Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
POLA PEMBIBITAN SAPI POTONG LOKAL PERANAKAN ONGOLE PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT (The Cow Calf Operation of Peranakan Ongole Cattle in Farmers Condition) ARYOGI, P.W. PRIHANDINI dan D.B. WIJONO Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT The developing and preservation effort of local beef cattle decided require of cow local cattle, so its availability still needed. This research was done from Januari until December 2005 with aim to known efficiency increasing of peranakan ongole (PO) cow calf operation effort. Object of this research were 13 heads of PO cows with 10 heads of its calves as the treatment group and 11 heads of PO cow with 14 heads of its calves as the control group that are reared by farmers at Purwosari, Sukorejo and Prigen sub district. The farmers at treatment group received founding by Beef Cattle Research Instalation and Animal Husbandry Agency of Pasuruan regency about increasing effort of rear efficiency pass through management improvement of ration, reproduction and veterinary. The parameters were: growth and production of cattle, variation and number also price of ration consumption, performance reproduction of cow, and added value of calf operation. The research stacked using CRD; the quantitative data was analysed by t-test and the qualitative data was served descriptive. The result showed that: decreasing daily gain of cows during lactation in treatment group ware significant (P < 0.01) smaller than control group (-0.060 with – 0.115 kg); reproduction performance of cows in treatment group was significant (P < 0.01) more efficient than control group (APP = 5.5 with 7.7 months; S/C = 1.4 with 1.9; CI = 18.3 with 21.2 months); consumption of dry matter ration in treatment group at all physiology fase of cattles ware significant (P < 0,01) smaller than control group (3.64 with 6.29 kg/cattle unit/day); body size until 205 days age of calves that come from cows in treatment group were significant (P < 0,01) smaller than control group; added value operation until 365 days age of calves that come from cows in treatment group were 1.87% higher than control group (Rp. 2.667.720 with Rp. 2.617.760 per head). Conclusion of this research were efficiency of PO cow calf operation at farmers condition could be increased by repaired of farmer effort pattern pass through establishment of its farmer group members. Key Words: Cow Calf Operation, Peranakan Ongole Cattle, Farmers ABSTRAK Usaha pengembangan maupun pelestarian sapi potong lokal tetap akan membutuhkan sapi lokal sebagai indukannya, sehingga ketersediaannya tetap dibutuhkan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2005 dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan efisiensi usaha pembibitan sapi lokal PO. Materi yang digunakan adalah sapi PO yang dipelihara peternak rakyat di Kecamatan Purwosari, Sukorejo dan Prigen dengan jumlah pada kelompok perlakuan adalah 13 ekor induk dengan 10 ekor anaknya, sedang pada kelompok kontrol adalah 11ekor induk dengan 14 ekor anaknya. Peternak yang memelihara sapi perlakuan, secara berkala mendapat pembinaan dari Tim Lolitsapo dan Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan tentang upaya meningkatkan efisiensi usaha melalui perbaikan tatalaksana pemberian pakan, reproduksi dan kesehatan ternak. Parameter yang diamati secara berkala meliputi: Pertumbuhan dan produksi ternak, ragam dan jumlah serta harga ransum yang dikonsumsi ternak, performans reproduksi sapi induk, serta nilai tambah pemeliharaan anak sapi. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah; data yang diperoleh, yang kuantitatif dianalisis menggunakan uji beda mean (t-test) sedang yang kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: penurunan berat badan harian sapi induk selama laktasi pada kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,01) lebih kecil dibandingkan dengan kontrol (-0,060 dengan -0,115 kg); performans reproduksi sapi induk kelompok perlakuan adalah nyata (P < 0,01) lebih efisien dibandingkan dengan kontrol (APP = 5,5 dengan 7,7 bulan; S/C = 1,4 dengan 1,9; CI = 18,3 dengan 21,2 bulan); ransum yang dikonsumsi sapi perlakuan di semua status fisiologis ternak lebih beragam dan nyata (P < 0,01) lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol (3,64 dengan 6,29 kg/UT/hari); ukuran tubuh anak sapi sejak lahir sampai umur 205 hari dari induk kelompok perlakuan adalah nyata
192
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
(P < 0,01) lebih kecil dibandingkan dengan kontrol; serta nilai tambah pemeliharaan anak sapi sampai umur 365 hari dari induk kelompok perlakuan adalah lebih tinggi 1,87% dibandingkan dengan kontrol (Rp. 2.667.720 dengan Rp. 2.617.760 per ekor). Kesimpulannya, efisiensi usaha pembibitan sapi potong lokal peranakan ongole kondisi peternakan rakyat dapat ditingkatkan dengan memperbaiki pola pemeliharaannya melalui pembinaan terhadap anggota kelompok peternak. Kata Kunci: Pola Pembibitan, Sapi Peranakan Ongole, Peternakan Rakyat
PENDAHULUAN Upaya pengembangan perbibitan sapi potong lokal di dalam negeri merupakan langkah strategis dalam penyediaan bibit dan bakalan untuk usaha penggemukan sapi skala nasional di masa yang akan datang. Kebutuhan bakalan sapi potong yang semakin meningkat dan melebihi ketersediannya yang masih sangat terbatas, menyebabkan penyediaan bibit/ bakalan dilakukan dengan impor. Hal ini berdampak pada fluktuasi harga, sehingga sangat mendesak diperlukan adanya produksi bakalan lokal di dalam negeri. Penyediaan bibit/bakalan dari dalam negeri juga berdampak sekaligus membuka peluang usaha dan pengembangan sapi potong. Untuk pelaksanaan penyediaan bibit/bakalan sapi potong lokal PO dari peternakan rakyat, diperlukan suatu pola pemeliharaan cow calf operation sapi potong lokal model peternakan rakyat. Persilangan antara sapi potong lokal dengan sapi Bos taurus yang telah berlangsung beberapa tahun melalui program IB, disamping secara langsung dapat mengancam pelestarian sumber genetik sapi potong lokal PO. Pelaksanaannya belum mempunyai arah, tujuan dan sasaran yang jelas, dan masih sekedar menyilangkan sapi lokal (terutama sapi PO) dengan sapi Bos taurus, yaitu tergantung pada kesenangan dan kemampuan peternak. Sementara pemanfatan teknologi penggemukan sapi impor, dirasakan masih belum mampu dilaksanakan secara baik oleh peternak (SUTAWI, 2002). Sapi potong lokal seperti sapi PO, sesuai dengan tipe yang termasuk sedang sampai kecil (ANONIMUS, 2002), memang mempunyai laju pertumbuhan/pertambahan bobot hidup yang tidak sebesar sapi bangsa Bos taurus dan silangannya. Namun apabila dipelihara pada kondisi (semi) ekstensif, produktivitas sapi lokal PO banyak terbukti tidak kalah bahkan lebih tinggi dibanding sapi Bos taurus dan silangannya. AFFANDHY et al. (2003)
menyatakan bahwa perubahan sapi lokal PO menjadi sapi silangan SIMPO atau LIMPO, pengembangannya membutuhkan dukungan pakan secara kualitas dan kuantitas. Selanjutnya YUSRAN et al. (1998) menyatakan bahwa apabila dukungan pakan ini tidak ada maka akan menurunkan efisiensi reproduksi sapinya. Propinsi Jawa Timur sebagai salah satu kantong sapi potong terbesar di Indonesia (sekitar 30% populasi nasional) menurut menurut ANONIMUS (2003) mempunyai populasi sapi PO hampir 500.000 ekor. Sapi potong lokal PO telah lama terbukti mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis seperti di wilayah Indonesia, yaitu tahan terhadap temperatur dan kelembaban udara yang tinggi serta kondisi kualitas dan kuantitas pakan yang minimal (ARYOGI, 2005); bertipe sapi dwiguna (pekerja dan pedaging); aktivitas reproduksinya cukup efisien; serta produksi semen jantannya mempunyai kualitas yang bagus (AFFANDHY et al., 2002). Berdasarkan beberapa kondisi tersebut, maka mendorong Loka Penelitian Sapi Potong di Grati berupaya memulai usaha pelestarian dan pengembangan sapi potong lokal PO. Sebagai langkah awal adalah mengidentifikasi dan memperbaiki pola pembibitan sapi potong lokal peranakan ongole pada kondisi peternakan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan efisiensi usaha pembibitan sapi lokal PO, yaitu membandingkan antara pola pembibitan rakyat (sebagai kontrol) dengan pola pembibitan rakyat yang diperbaiki tatalaksana pemeliharaannya (sebagai perlakuan). MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama tahun 2005 dan merupakan salah satu upaya pelestarian dan peningkatan pemanfaatan sumber plasma nutfah sapi potong lokal PO. Materi yang
193
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
digunakan adalah sapi PO yang dipelihara rakyat di Kecamatan Purwosari, Sukorejo dan Prigen dengan jumlah pada kelompok perlakuan adalah 13 ekor induk dengan 10 ekor anaknya, sedang pada kelompok kontrol adalah 11 ekor induk dengan 14 ekor anaknya. Kelompok perlakuan adalah peternak yang menggaduh sapi dan mendapat perbaikan tatalaksana pemeliharaan ternak, sedang kelompok kontrol adalah peternak yang tidak menggaduh sapi dan memelihara ternaknya sesuai tatalaksana yang biasa dilakukannya. Upaya meningkatkan efisiensi usaha pembibitan sapi lokal PO dilakukan dengan memperbaiki tatalaksana pemeliharaan ternak, yaitu diarahkan untuk meningkatkan efisiensi usaha pembibitan. Upaya dimaksud adalah: perbaikan pemberian pakan yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan ternak; pengobatan cacing secara berkala; perbaikan reproduksi induk yang meliputi upaya mempercepat timbulnya estrus kembali setelah beranak (APP) melalui penyapihan pedet paling lambat saat berumur 5 bulan dan penambahan sedikit pakan tambahan selain rumput (dedak padi/jagung atau leguminosa) selama menyusui. Deteksi birahi secara visual melalui pengamatan ciri-ciri spesifik pada organ reproduksi luar sapi secara lebih intensif dan pelaksanaan perkawinan yang tepat (ketika terjadi APP sapi langsung dikawinkan, pelaksanaannya tidak lebih dari 18 jam setelah tanda-tanda birahi terdeteksi); serta perawatan induk bunting untuk mencegah terjadinya kematian pedet pralahir sampai lepas sapih melalui pengurangan penggunaan sapi sebagai pekerja di lahan pertanian, pemberian ransum yang lebih berkualitas mulai 2 bulan terakhir umur kebuntingan sampai pedet umur 4 bulan dan pemisahan sapi induk beserta pedet prasapihnya dari sapi-sapi dewasa lainnya. Parameter yang diamati meliputi: a. Pertumbuhan dan produksi ternak yang meliputi ukuran linier tubuh (panjang badan, tinggi gumba, lingkar dada), bobot hidup dan skor kondisi tubuh sapi saat lahir, saat umur 205 dan 365 hari, serta saat awa ldan akhir kebuntingan maupun menyusui. b. Ragam pakan penyusun ransum, jumlah konsumsi bahan kering ransum dan harga ransum yang dikonsumsi ternak yang diamati secara berkala.
194
c. Performans reproduksi sapi induk yang meliputi anoestrus post partus (APP), service per conseption (S/C) dan calving interval (CI). d. Biaya produksi dan nilai tambah pemeliharaan anak sapi. Biaya produksi meliputi biaya pengeluaran pakan; nilai tambah meliputi hasil jual pedet dan pertambahan bobot hidup sapih hingga dara. Analisis data Penelitian disusun untuk membandingkan performans sapi materi penelitian antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Data yang diperoleh, yang kuantitatif dianalisis menggunakan uji beda mean (t-test) sedang yang kualitatif disajikan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Performans pertumbuhan dan produksi sapi Data performans pertumbuhan dan produksi sapi induk maupun pedet terlihat pada Tabel 1. Bobot hidup sapi PO induk saat awal dan akhir kebuntingan pada kelompok perlakuan yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol, menyebabkan PBHH selama buntingnya menjadi juga tidak berbeda nyata. TILLMAN et al. (1998) menyatakan bahwa sapi induk yang sedang bunting akan mendahulukan pemanfaatan nutrien yang dikonsumsi dan yang disimpan di dalam tubuhnya untuk perkembangan foetusnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh pembinaan yang antara lain mengajak peternak untuk lebih efisien dalam pemanfaatan ransum melalui pemberian ransum berdasar kebutuhan ternak yang sebenarnya sesuai status fisiologis dan bobot hidup ternaknya, terbukti tidak mengganggu perkembangan ternak selama fase bunting (induk maupun foetusnya). Bobot hidup sapi induk pada awal dan akhir laktasi antara kelompok perlakuan dengan kontrol adalah saling tidak berbeda. Namun untuk penurunan bobot hidup harian induk selama laktasi (PBHH negatif), ternyata sapi induk kelompok perlakuan nyata (P < 0,01) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Rata-rata performans pertumbuhan dan produksi sapi induk dan anaknya Parameter/Variabel
Perlakuan
Kontrol
Induk Jumlah ternak (ekor)
13
11
Bobot hidup awal bunting (kg)
306,9
305,4
Bobot akhir bunting (kg)
328,2
333,0
PBHH selama bunting (kg)
0,08
0,10
Bobot hidup awal laktasi (kg)
302,3
304,9
Bobot hidup akhir laktasi (kg) PBHH selama laktasi (kg)
289,9
281,3
-0,060 a
-0,115 b
Anak Jumlah ternak (ekor)
a,b
10
14
Bpbpt lahir (kg)
21,1
24,5
Bobot hidup umur 205 hari (kg)
104,6
109,0
Bobot hidup umur 365 hari (kg)
150,0
166,4
PBHH antar umur 205 – 365 hari (kg)
0,28
0,36
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah saling berbeda nyata (P < 0,01)
Penurunan bobot hidup sapi induk selama menyusui dapat dikendalikan sehingga tidak terlalu besar dan diharapkan akan berdampak positip mempercepat terjadi APP. Bobot hidup anak dan pertumbuhan anak sapi mulai lahir sampai mencapai umur 365 hari dari induk di kedua kelompok perlakuan, ternyata saling tidak berbeda nyata. HAMMACK (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan pedet selama prasapih akan sangat ditentukan oleh kemampuan induknya dalam memproduksi susu untuk memenuhi kebutuhan pedetnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diduga bahwa perubahan pemberian pakan yang menuju ke jumlah yang lebih efisien sesuai kebutuhan ternaknya pada sapi induk kelompok perlakuan mulai awal kebuntingan sampai akhir menyusui tidak menyebabkan terjadinya penurunan kamampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrien untuk pedet. Performans reproduksi sapi induk Hasil pengamatan terhadap performans reproduksi sapi induk, tercantum dalam Tabel 2. Terjadinya APP sapi induk kelompok perlakuan yang nyata (P < 0,01) lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hal tersebut disebabkan oleh umur penyapihan pedet yang lebih awal (dari paling cepat 7 bulan menjadi paling lambat 5 bulan), pengenalan peternak terhadap tanda-tanda lain pada sapi birahi (dari hanya berupa suara sapi menjadi ditambah dengan keluarnya lendir dan memerahnya warna organ reproduksi sapi induk) dan lebih seringnya peternak menyempatkan waktu mendeteksi tanda-tanda birahi secara visual (dari hanya saat sapi tidak mau makan dan bersuara menjadi setiap memberikan pakan ke kandang). WESTHUIZEN et al. (2001) menyatakan bahwa penyapihan pedet yang lebih awal akan mempercepat kembalinya kondisi badan induk dan kembalinya sekresi hormon yang mendukung perkembangan ovarium, sehingga akan mempercepat terjadinya APP. Tabel 2. Rata-rata performans reproduksi sapi induk Variabel reproduksi induk APP (bulan) S/C CI (bulan)
Perlakuan
Kontrol
5,5a
7,7b
a
1,9b
1,4
18,3
a
21,2b
a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah saling berbeda nyata (P < 0,01)
195
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Angka S/C sapi induk kelompok perlakuan yang nyata (P < 0,01) menjadi lebih kecil (lebih efisien) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Diduga disebabkan oleh meningkatnya kemampuan peternak mendeteksi berahi lebih baik. Konsekuensinya pelaksanaan perkawinan yang menggunakan sapi pejantan dapat dilakukan pada waktu yang lebih tepat untuk terjadinya konsepsi. CI sapi induk kelompok perlakuan yang nyata (P < 0,01) menjadi lebih pendek dibanding kelompok kontrol. Hal tersebut merupakan hasil dari semakin cepat terjadinya APP yang ditambah dengan semakin mengecilnya angka S/C.
Komposisi ransum Pembinaan tentang perbaikan pemberian pakan yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan ternak, ternyata mampu mendorong peternak untuk menyediakan ransum dengan bahan-bahan pakan yang lebih beraneka ragam. Ransum sapi kelompok perlakuan (Gambar 1) tersusun dari 4 bahan pakan sumber serat (rumput lapangan, rumput gajah, jerami padi dan jerami jagung) dan 2 bahan pakan sumber energi/protein (dedak padi dan ampas tahu), sedangkan pola peternak (kondisi yang menggambarkan sebelum adanya pembinaan, Gambar 2) hanya terdiri dari 4 bahan pakan sumber serat (rumput lapangan, rumput gajah, daun tebu dan jerami padi).
JJ AT
DP JP
RL
RG
Gambar 1. Komposisi ransum sapi kelompok perlakuan RG = Rumput Gajah; JP = jerami padi; DP = dedak padi; JJ = Jerami jagung; AT = ampas tahu; RL = Rumput lapangan
JP DT RG RL
Gambar 2. Komposisi ransum sapi kelompok kontrol RG = Rumput Gajah; JP = Jerami padi; JJ = Jerami jagung; DT = Daun tebu; RL = Rumput lapangan
196
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Terjadinya perubahan komposisi bahanbahan pakan penyusun ransum pad sapi kelompok perlakukan yang mengarah ke perbaikan kualitas ransum tersebut, diharapkan akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan ransum oleh ternak. Konsumsi bahan kering ransum Data hasil pengamatan terhadap rata-rata konsumsi bahan kering ransum masing-masing status fisiologis sapi selama penelitian, tercantum dalam Tabel 3. Tampak bahwa pembinaan tentang perbaikan pemberian pakan yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan ternak, mampu mendorong peternak anggota kelompok sapi perlakuan untuk memberi ransum dengan jumlah yang mendekati kebutuhan ternak. Sehingga jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi sapi perlakuan pada semua status fisiologis ternak dan rata-rata per UT menjadi nyata (P < 0,01) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok sapi kontrol.
Tabel 3. Konsumsi bahan kering ransum sapi (kg/ekor/hari) Status fisiologis sapi
Perlakuan
Kontrol
1,60
a
2,52 b
Pedet lepas sapih
2,18
a
3,77 b
Muda/Dara
2,91 a
5,03 b
3,64
a
6,29 b
Induk bunting
4,37
a
7,55 b
Induk laktasi
5,46 a
9,44 b
4,37
a
7,56 b
3,64
a
6,29 b
Pedet prasapih
Induk kering
Jantan dewasa Rata-rata per UT a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah saling berbeda nyata (P < 0,01)
Ukuran dan skor kondisi tubuh sapi materi penelitian Pengamatan terhadap ukuran tubuh dan skor kondisi badan pada masing-masing status fisiologis sapi, data tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Ukuran tubuh dan skor kondisi badan masing-masing status fisiologis sapi Parameter/variabel Panjang badan (cm)
Tinggi gumba
Skor kondisi badan
Status fisiologis sapi Lahir Umur 205 hari Umur 365 hari Dara Induk Dewasa Lahir Umur 205 hari Umur 365 hari Dara Induk Dewasa Lahir Umur 205 hari Umur 365 hari Dara Induk Dewasa Lahir Umur 205 hari Umur 365 hari Dara Induk Dewasa
Perlakuan 64,7a 81,7a 96,0 98,0 125,0 130,1 79,1a 93,7a 102,4 110,0 136,0 151,6 67,9 88,3 97,8 101,5 124,1 131,0 5,0 – 5,5 4,5 – 5,0 5,0 – 5,5 5,0 – 5,5 5,5 – 6,0 5,5 – 6,0
Kontrol 71,5b 88,1b 96,8 102,0 130,0 132,5 85,9b 99,0b 105,0 114,5 141,1 153,0 68,6 91,6 99,7 102,0 127,2 132,0 4,5 – 5,0 4,5 – 5,0 5,0 5,0 – 5,5 5,5 – 6,0 5,5
a,b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah saling berbeda nyata (P < 0,01)
197
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Ukuran panjang badan dan lingkar dada saat lahir sampai umur 205 hari pedet yang berasal dari sapi induk kelompok perlakuan, nyata (P < 0,01) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Diduga karena pengaruh konsumsi bahan kering ransum induknya selama bunting sampai menyusui pedet yang nyata lebih kecil (Tabel 3). Pertumbuhan pedet prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan) (HAMMACK, 2004). Mothering ability yang bagus akan mampu memproduksi susu yang banyak dan bagus dalam melindungi pedetnya. Ukuran tubuh yang lebih kecil tersebut ternyata tidak berdampak pada pertumbuhan anak sapi pada umur selanjutnya. PHILLIPS (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan sapi setelah lepas sapih adalah menggambarkan potensi pertumbuhan yang sebenarnya yang dimiliki sapi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka tampak bahwa pengaruh pembinaan yang antara lain menyebabkan terjadinya penurunan jumlah konsumsi ransum sapi, terbukti tidak menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pertumbuhan sapi. Pembinaan tidak nyata mempengaruhi ukuran tubuh sapi induk. Hal ini terjadi karena sapi induk telah tidak mengalami pertumbuhan lagi, sehingga perbaikan tatalaksana pemeliharaan tidak akan banyak berpengaruh terhadap ukuran tubuh ternaknya. Skor kondisi badan sapi juga tidak nyata dipengaruhi oleh pembinaan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya penurunan
jumlah konsumsi bahan kering ransum pada semua status fisiologis sapi, tidak nyata menyebabkan penurunan kondisi badan sapinya. Nilai tambah pemeliharaan anak sapi Nilai tambah pemeliharaan anak sapi PO dihitung secara sederhana, yaitu hanya melihat selisih antara harga pedet lepas sapih (LS) umur 205 hari ditambah harga ADG pedet dari LS sampai Yearling (Yrl) umur 365 hari, dengan biaya pakan pedet sampai yearling. Peternak kelompok perlakuan melalukan penyapihan pedet sesuai anjuran Lolit Sapo, yaitu pada umur 4 bulan (120 – 125 hari), sedang peternak kontrol terbiasa melaku-kan pada umur 3,5 bulan (95 – 100 hari). Data selengkapnya, tercantum di Tabel 5. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai tambah pemeliharaan anak sapi potong silangan dari induk kelompok perlakuan adalah lebih rendah Rp. 49.960 atau 1,87% dibandingkan dengan kontrol. Pembinaan yang telah dilakukan, ternyata belum mampu menyebabkan terjadinya peningkatan yang berarti pada nilai tambah pemeliharaan anak sapi sampai umur 365 hari (1,87% di atas kontrol). Hal ini berarti upaya untuk meningkatkan pendapatan dari anak pada usaha pembibitan sapi potong lokal PO, masih diperlukan dukungan perbaikan pada berbagai sapronaknya, terutama kualitas ransum dan mutu genetik sapinya.
Tabel 5. Nilai tambah pemeliharaan sapi PO sampai Yearling (Rp. 000/ekor) Keterangan
Perlakuan
Kontrol
Biaya pakan *sampai LS*
80 hari x 1,328 = 106,24
105 hari x 2,200 = 231,00
*LS sampai Yrl
160 hari x 1,775 = 284,00
160 hari x 2,933 = 469,28
Harga pedet LS
2. 000,00
2.000,00
Harga ADG dari
0,42 kg x 15,0 x 160 hari = 1.008,00
0,57 kg x 15,0 x 160hari = 1.368,00
2.617,76
2.667,72
LS sampai Yrl Nilai tambah ternak
*Pedet dari induk kelompok perlakuan, rata-rata disapih pada umur 4 bulan (125 hari), pedet dari induk kelompok kontrol, rata-rata disapih pada umur 3,5 bulan (100 hari)
198
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN Efisiensi usaha pembibitan sapi potong lokal Peranakan Ongole pada pola peternakan rakyat, dapat ditingkatkan dengan memperbaiki tatalaksana pemeliharaan ternaknya melalui pembentukan, pembinaan dan pengaktifan fungsi kelompok. DAFTAR PUSTAKA
HAMMACK, S.P. 2004. Genetic-Environmental Interaction In Beef Production. http://animal science. amu.edu/ansc/publications/beefpubs. PHILLIPS, A. 2001. Genetic Effects on The Productivity of Beef Cattle. http://www.Dpif. nt.gov/dpif/publications/beefpubs. SUTAWI. 2002. Studi pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penggemukan sapi potong impor. J. Ilmiah Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Perikanan Univ. Muhamdiyah Malang: hlm. 265 – 272.
AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, D.B. WIJONO, ARYOGI dan P.W. PRIHANDINI. 2002. Evaluasi dan Alternatif Pengelolaan Reproduksi Usaha Ternak Sapi Potong pada Konsisi Lapang. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong.
TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Univ. Gadjah Mada,Yogyakarta.
AFFANDHY, L., D.B. WIJONO, GUNAWAN, D.P. PAMUNGKAS, RUSTAMADJI, SUHARIYONO, WIRASMO dan A. SOETARDJO.2003. Penelitian Pembentukan Bibit Komersial Sapi Potong Melalui Persilangan. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong.
WESTHUIZEN, R.R., S.J. SCHOEMAN, G.F. JORDAN and J.B. VAN WYK. 2001. Genetic Parameters for Reproductive Traits in A Beef Cattle Herd Estimated Using Multitrait Analysis. http://www.sasas.co.za/sajas.html
ANONIMUS. 2002. Breed of Livestock. http://animal science.tamu.edu/ansc/publications/ beefpubs. ANONIMUS, 2003. Model Program Pembibitan Silang. Dinas Peternakan Tk. I Prop. Jawa Timur. Surabaya.
YUSRAN, M.A., T. PURWANTO, B. SURYANTO, SUGIYANE M.P and B. SUDARMADI. 1998. Current status of post partum anestrus interval of Peranakan Ongole cows in dry land areas of East Java in relation to feed supply. Bull. Of Anim.Sci. Supplement Edition, 1998. hlm 44 – 50.
ARYOGI. 2005. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi Terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole di Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
199