PERFORMANS REPRODUKSI SAPI SILANGAN SIMPO dan LIMPO YANG DIPELIHARA DI KONDISI LAHAN KERING Aryogi dan Esnawan Budisantoso Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan, Jawa Timur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kondisi lahan kering terhadap performans reproduksi sapi silangan PO dengan Simmental (SIMPO) atau dengan Limousin (LIMPO). Ternak materi penelitian adalah induk sapi PO 174 ekor, F1 SIMPO 58 ekor dan F1 LIMPO 76 ekor yang tersebar di peternakan rakyat di enam desa di kec. Kota Anyar kab. Probolinggo dan di tiga desa di kec. Wajak kab. Malang. Parameter yang diamati selama 11 bulan meliputi : anestrus post partum (APP) ; service per conseption (S/C) ; lama bunting dan calving interval (CI). Data kuantitatif yang diperoleh di uji menggunakan t - test dan data kualitatif disajikan secara diskreptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : temperatur dan kelembaban udara di lokasi penelitian adalah 22,4 - 28,6 oC (25,2 ± 2,3 oC) dan 84,8 89,3 % (87,6 ± 1,3 %) ; setiap hari mulai jam 04 sampai jam 00, ternak berada di atas temperatur udara lingkungan idealnya ; APP sapi PO nyata (P<0,01) lebih pendek (111,6 ± 1,14 hari) dibanding sapi SIMPO (117,18 ± 3,03 hari) maupun LIMPO (119,34 ± 0,62) yang saling berbeda tidak nyata ; nilai S/C sapi PO nyata (P<0,01) lebih kecil (1,43 ± 0,12) dibanding sapi SIMPO (1,78 ± 0,23) maupun LIMPO (1,79 ± 0,18) yang saling berbeda tidak nyata ; lama bunting ketiga bangsa sapi saling berbeda tidak nyata ; serta CI sapi PO nyata (P<0,01) lebih pendek (423,11 ± 9,25 hari) dibanding sapi SIMPO (434,64 ± 11,92 hari) maupun LIMPO (440,93 ± 20,31) yang saling berbeda tidak nyata. Kesimpulan hasil penelitian, kondisi alam daerah lahan kering diduga secara langsung atau tidak langsung menyebabkan performans reproduksi sapi silangan SIMPO dan LIMPO menjadi nyata lebih rendah dibanding sapi lokal PO. Kata Kunci : Sapi PO, SIMPO, LIMPO, performans reproduksi, lahan kering PENDAHULUAN Sapi potong silangan di Indonesia, terutama yang dipelihara pada kondisi peternakan rakyat di daerah lahan kering, walaupun menunjukkan performans reproduksi yang sangat bervariasi, tetapi sebagian besar lebih mengarah ke terjadinya penurunan efisiensinya. Pada beberapa kasus di beberapa lokasi, performans reproduksi sapi potong silangan adalah tidak lebih baik bahkan lebih jelek dibanding sapi potong lokal. Kondisi pemeliharaan yang masih sangat ekstensif dan lingkungan pemeliharaan yang kurang cocok dengan kebutuhan fisiologis ternaknya, sering di duga menjadi penyebab adanya variasi tersebut. Peters dan Balls (1995) menyatakan bahwa performans reproduksi sapi antara lain dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan hidupnya. Sapi potong tetap dapat hidup normal walaupun tidak melakukan proses reproduksi, tetapi sapi potong yang performans reproduksinya rendah adalah sangat tidak ekonomis untuk dikembangkan (Affandhy et al., 2001). Sekarang ini performan reproduksi telah digunakan sebagai salah satu kriteria utama program seleksi sapi potong (Westhuizen et al., 2001). Sapi SIMPO (silangan antara sapi Simmental dengan PO) dan LIMPO (silangan antara sapi Limousin dengan PO) sebagai sapi potong silangan yang sekarang ini telah banyak dikembangkan di peternakan sapi potong rakyat, juga banyak dilaporkan menunjukkan performans reproduksi yang kurang/tidak efisien, yaitu siklus estrusnya panjang dengan tanda-tanda luar yang tidak jelas dan angka S/C yang tinggi, sehingga menyebabkan calving interval nya menjadi panjang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana performans reproduksi sapi silangan PO dengan Simmental (SIMPO) dan sapi PO dengan Limousin (LIMPO) yang dipelihara oleh peternak rakyat di lahan kering yang bertemperatur udara panas. MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan selama 11 bulan di peternak sapi potong rakyat yang tersebar di enam desa di kecamatan Kota Anyar kabupaten Probolinggo dan di tiga desa di kecamatan Wajak kabupaten Malang yang merupakan daerah lahan kering beriklim panas. Ternak yang digunakan adalah sapi induk yang minimal telah beranak sekali, yaitu sebanyak 174 ekor sapi PO, 58 ekor sapi silangan SIMPO dan 76 ekor sapi silangan LIMPO. Parameter yang diamati adalah : 1. temperatur dan kelembaban udara didalam dan diluar kandang menggunakan termometer dan higrometer dengan ketelitian 0,10o C atau 1,00 %. Pengukuran setiap empat jam dimulai pada jam 00.00 di 24 jam pertama dan jam 02.00 di 24 jam kedua, dilakukan setiap dua minggu di 18 kandang. Udara di dalam kandang adalah udara setinggi pinggul ternak, sedang udara luar kandang adalah udara di sekitar kandang setinggi atap bangunan kandang. 2. anoestrus post partum, yaitu menghitung jumlah/jarak hari antara saat ternak beranak sampai pertama mengalami estrus kembali. 3. Service per Conseption (S/C), yaitu jumlah perkawinan/inseminasi pada seekor sapi induk sampai ternak tersebut dibuktikan positip bunting melalui palpasi rectal. 4. lama bunting, yaitu jarak waktu antara saat ternak kawin yang terakhir sampai beranak 5. calving interval, yaitu jumlah hari antara dua kelahiran yang berurutan pada induk yang sama Data dari semua parameter, diperoleh melalui pengamatan langsung ke ternaknya, berdasar-kan data di buku catatan IB yang dimiliki inseminator atau peternak yang merawat sapinya. Data yang diperoleh di uji menggunakan t-test dan data kualitatif disajikan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Temperatur Dan Kelembaban Udara Data hasil pengamatan selama penelitian terhadap temperatur dan kelembaban udara di dalam dan di luar kandang, reratanya tercantum pada Gambar 1 dan Gambar 2.
30 28 26 0 C
24 22 20 18 0
2
4
6
8 jam 10 12 14 pengamatan
16
18
20
22
Gambar 1. Fluktuasi temperatur udara harian selama 24 jam di lokasi penelitian
90 88.5 87 85.5 84 82.5 0
2
4
6
8
10
12
14
jam pengamatan
16
18
20
22
Gambar 2. Fluktuasi kelembaban udara harian selama 24 jam di lokasi penelitian Webster dan Wilson (1980) menyatakan bahwa CZ atau comfort zone (temperatur lingkungan yang nyaman dan melancarkan fungsi dalam proses fisiologis ternak) untuk sapi tropis adalah antara 22 sampai 30o C, sedangkan untuk sapi daerah sedang adalah antara 13 sampai 25o C (Yousef, 1984). CZ untuk sapi hasil silangan antara Bos taurus dengan Bos indicus belum diketahui dengan jelas, tetapi apabila diestimasi sebagai setengah dari gabungan CZ sapi tropis dengan sapi daerah sedang, maka kira-kira CZ sapi silangan adalah 17 sampai 28o C. Pada Gambar 1 tampak bahwa temperatur udara minimal di lokasi penelitian adalah sebesar 22,2 oC yang terjadi di sekitar jam 4 pagi, sedang temperatur maksimalnya sebesar 28,6 oC yang terjadi di sekitar jam 12 siang. Hal ini berarti bahwa sapi silangan di lokasi penelitian yang merupakan daerah lahan kering bertemperatur udara panas, setiap harinya selalu berada di pertengahan ke atas dari kisaran maksimal CZ nya, sedang sapi PO selalu berada di kisaran CZ idealnya. Kondisi ini tentu akan berdampak pada status fisiologis masing-masing ternaknya. Pada Gambar 2 tampak bahwa kelembaban udara minimal di lokasi penelitian adalah sebesar 84,8 % yang terjadi sekitar jam 22, sedang maksimalnya sebesar 89,3 % yang berlangsung sekitar jam 10. Kelembaban udara antara lain dipengaruhi oleh temperatur udaranya (McDowell, 1972). Di daerah lahan kering bertemperatur udara panas seperti lokasi penelitian ini, kelembaban udara akan mencapai minimal dan maksimal adalah pada beberapa jam sebelum tercapainya temperatur udara minimal dan maksimalnya.
Anoestrus Post Partus (APP) Hasil pengamatan terhadap APP sapi induk, datanya tercantum di Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Anoestrus post partus (APP) sapi selama penelitian (hari) Pengamatan
Sapi PO
Sapi SIMPO
Sapi LIMPO
Anoestrus post partus 111,60 ± 1,14 117,18 ± 3,03 119,34 ± 0,62 b Supersrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01) a
b
a,b
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa lamanya APP sapi PO adalah nyata (P<0,01) yang paling pendek, sedangkan antara kedua sapi silangan adalah saling berbeda tidak nyata tetapi nyata (P<0,01) lebih lama dibanding sapi PO. Kejadian yang sama juga dilaporkan oleh Anonimus (2002) dan Diwyanto (2002 ; 2003), yaitu bahwa pengaruh temperatur udara yang panas diduga telah menjadi salah satu sebab tidak mampu maksimalnya tampilan reproduksi sapi-sapi silangan. Westhuizen, et al. (2001) menyatakan bahwa pengaruh cekaman temperatur udara panas terhadap performans reproduksi sapi adalah tidak secara langsung. Dijelaskan bahwa sapi yang berada dalam cekaman temperatur udara panas, akan mengurangi produksi panas tubuhnya melalui pengurangan konsumsi ransumnya dan peningkatan konsumsi air minumnya sehingga sapi akan mengalami kekurangan nutrien. Keadaan kekurangan nutrien akibat stress panas lingkungan yang dialami sapi silangan SIMPO dan LIMPO inilah yang diperkirakan menjadi sebab terjadinya abnormalitas produksi, sekresi dan fungsi hormon reproduksi ternak, sehingga mengganggu kerja organ-organ yang berperan dalam proses reproduksinya. Anoestrus post partus sebagai tahap paling awal dari rangkaian proses-proses reproduksi ternak pasca beranak, apabila menunjukkan angka yang tinggi akan mencerminkan telah terjadinya abnormalitas dalam rangkaian proses reproduksi ternaknya. Service Per Conception (S/C) Tampilan S/C ternak selama penelitian, datanya termuat di Tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Service per conception (S/C) sapi selama penelitian (kali) Pengamatan Service/Conseption a,b
Sapi PO
Sapi SIMPO
Sapi LIMPO
1,43 ± 0,12 a
1,78 ± 0,23 b
1,79 ± 0,18 b
Supersrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)
Rahayu (2002) mengartikan S/C sebagai berapa kali perkawinan atau inseminasi dilakukan sampai seekor ternak dinyatakan positip bunting. Angka rata-rata service per conception sapi PO yang nyata (P<0,01) tampak lebih kecil dibanding kedua sapi silangan yang menunjukkan perbedaan yang saling tidak nyata, diduga karena pengaruh temperatur udara yang panas di lahan kering, secara langsung atau tidak langsung telah menyebabkan keabnormalan rangkaian proses ovulasi pada sapi silangan, sehingga ovarium yang diovulasikan sapi silangan tidak mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi. Westhuizen et al. (2001) menyatakan bahwa tingkat fertilitas ovarium pada sapi sangat ditentukan oleh tingkat kesempurnaan rangkaian proses yang terjadi sebelum ovum tersebut diovulasikan, sedangkan kesempurnaan proses pra ovulasi tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor eksternal yang salah satu utamanya adalah temperatur lingkungan tempat ternak tersebut hidup. Lama Bunting Data pengamatan terhadap lama bunting sapi-sapi penelitian, tercantum dalam Tabel 3 berikut : Tabel 3. Lama bunting sapi materi penelitian (hari) Pengamatan Lama bunting
Sapi PO
Sapi SIMPO
Sapi LIMPO
2 83,89 ± 0,50
287,87 ± 0,27
286,70 ± 0,54
Temperatur udara yang panas tidak nyata mempengaruhi lama bunting sapi. Lama bunting sapi potong yang normal lebih banyak di pengaruhi faktor internak ternak induknya, bukan bangsa induknya, yaitu menurut Hinojosa, et al. (2003) berupa umur induk, anak keberapa dan jenis kelamin pedetnya. Calving Interval (CI) Penampilan jarak beranak/calving interval (CI) ternak yang diamati selama penelitian, datanya tercantum dalam Tabel 4 berikut : Tabel 4. Calving interval sapi materi penelitian (hari) Pengamatan Calving Interval a,b
Sapi PO
Sapi SIMPO
Sapi LIMPO
423,11 ± 9,25 a
434,64 ± 11,92 b
440,93 ± 20,31 b
Supersrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)
Data di atas menunjukkan bahwa CI sapi PO adalah juga nyata (P<0,01) lebih pendek (sekitar 13,6 - 14,2 bulan) dibanding sapi-sapi silangan (sekitar 13,9 - 14,9 bulan) yang saling berbeda tidak nyata. Lebih panjangnya CI sapi silangan dibanding sapi PO tersebut, tampak disebabkan oleh APP dan S/C sapi silangan yang nyata lebih besar dibanding sapi PO. CI yang lebih panjang dari sapi SIMPO dan LIMPO yang dipelihara di lahan kering bertemperatur udara panas dibanding sapi lokal PO, menunjukkan bahwa kemampuan induk sapi silangan untuk mampu menghasilkan anak sebanyak mungkin selama masa produktifnya, adalah di bawah induk sapi PO. Salah satu sebab tidak maksimalnya tampilan reproduksi sapi-sapi silangan, diduga adalah dampak dari pengaruh temperatur udara (Anonimus, 2002 ; Diwyanto, 2002 ; 2003).
KESIMPULAN Kondisi tanah yang kering serta temperatur dan kelembaban udara yang cukup tinggi di daerah lahan kering, diduga secara langsung atau tidak langsung menjadi sebab lebih rendahnya performans reproduksi sapi silangan SIMPO dan LIMPO dibanding sapi lokal PO. DAFTAR PUSTAKA Affandhy, L., M.A. Yusran dan M. Winugroho. 2001. Pengaruh frekuensi pemisahan pedet pra-sapih terhadap tampilan reproduktivitas induk dan pertumbuhan pedet sapi peranakan Ongole. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Departemen Pertanian. Bogor. Anonimus. 2002. Analisa potensi genetic berbagai genotip sapi potong. Laporan Akhir Proyek TA. 2002. Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan. Puslitbangnak. Departemen Pertanian. Bogor. Diwyanto, K. 2002. Program Pemuliaan Sapi Potong (Suatu Pemikiran). Makalah Seminar Nasional “Kebijakan Breeding”. Puslitbangnak. Dep. Pertanian. Bogor, 30 Oktober 2002. ___________ . 2003. Pengelolaan Plasma Nutfah Untuk Mendukung Industri Sapi Potong Berdaya Saing. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong Lokal. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. Malang, 29 Maret 2003.
Hinojosa, A., A. Franco and I. Bolio. 2003 Genetic and Environmental Factors Affecting Calving Inter val In A Commercial Beef Herd In A Semi-Humid Tropical Environment. http://www. fao.org/ag/Aga/agap/FRG. Mc Dowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock Production In Warm Climates. Freeman and Company. San Fransisco. Peters, A.R. and P.J.H. Ball. 1995. Reproduction in Cattle. 2nd Ed.Blackwell Science Ltd. London Webster, C.C. dan P.N. Wilson. 1980. Agriculture in Tropics. The English Language Book Society and Longman Group. London. Westhuizen, R.R., S.J. Schoeman, G.F. Jordaan and J.B. van Wyk. 2001. Genetik Parameters for Reproductive Traits In A Beef Cattle Herd Estimated Using Multitrait Analysis. http://www.sasas.co.za/sajas.html. Yousef, M.K. 1984. Thermoneutral zone. In : Stress Physiology in Livestock. Vol. I. Basic Principles. Yousef, M.K. (ed). CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.