ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PETERNAKAN RAKYAT SAPI POTONG DI KABUPATEN GARUT (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)
SRI KUNCORO
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Sri Kuncoro NIM H44090005
ABSTRAK SRI KUNCORO. Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR. Pemenuhan akan kebutuhan daging sapi perlu pengembangan ternak sapi potong di daerah-daerah agar ketersediaan daging dapat tercukupi. Perlu pemahaman apakah daerah tersebut pantas dilakukan pengembangan atau tidak, maka dibutuhkan informasi dengan menganalisis aktivitas ekonomi peternak dan wilayah mana yang berpotensi. Hasil penelitian berdasarkan analisis LQ menyatakan bahwa Kecamatan Malangbong memiliki nilai LQ sebesar 6.34 paling tinggi diantara kecamatan lain. Biaya total dari peternak dengan kandang pribadi sebesar Rp 30 313 639 dan kandang komunal sebesar Rp 29 710 747. Pendapatan bersih peternak kandang pribadi sebesar Rp 6 436 361 dengan R/C rasio sebesar 1.21 dan rentabilitas 21 persen. Sedangkan keuntungan peternak kandang komunal sebesar Rp 7 039 253 dengan R/C rasio sebesar 1.24 dan rentabilitas 24 persen. Perhitungan KPPTR efektif Kecamatan Malangbong menghasilkan nilai negatif sebesar -3 150.99. Perhitungan didapat dari selisih KPPTR Maksimum dengan Populasi Satuan Ternak yang ada di Kecamatan Malangbong. Hasil negatif artinya Kecamatan Malangbong sudah tidak mampu menampung jumlah ternak ruminansia terutama sapi potong. Maka pengembangan perlu dilaksanakan di wilayah lain yang memiliki KPPTR positif. Kata Kunci: Sapi Potong , Analisis LQ, KPPTR, Pendapatan. ABSTRACT SRI KUNCORO. Potential Development Analysis of Public Beef Cattle Breeding in Kabupaten Garut (Case: Kecamatan Malangbong’s Breeding). Supervised by RIZAL BAHTIAR. Development of beef cattle breeding need to be conducted in order to fulfill the public demand of beef. The necessary informations to conduct the development of beef cattle breeding are the breeding's potential in every region and economic activities of the farmers in the region. The results of this research declare that farming activities in Kecamatan Malangbong with LQ analysis amounted 6.34 which means it is the highest breeding activities in Kabupaten Garut. The total cost of a private enclosure with a farmers amounting to IDR 30 313 639 and communal cages of IDR 29 710 747. Private cage breeders net income amounting to IDR 6 436 361 with R/C ratio of 1.21 and earning ratios of 21 percent. While the profits communal cages breeders amounted to IDR 7 039 253 with R/C ratio of 1.24 and earning ratios of 24 percent. Calculation of effective KPPTR in Kecamatan Malangbong produce a negative value of -3 150.99. Calculations obtained from the difference between the Maximum KPPTR Livestock Population Unit in Kecamatan Malangbong. Negative result means Kecamatan Malangbong is not able to accommodate the number of ruminant livestock, especially cattle. Then the development of should be implemented in other regions that have a positive KPPTR. Keywords: Beef Cattle, Analysis of LQ, KPPTR, Revenue.
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PETERNAKAN RAKYAT SAPI POTONG DI KABUPATEN GARUT (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong)
SRI KUNCORO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Analisis Potensi Pengembangan Petemakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus : Petemakan Kecamatan Malangbong) Nama : Sri Kuncoro NIM
: H44090005
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
at MT
Tanggal Lulus:
2 7 AUG 2013
Judul Skripsi : Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong) Nama : Sri Kuncoro NIM
: H44090005
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis yang dimulai sejak bulan Januari 2013 ini berjudul Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Garut (Studi Kasus: Peternakan Kecamatan Malangbong). Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Joko Suwarno dan Ibu Suharni selaku orangtua tercinta yang selalu mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta Noviana selaku adik tersayang yang selalu menyemangati dan mendoakan. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Bapak Rizal Bahtiar, SPi. M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian karya tulis ini. Kepada Bapak Luqman selaku staff Dinas Peternakan Kabupaten Garut dan Ibu Elie yang telah memberi izin tinggal di Garut sehingga sangat membantu penulis ketika penelitian berlangsung. Kepada Lidya Agustina selaku teman terdekat penulis yang selalu membantu dan menyemangati penulis. Terimakasih kepada teman-teman ESL 46, senior-senior ESL 45 dan 44, terutama Aulia Putri Adniey, Iftitatul Fajriah, Khoirunissa Cahya, Lungit, Nur Cahya yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis selama proses penulisan karya tulis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Fajar Cahya, Galuh Mutdamant, Hilman Firdaus yang selalu memberikan ide-ide segar untuk penulisan karya tulis ini. Kepada teman-teman kontri, terutama Fachri Aditya, Bias Berlio, M Rizky Pratama, Bayu Rooskandar yang selama proses penulisan karya tulis ini membantu meminjamkan laptop dan seluruh anak-anak kontri yang memberikan pengalaman yang berharga selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juli 2013
Sri Kuncoro
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv I PENDAHULUAN…………………………………………………………… 13 1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 13 1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………….. 6 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 7 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………… 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………….... 7 II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….
.8
2.1 Identifikasi usaha peternakan…………………………………………… 8 2.2 Pendapatan Usaha Ternak……………………………………………... 14 2.3 Analisis Location Quation (LQ)………………………………………. 17 2.4 Kapasitas Penambahan Populasi ternak Ruminansia (KPPTR)……….. 17 2.5 Penelitian Terdahulu…………………………………………………... 18 III KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………
20
IV METODE PENELITIAN………………………………………………….
22
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………. 22 4.2 Jenis dan Sumber Data………………………………………………… 22 4.3 Penentuan Jumlah Sampel……………………………………………...22 4.4 Metode Pengumpulan Data……………………………………………. 23 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data………………………………... 23 V GAMBARAN UMUM……………………………………………………..
28
5.1 Karakteristik Wilayah Kecamatan Malangbong………………………. 28 5.2 Sosial Masyarakat Kabupaten Garut…………………………………... 32 VI HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………
40
6.1 Wilayah Basis dan Non Basis Ternak Sapi Potong di Kabupaten Garut 40 6.2 Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong……………………………. 42
6.3 Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Malangbong……………………………………………………………50 6.4 Kelompok Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong Kabupaten Garut…………………………………………………………………...52 SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………...
56
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………
58
LAMPIRAN…………………………………………………………………...
60
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………
74
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sasaran Populasi dan Produksi Tahun 2012 dan 2013 ............................... 2 2. Produksi Daging Sapi Tahun 2008 - 2012 dalam ton (5 Besar Provinsi) ...................................................................................................... 3 3. Populasi Ternak (Ekor) di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 (10 Besar) .......................................................................................................... 3 4. Jumlah Populasi dan Kapasitas Produksi Ternak Besar Kabupaten Garut Tahun 2011 ....................................................................................... 4 5. Populasi Sapi Potong (ekor) di Kabupaten Garut (3 Besar) ....................... 5 6. Nilai Konversi Hijauan Penghasil Rumput ............................................... 26 7. Nilai Konversi Hijauan Hasil Sisa Pertanian ............................................ 26 8. Proporsi Wilayah Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut ............. 29 9. Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan ......................................... 29 10. Proporsi Wilayah Menurut Penggunaan Lahan ........................................ 30 11. Tabel Sumber daya yang ada di Kecamatan Malangbong ........................ 31 12. Jumlah ternak ruminansia Kabupaten Garut (2006-2011) ........................ 31 13. Jumlah populasi sapi potong di 3 kecamatan ............................................ 32 14. Demografi di Kecamatan Malangbong ..................................................... 33 15. Karakteristik responden di daerah penelitian ............................................ 34 16. Analisis usaha penggemukan ternak sapi potong (1 periode panen=120 hari) ........................................................................................ 38 17. Wilayah basis dan nilai LQ ≥ ternak sapi potong Kabupaten Garut ......... 40 18. Wilayah non basis dengan nilai LQ < 1 ternak sapi potong Kabupaten Garut ....................................................................................... 41 19. Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Pribadi ............... 43 20. Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Komunal ........... 45 21. Penyusutan Kandang Pribadi dan Kandang Komunal .............................. 47 22. Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang pribadi (Panen 4 bulan) ............................................................................. 47 23. Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang komunal (Panen 4 bulan) .......................................................................... 48
24. Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang pribadi) ...................................................................................................... 48 25. Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang komunal) .................................................................................................... 49 26. Pendapatan bersih usaha ternak sapi potong di daerah penelitian ............. 49 27. Populasi riil ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong ...................... 50 28. Konversi hijauan pakan rumput di Kecamatan Malangbong .................... 51 29. Konversi pakan jerami di Kecamatan Malangbong .................................. 51 30. Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kecamatan Malangbong ............................................................ 52 31. Pengelompokan Wilayah Berdasarkan Nilai KPPTR dan LQ .................. 53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Kerangka Pemikiran ....................................................................... 21
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi dan Gambar Lokasi Penelitian ............................................... 61 2. Kuesioner Penelitian .................................................................................. 62 3. Daftar wawancara peternak sapi potong di kecamatan Malangbong ........ 66 4. Nilai LQ Sapi Potong di Kabupaten Garut 2013 ....................................... 67 5. Hasil Perhitungan Produktivitas Lahan Penghasil Jerami (Bahan
Kering(ton/thn)) ......................................................................................... 68 6. Konversi Hijauan per kecamatan melalui Pendekatan Potensi Lahan ...... 70 7. Nilai
KPPTR
Sapi
Potong
Kabupaten
Garut
Berdasarkan
Sumberdaya Lahan .................................................................................... 72 8. Dokumentasi penelitian ............................................................................. 73
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengandalkan sektor pertanian dalam menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan perekonomian. Sektor pertanian sangat penting perannya khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Mujiyanto 2001, Pentingnya peranan sektor pertanian ditunjukkan oleh beberapa faktor yaitu sektor pertanian memberikan andil yang besar terhadap pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja terutama tenaga kerja diperdesaan; sektor pertanian menyiapkan bahan kebutuhan pokok bagi konsumsi penduduk; sektor pertanian menyediakan bahan baku bagi kepentingan industri; dan sektor pertanian memiliki sifat kokoh terhadap goncangan-goncangan ekonomi yang terjadi. Sektor pertanian memiliki subsektor peternakan merupakan bagian integral dari sistem pembangunan katahanan pangan. Peternakan menghasilkan produk hewani yang berkontribusi besar dalam penyediaan kebutuhan keluarga akan kalori dan protein hewani yang berperan dalam penambahan kualitas pangan dan asupan gizi masyarakat. Selain itu, sektor peternakan saat ini sudah mulai berkembang menjadi salah satu alternatif usaha yang menguntungkan yang memberikan kesempatan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Oleh sebab itu, pengembangan peternakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, karena permintaan protein hewani akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan bergizi tinggi. Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012, konsumsi hasil ternak berupa daging segar di Indonesia tahun 2011 sebesar 5.110 kg/kapita/tahun atau mengalami kenaikan sebesar 5.38 persen bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 4.849 kg/kapita/tahun. Hal ini menunjukan kebutuhan daging terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di
2 Indonesia yang sebesar 1.5 persen pertahun. Permintaan akan kebutuhan produk hewani diprediksi terus meningkat, sehingga menjadikan subsektor peternakan sebagai penghasil daging khususnya di usaha ternak sapi potong terlihat sangat berpotensial untuk dikembangkan oleh para peternak domestik dan tidak lagi mengandalkan impor daging. Pemerintah mengupayakan usaha pengembangan peternakan domestik dari peternakan rakyat untuk mengurangi impor sapi potong dari luar negeri dengan mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang rencananya terlaksana pada tahun 2014. Konsumsi daging sapi saat ini sebesar 1.98 kg perkapita per tahun dengan total konsumsi 484.07 ribu ton. Ketersediaan populasi sapi potong pada tahun 2012 sebesar 15.99 juta ekor dan ditargetkan pada tahun 2013 akan meningkat menjadi sebesar 18.80 juta ekor untuk memenuhi permintaan konsumsi daging sapi yang diperkirakan akan mencapai 521.41 ribu ton. Sasaran populasi dan produksi daging dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sasaran Populasi dan Produksi Tahun 2012 dan 2013 No. Uraian I Konsumsi 1 Perkapita per tahun (kg) 2 II 1 2 A B III 1 2 3
Total konsumsi (000 ton) Produksi daging (000 ton) Produksi lokal Impor Proporsi impor daging (%) : Ex sapi bakalan (daging) Setara ekor Daging Populasi (ekor) Sapi Potong Sapi Perah Kerbau
2012
2013*
Pertumbuhan
1.98
2.11
6.13%
484.07 484.05 399.32 84.74 17.51 50.83 282 596 33.97 17 946 114 15 995 946 630 326 1 319 842
521.41 521.41 449.28 72.13 13.83 41.64 213 925 30.49 18 806 907 16 816 218 661 353 1 329 336
7.71% 7.72% 12.51% -14.88% -20.97% -18.07% -24.30% -10.25% 4.80% 5.13% 4.92% 0.72%
Catatan: *) tahun 2013 adalah target capaian
Sumber: Musyawarah Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2013
Pengurangan impor sapi dan masih terbatasnya produksi daging sapi lokal membuat ketersediaan sapi di pasaran menipis. Akibatnya terjadi kelangkaan sehingga harga daging sapi tidak stabil dan cenderung naik. Perlu pengembangkan usaha ternak sapi potong agar mempunyai produktifitas yang tinggi untuk
3 memenuhi permintaan penduduk dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki, ditambah dengan sarana dan prasarana serta dukungan pemerintah. Pengembangan dapat dioptimalkan dari wilayah-wilayah yang memiliki potensi besar dalam sumber daya. Tabel 2 Produksi Daging Sapi Tahun 2008 - 2012 dalam ton (5 Besar Provinsi) Provinsi Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumbar Banten INDONESIA
2008 85 173 70 010 45 736 16 026 25 882 392 511
2009 107 768 70 662 48 340 18 322 18 728 409 310
2010 109 016 76 066 51 001 20 442 20 326 436 452
2011 112 447 78 476 60 322 20 287 25 806 485 333
2012* 114 749 84 128 62 462 20 898 27 695 505 477
Catatan: *) Angka sementara / Preliminary figures
Sumber: Statistik Peternakan dan kesehatan hewan, 2012
Pengembangan usaha ternak perlu disebar ke wilayah potensial lainnya. Berdasarkan Tabel 2, Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki produksi daging sapi terbesar kedua setelah Jawa Timur. Jawa Barat menyediakan stok untuk kebutuhan daging sapi di Indonesia sebesar 16.64 persen. Jumlah populasi sapi di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan prospek pasar yang tinggi. Segmen konsumsinya terindikasi muncul dari kebutuhan daging sapi Jawa Barat yang terkenal rendah kolestrol, maupun bisnis rumah makan yang menyuguhkan menu khas daerah Jawa Barat. Tabel 3 Populasi Ternak (Ekor) di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 (10 Besar) Kabupaten/Kota Kab. Tasikmalaya Kab. Sumedang Kab. Bandung Kab. Ciamis Kab. Bogor Kab. Subang Kab. Garut Kab. Cianjur Kab. Kuningan Kab. Bekasi Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2012
Jumlah Sapi Potong Tahun 2011 50 662 41 614 36 849 36 389 33 220 31 933 28 378 28 023 26 406 25 477
4 Daerah penyediaan sapi potong di Jawa Barat cukup merata di berbagai sentra wilayah peternakan sapi potong. Kabupaten Tasikmalaya memiliki populasi tertinggi sebesar 50 662 ekor. Selain Tasikmalaya, Kabupaten lain juga memiliki populasi yang cukup banyak sebagai wilayah sebagai penyedia daging sapi yang salah satunya terdapat di Kabupaten Garut yaitu sebesar 28 378 ekor. (Tabel 3) Kabupaten Garut telah dicangkan sebagai kawasan andalan bagi pengembangan agribisnis di Jawa Barat, karena secara geografis sebagian besar terdiri atas dataran rendah dan merupakan lahan kering dengan tanaman campuran dan perkebunan. Ketertarikan masyarakat Kabupaten Garut sangat tinggi terhadap sub-sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (Sapi Simental, Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole). Hal ini disebabkan
keuntungan
dari
beternak
sapi
potong
cukup
menjanjikan
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari tanaman pangan yang cenderung semakin menurun. Selain itu, harga sarana dan prasarana produksi pertanian yang semakin meningkat dan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang membuat sub-sektor peternakan semakin menarik untuk diusahakan. Sapi potong diharapkan berkembang di wilayah Kabupaten Garut, mengingat potensi lahannya untuk pengembangan masih cukup tersedia dan populasi penduduknya belum sepadat di wilayah lainnya. Jumlah populasi dan kapasitas produksi ternak cukup menjanjikan sebagai salah satu usaha penyediaan stok daging nasional dapat di lihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Populasi dan Kapasitas Produksi Ternak Besar Kabupaten Garut Tahun 2011 Jumlah Produksi Ternak Besar Populasi Daging (Kg) Kulit (Lbr) Susu (Ltr) (Ekor) Sapi Perah 21 858 2 604 252 96 400 21 631 469 Sapi Potong 28 378 Kerbau 17 372 807 367 3 260 0 Kuda 0 0 0 0 Domba 788 582 1 153 714 21 720 0 Kambing 81 923 350 051 0 0 Jumlah 938 113 4 915 384 121 380 21 631 469 Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Garut, 2012
5 Besar tingkat produksi pada tahun 2011 terhadap daging ternak besar menunjukkan bahwa permintaan konsumen dalam kebutuhan daging tinggi. Produksi daging paling besar didapat dari daging sapi sebesar 52.98 persen dari total produksi daging ternak besar di Kabupaten Garut. Produksi tersebut diperoleh oleh jumlah populasi yang besar di Kabupaten Garut. Beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Garut yang mempunyai populasi sapi potong yang tinggi berada di wilayah Kecamatan Malangbong, Cibalong dan Selaawi. Jumlah populasi dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5 Populasi Sapi Potong (ekor) di Kabupaten Garut (3 Besar) Kecamatan Malangbong Cibalong Selaawi Jumlah Total Seluruh Kecamatan
Sapi Potong 2009 2010 2 011 1 341 1 487 1 405 3 379 2 963 12 587 12 925
2011 9 336 3 020 2 518 28 378
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Garut,2012
Populasi sapi potong di Kabupaten Garut dalam kurun waktu 3 tahun terakhir berturut-turut mulai dari tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Menurut dinas peternakan Kabupaten Garut hal tersebut disebabkan antara lain: permintaan pasar terhadap komoditas daging sapi yang berasal dari ternak sapi potong cukup tinggi, potensi lahan sebagai ketersediaan sumber pakan serta budaya masyarakat sangat mendukung untuk pengembangan usaha ternak sapi potong, kesesuaian kondisi agroklimat, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik, dan potensi hewan ternak sapi potong ini tidak hanya digunakan sebagai pemenuh protein hewani saja tetapi memiliki banyak manfaat termasuk kotorannya dapat bernilai ekonomis. Berdasarkan informasi tersebut untuk memenuhi produksi nasional diperlukan Analisis Potensi Lahan Kecamatan Malangbong Guna Pengembangan Peternakan Rakyat Sapi Potong Di Kabupaten Garut untuk mengetahui wilayah basis usaha ternak sapi potong sebagai penyedia sapi potong, tingkat pendapatan peternak, serta keberlanjutan wilayah Kecamatan Malangbong sebagai potensi wilayah pengembangan Kabupaten Garut berbasiskan peternakan kerakyatan.
6 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan data Sensus Sapi 2011 atau Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Tahun 2011, terdapat 6.4 juta peternak rakyat dengan populasi sapi nasional sebanyak 15.99 juta ekor. Sesuai data tersebut, stok sapi dirasa masih kurang untuk mencukupi kebutuhan daging karena di pasar domestik harga daging masih tinggi dengan alasan kelangkaan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan wilayah mana yang menjadi basis dari ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di suatu wilayah domestik dalam penelitian ini yaitu di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Penyediaan sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sapi salah satunya dapat dipenuhi dari pengembangan usaha peternakan sapi potong domestik. Hal tersebut dinilai dapat menjadi solusi dari permasalahan produksi domestik yang belum mampu memenuhi kebutuhan sebagian masyarakat yang masih
mengandalkan
importisasi
sapi.
Pengembangan
peternakan
yang
berkelanjutan memerlukan pengetahuan besarnya keuntungan dan potensi yang terdapat di wilayah pengembangan serta ketersediaan hijauan makanan ternak yang sangat vital diperlukan dalam usaha ternak. Pemenuhan akan kebutuhan daging sapi perlu pengembangan ternak sapi potong di daerah-daerah agar ketersediaan daging dapat tercukupi. Perlu pemahaman apakah daerah tersebut pantas dilakukan pengembangan atau tidak, maka dibutuhkan informasi dengan menganalisis aktivitas ekonomi peternak dan wilayah mana yang berpotensi. Beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1 Apakah Kecamatan Malangbong merupakan wilayah basis pengembangan sapi potong di Kabupaten Garut? 2 Berapa besar tingkat biaya dan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong? 3 Berapa nilai kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong?
7 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian dilakukan untuk mengkaji wilayah peternakan sapi potong di Kabupaten Garut, diantaranya : 1 Mengidentifikasi
Kecamatan
Malangbong
terhadap
wilayah
basis
pengembangan sapi potong di Kabupaten Garut 2 Menghitung tingkat biaya dan pendapatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Garut. 3 Mengidentifikasi nilai kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitaian ini diharapkan dapat berguna bagi: 1
Para peneliti ternak sapi potong dalam pengembangan ternak sapi potong,
2
Pihak yang membutuhkan informasi tentang pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong.
3
Pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan dan keputusan dalam pengembangan ternak sapi potong.
4
Peternak atau investor yang ingin mengembangkan usaha peternakan sapi potong. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terbatas pada sebagian wilayah di Kabupaten Garut yang
dianggap mewakili daerah penelitian. Konsentrasi penelitian ditujukan di Kecamatan Malangbong karena di daerah tersebut memiliki populasi sapi potong terbesar. Selain itu, di Kecamatan Malangbong akan dilihat pendapatan peternak sapi potong serta data-data hijauan yang ada. Data-data hijauan diambil melalui dinas-dinas terkait.
8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Identifikasi usaha peternakan Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, di Indonesia terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan rakyat. Dalam penelitian ini akan lebih membahas peternakan rakyat. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah dan maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Dalam sensus pertanian 1993, digunakan batasan jumlah ternak pada peternakan rakyat untuk komoditas sapi dan kerbau sekurang-kurangnya 2 ekor. Peternakan rakyat dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu dari sifatnya berupa usaha sambilan yang bertujuan menambah pendapatan rumah tangga dengan skala kecil berkedudukan individual kemudian di kelola secara tradisional. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan masih merupakan pendukung dari pekerjaan tetap masyarakat dan hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Biasanya pendapatan dari ternak tidak dominan, misalnya kurang dari 30 persen total pendapatan dari pekerjaannya (Soekardono 2009).
2.1.1 Sumberdaya Peternakan Jenis-jenis dan jumlah ternak yang dapat dikembangkan tergantung pada potensi alam yang ada di suatu daerah. Potensi alam tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian dan peternakan, kesuburan tanah, topografi, iklim, tersedianya air sepanjang tahun. Apabila suatu daerah menghasilkan makanan bagi ternak maka biasanya akan terdapat peternakan yang baik (Irfan 1992 dalam Elburdah 2008). Dalam usahatani terdapat beberapa unsur yaitu lahan, tenaga kerja dan modal. Lahan merupakan basis untuk usaha peternakan atau merupakan faktor produksi sumber makanan ternak pokok berupa rumput, limbah ataupun produk utama pertanian (Suparini 2000 dalam Elburdah 2008).
9 2.1.2 Sapi Potong Ada 3 bangsa sapi potong utama di Indonesia, yaitu sapi Ongole, sapi Bali, dan sapi Madura serta hasil-hasil persilangannya baik yang sudah diakui sebagai suatu bangsa atau galur, maupun yang belum. Sapi potong yang paling tinggi populasinya diantara ketiga bangsa tersebut adalah Ongole, khususnya Peranakan Ongole (PO), yang merupakan hasil grading up dari sapi Jawa (Pane 2003). Sapi PO dan Ongole yang mempunyai tanda-tanda punuk besar dengan lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibawah leher dan perut, telinga panjang menggantung, tanduk pendek, namun yang betina lebih panjang dari yang jantan, warna bulu putih atau putih kehitaman dengan warna kulit kuning. Penyebaran sapi PO hampir masuk ke seluruh Jawa, dan berbagai wilayah di Sumatera dan Sulawesi (Talib dan Siregar 1998). Menurut Sugeng (2000) bahwa sapi Ongole yang ada pada saat ini populasinya terbanyak diantara bangsa-bangsa sapi Indonesia. Sapi Ongole pertama kali didatangkan dari India ke Pulau Sumba oleh pemerintah Belanda pada tahun 1897. Sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Sapi potong adalah hewan sapi ternak yang dipelihara atau dikembangkan bertujuan untuk memproduksi daging. Sapi tipe pedaging bercirikan laju pertumbuhannya cepat hingga mencapai dewasa dan efisiensi pakannya tinggi (Santosa 2004).
2.1.3 Sistem Pemeliharaan Sapi Potong Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usaha peternakan yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan dimana dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini dibawah 30 persen dari total pendapatan keluarga; (2) Usaha peternakan sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70 persen; (3) Usaha peternakan sebagai usaha pokok, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar 70–100 persen; dan (4) Usaha peternakan sebagai usaha industri, usaha peternakan dikelola secara industri, tingkat pendapatan yang
10 diperoleh dari usaha ini mencapai 100 persen. Pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara, yaitu: 1. Pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman; 2. Pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari; dan 3. Pemeliharaan ekstensif, dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput yang luas.
2.1.4 Budidaya Ternak Sapi Potong 2.1.4.1 Perkandangan Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang untuk sapi potong biasa dibuat dari bahan–bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo 1990). Secara umum, terdapat dua tipe kandang yaitu: kandang individual dan kandang koloni. Tujuan kandang individu adalah memacu pertumbuhan sapi potong lebih pesat karena ruang gerak sapi terbatas. Ukuran kandang individu 2.5x1.5m. Kandang koloni dipergunakan bagi sapi bakalan dalam 1 periode penggemukan yang ditempatkan dalam satu kandang dengan luas minimum 6 m2. Kandang memiliki banyak fungsi yang mendukung suksesnya usaha sapi potong yaitu : 1) melindungi sapi potong dari gangguan cuaca, 2) tempat sapi beristirahat yang nyaman sekaligus aman dari gangguan hewan pengganggu atau predator, 3) sarana yang memudahkan penanganan ternak, terutama dalam pemberian pakan, minum, perawatan kesehatan, 4) penampung kotoran dan sisa-sisa pakan, 5) mengontrol ternak agar tidak merusak berbagai fasilitas yang tersebar di seluruh area peternakan (Soeprapto dan Abidin 2006). Pemilihan
lokasi
kandang
yang
sesuai
diantaranya
dengan
mempertimbangkan letak yang strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim untuk ternak sapi. Peternakan sapi akan ideal jika dibangun tidak jauh dari areal persawahan, perladangan, perkebunan dan di lokasi tersebut kegiatan pertanian dan peternakan dapat saling menunjang. Ternak memanfaatkan sisa hasil
11 pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin ternak sebagai pupuk. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi 3 m untuk meredam angin. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum, pembuatan pakan, membantu proses pengampasan dan membersihkan areal kandang (Sarwono 2001).
2.1.4.2 Pakan Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan makanan ternak sebagai pakan. Berbeda dengan tradisional, usaha penggemukan yang orientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini agar dapat dicapai keuntungan yang diperoleh dalam waktu yang relatif singkat (Abidin 2000). Sugeng (2006) menyatakan bahan pakan ternak sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi 3, yakni pakan hijauan, pakan penguat dan pakan tambahan. Idealnya makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas. Bahan pakan hijauan secara umum diberikan sebanyak 10 persen dari berat badan dan pakan penguat cukup 1 persen dari berat badan. Menurut Smith (1988) dalam Hermansyah (2006) bahwa idealnya, makanan harus tersedia untuk sapi secara tidak terbatas. Sebagai ancar–ancar kasar, seekor hewan dengan berat kira–kira 500 kg makan 20–24 kg rumput gajah segar tiap hari, atau jika hijauan kering diperlukan 4–5 kg tiap hari. Banyaknya makanan tiap ekor harus diperhatikan sehingga keperluannya tiap hari dapat ditambah atau dikurangi. Menurut Santosa (2003) bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber pakan ternak. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi 2 terus–menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan ternak dan dipergunakan secara bergiliran dengan tanaman lain. Beberapa cara tata laksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut:
12 1. Padang rumput permanen Padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan ternak dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah. 2. Padang rumput jangka pendek Padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk tanaman lain. 3. Padang rumput rotasi jangka panjang Sistem padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tata laksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem diatas. 4. Padang rumput sementara Padang rumput ini hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman pakan untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan sistem ini adalah sebagai sumber pakan ternak pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman, dan memperbaiki struktur tanah. Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sarwono 2001). Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya: 1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya; 2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi keperluan; 3. Bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;
13 4. Bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja; 5. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat– zat makanannya hampir setara; dan 6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya.
2.1.4.3 Penanganan Kesehatan Penyakit sapi sering berjangkit di Indonesia, baik yang menular maupun yang tak menular. Penyakit menular yang berjangkit pada umumnya menimbulkan kerugian besar bagi peternak. Penyakit menular merupakan ancaman bagi peternak, walaupun tidak langsung mematikan, akan tetapi bisa merusakan kesehatan ternak sapi berkepanjangan, mengurangi pertumbuhan, dan bahakan menghentikan pertumbuhan sama sekali (Sugeng 2006). Beberapa penyakit yang biasa berjangkit di Indonesia antara lain : anthrax (radang limpa), surra, penyakit mulut dan kuku, penyakit radang paha (blackleg), brucellosis (keguguran menular), kuku busuk (foot rot), cacing hati, cacing perut, cacing paru-paru, bloat (Sugeng 2006). Usaha pencegahan penyakit yang dilakukan para peternak tidak menjamin ternak sapi terbebas dari penyakit. Menurut Soeprapto dan Abidin (2006), upaya pencegahan penyakit pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara, yaitu: 1. Pemanfaatan kandang karantina 2. Menjaga kebersihan sapi bakalan beserta kandangnya 3. Vaksinasi berkala 4. Melarang impor sapi atau daging sapi dari negara yang tidak terbebas PMK 5. Pemberian obat cacing secara berkala
2.1.4.4 Modal Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini hasil pertanian. Modal petani yang berupa barang diluar tanah adalah ternak beserta kandang,
14 cangkul, bajak dan alat-alat pertanian lainnya, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, tanaman yang masih disawah dan lain-lain (Mubyarto 1989).
2.1.4.5 Pemasaran Menurut Mubyarto (1994) Pemasaran atau distribusi diartikan sama dengan tataniaga yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Ditegaskan oleh Soekartawi (1993) bahwa pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Menurut Rahardi (2003) bahwa pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Peternak atau pengusaha yang telah menghasilkan produk peternakan menginginkan produknya sampai dan diterima oleh konsumen, agar produk tersebut sampai dan diterima oleh konsumen, peternak harus melalui beberapa kegiatan pemasaran. Peternak atau pengusaha yang telah berproduksi, selanjutnya akan melakukan kegiatan pemasaran produk. Kegiatan pemasaran peternakan terdiri dari pengumpulan informasi pasar, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan. Peternak harus memahami pola pemasaran yang akan dijalankan, pola pemasaran merupakan jalur distribusi suatu produk dari produsen melalui beberapa pelaku pemasaran hingga sampai ke konsumen. Secara umum produk peternakan memiliki tiga pola pamasaran, yaitu pemasaran melalui koperasi, kemitraan dan umum. 2.2 Pendapatan Usaha Ternak Menurut Soekardono (2009), proses produksi adalah proses memadukan beberapa input menjadi satu atau lebih output. Proses produksi dalam usaha ternak sapi potong merupakan pengorganisasian dari berberapa input antara lain sapi potong, pakan, tenaga kerja dan faktor lingkungan. Selain itu proses produksi juga mengangkut biaya-biaya yang dikeluarkan baik yang dibayar secara tunai atau diperhitungkan, disebut juga biaya produksi. Biaya produksi (input) yang dikeluarkan terdiri dari biaya tidaktetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap pada usaha ternak sapi potong antara lain: penyusutan peralatan
15 dan kandang, tenaga kerja tetap dan sewa lahan, sedangkan yang termasuk biaya variable adalah pembelian bakalan, pakan dan ongkos transportasi.
2.2.1 Biaya Produksi Lipsey dkk. (1989) dalam Hadiwijoyo (2009) menerangkan bahwa biaya adalah faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output. Selanjutnya dikatakan biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Biaya total dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: (1) biaya tetap (fixed cost), dimana besar kecilnya biaya tetap tidak berubah dengan berubahnya output, sehingga besarnya biaya tetap pada saat output sama dengan satu atau seribu unit besarnya tetap sama; (2) Biaya variable (variable cost), dimana biaya ini selalu berubah dengan berubahnya output. 1. Biaya tetap (fixed cost) Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk beberapa kali proses produksi bahkan harus dikeluarkan walaupun tidak berlangsung proses produksi. Biaya tetap terdiri dari : Biaya penyusutan Biaya penyusutan terdiri dari penyusutan ternak, penyusutan kandang dan penyusutan peralatan. Perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode straight line, yaitu dengan rumus harga awal dikurangi harga akhir kemudian dibagi daya tahan. Pajak dan Bunga modal Pajak yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh suatu usaha. Bungamodal dihitung dengan menjumlahkan modal tetap dan modal tidak tetap kemudian dikalikan bunga modal. 2. Biaya tidak tetap (variabel cost) Biaya tidak tetap adalah biaya operasional artinya biaya yang berubah tergantung pada besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak tetap meliputi biaya variabel yang teratur setiap hari seperti pakan dan biaya variabel yang tidak teratur setiap hari seperti obat-obatan, listrik, gaji, IB, perbaikan, transportasi dan lain-lain (Prawirokusumo 1990).
16 Mubyarto (1989) menambahkan bahwa dalam usaha sapi potong rakyat, faktor produksi tenaga kerja keluarga peternak merupakan sumbangan keluarga pada produksi peternakan dan tidak pernah dinilai dengan uang. Secara ekonomis, tenaga kerja merupakan suatu faktor produksi dan bagian dari biaya dalam suatu usaha. Usaha peternakan yang demikian selalu berskala kecil, bersifat sederhana dan tradisional, walaupun demikian pengalaman beternak yang cukup lama akan memberikan informasi pada tujuan beternak yaitu memberikan nilai tambah bagi kehidupannya.
2.2.2 Penerimaan Jumlah total penerimaan dari suatu proses produksi dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah hasil produksi dengan harga produk bersangkutan. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari penjualan hasil produksi. Hernanto (1991) menyatakan bahwa penerimaan usaha tani (farm receipts) sebagai penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan investasi dan nilai penjualan hasil serta nilai penggunaan yang dikonsumsi rumah tangga.
2.2.3 Ukuran Pendapatan Pendapatan usahatani merupakan selisih dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh (Hernanto1989). Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani, sama halnya dengan usaha ternak. Karena merupakan mengukur ukuran keuntungan usaha ternak yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usaha ternak (Soekartawi 1986).
2.2.4 Return Cost Ratio Analisis R/C adalah singkatan dari Revenue Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya. Secara teoritis bila rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi (Soekartawi 1995). Rasio penerimaan dan biaya merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keuntungan relatif dari suatu usaha berdasarkan perhitungan finansial, dimana akan diuji
17 seberapa besar setiap rupiah dari biaya yang dikeluarkan yang dapat memberikan penerimaan.
2.2.5 Rentabilitas Rentabilitas suatu usaha menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut atau dengan kata lain rentabilitas merupakan kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba selama periode tertentu (Riyanto 1984). Analisis rentabilitas pada dasarnya lebih penting daripada masalah laba karena laba yang besar bukan merupakan ukuran bahwa suatu usaha telah dikerjakan secara efisien. Efisien baru dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan kekayaan atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Tinggi rendahnya rentabilitas dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : 1. Volume penjualan 2. Efisiensi manajemen terutama dalam menekan biaya 3. Tenaga kerja 4. Jumlah modal 2.3 Analisis Location Quation (LQ) Menurut Budiharsono (2001), metode Location Quation digunakan untuk mengetahui penggolongan suatu sektor wilayah ke dalam sektor basis dan non basis. Location Quation merupakan suatu perbandingan besarnya sektor atau kegiatan terhadap besarnya peranan sektor tersebut pada wilayah yang lebih luas. Apabila LQ suatu sektor bernilai lebih dari atau sama dengan satu (≥1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari satu (<1), maka sektor tersebut merupakan sektor non basis. 2.4 Kapasitas Penambahan Populasi ternak Ruminansia (KPPTR) Potensi wilayah dapat diketahui dengan metode pengembangan pemetaan potensi wilayah. Pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia dapat dihitung dengan cara perhitungan Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (Ayuni 2005). Metode ini merujuk pada metode Nell
18 dan Rollinson (1974), digunakan untuk melihat seberapa besar suatu wilayah berpotensi untuk menambah populasi ternak ruminansia berdasarkan ketersediaan hijauan dan tenaga kerja di wilayah tersebut. Metode ini dapat lebih jelas dilihat pada bab metode peelitian. 2.5 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini terkait analisis potensi lahan untuk pengembangan peternakan rakyat sapi potong pernah dilakukan sebelumnya. Salah satunya Hardyastuti (2008) mengkaji tentang pengembangan peternakan dengan judul “Strategi Pengembangan Wilayah Kabupaten Grobogan Sebagai Sentra Produksi Sapi Potong”. Tujuan penelitian tersebut selain mengidentifikasi potensi dan kendala yang dimiliki oleh Kabupaten Grobogan, sehingga dapat direkomendasikan strategi yang tepat untuk usaha pengembangan wilayahnya sebagai sentra produksi sapi potong. Dengan alat analisis LQ menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan memiliki delapan kecamatan yang tingkat kepemilikan sapi potongnya relatif lebih baik dari yang lain (LQ>1). Hasil analisis KPPTR menunjukkan bahwa nilai total KPPTR efektif Kabupaten Grobogan -24.480 ST. Tetapi hal ini tidak berarti setiap wilayah di Kabupaten Grobogan memiliki nilai KPPTR efektif yang negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Hermansyah (2006) dengan judul “Kajian Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur” salah satu tujuannya adalah menganalisa tingkat pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta dengan melihat nilai Return Cost ratio (R/C rasio). Berdasrkan perhitungan menunjukan bahwa pemeliharaan ternak sapi potong oleh peternak masih bersifat tradisional. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong sebesar 11,11% dari total pendapatan keluarga atau sebesar Rp 1 054 020.26 per tahunnya. Nilai Return Cost ratio (R/C rasio) menunjukan angka 1,51. Hal ini menegaskan bahwa usaha ternak sapi potong dapat dikembangkan di daerah Kecamatan Agrabinta.
19 Lain halnya dengan Sutisna (2008) mengkaji wilayah pengembangan dengan judul penelitian “Identifikasi Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Garut” menggunakan metode analisis Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR). Kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia sapi potong menunjukan masih mampu untuk menampung penambahan jumlah ternak sapi potong di setiap wilayah kecamatan-kecamatan Kabupaten Garut. Peningkatan jumlah ternak sapi potong, dapat menambah jumlah wilayah basis populasi sapi potong dan lebih menyebar ke seluruh wilayah kecamatan. Wilayah yang
diprioritaskan
yaitu,
kecamatan
Caringin,
Bungbulang,
Cikelet,
Pameungpeuk, Cibalong, Cisompet, dan Malangbong karena termasuk wilayah basis populasi sapi potong dan mempunyai KPPTR positif atau mempunyai daya dukung dilihat dari potensi hijuannya untuk pakan sapi potong. Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam menganalisis tujuan penelitian dalam tulisan ini. Jenis kegiatan yang dikaji dalam penelitian ini adalah potensi lahan dan aktivitas peternak sebagai acuan guna pengembangan ternak sapi potong. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut dimana tempat yang memiliki populasi sapi potong terbanyak sehingga layak untuk diidentifikasi potensi lahannya
20
III
KERANGKA PEMIKIRAN
Kebutuhan pangan yang bergizi menjadikan kebutuhan daging sapi meningkat. Sehingga diperlukan peranan sektor peternakan dalam pengembangan suatu wilayah yang dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya peternakan dan pengelolaan sumberdaya alam dengan baik, serta dengan dukungan faktor-faktor lain seperti sumberdaya manusia, kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Usaha ternak tersebut dengan pengembangan usaha ternak sapi potong berguna untuk memenuhi kebutuhan daging sapi secara lokal maupun nasional. Usaha ternak salah satunya dapat dilihat dari budidaya yang dilakukan oleh peternak. Budidaya dilakukan di wilayah yang merupakan wilayah basis atau wilayah yang memiliki populasi sapi yang cukup banyak. Selanjutnya, budidaya ternak sapi potong dapat didukung oleh aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Budidaya yang terjadi yang dilakukan oleh peternak pada umumnya masih bersifat tradisional, dimana usaha ternak sapi potong masih dianggap sebagai usaha sambilan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan peternakan, khususnya ternak sapi potong sebagai salah satu sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Identifikasi usaha ternak guna pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Garut dapat dilihat dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan di Kecamatan Malangbong sebagai sentra sapi potong. Usaha ternak sapi potong diawali dengan menganalisis LQ berguna mengetahui apakah wilayah Kecamatan Malangbong merupakan wilayah basis atau non basis dan melihat wilayah Kecamatan lainnya di Kabupaten Garut. Aspek ekonomi ini menganalisa tingkat pendapatan peternak dengan menentukan R/C rasio dan tingkat rentabilitasnya. Aspek lingkungan menganlisa daerah hijauan dalam upaya pengembangan wilayah ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong berdasrkan sumber pakan. Selain Kecamatan Malangbong, akan dilihat di Kabupaten Garut, wilayah mana yang masih mampu menampung penambahan populasi ternak sapi potong dengan analisis KPPTR. Setelah itu dianalisa hubungan antara tingkat pendapatan dan daerah hijauan yang baik, hal ini dimaksudkan untuk menentukan keberlanjutan
21 pengembangan usaha ternak sapi potong di daerah tersebut. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Usaha Peternakan Sapi
Wilayah Basis dan Non Basis
Aspek Lingkungan
Aspek Ekonomi
Biaya Produksi :
Total Revenue:
-
Penjualan
-
Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya tidak tetap (variabel cost)
Daerah Hijauan
Ternak
Analisis Ekonomi
Analisis KPPTR
(Pendapatan)
R/C Rasio
Rentabilitas
Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran
22
IV METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat selama bulan Maret-April 2013. Penetapan lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan rekomendasi dan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut merupakan daerah sentra usaha peternakan sapi potong yang cukup menjanjikan.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan pembeli daging sapi (rata-rata pembelian) dan peternak sapi potong (biaya dan penerimaan). Data sekunder yang digunakan antara lain data-data yang terkait dengan daerah penelitian diperoleh dari studi pustaka dan literatur dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Perternakan, Badan Pusat Statistik, Perpustakaan LSI, Perpustakaan Daerah Kabupaten Garut, dan lembaga terkait lainnya. Data-data tersebut dapat untuk mengetahui keadaan umum daerah penelitian seperti letak dan luas daerah, kondisi lahan, dan populasi sapi potong.
4.3 Penentuan Jumlah Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling yaitu snowball sampling. Menurut Prasetyo dan Jannah (2008), snowball sampling digunakan apabila peneliti tidak mempunyai informasi mengenai anggota populasi dan hanya memiliki satu nama anggota populasi. Karena bersifat homogen, peternak yang dipilih adalah peternak di daerah penelitian yang memelihara tenak sapi potong sebanyak 22 responden.
23 4.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam analisis ekonomi dan pengembangan usaha penggemukan ternak sapi potong di Kabupaten Garut dilakukan melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan mengumpulkan data-data dari Badan Pusat Statistik.
4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1 Analisis Deskriptif Metode deskriptif menurut Whitney (1960) dalam Nazir (2003), merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode deskriptif ini memiliki tujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif ini digunakan untuk menjawab beberapa tujuan penelitian yang akan dilakukan. Penjelasan secara deskriptif berdasarkan informasi dan data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung. 4.5.2 Analisis LQ Metode LQ digunakan untuk menganalisis keadaan suatu wilayah apakah suatu wilayah tersebut merupakan sektor basis atau non basis (Budiharsono, 2001 dalam Sutisna, 2008), dalam hal ini terutama populasi ternak sapi potong di Kabupaten Garut. Metode LQ dirumuskan sebagai berikut: LQ = (vi/vt)/(Vi/Vt) Keterangan: vi = Populasi Sapi Potong Kecamatan vt = Jumlah Kepala Keluarga Kecamatan Vi = Populasi Sapi Potong Kabupaten Vt = Jumlah Kepala Keluarga Kabupaten
Apabila LQ suatu sektor bernilai lebih dari atau sama dengan 1 (≥ 1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari 1 (< 1), maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.
24 4.5.3 Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Ternak Sapi Potong Analisis ekonomi digunakan untuk mengetahui besarnya biaya produksi, penerimaan, pendapatan, R/C rasio dan rentabilitas usaha peternakan sapi potong. Biaya total (total cost) adalah semua pengeluaran untuk proses produksi baik biaya tetap (fixed cost) maupun biaya tidak tetap (variabel cost). Penulisan secara matematis sebagai berikut: (Prawirokusumo 1990)
TC = TFC + TVC Keterangan:
TC
= Total Cost (Rp/th)
TFC
= Total Fixed Cost (Rp/th)
TVC
= Total Variabel Cost (Rp/th)
Tabel perhitungan biaya-biaya dalam usaha ternak Uraian Biaya Variabel Pakan Obat-obatan Perlengkapan Air Listrik Transportasi Biaya Tetap Sewa Kandang Penyusutan Kandang Penyusutan Peralatan Tenaga Kerja Pembelian Bakalan Total Biaya
Jumlah …… …… ....... …… …… …… …… …… …… …… ……
Penerimaan (total revenue) adalah hasil yang diterima peternak dari penjualan output produksi. Penulisan secara matematis sebagai berikut: TR = Pq x Q Keterangan:
(Prawirokusumo 1990) TR
= Total Revenue (Rp)
Pq
= Price of quantity / harga produk per satuan(Rp/kg)
Q
= Quantity / produksi (kg)
Tabel perhitungan penerimaan dari penjualan ternak Uraian Penjualan Ternak Sapi Total Penerimaan
Bobot (kg)
Jumlah (ekor) …..
Harga (Rp) …..
Nilai Ratarata ….. …… ……
25
Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan peternak. Penulisan secara matematis yaitu: P = TR – TC Keterangan:
(Prawirokusumo 1990) P
= Pendapatan (Rp/th)
TR
= Total Revenue (Rp/th)
TC
= Total Cost (Rp/th)
Perhitungan R/C rasio dipergunakan untuk melihat efisien atau layak tidaknya usaha ternak sapi potong. Apabila nilai R/C rasio=1, maka usaha tersebut masih dapat dijalankan tetapi usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi. Jika R/C rasio > 1 maka usaha tersebut layak dijalankan. perhitungan R/C rasio dengan rumus sebagai berikut: R/C = Revenue / Cost
(Soekartawi, dkk, 1986)
Rentabilitas adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rumus matematisnya adalah sebagai berikut: R=
x 100%
Keterangan :
(Riyanto 1984) R
= Rentabilitas (%)
L
= Laba (Rp/th)
MU
= Modal Usaha (Rp)
Tabel perhitungan keuntungan, R/C rasio dan rentabilitas Uraian Total Penerimaan (TR) Total Biaya (TC) Keuntungan (TR-TC) R/C Rasio Rentabilitas
Nilai Rata-rata ……. ……. ……. …… ……
26 4.5.4 Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia Metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) merupakan suatu pendekatan untuk menunjukkan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak. Metode Nell dan Ro llinson (1974) merupakan metode langsung yang memperhitungkan setiap sumber hijauan. Dalam metode ini hijauan yang digunakan adalah hijauan yang berasal dari padang rumput permanen, sawah bera, tanah kering/tegalan, perkebunan dan hutan. Sumber hijauan makanan ternak juga didapatkan dari Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP/limbah pertanian). Limbah pertanian yang digunakan adalah jerami padi, jerami jagung, daun ubi jalar, daun ubi kayu, daun kacang kedelai dan daun kacang tanah. Produksi HHSP diperoleh dengan mengalikan masing-masing luas panen limbah pertanian dengan konversinya sehingga didapat hijauan asal limbah pertanian dalam satuan ton BK per tahun.
Tabel 6 Nilai Konversi Hijauan Penghasil Rumput Jenis Lahan Sawah Bera Galangan Sawah Tegalan/Kering semusim Kebun Campuran Perkebunan Padang, Semak Hutan
Nilai Konversi 10% dari total persawahan 3% dari total persawahan 1% dari total Tegalan/Kering semusim 5% dari total kebun campuran 5% dari total perkebunan 15 ton/ha/tahun rata-rata produksi padang rumput 5% dari total hutan
Tabel 7 Nilai Konversi Hijauan Hasil Sisa Pertanian Jenis Jerami Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kedelai Kacang tanah
Nilai konversi HHSP Luas panen (ha) x 0.23 (ton/ha/thn) Luas panen (ha) x 0.80 (ton/ha/thn) Luas panen (ha) x 0.26 (ton/ha/thn) Luas panen (ha) x 1.20 (ton/ha/thn) Luas panen (ha) x 1.07 (ton/ha/thn) Luas panen (ha) x 1.44 (ton/ha/thn)
Hijauan yang tersedia diperoleh dengan menjumlahkan hijauan rumput dengan limbah pertanian dalam satuan ton BK per tahun. Kapasitas tampung suatu wilayah dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
27 KT (ST/tahun) = Keterangan : 6.29 = kebutuhan bahan kering ternak per ekor/hari 365 = banyaknya hari dalam 1 tahun Kapasitas tampung yang diperoleh dalam ST per tahun akan digunakan dalam menghitung nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) dengan rumus sebagai berikut : KPPTR (ST/tahun) = KT – Populasi Riil Populasi riil ternak yang didapatkan dari penjumlahan total ternak ruminansia dalam ST, dengan ketentuan : 1. Untuk sapi, 1 ekor sapi = 0.7 ST, atau Dewasa (umur >2 thn) = 1 ST Muda (umur 1-2 thn) = 0.5 ST Dara (umur <1)
= 0.25 ST
2. Untuk kerbau, 1 ekor kerbau = 0.8 ST 3. Untuk kambing dan domba, 1 ekor kambing/domba = 0.14 ST
Definisi Istilah 1. Sumberdaya Peternakan adalah segala sesuatu (faktor produksi) yang digunakan dalam usaha ternak sapi potong yang meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya lingkungan pendukung. 2. KPPTR adalah kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia, yaitu suatu pendekatan untuk menunjukan kemampuan atau kapasitas wilayah dalam penyediaan makanan ternak serta melihat apakah dari ketersediaan hijauan dan tenaga kerja masih memungkinkan untuk dilakukan penambahan ternak. 3. Location quation adalah koefisien yang akan menunjukan apakah suatu wilayah merupakan wilayah kegiatan basis atau non basis.
28
V GAMBARAN UMUM 5.1 Karakteristik Wilayah Kecamatan Malangbong 5.1.1 Wilayah Administratif Kecamatan Malangbong Kecamatan Malangbong terletak di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 9 260.2 ha. Secara geografis Kecamatan Malangbong berbatasan dengan wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang,
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya,
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibatu dan Kecamatan Kersamanah,
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Selaawi. Kecamatan Malangbong tahun 2011 terdiri dari 24 desa atau kelurahan yang
terbagi dalam 70 dusun, 136 Rukun Warga RW/RK dan sebanyak 631 Rukun Tetangga. Kelurahan Malangbong merupakan desa/kelurahan dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) paling banyak sebanyak 32 RT dan Rukun Warga (RW) sebanyak 8 RW. Kecamatan dengan RT paling sedikit adalah desa Sakawayana dengan jumlah RT sebanyak 8 RT dan 6 RW. Desa yang menjadi lokasi penelitian untuk mengamati peternak terdapat di desa Mekarasih. Di desa Mekarasih memiliki sumberdaya lahan dan hijauan pakan ternak yang cukup memadai untuk beternak sapi potong. Akibatnya di desa Mekarasih juga terdapat perusahaan besar sapi potong yaitu PT. Citra Agro Buana Semesta.
5.1.2 Proporsi Wilayah Kecamatan Malangbong Kecamatan Malangbong terletak di wilayah sebelah utara Kabupaten Garut sebagian besar desa-desanya terletak didaerah lereng atau punggung bukit. Kecamatan Malangbong memiliki iklim tropis, curah hujan yang cukup tinggi, dengan rata-rata curah hujan perbulan 13.85 hari. Hari hujan yang banyak dan lahan yang subur serta ditunjang dengan banyaknya aliran sungai baik, hal ini menyebabkan sebagian besar dari luas wilayahnya dipergunakan untuk lahan pertanian.
29 Kecamatan Malangbong memiliki ketinggian wilayah yang berada di dataran tinggi berkisar antara 500 - 1 700 meter dari permukaan air laut. Luas wilayah paling besar yang berada pada ketinggian berkisar antara 500 sampai 1000 mdpl sebesar 70 persen. Sisanya 30 persen wilayah Kecamatan Malangbong berada pada ketinggian diatas 1000 mdpl. Proporsi wilayah berdasarkan ketinggian di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Proporsi Wilayah Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut Ketinggian Proporsi 0-25 mdpl 0% 25-100 mdpl 0% 100-500 mdpl 0% 500-1000 mdpl 70% > 1000 mdpl 30% Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011
Kemiringan di wilayah Kecamatan Malangbong cukup curam dan terjal. Persentase kemiringan yang berada sekitar 0-2 persen sebesar 16 persen dan 15-40 sebesar 16 persen. Rata-rata kemiringan di Kecamatan Malangbong berkisar 2-5 persen tidak terlalu curam sehingga pada wilayah ini bisa digunakan untuk lahan pertanian. Proporsi wilayah menurut kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Proporsi Wilayah Menurut Kemiringan Lahan Kemiringan 0-2 % 2-5 % 15-40 % > 40 %
Proporsi 16% 36% 16% 33%
Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011
Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Malangbong didominasi oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Luas lahan di Kabupaten Garut menurut penggunaannya terdiri atas tegalan/kering semusim sebesar 30 persen yang merupakan proporsi terbesar. Luas lahan persawahan memiliki proporsi terbesar kedua yaitu sebesar 24 persen. Penggunaan wilayah lainnya yaitu kebun campuran sebesar 18 persen, hutan sebesar 14 persen dan perkampungan 12 persen. Rincian proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 10.
30 Tabel 10 Proporsi Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Penggunaan Perkampungan Industri Pertambangan Persawahan Tegalan/Kering Semusim Kebun Campuran Perkebunan Padang Semak Hutan Perairan Darat Lain-lain
Proporsi 12% 0% 0% 24% 30% 18% 0% 0% 14% 0% 2%
Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011
5.1.3 Komoditas Unggulan Kecamatan Malangbong Sektor pertanian di Kecamatan Malangbong merupakan sektor yang sangat dominan, oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi berpihak pada pembangunan perekonomian rakyat terutama di daerah pedesaan guna meningkatkan perekonomian rakyat petani. Salah satu sektor pertanian yang perlu dikembangkan adalah peternakan. Peternakan di Kecamatan Malangbong cukup mempunyai potensi untuk dikembangkan karena dilihat dari wilayahnya cukup untuk mendukung perkembangan peternakan, kemudian sumberdaya manusia yang dimiliki cukup melimpah untuk mengelola peternakan yang dikembangkan serta didukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan peternakan . Kecamatan
Malangbong
memiliki
potensi
untuk
mengembangkan
komoditas unggulan. Komoditas pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan, tersebar di beberapa wilayah. Kecamatan Malangbong memiliki komoditas unggulan pertanian berupa padi, petai, ubi kayu, sawo, melinjo, pisang dan jagung. Kemudian cengkeh, kopi, kunir dan teh menjadi unggulan komoditas perkebunan. Beberapa komoditas unggulan yang komoditas peternakan di Kecamatan Malangbong yaitu domba, sapi potong dan sapi perah. Komoditas-komoditas tersebut memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah Kecamatan Malangbong khususnya dan Kabupaten Garut umumnya. Sektor sumberdaya yang ada di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 11.
31 Tabel 11 Tabel Sumber daya yang ada di Kecamatan Malangbong Sektor Uraian Pertanian Padi, Petai, Ubi Kayu, Sawo, Melinjo, Pisang, Jagung Peternakan Ternak Besar = 14 867 Unggas = 97 250 Kehutanan Perkebunan Cengkeh, Kopi, Kunir, The Kelautan Pertambangan Kaolin Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011
Peternakan
di
Kecamatan
Malangbong
mempunyai
potensi
untuk
dikembangkan karena didukung sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia yang baik untuk mengelola peternakan. Jumlah populasi ternak di Kecamatan Malangbong berperan besar terhadap jumlah peternakan di Kabupaten Garut sehingga perkembangan ternak dari tahun ke tahun terus meningkat. Populasi dan perkembangan ternak ruminansia di Kabupaten Garut dari tahun 2006-2011 disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Jumlah ternak ruminansia Kabupaten Garut (2006-2011) Jenis Ternak Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Domba Kambing
Jumlah Ternak (ekor) 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Perkem bangan (%/thn)
8 566
11 633
12 099
12 587
12 925
28 378
166.09
14 157 17 425 416 158 73 122
15 297 15 872 509 025 75 193
16 197 12 392 589 676 76 846
16 637 9 564 601 469 78 315
17 302 9 564 802 522 75 481
21 858 17 372 788 582 81 923
46.98 27.98 71.85 11.86
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Garut, 2012
Perkembangan lima jenis ternak ruminansia pada Tabel 11 menunjukan bahwa perkembangan ternak sapi potong memiliki perkembangan yang paling cepat sebesar 166.09 persen per tahun, sedangkan domba memiliki perkembangan sebesar 71.85 persen per tahun, dan yang paling rendah perkembangannya adalah ternak ruminansia kambing yaitu sebesar 11.86 persen per tahun. Kecamatan malangbong terletak di wilayah bagian utara Kabupaten Garut. Kecamatan Malangbong memiliki luas wilayah sebesar 9 260 ha. Lokasi penelitian untuk mengamati peternak berlangsung di Kecamatan Malangbong
32 yang memiliki populasi sapi potong paling banyak. Jumlah sapi potong di Kecamatan Malangbong sebanyak 9 336 ekor. Sebesar 32.90 persen jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Garut terdapat di Kecamatan Malangbong sehingga penelitian ditujukan di keceamatan tersebut. Jumlah populasi sapi potong di Kecamatan Malangbong dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah populasi sapi potong di 3 kecamatan No. Kecamatan Sapi Potong (ekor) 1 Malangbong 9 336 2 Cibalong 3 020 3 Selaawi 2 518 Jumlah total seluruh kecamatan 28 378
Persentase (%) 32.90 10.64 8.87 52.41
Sumber:Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kab. Garut
5.2 Sosial Masyarakat Kabupaten Garut 5.2.1 Populasi Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Malangbong pada tahun 2011 sebesar 110 802 jiwa. Dengan luas wilayah sekitar 92.6 km2 menjadikan setiap km2nya rata-rata didiami lebih dari 1 282 dengan sebaran yang tidak merata pada setiap desanya yang terakumulasi di desa Sukaratu dengan tingkat kepadatan penduduk setiap km2nya mencapai 3 533 jiwa sedangkan tingkat kepadatan terendah terdapat di desa Cilampuyang yang didiami oleh sekitar 342 jiwa setiap km 2. Kecamatan Malangbong memiliki jumlah rumah tangga sebanyak 28 195 rumah tangga, dengan banykanya jiwa atau anggota setiap rumah tangga rata-rata lebih dari 4 orang. Hal ini mempengaruhi beban dari setiap rumah tangga, karena dengan semakin banyaknya anggota rumah tangga jelas akan semakin meningkatkan beban tanggungan dari rumah tangga tersebut. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 56 641 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 54 161 jiwa. Jumlah penduduk di Kecamatan Malangbong sebesar 4.53 persen dari total penduduk di Kabupaten Garut yang pada tahun 2011 sebesar 2 445 911 jiwa, dengan laju pertambahan penduduk di Kecamatan Malangbong sebesar 1.64 jiwa per tahun.
33 Tabel 14 Demografi di Kecamatan Malangbong Uraian Jumlah Penduduk - Penduduk Laki-laki (Jiwa) - Penduduk Perempuan (Jiwa) Laju Pertambahan Penduduk (LPP) Jumlah Rumah Tangga Kepadatan Penduduk - Jiwa per km2 - Jiwa per desa Mata Pencaharian Agama
Keterangan 110 802 56 641 54 161 1.64 24 737 1 199.42 4 817 Agribisnis, Perdagangan Islam : 107 397
Sumber: Profil Kecamatan Malangbong 2011
5.3.1 Karakteristik Peternak Total usia peternak responden di daerah penelitian berkisar antara 21-61 tahun dengan rataan usia sebesar 44 tahun. Berdasarkan kajian, usia peternak tersebut masuk dalam katagori usia yang relatif produkif yaitu antara 16-60 tahun. Hal ini membuktikan bahwa usia peternak saat ini dalam mengelola usaha ternak sapi potong berpotensi menjadi besar. Tingkat pengalaman beternak menurut hasil penelitian berkisar antara 2-30 tahun dengan rataan 14 tahun. Pengalaman tersebut biasanya diperoleh secara turun-menurun dari orangtua maupun kerabat peternak. Semakin lama pengalaman beternak, semakin banyak pula pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap sistem pemeliharaan ternak yang lebih baik. Berdasarkan tingkat pendidikan peternak sapi, lama pendidikan yang ditempuh menyebar antara 6-9 tahun dengan rataan 7 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak masih tergolong rendah dengan kisaran hanya tamat sekolah dasar. Oleh karena itu, diperlukan tenaga teknis lapangan untuk memberikan penyuluhan lapangan dari dinas terkait di daerah tersebut yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dalam usaha ternak yang dijalankan. Jumlah tanggungan keluarga peternak berkisar antara 0-5 orang dengan rataan sebesar 3 orang. Berdasarkan data di daerah penelitian tersebut bahwa jumlah tanggungan masih relatif sedang. Biasanya anggota keluarga dapat berperan memelihara ternak sapi, sehingga dalam beternak dapat lebih mudah mengelola ternak dengan bantuan keluarga.
34 Berdasarkan hasil kuesioner di daerah penelitian menunjukkan bahwa motivasi beternak peternak memiliki rentang skor 0-1, dimana kriteria (0) merupakan motivasi dari alasan lain misalnya karena dorongan orang lain sedangkan (1) merupakan motivasi dari diri sendiri. Rata-rata motivasi sebesar 0.8 menyatakan bahwa peternak di daerah penelitian umumnya memiliki motivasi sendiri dalam usaha ternak. Tenaga kerja yang digunakan peternak di daerah penelitian biasanya dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga yang tidak dibayar. Akan tetapi tenaga diluar keluarga (upahan) menjadi alternatif apabila tenaga kerja dalam keluarga berhalangan tidak dapat mengerjakan rutinitas peternakan. Pada umumnya tenaga upahan bekerja mencari hijauan pakan yang diberi upah sebesar Rp 250-300 per kilogram. Jumlah ternak yang dipelihara di daerah penelitian berkisar 1-6 ekor. Rataan jumlah ternak sebesar 3 ekor dengan luas kandang sapi yang menyebar antara 524 m² dengan rataan luas kandang sebesar 13.65 m². Sehingga rata-rata luas kandang per ekor sebesar 4.5 m2/ekor. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Karakteristik responden di daerah penelitian Karakteristik Peternak Usia Pengalaman Beternak Tingkat Pendidikan Jumlah Tanggungan Keluarga Motivasi Beternak Jumlah Ternak Luas Kandang
Satuan tahun tahun tahun orang orang ekor m²
Rentang 21 -61 2 – 30 6–9 0–5 0–1 1–6 5 – 24
Rataan 44.05 13.65 6.6 3.15 0.8 2.5 13.65
Sumber: Data primer diolah (2013)
5.3.2 Sistem Pemeliharaan Ternak Sistem pemeliharaan sapi di Kecamatan Malangbong umumnya sudah bersifat intensif dimana ternak dikandangkan tidak lagi digembalakan. Seluruh kebutuhan hidup ternak diatur oleh manusia. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peternak sapi potong yang terdapat di daerah penelitian sebagai berikut :
35 1. Pemberian Pakan dan Minum Pakan merupakan unsur yang sangat vital dalam usaha peternakan. Ketersediaan pakan dan volume pakan yang cukup dan bergizi akan membuat sapi akan tumbuh sehat dan produktif dalam menghasilkan bobot yang ideal dalam menghasilkan daging. Jenis pakan sapi yaitu pakan pokok terdiri dari hijauan (rumput dan limbah pertanian) dan pakan penguat (konsentrat dan vitamin). Selain pakan ketersediaan air untuk minum ternak juga mempunyai fungsi yang vital untuk proses pertumbuhan dan perkembangan ternak. Pemberian pakan dan minum di daerah penelitian dilakukan oleh peternak sendiri dan dibantu oleh keluarga seperti istri dan anak-anaknya. Peternak umumnya memberikan pakan rumput-rumputan yang diarit dari lahan hijauan sekitar tempat mereka tinggal. Rumput yang diberikan ke ternak sapi diberi sedikit garam yang dilarutkan dengan air. Garam diperlukan untuk menyimpan air dan sebagai sumber mineral di dalam tubuh ternak serta mempermudah proses pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan. Selama penelitian tidak ada responden peternak yang memeberikan pakan konsentrat pada ternaknya, seluruh responden penelitian memberikan pakan hijauan berupa rumut benggala, rumput lapangan dan juga hasil limbah pertanian. Pemberian pakan hijauan biasanya diberikan sebanyak 20-40 kg untuk setiap 1 ekor ternak. 2. Pembersihan Kandang Kandang merupakan tempat tinggal ternak sehingga kebersihannya harus diperhatikan untuk kenyamanan dan menghindari ternak dari serangan penyakit. Kandang sangat berpengaruh terhadap kesehatan sapi. Di daerah penelitian letak kandang berdekatan dengan rumah peternak. Pembersihan kandang di daerah penelitian dilakukan setiap hari pagi dan sore dengan menggunakan sapu lidi dan sekop. Terkadang peternak menggunakan air untuk membersihkan kandang. Kotoran sapi dikumpulkan di lubang sementara yang biasanya terdapat di sekitar kandang. Bagi beberapa peternak, setelah kotoran dikumpulkan beberapa hari, feses akan dijual sebagai pupuk kandang. Adapula peternak yang membuang kotorannya di lahan pertanian mereka supaya lahannya subur. Pada umumnya peternak jarang menggunakan desinfektan untuk membersihkan kandangnya.
36 3. Pembersihan Ternak Sapi Pembersihan ternak sapi bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit dan parasit yang terdapat di tubuh ternak sapi. Parasit dapat menurunkan produktivitas ternak. Di daerah penelitian pembersihan ternak dilakukan dengan cara memandikan ternak apabila ternak sudah kelihatan kotor. Namun ada beberapa peternak yang tetap membiarkan ternaknya dalam keadaan kotor. Hal ini dapat mengakibatkan ternak dapat terserang penyakit. 4. Pengendalian Penyakit Masalah penyakit dapat menghambat pertumbuhan ternak sehingga dapat merugikan peternak. Penyakit yang sering menyerang ternak sapi di daerah penelitian adalah sakit perut. Selain itu ada penyakit lain seperti batuk, masuk angin dan cacingan. Untuk mengatasi penyakit biasanya peternak menggunakan ramuan alami seperti campuran daun pisang di bahan pakan ternak. Apabila ternak tidak sembuh juga dan penyakit semakin parah, maka peternak biasanya memanggil petugas dari Dinas Peternakan yang diwakili oleh inseminator untuk mengobati sakit pada ternak. 5. Pemasaran Ternak Sapi Penjualan ternak sapi di daerah penelitian dilakukan saat sapi masih hidup. Pada umumnya peternak menjual ternaknya kepada agen ternak atau yang disebut “belantik” yang langsung datang kerumah peternak atau kepada calon pembelinya langsung. Ternak sapi dijual biasanya saat umur diatas umur 1 tahun dengan bobot 200-300 kg. Nilai dari bobot hidup sapi sebesar Rp 35 000/kg. Apabila penjualan ternak dalam bentuk karkas sebesar Rp 75 000/kg. Bobot hidup sapi potong ideal sebesar 400 kg sehingga setelah dipotong menghasilkan karkas sebesar 200 kg (50% dari bobot hidup) dan menghasilkan daging daging sebesar 140 kg (70% dari Karkas). Penjualan ternak biasanya dilakukan pada saat musim haji (Idul Qurban), musim hajatan (pernikahan, aqiqahan, dan lain-lain), dan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. 5.3.3 Kepemilikan Sebagian besar di daerah penelitian hak kepemilikan sapi potong merupakan kepemilikan pribadi. Masyarakat memilih berternak sapi potong karena
37 menganggap usaha tersebut merupakan investasi yang dapat dipakai sewaktuwaktu saat mereka membutuhkan uang. Oleh sebab itu masyarakat memilih membeli sapi potong sebagai usaha sambilan mereka. Hak kepemilikan sapi potong milik orang lain yang dipelihara oleh peternak juga ditemukan di daerah penelitian. Sapi potong dipelihara oleh peternak dengan perjanjian keuntungan dari penggemukan dibagi dengan pemilik asli sesuai kesepakatan bersama.
5.3.4 Input Produksi Ternak Input yang digunakan dalam memelihara ternak di daerah penelitian meliputi pembelian bakalan, pemberian pakan, pembuatan kandang dan peralatan. Di daerah penelitian peternak membeli bakalan dari peternak lainnya mempunyai usaha pembibitan sapi potong atau peternak lain yang sedang membutuhkan uang sehingga menjual sapinya. Peternak penjual sapi bakalan untuk penggemukan biasanya juga mendatangkan sapi potong dari daerah jawa timur atau jawa tengah sesuai dengan pemesanan. Peternak dapat membeli bakalan di pasar ternak. Harga sapi potong di nilai dari bobot hidup sapi berkisar Rp 35 000 sampai Rp 37 000 per kilogram. Bangsa sapi yang paling banyak dipelihara di daerah penelitian adalah Sapi Simental, Limousin, Brahman, dan Peranakan Onggole. Usaha ternak sapi potong diperlukan tempat untuk memelihara ternak yaitu kandang sebagai tempat berteduh sapi potong beserta peralatan pendukung pemeliharaan. Peralatan yang digunakan meliputi tempat minum, sabit, cangkul atau sekop, sarung tangan, sepatu boot. Sapi membutuhkan pakan dan juga obatobatan untuk kehidupan sapi itu sendiri. Sapi membutuhkan pakan setiap hari agar berat sapi bertambah dan meningkatkan nilai jual sapi potong. Pakan sapi terdiri dari bahan makanan hijauan seperti rumput dan sisa-sisa hasil pertanian serta dapat ditambah dengan konsentrat.
5.3.5 Output Output yang ingin dicapai peternak dalam usaha penggemukan ternak sapi potong adalah pertambahan bobot sapi yang signifikan. Semakin meningkat berat bobot sapi semakin tinggi pula nilai jual sapi potong. Bobot hidup sapi bakalan
38 rata-rata sebesar 200 kg, setelah dipelihara selama sekitar 4 bulan diharapkan berat sapi bertambah satu kg per hari sehingga berat akan bertambah sebesar 120 kg. Keuntungan usaha ternak sapi potong yang dihasilkan didapat dari pertambahan bobot tersebut. Laba yang dihasilkan adalah selisih penjualan dengan modal yang dikeluarkan. dengan bersih yang dihasilkan dengan pertambahan bobot. Apabila peternak ingin meningkatkan bobot sapi maka sapi harus terus diberi makan sehingga bobot akan terus bertambah dan kesehatan sapi harus terjaga. Berikut adalah perhitungan sederhana (tanpa biaya kandang dan peralatan) usaha penggemukan ternak sapi potong dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Analisis usaha penggemukan ternak sapi potong (1 periode panen=120 hari) Kebutuhan Modal
Volume
Bakalan
1
Satuan
Harga Satuan
Jumlah
Keterangan
Ekor
10 500 000
10 500 000
300 Kg x Rp 35 000 (harga bobot hidup) Pemberian Hijauan per hari sebanyak 30 kg selama 120 hari (30 x 120)
Pakan Hijauan Makan Ternak 120 hari (10% bobot hidup)
3 600
Kg
250
900 000
Pakan Konsentrat 120 hari (20% dari hijauan=6 Kg/hari)
720
Kg
2 400
1 728 000
paket
50 000
50 000
Kesehatan Hewan
1
TOTAL MODAL Laba Kotor: Peningkatan Berat Badan (1 Kg/ hari) Laba Bersih /panen Laba Bersih /bln
Pemberian Konsentrat per hari sebanyak 6 kg selama 120 hari (6 x 120)
13 178 000 420
Kg
14 700 000
Peningkatan berat badan sapi per hari 1 kg x 120 hari x Rp 35 000,-
1 522 000 380 500
Sumber: Data primer (diolah)
Laba yang dihasilkan dari usaha ternak sapi potong dalam sekali panen perekor sapi sebesar Rp 1 522 000 sehingga apabila dihitung perbulan petani akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 380 500. Pendapatan tersebut masih harus dikurangin oleh biaya pengeluaran berupa peralatan dan kandang, sehingga pendapatan peternak masih sangat kecil apabila hanya memelihara 1 ekor ternak saja.
39 Dalam pemeliharaan sapi dibutuhkan keterampilan agar sapi dapat memenuhi kriteria penjualan yang layak dan menguntungkan. Selain itu dalam usaha ternak perlu ditunjang lingkungan beternak yang baik untuk memudahkan dalam mengelola peternakan. Salah satu faktor vital dari lingkungan adalah ketersediaan pakan sebagai penghasil hijauan makanan ternak.
40
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Wilayah Basis dan Non Basis Ternak Sapi Potong di Kabupaten Garut Wilayah Kebupaten Garut saat ini terdiri dari 42 kecamatan memiliki beberapa wilayah kegiatan basis untuk peternakan sapi potong yang artinya beberapa wilayah atau kecamatan tersebut memiliki tingkat populasi ternak sapi relatif lebih banyak dibanding wilayah atau kecamatan lain. Wilayah basis ditunjukkan oleh hasil perhitungan Location Quation (LQ) dimana wilayahwilayah tersebut memiliki nilai LQ ≥ 1, dari 42 kecamatan di Kabupaten Garut terdapat 11 kecamatan yang merupakan wilayah basis dan sisanya termasuk wilayah non basis namun ada populasi ternak sapi potong. Wilayah yang termasuk dalam wilayah basis yaitu kecamatan Malangbong, Selaawi, Cibalong, Pameungpeuk, Mekarmukti, Cikelet, Caringin, Bungbulang, Kersamanah, Sukawening, dan Wanaraja. Wilayah basis populasi usaha ternak di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Wilayah basis dan nilai LQ ≥ ternak sapi potong Kabupaten Garut Kecamatan Nilai LQ Malangbong 6.34 Selaawi 6.06 Cibalong 5.74 Pameungpeuk 4.17 Mekarmukti 4.01 Cikelet 2.87 Caringin 1.79 Bungbulang 1.45 Kersamanah 1.34 Sukawening 1.31 Wanaraja 1.02 Sumber: Data sekunder diolah (2013)
Berdasarkan Tabel 20, Kecamatan Malangbong mempunyai jumlah populasi ternak sapi potong relatif lebih banyak dibandingkan kecamatan lainnya. Kecamatan Malangbong memiliki nilai LQ sebesar 6.34 paling tinggi diantara kecamatan lain dan kecamatan Wanaraja memiliki nilai LQ yang paling rendah di wilayah basis sebesar 1.02.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah penduduk
41 kecamatan Malangbong tidak sepadat kecamatan yang memiliki nilai LQ<1 dan memiliki populasi ternak sapi yang cukup banyak, sehingga di kecamatan ini berpotensi dalam pengembangan peternakan sapi potong. Akan tetapi masih perlu dilihat potensi hijauan yang ada di wilayah Kecamatan Malangbong. Kecamatan lainnya diluar dari sebelas wilayah basis mempunyai nilai LQ<1 sebanyak 31 kecamatan termasuk wilayah non basis. Wilayah tersebut menjadi wilayah non basis dapat dikarenakan memiliki populasi sedikit dan penduduk yang padat. Wilayah non basis dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Wilayah non basis dengan nilai LQ < 1 ternak sapi potong Kabupaten Garut Kecamatan Cisewu Talegong Pamulihan Pakenjeng Cisompet Peundey Singajaya Cihurip Cikajang Banjar Wangi Cilawu Bayongbong Cigedug Cisurupan Sukaresmi Samarang Pasir Wangi Tarogong Kidul Taragong Keler Garut Kota Karangpawitan Sacinaraja Pangatikan Karang Tengah Banyuresmi Leles Leuwigoong Cibatu Cibiuk Kadungora Bl Limbangan Sumber: Data sekunder diolah (2013)
Nilai LQ 0.77 0.33 0.16 0.40 0.74 0.09 0.03 0.01 0.01 0.02 0.34 0.11 0.09 0.11 0.07 0.04 0.16 0.10 0.08 0.26 0.85 0.42 0.86 0.56 0.09 0.15 0.04 0.13 0.26 0.20 0.67
42 6.2 Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong 6.2.2 Input dan Output Produksi Usaha Ternak Sapi Potong Usaha ternak sapi potong ini seperti halnya dalam usaha-usaha lainnya, seorang peternak selalu bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Berikut adalah input dan output yang dihasilkan dari usaha ternak di daerah penelitian: Input dan Output Produksi Usaha Ternak Sapi Potong Kandang Pribadi Input produksi merupakan barang-barang atau faktor-faktor produksi dalam usaha menghasilkan output. Input yang digunakan peternak selama beternak di daerah penelitian meliputi pembelian sapi bakalan. Bakalan dipilih sesuai kriteria umum dalam usaha penggemukan sapi potong. Kriteria bakalan yang digunakan untuk digemukkan diantaranya berjenis kelamin jantan dan memiliki umur sapi berkisar antara 1.5 tahun hingga 2 tahun ke atas. Sapi betina umumnya dipelihara untuk pembibitan akan tetapi sapi betina yang sudah masuk masa afkir akan menjadi sapi potong juga. Bagi pejantan jarang memiliki masa afkir karena saat memasuki usia 2 sampai 4 tahun sudah dipotong. Umumnya bakalan dihargai dengan berat bobot yang sebesar Rp 35 000/kg. Kandang sapi dibuat untuk rumah bagi sapi sehingga kenyamanan kandang perlu diperhatikan. Semakin nyaman kandang maka sapi tidak akan stress sehingga bobot sapi akan bertambah dengan cepat. Di daerah penelitian umumnya kandang terbuat dari kayu atau bambu dengan atap genteng. Selain dengan kayu ada pula yang menggunakan tembok sebagai dinding kandang. Biaya pembuatan kandang berkisar Rp 2 juta hingga Rp 3 juta, tergantung dari besarnya kandang dan bahan yang digunakan dalam pembuatan kandang. Semakin banyak sapi yang akan dipelihara semakin besar pula kandang yang harus dibuat. Peralatan sangat diperlukan sebagai pendukung usaha ternak. Tanpa adanya peralatan kegiatan peternakan sulit dilakukan. Peralatan yang digunakan selama pemeliharaan sapi meliputi selang, sikat, tambang, sarung tangan, arit, sekop, cangkul, tempat minum dan sepatu boot. Nilai penyusutan dari peralatan kandang pribadi dapat dilihat pada Tabel 19.
43 Tabel 19 Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Pribadi Jenis Peralatan Selang Sikat Tambang Sarung Tangan Arit Sekop Cangkul Ember Sepatu Boot Total
Jumlah (buah) 1 2 3 1 2 1 1 4 1
Total Harga (Rp) 100 000 30 000 90 000 5 000 70 000 70 000 50 000 40 000 75 000
Umur Ekonomis (Tahun) 3 2 2 1 3 3 3 2 3
Penyusutan (Rp/Bln) 2 778 1 250 3 750 5 000 1 944 1 944 1 389 1 667 2 083 21 806
Sumber: Data primer diolah (2013)
Input pemeliharaan sapi potong yang paling penting adalah pakan. Tanpa pakan hewan ternak tidak dapat hidup dan bobot tubuh sapi tidak akan mencapai ideal. Bobot tidak ideal akan menyebabkan kerugian dalam beternak sapi potong. Proporsi pakan baiknya sekitar 10 persen dari bobot hidup sapi dan di berikan setiap hari. Contoh bobot sapi di daerah penelitian sebesar 200 kg, pemberian pakan sekitar 10 persen sehingga dibutuhkan pakan sebanyak 20 kg per hari untuk makanan sapi. Harga pakan rerumputan maupun jerami berkisar Rp 250/kg, harga tersebut dinilai berdasarkan biaya transportasi maupun “ongkos capek” pencari rumput atau jerami. Input lainnya selama pemeliharaan yang perlu diperhatikan adalah tenaga kerja dan transportasi. Umumnya di daerah penelitian tenaga kerja yang digunakan selama pemeliharaan ternak menggunakan tenaga kerja keluarga. Apabila dihitung penggunaan tenaga kerja keluarga memerlukan biaya rata-rata Rp 990 000 per bulan, biaya tersebut biaya untuk makan dan lain-lain. Biaya transportasi yang digunakan biasanya untuk mengangkut ternak saat pembelian atau saat ingin dijual. Biaya transportasi tergantung berapa banyak sapi yang dipelihara yang akan dijual. Di daerah penelitian rata-rata biaya transportasi saat penjualan sebesar Rp 150 000 per trip saat penjualan. Output produksi adalah hasil produksi yang ingin dicapai untuk dijual sehingga memperoleh keuntungan. Output yang dihasilkan dalam usaha penggemukan ternak sapi potong adalah penambahan bobot sapi sesuai berat ideal. Penambahan bobot sapi yang ideal diharapkan dapat meningkat satu kilogram per
44 hari. Sehingga semakin berat bobot sapi, harga sapi akan semakin mahal saat dijual. Harga jual sapi potong saat hidup sebesar Rp 35 000. Rata-rata penambahan bobot yang ideal adalah 1 kg per hari. Penggemukan sapi selama 4 bulan atau 120 hari maka diharapkan penambahan bobot selama penggemukan sampai dijual kembali yaitu sebesar 120 kg. Input dan Output Produksi Usaha Ternak Sapi Potong Kandang Komunal Input produksi dalam usaha ternak pada kandang komunal tidak terlalu jauh berbeda dengan input produksi dalam usaha ternak pada kandang pribadi. Input yang digunakan peternak kandang komunal juga harus membeli sapi bakalan sebagai hak milik pribadi. Selain itu biaya pakan juga dibebankan secara perorangan sesuai dengan jumlah ternak sapi yang menjadi hak milik perorangan. Proporsi pemberian pakan ternak pada kandang komunal sama dengan pemberian pakan pada kandang pribadi yang dibahas sebelumnya kerena memang setiap 1 ekor sapi membutuhkan pakan sesuai porsinya. Perbedaan antara kandang pribadi dan kandang komunal terletak di biaya investasi dan pemeliharaannya. Peternak kandang komunal memelihara ternaknya dilaksanakan secara bersamaan dan dalam bentuk koloni, sehingga biaya-biaya yang dibutuhkan dalam berternak dapat ditekan menjadi lebih murah. Hal tersebut dapat terjadi karena biaya yang harus dikeluarkan dibagi kebeberapa peternak yang ikut andil pada kandang komunal sehingga biaya yang harus dikeluarkan menjadi kecil dibandingkan dengan peternak pada kandang pribadi. Kandang komunal jelas memiliki luas dan bentuk kandang yang lebih besar dibanding kandang pribadi. Besarnya disesuaikan kapasitas tampung ternak yang akan dipelihara. Di daerah penelitian rata-rata luas kandang komunal sebesar 12x2 m dengan biaya pembuatan kandang rata-rata Rp 8 000 000. Input tenaga kerja dan transportasi pada kandang komunal juga memiliki perbedaan dengan kandang pribadi. Di daerah penelitian tenaga kerja yang digunakan dalam kandang komunal menggunakan tenaga kerja di luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar memerlukan biaya rata-rata untuk menggaji pekerja sebesar Rp 500 000 per bulan. Biaya transportasi yang biasanya digunakan untuk
45 mengangkut ternak saat pembelian atau saat ingin dijual rata-rata sebesar Rp 250 000 per trip saat penjualan sapi. Input produksi lainnya yang berbeda terdapat pada biaya-biaya peralatan yang dapat dilihat pada Tabel 20, jumlah peralatan memang banyak akan tetapi biaya pembelian peralatan dibebankan kepada peternak yang ikut bagian dalam kandang koloni. Tabel 20 Jenis dan Penyusutan Peralatan Usaha ternak Kandang Komunal Jenis Peralatan
Jumlah (buah)
Total Harga (Rp) 400 000 45 000 180 000 5 000 105 000 140 000 100 000 120 000 225 000
Selang 4 Sikat 3 Tambang 6 Sarung Tangan 2 Arit 3 Sekop 2 Cangkul 2 Ember 12 Sepatu Boot 3 Total ket: kandang komunal dibagi 4 orang menjadi 11580
Umur Ekonomis (Tahun) 3 2 2 1 3 3 3 2 3
Penyusutan (Rp/Bln) 11 111 1 875 7 500 5 000 2 917 3 889 2 778 5 000 6 250 46 319
Sumber: Data primer diolah (2013)
Output produksi sebagai hasil produksi yang ingin dicapai untuk dijual sehingga memperoleh keuntungan dalam kandang komunal tidak berbeda dengan output produksi pada kandang pribadi. Output yang dihasilkan dalam usaha ternak sapi potong pada kandang komunal juga berdasarkan penambahan bobot sapi sesuai berat ideal yang diharapkan dapat meningkat satu kilogram per hari.
6.2.3 Pendapatan Peternak Pendapatan adalah keuntungan atau laba dari usaha ternak sapi potong. Laba tersebut merupakan selisih penerimaan total dengan biaya total. Komponen yang dapat mempengaruhi pendapatan peternak yaitu komponen penerimaan dengan komponen pengeluaran dalam suatu periode. Dalam penelitian di daerah Kabupaten Garut melihat komponen-komponen tersebut berdasarkan sistem kandang peternak yang tebagi menjadi dua bagian yaitu kandang pribadi dan kandang komunal. Peternak dengan kandang pribadi adalah peternak yang secara mandiri memelihara kandang dan hewan ternak, sedangkan peternak dengan
46 kandang komunal adalah perternak yang secara bersama-sama memelihara hewan ternak dalam satu kandang yang besar. Komponen pengeluaran dilihat dari biaya total dari beternak. Biaya total berasal dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel peternak terdiri dari biaya pakan, obat-obatan, air dan listrik. Biaya pakan merupakan biaya yang tebesar rata-rata 54 persen untuk kandang pribadi dan rata-rata 65 persen untuk kandang komunal karena pakan merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan bobot sapi potong. Biaya pakan kandang pribadi dengan komunal sama saja. Biaya pakan didapat dari perhitungan harga hijauan berdasarkan upah tenaga kerja. Setiap kg rumput atau jerami bernilai Rp 250. Apabila kebutuhan pakan hijauan sapi senilai 10 persen dari bobot hidup sapi sebesar 250 kg maka kebutuhan pakan sapi selama produksi sebesar 9000 kg maka pengeluaran pakan hijauan sebesar Rp 2 250 000. Peternak di daerah penelitian jarang menggunakan konsentrat karena mereka menganggap harga konsentrat terlalu mahal dan kebutuhan pakan dapat dipenuhi dengan hijauan saja. Obat-obatan mereka membeli paket untuk sekitar 4 bulan produksi sebesar Rp 50 000 per 3 ekor. Kebutuhan air untuk minum dan pembersihan sapi serta kandang juga sangat vital selama produksi penggemukan. Biaya air kandang pribadi lebih besar dibanding kandang komunal karena biaya pengadaan air kandang komunal dibagi beberpara orang, sedangkan peternak kandang pribadi terbeban sendiri. Pada kandang pribadi biaya air sebesar Rp 400 000 per 3 ekor, sedangkan pada kandang komunal biaya air sebesar Rp 225 000 per 3 ekor. Biaya listrik pada kandang pribadi sebesar Rp 120 000 untuk 3 kapasitas kandang 3 ekor. Pada kandang komunal biaya listrik dibebankan kepada 4 orang masing-masing sebesar Rp 45 000 dengan total Rp 180 000 kapasitas 12 ekor sapi. Transportasi untuk pengadaan pakan dan penjualan peternak kandang komunal lebih sedikit dibanding peternak kandang pribadi karena pengangkutan secara bersamaan. Biaya tetap terdiri dari biaya sewa kandang, pembuatan kandang, peralatan, tenaga kerja baik di dalam keluarga dan luar keluarga. Biasanya peternak kandang komunal menyewa kandang karena peternak butuh lahan yang besar untuk
47 membangun kandang yang besar. Kandang rata-rata memiliki masa produktif selama 10 tahun sehingga rata-rata biaya penyusutan sebesar Rp 81 833 untuk kandang pribadi dan Rp 66 667 untuk kandang komunal (Tabel 21). Sedangkan untuk penyusutan peralatan yang terdiri dari selang, sikat tambang, sarung tangan, arit, sekop, cangkul, ember dan sepatu boot untuk kandang pribadi sebesar Rp 21 806 dan kandang komunal sebesar Rp 11 580. Tabel 21 Penyusutan Kandang Pribadi dan Kandang Komunal Jenis Kandang
Jumlah (buah)
Total Harga Umur Ekonomis (Rp) (Tahun) Pribadi 1 2 455 000 10 Komunal 1 8 000 000 10 ket: kandang komunal dibagi 4 orang menjadi 66667
Penyusutan (Rp/Bln) 81 833 266 667
Sumber: Data primer diolah (2013)
Tenaga kerja yang digunakan untuk peternak komunal dibebani oleh beberapa orang sehingga memiliki nilai yang lebih kecil dibanding nilai kandang pribadi. Untuk pekerja kandang komunal bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 990 000 dan pekerja kandang pribadi bisa lebih kecil karena menyewa beberapa orang dengan gaji yang sama kemudian dibagi beberapa orang maka memeproleh nilai sebesar Rp 500 000. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh peternak dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 23. Tabel 22 Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang pribadi (Panen 4 bulan) Uraian Kandang Pribadi Keterangan Biaya Variabel Pakan 2 250 000 (10% bobot awal x 120 hari x 3 ekor) x Rp 250 Obat-obatan 50 000 Paket per periode Air 400 000 KP biaya air untuk 3 ekor sapi Listrik 120 000 KP biaya listrik untuk 3 ekor sapi Transportasi 250 000 Truk besar kapasitas 5 ekor Biaya Tetap Sewa Lahan 0 Lahan pribadi Kandang 81 833 Biaya penyusutan kandang Peralatan 21 806 Biaya penyusutan peralatan Tenaga Kerja 990 000 Dihitung dari biaya makan dan lainDalam Keluarga lain 4 163 639 Total Biaya Ket: KP = Kandang Pribadi Sumber: Data primer diolah (2013)
48 Tabel 23 Biaya pemeliharaan ternak untuk 3 ekor sapi potong pada kandang komunal (Panen 4 bulan) Uraian Kandang Komunal Keterangan Biaya Variabel Pakan 2 250 000 (10% bobot awal x 120 hari x 3 ekor) x Rp 250 Obat-obatan 50 000 Paket per periode Air 225 000 KK air untuk 3 ekor sapi Listrik 45 000 KK listrik untuk 3 ekor sapi Transportasi 187 500 Truk sekali trip Rp250 000 per 5 ekor. 12 ekor sapi butuh 3 trip. Biaya dibebankan kepada 4 orang Biaya Tetap Sewa Lahan 125 000 Lahan oranglain Kandang 66 667 Biaya penyusutan dibagi 4 orang Peralatan 11 580 Biaya penyusutan dibagi 4 orang Tenaga Kerja Luar 500 000 Gaji pekerja Keluarga 3 460 747 Total Biaya Ket: KK = Kandang Komunal Sumber: Data primer diolah (2013)
Dalam pengeluran biaya usaha ternak, selain pengeluaran biaya dalam pemeliharaan sebelumnya perlu ditambah biaya dalam pembelian sapi bakalan untuk dipelihara. Pembelian bakalan biasanya dilihat dari jantan, umurnya yang diatas satu dan rata-rata memiliki bobot sekitar 250 kg. Biaya investasi dalam pembelian sapi bakalan sebesar Rp 26 500 000. Jadi total pengeluaran dalam usaha ternak dengan kandang pribadi yaitu sebesar Rp 30 413 639. Sedangkan total pengeluaran dari usaha ternak dengan kadang komunal sebesar Rp 29 710 747. Struktur pengeluaran biaya dapat dilihat pada Tabel 24 dan 25. Tabel 24 Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang pribadi) Uraian Pembelian Ternak Sapi
Bobot (kg) 250
Biaya Pemeliharaan Total Pengeluaran Sumber: Data primer diolah (2013)
Jumlah (ekor) 3
Harga (Rp)
Nilai Rata-rata
35 000
26 250 000 4 163 639 30 413 639
49 Tabel 25 Struktur pengeluaran biaya usaha ternak sapi potong (kandang komunal) Uraian Pembelian Ternak Sapi
Bobot (kg)
Jumlah (ekor)
Harga (Rp)
250
3
35 000
Nilai Rata-rata 26 250 000
Biaya Pemeliharaan
3 460 747
Total Pengeluaran
29 710 747
Sumber: Data primer diolah (2013)
Keuntungan sapi potong tergantung
pada bobot sapi, semakin berat
bobotnya maka keuntungannya akan semakin besar. Harga satu kilogram bobot sapi hidup sekitar Rp 35 000. Rata-rata penjualan sapi saat penelitian sekitar 3 ekor dengan bobot 350 kg, maka penerimaan pada penjulan sapi sebesar Rp 36 750 000. Keuntungan peternak kandang pribadi sebesar Rp 6 336 361 dengan R/C rasio lebih besar dari 1, hal itu membuktikan bahwa usaha ternak dengan kandang pribadi efisien atau layak diusahakan dan dapat memberikan keuntungan. Nilai R/C rasio sebesar 1.21 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan maka akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.21 rupiah. Tingkat rentabilitas atau keuntungan peternak dengan kandang pribadi sebanyak 3 ekor yaitu sebesar 23 persen. Keuntungan peternak kandang komunal sebesar Rp 7 039 253 dengan R/C rasio yang layak diusahakan karena nilainya lebih besar dari 1. Nilai R/C rasio sebesar 1.24 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan maka akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.24 rupiah. Tingkat keuntungan atau rentabilitas beternak dengan kandang komunal dengan pemeliharaan 3 ekor sapi menghasilkan keuntungan sebesar 24 persen. Perhitungan lengkap dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pendapatan bersih usaha ternak sapi potong di daerah penelitian Uraian Total Penerimaan (TR) Total Biaya (TC) Keuntungan (TR-TC) R/C Rasio Rentabilitas Sumber: Data primer diolah (2013)
Nilai Rata-rata (Kandang Pribadi) 36 750 000 30 413 639 6 336 361 1.21 21%
Nilai Rata-rata (Kandang Komunal) 36 750 000 29 710 747 7 039 253 1.24 24%
50 6.3 Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Malangbong Kapasitas
peningkatan
populasi
ternak
ruminansia
di
Kecamatan
Malangbong menurut perhitungan metode Nell and Rollinson (1974) berdasarkan pendekatan potensi lahan sebagai sumber dan penyedia hijauan pakan untuk ternak ruminansia yang terdiri dari sapi, kerbau, domba dan kambing. Satuan ternak digunakan sebagai parameter populasi ternak yang diperoleh dengan cara mengkonversi populasi ternak dengan koefisien satuan ternak. Perhitungan potensi lahan sebagai sumber penyedia hijauan makanan ternak ruminansia dilakukan dengan mengkonversi luas lahan kedalam satuan Bobot Kering (BK). Tabel 27 Populasi riil ternak ruminansia di Kecamatan Malangbong Jenis Ternak Kelompok Satuan Populasi Riil Ternak Ternak (ST) Sapi
Kerbau Domba Kambing Total Satuan Ternak
Dewasa Muda Anak ekor ekor ekor
1 0.5 0.25 0.8 0.14 0.14
3167.6 2417.4 333.4 182.4 2339.3 273.1 8713.2
Sumber: Data primer diolah, 2013
Populasi riil ternak ruminansia yang ada di Kecamatan Malangbong mencapai 8 713.2 ST. Populasi riil yang diperoleh digunakan untuk menghitung nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR efektif) yang ada di Kecamatan Malangbong. Untuk mengetahui nilai KPPTR efektif, perlu diketahui juga kapasitas tampung maksimum produksi hijauan dalam mencukupi kebutuhan berat kering ternak per ekor dalam satu hari (KPPTR maksimum). Produksi pakan diperoleh dari sumber hijauan yang tersedia di Kecamatan Malangbong, terdiri dari persawahan, galengan sawah, tegalan, kebun campuran, perkebunan, semak dan hutan (Tabel 28) dan sisa hasil pertanian terdiri dari padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar (Tabel 29). Berdasarkan perhitungan, KPPTR maksimum diproleh sebesar 5 562.17 ST.
51 Tabel 28 Konversi hijauan pakan rumput di Kecamatan Malangbong No Sumber Hijauan Luas Sumber Produksi Hijauan (ton Hijauan BK/Ha/tahun) 2 157 3 235.50 1 Sawah Bera (Ha) 2 157 970.65 2 Galengan Sawah (Ha) 2 717 407.55 3 Tegalan/Kering semusim (Ha) 1 591 1 193.25 4 Kebun campuran (Ha) 0 0.00 5 Perkebunan (Ha) 36 540.00 6 Padang, semak (Ha) 1 289 966.75 7 Hutan (Ha) Jumlah 9 947 7 313.70 Sumber: Data primer diolah, 2013
Tabel 29 Konversi pakan jerami di Kecamatan Malangbong No.
Sumber Hijauan
1 2 3 4 5 6
Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Jumlah
Luas Panen (Ha) 6 004.00 2 128.00 29.00 1 234.00 1 425.00 162.00 10 982.00
Produksi Hijauan (ton/Ha/tahun) 1 380.92 1 702.40 31.03 1 776.96 370.50 194.40 5 456.21
Sumber: Data primer diolah, 2013
Dalam perhitungan, KPPTR efektif diperoleh sebesar -3 150.99 ST. Nilai KPPTR di Kecamatan Malangbong memiliki nilai negatif (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi over population akibat produksi hijauan makanan ternak Kecamatan Malangbong sulit memenuhi kebutuhan ternak yang ada. Tidak mampunya Kecamatan Malangbong dalam memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak dapat disebabkan terlalu banyaknya perusahan peternakan memelihara sapi sehingga kapasitas daya dukung lingkungan semakin sempit. Produktivitas hijauan di Kecamatan Malangbong juga tidak menentu. Sumber hijauan akan sangat menurun ketika musim kemarau tiba. Selain itu, bentuk topografi Kecamatan Malangbong yang berbentuk lereng berdampak sebagian besar permukaannya curam dan terjal. Hal tersebut mengakibatkan beberapa ada beberapa lahan yang tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal untuk menghasilkan hijauan.
52 Tabel 30 Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kecamatan Malangbong Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Produksi Hijauan (ton BK/ha/th) 12 769.91 KPPTR Maksimum (ST) 5 562.17 Populasi Satuan Ternak (ST) 8 713.16 KPPTR Efektif (ST) -3 150.99 Sumber: Data primer diolah, 2013
Untuk mengatasi kekurangan dalam memenuhi hijauan makanan ternak (HMT) sebanyak
3 150.99 ST para peternak di Kecamatan Malangbong
memanfaatkan hijauan pakan dari kecamatan lain yang masih memiliki sumber hijauan yang cukup dan memiliki intensitas tumbuh yang baik. Selain itu, beberapa peternak juga memanfaatkan sisa-sisa bahan makanan seperti ampas tahu atau dedak sebagai bahan pakan ternak. Dari kekurangan pakan hijauan tersebut, maka dapat dilihat wilayah lain di Kabupaten Garut yang masih berpotensi sebagai wilayah pengembangan peternakan rakyat sapi potong. 6.4 Kelompok Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong Kabupaten Garut Wilayah pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Garut jika dilihat dari analisis deskripif tentang potensi sumberdaya, hasil perhitungan LQ dan perhitungan KPPTR dapat diketahui bahwa selain Kecamatan Malangbong, terdapat Kecamatan lain di Kabupaten Garut yang masih memungkinkan untuk dilakukan pengembangan ternak sapi potong. Walaupun kondisi setiap Kecamatan sangat beragam namun, beberapa Kecamatan mempunyai sumberdaya sangat potensial yang didukung fasilitas dan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan ternak sapi potong. Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan yang dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tingkat KPPTR (E) dan LQ. Kelompok I dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ > 1 ; Kelompok II dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ < 1 ; Kelompok III dengan nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ > 1 ; Kelompok IV dengan kriteria nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ < 1. Pengelompokan Wilayah Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 31.
53 Tabel 31 Pengelompokan Wilayah Berdasarkan Nilai KPPTR dan LQ No Kelompok Kriteria Kecamatan 1 I KPPTR ( E) Positif Bungbulang LQ > 1 Cikelet Caringin Cibalong Pameungpeuk Sukawening 2
II
KPPTR ( E) Positif LQ < 1
Cisompet Pamulihan Pakenjeng Talegong Banjarwangi Banyuresmi Cisewu Peundeuy Cihurip Cibiuk Tarogong Kidul Leles Samarang Leuwigoong Karangtengah
3
III
KPPTR ( E) Negatif LQ > 1
Selaawi Mekarmukti Kersamanah Wanaraja Malangbong
4
IV
KPPTR ( E) Negatif LQ < 1
Bl. Limbangan Karangpawitan Kadungora Cibatu Pangatikan Tarogong Kaler Pasirwangi Sukaresmi Sucinaraja Singajaya Garut Kota Cilawu Bayongbong Cikajang Cisurupan Cigedug
Sumber: Data sekunder diolah (2013)
54 Kelompok I merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ>1. Kecamatan yang termasuk kelompok ini adalah Kecamatan Bungbulang, Cikelet, Caringin, Cibalong, Pemeungpeuk dan Sukawening. Hal tersebut dapat terjadi karena pada Kecamatan Bungbulang, Cikelet, Caringin, Cibalong dan Pemeungpeuk terletak di dataran rendah wilayah selatan Kabupaten Garut dan cukup jauh dari pusat Kota, sehingga untuk kegiatan-kegiatan peternakan masih berpotensi untuk dikembangkan. Kecamatan Sukawening terletak lebih dekat ke pusat Kota, selain cukup tersedia untuk kapasitas tampung ternak, kecamatan Sukawening juga lebih dekat lembaga pelayanan seperti plaza ternak, balai bibit dan IB, sehingga masyarakat sekitar lebih mudah untuk mendapatakan ternak sapi untuk digemukan. Pada keenam Kecamatan ini dapat menjadi konsentrasi pemerintah daerah Kabupaten Garut sebagai wilayah yang masih berpotensi untuk dilakukan pengembangan peternakan sapi potong. Kelompok II merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ<1. Kecamatan yang termasuk kelompok ini yaitu: Kecamatan Cisompet, Pamulihan, Pekenjeng, Talegong, Banjarwangi, Banyuresmi, Cisewu, Peundeuy, Cihurip,
Cibiuk,
Tarogong
Kidul,
Leles,
Samarang,
Leuwigoong
dan
Karangtengah. Kecamatan-kecamatan tersebut masih memiliki kemampuan tersedianya lahan sebagai kapasitas tampung ternak ruminansia. Apabila di wilayah tersebut ingin melakukan penambahan ternak sapi potong ini masih dimungkinkan. Wilayah ini dapat menjadi wilayah basis apabila setiap kepala keluarga menambah jumlah kepemilikan ternak ataupun ada kepala keluarga baru yang ingin beternak sebagai pekerjaan sampingan. Kelompok III merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ>1. Kecamatan yang termasuk kelompok ini adalah Kecamatan Selaawi, Mekarmukti, Kersamanah, Wanaraja dan Malangbong. Pada Kecamatan memiliki daya tampung lahan yang negatif artinya tidak dimungkinkan dilakukan penambahan ternak di kecamatan-kecamatan tersebut. Namun kecamatankecamatan tersebut memiliki ternak sapi potong yang termasuk wilayah basis, untuk mendapatkan hijauan bagi ternaknya para peternak harus mencari rumput ke kecamatan atau wilayah terdekat.
55 Kelompok IV merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ<1. Kecamatan yang termasuk kelompok ini adalah Kecamatan Bl Limbangan, Karangpawitan, Kadungora, Cibatu, Pangatikan, Tarogong Kaler, Pasirwangi, Sukaresmi, Sucinaraja, Singajaya, Garut Kota, Cilawu, Bayongbong, Cikajang, Cisurupan dan Cigedug. Keenam belas kecamatan ini berdasarkan daya tampung lahan sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan penambahan ternak. Kecamatan-kecamatan tersebut berada pada sekitaran pusat Kota yang kegiatannya lebih mengarah pada kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa sebab wilayah ini bukan merupakan wilayah basis.
56
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jumlah populasi ternak sapi potong di Kecamatan Malangbong relatif lebih banyak dibandingkan kecamatan lainnya. Kecamatan Malangbong memiliki nilai LQ sebesar 6.34 paling tinggi diantara kecamatan lain. Artinya sektor atau kegiatan peternakan Kecamatan Malangbong besarnya senilai 6.34 terhadap besarnya peranan sektor tersebut pada wilayah Kabupaten Garut. Hal ini dapat terjadi karena jumlah penduduk kecamatan Malangbong tidak sepadat kecamatan yang memiliki nilai LQ<1 dan memiliki populasi ternak sapi yang cukup banyak, sehingga di kecamatan ini berpotensi dalam pengembangan peternakan sapi potong. Akan tetapi masih perlu dilihat potensi hijauan yang ada di wilayah Kecamatan Malangbong. 2. Penerimaan pada penjualan sapi sebesar Rp 36 750 000. Biaya total dilihat dari peternak dengan kandang pribadi dan kandang komunal. Biaya total dari peternak dengan kandang pribadi sebesar Rp 30 413 639 dan kandang komunal sebesar Rp 29 710 747. Pendapatan bersih peternak kandang pribadi sebesar Rp 6 336 361 dengan R/C rasio sebesar 1.21 dan rentabilitas 21 persen. Sedangkan keuntungan peternak kandang komunal sebesar Rp 7 039 253 dengan R/C rasio sebesar 1.24 dan rentabilitas 24 persen. 3. Perhitungan KPPTR efektif Kecamatan Malangbong menghasilkan nilai negatif sebesar -3 150.99. Perhitungan didapat dari selisih KPPTR Maksimum dengan Populasi Satuan Ternak yang ada di Kecamatan Malangbong. Hasil negatif artinya Kecamatan Malangbong sudah tidak mampu menampung jumlah ternak ruminansia terutama sapi potong.
Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian dapat disarankan: 1. Pemerintah Kecamatan Malangbong dalam mengantisipasi kekurangan hijauan sebagai sumber pakan ternak dapat menyediakan sumber pakan tersebut
57 melalui lintas wilayah yang masih memiliki hijauan yang intensitas tumbuhnya tinggi dan memiliki KPPTR positif seperti pada Kecamatan Cisompet, Pamulihan,
Pakenjeng,
Talegong,
Banjarwangi,
Banyuresmi,
Cisewu,
Peundeuy, Cihurip, Cibiuk, Tarogong, Kidul, Leles, Samarang, Leuwigoong dan Karangtengah. Selain itu, pemerintah dapat mengusahakan dan menginvestasikan penanaman hijauan berupa pada lahan yang kurang produktif seperti di lereng-lerang atau bukit yang tidak terjamah. 2. Dinas Peternakan Kabupaten Garut perlu evaluasi dan pembinaan dalam penambahan ketrampilan beternak para peternak khususnya di Kecamatan Malangbong, sehingga masyarakat diharapkan dapat menjalankan usaha peternakan sebagai pekerjaan pokok maupun pekerjaan sambilan dan mampu bersaing dengan perusahaan ternak yang ada di daerah Malangbong. Usaha ternak rakyat ini cukup potensial besar dalam menghasilkan keuntungan. 3. Pihak pemerintah dapat menekan jumlah sapi potong dengan pengurangan jumlah populasi sapi potong ke wilayah-wilayah lain di Kabupaten Garut yang memiliki potensi. Wilayah yang masih memiliki potensi pengembangan yaitu Kecamatan Bungbulang, Cikelet, Caringin, Cibalong, Pemeungpeuk dan Sukawening. Selain itu pemerintah dapat meningkatkan populasi ternak salah satu caranya dengan memberikan investasi dapat berbentuk kredit sapi di daerah tersebut untuk dipelihara dan memberi subsidi konsentrat serta membangun kelembagaan peternakan yang lebih kuat.
58
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Garut Dalam Angka 2012. Garut (ID): BPS. [Dirjen Nakeswan] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Dirjenak. [Disnak] Dinas Peternakan Kabupaten Garut. 2005. Struktur Populasi Ternak Ruminansia. Garut. [DPPK] Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Garut. 2012. Statistik Peternakan Kabupaten Garut. Garut (ID): DPPK. Abidin, Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis ”Penggemukan Sapi Potong”. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Ayuni, N. 2005. Tatalaksana pemeliharaan dan pengembangan ternak sapi potong berdasarkan sumberdaya lahan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ternak Produksi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Budiharsono, S. 2001. Teknik analisis pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Jakarta (ID): PT Pradinya Paramita. Elburdah P. 2008. Analisis potensi pengembangan peternakan sapi potong di wilayah Kota Pekan Baru. Skripsi. Bogor (ID): Program Studi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Gujarati, DN. 2007. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Hadiwijoyo, A. 2009. Analisis Permintaan Dan Penawaran Domestik Daging Sapi Indonesia. Skripsi. Bogor (ID): Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hardyastuti, DM. 2008. Strategi Pengembangan Wilayah Kabupaten Grobogan Sebagai Sentra Produksi Sapi Potong. Skripsi. Bogor (ID): Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Hermansyah, BM. 2006. Kajian Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Skripsi. Bogor (ID): Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta (ID): PT Penebar Swadaya. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): LP3ES. Mujiyanto. 2001. Analisis Permintaan Daging Sapi Di Kota Manokwari. Skripsi. Manokwari (ID): Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Peternakan Universitas Cendrawasih. Murtidjo, B. A. 1990. Beternak Sapi Potong. Jakarta (ID): Kanisius. Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Nell, A. J. dan D. H. L. Rollinson. 1974. The Requirement and Availability of Livestock Feed In Indonesia. UNDP Project INS/72/009. Pane, I. 1993. Pemuliabiakkan Ternak Sapi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
59 Prasetyo B, Jannah LM. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikas. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Prawirokusumo, S. 1990. Ilmu Usaha Tani. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Rahardi, F. 2003. Agribisnis Peternakan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Riyanto, B. 1984. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ke-2. Yogyakarta (ID): Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada. Santosa, U. 2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sarwono, B. dan H. B. Arianto. 2001. Penggemukan Sapi Secara Cepat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan Teori dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Soekartawi, A. Soehardjo, J.L. Dillon, J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecik. Jakarta (ID): UI Press. Soeprapto, H. dan Z. Abidin. 2006. Cara tepat penggemukan sapi potong. Jakarta (ID): PT Agro Media Pustaka. Sugeng, Y.B. 2006. Sapi potong. Jakarta (ID): PT Penebar Swadaya. Sutisna, Sandy K. 2008. Identifikasi Wilayah Pengembangan Sapi Potong Di Kabupaten Garut. Skripsi. Bogor (ID): Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Talib, C. dan A. R. Siregar. 1994. Peranan Pemuliaan Ternak Sapi Potong di Indonesia. Balai Ciawi (ID): Penelitian Ternak.
60
LAMPIRAN
61 Lampiran 1 Peta Lokasi dan Gambar Lokasi Penelitian
Sumber: https://maps.google.com/maps?q=kabupaten+garut&hl=en&ll=7.474134,107.764893&spn=1.27718,1.766052&sll=37.0625,95.677068&sspn=32.66491,56.513672&hnear=Garut,+West+Java,+Indonesia&t= m&z=9. diakses tanggal 17 Mei 2013
Sumber: https://maps.google.com/maps?q=Malangbong,+Garut,+West+Java,+Indonesia&h l=en&ll=-7.061371,108.102465&spn=0.039949,0.055189&sll=7.154439,108.111629&sspn=0.639057,0.883026&oq=malangbong,+garut&hnear =Malangbong,+Indonesia&t=h&z=14. diakses tanggal 17 Mei 2013
62 Lampiran 2 Kuesioner Penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper Wing 5 Level 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 Telepon (0251) 421 762, (0251) 621 834, Fax (0251) 421 762
KUISIONER PETERNAK SAPI POTONG Tanggal wawancara : No. Responden : Nama : Alamat : Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Analisis Ekonomi dan Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Garut”. Saya mohon partisipasi saudara untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data yang objektif. Informasi yang saudara berikan akan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden : L/P 1. Jenis Kelamin 2. Usia : ……tahun 3. Status : Belum menikah/menikah 4. Jumlah tanggungan keluarga : ……orang 5. Pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh Tidak sekolah/SD/SMP/SMA/Perguruan Tinggi,…….. (……tahun) 6. Jenis pekerjaan No.
Jenis Pekerjaan
Curahan jam/hari
Curahan jam/minggu
Pendapatan Rp/bulan
Keterangan
Pendapatan Rp/bulan
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5. 7. Anggota keluarga lainnya No.
1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Pekerjaan
Curahan jam/hari
Curahan jam/minggu
63
B. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak (beri tanda [x] sesuai pilihan) 1. Jenis pemeliharaan (bisa pilih lebih dari satu) [ ] Kandang pribadi [ ] Gembala lahan umum [ ] Kandang Komunal [ ] Gembala lahan orang lain [ ] Gembala lahan pribadi : ……x….... m2 2. Luas Kandang 3. Bentuk kandang :permanen/semi permanen/non permanen 4. Frekuensi pembersihan kandang : …………/minggu 5. Kapan kandang dibersihkan : pagi/siang/sore/sesuai waktu luang 6. Cara pemeliharaan kandang : [ ] Dibersihkan dengan air saja [ ] dibesihkan dengan air + disinfektan 7. Interval perbaikan kandang : ……….kali/tahun 8. Lokasi pemeliharaan ternak : berdekatan/berjauhan dari rumah : …………/minggu 9. Frekuensi perawatan sapi 10. Jenis pakan ternak :[ ] hijauan (rumput unggul) [ ] hijauan + limbah pertanian [ ] hijauan + limbah pertanian + konsentrat 11. Jumlah tambahan hijauan : …………kg/hari 12. Frekuensi pemberian hijauan : …………kali/hari 13. Jumlah pemberian konsentrat : …………kg/hari 14. Frekuensi pemberian konsentrat : (nama konsentrat) 1. .............................; ...........................kali/hari 2. .............................; ...........................kali/hari C. Perlengkapan Usaha Ternak 1. Biaya yang dikeluarkan saat memulai usaha Pengeluaran
Jumlah
Biaya Investasi (pertahun) Kandang Keranjang pakan Tempat minum Selang Sikat Tambang Sarung Tangan Arit Sekop Cangkul Sepatu boot …. Total Biaya Operasional (perhari) Pakan Hijauan Pakan Konsentrat
Biaya (Rp)
Total Biaya (Rp)
Frekuensi Penyediaan Barang
64 Obat-Obatan IB/InKA Tenaga Kerja Listrik Air …. …. Total Biaya Perawatan (perhari) Kandang Sapi …. …. Total Biaya Lain-lain (perhari) Bahan Bakar Transportasi Sewa Kandang …. …. Total D. Produktivitas Ternak : ………., ………., ………… 1. Jenis-jenis sapi yang di pelihara 2. Macam sapi yang di pelihara : Jantan..............ekor, usia……….bulan Betina………..ekor, usia……….bulan Anakan………ekor, usia……….bulan : 3. Sapi birahi pertama umur 4. Sapi dikawin pertama umur : 5. Sapi beranak pertama umur : 6. Rata-rata lama Sapi bunting kembali : 7. Frekuensi Sapi bunting kembali : 8. Jumlah anak sekali melahirkan : 9. Umur menoupos sapi : 10. Frekuensi kematian sapi : 11. Pertambahan bobot badan harian : E. Pemanfaatan Hasil Ternak 1. Jenis pemanfaatan hasil sapi : a. Daging : …………../Kg, Rp………………../Kg b. Kulit : …………../kulit, Rp………………/Kulit c. Jasa (saat sapi hidup) : Rp……………………… 2. Pemanfaatan Hasil Produksi Ternak a. Dijual/dipasarkan : …………….Kg b. Dikonsumsi sendiri : …………….Kg c. Dibibitkan/dibesarkan :……………..Kg
65 3. Bentuk Hasil Produksi Ternak dipasarkan Dalam bentuk hidup a. Umur berapa sapi dijual : …………………tahun b. Bobot berapa sapi dijual : …………………Kg c. Tempat penjualan sapi : [ ] pasar ternak [ ] Belantik [ ] RPH [ ] peternak lain [ ] lainnya,……….. d. Alat transportasi ke tempat penjualan : ………………….. e. Biaya transportasi : Rp……………….. 4. Pemanfaatan Hasil Produksi Ternak Lainnya a. Kotoran sapi : (a) Bokasi : ……………./kg, Rp…………………../Kg (b) Bio gas : ……………./jam, Rp…………………../jam (c) Pemanfaatan sisa kotoran dipergunakan untuk apa? …………… b. Urin sapi : (a) Pupuk cair : …………………/liter, Rp …………………../liter F. Pakan Ternak 1. Jenis hijauan lainnya a. Rumput : ................kg/tahun, Rp............../kg b. Jerami : ................kg/tahun, Rp.............. /kg c. Rumput gajah : ................kg/tahun, Rp.............. /kg d. Bungkil sawit : ................kg/tahun, Rp.............. /kg e. Pelepah sawit : ................kg/tahun, Rp.............. /kg f. Pelepah jagung : ................kg/tahun, Rp.............. /kg g. Ampas tahu : ................kg/tahun, Rp.............. /kg : ................kg/tahun, Rp.............. /kg h. Gula merah 2. Konsentrat yang diberikan : a. ......................................., jumlahnya................kg, harga/kg Rp.............. b. ......................................., jumlahnya................kg, harga/kg Rp.............. c. ......................................., jumlahnya................kg, harga/kg Rp.............. G. Penyakit 1. Penyakit yang pernah menyerang a. ....................................., frekuensi………………/tahun, berapa banyak cara penanganan..................................................... Jenis obat………………, biaya Rp………………. b. .........................................., cara penanganan......................................... H. Lain-Lain 1. Tenaga kerja selain keluarga : a. Jumlah tenaga kerja : ……..orang b. Curahan waktu :…….. jam/bulan c. Upah tenaga kerja : Rp……………./orang 2. Tenaga kerja dalam keluarga : a. Jumlah tenaga kerja : ……..orang b. Curahan waktu :…….. jam/bulan Terlibat dalam kelompok tani : Ya/Tidak
66 Lampiran 3 Daftar wawancara peternak sapi potong di kecamatan Malangbong
Status
Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
Pendidikan Terakhir
Kepemilikan Sapi (ekor)
Curahan (jam/hari)
Pendapatan (Rp/bulan)
6 4
500000 500000
Peternak
10
1800000
1
Petani Peternak
6 4
750000 300000
Nama
Alamat
Usia
Pekerjaan
Zaenal Falah
Kp Cipetey, Mekarasih
52
Menikah
3
SD
4
Wiraswasta Peternak
46
Menikah
3
SMP
6
39
Menikah
5
SD
Eman
Kp Cipetey, Mekarasih Kp Guyuban, Mekarasih
O'ok
Kp Legok 1, Mekarasih
57
Menikah
4
SD
2
Petani Peternak
6 4
750000 600000
Rukman
Kp Legok 1, Mekarasih
60
Menikah
3
SD
1
Petani Peternak
6 4
700000 300000
Ucup
Kp Legok 1, Mekarasih
48
Menikah
4
SD
3
Wiraswasta Peternak
8 4
500000 900000
Ade Hamim
Kp Legok 2, Mekarasih
50
Menikah
2
SD
3
Petani Peternak
6 4
500000 900000
Nana
Kp Legok 2, Mekarasih
40
Menikah
4
SD
3
Petani Peternak
8 4
600000 900000
Engkus
Kp Legok 2, Mekarasih
40
Menikah
3
SD
2
Petani Peternak
6 4
700000 600000
Adli
Kp Sirnasari, Mekarasih
50
Menikah
3
SD
1
Petani Peternak
6 4
600000 200000
I'if Arifin
Kp Sirnasari, Mekarasih
37
Menikah
3
SD
4
Wiraswasta Peternak
8 4
1000000 1100000
Mu'min
Kp Sirnasari, Mekarasih
25
Belum Menikah
0
SD
4
Wiraswasta Peternak
8 1
1000000 1000000
Anah
Kp Sirnasari, Mekarasih
30
Menikah
2
SMP
3
Ibu RT Peternak
1
700000
Dana
Kp Sirnasari, Mekarasih
58
Menikah
4
SD
1
Buruh Peternak
8 1
900000 200000
Ija
Kp Sirnasari, Mekarasih
30
Menikah
3
SD
1
Wiraswasta Peternak
8 4
1000000 300000
Ade Triadi
Kp Sirnasari, Mekarasih
41
Menikah
3
SD
2
Petani Peternak
6 4
750000 600000
Yaya
Kp Sirnasari, Mekarasih
50
Menikah
5
SD
2
Petani Peternak
6 4
600000 600000
Ujang Dodi
Kp Sirnasari, Mekarasih
40
Menikah
3
SMP
1
Wiraswasta Peternak
8 2
1000000 200000
I'in Solihin
Kp Sirnasari, Mekarasih
30
Menikah
4
SD
3
Wiraswasta Peternak
12 4
1200000 900000
E. Sanusi
Kp Sirnasari, Mekarasih
61
Menikah
2
SD
3
Petani Peternak
4 4
300000 100000
Iwan
Kp Cipetey, Mekarasih
39
Menikah
3
SMP
3
Buruh Peternak
8 2
900000 300000
Bayemi
Kp Cipetey, Mekarasih
70
Menikah
6
SD
3
Petani Peternak
8 4
600000 900000
Rahmat
67 Lampiran 4 Nilai LQ Sapi Potong di Kabupaten Garut 2013
No.
Kecamatan
Populasi sapot kecamatan
Jumlah rumah tangga kecamatan
Populasi sapot kabupaten
Jumlah rumah tangga kabupaten
vi/vt
Vi/Vt
LQ
1
Cisewu
308
8941
28563
638482
0.03
0.0447358
0.77
2
Caringin
712
8900
28563
638482
0.08
0.0447358
1.79
3
Talegong
171
11515
28563
638482
0.01
0.0447358
0.33
4 5 6
Bungbulang Mekarmukti Pamulihan
1,046 893 35
16120 4975 5042
28563 28563 28563
638482 638482 638482
0.06 0.18 0.01
0.0447358 0.0447358 0.0447358
1.45 4.01 0.16
7
Pakenjeng
302
16675
28563
638482
0.02
0.0447358
0.40
1,602 2,014 3,020 449 24 16 4 12 12 458 105 33 130 30 35 137 137 70 387 1,036 496 141 309 707 88 93 130 20 123 546 74 175 579 2,518 9,386 28,563
12466 10806 11765 13573 5766 12744 6013 21693 13098 30142 21420 8565 26309 9804 18942 18959 31223 19287 33660 27153 10851 7494 8013 12034 3520 22115 19152 11068 21716 9136 6481 19553 19430 9289 33074 638482
28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563 28563
638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482 638482
0.13 0.19 0.26 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.04 0.05 0.02 0.04 0.06 0.03 0.00 0.01 0.00 0.01 0.06 0.01 0.01 0.03 0.27 0.28
0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358 0.0447358
2.87 4.17 5.74 0.74 0.09 0.03 0.01 0.01 0.02 0.34 0.11 0.09 0.11 0.07 0.04 0.16 0.10 0.08 0.26 0.85 1.02 0.42 0.86 1.31 0.56 0.09 0.15 0.04 0.13 1.34 0.26 0.20 0.67 6.06 6.34
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Cikelet Pameungpeuk Cibalong Cisompet Peundeuy Singajaya Cihurip Cikajang Banjarwangi Cilawu Bayongbong Cigedug Cisurupan Sukaresmi Samarang Pasirwangi Tarogong Kidul Tarogong Kaler Garut Kota Karangpawitan Wanaraja Sucinaraja Pangatikan Sukawening Karangtengah Banyuresmi Leles Leuwigoong Cibatu Kersamanah Cibiuk Kadungora Bl. Limbangan Selaawi Malangbong
68
68
Lampiran 5 Hasil Perhitungan Produktivitas Lahan Penghasil Jerami (Bahan Kering(ton/thn)) Padi No
Kecamatan
Luas Panen (ha)
Jagung BK (ton/thn)
Luas Panen (ha)
Kedelai
BK (ton/thn)
Luas Panen (ha)
BK (ton/thn)
Kacang Tanah Luas BK Panen (ha) (ton/thn)
Ubi Kayu Luas BK Panen (ha) (ton/thn)
Ubi Jalar Luas BK Panen (ha) (ton/thn)
Jumlah BK per kecamatan (ton/thn)
1
Cisewu
3797.00
873.31
480.00
384.00
120.00
128.40
518.00
745.92
287.00
74.62
110.00
132.00
2338.25
2
Caringin
3211.00
738.53
1453.00
1162.40
140.00
149.80
1693.00
2437.92
772.00
200.72
23.00
27.60
4716.97
3
Talegong
4548.00
1046.04
2230.00
1784.00
286.00
306.02
1536.00
2211.84
1314.00
341.64
689.00
826.80
6516.34
4
Bungbulang
9986.00
2296.78
1441.00
1152.80
150.00
160.50
714.00
1028.16
1022.00
265.72
72.00
86.40
4990.36
5
Mekarmukti
2670.00
614.10
1196.00
956.80
45.00
48.15
640.00
921.60
510.00
132.60
82.00
98.40
2771.65
6
Pamulihan
6627.00
1524.21
1624.00
1299.20
166.00
177.62
307.00
442.08
894.00
232.44
40.00
48.00
3723.55
7
Pakenjeng
2617.00
601.91
1702.00
1361.60
113.00
120.91
489.00
704.16
140.00
36.40
22.00
26.40
2851.38
8
Cikelet
4744.00
1091.12
1816.00
1452.80
213.00
227.91
1615.00
2325.60
880.00
228.80
83.00
99.60
5425.83
9
Pameungpeuk
3503.00
805.69
542.00
433.60
0.00
1312.00
1889.28
695.00
180.70
95.00
114.00
3423.27
10
Cibalong
4522.00
1040.06
2628.00
2102.40
925.00
989.75
2540.00
3657.60
900.00
234.00
19.00
22.80
8046.61
11
Cisompet
4237.00
974.51
467.00
373.60
48.00
51.36
65.00
93.60
200.00
52.00
37.00
44.40
1589.47
12
Peundeuy
2698.00
620.54
155.00
124.00
92.00
98.44
139.00
200.16
200.00
52.00
124.00
148.80
1243.94
13
Singajaya
2017.00
463.91
160.00
128.00
75.00
80.25
17.00
24.48
25.00
6.50
23.00
27.60
730.74
14
Cihurip
3000.00
690.00
1221.00
976.80
193.00
206.51
438.00
630.72
697.00
181.22
301.00
361.20
3046.45
15
Cikajang
1123.00
258.29
1591.00
1272.80
0.00
79.00
20.54
47.00
56.40
1608.03
16
Banjarwangi
7933.00
1824.59
1025.00
820.00
337.00
360.59
194.00
279.36
161.00
41.86
285.00
342.00
3668.40
17
Cilawu
4161.00
957.03
1941.00
1552.80
211.00
225.77
254.00
365.76
800.00
208.00
741.00
889.20
4198.56
18
Bayongbong
5194.00
1194.62
2826.00
2260.80
315.00
337.05
120.00
172.80
1137.00
295.62
462.00
554.40
4815.29
19
Cigedug
680.00
156.40
122.00
97.60
0.00
0.00
159.00
41.34
157.00
188.40
483.74
20
Cisurupan
3653.00
840.19
0.00
0.00
0.00
612.00
159.12
195.00
234.00
1233.31
21
Sukaresmi
2284.00
525.32
531.20
0.00
0.00
120.00
31.20
89.00
106.80
1194.52
664.00
0.00
69
22
Samarang
4667.00
1073.41
1939.00
1551.20
0.00
78.00
112.32
307.00
79.82
176.00
211.20
3027.95
23
2487.00
572.01
947.00
757.60
0.00
20.00
28.80
55.00
14.30
87.00
104.40
1477.11
2536.00
583.28
1163.00
930.40
500.00
535.00
12.00
17.28
210.00
54.60
77.00
92.40
2212.96
25
Pasirwangi Tarogong Kidul Tarogong Kaler
2754.00
633.42
229.00
183.20
92.00
98.44
45.00
64.80
81.00
21.06
57.00
68.40
1069.32
26
Garut Kota
3818.00
878.14
990.00
792.00
485.00
518.95
105.00
151.20
130.00
33.80
75.00
90.00
2464.09
27
Karangpawitan
4426.00
1017.98
1854.00
1483.20
494.00
528.58
216.00
311.04
432.00
112.32
171.00
205.20
3658.32
28
Wanaraja
1107.00
254.61
1993.00
1594.40
175.00
187.25
35.00
50.40
251.00
65.26
72.00
86.40
2238.32
29
Sucinaraja
1883.00
433.09
1175.00
940.00
290.00
310.30
0.00
230.00
59.80
80.00
96.00
1839.19
30
Pangatikan
1514.00
348.22
1995.00
1596.00
356.00
380.92
141.00
203.04
420.00
109.20
68.00
81.60
2718.98
31
Sukawening
3986.00
916.78
2027.00
1621.60
299.00
319.93
164.00
236.16
286.00
74.36
122.00
146.40
3315.23
32
Karangtengah
2741.00
630.43
2075.00
1660.00
465.00
497.55
40.00
57.60
160.00
41.60
10.00
12.00
2899.18
33
Banyuresmi
4567.00
1050.41
4440.00
3552.00
835.00
893.45
165.00
237.60
150.00
39.00
65.00
78.00
5850.46
34
Leles
4052.00
931.96
2163.00
1730.40
357.00
381.99
253.00
364.32
755.00
196.30
598.00
717.60
4322.57
35
Leuwigoong
3661.00
842.03
1461.00
1168.80
325.00
347.75
210.00
302.40
770.00
200.20
193.00
231.60
3092.78
36
Cibatu
3260.00
749.80
1175.00
940.00
320.00
342.40
485.00
698.40
30.00
7.80
210.00
252.00
2990.40
37
Kersamanah
1761.00
405.03
377.00
301.60
176.00
188.32
344.00
495.36
256.00
66.56
97.00
116.40
1573.27
38
Cibiuk
2165.00
497.95
1306.00
1044.80
339.00
362.73
460.00
662.40
350.00
91.00
120.00
144.00
2802.88
39
Kadungora
4607.00
1059.61
1648.00
1318.40
420.00
449.40
265.00
381.60
1005.00
261.30
375.00
450.00
3920.31
40
Bl. Limbangan
4986.00
1146.78
1675.00
1340.00
50.00
53.50
160.00
230.40
1500.00
390.00
4.00
4.80
3165.48
41
Selaawi
2986.00
686.78
2560.00
2048.00
25.00
26.75
510.00
734.40
550.00
143.00
89.00
106.80
3745.73
42
Malangbong
6004.00
1380.92
2128.00
1702.40
29.00
31.03
1234.00
1776.96
1425.00
370.50
162.00
194.40
5456.21
153173.00
35229.79
60604.00
48483.20
9461.00
10123.27
17533.00
25247.52
20957.00
5448.82
6604.00
7924.80
132457.40
24
JUMLAH
69
70
70
Lampiran 6 Konversi Hijauan per kecamatan melalui Pendekatan Potensi Lahan Luas Lahan (Ha) No.
Kecamatan Persawahan
Tegalan/ Kering semusim
Kebun Campuran
Produksi Hijauan (ton BK/tahun)
Perkebunan
Padang, Semak
Hutan
Sawah Bera 10%
1
Cisewu
664
8962
2
Caringin
1473
3
Talegong
4 5
Galangan Sawah
Tegalan/ Kering semusim
Kebun Campuran
Perkebunan
Padang, Semak
Hutan
3%
1%
5%
5%
15
5%
Asumsi Produksi Hijauan (ton BK/tahun)
2,581.00
0
214
2,531.00
996
298.8
1344.3
1935.75
0
3210
1898.25
9683.1
1216
1,772.00
0
454
3,437.00
2209.5
662.85
182.4
1329
0
6810
2577.75
13771.5
1078
996
2,419.00
569
4
3,472.00
1617
485.1
149.4
1814.25
426.75
60
2604
7156.5
Bungbulang
3659
976
1,545.00
431
1,758.00
4,623.00
5488.5
1646.55
146.4
1158.75
323.25
26370
3467.25
38600.7
Mekarmukti
144
2805
1,562.89
0
0
0
216
64.8
420.75
1172.1675
0
0
0
1873.7175
6
Pamulihan
207
322
641
1,288.00
363
9,625.00
310.5
93.15
48.3
480.75
966
5445
7218.75
14562.45
7
Pakenjeng
1785
4481
5,990.00
994
101
4,510.00
2677.5
803.25
672.15
4492.5
745.5
1515
3382.5
14288.4
8
Cikelet
1042.89
3173
2,322.00
4,407.00
845
4,436.00
1564.335
469.3005
475.95
1741.5
3305.25
12675
3327
23558.336
9
Pameungpeuk
1125
466
758
0
480
704
1687.5
506.25
69.9
568.5
0
7200
528
10560.15
1165
1,058.00
6,422.00
177
7,641.00
1327.5
398.25
174.75
793.5
4816.5
2655
5730.75
15896.25
10
Cibalong
885
11
Cisompet
1179
1425
2,528.00
4,408.00
862
4,817.00
1768.5
530.55
213.75
1896
3306
12930
3612.75
24257.55
12
Peundeuy
852
1057
729
0
305
1,933.00
1278
383.4
158.55
546.75
0
4575
1449.75
8391.45
13
Singajaya
1507
1574
1,597.00
105
25
953
2260.5
678.15
236.1
1197.75
78.75
375
714.75
5541
14
Cihurip
214
1224
798.58
0
150
809
321
96.3
183.6
598.935
0
2250
606.75
4056.585
15
Cikajang
218
901
1,771.00
4,261.00
16
3,218.00
327
98.1
135.15
1328.25
3195.75
240
2413.5
7737.75
16
Banjarwangi
1687
1788
2,861.00
1,599.00
93
2,779.00
2530.5
759.15
268.2
2145.75
1199.25
1395
2084.25
10382.1
17
Cilawu
1486
570
1,910.00
1,521.00
20
1,085.00
2229
668.7
85.5
1432.5
1140.75
300
813.75
6670.2
18
Bayongbong
815.92
439
762.98
0
0
1,715.00
1223.88
367.164
65.85
572.235
0
0
1286.25
3515.379
19
Cigedug
674
8
458
245
0
876
1011
303.3
1.2
343.5
183.75
0
657
2499.75
71
20
Cisurupan
1965.5
1073
1,547.00
97
0
1,967.00
2948.25
884.475
160.95
1160.25
72.75
0
1475.25
6701.925
21
Sukaresmi
797
670
684
0
28
507
1195.5
358.65
100.5
513
0
420
380.25
2967.9
22
Samarang
1677
637
1,019.00
0
7
1,011.00
2515.5
754.65
95.55
764.25
0
105
758.25
4993.2
23
Pasirwangi Tarogong Kidul Tarogong Kaler
1464
738
1,158.00
0
0
319
2196
658.8
110.7
868.5
0
0
239.25
4073.25
38
0
224
0
505.5
151.65
0
28.5
0
3360
0
4045.65
1055.5
824
388.5
0
0
547
1583.25
474.975
123.6
291.375
0
0
410.25
2883.45
26
Garut Kota
504
174
303
0
27
394
756
226.8
26.1
227.25
0
405
295.5
1936.65
27
Karangpawitan
1818
834
818
0
0
391
2727
818.1
125.1
613.5
0
0
293.25
4576.95
28
Wanaraja
474
43
1,935.00
0
0
87
711
213.3
6.45
1451.25
0
0
65.25
2447.25
29
Sucinaraja
492
298
1,342.66
0
0
417
738
221.4
44.7
1006.995
0
0
312.75
2323.845
30
Pangatikan
533
36
384
0
0
168
799.5
239.85
5.4
288
0
0
126
1458.75
31
Sukawening
1483
396
389
0
0
636
2224.5
667.35
59.4
291.75
0
0
477
3720
32
Karangtengah
670
419
225
0
0
230
1005
301.5
62.85
168.75
0
0
172.5
1710.6
33
Banyuresmi
955
821.98
800.69
0
214
307
1432.5
429.75
123.297
600.5175
0
3210
230.25
6026.3145
34
Leles
967
2513
879
0
0
572
1450.5
435.15
376.95
659.25
0
0
429
3350.85
35
Leuwigoong
411
232
72
0
0
218
616.5
184.95
34.8
54
0
0
163.5
1053.75
36
Cibatu
1232
400
809
0
4
637
1848
554.4
60
606.75
0
60
477.75
3606.9
37
Kersamanah
38
Cibiuk
39
Kadungora
40
Bl. Limbangan
41
Selaawi
42
Malangbong
24 25
Total
337
165
172
223
0
0
227
247.5
74.25
25.8
167.25
0
0
170.25
685.05
127.97
448
422
0
111
111
191.955
57.5865
67.2
316.5
0
1665
83.25
2381.4915
1322
332
446
0
15
532
1983
594.9
49.8
334.5
0
225
399
3586.2
1887.5
1518
1,698.50
0
11
1,158.00
2831.25
849.375
227.7
1273.875
0
165
868.5
6215.7
974
207
995
0
18
310
1461
438.3
31.05
746.25
0
270
232.5
3179.1
2157
2717
1,591.00
0
36
1,289.00
3235.5
970.65
407.55
1193.25
0
540
966.75
7313.7
44164.28
49050.98
52231.8
26347
6562
71199
66246.42
19873.926
7357.647
39173.85
19760.25
98430
53399.25
304241.34
Max
304241.34
71
72 Lampiran 7 Nilai KPPTR Sapi Potong Kabupaten Garut Berdasarkan Sumberdaya Lahan No. Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Jerami Hijauan BK KTTR Populasi KPPTR (ton/thn) (ton/thn) (ton/thn) Maks Riil (ST) Efektif Cisewu 2338.25 9683.10 12021.35 5236.12 3845 1391 Caringin 4716.97 13771.50 18488.47 8053.00 3145 4908 Talegong 6516.34 7156.50 13672.84 5955.46 2667 3288 Bungbulang 4990.36 38600.70 43591.06 18986.89 6541 12446 Mekarmukti 2771.65 1873.72 4645.37 2023.38 3227 -1203 Pamulihan 3723.55 14562.45 18286.00 7964.81 2559 5406 Pakenjeng 2851.38 14288.40 17139.78 7465.55 3480 3986 Cikelet 5425.83 23558.34 28984.17 12624.59 3889 8736 Pameungpeuk 3423.27 10560.15 13983.42 6090.74 4075 2016 Cibalong 8046.61 15896.25 23942.86 10428.76 5778 4650 Cisompet 1589.47 24257.55 25847.02 11258.15 4443 6816 Peundeuy 1243.94 8391.45 9635.39 4196.87 2924 1273 Singajaya 730.74 5541.00 6271.74 2731.77 4044 -1312 Cihurip 3046.45 4056.59 7103.04 3093.86 2150 944 Cikajang 1608.03 7737.75 9345.78 4070.73 8894 -4823 Banjarwangi 3668.40 10382.10 14050.50 6119.96 3454 2665 Cilawu 4198.56 6670.20 10868.76 4734.09 8935 -4201 Bayongbong 4815.29 3515.38 8330.67 3628.58 8158 -4530 Cigedug 483.74 2499.75 2983.49 1299.51 7967 -6668 Cisurupan 1233.31 6701.93 7935.24 3456.34 9036 -5580 Sukaresmi 1194.52 2967.90 4162.42 1813.02 2756 -943 Samarang 3027.95 4993.20 8021.15 3493.76 3244 250 Pasirwangi 1477.11 4073.25 5550.36 2417.56 3282 -864 Tarogong Kidul 2212.96 4045.65 6258.61 2726.05 2203 523 Tarogong Kaler 1069.32 2883.45 3952.77 1721.70 2531 -810 Garut Kota 2464.09 1936.65 4400.74 1916.82 3279 -1362 Karangpawitan 3658.32 4576.95 8235.27 3587.02 3981 -394 Wanaraja 2238.32 2447.25 4685.57 2040.89 3624 -1583 Sucinaraja 1839.19 2323.85 4163.04 1813.29 3101 -1288 Pangatikan 2718.98 1458.75 4177.73 1819.69 2599 -779 Sukawening 3315.23 3720.00 7035.23 3064.32 2837 228 Karangtengah 2899.18 1710.60 4609.78 2007.88 1880 128 Banyuresmi 5850.46 6026.31 11876.77 5173.15 3655 1519 Leles 4322.57 3350.85 7673.42 3342.30 3078 265 Leuwigoong 3092.78 1053.75 4146.53 1806.10 1634 172 Cibatu 2990.40 3606.90 6597.30 2873.58 3396 -523 Kersamanah 1573.27 685.05 2258.32 983.65 2198 -1214 Cibiuk 2802.88 2381.49 5184.37 2258.15 1635 623 Kadungora 3920.31 3586.20 7506.51 3269.60 3689 -419 Bl. Limbangan 3165.48 6215.70 9381.18 4086.15 4272 -186 Selaawi 3745.73 3179.10 6924.83 3016.24 3421 -404 Malangbong 5456.21 7313.70 12769.91 5562.17 8713 -3151 132457.40 304241.34 436698.74 189869.02 Jumlah 170217 19652
73 Lampiran 8 Dokumentasi penelitian
74
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1991 di Sragen, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Joko Suwarno dan Ibu Suharni. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2003 di SDN Pesanggrahan 01 Pagi Jakarta Selatan, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di SMP Negeri 235 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2009 di SMA Negeri 47 Jakarta. Penulis
diterima
sebagai
mahasiswa
pada
Departemen
Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2009, selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam kegiatan organisasi REESA (Resourse Environmental of Economics Student Assosiation) pada tahun 2010 – 2011 sebagai staf Enterpreneurship, sedangkan pada tahun 2011 – 2012 sebagai Ketua Club Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
75