BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ini akan menarasikan mengenai peranan gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Gerakan komunitas yang mencoba meniru keberhasilan gerak perjuangan para perupa menjelang kemerdekaan ini tengah memperjuangkan nasib kaum tertindas di lingkungan lahan pantai Kulon Progo. Lokus riset ini di sebuah komunitas yang bersemangat melakukan perjuangan membantu para petani pesisir pantai di kabupaten Kulon Progo dalam mempertahankan lahan pertaniannya. Rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai selatan Kulon Progo itu bahkan telah menimbulkan konflik dan kekerasaan. Kemudahan ijin tambang yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menjadi awal mula meluasnya konflik ini sejak tahun 2006. Konflik yang semula merupakan konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atau investor ini kini juga menjadi konflik horisontal dalam masyarakat. Hingga, banyak elemen masyarakat yang peduli atas kondisi tersebut dengan melakukan berbagai gerakan sosial untuk mengawal konflik. Taring Padi adalah sebuah komunitas seniman bersemangat kerakyatan pertama pasca orde baru yang lantang menyuarakan bahwa seni dan politik tidak dapat dipisahkan (W. Indra, 2012). Komunitas ini yang juga ikut mewarnai gerakan sosial di wilayah pesisir pantai Kulon Progo merupakan
1
antitesis bagi pemerintah. Sebab, keyakinannya akan kerja keseniaan adalah praktik politik yang merupakan suatu bentuk aksi radikal. Komunitas ini berpandangan bahwa kekuasaan pasti memiliki watak menindas (penindasan). Sehingga, kerja kesenian juga harus bisa menggugah dan mengubah kesadaran kelompok yang dirugikan dan membongkar segala bentuk penipuan yang dilakukan oleh penguasa (tiran). Pada tahun-tahun akhir masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia (yang memanas tahun 1998), seluruh komponen bangsa ini bergerak bersama menjadi sebuah gerakan pemikiran, gerakan moral dan kultural yang kuat kemudian merespon situasi sosial-politik negeri ini (Wulandari, 2008). Setting memanasnya iklim politik Indonesia itu menjadi momentum kelahiran dari komunitas Taring Padi. Taring Padi dikenal sebagai kelompok pekerja seni-budaya yang berproses untuk menciptakan karya-karya seni yang progresif. Komunitas ini memakai seni bertema slogan-slogan kerakyatan sebagai media gerakannya. Karya-karya seni yang kental dengan pesan revolusioner ini tercipta dengan dilatar-belakangi oleh isu- isu mengenai kesejahteraan petani dan buruh, perjuangan kelas, demokrasi, militerisme, hingga politik lingkungan hidup yang tercermin dalam karyanya. Sebab, seni tidak hanya mereproduksi kehidupan, melainkan menjelaskannya: hasil- hasil seni acap kali “mempunyai tujuan untuk melakukan penilaian atas gejala-gejala kehidupan” (Plekha nov, G.V, 1977).
2
Karya-karya seni yang menjadi andalan komunitas Taring padi dalam menyampaikan pesan-pesan revolusioner adalah melalui produksi poster kartun dengan menggunakan teknik blockprinting (mencukil/tradisional) diatas kertas atau kanvas. Komunitas inilah yang menyuarakan secara lugas dan lantang karya-karya seni yang berisi teks-teks pembelaan rakyat. Contoh karya seni yang berwujud seni rupa cukil kayu adalah “tanah untuk petani” dan ilustrasi petani kurus, “jangan mau dibungkam” disamping gambar mulut terbuka, “senjata tak selesaikan masalah” dengan gambar palu dan arit terbakar api. Kegiatan lain yang dilakukan komunitas ini meliputi : penerbitan media berkala Terompet Rakyat, kerja sama antar komunitas, pembuatan media propaganda (seperti poster bertema, baliho, wayang-wayangan, instalasi), aksi grafiti dan lain sebagainya (Wulandari, 2008). Kehadiran komunitas Taring Padi memang patut diacungi jempol. Bukan hanya karena komitmen dan keradikalan visi yang dibawanya, Taring Padi juga memiliki kemandirian dan kolektivitas yang mampu membuat komunitas ini bertahan bahkan sampai melakukan regenerasi. Sebagai salah satu komunitas yang terus aktif menyampaikan kritikan, Taring Padi pun ikut mewarnai gerakan sosial di kabupaten Kulon Progo dalam merespon kebijakan penambangan pasir besi. Sesuai penjelasan diatas, komunitas Taring Padi merupakan komunitas seniman yang menentang segala bentuk penindasan dengan mengungkapkan ekspresinya melalui sejumlah karya-karya seni. Kemudahan pemberian ijin tambang kepada investor di wilayah pesisir pantai Kulon Progo dapat
3
didefinisikan sebagai suatu bentuk penindasan pemerintah terhadap rakyat. Sebab, dengan terlaksananya kebijakan penambangan pasir besi dapat membawa efek domino bagi lingkungan ekosistem, sosial dan ekonomi masyarakat. Seperti, merusak ekosistem pesisir gumuk pasir, hilangnya fungsi ekologis sebagai pencegah tsunami, merusak hubungan sosial kemasyarakatan antara masyarakat yang pro dan kontra tambang, penggusuran lahan pertanian dan pemukiman, serta penghapusan lapangan kerja masyarakat. Kemudahan ijin ini juga syarat dengan muatan politis antara pejabat pemerintah dan investor yang memperbesar peluang akan adanya tindakan korupsi. Masyarakat pesisir pantailah yang sangat dirugikan atas rencana kebijakan penambangan pasir besi ini. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui UU Tata Ruang mengenai penggunaan lahan pesisir yang diperuntukan bagi kawasan pertambangan menuai protes dari masyarakat, terutama para petani pesisir pantai. Bahkan, kebijakan tersebut nyatanya tumpang tindih dengan UU No. 5 tahun 1960 mengenai hak masyarakat untuk mengelola lahan pasir karena memiliki sertifikat sah. Hal ini memperlihatkan bahwa adanya ketidakpercayaan antara pemerintah dan swasta terhadap peran dan kepentingan masyarakat dalam mengelola lahan pasir tersebut sehingga konflik sulit diselesaikan. Berbagai bentuk penolakan telah dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan demonstrasi, pemblokiran jalan masuk pilot project dan upaya hukum yang mengalami kegaga lan. Kondisi sosial-politik yang terjadi di sekitar pesisir pantai Kulon Progo tersebut membuat beberapa elemen
4
masyarakat peduli untuk merespon konflik tersebut melalui gerakan sosial, seperti aktivis mahasiswa Kulon Progo, paguyuban petani lahan pantai, LBH, tak terkecuali komunitas Taring Padi. Gerakan perlawanan para seniman muda sebagai protes yang kemudian memiliki implikasi lebih luas secara sosial-politik; tidak sekedar melawan kemapanan nilai- nilai estetik-artistik, namun melebar menjadi medium untuk melancarkan kritik sosial (atas segala ketimpangan sosial yang terjadi ketika itu) (Wulandari, 2008). Peranan Taring Padi yang menjadikan seni sebagai media perjuangan melawan ketertindasan pun dipertanyakan. Peranan Taring Padi melakukan gerakan sosial dalam merespon kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Dengan memahami pola-pola gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam merespon kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Inilah yang akan menjadi indikator dari instrumen apa yang digunakan oleh komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial terkait dengan peranannya untuk mempengaruhi tindakan atau kebijakan pemerintah. Implikasi atau pengaruh yang ditimbulkan dari gerakan komunitas Taring Padi terhadap pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan masyarakat Kulon Progo juga menjadi penting. Tentu saja, instrumen yang digunakan dan pengaruh yang ditimbulkan dalam gerakan komunitas Taring Padi ini menjadi dua variabel penting dalam melihat keberhasilan gerakan, selain tujuan itu sendiri.
5
Merujuk pada studi mengenai seni dan realitas sosial yang tergambar dalam kerja kesenian dari komunitas Taring Padi. Studi yang berjudul Realisme Sosialis Georg Lukacs dapat menjelaskan konsep realisme sosialis dalam
hubungan
ditempatkan
(pertentangan)
dalam
posisi
dengan
berhadapan.
humanisme Hingga
universal,
para
yang
penentangnya
mengkhawatirkan akan kecenderungan menundukkan kegiatan dan pemikiran artistik di bawah politik. Akibatnya realisme sosialis kemudian semata- mata dipandang sebagai konsep tentang hubungan seni dan politik, yaitu tunduknya sastrawan pada pemerintah partai atau garis politik organisasi. (Karyanto, 1997) Namun studi tersebut ingin menjelaskan bahwa gagasan utama estetika realisme adalah menghadirkan dengan tepat kepribadian manusia secara utuh. Artinya realisme tidak akan menampilkan kekayaan potensial secara parsial dan fragmentaris, karena dengan itu seniman realis melaksanakan “misi-seni”nya untuk membuka mata masyarakat supaya mampu melihat kembali kepribadiannnya yang utuh (Karyanto, 1997). Akhirnya, realisme tidak hanya sekedar mengkritik dunia borjuis kapitalis sebagai dunia yang chaos dan anarkis, tapi juga mengembalikan jati diri kesatuan sosial, yaitu tatanan hidup demokrasi yang humanis. Lukacs telah menempatkan manusia pada posisi eksistensialnya sebagai makhluk yang mempunyai daya spriritual (kesadaran). Sama halnya dengan tulisan ini, kajian mengenai komunitas Taring Padi ini ingin mengungkap kerja kesenian yang digunakan untuk membangkitkan kesadaran akan humanisme dalam konteks sosial-politik yang terjadi di Kulon
6
Progo. Sebab, realisme menghantarkan sastrawan atau seniman dan pembaca pada suatu pemahaman yang sama mengenai tatanan sosial yang humanis. Selain itu, merujuk studi-studi terdahulu soal komunitas Taring Padi tidak memiliki persamaan dengan kajian ini. Studi tentang Taring Padi berjudul Taring Padi: Seni Membongkar Tirani yang dibuat oleh komunitas ini sendiri merupakan sebuah retrospeksi karya-karya kolektif dari Taring Padi sebagai sebuah lembaga budaya yang berdiri akhir tahun 1998. Studi ini mendokumentasikan reaksi radikal pekerja seni atas perubahan sosial politik di Indonesia sejak Reformasi 1998 melalui kerja seni kolektif yang progresif, inklusif, militan dan berkelanjutan hingga saat ini dengan disertai “pembacaan” karya-karya dalam setiap 13 kategori tema didalamnya. Kajian dalam tulisan ini pun berbeda, lebih terfokus pada dimensi peranan komunitas Taring Padi dalam melakukan gerakan sosial guna merespon kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Namun studi ini juga memiliki kesamaan dengan studi-studi terdahulu, terutama dalam mempersoalkan gerakan sosial yang terjadi di kabupaten Kulon Progo akibat adanya kebijakan penambangan pasir besi. Salah satunya adalah studi yang ditulis oleh Sovya Mardanigrum (2010) tentang Dinamika Gerakan Sosial Petani Pesisir Kulon Progo. Secara lebih sederhana, studi tersebut mencerminkan kondisi dimana mekanisme terhadap akomodasi kepentingan masyarakat tidak dapat dilakukan secara bottom up (proses pengakomodasian aspirasi yang berasal dari masyarakat itu sendiri kepada pemerintah atau institusi formal yang berwenang) sehingga memilih jalan ‘melawan’ negara
7
(baik secara langsung maupun tidak langsung) yang direpresentasikan oleh gerakan-gerakan rakyat. Bedanya, kajian dalam tulisan ini lebih menfokuskan pada gerakan rakyat diluar pihak yang terlibat dalam membantu perjuangan gerakan sosial di kabupaten Kulon Progo. Adapun perbedaan yang nyata dapat dilihat dari studi ini dibanding studi gerakan sebelumnya terkait lokus penelitian, yakni peranan Taring Padi dalam melakukan gerakan sosial. Namun ini pun tidak semata- mata menjadikan perbedaan tunggal dengan studi-studi sebelumnya. Pengambilan konteks lokal kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo sebagai indikator dalam melakukan penilaian terbilang unik dan dinamis. Kemudahan ijin tambang dan keunikan corak sumber daya alam di Kulon Progo yang dilirik sebagai sebuah potensi investasi korporasi yang menggiurkan menjadi awalan studi ini. Tantangan kajian atas isu sebagaimana diilustrasikan diatas, penting untuk menitikberatkan pada bagaimana output gerakan yang dilakukan komunitas Taring Padi, mencakup penilaian instrumen yang dilakukan dan pengaruh yang ditimbulkan. Kajian studi mengenai komunitas Taring Padi ini dimaksudkan untuk membuka cakrawala baru mengenai pola-pola penyampaian kritik sosial yang berkembang dalam masyarakat. Output yang dicapai pada gerakan komunitas Taring Padi juga dapat memberikan gambaran mengenai keberlanjutan polapola penyampaian kritik sosial dan berkembangnya komunitas yang serupa. Ataukah justru output tersebut tidak memiliki korelasi yang berarti dalam kemunculan kelompok-kelompok masyarakat sejenis. Karena bisa saja,
8
komunitas tersebut memang terbentuk atas dasar ketertarikan mereka terhadap seni dan politik. Kritik sosial yang dilakukan Taring Padi sejak tahun 1998 telah memberikan kontribusi baru dalam perpolitikan Indonesia. Politik pun tidak hanya terbatas pada dunia pemerintahan saja, namun politik dapat hadir di dalam masyarakat, bahkan dalam dunia seni sekalipun.
B. Rumusan Masalah “Bagaimana peranan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di dusun Garongan, Kulon Progo?” a. Instrumen apa yang digunakan oleh komunitas Taring Padi dalam melakukan kritik terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi dusun Garongan, Kulon Progo? b. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan komunitas Taring Padi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di dusun Garongan, Kulon Progo?
C. Tujuan Penelitian Adapun setiap penelitian memiliki tujuan masing- masing, berkenaan dengan tema yang diambil, penelitian ini bertujuan untuk:
9
1. Menjelaskan tindakan yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. 2. Menjelaskan instrumen yang digunakan oleh komunitas Taring Padi. 3. Mengetahui peranan kesenian dalam realitas sosial dan politik yang terjadi di Kulon Progo. 4. Mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari tindakan yang dilakukan komunitas Taring Padi.
D. Landasan Teori Persoalan mengenai komunitas Taring Padi sebagai sebuah gerakan kebudayaan yang bergerak untuk mempengaruhi kekuasaan melalui kritik perlu dikaji dengan menggunakan konsep atau teori. Pada dasarnya, semua penelitian ilmiah pasti memerlukan teori yang menjadi landasan berpikir bagi penulis untuk dapat membangun argumen dan membantu menjawab pertanyaan penelitian, begitu juga penelitian mengenai komunitas Taring Padi. Penelitian mengenai komunitas Taring Padi ini memiliki dua konsep kunci utama yaitu mengenai gerakan sosial dan kritik kebijakan. D.1. Gerakan Sosial Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang lebih kuat dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan yang mengarah pada interaksi berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, hasilnya adalah gerakan sosial (Suharko, 2006).
10
Gerakan sosial adalah merupakan kelompok-kelompok yang bersifat tidak melembaga dari berbagai anggota masyarakat yang tidak terwakili, yang bergerak dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elite atau pihak yang beroposisi ( Suyanto, 2002). Gerakan sosial sendiri selalu diidentikan dengan collective behaviour, sebab gerakan sosial merupakan salah satu tipe dari collective behaviour (perilaku kolektif). Collective behaviour dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang tidak berstruktur atau relatif spontan dari sejumlah besar individu yang bereaksi terhadap suatu peristiwa dan cenderung menyebal dari norma-norma yang berlaku (Haryanto, 2003). Collective behaviour lebih bersifat emosional terwujud dalam huru hara, kerusuhan, revolusi dan semua bentuk dari gerakan sosial. Sehingga, Haryanto menyatakan gerakan sosial merupakan suatu usaha yang sengaja diadakan oleh sekelompok individu yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan dalam pola interaksi masyarakat. Sejalan dengan pengertian diatas, Anthony Giddens menyatakan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif diluar ruang lingkup lembaga- lembaga yang mapan (Putra, 2006). Pada dasarnya, menurut Ritzer et. al (1979) terdapat lima karakteristik yang harus ada dalam suatu gerakan, yaitu (Haryanto, 2003) : a.
Pertama, suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu keadaan dengan jumlah
11
individu yang sesuai dengan persyaratan dasar dari suatu organisasi. b. Kedua, suatu gerakan harus memiliki skope yang relatif luas, dimana pada akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian masyarakat. c. Ketiga, perlu adanya berbagai macam taktik dalam suatu gerakan untuk mencapai tujuannya, baik menggunakan kekerasaan atau tidak. d. Keempat, meskipun suatu gerakan didukung oleh individuindividu tertent u, namun tujuan akhirnya adalah merubah kondisi yang ada pada masyarakat secara umum. e. Kelima, gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan, meski tidak semua individu menyadari segala tindakannya tetapi tetap mengetahui tujuan utamanya. Sehingga, tidak semua aksi-aksi kolektif dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan, hanya aksi kolektif yang memenuhi karakteristik tersebutlah yang dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan. Dimana, perbedaan utama gerakan sosial dan collective behaviour terletak pada bentuk tindakan yang dilakukan, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Alhasil, domain utama dalam gerakan sosial yaitu aktor, arena dan tujuan (capaian) juga harus terdefinisi dengan jelas.
12
Gerakan sosial harus diletakan diatas bentuk aksi kolektif dan memiliki basic ideologi yang dapat mengarahkan gerakan pada perubahan yang dicita-citakan. Gerakan bukan aktivitas yang tidak punya konteks sosial-politik-ekonomi, gerakan juga bukan sesuatu yang bersifat tindakan sosial melainkan lebih dekat dengan reaksi sosial terhadap kedudukan rendah yang melekat pada kelompok sosial tertentu. Gerakan merupakan aksi kolektif terhadap kedudukan rendah, karena gerakan sosial selalu mensyaratkan adanya (1) tingkat kesadaran tentang nasib yang dialami, (2) berbentuk aksi kolektif, (3) bentuk aksi bersifat instrumental dan dirancang untuk mencapai sasaran di luar aksi, dan (4) basis gerakan adalah status rendah ekonomi-sosial-politik masyarakat atau golongan. (Makinuddin, 2006) Seperti halnya manusia, aksi-aksi kolektif yang dapat didefinisikan sebagai gerakan pun memiliki watak yang menentukan arah atau sikap dari gerakan tersebut, gerakan sosial atau gerakan politik. Penentuan watak gerakan pun tidak mudah karena dalam kedua kubu pemikiran tersebut terdapat ambiguinitas atau ketidakjelasan karakteristik dari masing- masing watak. Antonio Gramsci menyatakan bahwa gerakan sosial, pada akhirnya, tidak lain adalah gerakan politik (Mulyana, 2001). Hingga, tidak jarang gerakan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat dapat berkembang menjadi suatu gerakan politik, atau paling tidak membawa implikasi politik (Haryanto, 2003). Sebab, pada dasarnya gerakan sosial
13
politik memang bersifat kontra hegemonik dan menga nut ideologi anti pemerasan yang kental dengan nuansa politis. Terlepas dari watak gerakan pada awalnya, benang merah antara gerakan sosial dan gerakan politik pasti akan bermuara kepada satu titik yaitu politik kekuasaan (Kamajaya, 2009). Akhirnya, pendefinisian watak gerakan pada awal pergerakan pun tidak begitu penting. Menjadi penting adalah ketika gerakan tersebut dalam melakukan pergerakannya telah memberikan implikasi atau perubahan dalam masyarakat, baik sosial, politik atau budaya. Gerakan sosial pun tidak akan muncul dengan sendirinya, pasti ada yang menjadi penyebab dari kemunculan gerakan sosial. Denny JA menyatakan adanya tiga kondisi yang menyebabkan lahirnya gerakan sosial, yaitu; pertama, gerakan sosial dilahirkan dengan kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidak-puasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern misalnya, akan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin meluas antara si kaya dan si miskin. Perubahan ini juga dapat menyebabkan kritis identitas dan lunturnya nilai- nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan itu akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Ketiga, gerakan sosial semata- mata masalah kemampuan
14
kepemimpinan dari tokoh penggerak. Sang tokoh penggerak akan menjadi inspirator, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut. (Fauzi, 2005) Sedangkan menurut Haryanto, penyebab dari kemunculan gerakan sosial adalah karena adanya kondisi yang penuh gelisah yang disebabkan oleh rasa tidak puas atau kecewa terhadap keadaan yang ada dan adanya keinginan untuk meraih tatanan baru. Sehingga, berkaitan dengan rasa ketidakpuasan atau kekecewaan yang memunculkan gerakan sosial perlu menyimak konsep breakdown-deprivation dan solidarity-mobilization. Breakdown-deprivation
merupakan
suatu
konsep
yang
membahas
mengenai kondisi sosial yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dengan kadar relatif tinggi dan memudarnya peran lembaga yang menjamin perasaan aman dan stabil bagi masyarakat. Sedangkan, solidaritymobilization merupakan kemampuan orang untuk bertindak bersama-sama guna menjelaskan asal usul dan perkembangan gerakan. (Haryanto, 2003) Kedua konsep diatas saling melengkapi satu sama lain, sebab dapat dianalogikan sebagai berik ut; ketika lembaga atau pemerintah tidak dapat menjamin rasa aman bagi masyarakat, maka akan muncul rasa ketidakpuasan dan kecewa sehingga masyarakat akan bertindak secara terorganisir dan kolektif yang melahirkan suatu bentuk gerakan sosial. Alhasil, penyebab kemunculan gerakan merupakan suatu hasil dari bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap tatanan yang ada dan secara
15
bersama-sama melakukan tindakan untuk mengadakan perubahan terhadap tatanan yang jauh lebih baik. Sedangkan, dalam menjelaskan tahapan perkembangan suatu gerakan dapat menggunakan konsep value-added yaitu (Haryanto, 2003) ; a. Tahap pertama, pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Hal ini berkaitan untuk menarik perhatian massa dalam memberikan dukungan bagi berlangsungnya gerakan. b. Tahap kedua, pemilihan pimpinan gerakan. Hal ini menjadi sangat penting sebab peranan dari pimpinan gerakan yang sangat besar untuk menentukan arah gerakan. Selain itu, pemimpin
gerakan
harus
dapat
diterima
dan
mampu
mempengaruhi pengikutnya. c. Tahap ketiga, transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan yang terorganisir. Dengan kata lain, perubahan aksi kolektif menjadi bentuk dari gerakan sosial yang sangat dipengaruhi oleh pemimpin gerakan. d. Tahap keempat, konfrontasi dengan “lawan” gerakan. Tahapan ini merupakan tahapan dimana gerakan dalam posisi “action” berhadapan dengan lawannya dan berupaya memaksanya untuk menerima tuntutan dan kepentingannya. e. Tahap kelima, pencapaian hasil berkaitan dengan sukses atau gagalnya suatu gerakan mencapai tujuannya.
16
Dari tahapan perkembangan gerakan sosial diatas, tidak semua gerakan dapat
melewati
keseluruhan
tahapan
tersebut.
Sebab,
tahapan
perkembangan gerakan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti kualitas pemimpin gerakan, kekuatan “lawan” gerakan atau bahkan kekuatan gerakan dalam merealisasikan tujuannya. Dalam merealisasikan tujuannya juga sangat dipengaruhi oleh strategi gerakan yang dilakukan. Strategi gerakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kekerasan (violence) dan tanpa kekerasan (non violence). Pemilihan strategi ini sangat bergantung pada faktor internal dan eksternal dalam gerakan sosial. Faktor internal berkaitan dengan tujuan dan sasaran dari gerakan sosial serta potensi atau kekuatan gerakan sehubungan dengan kuantitas dan kualitas anggota terutama intensitas keterlibatan dan keterikatan anggota satu sama lain. Sedangkan, faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lawan gerakan berhubungan dengan potensi dan kekuatan lawan. Strategi yang digunakan dalam gerakan komunitas kritik biasanya dengan menggunakan instrumen yang dapat tersimpan dalam memori kolektif berupa karya seni dan sastra. Herbert Marcuse menekankan dimensi estetik dari gerakan sosial dengan menegaskan bahwa dalam seni dan sastralah gerakan- gerakan sosial memiliki tradisi kritik dan perlawanan (Marcuse, 1969). Gerakan sosial yang diwujudkan dalam instrumen kebudayaan dapat membuat gerakan dan cita-cita sosial
17
bertahan dalam memori kolektif serta merupakan jantung dari reformasi sosial. Dalam suatu gerakan pasti menimbulkan implikasi gerakan. Implikasi gerakan adalah keterlibatan atau keadaan terlibat yang memberikan dampak atau pengaruh dalam gerakan. Implikasi dalam gerakan sosial ini berkaitan erat dengan keberhasilan capaian atau tujuan gerakan dalam mengadakan perubahan. Menurut Haryanto (2003), terdapat 4 tipe kemampuan gerakan dalam mengadakan perubahan sosial, yaitu; pertama, gerakan sosial alternatif adalah gerakan sosial yang bertujuan melakukan perubahan terbatas hanya menyangkut individuindividu tertentu. Kedua, gerakan sosial “penyelamatan” adalah gerakan sosial yang mengarahkan perhatian pada beberapa individu dan berusaha merubah kehidupan mereka secara radikal. Ketiga, gerakan sosial reformatif adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan terbatas pada seluruh masyarakat. Keempat, gerakan sosial revolusioner adalah gerakan sosial yang bertujuan melakukan transformasi secara mendasar. Sedangkan menurut Willian Kornblum, berdasarkan tujuannya gerakan sosial dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu (Sunarko, 1993);
pertama,
gerakan
sosial
disebut
sebagai Revolutionary
Movement, apabila bertujuan untuk merubah secara menyeluruh tatanan sosial, institusi dan stratifikasi sosial. Upaya transformasi sosial secara menyeluruh itu biasanya dicapai dengan melakukan revolusi sosial yang
18
melibatkan massa besar dalam gerakan, menghasilkan proses perubahan secara radikal, dan tidak jarang menggunakan kekerasan senjata. Contoh dari gerakan ini adalah revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi di Cina pada tahun 1949. Kedua, merubah
sebagian
diklasifikasikan
institusi
sebagai
gerakan sosial yang bertujuan untuk
dan
Reformist
nilai
yang
ada
Movement. Boedi
di
masyarakat Oetomo yang
didirikan tahun 1908 di Jakarta merupakan gerakan reformis, karena gerakan ini bertujuan untuk memberikan pendidikan formal kepada pribumi. Ketiga, Conservative Movement adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan nilai dan institusi masyarakat. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan konservative wanita STOP ERA (Equal Rights Amandement). Gerakan ini menentang usaha kaum feminis pada tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin persamaan hak pria dan wanita. Keempat, Reactionary Movement adalah suatu gerakan sosial yang bertujuan untuk mengganti institusi dan nilai masa kini dengan institusi dan nilai masa lampau. Contoh yang diberikan Kornblum adalah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika serikat ke masa lampau di kala institusi- institusi sosial mendukung keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit Hitam (White Supremacy). Implikasi gerakan pun juga dipengaruhi oleh keberlangsungan dan tahapan perkembangan dari gerakan sosial itu sendiri. Terdapat kemungkinan keberlangsungan suatu gerakan sosial tidak dapat bertahan
19
lama
karena
berbagai
faktor
sehingga
mempengaruhi
tahapan
perkembangan gerakan dalam mencapai tujuan dan mengadakan perubahan. Keberlangsungan gerakan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (Haryanto, 2003); pertama, ketidakpuasaan atau kekecewaan berkaitan dengan seberapa besar tingkat kekecewaan masyarakat terhadap kondisi yang ada sebagai alasan utama kemunculan gerakan sosial. Kedua, harapan hari depan yang lebih cerah berkaitan dengan tujuan atau capaian dalam gerakan sosial. Ketiga, kemampuan atau daya dalam mencapai tujuan atau capaian. Ketiga hal tersebut merupakan indikator yang memastikan suatu gerakan sosial merupakan gerakan ya ng terorganisir dan memiliki arah yang jelas. D.2. Kritik Kebijakan Kritik kebijakan dapat didefinisikan sebagai sebuah respon atau tanggapan atas proses kebijakan publik. Kritik kebijakan pun menjadi salah satu bentuk konsepsi akan relasi rakyat dan negara dalam dimensi kebijakan publik. Kritik sendiri dapat diilustrasikan sebagai arena politik, sebab merupakan ruang yang diwarnai oleh pertimbangan rasional dan kritis untuk menghantam dan menekan penyelewengan yang dilakukan oleh para pelanggar atau penindas (negara absolute dengan rezim yang represif). Pada dasarnya, kritik merupakan ilustrasi dari suatu subjek masyarakat yang bersifat kuasi-transendental (model universal dari diskusi rasional) yang mengancam untuk melawan hierarki adalah peran dari kritikus dalam
20
melakukan penolakan terhadap absolutism maupun anarki (Eagelton, 2003). Sehingga, kritik menjadi sebuah proyek-proyek politik kultural dari kaum borjuis di Eropa yang mampu menjangkau segala bidang, seperti seni, etik, agama, filsafat dan kehidupan sehari- hari. Sejalan dengan perkembangannya, saat ini kritik tidak dilakukan oleh kaum borjuis, namun merambah pada seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan, kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan warganya di dalam suatu sistem politik tertentu. Sebab, kehadiran kebijakan publik seharusnya tidak berpihak pada kekuasaan, namun lebih sebagai pelayan aktualisasi kedaulatan masyarakat dalam wacana perubahan kebijakan pada studi kebijakan publik. Tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan studi kebijakan publik pada definisi dasarnya, yaitu alat pensejahtera dan pemenuh kebutuhan masyarakat. (Putra, 2001) Ketika berbicara tentang negara, mau tidak mau kebijakan publik akan disinggung secara lebih spesifik. Mengutip Budiman (1996:89), kebijakan merupakan keputusan-keputusan publik yang ditetapkan negara dan dilaksanakan aparat birokrasi. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan negara dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompokkelompok yang dilibatkan, dan bagaimana kebijakan ini dilaksanakan aparat birokrasi. Batasan ini tampaknya berdekatan dengan definisi Dye (1972), yang menyatakan kebijakan publik sebagai whatever goverments choose to do or not to do. (Manalu, 2009)
21
Pandangan umum dalam melihat kebijakan publik yang sangat kaku dan merupakan ilmu untuk kepentingan penguasa memang sangat tampak dalam perpolitikan di Indonesia. Namun, perlu disadari kebijakan publik merupakan proses yang dinamik dan kompleks saat ini. Sebab, proses kebijakan publik dapat diilustrasikan sebagai arena terbuka untuk melakukan bargaining dan tarik menarik kepentingan tanpa harus melalui tahap-tahap rigid proses kebijakan publik. Selanjutnya dalam suatu kebijakan tentunya tidak akan terlepas dari proses pembuatan kebijakan, yaitu proses politik yang berlangsung dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan politik yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Dalam proses pembuatan kebijakan penguasa politik harus memperhatikan tiga hal yakni posisi (dimana yang bersangkutan berada), siapa yang dihadapi (masyarakat tradisional atau masyarakat modern), dan tujuan yang hendak dicapai (Astuti, 2004). Selain itu, perlu dipahami bahwa proses kebijakan publik tidak dipandang sebagai sebuah pentahapan, namun sebagai potongan-potongan konseptual dalam proses kebijakan yang tidak harus berjalan secara bertahap, ia dapat bergerak secara dinamik sejalan dengan tarik menarik kepentingan yang ada di masyarakat. Adapun beberapa tahapan dalam proses pembuatan kebijakan adalah ; penyusunan agenda, formulasi kebijakan atau perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan atau evaluasi kebijakan.
22
Konsep-konsep kritik rakyat atas negara dalam dimensi kebijakan publik, diantaranya (Putra, 2001) : a. Relasi perbedaan-perbedaan. Perbedaan pada dasarnya melekat pada setiap masyarakat. Sumber perbedaan itu pun dapat berangkat dari banyak hal, misalnya, ideologi, agama, kepentingan, latar belakang pendidikan
dan
sebagainya.
Sehingga,
penting
untuk
membentuk relasi antara perbedaan-perbedaan itu menjadi sebuah bentuk interaksi yang diskursif. b. Revolusi Gagasan Karl Marx akan konsep revolusi proletariat selalu dikaitkan dengan revolusi. Kritik pun tidak pernah lepas dalam konteks relasi rakyat dan negara. Sebab, kritik merupakan kunci untuk memahami teori tentang negara dan tentang kemungkinan untuk menghapuskannya. Konsep revolusi ini meletakkan
negara
berada
dibawah
masyarakat
sipil.
Masyarakat sipil yang menentukan negara dan membentuk organisasi dan tujuan dari negara dalam lingkup hubungan produksi. c. Counter hegemony Konsep counter
hegemony
dari
Antonio
Gramsci
ini
menggambarkan betapa pentingnya peran kaum intelektual dalam transformasi sosial pada wacana tentang kritik rakyat
23
atas negara. Seorang intelektual organik adalah seorang yang tidak hanya memahami teori sebagai teori yang terlepas dari realitas sosial, namun intelektual yang memanifestasikan potensi perubahannya dalam realitas sesungguhnya, saat berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang mendominasi. Intelektual ini diharapkan menjadi counter hegemony yang dilakukan oleh negara atau kelas dominan, dalam rangka membela rakyat atau kelas yang tertindas (Sugiono, 1999:21). d. Masyarakat komunikatif Konsep masyarakat komunikatif dikenalkan oleh Jurgen Habermas. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan argumentasi. Argumentasi dibedakan menjadi dua, yaitu perbincangan atau diskursus dan kritik. Diskursus dilakukan apabila
mengandaikan
konsensus
rasional.
Diskursus
dibedakan menjadi dua, yaitu diskursus teoritis adalah diskursus untuk mencapai konsensus atas klaim kebenaran dan diskursus eksplikatif untuk mencapai konsensus tentang klaim komprehensibilitas. Sedangkan, kritik estetis dilakukan apabila mempersoalkan norma-norma sosial ya ng dianggap obyektif. Kritik terapeutis dilakukan untuk mengungkapkan penipuan diri masing- masing pihak.
24
Sejauh ini kebijakan publik memang belum menjadi titik fokus dalam studi gerakan sosial, namun beberapa studi gerakan sosial tahun 1960 dan 1970-an misalnya sudah memberi fokus pada kebijakan sebagai hasil (pay off) mobilisasi protes sosial. Lipsky menyatakan, protes merupakan strategi politik bagi masyarakat yang diposisikan tidak adil (poorly positioned) untuk memperjuangkan
kepentingan
mereka.
Bahkan,
Piven
dan
Cloward
menunjukan protes yang mengacaukan adalah cara yang paling baik dan tersedia bagi kaum miskin untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Meyer (2002) sendiri, meskipun karya Piven dan Cloward ini banyak ditentang para ahli, karya mereka tetap memberikan sumbangsih bagaimana protes bekerja mempengaruhi kebijakan. (Manalu, 2009) Seperti telah diutarakan sebelumnya, gerakan-gerakan sosial bertujuan untuk menuntut perubahan di dalam sistem politik. Namun, sejauh mana gerakan memliki dampak yang nyata dilihat dari perubahan kebijakan yang dihasilkan. Sebab, umumnya gerakan sosial dibangun untuk mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang berlangsung. Konkretnya, dampak gerakan sosial ini bisa dilihat dari adanya keputusan baru dan apakah keputusan itu benar-benar dilaksanakan. Jika berangkat dari kacamata kebijakan publik, Schumaker memberikan tipologi yang lebih spesifik menyangkut dampak atau keberhasilan gerakan sosial dalam mempengaruhi kebijakan. Pertama, terbukanya akses (access responssiveness), yakni mengindikasikan tingkat di mana pemilik otoritas (target) bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan. Kedua, respons di
25
tingkat agenda (agenda responssiveness), ketika, target atau pemilik otoritas rela menempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya. Ketiga, respons kebijakan (policy responssiveness), yakni ketika pemilik otoritas mengadopsi kebijakan baru (khususnya legislasi) yang kongruen dengan tuntutan gerakan. Keempat, hasil yang dicapai (output responssiveness), yakni ketika pemilik otoritas secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru. Kelima, dampak yang terjadi (impact responssiveness), yakni tingkat aksi-aksi maupun respons sistem politik berhasil meredakan dan menjawab tuntutan gerakan. Berdasarkan konsepsi teoritik mengenai gerakan sosial dan kritik kebijakan diatas, maka penelitian ini akan menggunakan alur logika sebagai berikut ; Gambar 1.2. Alur Logika Berpikir
Kebijakan Pertambangan
Ketidakpuasaan
Taring Padi
26
Gerakan Sosial
Kritik Kebijakan (Counter Hegemony)
E. Definisi Konseptual Definisi konseptual merupakan penarikan batasan yang menjelaskan suatu konsep secara singkat, jelas dan tegas dalam sebuah penelitian agar tidak menimbulkan interpretasi ganda dari variabel-variabel yang diteliti. Adapun definisi konseptual dalam penelitian ini yaitu : E.1. Gerakan Sosial Transformasi komunitas kritik sebagai gerakan sosial lebih menekankan pada peran komunitas kritik sebagai aktor utama dari gerakan sosial. Komunitas kritik menjelma menjadi sebuah gerakan sosial ketika melakukan serangkaian tindakan yang berasal dari hasil akumulasi kekecewaan terhadap kondisi sosial, politik maupun budaya untuk mengadakan perubahan pada pola interaksi tersebut sesuai dengan karakteristik gerakan sosial. E.2. Kritik Kebijakan Kritik kebijakan adalah suatu respon atau tanggapan dari masyarakat sebagai mekanisme kontrol terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kepentingan rakyat melalui bentuk kritikan.
F. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan turunan dari definisi konseptual yang memberikan penjelasan mengenai implementasi tipe konseptual secara teknis agar pelaksanaan penelitian menjadi lebih jelas dan mudah diukur dengan
27
menguraikan setiap variabel. Sehingga dapat memberikan gambaran dari desain penelitian guna mengetahui perspektif dan memandang teori yang diajukan dalam penelitian serta mengetahui peranan komunitas dalam melakukan gerakan untuk menanggapi berbagai isu. Adapun tolak ukur dalam definsi operasional dari penelitian mengenai peranan komunitas dalam melakukan gerakan sosial untuk merespon suatu isu dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu : F.1. Gerakan Sosial menunjukan pada peranan komunitas kritik dalam melakukan gerakan sosial. Dengan melihat pada keberhasilan transformasi komunitas kritik sebagai gerakan sosial pada segi aktor, pencapaian tujuan, penggunaan instrumen gerakan, intensitas dan pengaruh yang ditimbulkan. Sehingga, untuk menjelaskan secara lebih rinci mengenai peranan komunitas kritik sebagai gerakan sosial, maka dapat dijembatani oleh beberapa indikator, sebagai berikut; •
Asal usul atau latar belakang komunitas kritik.
•
Karakteristik komunitas kritik sebagai gerakan sosial.
•
Tujuan dari gerakan sosial yang dilakuk an.
•
Strategi, metode dan taktik komunitas kritik dalam melakukan gerakan (instrumen yang digunakan).
•
Dampak atau pengaruh gerakan sosial yang dilakukan, terkait capaian gerakan.
F.2. Kritik Kebijakan menunjukan pada tanggapan atau respon yang muncul dari masyarakat terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
28
Dimana, kebijakan tersebut melahirkan pro-kontra dimasyarakat sehingga memunculkan berbagai respon melalui bentuk kritikan. Pemahaman mengenai kritik kebijakan dapat dilihat dari beberapa indikator dibawah ini, yaitu; •
Muatan- muatan yang terkandung atau isi kritik.
•
Penggunaan bahasa, simbol dan gambar dalam kritik.
•
Jumlah kritik yang disampaikan dalam merespon satu kebijakan.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Tulisan ini hendak melihat bagaimana peranan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di dusun Garongan, Kulon Progo. Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pertimbangan pemilihan metode penelitian kualitatif sendiri sebagai alat pegangan bagi penelitian ini dalam melihat realitas adalah untuk dapat lebih menggali secara mendalam sebuah fenomena yang ada. Sebab, penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran tentang suatu masalah, gejala, fakta, peristiwa dan realitas secara luas dan mendalam sehingga diperoleh suatu pemahaman baru. Jadi, bukan hanya pada apa yang tampak melainkan juga meneliti apa yang melatarbelakangi
29
fenomena tersebut bisa terjadi yang merupakan keunggulan dari penelitian dengan menggunakan metodologi kualitatif. Sedangkan untuk desain penelitian yang dipakai adalah berbasis case study research. Studi kasus adalah strategi penelitian yang memfokuskan
analisisnya
terhadap
sebuah
fenomena
atau
kasus
kontemporer di dalam kehidupan nyata, baik itu satu kasus atau lebih yang menitik-beratkan pada pertanyaan “how” atau “why” dan peneliti tidak mempunyai kontrol yang besar terhadap kasus tersebut, sehingga bukti dari
multisumber
perlu
dimanfaatkan
dengan
sebaiknya
untuk
mempertegas batas-batas antara kasus dengan konteks (Creswell, 1998). Dengan kata lain, peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kasus tersebut, namun memiliki ketertarikan untuk melihat kasus tersebut secara mendalam dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikirannya sama halnya dalam penelitian ini. Apabila dilihat secara lebih mendalam studi kasus merupakan strategi penelitian yang memiliki sistem mengikat, dimana dalam penelitiannya terikat pada waktu, tempat dan konteks atau setting untuk menggambarkan secara lebih detail mengenai suatu fenomena dan menganalisisnya secara mendalam. Studi kasus sendiri memiliki beberapa substansi penting yang didalamnya memuat fenomena- fenomena sosial paling mutakhir dengan konteks yang sebenarnya. Disamping itu penelitian ini menggunakan instrumen yang bersifat historif-deskriptif. Corak historis akan diarahkan kepada konteks kekinian
30
yang sedang berlangsung dengan menghubungkan pada masa lalu guna mencoba untuk merefleksikan masa depan. Hal ini menjadi teramat penting dalam kajian komunitas Taring Padi, terutama dalam setiap gerakan yang dilakukan, mengingat pengalaman sejarah komunitas Taring Padi
dalam
melakukan
kritik sosial. Sedangkan sifat deskriptif
diketengahkan untuk mengambil gambaran secara utuh atas masalah yang terjadi sebagaimana yang telah disinggung sebelumnnya. Kedua hal ini merefleksikan apa yang penulis ingin sampaikan kepada pembaca. Konsepsi studi kasus memang lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, namun terkadang sedikit lemah dalam konsistensi sebab studi kasus sendiri sangat berpengaruh pada kondisi di lapangan (pada umumnya). G.2. Unit Analisis Dalam penelitian studi kasus terdapat beberapa komponen dasar, yaitu pertanyaan-pertanyaan penelitian, proposisi penelitian, unit analisis, logika yang mengaitkan data dengan proposisi tersebut dan kriteria untuk menginterpretasi temuan. Salah satu komponen dasar studi kasus yang terpenting dan berguna unt uk membatasi ruang gerak analisis peneliti agar benar-benar fokus pada kasus yang ditelitinya adalah unit analisis. Sebab, unit analisis berkaitan dengan masalah penentuan apa yang dimaksud dengan “kasus” dalam penelitian yang bersangkutan untuk menghindari problema yang telah menganggu banyak peneliti diawal studinya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana peranan komunitas
31
Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Tindakan
Pemerintah
Kabupaten
Kulon
Progo
dengan
mempermudah ijin tambang bagi investor melalui UU Tata Ruang mengakibatkan berbagai tanggapan dari masyarakat, baik pro maupun kontra sehingga menimbulkan konflik. Banyak elemen masyarakat pun yang menanggapi konflik tersebut dengan melakukan berbagai aksi sosial. Komunitas Taring Padi sebagai komunitas seniman yang berjuang melawan segala bentuk penindasan melalui karyanya seharusnya juga melakukan aksi atau gerakan dalam menanggapi rencana kebijakan tersebut. Tentu saja, gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi lebih bersifat persuasif karena ungkapan ekspresi gerakan dari komunitas ini diwujudkan dalam karya-karya seni. Meskipun begitu dalam melakukan gerakan sosial pasti juga telah memikirkan tujuan dan capaian dalam jangka tertentu, seperti mempengaruhi kebijakan pemerintah atau sekedar merubah pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap isu yang sedang mencuat. Keberhasilan
peranan
komunitas
Taring
Padi
dalam
menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah untuk menanggapi berbagai isu- isu yang berkembang sehingga dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah memberikan gambaran mengenai keberlanjutan pola-pola penyampaian kritik melalui karya-karya seni menjadi penting untuk ditelisik. Sehingga, ketika penyampaian kritik melalui karya-karya
32
seni
terbukti
memberikan
dampak
yang
siginifikan
pasti
akan
memunculkan berkembangnya banyak kelompok-kelompok masyarakat yang serupa. Ataukah justru keberhasilannya tidak memiliki korelasi yang berarti dalam kemunculan kelompok-kelompok masyarakat sejenis. Karena bisa saja, komunitas tersebut memang terbentuk atas dasar ketertarikan mereka terhadap seni dan politik. G.3. Lokasi Penelitian Penelitian yang dilakukan ini mengambil lokasi di dua tempat yaitu dusun Garongan, Kulon Progo dan dusun Sembungan RT. 02 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan lokasi di dusun Garongan, Kulon Progo dalam penelitian ini telah dipertimbangkan dengan mengingat bahwa; pertama, dusun yang sebagian besar masyarakatnya masih melakukan perlawanan terhadap rencana pemerintah mengimplementasikan kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Kedua, dusun yang menjadi pusat kegiatan komunitas Taring Padi dalam merespon kondisi sosial-politik yang terjadi di Kulon Progo. Sedangkan, pemilihan dusun Sembungan sebagai lokasi penelitian dikarenakan lokasi tersebut merupakan “basecamp” arena berkumpul para seniman atau anggota komunitas Taring Padi dalam menghasilkan berbagai karya-karya. Tidak hanya itu, basecamp yang berlokasi di dusun Sembungan juga sering digunakan untuk berbagai kegiatan-kegiatan dalam komunitas seperti diskusi, dan sebagainya.
33
Pemilihan
lokasi- lokasi tersebut diharapkan, peneliti dapat
melakukan pengamatan terhadap komunitas Taring Padi secara langsung, selain melakukan wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Selain itu, juga untuk melihat pengaruh keberadaan komunitas Taring Padi terhadap masyarakat dan pemerintah yang berada dalam lingkungan sekitar lokasi penelitian tersebut, terkait peranan yang dilakukan komunitas Taring Padi dalam menanggapi rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. G.4. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian kualitatif ini, kehadiran peneliti di lapangan mutlak diperlukan karena peneliti bertindak sebagai instrumen, pengumpul data, menganalisis dan melaporkan hasil penelitiannya. Meskipun dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak berjarak dengan informan, kehadiran peneliti disini tetap bukan sebagai informan. Peneliti memiliki peranan besar dalam proses pengumpulan data dan pewawancara sehingga peneliti perlu memperkenalkan diri ketika sedang melakukan pengumpulan data sebagai bentuk etika peneliti. G.5. Jenis Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil temuan lapangan berasal dari hasil interview dengan responden dan hasil pengamatan di lapangan. Dalam melakukan input data primer, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap sumber pengumpulan data untuk memetakan aktor-aktor yang
34
potensial dijadikan sebagai narasumber atau informan. Aktor-aktor yang terlibat dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu aktor internal dan aktor eksternal. Aktor internal didefinisikan sebagai aktor-aktor yang merupakan pengerak dan anggota dalam komunitas Taring Padi. Sedangkan aktor eksternal didefinisikan sebagai aktor-aktor yang berada diluar komunitas Taring Padi, yaitu masyarakat, pemerintah dan sebagainya. Aktor eksternal tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pengaruh komunitas Taring Padi dalam melakukan gerakan sosial. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung berupa dokumen. Data sekunder juga dapat dikatakan sebagai data tambahan yang digunakan sebagai acuan dan elaborasi dari data primer. Dalam penelitian ini, data sekunder didapatkan dari bukubuku, dokumen atau karya-karya seni milik komunitas Taring Padi, media massa, dan sebagainya. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku mengenai gerakan sosial, kritik, komunitas Taring Padi, dan sebagainya untuk memperkuat data primer. Selain itu, dokumen atau karya-karya seni milik komunitas Taring Padi diperlukan sebagai data sekunder sebab untuk melihat sensitifitas karya-karya seni yang dihasilkan komunitas Taring Padi dalam menuangkan kritik atau aspirasinya terhadap isu- isu yang diangkatnya. Media massa juga menjadi salah satu sumber data sekunder sebab terkait pada peranan gerakan yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi. Melalui media massa, komunitas Taring Padi
35
dapat melebarkan “sayap”nya ke berbagai elemen masyarakat, terutama pemerintah sehingga penyampaian kritik yang diwujudkan dalam karyakarya seni dapat dilihat oleh masyarakat, pemerintah dan sebagainya. G.6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian studi kasus ini diambil dari berbagai sumber informasi, seperti dokumen dan wawancara. Pengumpulan data melalui dokumen diambil dari buku-buku mengenai gerakan sosial, kritik dan komunitas. Selain itu, juga akan menggunakan buku yang ditulis oleh komunitas Taring Padi sendiri berjudul “Taring Padi : Seni Membongkar Tirani”. Dokumen atau karya-karya seni milik komunitas Taring Padi juga menjadi salah satu bagia n yang tidak boleh terlewatkan dalam melakukan pengumpulan data. Berita-berita mengenai komunitas Taring Padi terutama dalam menanggapi rencana kebijakan penambangan pasir besi yang dimuat dalam media massa juga menjadi bagian terpenting. Data yang tidak kalah pentingnya, berasal dari wawancara dengan beberapa responden. Tentu saja dalam melakukan wawancara, peneliti telah mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang tercantum dalam interview guide berisi topik-topik kunci yang dibutuhkan. Namun, tidak menutup kemungkinan interview guide tersebut dapat dielaborasi ketika wawancara dilapangan. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik snowball effect yaitu mewawancarai responden pertama kemudian melakukan wawancara dengan responden lain yang disarankan oleh responden pertama bagi aktor internal.
36
Meskipun begitu, ada tiga aktor kunci internal yang perlu dan harus untuk diwawancara dalam penelitian ini yaitu Toni, Bob Sick dan Ucup yang merupakan sesepuh dari komunitas Taring Padi. Sedangkan, dalam melakukan wawancara kepada aktor eksternal dilakukan dengan teknik random sampling. Peneliti akan mewawancarai aktor-aktor ekternal seperti warga yang berada disekitar wilayah dusun Garongan, media massa, stakeholder terkait dan sebagainya. G.7. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data-data sekunder dan primer, menafsirkan data-data yang dikaitkan dengan landasan teori dan menarik kesimpulan dari pemaknaan atas data-data yang ada tersebut.
H. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan, penulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bab pertama merupakan bagian yang memberikan paparan dasar bagi bahasanbahasan selanjutnya. Dalam bab ini pula memuat latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tentang gambaran umum kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo hingga respon masyarakat Kulon Progo atas kebijakan tersebut. Bab ketiga berisi penjabaran umum mengenai komunitas Taring Padi pun ditulis pada bab ini. Kedua bab ini dipakai sebagai titik awal
37
melihat gerakan yang dilakukan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Pada bab keempat akan ditulis mengenai penjelasan gerakan komunitas Taring Padi dalam merespon rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo dengan identifikasi kemunculan dan tujuan gerakan serta instrumen gerakan yang dapat memberikan pengaruh atau implikasi bagi masyarakat dan pemerintah. Bab lima akan ditulis tentang pengaruh yang ditimbulkan dalam gerakan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan masyarakat Kulon Progo (khususnya warga pesisir) serta model kritik kebijakan yang dilakukan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial. Dan terakhir bab enam akan ditutup dengan kesimpulan.
38