Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PERFORMANS SAPI SILANGAN PERANAKAN ONGOLE PADA KONDISI PEMELIHARAAN DI KELOMPOK PETERNAK RAKYAT (The Performance of Peranakan Ongole Crosssing Cattle at Farmers Group at Maintenance Condition) ARYOGI, A. RASYID dan MARIYONO Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT The information of Peranakan Ongole crossing cattle (POCC) productivity at farmers were various because its maintenance condition were different. T his research was conducted at beef cattle farmer group “Sumber Makmur”, at Bodang village – Padang sub district – Lumajang district, to known the influence of improvement of farmers maintenance pattern to productivity performance of POCC. The 14 heads, seven heads heifers and eight heads calves of two breeds crossing (PO X Simmental or PO x Limousin) or three breed crossing (PO X Simmental X Limousin or PO X Limousin X Simmental) beef cattle from Beef Cattle Research Station were distributed to 19 members farmer group for a share with profit sharing of its calf value. During research, cooperation with Dinas Peternakan Lumajang district, is executed to increase activity and function of farmer group, also establishment about care management of crossing beef cattle. Periodical observation was done on farmer group dinamic, also growth, production, reproduction, ration consumption, veterinary and economic value of cattle. The control was farmers non group members at research location. The quantitative data are analysed by t-test, while qualitative data were presented descriptively. The result of research showed that the members farmer group were: activate and make meeting routinely and motivated the members to exploit group role on maintenance of their cattles, also able to collect financial capital group; minimized of cows bodyweight decrease during lactation (343.4 and 328.0 kg) and increase birth weigh of calf (34.3 and 33.4 kg); shorter of the first oestrus old (15.2 and 15.8 months) and the first mate old (16.4 and 17.8 months) heifers; decreased S/C numeral of cows (2.3 and 2.6); fastener APP cows (128 and 202 days); shortener CI cows (407 and 536 days); prepared quality and efficiency ration consumption; also increased added value of rearing calf until yearling (Rp. 1,330,200 and Rp. 610,000/calf). The conclusion of researchs: improvement of POCC maintenance condition through active on members of group farmer and group function, the productivity and efficiency of POCC maintenance at farmers cuold be increased. Key Words: POCC, Performance, Establishment ABSTRAK Informasi performans produktivitas sapi silangan peranakan ongole di peternakan rakyat cukup beragam karena kondisi pemeliharaannya yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di kelompok peternak sapi potong SUMBER MAKMUR Desa Bodang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang. Tujuannya mengetahui pengaruh perbaikan tatalaksana pemeliharaan pola peternak melalui pembinaan kelompok peternak terhadap performans produktivitas sapi silangan dua bangsa (PO X Simmental atau PO X Limousin) atau tiga bangsa (PO X Simmental X Limousin atau PO X Limousin X Simmental). Sebanyak 14 induk, 7 sapi muda dan 8 pedet milik Loka Penelitian Sapi Potong, digaduhkan kepada 19 peternak anggota kelompok dengan sistem bagi hasil harga pedet sapih. Pembinaan bersama Dinas Pertanian kabupaten Lumajang, dilakukan untuk meningkatkan aktifitas dan fungsi kelompok. Secara berkala dilakukan pengamatan terhadap dinamika kelompok peternak serta pertumbuhan, produksi, reproduksi, konsumsi ransum, kesehatan dan nilai ekonomi ternaknya. Sebagai kontrolnya adalah peternak sapi potong yang tidak menggaduh sapi dan tidak mendapatkan pembinaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan t-test atau disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan kelompok mampu mengaktifkan pertemuan rutin minimal sekali sebulan, mendorong anggota untuk memanfaatkan peran kelompok dalam memelihara ternaknya dan telah mampu menghimpun modal kelompok; mampu memperkecil penurunan bobot badan sapi induk selama laktasi (343,4 kg dan 328,0 kg) dan meningkatkan bobot lahir pedet (34,3 kg dan 33,4 kg); memperpendek
151
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
umur estrus pertama (15,2 dan 15,8 bulan) dan kawin pertama (16,4 dan 17,8 bulan); menurunkan angka S/C (2,3 dan 2,6); mempercepat terjadi APP (128 dan 202 hari); memperpendek CI sapi (407 dari 536 hari); memperbaiki kualitas dan efisiensi ransum; serta meningkatkan nilai tambah pemeliharaan pedet sampai umur yearling (Rp. 1.330.200 dan Rp. 610.000/anak). Kesimpulan hasil penelitian adalah: perbaikan terhadap kondisi pemeliharaan sapi potong silangan peranakan ongole melalui pembinaan terhadap anggota dan fungsi kelompok, performans produktivitas dan efisiensi usaha pemeliharaan sapi potong silangan di peternakan rakyat dapat ditingkatkan. Kata Kunci: Sapi Silangan Peranakan Ongole, Performans, Pembinaan
PENDAHULUAN Kebutuhan bakalan sapi potong yang semakin meningkat dan melebihi ketersediannya yang masih sangat terbatas, menyebabkan usaha pengembangan perbibitan sapi potong silangan di dalam negeri menjadi langkah strategis. Hal terpenting pengembangan sapi potong tersebut adalah penyediaan bibit sapi skala nasional di masa akan datang. Namun demikian, agroekologi wilayah Indonesia yang merupakan daerah tropis yang sangat berbeda dengan wilayah asal sapi Bos taurus yang daerah sub tropis, serta menurut SUTAWI (2002) bahwa pemanfaatan teknologi budidaya sapi potong silangan yang ada belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara baik oleh peternak, menyebabkan performans produktivitas sapi potong silangan di peternak rakyat menjadi sangat bervariasi. Diprediksikan bahwa 20% dari empat juta sapi induk di Indonesia telah diinseminasi dengan semen Simmental atau Limousin (MC DONALD, 2000), sementara AFFANDHY et al. (2002) melaporkan bahwa peternak di Jawa Timur telah menyilangkan induk PO dengan semen sapi Limousin yang hasil turunannya (A X B) disilangkan lagi dengan semen sapi Simmental ((A X B) X C) atau sebaliknya ((A X C) X B). Hal ini sama dengan program persilangan tiga bangsa yang menurut FRAHMM (1998) serta CHAPMAN dan ZOBELL (2004) akan dapat menghasilkan bangsa sapi yang super karena kemungkinan peningkatan pemanfaatan heterosis hingga 100%, atau menurut SIREGAR et al. (1999) akan dihasilkan sapi dengan berat badan yang lebih baik, yaitu menurut HAMMACK (1998) dapat menaikkan bobot sapih hingga 23% dibandingkan dengan perkawinan dua bangsa yang hanya 8,3%. Simmental merupakan tipe sapi perah sehingga secara genetik memiliki kemampuan produksi susu tinggi, pertumbuhan dan
152
produksi daging baik, sementara Limousin merupakan tipe sapi pedaging yang secara genetik memiliki tingkat pertumbuhan dan produksi daging yang baik (CHAPMAN and ZOBELL, 2004). Sapi silangan 3 bangsa (Simmental X Limousin X PO) akan menghasilkan sapi yang memenuhi persyaratan sebagai calon sapi potong berdasarkan bobot badan maupun linier tubuhnya. Namun demikian, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sapi silangan 3 bangsa tersebut mempunyai kelemahan terjadinya anoestrus post partus atau APP yang lama (YUSRAN et al., 1998), konsumsi ransumnya yang besar dan kualitas ransum yang tertentu (PURNOMOADI et al., 2003). Berlatar belakang hal diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan memberikan informasi kinerja sapi potong persilangan dua bangsa (PO X Simmental atau PO X Limousin) dan atau tiga bangsa (Peranakan Ongole X Simmental X Limousin) yang dipelihara pada kondisi peternakan rakyat yang memanfaatkan fungsi kelompok. MATERI DAN METODE Kegiatan ini merupakan kerjasama penelitian antara Lolit Sapi Potong dengan kelompok peternak SUMBER MAKMUR di Desa Bodang Kecamatan Padang dan mendapat dukungan dari Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang. Penelitian merupakan on farm reseach dengan melakukan uji terap tentang model pengembangan pembentukan bibit sapi potong komersial dua bangsa (PO X Simmental atau PO X Limousin) dan atau tiga bangsa (PO X Simmental X Limousin) di peternakan rakyat melalui pembinaan dengan model pembentukan dan pengaktifan kelompok. Pola penelitian terdiri dari dua kelompok: (1) kelompok binaan, yaitu peternak yang menerima gaduhan sapi silangan induk
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dua bangsa (PO X Simmental atau PO X Limousin) untuk penghasilkan pedet silangan dua dan atau tiga bangsa, kemudian mendapat pembinaan secara berkala tentang pemberdayaan kelompok dan perbaikan tatalaksana pemeliharaan ternak; (2) kelompok kontrol, yaitu peternak pemelihara sapi potong bibit silangan dua dan tiga bangsa miliknya sendiri dan tanpa mendapatkan pembinaan. Ternak materi penelitian adalah sapi potong silangan sebanyak 14 induk, 7 dara/muda dan 8 pedet milik Loka Penelitian Sapi Potong yang digaduhkan kepada 19 peternak, serta sebagai kontrolnya adalah sapi milik 12 peternak yang terdiri dari 15 induk, 8 dara/muda dan 6 pedet. Parameter yang diamati selama penelitian meliputi: 1. Dinamika aktivitas dan fungsi dari kelompok dan anggotanya, kaitannya dengan budidaya dan performans ternaknya 2. Ukuran linier tubuh (panjang badan, tinggi gumba dan lingkar dada), bobot badan dan skor kondisi tubuh ternak saat lahir, saat umur 205 dan 365 hari, serta saat awal dan akhir kebuntingan dan menyusui pedetnya. 3. Performans reproduksi sapi induk yang meliputi umur estrus dan kawin pertama, service per conception (S/C), anestrus post partum dan calving interval. 4. Ragam, jumlah dan harga konsumsi bahan kering ransum.
5. Biaya produksi dan nilai tambah. Biaya produksi meliputi biaya pengeluaran pakan; nilai tambah meliputi hasil jual pedet dan pertambahan bobot badan sapih hingga dara. Penelitian disusun untuk membandingkan performans sapi potong antar silangan pada antar perlakuan. Data yang diperoleh, yang kuantitatif dianalisis menggunakan uji beda mean (t-test) sedang yang kualitatif disajikan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika kelompok peternak Dinamika kelompok peternak SUMBER MAKMUR yang menggambarkan pengaruh hasil pembinaan kelompok, datanya tercantum dalam Tabel 1. Pembinaan yang meliputi pembentukan kelompok peternak sapi potong, kemudian secara berkala dilakukan pemberdayaan fungsi kelompok untuk mendukung usaha para anggotanya (berupa pertemuan kelompok secara rutin sebagai salah satu media formal bagi anggota untuk berdiskusi tentang manfaat berusaha secara berkelompok, tentang hal-hal teknis dan non teknis pemeliharaan sapi potong, serta membicarakan program/rencana kelompok sebulan kedepan). Pertemuan direncanakan, diatur dan dilaksanakan sepenuhnya oleh
Tabel 1. Dinamika kelompok peternak SUMBER MAKMUR Variabel
Dinamika kelompok
Jumlah anggotaan kelompok dan ternaknya
Jumlah awal 11 orang menjadi 26 orang dan ternak dari awal 14 ekor menjadi 27 ekor
Aktivitas kelompok
Pertemuan rutin anggota, dari sangat jarang menjadi minimal 1 kali/bulan
Manfaat kelompok
Pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalah beternak para anggota, dari secara perorangan/sendirisendiri menjadi mulai memanfaatkan kelompok
Permodalan kelompok
Dari tidak ada menjadi mulai terkumpul dan jumlahnya mulai berkembang
Kemandirian kelompok
Beberapa kebutuhan beternak, dari subsidi pihak luar menjadi mulai dari kekayaan/modal kelompok
Pengetahuan beternak para anggota kelompok
Mulai mengetahui, memahami & melaksanakan beberapa teknis beternak yang benar, sehingga beberapa variabel tatalaksana pe meliharaan dan produktivitas ternak mulai mengalami perbaikan
153
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kelompok, salah satu pengisi acara adalah tim dari Lolitsapo dan Dinas Peternakan. Pembinaan tersebut mulai tampak mempengaruhi dinamika kelompok, yaitu secara langsung lebih menciptakan rasa senasib antar anggota dalam usaha pemeliharaan ternaknya dan secara tidak langsung mulai terjadinya peningkatan terhadap pengetahuan, wawasan dan ketrampilan tentang budidaya sapi potong silangan. Dampaknya, mulai terjadi peningkatan terhadap efisiensi produksi, reproduksi dan ekonomi dari sapi yang dipelihara peternak serta kelompok mulai mampu memiliki dan mengembangkan modal. Peningkatan jumlah anggota kelompok yang cukup besar, yaitu lebih dari dua kalinya. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah ternak yang digaduhkan kepada peternak (induk maupun hasil anakannya), beberapa peternak non anggota yang mulai tertarik dengan aktifitas dan manfaat kelompok, mereka aktif mengikuti aktifitas kelompok walaupun sebenarnya mereka tidak mempunyai ikatan gaduhan ternak dengan kelompok. Aktifitas pertemuan kelompok mampu dilakukan secara rutin minimal sebulan sekali di rumah peternak secara bergantian, diisi dengan acara pokok berupa penyuluhan oleh PPL dan tim dari Lolitsapo, tentang teknis dan non teknis cara beternak sapi potong yang benar, serta diakhiri kegiatan arisan dan simpan pinjam. Beberapa kemajuan yang berhasil dicapai kelompok sebagai pengaruh dari hasil pertemuan rutin tersebut, antara lain: 1). Peternak anggota selalu melapor ke kelompok apabila sapinya sakit atau birahi, kemudian laporan peternak ini akan diteruskan ke petugas kesehatan/IB oleh pengurus, yaitu seksi kesehatan dan reproduksi. Sebelumnya, pelaporan tersebut dilakukan oleh peternak secara perorangan dan langsung ke petugas yang ada; 2) Pemecahan permasalahan beternak, seperti pembelian pakan tambahan serta pembelian dan penjualan sapi, dilakukan secara bersama-sama atau memanfaatkan/ melalui kelompok. Dari keuntungan jasa simpan pinjam, iuran wajib dan sukarela dan sebagian keuntungan hasil penjualan anakan sapi gaduhan, kelompok telah mempunyai modal uang yang jumlahnya semakin bertambah.
154
Isi materi pembinaan dalam pertemuan anggota kelompok adalah upaya bagaimana memecahkan permasalahan yang dihadapi peternak atau penjelasan tentang hal-hal yang belum dipahami peternak dalam memelihara sapinya. Ada tiga hal utama yang banyak dibahas dalam pertemuan tersebut, yaitu: (1) apa manfaat dan bagaimana cara usaha beternak sapi bibit secara berkelompok; (2) bagaimana meningkatkan reproduksi ternak melalui upaya memperpendek calving interval ternak (dengan pendekatan pengetahuan deteksi birahi ternak secara visual, waktu yang tepat untuk meng IB kan ternak sejak mulai birahi maupun sejak beranak, kapan menyapih pedet, dan lain-lain) dan (3) bagaimana meningkatkan produksi ternak (dengan pendekatan pengetahuan pemberian ransum yang lebih ekonomis tetapi memenuhi kebutuhan sesuai status fisiologis ternak). Secara bertahap, isi pembinaan ini mulai mampu meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan wawasan peternak sehingga mulai terjadi peningkatan terhadap beberapa variabel produktivitas ternak materi penelitian. Performans induk dan anaknya Data performans bobot badan (BB), skor kondisi badan (SKB) dan pertambahan bobot badan harian (PBBH)) sapi induk dan anaknya di beberapa fase fisiologis tercantum dalam Tabel 2. Data sapi dewasa silangan tiga bangsa terdapat kelompok perlakuan yang kosong, karena tahapan penelitian belum sampai menghasilkan sapi induk silangan tiga bangsa. Dari data pada Tabel 2 tersebut tampak bahwa: (1) bobot badan induk sapi silangan dua bangsa di awal kebuntingan pada kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih kecil dibanding kelompok kontrol; (2) bobot badan induk sapi silangan dua bangsa di akhir menyusui atau di awal penyapihan (205 hari) pada kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol; (3) bobot lahir pedet silangan tiga bangsa dari induk kelompok perlakuan, adalah nyata paling besar (P < 0,05) dibandingkan dengan kelompok dan silangan lainnya yang saling tidak berbeda nyata; (4) bobot badan sapih umur 205 hari semua pedet silangan dua bangsa adalah tidak berbeda
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 2. Rataan BB, SKT, PBBH dan % kehilangan BB sapi materi penelitian Status fisiologis ternak
Perlakuan
Parameter
2 bangsa Induk awal bunting Induk awal menyusui Induk selama bunting
a
BB (kg)
363,3
SKT
5,4
BB (kg)
387,6
SKT
5,8
PBBH (kg)
0,61
Kontrol
3 bangsa Td
2 bangsa
3 bangsa
b
td
379,7
td
387,6 5,6
Td
5,6 Td
0,66
Td
328,0a
td
(% BB)
0,17
BB (kg)
343,4b
SKT
5,0
PBBH (kg)
- 0,63
(% BB)
-0,18
Anak saat lahir
BB (kg)
33,4a
SKT
5,6
5,8
5,8
5,8
Anak sapih 205 hari
BB (kg)
136,7a
137,8a
145,8b
147,2b
Induk menyapih 205 hari Induk selama menyusui
Anak selama prasapih Anak 365 hari Anak dari sapih – yearling
0,17 td
4,6 Td
- 0,68
td
- 0,19 35,3b
32,9a
33,9a
SKT
5,4
5,7
6,0
5,6
PBBH (kg)
0,55a
0,55a
0,73b
0,77b
BB (kg)
207,9a
td
226,8b
243,2c
SKT
5,6
td
5,7
5,6
PBBH (kg)
0,44a
Td
0,51b
0,60c
a,b,c Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) td = tidak ada data
nyata dengan silangan 3 bangsa, tetapi pedet yang berasal dari induk kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol; (5) PBBH prasapih 205 hari pedet silangan dua bangsa adalah tidak berbeda nyata dengan silangan 3 bangsa, tetapi pedet yang berasal dari induk kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol; (6) bobot badan umur 365 hari anak sapi silangan tiga bangsa dari induk kelompok kontrol adalah nyata (P < 0,05) yang terbesar, kemudian disusul anak sapi silangan dua bangsa dari induk kelompok kontrol dan yang nyata terkecil adalah sapi silangan dua bangsa dari induk kelompok perlakuan; (7) PBBH selama lepas sapih sampai umur 365 hari anak sapi silangan dua bangsa dari induk kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) yang terkecil, kemudian disusul anak sapi silangan dua bangsa dari induk kontrol dan yang terbesar adalah anak sapi silangan tiga
bangsa dari induk kelompok kontrol; (8) SKT semua sapi induk maupun anak adalah saling tidak berbeda nyata. Performans bobot dan kondisi badan sapi induk kelompok kontrol saat awal bunting yang nyata lebih besar dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan masih kuatnya anggapan para peternak di lokasi penelitian bahwa untuk mudah bunting, sapi induk harus gemuk sehingga pemberian pakannya cenderung lebih banyak. Melalui pembinaan secara intensif selama setahun, secara bertahap anggapan tersebut di peternak kelompok perlakuan mulai berkurang sehingga peternak mulai mengefisiensikan pemberian pakannya. Akibatnya, bobot dan kondisi badan sapi kelompok perlakuan menjadi lebih rendah. Bobot dan kondisi badan sapi induk di awal kebuntingan yang lebih rendah pada kelompok perlakuan, tampak tidak berpengaruh negatif terhadap pencapaian bobot badan induk saat awal menyusui sampai menyapih pedetnya.
155
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Bobot dan kondisi badan sapi induk yang tetap tinggi di awal menyusui ini diharapkan berpengaruh positip terhadap pertumbuhan pedetnya selama prasapih dan terhadap pencapaian an oestrus post partus (APP). WINUGROHO (1992) menyatakan bahwa induk sapi yang selama menyusui pedetnya sampai kehilangan bobot badan di atas 22% dari saat beranak, akan terganggu ke abnormalan fungsi ovariumnya sehingga akan tertunda terjadinya APP. Bobot dan kondisi badan induk saat menyapih pedetnya umur 205 hari pada kelompok perlakuan yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, membuktikan dua hal positif, yaitu: (1) pemahaman yang lebih benar dan efisien dalam pemberian pakan mampu menjaga penurunan bobot dan kondisi badan sapi induk agar tidak terlalu besar selama menyusui pedetnya; (2) bobot badan sapi induk yang tetap terjaga sampai saat menyapih pedetnya, diharapkan akan mempercepat timbulnya APP sehingga jarak beranak (calving interval (CI)) induk dapat diperpendek. Semakin besar proporsi darah sapi Bos taurus tampak menyebabkan semakin membesar nya bobot badan pedet saat lahir, bahkan dengan perbaikan tatalaksana pemeliharaan seperti yang dialami sapi induk kelompok perlakuan menjadi nyata yang terbesar. Hal ini terjadi karena secara genetik Bos taurus adalah sapi bertipe tubuh besar (ANONIMUS, 2002) sehingga pedet silangan tiga bangsa yang berarti mempunyai proporsi darah Bos taurus sebesar 75% (lebih besar dibanding pedet silangan dua bangsa yang hanya 50%), akan mempunyai bobot lahir yang lebih besar dibandingkan dengan dua bangsa, terlebih apabila selama buntingnya induk mendapat pakan yang lebih baik. Hal yang serupa dikatakan PHILLIPS (2001), yaitu bobot lahir pedet banyak dipengaruhi oleh genetiknya/bangsa kedua tetuanya, sehingga peningkatan proporsi darah Bos taurus dari 50% pada sapi silangan dua bangsa menjadi 75% pada tiga bangsa, secara genetik akan menghasilkan pedet dengan bobot lahir yang semakin besar. Pemberian pakan yang cenderung berlebihan selama induk sapi menyusui, seperti yang terjadi pada sapi induk kelompok kontrol,
156
akan menyebabkan pedetnya mendapat lebih banyak susu, sehingga pertumbuhan prasapihnya menjadi nyata lebih besar dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Proporsi darah Bos taurus yang lebih besar pada sapi silangan tiga bangsa, terlebih yang mendapatkan pakan yang lebih banyak, akan menyebabkan sapi lebih mampu menunjukkan keunggulan potensi genetiknya, yaitu mempunyai kecepatan pertumbuhan yang nyata lebih besar. Hal ini sesuai pendapat Mc DONALD, (2000) yang menyatakan bahwa dengan perlakuan pakan yang baik, sapi Bos taurus akan menghasilkan pertambahan PBBH yang cukup besar. Keragaan reproduksi induk Keragaan reproduksi induk sapi materi penelitian, datanya tertera pada Tabel 3 yang menunjukkan bahwa: (1) umur estrus pertama sapi dara antar kelompok silangan maupun antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata kecuali pada sapi dara silangan tiga bangsa dari kelompok kontrol yang nyata (P < 0,05) paling tua; (2) umur kawin pertama antara sapi dara silangan PO X Sim dengan PO X Lim tidak berbeda nyata pada kelompok perlakuan, tetapi pada kontrol adalah saling berbeda nyata (P < 0,05). Hasil pengamatan sapi silangan PO X Lim dengan silangan tiga bangsa pada kelompok kontrol adalah saling tidak berbeda nyata, tetapi nyata (P < 0,05) yang paling tua; dibandingan dengan antar silangan dan antar kelompok perlakuan lainnya; (3) S/C induk sapi silangan PO X Sim dan PO X Lim adalah saling tidak berbeda nyata, tetapi pada kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih efisien dibandingkan dengan kontrol; (4) anoestrus post partus induk sapi silangan pada kelompok perlakuan adalah saling tidak berbeda nyata, tetapi nyata (P < 0,05) yang tercepat dibandingkan dengan induk sapi silangan PO X Sim kelompok kontrol maupun induk sapi silangan PO X Lim kelompok kontrol; (5) Calving interval induk sapi silangan PO X Lim kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) yang terpendek, kemudian disusul silangan PO X Sim di semua kelompok dan yang terlama sapi silangan PO X Lim kelompok kontrol.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Rataan keragaan reproduksi induk sapi antara kelompo perlakuan dengan kontrol Perlakuan
Variabel Po X Sim Umur estrus (bulan)
pertama
Umur kawin pertama (bulan) Service/Conseption
a
PO X Lim
Kontrol 3 bangsa
15,5
a
15,0
15,0
16,5ab
16,3a
Td
2,3a
2,2a
a
a
Po X Sim
3 bangsa
a
16,3b
17,0b
18,0c
18,3c
Td
2,6b
2,6b
Td
a
b
c
Td Td
15,5
a
PO X Lim 15,5
Anoestrus post partus (hari)
131
128
Td
164
239
Calving Interval (hari)
445b
369a
Td
479b
594c
a,b,c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) td = tidak ada data, karena sapi silangan tiga bangsa belum beranak
Perbedaan silangan maupun proporsi darah Bos taurus, tampak tidak nyata mempengaruhi pencapaian umur estrus pertama sapi yang lebih awal, kecuali pada sapi silangan tiga bangsa di kelompok kontrol nyata (P < 0,05) lebih lama. Hal ini diduga terjadi karena sapi silangan 3 bangsa, terutama yang di kelompok kontrol, mempunyai badan yang gemuk, sehingga diduga berpengaruh menghambat pencapaian estrus pertamanya. WESTHUIZEN, et al. (2001) menyatakan bahwa pencapaian bobot badan tertentu pada sapi akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan pencapaian umur tertentu dalam menentukan kapan terjadinya estrus yang pertama, namun HAMMACK (2004) menyatakan bahwa kegemukan saat dara akan mengalami estrus pertama pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan yang badannya lebih kurus. Sementara itu, pembinaan secara intensif terhadap kelompok tampak belum nyata mempercepat umur pencapaian estrus pertama pada sapinya. Hal ini terjadi karena waktu pembinaan terhadap peternak anggota kelompok yang belum lama, sehingga belum mampu merubah tatalaksana pemeliharaan. Pencapaian umur estrus pertama sapi silangan induk yang lebih lambat, tampak menyebabkan peternak mengawinkan yang pertama sapinya pada umur yang lebih tua. Kebiasaan peternak di lokasi penelitian adalah akan mengawinkan yang pertama sapinya, satu atau dua siklus berikutnya dari estrus yang pertamanya.
Penjelasan yang lebih lengkap dan disertai dengan contoh langsung tentang beberapa tanda-tanda utama sapi yang sedang mengalami estrus, tampak secara nyata (P < 0,1) mampu meningkatkan efisiensi (menurunkan nilai) S/C sapi silangan induk. AFFANDHY, et al. (2002) menyatakan bahwa efisiensi S/C sapi juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti keterampilan deteksi birahi oleh peternak. Hasil pembinaan tampak menyebabkan peternak anggota kelompok perlakuan mampu menjaga bobot dan kondisi badan sapinya, sehingga terjadinya APP antara sapi SIMPO dan LIMPO induk di akhir menyusui/awal menyapih pedet menjadi saling tidak berbeda nyata. Berbeda dengan sapi yang di kelompok kontrol, menyusunya pedet ke induk dan kurang cukupnya nutrien ransum induk selama menyusui, terutama pada sapi induk LIMPO, menyebabkan bobot dan kondisi badan sapi induk di akhir menyusui/awal menyapih menjadi buruk. Akibatnya, APP sapi induk, terutama LIMPO, menjadi nyata (P < 0,01) lebih lama dibandingkan dengan sapi induk kelompok perlakuan. WESTHUIZEN et al. (2001) menyatakan bahwa cepat lambatnya seekor sapi induk mengalami APP, adalah lebih ditentukan oleh cepat lambatnya induk tersebut mencapai kembali ke berat badan tertentu untuk mampu mengalami estrus kembali setelah beranak, bukan oleh lama waktu dari setelah beranak.
157
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kurang berhasilnya Kecenderungan peternak kelompok perlakuan untuk lebih mempercepat terjadinya APP dan menurunkan nilai S/C sapi silangan SIMPO induk, menyebabkan CI sapinya nyata (P < 0,01) lebih lama dibandingkan dengan sapi silangan LIMPO induk. Sementara pada kelompok kontrol, kemampuan peternak yang kurang benar mengetahui tanda-tanda sapi induk yang sedang birahi, terutama pada sapi silangan LIMPO induk, menyebabkan CI sapinya menjadi nyata (P < 0,01) yang paling lama. Pemberian ransum Data komposisi bahan pakan penyusun ransum sapi perlakuan dan sapi kontrol termuat pada Gambar 1. Sedangkan jumlah bahan kering dan harga ransum yang diberikan ke ternak, tercantum dalam Tabel 4. Hasil yang nyata dari pengaruh pembinaan kelompok, adalah terjadinya perbaikan ransum
JP
PT
yang diberikan ke sapinya. Gambar 1 menunjukkan hal tersebut, yaitu peningkatan persentase pemberian bahan-bahan pakan yang lebih berkualitas, seperti rumput dan dedak padi, akan menurunkan pemberian bahanbahan pakan yang kurang berkualitas seperti jerami padi dan daun tebu. Adanya perubahan persentase pemberian bahan-bahan pakan ini diharapkan akan meningkatkan kualitas ransumnya. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah bahan kering (BK) ransum yang diberikan sapi perlakuan pada status fisiologis lepas sapih sampai umur yearling dan induk kering, terbukti nyata (P < 0,05) lebih mendekati kebutuhan ternaknya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Adanya perbaikan terhadap kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan ke sapinya ini, tampak menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap biaya ransum, dan diharapkan akan lebih mendukung/ mampu meningkatkan produktivitas sapi. FATIMAH (2000) menyatakan bahwa biaya pakan usaha
DP
JP
PT
DP
RG
RL RL
RG
(B)
(A)
Gambar 1. Komposisi pakan (A) Komposisi pakan penyusun ransum sapi perlakuan; (B) Komposisi pakan penyusun ransum sapi kontrol
RL = rumput lapang; RG = rumput gajah; JP = jerami padi; PT = pucuk tebu: DP = dedak padi Tabel 4. Jumlah pemberian bahan kering ransum sapi penelitian Status fisiologis ternak
Perlakuan
Kontrol
kg/ekor/hari
% BB
Rp./ekor/hari
kg/ekor/hari
% BB
Rp./ekor/hari
5,5
4,0 a
2850
7,3
5,0 b
2566
Yearling
7,3
3,5
a
3757
10,6
4,5
b
4242
Induk kering
10,4
3,0 b
5239
6,6
2,0 a
3312
Induk bunting
14,7
3,5
5564
12,4
3,0
4745
Induk laktasi/menyusui
14,6
4,0
4366
14,1
4,0
4220
Lepas sapih
a, b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05)
158
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
sapi potong bisa mencapai 89,23% dari total biaya operasional, sehingga besar kecilnya keuntungan usaha sangat dipengaruhi oleh tingkat efisien pengeluaran biaya pakannya. Keragaan ukuran tubuh sapi Hasil pengukuran tubuh induk dan anak sapi materi penelitian, rataannya tercantum dalam Tabel 5. Tampak bahwa ukuran tubuh (PB, TG dan LD) induk sapi silangan dua bangsa pada berbagai status fisiologis pada kelompok perlakuan adalah tidak berbeda nyata dengan kontrolnya, kecuali pada LD induk sapi saat awal dan saat akhir menyusui pada kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ukuran tubuh pedet saat lahir adalah tidak nyata dipengaruhi oleh tingkatan silangan, tetapi pada kelompok induk perlakuan adalah nyata (P < 0,05) lebih kecil dibandingkan dengan kontrol.
Saat sapih umur 205 hari, ukuran tubuh pedet silangan dua bangsa di kelompok induk perlakuan maupun kontrol adalah nyata (P < 0,05) lebih besar dibandingkan dengan silangan tiga bangsanya. Sementara pedet yang berasal dari induk kelompok perlakuan, nyata (P < 0,05) mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol. Anak sapi umur 365 hari, ukuran tubuh sapi silangan dua bangsa kelompok perlakuan adalah tidak berbeda nyata dengan silangan tiga bangsa kelompok kontrol, sedangkan sapi silangan tiga bangsa kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,05) terbesar. Ukuran lingkar dada (LD) adalah bagian dari gambaran berat badan seekor ternak. LD sapi silangan induk materi perlakuan di awal menyusui yang nyata lebih besar dibanding sapi induk materi kontrol, terbukti nyata mampu dipertahankan tetap lebih tinggi saat sapi induk mulai menyapih pedetnya. LD sapi induk yang lebih tinggi ini diharapkan akan lebih mempercepat timbulnya kembali APP.
Tabel 5. Rataan ukuran tubuh induk dan anak sapi penelitian (cm) Status fisiologis Induk awal bunting
Induk awal menyusui
Induk awal menyapih
Anak lahir
Anak sapih 205 hari
Kontrol
2 bangsa
3 bangsa
2 bangsa
3 bangsa
PB
133,9
td
138,5
Td
TG
129,2
td
132,2
td
LD
160,1
td
153,7
td
PB
133,9
td
134,2
Td
TG
131,6
td
126,0
td
LD
169,3
b
td
161,4
a
td
PB
132,8
td
138,0
Td
TG
131,0
td
130,8
td
LD
157,4
b
td
150,6
a
PB
65,7a
67,7a
76,7b
68,0a
TG
71,3a
69,7a
81,0b
81,0b
td
LD
86,3
88,5
89,0
85,0
PB
91,2ab
89,7a
101,3c
95,3b
TG
96,5b
89,5a
103,9c
94,7b
LD Anak 365 hari
Perlakuan
Variabel
114,7
b
108,2
a
b
106,7a
b
114,6
PB
a
109,6
td
116,8
111,8a
TG
111,4a
td
119,4b
112,0a
LD
a
td
b
127,8a
126,6
133,1
a, b, c Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P < 0,05) td = tidak ada data
159
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Ukuran tubuh pedet saat lahir yang berasal dari induk kelompok perlakuan adalah tidak nyata dipengaruhi oleh besarnya proporsi darah silangannya. Sementara pada kelompok kontrol, pedet silangan dua bangsa adalah nyata mempunyai ukuran tubuh saat lahir yang terbesar. Pada induk kelompok perlakuan maupun kontrol, ukuran tubuh saat sapih pedet silangan dua bangsa adalah nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapih silangan tiga bangsa. Pedet yang saat lahir mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, tampak nyata akan mempunyai ukuran yang lebih besar pula saat disapih umur 205 hari maupun saat berumur 365 hari. Pertumbuhan sapi umur 365 hari tampak dipengaruhi oleh potensi genetiknya dan didukung oleh lingkungan hidupnya. Sapi silangan tiga bangsa yang secara genetik mempunyai potensi pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan silangan dua bangsa, akan mampu mencapai berat badan saat umur 365 hari yang lebih besar apabila berada di lingkungan yang lebih mendukung. ARYOGI (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan badan sapi potong silangan muda adalah sangat dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Nilai tambah pemeliharaan anak sapi potong silangan Perhitungan sederhana tentang nilai tambah pemeliharaan anak sapi potong silangan, yaitu hanya melihat selisih antara harga pedet saat lepas sapih (LS) umur 205 hari ditambah harga ADG pedet dari LS sampai Yearling (Yrl)
umur 365 hari dengan biaya pakan pedet sampai yearling, datanya tercantum di Tabel 6. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai tambah pemeliharaan anak sapi potong silangan dari induk kelompok perlakuan adalah jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 218% dari kelompok kontrol. Perbaikan kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan ke sapi silangan induk laktasi kelompok perlakuan menyebabkan terjadinya peningkatan biaya ransum, tetapi pengaruhnya ke pedet yang menyusuinya adalah menurunkan biaya ransum pedet sampai umur sapih 205 hari. Bobot badan yang tinggi saat disapih pada pedet yang berasal dari induk kelompok kontrol, menuntut konsumsi ransum yang lebih banyak sehingga biaya ransum pedet lepas sapih yang lebih murah tidak nyata menyebabkan penurunan total biaya ransum yang dibutuhkan pedet dari lepas sapih sampai umur yearling. Walaupun bobot dan ukuran badan pedet lepas sapih yang berasal dari induk kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kontrolnya, ternyata harga jual ternaknya tidak jauh berbeda. Sementara ADG pedet mulai LS sampai umur yearling dari induk kelompok perlakuan yang sedikit lebih besar, belum mampu menyebabkan peningkatan harga ADG nya dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan kejadian tersebut, maka tampak bahwa meningkatnya nilai tambah pemeliharaan anak sapi sampai umur yearling pada induk kelompok perlakuan, berasal dari hasil penghematan biaya pakan pedet selama prasapih.
Tabel 6. Nilai tambah pemeliharaan sapi potong silangan sampai Yearling (Rp. 000/ekor) Keterangan
Perlakuan
Kontrol
* sampai LS*
29 hari x 4,2 kg x Rp. 4.366 = Rp.531,8
61 hari x 4,0 kg x Rp. 4.220 = Rp. 1.029,7
* LS sampai Yrl
160 hari x 5,5 kg x Rp. 3.500 = Rp. 3.080 160 hari x 7,3 kg x Rp. 2.566 = Rp. 2.997,1
Biaya pakan
Harga pedet LS Harga ADG LS ke Yrl Nilai tambah ternak
Rp. 3.150
Rp. 3.000
0,70 kg x 16,0 x 160 hari = Rp. 1.792
0,66 kg x 15,5 x 160 hari = Rp. 1.636,8
Rp. 1.330,2
Rp. 610,0
* : Pedet dari induk perlakuan, rata-rata disapih pada umur sekitar 6 bulan (176 hari) : Pedet dari induk kontrol, rata-rata disapih pada umur sekitar 5 bulan (144 hari)
160
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN
MC. DONALD. 2000. Limousins Double Beef cattle Production in Indonesia. (on line).
Performans produktivitas (produksi dan reproduksi) dan efisiensi usaha sapi silangan Peranakan Ongole dapat ditingkatkan melalui pengaktifan fungsi dan pembinaan kelompok.
PHILLIPS, A. 2001. Genetic Effects on The Productivity of Beef Cattle. http://www.Dpif. nt.gov.au/dpif/pubcat.
DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, D.B. WIJONO, ARYOGI dan P.W. PRIHANDINI. 2002. Evaluasi dan Alternatif Pengelolaan Reproduksi Usaha Ternak Sapi Potong pada Kondisi Lapang. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong. ANONIMUS. 2002. Breed of Livestock. http://animal science.tamu.edu/ansc/publication/beef-pubs. ARYOGI. 2005. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi Terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole di Jawa Timur. Tesis S-2. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. CHAPMAN, C.K. and D. ZOBELL. 2004. Applying Principles of Crossbreeding. Extension Utahstate University, May, 2004. pp. 1 – 4. FATIMAH, S. 2000. Pendapatan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Bululawang Kabupaten . Malang. JIIP 11(3): 45 – 49. FRAHMM, R.R. 1998. System of Crossbreeding. Cooperative Extension Service, Division of Agriculture, Oklahoma State University. HAMMACK, P.S. 2004. Genetic Strategies for Beef Cow Herds. http://animalscience.tamu.edu/ ansc/publications/beefpubs. HAMMACK, S.P. 1998, Breeding Systems for Beef Production. Agricultural Communications, The Texas A&M University System.
PURNOMOADI, A., A.W. BELLA dan S. DARTOSUKARNO. 2003. Chewing efficiency of Onggole crossbred and Limousin crossbred steers fed fermented rice straw and concentrates. Pros. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 104 – 105. SIREGAR, A.R., J. BESTARI, R.H. MATONDANG, Y. SANI dan H. PANJAITAN. 1999. Penentuan breeding sapi potong program IB di Propinsi Sumatera Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 113 – 121. SUTAWI. 2002. Studi pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penggemukan sapi potong impor. J. Ilmiah Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Muhamadiyah Malang. pp. 265 – 272. WESTHUIZEN, R.R., S.J. SCHOEMAN, G.F. JORDAN and J.B. VAN WYK. 2001. Genetic Parameters for Reproductive Traits In A Beef Cattle Herd Estimated Using Multitrait Analysis. http:// www.sasas.co.za/sajas.html WINUGROHO, M. 1992. Feeding draught animals in Indonesia. Aciar Proc. Draugh Animal Power in the Asian-Australian Region. 46: 109 – 112. YUSRAN, M.A., T. PURWANTO, B. SURYANTO, SUGIYANE M.P and B. SUDARMADI. 1998. Current status of post partum anestrus interval of Peranakan Ongole cows in dry land areas of East Java in relation to feed supply. Bull. Anim.Sci. Suppl. Ed. 1998: 44 – 50.
161