KONTRIBUSI PAJAK PENGHASILAN DALAM APBN SERTA POTENSI DAN PERMASALAHANNYA
D
PR
R
I
Dalam proyeksi RAPBN 2014 total pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp1.749,9 Triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan 1.364,3 Triliun, Pendapatan Negara Bukan Pajak 383,7 Triliun dan penerimaan hibah sebesar 1,8 Triliun. Ini berarti penerimaan pajak dalam RAPBN 2014 ditargetkan meningkat sebesar 171 Triliun dari APBN 2013.
–
SE
TJ
EN
Dalam lima tahun terakhir realisasi penerimaan pajak memang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam grafik 1 berikut ini :
AP
BN
Grafik 1 Target dan Realisasi Penerimaan Perpajakan, 2007‐2013
N
1,200,000.0
AA
1,000,000.0
N SA
Milyar Rupiah
800,000.0
AK
600,000.0
PE L
400,000.0
AN
200,000.0
APBNP
492,010.9
Realisasi
490,988.6
2008 591,978.4
2009 725,843.0
2010 742,738.0
2011 850,255.5
2012 1,032,570.
609,227.5
651,654.8
743,325.9
878,685.2
1,016,237.
658,700.8
619,922.2
723,306.7
873,874.0
980,199.0
AN
2007 509,462.0
AN G
Sumber : Data Pokok APBN, Kementerian Keuangan, diolah
A
2013 1,192,994.
G
AR
APBN
D
0.0
AL
IS
BI
R
O
AN
Dari berbagai macam jenis pajak, pajak penghasilan merupakan sumber penerimaan pajak yang terbesar. Proporsi pajak penghasilan terhadap total penerimaan perpajakan dapat dilihat pada tabel 1.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 16
R PR D
TJ
EN
Tabel 1 Proporsi Pajak Penghasilan terhadap Total Penerimaan Perpajakan Tahun Pajak Penghasilan Pajak‐pajak Lainnya 2007 48.56% 51.44% 2008 49.72% 50.28% 2009 51.23% 48.77% 2010 49.36% 50.64% 2011 49.33% 50.67% 2012 50.54% 49.46% 2013 49.03% 50.97% Sumber : Data Pokok APBN , Kementerian Keuangan, diolah
I
AP
BN
–
SE
Hampir separuh dari total penerimaan pajak bersumber dari pajak penghasilan dengan kontribusi rata‐ rata sepanjang tahun 2007‐2013 mencapai 49,68%. Untuk itu perlu dianalisis potensi pajak penghasilan serta permasalahan‐permasalahan yang ada di dalamnya guna optimalisasi penerimaan pajak penghasilan.
N
Pajak penghasilan dalam APBN terdiri atas pajak penghasilan migas dan pajak penghasilan non migas. Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) Dasar penerimaan migas adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Dalam KKS diatur bahwa Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak‐pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) . Total pembayaran pajak‐pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) kontraktor menjadi Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Sepanjang tahun 2007‐ 2013 pertumbuhan rata‐rata PPh Migas adalah 13,31% pertumbuhan tertingi dicapai pada tahun 2008 karena booming harga minyak internasional , perusahaan migas banyak mendapat windfall profit.
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
A.
G
AR
AN
Garfik 2 Perkembangan PPh Migas , 2007‐2013 (dalam Triliun Rupiah)
AN G
100,000.0
77,018.9
73,095.5
BI
R
O
AN
AL
IS
A
80,000.0 60,000.0
71,381.5
58,872.7 44,000.5
40,000.0
67,916.7 50,043.7
20,000.0 0.0 LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
APBNP
APBN
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Pph migas terdiri dari dari pph minyak bumi, pph gas alam dan pph migas lainnya sebagian besar pph migas berasal dari Pph minyak bumi. Faktor‐faktor yang mempengaruhi pph migas adalah asumsi ICP, nilai tukar rupiah dan lifting minyak serta cost recovery. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 17
Perkembangan Rincian PPh migas sepanjang tahun 2007 – 2013 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2
EN
25.9 47.2 0.0 73.1
27.6 40.4 0.0 68.0
TJ
22.8 36.0 0.0 58.8
27.6 49.0 0.0 76.6
SE
29.6 18.4 47.4 31.7 0.0 0.0 77.0 50.1
–
16.3 27.3 0.4 44.0
2013 APBN 24.0 47.4 0.0 71.4
AP
PPh Minyak Bumi PPh Gas Bumi PPh Migas Lainnya Total
2011 2012 Real. APBNP Outlook
BN
2007 2008 2009 2010 Real. Real. Real. Real.
Uraian
D
(triliun rupiah)
PR
R
I
PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2007 2013
AA
N
Permasalahan dan Potensi :
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
AK
SA
N
Cost recovery hingga saat ini masih menjadi persoalan dalam perhitungan penerimaan Pph migas meski sudah ada PP Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu. Dalam PP tersebut memang sudah ditentukan komponen‐komponen biaya apa saja yang dapat maupun tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa syarat cost recovery adalah bahwa biaya yang dikeluarkan memang benar‐benar digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang tidak terkait hubungan istimewa, sehingga biaya yang terjadi merupakan harga wajar. Melalui PP ini pemerintah juga dapat mengontrol cost recovery dengan menetapkan batas maksImal atas biaya pengeluaran oleh kantor pusat serta remunerasi untuk tenaga kerja asing. Selain itu, pemerintah juga telah menentukan batas maksimal biaya modal dan biaya bukan modal yang dapat dapat diganti sebagai cost recovery yaitu sebesar 2%. Perkembangan cost recovery dapat dilihat pada grafik 3 berikut ini :
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 18
COST RECOVERY 2007-2010
14,000
I
12,000
R
10,000
PR
Juta US$
8,000 6,000
D
4,000
‐ Real.
APBN‐P
Real.
Real.
Real.
Real Sd Tw.3 *)
APBN
Minyak Bumi
2006 5,395 4,426
2010 6,163 4,324
2011 8,018
Gas
3,657
3,685
4,560
3,551
4,725
3,566
3,852
3719
6,026
2,979
4,313
Total
9,051
8,112
10,381
8,710
10,473
9,339
11,050
10,109
12,189
7,303
12,330
SE
2009 7,198 6390
APBN‐P
–
2008 5,747 5,773
APBN‐P
10
AP
BN
2007 5,821 5,159
APBN‐P
TJ
APBN‐P
EN
2,000
N
Sumber : Kementerian Keuangan, ‘Penerimaan Sumber Daya Alam dalam
N
AA
Kegiatan Usaha Hulu Migas”
AK
SA
Namun PP tersebut berlaku hanya bagi kontrak kerja sama yang baru, kontrak kerja sama yang lama tetap mengacu pada ketentuan sebelumnya.
AN
D
AN
PE L
Besar kecilnya cost recovery ini menentukan besar kecilnya penghasilan yang akan dibagikan (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor. Untuk minyak bumi, bagian pemerintah adalah 85% sedangkan kontraktor 15%. Dari bagian kontraktor tersebut akan dikurangi kembali dengan kewajiban DMO dan kewajiban PPh migas.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
Persentase bagi hasil 85% berbanding 15% ini berlaku selama kontrak berjalan. Hanya masalahnya hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Dengan demikian untuk mempertahankan perhitungan 85% dan 15% tersebut, maka perhitungan tarif pajak juga telah dipatok tetap dan berlaku tetap selama jangka waktu kontrak, yaitu tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar 35% dan tarif Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) sebesar 20%. Dengan tidak tercantumnya secara ekplisit persentase bagi hasil 85% dibanding 15% dalam kontrak —hanya gentlemen agreement —maka penggunaan tarif pajak lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty antara negara asal kontraktor dan Indonesia menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak kontraktor 1.
1
Budi, Chandra : “Mengakhiri Polemik Pajak Migas” http://www.pajak.go.id/content/mengakhiri-polemik-pajakmigas diakses tangal 10 Mei 2013.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 19
Selain cost recovery, Penerapan tax treaty oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga menjadi permasalahan tersendiri dalam perhitungan PPh migas dan sudah menjadi perhatian intansi BPK.
PR
R
I
Menurut BPK, regulasi mengharuskan KKKS menggunakan tarif pajak sesuai dengan kontrak bagi hasil (PSC). Namun KKKS memilih tarif tax treaty yang lebih kecil dari PSC 2.
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
Padahal banyak perusahaan asing yang meneken kontrak minyak dan gas sebelum 2004 membayar pajak tidak sesuai ketentuan akibat aturan tax treaty. Aturan tersebut dibuat sekitar 1983 di mana Indonesia menyepakati perjanjian pajak dengan 60 negara, termasuk dengan negara asal perusahaan minyak dan gas. Menurut aturan tax treaty tersebut, KKKS Migas asing tidak dikenai pajak berganda. Namun, ujungnya berdampak banyak sengketa (dispute) antara pemerintah dan KKKS soal penghitungan pajak di industri migas. Sejak 2011 silam, tunggakan 14 perusahaan migas asing juga belum jelas akhirnya. Padahal, nilai tunggakannya mencapai Rp 1,6 triliun 3.
AK
SA
N
AA
N
Perbedaan perhitungan tersebut disebabkan adanya ketidaksamaan pandangan antara kontraktor dengan pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak dimana kontaktor memberlakukan tax treaty dan royalty sebagai komponen pengurangan pajak dengan alasan kedua item tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery4.
PE L
Dengan kondisi tersebut di atas tentunya dapat berpotensi merugikan keuangan negara karena kontraktor membayar pajak migas yang lebih rendah dari seharusnya.
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
Dengan adanya PP 79 Tahun 2010 ini sebenarnya juga merupakan peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak . Meningkatnya kewenangan pemerintah untuk menentukan biaya‐baiaya yang dapat dijadikan cost recovery serta perluasan akses penentuan batas maksimal remunerasi tenaga kerja asing dan batasan maksimal biaya modal dan bukan modal untuk dijadikan cost recovery diharapkan mampu menekan cost recovery. Dengan demikian bagian yang harus dibagi (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor juga semakin besar dan hal ini berpelauang untuk meningkatkan pph migas.
BI
R
O
AN
AL
IS
Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi‐transaksi yang terjadi. Yang sudah diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar 20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam pengalihan hak atau participating interest. Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan sub
2
http://firdausilyas.wordpress.com/2011/08/03/tersangkut-traktat-pajak/#more-220 diakses tanggal 13 Mei 2013
3
Kejar Tunggakan Pajak Migas http://shnews.co/detile‐15824‐kejar‐tunggakan‐pajak‐migas.html
Diakses tanggal 10 Mei 2013 opcit
4
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 20
kontraktor. Yang pasti, aturan migas yang bias ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar 5.
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Potensi tersebut tentunya berpeluang untuk meningkatkan pajak penghasilan migas. Namun, di awal 2013 ini Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 70/PMK.011/2013 pada 2 April 2013 telah membebaskan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dari bea masuk impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hal itu untuk mendorong peningkatan kegiatan eksplorasi dalam rangka menambah cadangan dan kegiatan eksploitasi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi nasional. Dalam jangka panjang tentunya hal ini berdampak pada peningkatan PPh migas namun jangka pendek pembebasan tersebut tentunya dapat menurunkan penerimaan pajak yang lain yaitu bea impor, PPN dan PPnBM. Pajak Penghasilan Non Migas (PPh Non Migas) Pajak penghasilan non migas merupakan penyumbang terbesar penerimaan perpajakan . Pada tahun 2013 sebanyak 43, 03% dari total penerimaan perpajakan. Pajak penghasilan non migas bersumber dari pajak atas penghasilan baik orang pribadi maupun badan baik Indonesia maupun asing. PPh non migas secara keseluruhan tiap tahun mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada grafik berikut. Pertumbuhan rata‐rata PPh Non migas sepanjang tahun 2007‐2013 adalah 17,81% Pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2008 karena Adapun faktor yang mempengaruhi penerimaan PPh non migas adalah pertumbuhan ekonomi .
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
B.
5
Chandra Budi, “Potensi Pajak Migas” http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita kemigasan/detil/267001/PotensiPajak-Migas diakses tanggal 14 Mei 2013. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 21
Grafik 4 Perkembangan PPh Non Migas 2007‐2013 (dalam triliun rupiah)
LKPP
LKPP
LKPP
APBNP
APBN
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
TJ
LKPP
–
SE
LKPP
EN
D
PR
R
I
600,000.0 500,000.0 400,000.0 300,000.0 200,000.0 100,000.0 0.0
BN
AP
Perkembangan rincian PPh Non Migas dapat dilihat pada tabel berikut ini :
N
Tabel 3
AA
PERKEMBANGAN PPh NON MIGAS, 20072013
2008
2009
2010
2011
Real.
Real.
Real.
Real
Real
39.4 4
PPh Pasal 22 Impor
16.6
PPh Pasal 23
15.7
52.1
55.3
5
4.4
4.7
25.1
19.2
23.6
18.1
16
16.3
AN
PPh Pasal 22
51.7
PE L
PPh Pasal 21
2007
AK
Uraian
SA
N
(triliun rupiah)
1.6
3.6
3.3
3.6
PPh Pasal 25/29 Badan
80.8
106.4
120.3
131.5
14.6
14.9
18.4
23 40.1
PPh Final dan Fiskal
G
PPh Non Migas Lainnya
AN G
Total
AN
AR
PPh Pasal 26
D
PPh Pasal 25/29 Pribadi
21.6
25.2
33.8
0.01
0.02
0.02
0
194.3
250.0
267.5
298.1
66.8 4.9 28.3 18.7 3.3 157.9 27.2 50.8 0.04 357.9
2012 APBNP
89.2 7.9 38.2 28.5 5.6 191.1 29.8 55.4 0.04 445.7
2013
Outlook
90.6 4.3 33.5 19.4 5.7 190.8 22.9 55.3 0.02 422.5
APBN
103.7 5.2 42.8 23.6 6.8 230.5 33.3 67.5 0.04 513.5
A
Sumber : NK APBN 2013, Kementerian Keuangan
BI
R
O
AN
AL
IS
Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa hampir lima puluh persen penerimaan pajak penghasilan berasal dari PPh Badan, dua puluh persen berasal dari PPh 21 (orang pribadi). Nilai tersebut tentunya akan lebih besar lagi mengingat masih banyak potensi pajak orang pribadi maupun badan usaha yang belum tergali. Sebagai perbandingan bahwa dengan jumlah penduduk mencapai 240 Juta jiwa, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi per April 2012 hanya sebesar 22 Juta, padahal dengan asumsi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 24,3 Juta/ Tahun, maka jumlah yang bisa terjaring akan lebih dari itu, ini selaras dengan standar Bank Dunia mengenai garis
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 22
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
kemiskinan yang ditetapkan di angka Rp 6,12 Juta/ Tahun dan disandingkan dengan Pendapatan Per Kapita tahun 2012 Republik Indonesia sebesar Rp 31,80 Juta/ Tahun 6. Sementara itu dari sisi badan usaha Menteri Keuangan pernah menyatakan bahwa dari 22,6 juta badan usaha di Indonesia, hanya sekitar 500 ribu perusahaan saja yang membayar pajak atau 2%. Jelas ini kondisi yang cukup memprihatinkan. 7 Fakta‐ fakta di atas menunjukkan bahwa masih ada permasalahan‐permasahan sehubungan dengan upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
Potensi PPh Non Migas : - Peningkatan PTKP Pemerintah telah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak dari Rp 1.320.000,‐ perbulan atau Rp 15.840.000,‐ pertahun menjadi Rp 2.000.000,‐ perbulan atau setara Rp 24.000.000,‐ per tahun. Diharapkan dengan kenaikan PTKP ini akan mendorong daya beli masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan pajak penghasilan namun di sisi lain berdampak pada upaya penambahan jumlah wajib pajak semakin berat. - Pajak Properti Industri properti merupakan salah satu sektor riil yang saat ini mengalami pertumbuhan yang pesat dibandingkan sektor lainnya. Sektor keuangan,real estate dan jasa perusahaan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,7 persen (yoy) menjadi 6,8 persen (yoy) di tahun 2011. Namun hal ini juga perlu diwaspadai jika masyarakat membeli properti untuk tujuan spekulatif mendapat capital gain. Pada 2011, dari sejumlah unit properti yang terjual, tingkat okupansi nya hanya 80% untuk daerah Jakarta. Di Tanggerang hanya 84% dari 94% properti yang ditawarkan. Bogor dan Depok juga memiliki tingkat yang rendah. Untuk penjualan unit apartment, di Jakarta saja terjual 8,400 unit. Padahal pada tahun sebelum nya, tidak lebih dari 4,000 unit. Artinya, sejak 2010, 2011 dan pada tahun‐tahun mendatang kecendrungan penjualan properti akan sangat pesat pertumbuhannya8. Dikhawatirkan hal ini dapat memicu terjadinya bubble properti .
6 Erikson Wijaya, http://www.pajak.go.id/content/article/mengapresiasi‐kinerja‐ditjen‐pajak‐kiprah‐tantangan‐dan‐arah‐ kebijakan 7
Tantangan Target Pajak, Rabu, 21 November 2012 http://www.investor.co.id/home/tantangan-target-pajak/49160
8 Bubble Industri Properti, Ancaman Serius Ekonomi Nasional, 21 May 2012
http://hadidalaydrus.wordpress.com/2012/05/21/buble‐industri‐properti‐ancaman‐serius‐ekonomi‐ nasional/ diakses tanggal 27 Mei 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 23
D
EN
-
PR
R
I
Sayangnya pertumbuhan sektor properti tersebut tidak diimbangi dengan penerimaan pajak yang seharusnya. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menyatakan negara dirugikan akibat selisih harga jual properti dengan nilai jual obyek pajak NJOP sebesar Rp 30 triliun. Yang wajib dilaporkan adalah harga jual sebenarnya bukan sesuai NJOP. Padahal harga tanah dan bangunan properti naik cukup pesat sehingga nilainya melebihi NJOP Dia mengatakan banyak wajib pajak yang tidak memahami hal tersebut 9. Potensi dari Transfer Pricing 10
AP
BN
–
SE
TJ
Terdapat praktek‐praktek usaha mengindari pajak, baik oleh WP Orang Pribadi maupun WP Perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Salah satu praktek tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari pajak oleh perusahan‐perusahaan multinasional , dengan melakukan proses transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha. Menyadari masih adanya hambatan dan kendala, seperti :
AK
SA
N
AA
N
a) Koordinasi antar lembaga, dalam usaha sinkronisasi dan penggadaan data dalam usaha intensifikasi pajak. b) Proporsi aparatur pajak yang masih minim, berbanding jumlah wajib pajaknya. c) Kualitas aparatur pajak dalam pengetahuan‐pengetahuan teknis perpajakan, khususnya mengenai transfer pricing perlu ditingkatkan
PE L
-
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
Optimaisasi pemanfaatan e‐KTP untuk pajak e‐KTP merupakan tindak lanjut dari undang‐undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam undang‐undang ini dikatakan bahwa, setiap pendudukan akan memiliki sebuah NIK atau Nomor Induk Kependudukan yang bersifat tunggal dan berlaku selamanya. Dengan e‐KTP inilah setiap orang akan memiliki NIK‐nya masing‐masing. Dengan begitu, pencatatan kependudukan, paspor, SIM, catatan pajak, asuransi, serta berbagai dokumen lainnya akan terintegrasi sehingga kesalahan pencatatan akan bisa dikurangi. Lebih jauh, data ini bisa juga diintegrasikan dengan data catatan kesehatan setiap individu. Jika e‐KTP ini dimanfaatkansecara optimal untuk kepentingan pajak maka tidak mungkin hal ini berpotensi untuk meningkatakn penerimaan pajak. Permasalahan Pph Non Migas : -
Kurangnya data Ditjen Pajak terkait rendahnya PPh psl 25/29 OP
9
http://koran.tempo.co/konten/2013/05/23/310849/Selisih‐Pajak‐Properti‐Negara‐Rugi‐Rp‐30‐Triliun, diakses tanggal 27 Mei 2013. 10 Laporan Pelaksaan Diskusi Internal Bagian Analisa APBN dengan DJP tanggal 23 Mei 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 24
PR
R
I
Sesuai dengan PPh pasal 25/29 OP, wajib pajak OP adalah wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan atau eceran barang‐barang konsumsi melalui tempat usaha/outlet yang tersebar di beberapa lokasi. Faktor utama rendahnya penerimaan PPh OP karena Ditjen Pajak belum memiliki data yang akurat terkait berapa jumlah tempat usaha/gerai outlet wajib pajak. kendala di lapangan adalah kesulitan mengenai data jumlah outlet yang tersebar di Indonesia. Selain itu, lokasinya cenderung nomaden dan berubah‐ubah11. Perluasan basis pajak kepada UKM Kebijakan ini merupakan salah satu pokok‐pokok kebijakan perpajakan 2014 yang sebenarnya sudah dimulai pada 2013. Pemerintah harus hati‐hati dalam mengambil keputusan sebab UKM menempati posisi strategis dalam perekonomian di Indonesia. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sekitar 90% bekerja pada sektor usaha kecil menengah 12. Namun di sisi lain UKM masih menghadapi berbagai permasalahan seperti terbatasnya akses terhadap perbankan, pemasaran serta teknologi. Jika pemerintah menjadikan UKM sebagai salah satu perluasan basis pajak dikhawatirkan hal tersebut akan semakin mempersulit UKM. Sebaliknya Pemerintah sebaiknya melakukan terobosan untuk mendorong dunia usaha dengan melakukan kebijakan yang bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi serta bisa menambah pendapatan negara misalnya insentif fiskal kepada dunia usaha dan pengampunan pajak kepada UKM.
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
-
PE L
-
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
Struktur pajak penghasilan badan Terjadi ketidakseimbangan sebaran umlah wajib pajak menurut kelompok besarnya omset dengan besarnya kontribusi per kelompok tersebut pada penerimaan pajak. Wajib pajak yang mempunyai omsetnya dilaporkan lebih dari Rp100 Miliar jumlahnya hanya sebesar 0,35% dari seluruh jumlah wajib pajak yang terdaftar tetapi menyumbang 75,32% dari total pajak yang diterima. Sedangkan wajib pajak yang omsetnya dilaporkan tidak lebih dari Rp1 Juta jumlahnya mencapai 74,85% dari semua wajib pajak yang ada dan memberikan masukan pajak sebesar 8,85% dari pajak yang diterima. Kondisi ini mengkhawatirkan bila kelompok wajib pajak dengan omset besar mengalihkan investasinya ke negara lain akibat dibebani pajak yang semakin besar dan berakibat pada penerimaan pajak akan merosot (Edi Pambudi : 2010)
BI
R
O
Dalam catatan evaluasi SPT Tahunan tahun 2011 dari 12,9 Juta badan usaha, baru sekitar 500 ribu yang membayar pajak dan menyerahkan SPT Tahunan, dan dari 500 ribu WP Badan yang melaporkan SPT Tahunan, hanya 100 ribu WP Badan yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Bisa kita bayangkan, Penerimaan pajak negara ini hanya ditopang oleh 100 ribu WP badan dan jumlah nya mencapai
11
Realisasi PPh Pribadi Rp 3,7 Triliun http://www.investor.co.id/home/realisasi-pph-pribadi-rp-37-triliun/51690
12
http://bisnisukm.com/posisi‐strategis‐ukm‐dalam‐perekonomian‐negara.html Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 25
N
AN
PE L
AK
SA
-
AA
N
AP
BN
–
SE
TJ
-
EN
D
PR
R
I
500 trilyun. Bayangkan apabila kegiatan Sensus Pajak Nasional ini berhasil dengan menambah setidaknya 2 juta hingga 5 juta WP Badan yang membayar dan melaporkan SPT Tahunan nya, mungkin target penerimaan Rp 1.000 trilyun bisa dengan mudah dicapai oleh Direktorat Jendral Pajak. Selain itu belum lagi dengan kegiatan Sensus Pajak Nasional ini juga akan menambah potensi penerimaan pajak baru dengan menindaklanjuti data Sensus Pajak Nasional yang ada, bagi pengusaha‐ pengusaha yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bisa didaftarkan menjadi Wajib Pajak baru.13 Masyarakat masih banyak yang belum memiliki NPWP Hal ini bukan karena mereka tidak tahu akan kewajiban memiliki NPWP tapi justru karena mereka takut akan kewajiban‐kewajiban setelah memilki NPWP disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat . Mereka khawatir dengan memiliki NPWP akan dikenakan kewajiban membayar pajak kemabali padahal penghasilan mereka sudah dipotong pajak oleh perusahaan , selain itu mereka enggan dengan pengisian SPT yang dinilai ribet dan susah serta ada ketakutan membayar denda jika perhitungannya salah. Kepercayaan Masyarakat Banyaknya kasus yang melibatkan oknum aparat pajak secara tidak langsung turut mempengaruhi persepsi publik terhadap manfaat membayar pajak. Padahal di sisi lain ini juga mencerminkan komitmen Ditjen Pajak untuk melakukan penegakan hukum terhadap para pengemplang pajak baik masyarakat maupun oknum aparat pajak.
AN
D
Elastisitas Pajak Penghasilan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Elastisitas pajak atau tax buoyancy merupakan salah satu indikator kinerja penerimaan pajak yang dihitung berdasarkan perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak dengan persentase perubahan pendapatan nasional. Hal ini menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan pajak jika PDB berubah satu persen. Dari tabel 4 di bawah terlihat bahwa Pajak Penghasilan Non Migas dan Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang lebih elastis dibandingkan jenis‐jenis pajak lainnya, artinya setiap peningkatan 1% pertumbuhan ekonomi maka PPh dan PPN akan bertambah lebih dari satu persen bahkan mendekati 2%.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
C.
13 Tommy K. Darwis, “Dampak Kenaikan PTKP dan Strategi DJP” http://www.pajak.go.id/content/article/dampak‐
kenaikan‐ptkp‐dan‐strategi‐djp
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 26
R
2012 ‐0.64 2.22 1.90 ‐0.06 0.00 0.74 ‐0.19 ‐1.77 1.48
PR
2011 1.60 1.33 1.35 0.30 ‐6.61 1.08 1.73 14.82 1.38
D
2010 1.18 0.76 1.30 1.18 1.61 1.11 0.70 98.35 1.11
EN
2009 ‐2.64 0.51 ‐0.60 ‐0.32 1.20 0.80 ‐1.54 ‐7.21 ‐0.44
TJ
Elastisitas 2008 PPH migas 2.97 PPH non migas 1.14 PPN 1.41 PBB 0.27 BPHTB ‐0.25 Cukai 0.58 Bea masuk 1.44 Bea keluar 8.73 Total Pajak 1.35 Sumber : Kementerian Keuangan & BPS, diolah
I
Tabel 4 Elastisitas Per Jenis Pajak
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
SE
Hal tersebut sesuai dengan studi sebelumnya yang mengatakan bahwa trend PPh non migas serta PPN yang sejalan dengan trend PDB. Determinan terbesar dari PDB adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mencapai rata‐rata 70% dari total PDB sedangkan determinan paling dominan adalah Pajak Penghasilan Non Migas dan Pajak Pertambahan Nilai yang rata‐rata proporsinya sama dengan determinan penentu PDB yaitu sebesar 70% (Edi Pambudi : 2010 ) Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan : 1. Pajak penghasilan berperan besar dalam APBN, hal ini dilihat dari kontribusi pajak penghasilan yang mencapai 49,68 % dari total penerimaan perpajakan. 2. Upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan migas dihadapkan pada kendala cost recovery serta tax treaty. 3. Upaya optimalisasi penerimaan pajak penghasilan dihadapkan pada berbagai kendala antara lain struktur pajak yang tidak seimbang, peningkatan PTKP, serta keengganan masyarakat untuk memiliki NPWP. 4. Namun dibalik semua kendala ataupun permasalahan yang ada masih ada peluang atau potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan antara lain berasal dari sektor properti, pemanfaatan e‐KTP sebagai SIN, maupun potensi‐potensi lainnya. 5. Pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan hal ini dilihat dari elastisitas pajak penghasilan baik migas maupun non migas . Selain itu pola pertumbuhan PDB juga sejalan dengan pola pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan khususnya pajak penghasilan non migas .
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
D.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 27
Saran :
N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
1. Perlu dikaji kembali kembali kebijakan tax treaty 2. Kebijakan perluasan basis bajak kepada UKM sebaiknya dikaji kembali mengingat peran strategis UKM dalam perekonomian. Pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif fiskal kepada pelaku UKM misalnya dengan memberikan pengampunan pajak atas utang pajak UKM. 3. Pemerintah sebaiknya memberi peringatan kepada pengembang properti untuk melaporkan nilai jualnya dan menagih atas kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya. 4. Pemerintah sebaiknya juga berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan potensi‐potensi pajak yang ada khususnya dari PPh perorangan. 5. Pemerintahhruas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena ini berpengaruh pada peningkatan penerimaan pajak.
N
AA
AK
SA
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 28