Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PEMBIBITAN SAPI LOKAL (PO) DI PETERNAKAN RAKYAT (DESA BODANG KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG) (Breeding of Local Cattle (Ongole Breed) at Smallholder Farms Bodang Village, Padang Subdistric, Lumajang District) PENI WAHYU PRIHANDINI dan U. UMIYASIH Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT A recent development on domestic beef cattle is a strategic step to produce cow breeding stock at the national scale in the future in preparing free market and to reduce import. The goals of this research were to determine potency of breeding local beef cattle (PO) and to establish village breeding center for local cattle (PO) in Bodang village, Padang, Lumajang, East Java. A survey was conducted by observing, monitoring, interviewing and group learning. Twenty six heifers of local beef cattle (PO) were used. They were treated with A type (with feed improvement) by using fourteen local beef cattle (PO) and B type as control (without feed improvement) by using tweleve of local beef cattle (PO). Interview was conducted by questionair to know the knowledge of breed, feed, housing, reproduction and marketing. Inovation technology to increase productivity feed was applied (fermentation stach). The data were analysed descriptively. The result showed that the averages body weigh and body size A were 234,43 ± 17,52 kg; 0,59 ± 0,16 kg; 6,36 ± 0,36 cm; 122,50 ± 4,27 cm; 118,93 ± 4,25 cm; 124,57 ± 3,96 cm; 147,43 ± 6,28 cm; and the averages of body weigh and body size B were 241,00 ± 20,28 kg; 0,34 ± 0,18 kg; 6,75 ± 0,34 cm; 123,58 ± 4,40 cm; 119,92 ± 5,42 cm; 125,92 ± 4,81 cm; 149,08 ± 5,42 cm. The first mating body weigh was 200,2 ± 8,93 kg (A) and 211,9 ± 26,56 kg (B). Services per conception were 2,1 ± 0,7 (A) and 2,5 ± 0,8 (B). The scoring data status of breed, feed, housing, reproduction and marketing increased 0,16; 0,14; 0,11; 0,12 and 0,14, respectively. The results showed the highest score of increase was in breed (0,16) followed by feed and marketing (0,14) while the lowest was in housing aspect (0,11). The type of calf cow operation in farmers’ group was in optimal support by group function leading to the increase in farmers income, however improving beef cattle breeding stocks was needed to develop beef cattle. Key Words: Breeding Local Beef Cattle, Productvity ABSTRAK Upaya pengembangan pembibitan sapi potong di dalam negeri merupakan langkah strategis guna penyediaan bibit sapi skala nasional di masa yang akan datang dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas sekaligus untuk mengurangi ketergantungan impor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model pembibitan sapi lokal (PO) serta pembentukan wilayah sentra pembibitan (village breeding center) penghasil bakalan sapi potong lokal (PO) di peternakan rakyat dilaksanakan di Desa Bodang, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang. Penelitian dilakukan secara survey dan pembinaan kelompok. Observasi dilakukan terhadap 26 ekor sapi calon induk yang dipelihara oleh 26 peternak kooperator. 14 ekor diberikan pola perbaikan (perlakuan A) dan 12 ekor sebagai kontrol (perlakuan B). Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur guna mengetahui pengetahuan, sikap dan ketrampilan peternak dalam aspek: bibit, pakan, perkandangan, reproduksi dan pemasaran. Inovasi teknologi produksi yang diintroduksikan adalah pengelolaan pakan meliputi pembuatan dedak fermentasi serta pemberdayaan kelompok. Analisis data secara diskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata bobot hidup, pertambahan bobot hidup harian (pbhh), skor kondisi tubuh, ukuran linier (panjang badan, tinggi gumba, tinggi pinggul, dan lingkar dada) tubuh sapi induk perlakuan A masing-masing adalah 234,43 ± 17,52 kg; 0,59 ± 0,16 kg; 6,36 ± 0,36 cm; 122,50 ± 4,27 cm; 118,93 ± 4,25 cm; 124,57 ± 3,96 cm; 147,43 ± 6,28 cm. Sedangkan perlakuan B masingmasing adalah 241,00 ± 20,28 kg; 0,34 ± 0,18 kg; 6,75 ± 0,34 cm; 123,58 ± 4,40 cm; 119,92 ± 5,42 cm; 125,92 ± 4,81 cm; 149,08 ± 5,42 cm. Bobot pertama kali kawin sapi perlakuan A dan B masing-masing 200,2 ± 8,93 dan 211,9 ± 26,56 kg. Banyaknya perkawinan sampai bunting untuk sapi perlakuan A (2,1 ± 0,7)
298
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
sedangkan sapi perlakuan B (2,5 ± 0,8). Data skoring perubahan status pengetahuan, sikap dan ketrampilan tentang aspek bibit, pakan, perkandangan, reproduksi dan pemasaran masing-masing adalah 0,16; 0,14; 0,11; 0,12; 0,14. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan skor tertinggi dicapai pada aspek bibit (0,16) diikuti aspek pakan dan pemasaran (masing-masing 0,14) sedangkan peningkatan skor terendah pada aspek pengetahuan perkandangan (0,11). Model pembibitan dengan calf cow operation sapi PO dalam usaha peternakan rakyat yang didukung oleh fungsi kelompok yang optimum akan mampu meningkatkan pendapatan peternak dan mampu menjadi sumber bibit/bakalan sapi lokal yang dibutuhkan dalam upaya pengembangan sapi potong. Kata Kunci: Pembibitan Sapi Lokal PO, Produktivitas Sapi Lokal PO
PENDAHULUAN Pembibitan sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan sapi potong di Indonesia. Kebutuhan bakalan sapi potong sebagai bahan baku penggemukan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan daging. Peningkatan produksi daging sapi dapat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan populasi sapi produktif disertai dengan peningkatan produktivitas melalui perbaikan manajemen pemeliharaan, penyediaan pakan sepanjang tahun, perbaikan mutu genetis dan pembinaan kelompok peternak dengan program pemuliaan yang terarah. Pembentukan wilayah sentra pembibitan sapi potong lokal dengan program pemuliaan yang terarah akan berjalan efektif dan efisien melalui perberdayaan fungsi kelompok tani (PAMUNGKAS et al., 2004). Upaya pengembangan pembibitan sapi potong di dalam negeri merupakan langkah strategis guna penyediaan bibit sapi skala nasional di masa yang akan datang dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas sekaligus untuk mengurangi ketergantungan impor. Untuk itu diperlukan intensifikasi penyediaan bibit/bakalan sapi potong lokal PO dari peternakan rakyat. Model pemeliharaan yang dapat diterapkan oleh peternak adalah crop livestock system (CLS) sekaligus bertujuan memperbaiki kondisi lahan tegalan dan persawahan. Di kabupaten Lumajang umumnya pemeliharaan sapi dilakukan dengan sistem perkandangan yang bergabung dengan rumah peternak. Dengan sistem perkandangan ini perlu adanya teknologi pengolahan kompos dan pengarahan untuk memanfaatkan kompos sebagai pupuk untuk lahan milik peternak. Selain itu dengan sistem ini sangat mudah dalam pelaksanaan pengamatan birahi. Pembentukan dan
pembinaan wilayah sentra pembibitan sapi potong lokal secara komersial pola CLS membuka peluang usaha sapi potong dan peningkatan pendapatan peternak. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui model pembibitan sapi lokal (PO) serta pembentukan wilayah sentra pembibitan (village breeding center) penghasil bakalan sapi potong lokal (PO) di peternakan rakyat. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan secara on farm untuk mengetahui model pembibitan di daerah yang akan digunakan sebagai rintisan wilayah breeding stock sapi PO. Lokasi penelitian adalah desa Bodang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pelaksanaan dimulai bulan Januari 2006 sampai dengan Desember 2006. Materi penelitian yang digunakan adalah 26 ekor sapi potong lokal (PO) calon induk yang dipelihara oleh 26 orang responden. 14 ekor sapi milik Loka Penelitian Sapi Potong diberi pola perbaikan manajemen (perlakuan A) dan 12 ekor milik peternak sebagai kontrol tanpa pola perbaikan (perlakuan B). Pola perbaikan yang dilakukan meliputi pakan, kesehatan dan pembinaan kelompok. Peralatan yang digunakan adalah timbangan ternak, alat ukur, timbangan pakan, alat tulis dan peralatan pembantu lainnya. Penelitian diawali dengan survey untuk mengukur tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) responden, data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ex dan post ante. Pengukuran PKS melalui scoring (schale lihert 1 – 4) terhadap aspek bibit, pakan, perkandangan, reproduksi dan pemasaran. Pembinaan dilakukan terhadap model pengembangan pembentukan bibit sapi potong lokal (PO) melalui pembinaan atau
299
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
kisaran normal sebagaimana yang dinyatakan oleh TILMAN (1981) dalam GUNAWAN (1993) bahwa sapi PO betina pada umur 2 tahun mempunyai bobot hidup 180 kg. Sedangkan menurut hasil penelitian TRIYONO (1998) bahwa sapi PO pada umur 1,5 – 2 tahun mempunyai bobot hidup 223,8 kg. Dalam perkembangan dan pertambahan bobot hidup harian induk sapi perlakuan A (perbaikan pakan, kesehatan dan pembinaan kelompok) lebih besar dibandingkan sapi perlakuan B (tanpa perbaikan pakan, kesehatan dan pembinaan kelompok) (Tabel 1). PBHH sapi perlakuan A dan B masing-masing sebesar 0,59 kg/ekor/hari dan 0,34 kg/ekor/hari masih dalam batasan normal sebagaimana yang dinyatakan oleh TILMAN (1981) dalam GUNAWAN (1993) bahwa PBHH sapi induk PO umur 1 – 3 tahun sebesar 0,21 kg/ekor/hari, sedangkan menurut data Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur apabila memakai konsentrat diperoleh PBHH 0,52 – 0,75 kg/ekor/hari. PBHH sapi perlakuan A sebesar 0,59 kg/ekor/hari lebih rendah dari data Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Timur 0,75 kg/ekor/hari karena jumlah konsentrat yang diberikan pada sapi perlakuan A hanya 1%, umur sapi 1,5 – 2 tahun sedangkan sapi dinas, konsentrat yang diberikan secara ad libitum dan umur sapi 1 tahun. Pertambahan bobot hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah dan jenis pakan yang diberikan serta tata laksana pemeliharaan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh ASTUTI (2003) bahwa sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukkan pertambahan bobot harian yang berbeda. Dengan pengelolaan dan perbaikan pakan, potensi sapi PO yang baik dapat ditampilkan,
pemberdayaan kelembagaan, perbaikan infrastruktur dan perbaikan tata laksana pemeliharaan meliputi perkawinan, pakan, dan kesehatan. Perbaikan pakan pada sapi PO calon induk ditujukan meningkatkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) sehingga mempercepat terjadinya pubertas/estrus pertama. Penambahan pakan penguat/konsentrat sebesar 0,5 – 1% dari berat badan selama 2 bulan. Pola pemeliharaan menerapkan pola Crops Livestock System (CLS) dengan memanfaatkan potensi pertanian setempat (limbah pisang) sebagai bahan pakan ternak dan kotoran ternak sebagai kompos tanaman. Perkawinan dilakukan dengan IB dan atau menggunakan pejantan unggul dilokasi. Penanganan kesehatan meliputi pemberian obat cacing, vitamin, pengendalian ektoparasit secara berkala dan penambahan mineral. Analisis data disajikan secara deskriptif. Parameter yang diamati meliputi (1) ukuran linier tubuh (panjang badan, tinggi gumba, tinggi pinggul, lingkar dada), berat badan dan dan skor kondisi tubuh; (2) Ragam dan jumlah pemberian pakan secara periodik; (3) performans reproduksi meliputi service per conception (S/C), pregnant rate; (4) Dinamika aktivitas fungsi kelompok peternak, kaitannya dengan budidaya dan performans ternaknya; (5) Peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak. HASIL DAN PEMBAHASAN Performan sapi calon induk selama penelitian tercantum dalam Tabel 1. Bobot hidup sapi perlakuan A (Tabel 1) rata-rata berumur 1,5 – 2 tahun masih pada
Tabel 1. Rata-rata dan standart deviasi bobot hidup sapi perlakuan A dan B Perlakuan
Parameter A
B
Bobot awal (kg)
221,50 ± 16,85
233,58 ± 19,96
Bobot akhir (kg)
234,43 ± 17,52
241,00 ± 20,28
PBHH (kg/hari)
0,59 ± 0,16a
0,34 ± 0,18b
5,96 ± 0,54a
6,42 ± 0,51a
6,36 ± 0,36a
6,75 ± 0,34a
Skor kondisi tubuh Awal Akhir a,b berbeda nyata P < 0,05
300
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
yaitu dengan adanya pertambahan bobot hidup yang tinggi. GUNAWAN (1993) menyatakan bahwa pertambahan bobot hidup maksimal dapat diperoleh dengan penambahan konsentrat. Ukuran linier tubuh calon induk sapi kelompok perlakuan A dan B tercantum dalam Tabel 2. Ukuran tubuh (panjang badan, tinggi gumba, tinggi pinggul dan lingkar dada) sapi induk perlakuan A dan B secara rata-rata masih pada kisaran normal sejalan dengan laporan WIJONO et al. (2002) dimensi rata-rata ukuran tubuh induk adalah mempunyai panjang badan 117,3 ± 7,3 cm; tinggi gumba 118,6 ± 5,6 cm dan lingkar dada 140,5 ± 9,5 cm. Lebih lanjut dalam lampiran peraturan menteri pertanian tentang pedoman pembibitan sapi potong yang baik bahwa persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk sapi Peranakan Ongole (PO) betina umur 18 – 24 bulan mempunyai tinggi gumba 111 – 116 cm, panjang badan 115 – 124 cm. Selain itu disebutkan juga tentang persyaratan teknis minimal setiap bibit sapi potong adalah harus sehat dan bebas dari cacat alat reproduksi. Performan reproduksi calon induk sapi materi penelitian tercantum pada Tabel 3. Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa umur pubertas dan kawin pertama sapi
perlakuan A dan B adalah 13 dan 15 bulan. Kelompok sapi calon induk perlakuan A lebih banyak dikawinkan secara IB, nilai S/C sapi induk kelompok perlakuan A tampak lebih efisien dibanding kontrol. WARDHANI et al. (1993) menyatakan bahwa perbaikan pakan dapat meningkatkan kondisi badan dan kemampuan reproduksi pada sapi. Hasil pembinaan kelompok yang dilakukan secara rutin telah mampu meningkatkan pemahaman tentang tanda-tanda sapi birahi. Indikasinya adalah menurunnya nilai S/C. Keberhasilan meningkatkan efisiensi nilai S/C akan meningkatkan CR dan memperpendek CI. RAHAYU (2002) menyatakan bahwa pemahaman yang benar tentang tanda-tanda aktifitas reproduksi dari peternak, menjadi salah satu faktor utama keberhasilan peningkatan reproduksi sapi yang dikandangkan. Pakan yang diberikan antara sapi perlakuan A dan B yaitu antara lain pucuk tebu, rumput lapang, limbah pisang, daun gamal, rumput gajah, tebon kering, daun sengon, dan dedak.Perbedaan pakan antara sapi perlakuan A dengan B adalah pada sapi perlakuan A diberikan pakan tambahan berupa dedak fermentasi/konsentrat dan mineral untuk membantu pertumbuhan. UMIYASIH et al.
Tabel 2. Rataan ukuran linier tubuh sapi masing-masing perlakuan Perlakuan Parameter
A
B
Awal
Akhir
Awal
akhir
Panjang badan (cm)
121,07 ± 4,67
122,50 ± 4,27
122,83 ± 4,57
123,58 ± 4,40
Tinggi gumba (cm)
116,36 ± 3,62
118,93 ± 4,25
117,08 ± 5,57
119,92 ± 5,42
Tinggi pinggul (cm)
122,07 ± 4,23
124,57 ± 3,96
122,25 ± 3,82
125,92 ± 4,81
Lingkar dada (cm)
146,86 ± 6,38
147,43 ± 6,28
147,67 ± 6,79
149,08 ± 5,42
Tabel 3. Data reproduksi sapi perlakuan A dan B Perlakuan
Parameter Umur pubertas (bulan)
A
B
13,91 ± 0,54
13,64 ± 1,21
Umur pertama kali kawin (bulan)
15,45 ± 1,04
15,64 ± 0,92
Bobot pertama kali kawin (kg)
200,2 ± 8,93
211,9 ± 26,56
2,1 ± 0,7
2,5 ± 0,8
47,83
44,44
S/C (kali) CR (%)
301
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
(2005) menyatakan bahwa pertambahan bobot hidup harian dipengaruhi oleh perlakuan suplementasi konsentrat dan mineral. Tercapainya produksi PBHH disebabkan terpenuhinya kebutuhan zat nutrisi. Selain itu dikemukakan juga bahwa efisiensi pakan dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan suplementasi konsentrat dan mineral. Pola CLS (Crop Livestock System) sapipisang pada lokasi penelitian juga diterapkan dengan cara pemanfaatan limbah pisang untuk pakan sapi, kemudian kompos yang dihasilkan sapi digunakan untuk memupuk pohon pisang. Pada saat kegiatan penelitian limbah pisang diberikan dalam bentuk segar. Pengaruh pembinaan terhadap peternak yang tergabung dalam kelompok “Sri Rejeki” tentang tatalaksana pemeliharaan sapi, tampak sudah mampu menyebabkan terjadinya perubahan terhadap kualitas ransum yang diberikan ke ternak oleh pemeliharanya. Peternak mulai tahu bahwa limbah pisang dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Selain itu pembinaan berupa transfer teknologi tentang fermentasi dedak padi dan pakan lengkap telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak dalam bidang pakan. Pengaruh pembinaan terhadap peternak tentang tatalaksana pemeliharaan sapi, tampak mulai mampu menyebabkan terjadinya perubahan terhadap kuantitas ransum yang diberikan ke ternak oleh pemeliharanya. Keterbatasan tenaga dan waktu merumput serta lahan dan rumputnya sendiri, sebenarnya telah membatasi jumlah pemberian ransum ke sapi oleh peternak, namun karena masih kuatnya pemahaman bahwa sapi harus diberi ransum sebanyak yang mampu dihabiskan dimana hal ini dapat dilihat pada sapi perlakuan B (jumlah pakan yang diberikan lebih banyak dibandingkan sapi perlakuan A), maka dengan penjelasan tentang arti pentingnya nilai ekonomis pemberian ransum ke sapi, akhirnya secara lambat laun jumlah ransum yang diberikan ke sapi kelompok perlakuan A menjadi bisa lebih diefisienkan. PRIHANDINI et al. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan sapi akan terhambat apabila pakan tidak diperhatikan dengan baik dari jumlah maupun kualitasnya. TALIB dan SIREGAR (1991) menyatakan bahwa pembinaan kelompok diharapkan dapat
302
memberikan suatu pemahaman dan partisipasi peternak dalam mempertahankan sapi-sapi yang baik, karena akibat kebutuhan ekonomi peternak harus mengeluarkan ternak peliharaannya walaupun ternak tersebut bermutu baik. Pembinaan terhadap kelompok yang berkelanjutan dan rutin mampu memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi, reproduksi dan kemampuan usaha sapi potong. Peningkatan skor pengetahuan, sikap dan ketrampilan peternak yang tertinggi adalah bibit dilanjutkan dengan pemasaran, pakan, reproduksi dan perkandangan (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata skor pengetahuan, sikap dan ketrampilan peternak perlakuan A Aspek
Awal
Akhir
Perubahan
Bibit
0,0
0,76
0,16
Pakan
0,76
0,90
0,14
Perkandangan
0,65
0,76
0,11
Reproduksi
0,64
0,76
0,12
Pemasaran
0,75
0,89
0,14
Beberapa hal yang dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi (MURTIYENI et al., 2004) diantaranya adalah: perilaku komunikasi berupa: membicarakan informasi, hadir dalam rapat, pemilikan media massa dan partisipasi sosial serta tingkat persepsi peternak (profitability, compability, complexity, triability dan observability). KESIMPULAN Perbibitan di peternakan rakyat (Desa Bodang, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang) dengan calf cow operation masih memerlukan dukungan dari berbagai pihak antara lain dinas peternakan terkait untuk melindungi suatu wilayah tertentu, kesadaran dari para peternak pemelihara sapi untuk memelihara ternaknya dengan baik dan selalu meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam beternak; teknologi perbaikan kualitas pakan perlu terus ditingkatkan untuk mendukung suksesnya pembentukan sentra perbibitan di peternakan rakyat yang masih tradisional.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DAFTAR PUSTAKA ASTUTI, M. 2003. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole (PO). Wartazoa 14(4): 30 – 39. GUNAWAN. 1993. Sapi Madura sebagai Ternak Kerja, Potong, Karapan dan Sonok. Kanisius, Yogyakarta. MURTIYENI, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, ISBANDI dan A. HANFIAH. 2004. Perilaku komunikasi dan persepsi peternak dalam proses pengambilan keputusan inovasi teknologi ternak domba/kambing di Kabupaten Purwakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 323 – 334. PAMUNGKAS, D.P., DE. WAHYONO, MARIYONO, U. UMIYASIH. D.B. WIJONO. U. KUSNADI, P.W. PRIHANDINI dan T. PURWANTO. 2004. Pemberdayaan Petani Miskin melalui Usaha Pembibitan Sapi Potong Komersial di Pedesaan. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong. PRIHANDINI, P.W, W.C. PRATIWI, D. PAMUNGKAS dan L. AFFANDHY. 2005. Identifikasi pola perkawinan sapi potong di wilayah sentra perbibitan dan pengembangan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 292 – 305.
Sragen. Tesis S2. Program Studi Ilmu Peternakan. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. TALIB, C. Dan A.R. SIREGAR. 1991. Peranan Pemuliaan Ternak Potong di Indonesia. Wartazoa 2(1 – 2). TRIYONO, A. 1998. Kinerja Sapi Peranakan Ongole pada Sistem penggemukan dengan Tipe Lantai Kandang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. UMIYASIH, U., L. AFFANDHY, ARYOGI, D. PAMUNGKAS, D.E. WAHYONO, Y.N. ANGGRAENY, N.H. KRISHNA dan I.W. MATHIUS. 2005. Penelitian Nutrisi Mendukung Pengembangan Usaha Cow Calf Operation untuk Menghasilkan Bakalan. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong. WARDHANI, N.K., A. MUSOFIE, U. UMIYASIH, L. AFFANDHY, M.A. YUSRAN dan D.B. WIJONO. 1993. Pengaruh Perbaikan Gisi terhadap Kemampuan Reproduksi Sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. hlm. 164 – 167. WIJONO, D.B., K. DIWYANTO, A.R. SIREGAR, B. SETIADI, MARIYONO, A. RASYID, ARYOGI, P.W. PRIHANDINI, HARTATI dan W.C. PRATIWI, 2002. Penelitian Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong.
RAHAYU, E.T. 2002. Evaluasi Pelaksanaan Inseminasi Buatan Sapi Potong di Kabupaten
303