahan luas, terbesar yaitu penggunaan lahan permukiman dengan perkiraan rata-rata sebesar 85 ha/tahun. Perubahan penggunaan lahan mempunyai dampak terhadap penambahan atau pengurangan luasan suatu jenis penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009 mempunyai berbagai macam pola perubahan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009
Tahun 1996 (Ha)
Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
Tahun 1996
SB
1.096
-
217
52
-
-
-
-
-
-
1.365
HT
121
14.479
-
46
-
87
676
-
-
51
15.460
KC
-
-
16.557
623
-
-
-
-
-
-
17.180
PK
-
-
-
3.842
-
-
-
-
-
-
3.842
SW
-
-
-
168
8.896
-
-
-
-
-
9.064
SWT
-
-
-
14
-
1.167
-
-
-
-
1.181
TG
-
-
-
198
-
-
8.930
-
-
87
9.216
SN
-
-
-
-
-
-
-
714
-
6
720
MA
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
1
WD
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0
1.216
14.479
16.774
4.943
8.896
1.255
9.606
714
1
144
58.027
Tahun 2009
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 15 menunjukkan bahwa hutan merupakan penggunaan lahan yang mengalami konversi atau perubahan yang terbesar. Luasan hutan, sebagian mengalami konversi menjadi lima jenis penggunaan lahan. Hutan menjadi tegalan/ladang merupakan konversi hutan yang paling besar yaitu 676 ha. Bentuk konversi hutan lainnya adalah menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, permukiman, dan waduk.
58
Semak belukar merupakan lahan-lahan yang tidak digarap, misalnya arealareal yang akan dibangun, lahan pesisir sepanjang pantai selatan Kabupaten Kulon Progo, serta lahan yang kurang subur sehingga alang-alang dan semak-semak yang tumbuh. Semak belukar mengalami perubahan ke kebun campuran dan permukiman. Perubahan semak belukar ke kebun campuran mencapai luas 217 ha, Perubahan ini terjadi di lahan pesisir Kabupaten Kulon Progo yang meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Lahan-lahan pesisir merupakan lahan marginal yang paling besar kemungkinannya untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena lahan pesisir merupakan lahan yang umumnya hanya ditumbuhi semak belukar dan rumput sehingga untuk mengubah menjadi lahan pertanian tidak perlu biaya yang besar. Lahan pesisir cukup baik digunakan sebagai lahan pertanian semusim mengingat hanya kondisi tanah berpasir yang menjadi pembatas utama. Faktor pembatas ini diminimalkan dengan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan dan agregat tanah. Masyarakat
mempergunakan
lahan pesisir untuk
penanaman
komoditas
hortikultura dimana, sejak tahun 2000 semakin meningkat pesat. Komoditas utama meliputi cabai, semangka, melon dan buah naga. Tegalan/ladang mengalami perubahan menjadi permukiman dan waduk. Penggunaan lahan kebun campuran, sawah, dan sawah tadah hujan, hanya mengalami satu jenis perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman. Penggunaan lahan yang tidak mengalami pengurangan luas adalah permukiman. Disisi lain penggunaan lahan juga ada yang mengalami penambahan luas. Penggunaan lahan semak belukar, kebun campuran, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang mengalami penambahan luas dari satu jenis penggunaan lahan saja. Kebun campuran mendapat tambahan luasan dari semak belukar, sedangkan penggunaan lain bertambah karena konversi hutan. Permukiman mengalami penambahan luas berasal dari semua penggunaan lahan, kecuali dari sungai dan waduk. Waduk dibangun dengan membendung sungai, sehingga merupakan konversi dari sungai, hutan, dan tegalan/ladang di sekitar waduk. Permukiman baru sangat mendominasi penyebab perubahan penggunaan lahan. Penambahan luasan permukiman yang berasal dari berbagai penggunaan
59
lahan, merupakan salah satu indikasi bahwa penyebaran permukiman baru terjadi secara tidak teratur, dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Perkembangan permukiman baru umumnya terjadi di sekitar permukiman yang telah ada sebelumnya dengan pola berkelompok-kelompok yang menyebar tidak teratur. Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan otonami yang sangat besar pada daerah untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya daerahnya. Kewenangan otonomi salah satunya berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan pada tahun 1996 dan 2009 dapat digunakan untuk menggambarkan sejauhmana perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tersebut. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 perubahan penggunaan lahan yang terjadi mempunyai pola, bertambah luasnya penggunaan lahan tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan permukiman. Hal ini terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga semakin meningkat kebutuhan akan lahan. Pada kawasan lindung telah terjadi konversi hutan menjadi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan permukiman. Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya fungsi kawasan lindung. Tutupan lahan pada kawasan lindung perlu dipertahankan untuk mencegah erosi. Penggunaan lahan hutan merupakan yang terbaik untuk mendukung fungsi kawasan lindung karena hutan mempunyai tutupan lahan dari tajuk vegetasi penyusunnya. Kenyataan yang terjadi pada kawasan lindung telah terjadi konversi hutan menjadi penggunaan selain hutan sehingga dapat menyebabkan terjadi degradasi lahan. Degradasi lahan akan menyebabkan terbentuknya lahan kritis, sehingga kawasan lindung berkurang atau kehilangan fungsinya. Pada kawasan budidaya, telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang digunakan sebagai permukiman. Di samping itu, di daerah pesisir juga terjadi pembukaan lahan yang semula berupa semak belukar menjadi lahan untuk kebun campuran. Kebun campuran terbentuk karena kebutuhan lahan untuk usaha pertanian, sedangkan permukiman sebagai bangunan tempat tinggal. Akan tetapi, disisi lain, kebun campuran yang terkonversi menjadi permukiman lebih besar daripada yang terbentuk, sehingga secara keseluruhan luasan kebun campuran
60
tetap berkurang. Terbentuknya permukiman baru seringkali dijumpai pada lahanlahan dengan kelerengan yang curam dan sangat curam. Hal ini akan menyebabkan lahan lebih rawan mengalami kerusakan karena penggunaan lahannya kurang sesuai dengan kemampuan lahan apabila dipergunakan untuk permukiman. Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi suatu kawasan. Fungsi suatu kawasan dibedakan dalam kelompok kawasan hutan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo yang dialokasikan sebagai kawasan lindung meliputi bagian barat dari tengah ke utara wilayah Kabupaten Kulon Progo yang umumnya merupakan wilayah dengan tingkat kelerengan curam. Kawasan lindung mempunyai luas 21.421 ha atau 36,92% dari luas wilayah Kabupaten Kulon Progo 58.027 ha. Tabel 16 menunjukkan penggunaan lahan padai kawasan lindung pada tahun 1996 dan 2009. Tabel 16 Penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Tahun 1996 Luas (Ha) (%)
Tahun 2009 Luas (Ha) (%)
344
1,6
464
2,2
120
34.9
15.460
72,2
14.479
67,6
-981
-6.4
1.126
5,3
1.193
5,6
67
6,0
Sawah
193
1,0
190
0,9
-3
-1.6
Sawah Tadah Hujan
803
3,8
877
4,1
74
9.2
3.427
16,0
4.012
18,7
585
17.1
Sungai
67
0,3
60
0,3
-7
9,0
Waduk
0
0
144
0,7
144
100,0
21.421
100,00
21.421
100,00
Penggunaan Lahan Semak Belukar Hutan Permukiman
Tegalan/Ladang
Jumlah Sumber : Hasil Analisis
Perubahan 1996 - 2009 Luas (Ha) (%)
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 penggunaan lahan di kawasan lindung didominasi hutan dengan luas 15.460 ha atau 72,2% dari luas kawasan lindung. Urutan kedua adalah penggunaan lahan tegalan/ladang dengan persentase 16,0%, kemudian diikuti permukiman, dan sawah tadah hujan. Penggunaan lahan yang lain luasannya relatif kecil dengan persentase kurang dari 2%. Pada tahun 2009 penggunaan lahan di kawasan lindung masih didominasi
61
hutan dengan persentase 67,6%. Penggunaan lahan hutan, dan sawah mengalami pengurangan luas. Penggunaan lahan permukiman, sawah tadah hujan, tegalan/ladang, dan semak belukar mengalami penambahan luas. Tegalan/ladang dan semak belukar mengalami peningkatan luas yang cukup besar masing-masing 34,9% dan 17,1%. Hal ini menunjukkan juga bahwa kebutuhan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya cukup besar. Semak belukar umumnya merupakan bentuk penggunaan lahan antara untuk penggunaan lahan selanjutnya. Pada tahun 1997 juga dibangun waduk seluas 144 ha. Wilayah Kabupaten Kulon Progo yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya meliputi wilayah bagian tengah menuju selatan. Kawasan budidaya merupakan wilayah Kulon Progo dengan karakteristik lahan yang umumnya cukup datar. Kawasan budidaya mempunyai luas 34.193 ha atau 59,92% dari luas wilayah Kabupaten Kulon Progo 58.027 ha. Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan Semak Belukar Kebun Campuran
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2009
(%)
Luas (Ha)
Perubahan 1996 - 2009
(%)
Luas (Ha)
(%)
539
1,6
375
1,1
-164
-30,4
16.627
48,6
16.137
47,2
-490
-2,9
Permukiman
2.615
7,6
3.628
10,6
1.013
38,8
Sawah
8.549
25,0
8.385
24,5
-164
-1,9
334
1,0
334
1,0
0
1,0
5.528
16,2
5.333
15,6
-195
-3,5
34.193
100,0
34.193
100,0
Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 17 penggunaan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 yang paling dominan adalah kebun campuran seluas 16.627 ha atau 48,6% dari luas kawasan budidaya. Penggunaan lahan lainnya meliputi sawah, tegalan/ladang, permukiman, semak belukar, dan sawah tadah hujan. Dominasi penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 2009 adalah sama dengan tahun 1996. Pada kawasan budidaya penggunaan lahan yang utama adalah untuk kegiatan pertanian. Hal ini berkaitan bahwa lahan pada kawasan budidaya didominasi oleh kelas kemampuan lahan yang mendukung untuk usaha pertanian
62
yaitu kelas I sampai kelas IV. Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian terlihat sangat mendominasi yang meliputi kebun campuran, sawah, dan tegalan/ladang. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 menunjukkan bahwa hanya sawah tadah hujan saja yang tidak mengalami perubahan luas. Penggunaan lahan mengalami penambahan luas adalah permukiman. Kebun campuran mengalami pengurangan yang paling besar diikuti oleh tegalan/ladang, sawah, dan semak belukar. Perubahan penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan. Pengaruhnya dapat bersifat negatif dalam arti lahan akan semakin kritis, sehingga kualitas dari lahan tersebut untuk penggunaan tertentu semakin terbatas. Lahan dapat juga mengalami perbaikan tingkat kekritisan, sehingga semakin meningkat kualitas lahan tersebut. Sebagai contoh adalah lahanlahan berupa semak belukar kemudian dimanfaatkan menjadi kebun campuran atau tegalan/ladang sehingga meningkatkan produktivitas. Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan yang terletak dalam kawasan budidaya dan bukan kawasan hutan, tetapi pada umumnya telah diusahakan sebagai kawasan budidaya. Kawasan ini meliputi kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai dan anak sungai, dan kawasan sempadan mata air. Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 18.
63
Tabel 18 Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha) (%)
Tahun 2009 Luas (Ha) (%)
Perubahan 1996-2009 Luas (Ha) (%)
Sempadan Mata Air Mata Air
1
2,1
1
2,1
0
0
17
35,4
17
35,4
0
0
Permukiman
2
4,2
2
4,2
0
0
Sawah
5
10,4
5
10,4
0
0
Tegalan/Ladang
23
47,9
23
47,9
0
0
Jumlah (Ha)
48
100,0
48
100,0
29
6,7
29
6,7
0
0
391
90,3
304
70,2
-87
-22,3
Kebun Campuran
6
1,4
93
21,5
87
1450,0
Tegalan/Ladang
7
1,6
7
1,6
0
0
433
100,0
433
100,0
383
43,4
383
43,4
0
0
19
2,2
16
1,8
-3
-15,8
270
30,6
272
30,8
2
0,7
Permukiman
43
4,9
44
5,0
1
2,3
Sawah
72
8,2
72
8,2
0
0
Sawah Tadah Hujan
73
8.3
73
8.3
0
0
Tegalan/Ladang
23
2,6
23
2,6
0
0
883
100,0
883
100,0
241
23,0
241
23,0
0
0
70
6,7
56
5,3
-14
20,0
259
24,7
254
24,2
-5
1,9
56
5,3
75
7,1
19
33,9
245
23,4
245
23,4
0
0
43
4,1
43
4,1
0
0
135
12,9
135
12,9
0
0
1.050
100,0
1.050
100,0
Kebun Campuran
Sempadan Pantai Sungai Semak Belukar
Jumlah (Ha) Sempadan Sungai Sungai Semak Belukar Kebun Campuran
Jumlah (Ha) Sempadan Anak Sungai Sungai Semak Belukar Kebun Campuran Permukiman Sawah Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 18 penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, untuk kawasan sempadan mata air pada tahun 1996 sampai 2009 tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Perubahan yang paling besar
64
terjadi pada kawasan sempadan pantai yaitu perubahan semak belukar menjadi kebun campuran sebesar 87 ha. Pada kawasan sempadan anak sungai dan sempadan sungai perubahan yang terjadi juga cukup kecil. Pada kawasan sempadan sungai perubahan yang terjadi dari penggunaan awal semak belukar menjadi kebun campuran dan permukiman. Pada kawasan sempadan anak sungai perubahan yang terjadi adalah terbentuknya permukiman baru. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kawasan lindung di luar kawasan hutan mengarah kepada penggunaan lahan untuk kebun campuran dan permukiman. Perubahan penggunaan lahan ini menunjukkan kebutuhan lahan yang semakin meningkat terutama permukiman. Permukiman baru pada sempadan anak sungai terbangun di sekitar kota wates sebagai ibu kota kabupaten.
5.3 Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Kabupaten Kulon Progo mempunyai tingkat kelerengan dari datar sampai dengan sangat curam. Semakin ke arah utara kelerengannya semakin curam. Tingkat kelerengan lahan sangat menentukan kelas kemampuan lahan dimana, semakin curam lereng maka semakin tinggi kelas kemampuan lahan. Selain tingkat kelerengan, jenis tanah, erosi, singkapan batuan, kedalaman solum tanah, dan rawan longsor merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan kelas kemampuan lahan. Faktor-faktor tersebut akan membatasi penggunaan lahan sampai batas tertentu. Resiko dari kelas kemampuan lahan yang semakin tinggi maka semakin terbatas pula pemanfaatan lahan tersebut. Setiap kelas kemampuan lahan mempunyai kesamaan faktor-faktor penghambat utama. Gambar 21 dan 22 memperlihatkan kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo.
65
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 21 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996
66
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 22 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 Berdasarkan peta kelas kemampuan lahan pada Gambar 21 dan 22, Kabupaten Kulon Progo mempunyai lima kelas kemampuan lahan. Luas dan persentase dari masing-masing kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tersaji dalam Tabel 19.
67
Tabel 19 Luas tiap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 No.
Kemampuan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2009
(%)
Luas (Ha)
Perubahan
(%)
Luas (Ha)
(%)
1
Kelas I
16.948
29,2
16.948
29,2
0
0,0
2
Kelas II
7.992
13,8
7.992
13,8
0
0,0
3
Kelas III
15.068
26,0
15.068
26,0
0
0,0
4
Kelas IV
4.864
8,4
4.726
8,1
-138
-2,8
5
Kelas VI
12.435
21,4
12.435
21,4
0
0,0
6
Tidak Terdefinisi
721
1,2
859
1,5
138
19,2
58.027
100,0
58.027
100,0
Jumlah Sumber : Hasil Analisis
Gambar 21, 22, dan Tabel 19, menunjukkan bahwa kemampuan lahan kelas I merupakan yang paling dominan dengan luas 16.948 ha atau 29,2%. Urutan kedua adalah kelas kemampuan lahan III dengan persentase 26,0%, diikuti dengan kelas kemampuan VI, kelas kemampuan lahan II, dan kelas kemampuan lahan IV merupakan yang terkecil sebesar 8,41%. Lahan kelas I mendominasi wilayah Kulon Progo bagian selatan sampai dengan daerah pesisir dan wilayah bagian timur tetapi dengan luasan yang cukup kecil. Lahan kelas II mempunyai sebaran terpencar-pencar dan umumnya berbatasan dengan lahan kelas I, dan tersebar di daerah pesisir. Lahan kelas II juga tersebar di Kulon Progo bagian timur utara terutama di Kecamatan Nanggulan. Lahan kelas III tersebar dominan di wilayah tengah, bagian timur Kulon Progo dengan kondisi topografi berbukit. Persebaran lahan kelas III juga dijumpai secara terpencar-pencar di wilayah Kulon Progo bagian utara. Sebaran dari lahan kelas kemampuan IV tersebar di wilayah Kulon Progo sebelah barat dari tengah ke utara dan berbatasan dengan lahan kelas VI. Kelas lahan VI meliputi wilayah bagian barat dari tengah sampai ke utara dan merupakan lahan dengan topografi berbukit. Dibangunnya Waduk Sermo pada tahun 1997, berdampak terhadap lahan-lahan dengan kelas kemampuan IV berkurang seluas 138 ha, oleh karena digunakan untuk areal pembangunan waduk tersebut yang terdapat di Kecamatan Kokap. Kelas kemampuan lahan mengindikasikan kesamaan potensi dan hambatan atau resiko dari lahan tersebut, sehingga dapat dipakai untuk menentukan tipe penggunaan atau tindakan konservasi yang perlu dilakukan. Lahan dengan kelas
68
kemampuan lahan I dan II merupakan lahan yang cocok untuk pertanian ataupun penggunaan lahan yang lain mengingat tidak ada hambatan penggunaan dalam kelas ini. Lahan kelas VI merupakan lahan dengan penggunaan terbatas dan diutamakan untuk dihutankan. Lahan kelas III dan IV dapat dipertimbangkan untuk berbagai penggunaan lainnya. Kelas kemampuan lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan akan tetap menjaga kualitas lahan, tetapi penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuannya menyebabkan kerusakan lahan yang berujung ke lahan kritis. Terkait dengan kerusakan lahan atau lahan kritis, kemampuan lahan dapat digunakan untuk pengecekan terhadap ketepatan penggunaannya. Berdasarkan kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat direkomendasikan perubahan penggunaannya, atau diterapkannya teknologi konservasi sesuai karakteristik lahan tersebut. Hal ini akan tetap menjaga lahan tidak rusak atau dapat digunakan secara lestari.
5.4 Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Perubahan penggunaan lahan dapat berdampak terhadap berubahnya kualitas lahan. Kualitas lahan akan tetap baik meskipun mengalami perubahan penggunaan lahan, apabila penggunaan lahan yang baru tetap berada dalam batas daya dukung atau fungsi lahan tersebut. Sifat fisik lahan merupakan salah satu aspek yang membatasi daya dukung lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. Kenyataan yang terjadi, seringkali penggunaan lahan kurang memperhatikan sifatsifat fisik lahan sehingga tidak sesuai dengan daya dukungnya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya berdampak terhadap penurunan kualitas lahan, sehingga terbentuk lahan kritis. Sebaran lahan kritis, dibedakan dalam kelompok kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kawasan lindung bertujuan sebagai kawasan perlindungan setempat maupun perlindungan kawasan dibawahnya. Penggunaan lahan di kawasan lindung didominasi penggunaan lahan hutan. Akan tetapi penggunaan lahan hutan tersebut sebagian telah terkonversi menjadi penggunaan lahan selain hutan.
69
Kawasan lindung terdapat di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Pengasih, dan Nanggulan. Gambar 23, 24, dan Tabel 20 menunjukkan sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 dan 2009.
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 23 Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 1996
70
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 24 Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 2009
Berdasarkan Gambar 23 dan 24, di kawasan lindung lahan potensial kritis menunjukkan sebaran yang paling dominan. Lahan tidak kritis, agak kritis dan kritis terpencar-pencar dengan luas yang kecil-kecil. Luasan dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 20.
71
Tabel 20 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Tahun 1996 Tingkat Kekritisan Lahan Luas (Ha) (%) Tidak Kritis 4.014 21,5 Potensial Kritis 11.513 53,7 Agak Kritis 2.642 9,6 Kritis 3.252 15,2 Jumlah (Ha) 21.421 100,0 Sumber : Hasil Analisis
Tahun 2009 Perubahan 1996 - 2009 Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) 3.980 21,4 -34 -0,28 10.705 50,0 -808 -7,02 2.827 10,4 185 7,97 3.909 18,2 657 20,22 21.421 100,00
Gambar 20, 21 dan Tabel 20 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 di kawasan lindung tingkat kekritisan lahan didominasi oleh lahan potensial kritis, kemudian tidak kritis, kritis dan agak kritis. Pada tahun 2009 dominasi tingkat kekritisan lahan masih sama dengan tahun 1996. Penambahan luas lahan kritis dan agak kritis terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan. Hutan merupakan penggunaan lahan yang paling baik untuk mendukung fungsi kawasan lindung. Penggunaan lahan hutan akan mempertahankan kualitas kawasan lindung sehingga tetap tidak kritis. Konversi hutan ke non hutan akan mengubah lahan-lahan tidak kritis atau potensial kritis menjadi lahan agak kritis dan kritis. Lahan pada kawasan lindung merupakan lahan dengan kelas kemampuan rendah sehingga setiap perubahan hutan menjadi penggunaan non hutan akan membuat kualitas lahan menurun dan menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Hal ini terbukti dengan meluasnya lahan agak kritis dan kritis dengan terkonversinya hutan ke non hutan. Sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung menunjukkan bahwa lahan potensial kritis mempunyai sebaran yang merata. Lahan potensial kritis merupakan lahan dengan penggunaan lahan hutan dengan kelerengan sangat curam atau >40%. Lahan tidak kritis sebarannya terpencar-pencar dengan luasan yang tidak terlalu besar. Lahan ini juga didominasi penggunaan lahan hutan pada tingkat kelerengan kurang dari 40%. Sebaran lahan tidak kritis dan agak kritis yang paling dominan adalah tersebar berdekatan dengan lahan-lahan pada kawasan budidaya. Perubahan tingkat kekritisan lahan tahun 1996 sampai 2009 mempunyai berbagai macam perubahan, tidak hanya berubah dari tingkatan kritis satu ke tingkat kritis yang lain. Perubahan tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung tersaji pada Tabel 21.
72
Tabel 21 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 -2009
Tahun 1996 (Ha)
Tingkat Kekritisan Lahan Kritis
Tahun 2009 (Ha) Kritis
Agak Kritis
Potensial Kritis
Tidak Kritis
3.165
-
-
87
3.252
-
2.642
-
-
2.642
744
13
10.705
51
11.513
-
172
-
3.842
4.014
3.909
2.827
10.705
3.980
21.421
Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tahun 2009
Tahun 1996
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 21 menunjukkan bahwa selama tahun 1996 sampai 2009, lahan potensial kritis tidak mengalami penambahan luas tetapi cenderung mengalami pengurangan luas. Hal ini berkebalikan dengan lahan agak kritis, dimana pada periode yang sama terjadi penambahan luas. Pada lahan tidak kritis dan kritis, lahan mengalami penambahan dan pengurangan luas. Kawasan budidaya berbeda fungsi dengan kawasan lindung. Kawasan budidaya mempunyai fungsi terutama untuk produksi pertanian sedangkan kawasan lindung bukan untuk produksi. Pada kawasan budidaya faktor atau parameter penentu tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan pertanian. Parameter
yang
lain
adalah
faktor
pengelolaan
lahan
terkait
untuk
mempertahankan atau bahkan meningkatkan produktivitas lahan. Di Kabupaten Kulon Progo kawasan budidaya tersebar meliputi seluruh kecamatan. Tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Gambar 25, Gambar 26, dan Tabel 22.
73
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 25 Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 1996
74
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 26 Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 2009 Berdasarkan Gambar 25 dan 26, di kawasan budidaya lahan tidak kritis menunjukkan sebaran yang paling dominan. Lahan potensial kritis dan agak kritis tersebar terpencar-pencar dengan luas yang kecil-kecil. Lahan potensial kritis di bagian tengah wilayah Kulon Progo. Luas dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 22.
75
Tabel 22 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tidak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Tahun 2009
(%)
Luas (Ha)
Perubahan 1996 - 2009
(%)
Luas (Ha)
(%)
29.452
86,14
29.452
86,14
0
0,00
4.055
11,86
4.033
11,79
-22
-0,55
685
2,00
707
2,07
22
3,23
34.192
100,00
34.192
100,00
Gambar 25 dan 26 menunjukkan bahwa sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 dan 2009 mempunyai pola yang hampir sama. Lahan tidak kritis tersebar di wilayah Kulon Progo pada bagian tengah ke selatan dan mempunyai luasan yang besar secara merata. Lahan tidak kritis juga tersebar di wilayah Kulon Progo bagian timur dengan luasan yang lebih kecil. Lahan potensial kritis terkonsentrasi di wilayah Kulon Progo bagian tengah ke timur dengan luasan yang kecil-kecil. Penyebaran lahan potensial kritis juga di dekat tepi kawasan lindung, hal ini karena pengaruh kelerengan yang masih terhubung dengan kawasan lindung. Lahan agak kritis meliputi daerah atau lahanlahan dekat kawasan lindung dan mempunyai luasan yang cukup kecil dan umumnya bersebelahan dengan lahan-lahan potensial kritis. Tabel 22 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009, lahan tidak kritis masih menunjukkan luasan yang paling dominan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan budidaya masih sesuai dengan kemampuan lahan untuk mempertahankan produksi. Lahan potensial kritis menunjukkan penurunan berubah menjadi lahan-lahan kritis. Perubahan lahan pada tingkat potensial kritis sebesar 22 ha atau 0,55%. Lahan dengan tingkatan paling rendah adalah lahanlahan agak kritis, menunjukkan luasan yang paling kecil dan mengalami penambahan luasan. Lahan agak kritis mengalami penambahan luasan sebesar 22 ha atau 3,23% dari luas tahun 1996. Penambahan luas lahan agak kritis berasal dari lahan-lahan potensial kritis. Perubahan tingkat kekritisan lahan antara tahun 1996 sampai 2009 juga terjadi pada berbagai macam tingkatan. Tingkat kekritisan lahan tidak hanya berubah dari tingkatan kritis satu ke tingkat kritis yang lain, akan tetapi perubahan
76
dapat terjadi ke berbagai tingkatan kekritisan lahan yang lain. Perubahan tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009
1996 (Ha)
Tingkat Kekritisan Lahan
Tahun 2009 (Ha) Agak Kritis
Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis
Tahun 2009
Potensial Kritis
Tahun 1996
Tidak Kritis
685
-
-
685
7
3.885
163
4.055
15
148
29.289
29.452
707
4.033
29.452
34.193
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 23 selama periode tahun 1996 sampai 2009 lahan agak kritis tidak mengalami pengurangan luas, sedangkan lahan-lahan yang lain mengalami pengurangan dan penambahan luas. Lahan tidak kritis mengalami pengurangan luas sama dengan penambahan luasnya sehingga secara total tidak mengalami perubahan luas. Tabel 23 juga menunjukkan bahwa perubahan tingkat kekritisan lahan terjadi dari lahan agak kritis menjadi potensial kritis seluas 22 ha. Perubahan dari lahan potensial kritis menjadi agak kritis seluas 7 ha dan perubahan lahan dari potensial kritis menjadi tidak kritis seluas 163 ha. Perubahan tingkat kekritisan Lahan dari lahan tidak kritis menjadi agak kritis dan potensial kritis sebesar 15 ha dan 148 ha. Tingkatan agak kritis yang tidak mengalami perubahan luasan sebesar 685 ha, lahan potensial kritis yang tetap seluas 3.885 ha dan lahan tidak kritis yang tetap seluas 29.289 ha. Kawasan lindung di luar kawasan hutan mempunyai fungsi yang sama dengan kawasan lindung berupa hutan. Tujuan utama ditetapkannya kawasan lindung ini adalah menjaga kelestarian fungsi dari masing-masing kawasan dimaksud. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di luar kawasan hutan pada tahun 2009 tersaji pada Gambar 27.
77
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 27 Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Tahun 2009 Gambar 27 menunjukkan sebaran lahan kritis di kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekritisan lahan di dominasi oleh lahan tidak kritis dan potensial kritis. Kawasan ini meliputi sempadan mata air, sempadan pantai, sempadan sungai, dan sempadan anak sungai. Pada umumnya pada kawasan ini Luas dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di luar kawasan hutan pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 24.
78
Tabel 24 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha) (%)
Tahun 2009 Luas (Ha) (%)
Perubahan 1996-2009 Luas (Ha) (%)
Sempadan Mata Air Tidak Kritis
1
0,2
1
0,2
0
0,0
Potensial Kritis
17
35,4
17
35,4
0
0,0
Agak Kritis
30
62,4
30
62,4
0
0,0
Jumlah (Ha)
48
100,0
48
100,0
420
97,0
333
77,0
-87
-20,7
13
3,0
100
23,0
87
669,2
433
100,0
433
100,0
Tidak Kritis
402
45,5
399
45,2
-3
-0,7
Potensial Kritis
270
30,6
272
30,8
2
0,7
Agak Kritis
211
23,9
212
24,0
1
0,5
Jumlah (Ha)
883
100,0
883
100,0
Tidak Kritis
312
29,7
298
28,4
-14
-4,5
Potensial Kritis
259
24,7
254
24,2
-5
-1,9
Agak Kritis
457
43,5
476
45,3
19
4,2
22
2,1
22
2,1
0
0,0
1.050
100,0
1.050
100,0
Sempadan Pantai Tidak Kritis Potensial Kritis Jumlah (Ha) Sempadan Sungai
Sempadan Anak Sungai
Kritis Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 24, pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekritisan lahan didominasi oleh lahan-lahan tidak kritis dan potensial kritis sementara lahan-lahan agak kritis dan kritis luasnya relatif kecil. Kawasan sempadan mata air tidak mengalami perubahan tingkat kekritisan lahan selama tahun 1996 sampai 2009. Lahan kritis hanya dijumpai pada kawasan sempadan anak sungai seluas 22 ha. Pada kawasan lindung ini, kawasan sempadan pantai mempunyai tingkat kualitas lahan yang paling baik karena lahan terdiri dari tidak kritis dan potensial kritis tidak dijumpai lahan agak kritis dan kritis. Kawasan sempadan sungai dan anak sungai dijumpai lahan kritis dan agak kritis yang lebih luas dari pada kawasan yang lain. Hal ini dimungkinkan oleh karena ketersediaan air sepanjang tahun dari sungai atau anak sungai untuk memenuhi kebutuhan usaha budidaya pertanian.
79
5.5
Sebaran Lahan Kritis di Setiap Penggunaan Lahan Penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan
bersangkutan. Lahan kritis tersebar di berbagai jenis penggunaan lahan. Selain karena pengaruh kemampuan lahan, terbentuknya lahan kritis juga dipengaruhi fungsi suatu lahan. Tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung tersebar diberbagai penggunaan lahan. Perubahan tingkat kekritisan lahan setiap penggunaan lahan umumnya meningkat dari tahun 1996 sampai 2009. Lahan tidak kritis yang mengalami pengurangan luas karena perubahan penggunaan lahan hutan. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tersaji pada Tabel 25. Tabel 25 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Tidak Kritis
Penggunaan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2009
(%)
HT
3.947
18,4
SN
67
WD
0
Luas (Ha)
1996 - 2009
(%)
Luas (Ha) -172
(%)
3.774
17,6
-4,4
0,3
61
0,3
-6
9,0
0,0
144
0,7
144
100,0
Pot. Kritis
HT
11.513
53,8
10.705
50,0
-808
-7,0
Agak Kritis
SB
66
0,3
81
0,4
15
22,9
PK
871
3,8
656
4,0
39
11,4
SW
174
0,8
171
0,8
-3
-1,9
SWT
383
1,8
399
1,9
16
4,2
TG
1.201
5,6
1.319
6,2
118
9,8
SB
278
1,3
383
1,8
104
37,6
PK
308
1,4
337
1,6
28
9,1
SW
19
0,1
19
0,1
0
0,0
421
2,0
478
2,2
58
13,7
2.226
10,4
2.693
12,6
467
21,0
21.421
100,0
21.421
100,0
Kritis
SWT TG Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Tabel 25 menunjukkan tingkat kekritisan lahan pada tahun 1996 sampai tahun 2009 pada tiap penggunaan lahan. Setiap tingkat kekritisan lahan mempunyai penggunaan lahan yang berbeda pula. Lahan kritis pada kawasan lindung meliputi penggunaan lahan semak belukar, permukiman, sawah, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Pada umumnya luas penggunaan lahan kritis meningkat dari tahun 1996 sampai 2009, kecuali sawah yang tetap luasnya. Penggunaan lahan yang menyebabkan lahan
80
kritis didominasi oleh penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang yang meningkat seluas 467 ha dan semak belukar yang meningkat 104 ha. Penggunaan lahan pada tingkat kritis tersebar pada kawasan lindung meliputi lahan-lahan dengan kelerengan >40% atau sangat curam. Lahan agak kritis penggunaan lahannya sama dengan lahan kritis. Perbedaanya adalah sebaran lahan agak kritis meliputi lahan-lahan dengan kelerengan antara 25-40% atau lahan-lahan curam. Penggunaan lahan agak kritis dalam periode tahun 1996 sampai 2009 umumnya mengalami peningkatan luas, kecuali sawah yang berkurang 3 ha. Dominasi penggunaan lahan meliputi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, permukiman. Gambar 28 memperlihatkan lahan kritis pada kawasan lindung dengan penggunaan lahan tegalan/ladang.
Gambar 28 Lahan Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang Gambar 28 menunjukkan bahwa lahan kritis di kawasan lindung yang disebabkan
penggunaan
lahan
tegalan/ladang.
Kegiatan
perladangan
menyebabkan tutupan lahan akan mengalami perubahan dari semula tanaman tahunan menjadi tanaman musiman. Hal ini terjadi karena tanaman tahunan dianggap menghambat pertumbuhan tanaman pertanian karena naungan tajuknya. Oleh karena itu tanaman tahunan banyak yang dikurangi baik ditebang atau dipangkas tajuknya. Pengurangan tanaman tahunan menyebabkan lahan semakin terbuka dan semakin mudah tererosi oleh air hujan. Pengolahan lahan yang intensif pada musim hujan dan kondisi lahan-lahan dengan kelerengan curam atau
81
sangat curam semakin memperbesar terjadinya erosi. Lahan untuk perladangan juga didominasi batuan sehingga lapisan tanah mudah tererosi bahkan longsor karena pengaruh air hujan. Masa tanah yang berat karena telah jenuh dengan air hujan akan mudah longsor karena batuan yang kedap air dapat berperan sebagai papan luncur. Pada tingkatan potensial kritis penggunaan lahan hanya meliputi hutan saja. Pada periode tahun 1996 sampai 2009 hutan pada lahan potensial kritis mengalami pengurangan luas sebesar 808 ha. Pada lahan tidak kritis penggunaan lahannya meliputi: hutan, sungai, dan waduk. Penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan luas yang cukup besar. Waduk dibangun untuk tujuan utama suplai air untuk irigasi. Gambar 29 memperlihatkan lahan tidak kritis pada kawasan lindung dengan penggunaan lahan hutan.
Gambar 29 Lahan Tidak Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Hutan
Penggunaan lahan hutan akan mempertahankan lahan pada kawasan lindung tetap tidak kritis. Kondisi hutan yang masih baik akan mempertahankan tutupan lahan dengan tajuk vegetasi penyusunnya yaitu pohon. Tajuk vegetasi penyusun hutan bertingkat-tingkat. Tajuk paling atas merupakan tajuk tinggi yang tersusun oleh pohon tinggi, sampai pada permukaan tanah masih tertutup oleh tajuk dari tumbuhan bawah dan seresah. Pentupan lahan oleh tajuk membuat hujan yang turun tidak langsung mengenai permukaan tanah akibat. Hal ini akan mencegah
82
terjadinya erosi terutama pada lahan-lahan curam, sehingga fungsi dan kualitas lahan di kawasan lindung tetap terjaga dan tidak terbentuk lahan kritis. Tingkat kekrtitisan lahan di kawasan budidaya juga meliputi berbagai penggunaan lahan. Pada kawasan budidaya dari tahun 1996 sampai 2009 mengalami perubahan luasan tingkat kekritisan lahan. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tersaji pada Tabel 26. Tabel 26 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Tidak Kritis
Penggunaan Lahan
Tahun 1996 Luas (%) (Ha)
Kebun Campuran
15.753
46,1
15.269
44,7
-484
-3,1
Permukiman
1.968
5,8
2.778
8,1
809
41,1
Sawah
8.396
24,6
8.232
24,1
-164
-2,0
214
0,6
214
0,6
0
0
3.120
9,1
2.959
8,7
-161
-5,2
Semak Belukar
384
1,1
220
0,6
-164
-42,7
Kebun Campuran
874
2,6
868
2,5
-7
-0,8
Permukiman
569
1,7
748
2,2
180
31,6
Sawah
23
0,1
23
0,1
0
0
Sawah Tadah Hujan
78
0,2
78
0,2
0
0
2.128
6,2
2.096
6,1
-31
-1,57
155
0,5
155
0,5
0
0
78
0,2
102
0,3
24
31,5
130
0,4
130
0,4
0
0
42
0,1
42
0,1
0
0
280 34.193
0,8 100,0
278 34.193
0,8 100,0
-2
-0,8
Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang Pot. Kritis
Tegalan/Ladang Agak Kritis
Semak Belukar Permukiman Sawah Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang
Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Tahun 2009 Luas (%) (Ha)
1996 - 2009 Luas (%) (Ha)
Tabel 26 menunjukkkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009 pada lahan tidak kritis, penggunaannya meliputi kebun campuran, sawah, tegalan/ladang. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah permukiman sedangkan sawah tadah hujan luasannya tetap. Berdasarkan karakteristik fisik lahan, lahan-lahan tidak kritis tersebar pada wilayah yang datar. Lahan potensial kritis, penggunaan lahannya didominasi semak belukar, permukiman, dan tegalan/ladang. Lahan sepanjang pesisir pantai dengan
83
penggunaan lahan adalah semak belukar juga termasuk lahan potensial kritis. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 hanya permukiman saja yang mengalami penambahan luas, sedangkan semak belukar, dan tegalan/ladang berkurang luasnya. Penyebaran lahan ini meliputi wilayah dengan karakteristik tingkat kelerengan agak curam. Lahan agak kritis meliputi berbagai penggunaan lahan dengan penyebaran pada wilayah yang mempunyai tingkat kelerengan lebih dari 40%. Dari tahun 1996 sampai 2009 penggunaan lahan yang menyebabkan lahan agak kritis cenderung tetap. Pertambahan permukiman saja yang paling besar pengaruhnya terhadap terbentuknya lahan agak kritis. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekrtitisan lahan juga meliputi berbagai penggunaan lahan. Pada kawasan ini pada tahun 1996 dan 2009 perubahan tingkat kekritisan lahan tidak terlalu besar karena penggunaan lahannya cenderung tetap tidak mengalami perubahan yang dinamis. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tersaji pada Tabel 27.
84
Tabel 27 Tingkat kekritisan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan
Penggunaan Lahan
Tahun 1996 Luas (%) (Ha)
Tahun 2009 Luas (%) (Ha)
Perubahan 1996-2009 Luas (%) (Ha)
Sempadan Mata Air Tidak Kritis
Mata Air
1
2,1
1
2,1
0
0,0
Pot. Kritis
Kebun Campuran
17
3,4
17
3,4
0
0,0
Agak Kritis
Permukiman
2
4,2
2
4,2
0
0,0
Sawah
5
10,4
5
10,4
0
0,0
23
47,9
23
47,9
0
0,0
48
100,0
48
100,0
29
6,7
29
6,7
0
0,0
391
90,3
304
70,2
-87
-22,3
Kebun Campuran
6
1,3
93
21,4
87
145,0
Tegalan/Ladang
7
1,7
7
1,7
0
0,0
433
100,0
433
100,0
383
43,4
383
43,4
0
0,0
19
2,1
16
1,8
-3
-15,8
270
30,5
272
30,8
2
0,7
Tegalan/Ladang Jumlah (Ha) Sempadan Pantai Tidak Kritis
Sungai Semak Belukar
Pot. Kritis
Jumlah (Ha) Sempadan Sungai Tidak Kritis
Sungai Semak Belukar
Pot. Kritis
Kebun Campuran
Agak Kritis
Permukiman
43
4,9
44
4,9
1
2,3
Sawah
72
8,2
72
8,2
0
0,0
Sawah Tadah Hujan
73
8,3
73
8,3
0
0,0
Tegalan/Ladang
23
2,6
23
2,6
0
0,0
883
100,0
883
100,0
241
22,9
241
22,9
0
0,0
71
6,8
57
5,4
-14
-19,7
259
24,7
254
24,2
-5
-1,9
55
5,2
74
7,0
19
34,5
228
21,7
228
21,7
0
0,0
42
4,0
42
4,0
0
0,0
132
11,6
132
11,6
0
0,0
1
0,1
1
0,1
0
0,0
17
1,6
17
1,6
0
0,0
Sawah Tadah Hujan
1
0,1
1
0,1
0
0,0
Tegalan/Ladang
3
0,3
3
0,3
0
0,0
1.050
100,0
1.050
100,0
Jumlah (Ha) Sempadan Anak Sungai Tidak Kritis
Anak Sungai Semak Belukar
Pot. Kritis
Kebun Campuran
Agak Kritis
Permukiman Sawah Sawah Tadah Hujan
Tegalan/Ladang Kritis
Permukiman Sawah
Jumlah (Ha)
Sumber : Hasil Analisis
85
Berdasarkan Tabel 27, lahan tidak kritis merupakan lahan dengan penggunaan sebagai semak belukar. Semak belukar mampu mempertahankan kualitas lahan, baik yang terdapat di sempadan sungai dan anak sungai, serta sempadan pantai. Penggunaan lahan selain semak belukar cenderung berdampak terhadap terbentuknya lahan kritis. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya lahan tidak kritis akibat berubahnya penggunaan lahan semak belukar. Penggunaan lahan sebagai kebun campuran masih mampu mempertahankan kualitas lahan dimana lahan berada dalam tingkat potensial kritis.
5.6
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Terbentuknya Lahan Kritis Perubahan penggunaan lahan di kawasan lindung akan berdampak terhadap
tingkat kekritisan lahan. Dampak yang terjadi dari perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Perubahan penggunaan lahan umumnya mengakibatkan lahan semakin kritis. Pertumbuhan penduduk berdampak pada kebutuhan lahan, baik untuk pembangunan maupun permukiman. Pembangunan permukiman secara langsung akan diikuti dengan konversi lahan yang berdampak terhadap berkurangnya lahanlahan tidak kritis. Hal ini diperparah dengan konversi yang dilakukan pada lahanlahan dengan tingkat kelerengan yang curam. Gambaran perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung pada tahun 1996 sampai 2009 tersaji pada Tabel 28.
86
Tabel 28 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996-2009 Tingkat Kekritisan Lahan Tidak Kritis
Jumlah (Ha) Pot. Kritis
Jumlah (Ha) Agak Kritis
Jumlah (Ha) Kritis
Tetap Jenis Luas (Ha) HT 3.774 SN 61
HT
3.835 10.705
SB PK SWT SW TG
10.705 66 871 383 171 1.199
SB PK SWT SW TG
2.636 277 308 407 19 2.138
Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
3.149
Penggunaan Lahan 1996 - 2009 Berkurang 1996 2009 Luas (Ha) 1996 HT SB 15 TG HT SWT 16 HT HT TG 120 SN HT PK 21 SN WD 6 178 HT PK 13 HT SB 106 HT PK 12 HT SWT 71 HT TG 556 HT WD 51 808 SW PK 3 HT TG PK 2 SW TG HT HT HT HT 5 SB PK 1 HT SWT PK 14 SB TG PK 1 SWT TG WD 87 TG HT HT HT 103
Bertambah 2009 Luas (Ha) WD 87 WD 51 WD 6
144
SB PK PK PK PK SWT TG SB PK PK PK PK SWT TG
15 3 2 21 13 16 120 190 106 1 14 1 12 71 556 761
Tabel 28 menunjukkan selama periode tahun 1996 sampai 2009 perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan lahan semakin kritis didominasi perubahan atau konversi hutan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan (potensial kritis) terkonversi menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Di sisi lain luas lahan kritis berkurang karena berubahnya penggunaan lahan tegalan/ladang menjadi waduk (tidak kritis), tetapi perubahan lahan kritis menjadi waduk luasannya relatif kecil dan fungsi yang berbeda dengan hutan. Bertambahnya lahan agak kritis disebabkan oleh konversi hutan (tidak kritis) menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Perubahan penggunaan lahan lainya konversi hutan (potensial kritis) ke permukiman. Lahan potensial kritis mengalami pengurangan luas dimana perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi adalah perubahan hutan menjadi
87
tegalan/ladang, semak belukar, sawah tadah hujan, waduk, dan permukiman. Lahan tidak kritis berkurang karena konversi hutan menjadi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan semak belukar. Berdasarkan penggunaan lahan di kawasan lindung dapat diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan yang mengarah terbentuknya lahan kritis disebabkan terkonversinya penggunaan lahan hutan menjadi semak belukar, tegalan/ladang, sawah, sawah tadah hujan, dan permukiman. Kegiatan tersebut merupakan aktivitas manusia yang disebabkan karena kebutuhan akan lahan sebagai dampak pertumbuhan penduduk. Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu wilayah maka semakin besar konversi penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Pada kawasan budidaya perubahan penggunaan lahan yang terjadi umumnya berpengaruh positif. Lahan semakin menuju tingkat kekritisan yang lebih baik artinya lahan semakin kearah tidak kritis. Aktivitas manusia yang erat kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan adalah pembangunan permukiman. Berbeda dengan kawasan lindung, pada kawasan budidaya kegiatan penggunaan lahan belukar/semak menjadi kebun atau ladang berdampak positif. Perubahan belukar/rumput menjadi ladang atau kebun pada daerah-daerah pesisir menyebabkan lahan-lahan mengalami perubahan dari tidak produktif menjadi produktif. Kegiatan perladangan, sawah, dan sawah tadah hujan pada lahan-lahan dengan kelerengan curam di kawasan budidaya berpeluang mengubah lahan menjadi lebih kritis. Kegiatan budidaya pada pada lahan-lahan curam harus hatihati. Penutupan lahan harus tetap dipertahankan misalnya dengan sistem pertanian tumpangsari. Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 sampai 2009 ditunjukkan pada Tabel 29.
88
Tabel 29 Perubahan penggunaan lahan pada tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996-2009 Tingkat Kekritisan Lahan Tidak Kritis
Jumlah (Ha) Pot. Kritis
Jumlah (Ha) Agak Kritis
Tetap Jenis KC PK SWT SW TG SB KC PK SWT SW TG SB PK SWT SW TG
Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Luas (Ha) 15.147 1.968 214 8.232 2.959 28.521 220 868 569 78 23 2.096 3.853 155 78 42 130 278 683
Penggunaan Lahan Berkurang Perubahan 1996 2009 (Ha) KC PK 15 KC PK 149 KC PK 442 SW PK 164 TG PK 161 931 SB KC 122 SB PK 42 KC PK 7 TG PK 31
TG
PK
202 2
TG KC
Bertambah Perubahan 2009 (Ha) KC 122 PK 42 PK 442 PK 164 PK 161 931 PK 31 PK 149
TG KC KC
180 2 7 15
1996 SB SB KC SW TG
PK PK PK
2
24
Berdasarkan Tabel 29, secara umum perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya dipengaruhi oleh terbentuknya permukiman baru dan perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran. Tahun 1996 sampai 2009 terbentuknya lahan-lahan agak kritis di kawasan budidaya dipengaruhi oleh permukiman baru yang berasal dari perubahan tegalan/ladang dan kebun campuran. Pada lahan potensial kritis pengurangan luasan terjadi akibat perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran seluas 122 ha. Kebun campuran akan merubah tingkat kekritisan lahan menjadi tidak kritis. Pembentukan permukiman baru akan berpengaruh menambah luasan lahan potensial kritis. Semak belukar penyebarannya meliputi lahan-lahan di daerah pesisir, sedangkan tegalan/ladang tersebar bercampur dengan kebun campuran. Pada lahan lahan tidak kritis terjadi pengurangan luas karena perubahan dari penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman. Perubahan ini terjadi
89
pada lahan-lahan dengan tingkat kelerengan curam atau sangat curam. Disisi lain Pembentukan kebun campuran dan permukiman dari semak belukar pada lahanlahan pesisir akan menambah luas lahan tidak kritis. Terbentuknya permukiman baru lainnya, merubah jenis penggunaan lahan saja, tanpa merubah tingkat kekritisannya. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, perubahan penggunaan lahan yang terjadi relatif kecil, sehingga pengaruhnya terhadap terbentuknya lahan kritis juga cukup kecil. Fungsi kawasan ini juga termasuk kawasan lindung sehingga perubahan lahan berdampak lebih besar untuk terbentuknya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya lahan kritis adalah berubahnya semak belukar menjadi kebun campuran dan permukiman. Semak belukar mampu mempertahankan kualitas lahan oleh karena semak belukar mampu menahan terjadinya erosi terutama daerah sempadan sungai dan anak sungai. Daerah tebing-tebing sungai sangat rawan tergerus oleh aliran air dan dengan adanya semak belukar maka mampu mencegah tergerusnya tebing sungai terutama ketika musim hujan aliran air sungai menjadi lebih besar. Sementara pada kawasan sempadan pantai berubahnya semak belukar ke kebun campuran menyebabkan lahan menjadi potensial kritis. Tabel 30 menunjukkan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan.
90
Tabel 30 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996-2009 Tingkat Kekritisan Lahan
Penggunaan Lahan Tetap Jenis
Berkurang
Luas (Ha)
1996
2009
SB
KC
Bertambah
Perubahan (Ha)
1996
2009
SB
KC
Perubahan (Ha)
Sempadan Mata Air MA
1
Pot. Kritis
KC
17
Agak Kritis
PK
2
SW
5
TG
23
Tidak Kritis
Jumlah (Ha)
48
Sempadan Pantai Tidak Kritis
Pot. Kritis
SN
29
SB
304
KC
6
TG Jumlah (Ha)
87 87
7 394
87
87
Sempadan Sungai Tidak Kritis
SN
383
SB
KC
2
SB
PK
1
SB
16
Pot. Kritis
KC
270
SB
KC
2
Agak Kritis
PK
43
SB
PK
1
SW
72
SWT
73
TG Jumlah (Ha)
23 880
3
3
Sempadan Anak Sungai Tidak Kritis
ASN
241
SB
57
SB
PK
14
Pot. Kritis
KC
254
KC
PK
5
Agak Kritis
PK
55
SB
PK
14
SW
228
KC
PK
5
SWT Kritis
42
TG
132
PK
1
SW
17
SWT TG Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
1 3 1.031
19
19
91
5.7
Tingkat Kekritisan Lahan di Setiap Kelas Kemampuan Lahan Kualitas lahan tetap terjaga apabila penggunaan lahannya sesuai dengan
kemampuan lahan menentukan. Tingkat kekritisan lahan dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tingkat kekritisan lahan tiap kelas kemampuan lahan di kawasan lindung tersaji pada Tabel 31. Tabel 31 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan
Kelas Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2009
(%)
Luas (Ha)
1996 - 2009
(%)
Luas (Ha)
(%)
Tidak Kritis HT
Kelas II Kelas III
902
22,5
829
20,8
-72
-8,0
3.045
75,8
2.945
74,0
-100
-3,3
SN
Tidak terdefinisi
67
1,7
61
1,6
-6
-9,2
WD
Tidak terdefinisi
0
0,0
144
3,6
144
4.014
100,0
3.979
100,0
-34
Kelas IV
3.076
26,7
2.909
27,2
-167
-5,4
Kelas VI
8.437
73,3
7.795
72,8
-642
-7,6
11.514
100,0
10.705
100,0
-808
Kelas II
16
0,6
27
1,0
11
Kelas III
51
1,9
54
1,9
4
7,5
Kelas II
62
2,3
73
2,6
11
17,3
Kelas III
522
19,8
532
18,9
10
2,0
Kelas IV
233
8,8
251
8,9
18
7,8
Jumlah (Ha) Pot. Kritis HT Jumlah (Ha) Agak Kritis SB PK
SWT
72,7
Kelas II
36
1,4
37
1,3
1
3,7
Kelas III
347
13,1
362
12,8
15
4,3
SW
Kelas III
174
6,6
171
6,0
-3
-1,9
TG
Kelas II
245
9,3
292
10,3
47
19,2 7,4
Kelas III
956
36,2
1.027
36,3
71
2.642
100,0
2.826
100,0
185
Kelas IV
18
0,5
17
0,4
-1
-6,0
Kelas VI
260
8,0
366
9,4
106
40,6
Jumlah (Ha) Kritis SB PK
Kelas VI
308
9,5
337
8,6
28
9,1
SWT
Kelas IV
212
6,5
222
5,7
10
4,9
Kelas VI
209
6,4
256
6,5
47
22,7
SW
Kelas VI
18
0,6
18
0,5
0
0,0
TG
Kelas IV
518
15,9
510
13,0
-8
-1,6
Kelas VI
1.708
52,5
2.183
55,9
476
27,8
3.252
100,0
3.909
100,0
658
Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
92
Tabel 31 menunjukkan bahwa pada lahan kritis, kelas kemampuan lahannya didominasi kelas IV dan VI. Pada lahan kritis, penggunaan lahannya termasuk kegiatan pengolahan lahan yang intensif meliputi sawah, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Penggunaan lahan permukiman dan semak belukar juga mendominasi pada tingkatan ini. Lahan agak kritis pengunaan lahannya sama dengan lahan kritis, perbedaannya terletak pada kelas lahannya. Kelas kemampuan lahan II dan III mendominasi lahan agak kritis. Pada tingkatan ini penggunaan lahan permukiman juga mendominasi dengan terdapat pada kelas lahan IV. Pada lahan potensial kritis, penggunaan lahan hanya hutan saja dengan kelas kemampuan lahan IV dan VI. Pada lahan tidak kritis penggunaan lahan tersebar pada lahan-lahan kelas kemampuan II dan III. Sementara penggunaan lahan sebagai tubuh air berupa sungai dan waduk kelas kemampuan lahan tidak terdefinisi. Penggunaan lahan sebagai semak belukar sebenarnya belum tentu dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa lahan tersebut kritis atau agak kritis meskipun kelas kemampuan lahan IV dan V. Kenyataan menunjukkan bahwa semak belukar atau alang-alang dapat mencegah dan memperkecil terjadinya erosi akibat air hujan dan aliran permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada kelerengan yang curam tutupan lahan secara alami berupa semak belukar atau alang-alang dapat mencegah terjadinya erosi yang akan mengakibatkan terbentuknya lahan kritis. Gambar 30 memperlihatkan bahwa semak belukar atau alang-alang tetap mampu mempertahankan lahan tetap tidak kritis
Gambar 30 Penggunaan lahan Semak Belukar atau Alang-Alang Akan Mempertahankan Lahan Tetap Tidak Kritis
93
Pada kawasan budidaya tingkat kekritisan lahan akan sangat besar pengaruhnya apabila penggunaan lahannya tidak sesuai atau salah penggunaan. Hal ini didasarkan bahwa kawasan budidaya mempunyai fungsi pertanian dan non pertanian. Faktor pengelolaan lahan yang tepat pada kawasan budidaya akan mencegah terjadinya lahan kritis. Lahan-lahan tidak kritis di kawasan budidaya, penggunaan lahannya digunakan untuk usaha pertanian yang meliputi kebun campuran, sawah tadah hujan, sawah, dan tegalan/ladang. Pada lahan tidak kritis, kelas kemampuan lahan yang dominan adalah kelas I, II, dan III. Lahan dengan kelas kemampuan I, II, dan III merupakan lahan-lahan yang dapat digunakan untuk berbagai macam usaha pertanian yang intensif pengolahannya. Pada lahan potensial kritis dan agak kritis, penggunaan lahannya adalah sama. Perbedaan terletak pada kelas kemampuan lahan, dimana lahan potensial kritis didominasi oleh kelas lahan III dan IV, sedangkan lahan agak kritis kelas IV dan VI. Seringkali kelas lahan sama, tetapi tingkat kekritisan lahan berbeda. Hal ini terjadi karena pengaruh karakteristik fisik lahan, misalnya tingkat erosi, dimana wilayah Kulon Progo mempunyai tingkat erosi ringan sampai sedang. Penyebab lain adalah perbedaan tingkat produktivitas lahan karena perbedaan jenis penggunaannya dan jenis yang dibudidayakan. Tabel 32 menunjukkan tingkat kekritisan tiap kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya.
94
Tabel 32 Tingkat kekritisan lahan tiap kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan
Kelas Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2009
(%)
Luas (Ha)
1996 - 2009
(%)
Luas (Ha)
(%)
Tidak Kritis KC
PK
Kelas I
6.354
21,6
6.000
20,4
Kelas II
3.040
10,3
3.075
10,4
35
1,1
Kelas III
5.720
19,4
5.571
18,9
-149
-2,6
Kelas VI
639
2,2
623
2,1
-15
-2,4
1.460
5,0
2.097
7,1
637
43,6
Kelas I Kelas II
SWT
SW
-5,6
508
1,7
680
2,3
172
33,9
Kelas I
2
0,0
2
0,0
0
0,0
Kelas II
88
0,3
88
0,3
0
0,0
Kelas III
124
0,4
124
0,4
0
0,0
6.283
21,3
6.128
20,8
-155
-2,5
587
2,0
586
2,0
-1
-0,2
Kelas III
1.526
5,2
1.518
5,2
-8
-0,5
Kelas I
1.958
6,6
1.871
6,4
-87
-4,4
Kelas II
1.162
3,9
1.088
3,7
-74
-6,4
29.452
100,0
29.452
100,0
0
Kelas I
140
3,5
99
2,5
-42
-29,6
Kelas II
211
5,2
89
2,2
-122
-57,8
Kelas I Kelas II
TG
-353
Jumlah (Ha) Pot. Kritis SB
Kelas III
32
0,8
32
0,8
0
0,0
KC
Kelas VI
874
21,6
868
21,5
-7
-0,8
PK
Kelas III
569
14,0
748
18,6
180
31,6
SWT
Kelas III
78
1,9
78
1,9
0
0,0
SW
Kelas III
23
0,6
23
0,6
0
0,0
TG
Kelas I
116
2,9
116
2,9
0
0,0
Kelas II
205
5,1
205
5,1
0
0,0
Kelas III
1.687
41,6
1.656
41,1
-31
-1,9
Kelas IV
120
2,9
120
3,0
0
0,0
4.055
100,0
4.033
100,0
-22
Kelas IV
76
11,1
76
10,8
0
0,0
Kelas VI
79
11,6
79
11,2
0
0,0
Jumlah (Ha) Agak Kritis SB PK
Kelas IV
9
1,3
24
3,4
15
172,8
Kelas VI
69
10,0
78
11,0
9
13,1
Kelas IV
7
1,0
7
0,9
0
0,0
Kelas VI
36
5,2
36
5,1
0
0,0
SW
Kelas IV
130
19,0
130
18,4
0
0,0
TG
Kelas VI
280
40,8
278
39,3
-2
-0,8
685
100,0
708
100,0
22
SWT
Jumlah (Ha)
Sumber : Hasil Analisis
95
5.8
Tingkat Kekritisan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo dapat diperkirakan
berdasarkan hasil analisis tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Tingkat kekritisan lahan diperoleh dengan penjumlahan dari masing-masing kawasan tersebut. Tabel 33 dan Tabel 34 menunjukkan tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Tabel 33 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 Kawasan Lindung
Tingkat Kekritisan Tahun 1996 Kritis
Agak Kritis
Pot. Kritis
Tidak Kritis
2.642
11.513
4.014
21.421
685
4.055
29.452
34.192
3.252
Budidaya Sempadan Mata Air
30
17
1
48
13
420
433
457
259
312
1.050
211
270
402
884
4.025
16.127
34.601
58.027
Sempadan Pantai Sempadan Anak Sungai
22
Sempadan Sungai Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Jumlah (Ha)
3.274
Tabel 34 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 Kawasan Lindung
Tingkat Kekritisan Tahun 2009 Kritis
Agak Kritis
Pot. Kritis
Tidak Kritis
2.827
10.705
3.980
21421
707
4.033
29.452
34192
30
17
1
48
100
333
433
476
254
298
1050
212
272
399
884
4.252
15.381
34.463
58.027
3.909
Budidaya Sempadan Mata Air Sempadan Pantai Sempadan Anak Sungai
22
Sempadan Sungai Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
Jumlah (Ha)
3.931
Berdasarkan Tabel 33 dan Tabel 34 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009, lahan kritis hanya terdapat pada kawasan lindung dan kawasan sempadan anak sungai. Pada lahan agak kritis satu-satunya kawasan yang tidak ada lahan kritis dan agak kritis adalah kawasan sempadan pantai. Lahan agak kritis paling dominan terdapat pada kawasan lindung. Lahan tidak kritis paling dominan terdapat pada kawasan budidaya. Dominasi lahan kritis, agak kritis, dan potensial kritis terdapat pada kawasan lindung sedangkan dominasi lahan tidak kritis terdapat pada kawasan budidaya.
96
5.9 Potensi Lahan Kritis terhadap RTRW Kabupaten Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo 2003-2013 ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2003. Rencana tata ruang tersebut membagi wilayah kabupaten menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta sejarah bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung berfungsi untuk perlindungan kawasan setempat dan kawasan dibawahnya. Kawasan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan pada kawasan sekitarnya dan kawasan bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang dimanfaatkan secara terarah bagi hidup dan kehidupan manusia. Kawasan budidaya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang berdaya guna dan berhasil guna dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan kawasan budidaya meliputi kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan pariwisata, kawasan perdagangan, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Gambar 31 menunjukkan RTRW Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 sampai 2013.
97
Sumber : Bappeda Kabupaten Kulon Progo,2009
Gambar 31 Peta RTRW Kabupaten Kulon Progo 2003-2013 Gambar 31 menunjukkan bahwa berdasarkan rencana tata ruang wilayah, Kabupaten Kulon Progo menetapkan enam kawasan rencana penggunaan wilayah. Kawasan yang direncanakan meliputi kawasan industri, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan lindung, kawasan perikanan pantai, dan kawasan permukiman. Luas dari masing-masing kawasan dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 35.
98
Tabel 35 Luasan alokasi wilayah Kabupaten Kulon Progo sesuai RTRW No.
Rencana Kawasan
1
Industri
2
Luas (Ha)
Persentase (%)
3.351
5,77
Pertanian Lahan Basah
13.999
24,13
3
Pertanian Lahan Kering
10.014
17,26
4
Lindung
21.421
36,92
5
Perikanan Pantai
385
0,66
6
Permukiman
8.857
15,26
Jumlah (Ha)
58.027
100,00
Sumber : Hasil Analisis
Tabel 35 menunjukkan luasan dari masing-masing rencana pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang wilayah kabupaten. Kawasan lindung mempunyai persentase luasan yang paling besar 36,92% dari wilayah kabupaten. Penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan permukiman juga mempunyai alokasi yang cukup besar. Alokasi penggunaan lahan untuk kawasan industri dan perikanan pantai relatif kecil 5,77% dan 0,66%. Terbentuknya lahan kritis akan berpengaruh terhadap rencana pemanfaatan lahan yang tertuang dalam RTRW. Lahan kritis akan mengurangi pilihan penggunaan lahan sehingga memerlukan tindakan untuk mencegah dan mengurangi terbentuknya lahan kritis, sedangkan lahan kritis yang telah terbentuk harus segera direhabilitasi. Tabel 36 dan 37 menunjukkan sebaran lahan kritis sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang atau RTRW. Tabel 36 Tingkat Kekritisan lahan di setiap rencana tata ruang Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 Pemanfaatan Ruang Sesuai RTRW
Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 1996 (Ha) Kritis
Agak Kritis
Industri
Pot. Kritis
Tidak Kritis
Jumlah (Ha)
50
578
2. 723
3.351
Pertanian Lahan Basah
4
387
740
12.868
13.999
Pertanian Lahan Kering
4
225
1.791
7.994
10.014
3.252
2.642
11.513
4.014
21.421
61
316
385
14
713
1.444
6.686
8.857
3.274
4.025
16.127
34.601
58.027
Lindung Perikanan Pantai Permukiman Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis
99
Tabel 37 Tingkat Kekritisan lahan di setiap rencana tata ruang Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 Pemanfaatan Ruang Sesuai RTRW
Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 2009 (Ha) Kritis
Agak Kritis
Industri Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering
Lindung
4
Tidak Kritis
50
617
2.684
3.351
389
756
12.850
13.999
4
242
1.833
7.935
10.014
3.909
2.827
10.705
3.980
21.421
8
56
321
385
14
736
1.414
6.693
8.857
3.931
4.252
15.381
34.463
58.027
Perikanan Pantai Permukiman Jumlah (Ha)
Jumlah (Ha)
Pot. Kritis
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan Tabel 36 dan 37, penyebaran lahan kritis yang terbesar meliputi kawasan lindung. Rencana pemanfaatan ruang yang lain luasan lahan kritis sangat kecil dan hanya meliputi kawasan pertanian dan permukiman. Lahan agak kritis tersebar di semua rencana pemanfaatan ruang dengan dominasi sebaran pada kawasan lindung. Setiap rencana pemanfaatan ruang didominasi oleh lahan potensial kritis dan tidak kritis atau lahan yang mempunyai daya dukung yang lebih baik terhadap pemanfaatan yang direncanakan. Hal ini menunjukkan lahan mempunyai daya dukung yang baik terhadap alokasi rencana pemanfaatan ruang sesuai RTRW . Kawasan lindung mempunyai sebaran lahan kritis yang paling besar apabila dibandingkan dengan kawasan budidaya ataupun diantara rencana penataan ruang dalam RTRW. Hal ini dapat terjadi oleh karena fungsi dari masing-masing kawasan berbeda-beda. Perbedaan fungsi tersebut berpengaruh terhadap daya dukung masing-masing kawasan untuk dapat berfungsi secara optimal. Tutupan lahan merupakan parameter yang paling utama, untuk mendukung kawasan lindung berfungsi optimal. Tutupan lahan diperhitungkan dari tajuk-tajuk vegetasi permanen yaitu tajuk pohon. Oleh karena itu penggunaan lahan atau tutupan lahan yang lain, membuat kawasan lindung akan menjadi kritis atau agak kritis. Tutupan lahan yang membuat kawasan lindung menuju ke arah kritis meliputi : 1.
Penutupan lahan yang terdiri dari penggunaan lahan tanah terbuka, semak belukar, kegiatan pertanian, dan lahan kering bercampur semak belukar.
100
Kegiatan perbaikan untuk penggunaan lahan ini adalah kegiatan rehabilitasi baik berupa reboisasi maupun penghijauan. 2.
Penutupan lahan yang terdiri dari hutan lahan kering sekunder, dan hutan rawa sekunder. Kegiatan yang diarahkan pada penutupan lahan ini adalah kegiatan pengayaan tanaman. Berdasarkan parameter yang memperhitungkan tutupan lahan berdasarkan
tajuk vegetasi permanen atau pohon, maka bentuk penutupan lahan lainnya yang dapat berfungsi sama dengan penutupan tajuk pohon tetap dianggap sebagai lahan kritis. Misalnya tutupan lahan berupa semak belukar dalam kondisi alami dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya erosi, akan tetapi penutupan lahan semak belukar tetap harus direhabilitasi.
5.10 Arahan Penanganan Lahan Kritis Arahan penanganan lahan kritis disesuaikan dengan tiap fungsi kawasan dan faktor penyebabnya agar upaya yang dilakukan untuk mengurangi sifat kritis lahan tepat sasaran dan efektif. Arahan dan upaya penanganan lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo adalah sebagai berikut :
Kawasan Lindung Fungsi utama kawasan lindung adalah perlindungan kawasan sekitarnya dan kawasan dibawahnya, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Penanganan lahan kritis dan agak kritis pada kawasan lindung adalah: 1.
Penambahan penutupan vegetasi sesuai dengan konturnya dengan tegakan yang rapat berupa tanaman tahunan permanen. Penambahan vegetasi ini dapat dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi dan pengayaan tanaman. Tanaman pengayaan atau rehabilitasi diutamakan merupakan tanaman endemik setempat oleh karena selain karena fungsinya juga berhubungan dengan habitat dan cadangan makanan bagi satwa liar di kawasan tersebut.
2.
Pemberdayaan terhadap masyarakat dengan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan akan pentingnya fungsi hutan. Misalnya untuk menjaga kondisi dan fungsi sebagai kawasan lindung diperlukan program kelompok
101
tani konservasi. Kelompok tani bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dengan membatasi pengambilan kayu untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup. Akses terhadap hutan yang utama adalah pengambilan rumput untuk ternak dan kayu bakar. 3.
Melarang kegiatan budidaya di kawasan hutan lindung dan pemberian intensif bagi masyarakat yang peduli terhadap konservasi hutan dan lahan.
Kawasan Budidaya Kawasan budidaya mempunyai fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya dibedakan antara kawasan budidaya tanaman tahunan dengan kawasan budidaya tanaman semusim atau pertanian. Penanganan agak kritis pada budidaya pertanian adalah: 1.
Untuk mengurangi bahaya erosi diterapkan sistem agroforestry, konservasi vegetatif dan mekanik, sisipan tanaman tahunan, atau batu penguat teras dan rorak terutama pada lahan yang memiliki tingkat kelerengan >25%.
2.
Program pengembangan pertanian konservasi, penanaman menurut kontur, dan melakukan penambahan bahan organik untuk lahan-lahan yang mengalami penurunan produktifitas.
3.
Konservasi lahan pertanian yang dioleh secara intensif dengan pergantian tanaman, penanaman menurut kontur, pemberian mulsa sisa tanaman, pupuk kandang, dan pupuk hijau.
4.
Meningkatkan motivasi dan kemampuan masyarakat dan aparat untuk memperbaiki konservasi lahan dengan cara penyuluhan, pelatihan dan pendampingan. Penangan lahan potensial kritis dan tidak kritis pada kawasan budidaya
pertanian dapat melalui cara sebagai berikut : 1.
Untuk mengurangi bahaya erosi pada tegalan/ladang, dan kebun campuran dilakukan pembuatan teras dan saluran tegak lurus kontur dengan maksud membuat aliran permukaan dapat menjauhi lahan yang rawan tererosi dan longsor.
102
2.
Pada lahan pertanian intensif dilakukan konservasi secara vegetatif, pemakaian varietas unggul untuk meningkatkan produktivitas, pergiliran tanaman, penanaman menurut kontur, pemberian mulsa sisa tanaman, dan pemupukan.
3.
Penerapan sistem agroforestry pada tegalan/ladang dan kebun campuran.
4.
Pemberian ketrampilan di luar pertanian agar para petani atau masyarakat memiliki alternatif pekerjaan lain selain dibidang pertanian.
5.
Meningkatkan manajemen pengelolaan lahan, kemampuan manajerial petani dengan penyuluhan pengembangan pertanian konservasi dan media publikasi. Arahan penanganan dan upaya pencegahan lahan kritis harus mendapat
dukungan dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Setrategi kebijakan yang diterapkan harus bertujuan untuk pengelolaan sumberdaya yang optimal untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Memberdayakan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam yang berkelanjutan, sebagai wujud dari otonomi daerah.
5.11 Evaluasi Penilaian Kekritisan Lahan Menurut Kriteria Kehutanan Penilaian lahan kritis menurut kriteria kehutanan mengacu kepada SK Dirjen RLPS No. SK.167/V-SET/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Penilaian lahan kritis ini merupakan penilaian secara opsional atau pendekatan sehingga metode ini memiliki kekurangan antara lain : 1.
Penilaian lahan kritis dengan metode pendekatan opsional sangat diperlukan pengecekan lapangan.
2.
Penilaian lahan kritis dengan sistem skoring dapat mengarah ke penilaian yang bersifat subyektif karena tidak ada batasan dalam penetapan skornya, sehingga dapat terjadi perbedaan dengan pengamatan langsung di lapangan.
3.
Penutupan lahan pada kawasan lindung yang diperhitungkan adalah tajuk vegetasi permanen yaitu pohon. Kenyataannya penutupan lahan berupa semak belukar tetap dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya erosi sehingga tidak terbentuk lahan kritis. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi dari semak belukar hampir sama dengan fungsi penutupan tajuk pohon, sedangkan menurut kriteria kehutanan hasil penilaian semak belukar termasuk kritis.
103
VI.
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo pada periode tahun 1996 sampai 2009, dapat disimpulkan : 1.
a. Penggunaan lahan yang mendominasi adalah kebun campuran, hutan, tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. b. Penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan yang paling besar, sementara penggunaan lahan mengalami penambahan luas yang paling besar adalah permukiman.
2.
Sampai dengan tahun 2009, di Kabupaten Kulon Progo tingkat kekritisan lahan terdiri dari lahan tidak kritis seluas 34.463 ha, lahan potensial kritis: 15.381 ha, lahan agak kritis: 4.252 ha, dan lahan kritis: 3.931 ha. Hal ini menunjukan bahwa selama periode tahun 1996 sampai 2009 lahan tidak kritis dan lahan potensial kritis masing-masing berkurang 138 ha dan 746 ha, sementara lahan agak kritis dan lahan kritis masing-masing bertambah 227 ha dan 657 ha.
3.
a. Pada kawasan lindung berupa hutan penambahan luas lahan kritis dan lahan agak kritis terjadi karena konversi hutan menjadi semak belukar, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang. b. Pada kawasan budidaya, terbentuknya permukiman pada lahan dengan kelerengan curam dan sangat curam sehingga menyebabkan terbentuknya lahan agak kritis. Perubahan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran mengubah lahan menjadi tidak krtitis karena meningkatnya produktivitas. c. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan perubahan penggunaan lahan yang terjadi relatif kecil, sehingga perubahan tingkat kekritisan lahan juga kecil.
4.
Kawasan lindung mempunyai sebaran lahan kritis yang paling dominan. Hal ini terjadi karena terkonversinya hutan menjadi penggunaan non hutan, akibatnya fungsi sebagai kawasan lindung berkurang atau mengalami kerusakan.
104
5.
Penanganan lahan kritis harus mempertimbangkan tingkat kekritisan lahan, dan fungsi kawasan sehingga diharapkan penanganannya lebih efektif dan efisien.
6.2 Saran 1.
Perlu kebijakan pemerintah daerah yang tepat agar penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik wilayah, sehingga terbentuknya lahan kritis dapat diminimalkan dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan tetap terjaga.
2.
Adanya penelitian lanjutan untuk memprediksi penggunaan lahan ke depan sehingga penggunaan lahan yang tidak sesuai dapat dicegah sejak awal.
3.
Upaya penanganan Lahan Kritis memerlukan kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat agar program yang dilaksanakan dapat berhasil secara optimal.
4.
Lahan kritis mempunyai karakteristik yang dinamis akibat kebutuhan lahan yang semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga identifikasi penilaian lahan kritis dapat berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, perlu
adanya penelitian
untuk
memperbaharui
data dan
karakteristik lahan agar penanganan lahan kritis dapat optimal.
informasi
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. BALITBANGTANAK. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 4. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Bogor. Barus B., dan Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografis : Sarana Manajemen Sumberdaya Alam. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. [Bappeda Kabupaten Kulon Progo]. 2003. Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Tahun 2003-2013. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo. Wates. [Bappeda Kabupaten Kulon Progo]. 2007. Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah) Tahun 2006-2011. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo. Wates. [Bappeda Kabupaten Kulon Progo]. 2009. Profil Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2008. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo. Wates. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo. 2009. Peta Jenis Tanah di Kabupaten Kulon Progo. BPDAS Serayu Opak Progo. Yogyakarta. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo. 2009. Peta Sistem Lahan Kabupaten Kulon Progo. BPDAS Serayu Opak Progo. Yogyakarta. [BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura. 2009. Peta Curah Hujan Kabupaten Kulon Progo. BPKH Wilayah XI JawaMadura. Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. 2009. Kulon Progo Dalam Angka, 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. Pengasih. [Departemen Kehutanan]. 1988. Petunjuk Cara Deskripsi Tanah dan Bentang Lahan dalam Studi Pengelolaan DAS Secara Terpadu di Indonesia Berdasarkan Sistem USDA. Dirjen RRL. Jakarta. [Departemen Kehutanan]. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Biro Peraturan Perundang-Undangan I. Jakarta.
[Departemen Kehutanan]. 2004. Peraturan Direktur Jenderal RLPS tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Dirjen RLPS. Jakarta. [Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo]. 2009. Rekapitulasi Curah Hujan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2000-2010. Wates : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo. Danudoro P. 2006. Sains Informasi Geografis : Dari Perolehan dan Analisis Citra Hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. [FAO]. 1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources. Toward a New Approach. FAO Land and Water Bulletin. Food and Agriculture Organization. Rome. Hardjasoemantri K., dan Harjiyatni FR. 2004. Penyelenggaraan Pertanian Lahan Pantai dan Dampaknya Terhadap Lingkungan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sosiosains Program Studi Ilmu Hukum UGM. Yogyakarta. Hardjowigeno S., dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Jensen JR. 1986. Introductory Digital Image Processing : A Remote Sensing Perspective, 2nd Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey. [Kementerian Kehutanan]. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Biro Peraturan Perundang-Undangan I. Jakarta. [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2009. Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Deputi Bidang Tata Lingkungan. Jakarta. [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Biro Hukum dan Perundang-Undangan. Jakarta. Lillesand TM., dan Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lindgren DT. 1985. Land Use Planning and Remote Sensing, Doldrecht: Martinus Nijhoff Publisher. Lu DP., and Mausel. 2004. Change Detection Techniques, International J. Remote Sensing, Jun 2004, Vol 25, No 12, P.2365 - 2407.
Notohadiprawiro T. 2006. Lahan Kritis dan Bincangan Pelestarian Lingkungan Hidup. Seminar Nasional Penanganan Lahan Kritis di Indonesia 1996. Repro Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung. Rustiadi E., Saefulhakim, S., dan Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sitorus SRP. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sitorus SRP. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. Slaymaker O., and Spencer T. 1998. Physical Geography and Global Environmental Change. Longman Ltd., Edinburgh U.K. Sutanto. 1998. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yunita A. 2005. Perencanaan Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Sistem Agroforestry Kasus Kecamatan Rambah Rokan Hulu. Thesis. IPB. Bogor Yunus HS. 2000. Struktur Tata Ruang Kota Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Warsono A., Soetomo S., dan Wahyono H. 2009. Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor Jalan Kaliurang, Kabupaten Sleman. Jurnal Tata Kota dan Daerah Vol. I No. I Tahun 2009. Universitas Brawijaya. Malang. Winoto J., Selari M., Saefulhakim S., Santoso DA., Achsani NA., dan Panuju DR. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor : Lembaga Penelitian IPB Bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Pertanahan BPN. Zain AS. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Sertifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Matrik Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan Di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996-2009 Kecamatan Wates Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
97
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
Tahun 1996 (Ha)
20
46
163
597
89
686
PK
537
537
SW
29
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
818
846
SWT TG
40
912
SN
952 47
47
47
3.231
MA WD Tahun 2009 (Ha)
97
617
741
818
912
Kecamatan Temon Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB 161
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
78
MA
WD
Tahun 1996 (Ha) 239
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
1.309
22
1.331
PK
242
242
SW
12
1.122
1.135
SWT TG
648
SN
648 68
68
68
3.663
MA WD Tahun 2009 (Ha)
161
1.387
277
1.122
648
Lampiran 1 (Lanjutan)
Kecamatan Sentolo Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
KC
PK
2.821
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
22
Tahun 1996 (Ha) 22
HT KC Tahun 1996 (Ha)
151
2.972
PK
332
332
SW
0
887
887
SWT TG
12
915
SN
928 28
28
28
5.169
SN
Tahun 1996 (Ha) 125
MA WD Tahun 2009 (Ha)
22
2.821
496
887
915
Kecamatan Samigaluh Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
124
HT
82
HT
PK
SW
SWT
TG
1 4.582
20
60
133
WD
22 370
PK
MA
4.877
22
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
370
SW SWT
14
599
1
TG
613 480
SN
481 26
26
26
6.513
MA WD Tahun 2009 (Ha)
206
4.582
22
406
659
613
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Pengasih Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
87
HT
3
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
2 1.139
74 2.206
1.215
65
2.271
PK
477
477
SW
2
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
Tahun 1996 (Ha) 89
454
456 31
SWT 13
TG
31 1.195
1.209
SN
65
65
65
5.814
MA WD Tahun 2009 (Ha)
90
1.139
2.206
560
454
31
1.269
Kecamatan Panjatan Perubahan Penggunaan Lahan
SB
45
2
Tahun 1996 (Ha) 159
2.340
113
2.453
130
130
Tahun 2009 (Ha) SB 112
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
HT Tahun 1996 (Ha)
KC PK
1.160
SW
1.160
SWT TG
473
473 4
SN MA
4 0.1
0
0.1
4.379
WD Tahun 2009 (Ha)
112
2.384
245
1.160
473
4
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Nanggulan Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
21
HT
37
37 1.264
2
1.266
PK
447
447
SW
100
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
Tahun 1996 (Ha) 21
1.247
1.347 48
SWT 27
TG
48 811
838 37
SN MA
37 0.5
0
0.5
4.042
MA
Tahun 1996 (Ha) 12
WD Tahun 2009 (Ha)
21
37
1.264
576
1.247
48
811
37
Kecamatan Lendah Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
12
WD
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
2.095
51
2.146
PK
109
109
SW
4
1.063
1.067
SWT TG
1
217
SN
219 145
145
145
3.699
MA WD Tahun 2009 (Ha)
12
2.095
165
1.063
217
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Kokap Perubahan Penggunaan Lahan
SB
SB
244
HT
HT
KC
PK
SW
3.859
SWT
6 1.908
TG
SN
MA
134
51
4.050
43
1.951
PK
164
164
SW
2
KC Tahun 1996 (Ha)
WD
Tahun 1996 (Ha) 244
Tahun 2009 (Ha)
41
43 39
SWT 2
TG
39 713
SN
87
801
4
6
10
4
144
7.303
WD
Tahun 1996 (Ha) 104
MA WD Tahun 2009 (Ha)
244
3.859
1.908
211
41
45
846
Kecamatan Kalibawang Perubahan Penggunaan Lahan
SB
SB
104
Tahun 2009 (Ha)
HT
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
1 1.746
16 742
120
MA
1.882
13
755
PK
461
461
SW
3
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
765
768 198
SWT 4
TG
198 1.106
SN
1.110 76
76
76
5.355
MA WD Tahun 2009 (Ha)
104
1.746
742
498
765
198
1.227
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Girimulyo Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
42
HT
36
HT
PK
3.117
SW
9
SWT
21
TG
SN
MA
WD
215
3.397
183
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
183 449
PK
Tahun 1996 (Ha) 42
449 51
SW
51 253
SWT
253 1.234
TG
1.234
SN
12
12
12
5.623
MA WD Tahun 2009 (Ha)
78
3.117
183
458
51
274
1.449
Kecamatan Galur Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB 69
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
75
MA
WD
Tahun 1996 (Ha) 144
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
1.070
74
1.144
PK
123
123
SW
5
1.288
1.292
SWT TG
29
226
SN
254 201
201
201
3.158
MA WD Tahun 2009 (Ha)
69
1.145
230
1.288
226
Lampiran 2 Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 1996
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 3 Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 2009
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 4 Peta Tingkat Erosi di Kabupaten Kulon Progo
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 5 Peta Singkapan Batuan di Kabupaten Kulon Progo
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 6 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 1996
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 7 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 2009
Sumber : Hasil Analisis
LAMPIRAN
Lampiran 1 Matrik Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan Di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996-2009 Kecamatan Wates Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
97
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
Tahun 1996 (Ha)
20
46
163
597
89
686
PK
537
537
SW
29
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
818
846
SWT TG
40
912
SN
952 47
47
47
3.231
MA WD Tahun 2009 (Ha)
97
617
741
818
912
Kecamatan Temon Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB 161
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
78
MA
WD
Tahun 1996 (Ha) 239
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
22
1.331
PK
1.309
242
242
SW
12
1.122
1.135
SWT TG
648
SN
648 68
68
68
3.663
MA WD Tahun 2009 (Ha)
161
1.387
277
1.122
648
Lampiran 1 (Lanjutan)
Kecamatan Sentolo Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
KC
PK
SW
2.821
151
SWT
TG
SN
MA
WD
22
Tahun 1996 (Ha) 22
HT Tahun 1996 (Ha)
KC PK
332
SW
0
2.972 332 887
887
SWT TG
12
915
SN
928 28
28
28
5.169
SN
Tahun 1996 (Ha) 125
MA WD Tahun 2009 (Ha)
22
2.821
496
887
915
Kecamatan Samigaluh Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
124
HT
82
HT
PK
SW
SWT
TG
1 4.582
20
60
133
WD
22 370
PK
MA
4.877
22
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
370
SW SWT
14
599
1
TG
613 480
SN
481 26
26
26
6.513
MA WD Tahun 2009 (Ha)
206
4.582
22
406
659
613
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Pengasih Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
87
HT
3
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
2 1.139
74 2.206
1.215
65
2.271
PK
477
477
SW
2
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
Tahun 1996 (Ha) 89
454
456 31
SWT 13
TG
31 1.195
1.209
SN
65
65
65
5.814
MA WD Tahun 2009 (Ha)
90
1.139
2.206
560
454
31
1.269
Kecamatan Panjatan Perubahan Penggunaan Lahan
SB
45
2
Tahun 1996 (Ha) 159
2.340
113
2.453
130
130
Tahun 2009 (Ha) SB 112
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
HT Tahun 1996 (Ha)
KC PK
1.160
SW
1.160
SWT TG
473
473 4
SN MA
4 0.1
0
0.1
4.379
WD Tahun 2009 (Ha)
112
2.384
245
1.160
473
4
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Nanggulan Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
MA
WD
21
HT
37
37 1.264
2
1.266
PK
447
447
SW
100
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
Tahun 1996 (Ha) 21
1.247
1.347 48
SWT 27
TG
48 811
838 37
SN MA
37 0.5
0
0.5
4.042
MA
Tahun 1996 (Ha) 12
WD Tahun 2009 (Ha)
21
37
1.264
576
1.247
48
811
37
Kecamatan Lendah Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
12
WD
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
2.095
51
2.146
PK
109
109
SW
4
1.063
1.067
SWT TG
1
217
SN
219 145
145
145
3.699
MA WD Tahun 2009 (Ha)
12
2.095
165
1.063
217
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Kokap Perubahan Penggunaan Lahan
SB
SB
244
HT
HT
KC
PK
SW
3.859
SWT
6 1.908
TG
SN
MA
134
51
4.050
43
1.951
PK
164
164
SW
2
KC Tahun 1996 (Ha)
WD
Tahun 1996 (Ha) 244
Tahun 2009 (Ha)
41
43 39
SWT 2
TG
39 713
SN
87
801
4
6
10
4
144
7.303
WD
Tahun 1996 (Ha) 104
MA WD Tahun 2009 (Ha)
244
3.859
1.908
211
41
45
846
Kecamatan Kalibawang Perubahan Penggunaan Lahan
SB
SB
104
Tahun 2009 (Ha)
HT
HT
PK
SW
SWT
TG
SN
1 1.746
16 742
120
MA
1.882
13
755
PK
461
461
SW
3
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
765
768 198
SWT 4
TG
198 1.106
SN
1.110 76
76
76
5.355
MA WD Tahun 2009 (Ha)
104
1.746
742
498
765
198
1.227
Lampiran 1 (Lanjutan) Kecamatan Girimulyo Perubahan Penggunaan Lahan
Tahun 2009 (Ha) SB
SB
42
HT
36
HT
PK
3.117
SW
9
SWT
21
TG
SN
MA
WD
215
3.397
183
KC Tahun 1996 (Ha)
KC
183 449
PK
Tahun 1996 (Ha) 42
449 51
SW
51 253
SWT
253 1.234
TG
1.234
SN
12
12
12
5.623
MA WD Tahun 2009 (Ha)
78
3.117
183
458
51
274
1.449
Kecamatan Galur Perubahan Penggunaan Lahan
SB
Tahun 2009 (Ha) SB 69
HT
KC
PK
SW
SWT
TG
SN
75
MA
WD
Tahun 1996 (Ha) 144
HT Tahun 1996 (Ha)
KC
1.070
74
1.144
PK
123
123
SW
5
1.288
1.292
SWT TG
29
226
SN
254 201
201
201
3.158
MA WD Tahun 2009 (Ha)
69
1.145
230
1.288
226
Lampiran 2 Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 1996
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 3 Tutupan Lahan Hutan pada Kawasan Lindung Tahun 2009
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 4 Peta Tingkat Erosi di Kabupaten Kulon Progo
Sumber : BPDAS Serayu Opak Progo
Lampiran 5 Peta Singkapan Batuan di Kabupaten Kulon Progo
Sumber : BPDAS Serayu Opak Progo
Lampiran 6 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 1996
Sumber : Hasil Analisis
Lampiran 7 Peta Produktifitas Lahan di Kawasan Budidaya Tahun 2009
Sumber : Hasil Analisis