Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PRODUKTIVITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN (Productivity of Ongole Grade Bulls at Various Body Weight) TAUFAN REZA SYUHADA1, E. RIANTO1, E. PURBOWATI1, A. PURNOMOADI1 dan SOEPARNO2 1
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT An experiment was carried out to investigate the productivity of Ongole Grade (OG) Cattle at various body weight. This experiment used 8 OG bulls with body Wight (BW) varying from 153 to 253 kg. The method used was Cross Sectional Comparison, to compare the bulls in parameters consisting of feed intake, feed digestibility, live weight gain (LWG), Dan feed conversion ratio (FCR). The results showed that there was a positive correlation (r = 0.98; P < 0.05) between BW and dry matter intake (DMI), the higher BW the higher DMI. However, when DMI was expressed in percentage of BW, the proportion of DMI decreased as BW increased (r = -0.76; P < 0.05). There was no significant correlation between feed digestibility and BW (r = -0,36; P > 0.05). The average feed digestibility was 62%. Total digestible nutrients (TDN) intake was positively correlated with BW (r = 0.959; P < 0.05). The lightest bull comsumed 3,230 g TDN per day, while the heaviest bull consumed 4.901 g TDN per day. Crude protein (CP) intake was positively correlated with BW (r = 0.996; P < 0.05). The lightest bull comsumed 794 g CP per day, while the heaviest bull consumed 1,303 g CP per day. There was no significant correlation between LWG and BW (r = 0.35; P > 0.05), with average LWG 0.8 kg/d. Either, FCR had no significant correlation with BW (r = 0.35; P > 0.05); the average FCR was 8. It was concluded that in bulls weighing between 153 and 253 kg, there wes no significant correlation between BW and productivity. Key Words: Bulls, Body Weight, Productivity ABSTRAK Suatu penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji produktivitas sapi Peranakan Ongole (PO) pada berbagai tingkatan bobot badan (BB). Penelitian ini menggunakan 8 ekor sapi PO jantan dengan kisaran bobot badan antara 153 dan 253 kg. Metode yang digunakan adalah Cross Sectional Comparison, untuk membandingkan parameter yang meliputi konsumsi pakan, kecernaan pakan, pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan konversi pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang positif dan nyata (r = 0,98; P < 0,05) antara BB dengan konsumsi bahan kering (BK) pakan, semakin tinggi BB semakin tinggi pula konsumi BK pakan. Namun demikian, proporsi kosumsi BK tersebut terhadap BB menurun seiring dengan meningkatnya BB (r = -0,76; P < 0,05), semakin tinggi BB semakin rendah konsumsi BK pakan dalam persen BB. Tidak terdapat korelasi yang nyata antara tingkat kecernaan dan bobot badan (r = -0,36; P > 0,05). Kecernaan BK pakan sekitar 62%. Konsumsi total digestible nutrients (TDN) memiliki korelasi positif yang kuat dengan bobot badan (r = 0,959; P < 0,05). Sapi dengan bobot badan terendah memiliki konsumsi TDN sebesar 3.230 g/hari, sedangkan sapi dengan bobot bobot badan tertinggi memiliki konsumsi TDN sebesar 4.901 g/hari. Konsumsi protein juga memiliki korelasi positif yang kuat dengan bobot badan (r = 0,996; P < 0,05). Sapi dengan bobot badan terendah memiliki konsumsi protein sebanyak 794 g/hari, sedangkan sapi dengan bobot badan tertinggi memiliki konsumsi protein sebanyak 1.303 g/hari. Tidak terdapat korelasi yang kuat antara PBBH dengan bobot badan (r = 0,35; P > 0,05), dengan rata-rata PBBH sebesar 0,8 kg/hari. Konversi pakan juga memiliki korelasi yang lemah dengan bobot badan (r = 0,35; P > 0,05). Rata-rata angka konversi yang didapat adalah 8. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada sapi PO jantan dengan bobot antara 153 sampai 253 kg, produktivitas sapi tidak memiliki korelasi yang kuat dengan bobot badan sapi. Kata Kunci: Sapi, Bobot Badan Produktivitas
163
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENDAHULUAN Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah hasil persilangan antara sapi Jawa asli dengan sapi Ongole secara Grading Up. Ciri-ciri umum sapi PO menyerupai sapi Ongole, perbedaannya terletak pada postur tubuh dan produktivitasnya yang sedikit lebih rendah dibanding sapi Ongole. Pada usaha pembesaran/penggemukan sapi potong, tingkat produktivitas ternak antara lain ditentukan oleh pertambahan bobot badan. Produktivitas ternak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor pakan yang dikonsumsi dan faktor umur. Pakan yang dikonsumsi merupakan salah satu faktor penentu produktivitas ternak. Pakan mengandung nutrien yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi ternak. Kemampuan ternak dalam mengkonsumsi bahan kering (BK) pakan tergantung pada kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (MCDONALD et al., 1988). Kapasitas ini berhubungan erat dengan bobot badan ternak; dan pada keadaan normal bobot badan ternak ini meningkat sejalan dengan meningkatnya umur ternak. Semakin tinggi bobot badan sapi, kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan juga bertambah besar yang mengakibatkan konsumsi BK juga semakin meningkat. Bobot badan juga mempengaruhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, dan kebutuhan tersebut dipenuhi dari mengkonsumsi pakan. Umur juga berkaitan erat dengan kondisi fisiologis, kebutuhan nutrisi dan tingkat pertumbuhan (CHURCH dan POND, 1978). Ternak dengan umur berbeda akan memiliki kondisi fisiologis, kebutuhan nutrisi dan tingkat pertumbuhan.yang berbeda pula. Dalam kaitannya dengan kebutuhan nutrisi, ternak muda membutuhkan kadar protein pakan yang relatif tinggi untuk mencukupi kebutuhan hidup dan produksinya yang berupa pertumbuhan kerangka dan organ-organ lain, sedangkan ternak yang sudah tua membutuhkan kandungan energi pakan yang tinggi dalam ransumnya untuk membentuk perlemakan yang optimal (KEARL, 1982; NRC, 1984). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat produktivitas sapi Peranakan Ongole
164
(PO) pada umur yang berbeda, yang direpresentasikan dari bobot badannya, dengan pemberian pakan yang sama. Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang produktivitas sapi PO pada berbagai tingkatan umur (bobot badan), sehingga pelaku usaha dapat menentukan langkah–langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. MATERI DAN METODE Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, dari awal bulan Juni hingga akhir bulan Desember 2007. Materi penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan bobot masing-masing adalah 153 kg, 179 kg, 180 kg, 190 kg, 213 kg, 215 kg, 219 kg dan 253 kg. Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat yang terdiri dari dedak padi dan bungkil kedelai. Rumput Gajah dilayukan dengan cara diikat dan digantungkan pada bambu minimal selama satu minggu sehingga kadar air didalamnya relatif konstan. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode Cross Sectional Comparison, yaitu metode yang sifatnya membandingkan dengan mengambil sampel waktu, sampel perilaku, sampel kejadian pada saat tertentu saja (MUHADJIR, 1998). Dalam penelitian ini 8 ekor ternak sapi PO dengan tingkatan bobot badan yang berbeda diperbandingkan pada waktu yang sama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian Bahan pakan
BK
Kandungan nutrisi dalam 100% BK Protein
Lemak
SK
Abu
BETN
--------------------------------- (%) ----------------------------Hay rumput Gajah
44,16
7,76
6,96
24,73
17,00
43,56
Konsentrat
90,68
20,23
6,32
11,36
11,36
50,73
TDN pakan = 67,76%
Penelitian ini dilakukan dalam 3 periode, yaitu periode adaptasi (3 minggu), periode pendahuluan (1 minggu), dan periode pengumpulan data (3 bulan). Pada periode adaptasi dilakukan adaptasi sapi terhadap kandang dan pakan. Adaptasi terhadap pakan yang akan digunakan saat penelitian dilakukan dengan memberikan ternak pakan konsentrat sebanyak 2,1% bobot badan, serta memberikan rumput gajah secara ad libitum. Pada periode ini sapi juga akan diberi obat cacing dan vitamin. Tahap pendahuluan dilakukan setelah masa adaptasi, fase ini dilakukan untuk mengetahui secara pasti kemampuan konsumsi ternak terhadap pakan yang diberikan. Pada tahap pengumpulan data sapi ditimbang tiap minggu untuk mengetahui bobot badan. Konsentrat diberikan pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 13.00, sedangkan pemberian rumput gajah dilakukan secara ad libitum. Air minum diberikan secara ad libitum. Pengambilan data kecernaan pakan dilakukan selama satu minggu (7 hari) pada pertengahan periode pengumpulan data. Parameter penelitian dan analisis data Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi konsumsi BK total, kecernaan BK, konsumsi total digestible nutrient (TDN), konsumsi protein kasar, pertambahan bobot badan harian (PBBH), dan konversi pakan. Data yang diperoleh dicari nilai korelasinya (r) dengan bobot badan yang dilanjutkan dengan uji-t pada taraf kepercayaan 95% (HASAN, 2002). Nilai koefisien korelasi (r): 0,00< r ≤ 0,20 = korelasi sangat rendah atau lemah sekali
0,20 < r ≤ 0,40 0,40 < r ≤ 0,70 0,70 < r ≤ 0,90 0,90 < r < 1,00 r = 1,00
= = = = =
korelasi lemah korelasi sedang korelasi kuat korelasi kuat sekali korelasi sempurna
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi bahan kering Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara bobot badan dan konsumsi bahan kering (BK) memiliki korelasi yang nyata (r = 0,98; P < 0,05). Konsumsi BK meningkat seiring meningkatnya bobot badan sapi (Gambar 1). Bobot badan terendah (153 kg) mengkonsumsi pakan sebanyak 4.613 g/hari, sedangkan bobot badan rata-rata tertinggi (253 kg) mengkonsumsi pakan sebanyak 7.101 g/hari. Hal ini dikarenakan antara lain oleh kapasitas saluran pencernaan yang meningkat seiring dengan meningkatnya bobot badan. (CHURCH dan POND, 1978; PARAKKASI, 1999). Di lain pihak, apabila konsumsi pakan tersebut dinyatakan dalam persen bobot badan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara bobot badan dan konsumsi BK dalam persen bobot badan semakin tinggi bobot badan semakin rendah konsumsi BK dalam persen bobot badan (r = -0,76; P < 0,05, lihat Gambar 1). Sapi dengan bobot badan terendah (153 kg) mampu mengkonsumsi pakan sebanyak 3,1% BB dan sapi dengan bobot badan rata-rata tertinggi (253 kg) mampu mengkonsumsi pakan sebanyak 2,8% BB. Konsumsi BK berkisar antara 2,80 dan 3,17% BB pada hasil penelitian ini termasuk dalam kategori tinggi.
165
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Gambar 1. Grafik hubungan antara bobot badan dan konsumsi BK
Hasil penelitian SUSANTO et al. (2004) menunjukkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 200,80 kg yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat mengkonsumsi BK sebesar 5.840 g/hari (2,9% BB), sedangkan PURNOMOADI et al. (2007) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 227,25 kg yang diberi pakan 30% jerami padi dan 70% konsentrat (50% dedak padi dan 50% dedak gandum) mampu mengkonsumsi BK sebesar 5,91 g/hari (2,6% BB). Perbedaan konsumsi BK tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan bobot badan sapi yang digunakan pada masing-masing penelitian (KEARL, 1982). Selain itu, perbedaan jenis bahan pakan dalam ransum dapat menimbulkan perbedaan palatabilitas, kandungan nutrisi dan kecernaan, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (HAMDAN et al., 2004). Kecernaan bahan kering dan konsumsi bahan kering dapat dicerna Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya korelasi yang nyata antara tingkat kecernaan dan bobot badan (r = -0,36; P >
166
0.05). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa kecernaan pakan tidak semata-mata dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan, tetapi lebih cenderung berhubungan dengan perbandingan antara kapasitas lambung dan tingkat konsumsi pakan. Ternak-ternak percobaan mengkonsumsi pakan sesuai dengan kapasitas lambung masing-masing. Ternak yang lebih kecil mengkonsumsi pakan lebih sedikit karena mempunyai kapasitas lambung lebih rendah daripada ternak yang lebioh besar. Sapi dengan bobot badan terendah memiliki kecernaan sebesar 64,8% (Gambar 2), sedangkan pada bobot badan tertinggi kecernaan pakan sebesar 60,8%. Hasil penelitian SAWARNO et al. (2003) menunjukkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 95,5 kg yang diberi pakan berupa rumput gajah, konsentrat jadi, dan bungkil kelapa sawit mengkonsumsi BK sebesar 3.530 g/hari memiliki nilai kecernaan pakan sebesar 57,02%, sedangkan RIANTO et al. (2005a) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 198,5 kg yang diberi pakan berupa rumput Raja dan ampas bir mengkonsumsi BK sebesar 6.280 g/hari (2,59% BB) memiliki nilai kecernaan pakan sebesar 50,98%.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat antara bobot badan sapi dan konsumsi BK dapat dicerna (r = 0,92; P < 0,05). Sapi dengan bobot badan kecil mampu mengkonsumsi BK dapat dicerna sebanyak 2.991 g/hari, dan sapi dengan bobot badan besar mampu mengkonsumsi BK dapat dicerna sebesar 4.320 g/hari (Gambar 2). Besar kecilnya konsumsi BK dapat dicerna sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan bobot badan, semakin tinggi konsumsi dan bobot badan semakin tinggi pula konsumsi BK yang dapat dicerna. Konsumsi Total Digestible Nutrients (TDN) Konsumsi TDN menunjukkan korelasi positif yang kuat antara bobot badan dan konsumsi TDN (r = 0,959; P < 0,05). Semakin ringgi bobot badan badan, semakin tinggi pula konsumsi TDN; sapi dengan bobot badan terendah memiliki konsumsi TDN sebesar 3.230 g/hari, sedangkan bobot badan tertinggi memiliki konsumsi TDN sebesar 4.901 g/hari (Gambar 3). Hal ini sejalan dengan konsumsi BK pakan. Namun demikian, konsumsi TDN
per kilogram bobot badan metabolik pada setiap tingkatan bobot badan sapi hampir sama (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi mengikuti kebutuhan nutrisi pakan bagi ternak. Dinyatakan oleh CHURCH dan POND (1978) bahwa kebutuhan energi pada ternak mengikuti bobot badan metabolik. Konsumsi protein kasar Terdapat korelasi yang nyata (r = 0,996; P <0, 05) antara bobot badan sapi dengan konsumsi protein. Sapi dengan bobot badan rendah (153 kg) mengkonsumsi protein sebanyak 794 g/hari, sedangkan sapi dengan bobot badan tinggi (253 kg) mengkonsumsi protein sebanyak 1.303 g/hari (Gambar 5). Hal ini berarti jumlah konsumsi protein sejalan dengan konsumsi BK, karena pakan yang diberikan sama. TILLMAN et al. (1991) menyatakan bahwa kebutuhan sapi potong akan protein semakin naik seiring kenaikan bobot badannya, semakin besar bobot badan suatu ternak, semakin besar pula kebutuhan akan protein.
Gambar 2. Grafik hubungan antara bobot badan dan kecernaan BK dankonsumsi BK dapat dicerna
167
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Gambar 3. Grafik hubungan antara bobot badan dan konsumsi TDN
Gambar 4. Grafik hubungan antara bobot badan dan konsumsi TDN/BB metabolik
168
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Konsumsi protein yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 794 dan 1.303 g/hari. Sementara itu, hasil penelitian PURBOWATI et al. (2005) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 195,95 kg yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan sumber protein yang berbeda, mampu mengkonsumsi protein sebesar 755 g/hari. Adanya perbedaan konsumsi protein dipengaruhi oleh konsumsi BK ransum dan kandungan protein dalam ransum. Semakin besar bobot badan ternak, semakin kecil kecernaan protein (Gambar 5). Data yang diperoleh menunjukan bahwa sapi dengan bobot badan paling besar (253,3 kg) memiliki kecernaan protein pakan sebesar 57,69%, sedangkan sapi yang bobot badannya paling kecil (152,5 kg) memiliki kecernaan protein sebesar 65,85%. Sapi yang bobot badannya kecil, lebih banyak membutuhkan protein per unit bobot badan daripada sapi dewasa, sehingga mengabsorbsi lebih banyak protein pakan dari total protein yang dikonsumsi daripada ternak yang bobot badannya lebih
besar. Hal ini sesuai dengan pendapat MOUGHAN DAN FULLER (2003) bahwa pada ternak yang bobot badannya kecil, mengabsorbsi lebih banyak proporsi protein dari total protein yang dikonsumsi daripada ternak yang bobot badannya lebih besar. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) Pertambahan bobot badan harian (PBBH) memiliki korelasi yang lemah dengan bobot badan (r = 0,35; P > 0,05), sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan pendapat WILLIAMS yang dikutip oleh SOEPARNO (1992) bahwa sampai umur 18 bulan, sapi menunjukkan laju pertumbuhan yang meningkat. Tidak adanya korelasi yang nyata antara bobot badan dan PBBH pada penelitian ini dikarenakan oleh sapi-sapi yang digunakan pada penelitian ini masih dalam fase pertumbuhan.
Gambar 5. Grafik hubungan antara bobot badan dan konsumsi protein
169
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Gambar 6. Grafik hubungan antara bobot badan dan PBBH
Pertambahan bobot badan harian yang diperoleh berkisar antara 0,58 dan 1,00 kg. Hasil ini lebih rendah daripada yang dilaporkan RIANTO et al. (2007) bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 237 kg yang diberi pakan berupa hay rumput Gajah, ampas tahu, dan ubi kayu dengan PK total sebesar 13,67% mampu mencapai PBBH sebesar 1,09 kg, akan tetapi hasil PBBH dari penelitian ini masih lebih baik dari hasil penelitian yang dilaporkan RIANTO et al. (2005a) bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 198,5 kg yang diberi pakan berupa rumput raja dan ampas bir dengan kadar PK total sebesar 20,89% memiliki PBBH sebesar 0,74 kg. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pakan dan kandungan gizi dalam pakan yang digunakan pada masing-masing penelitian. Konversi pakan Konversi pakan memiliki korelasi yang lemah dengan BB (r = 0,35; P > 0,05), sebagaimana terlihat pada Gambar 7. Konversi pakan amat dipengaruhi oleh PBBH dan konsumsi harian BK. Pada penelitian ini PBBH pada ternak dengan bobot badan rendah tidak berbeda dengan PBBH pada ternak bobot badan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sapisapi yang digunakan pada penelitian ini masih
170
dalam fase pertumbuhan yang relatif sama. Oleh karena itu angka konversi pakan pada penelitian inipun tidak terdapat korelasi yang kuat antara bobot badan dan konversi pakan. Rata-rata angka konversi yang didapat adalah 8, angka ini termasuk dalam kategori bagus. Hasil penelitian MORAN yang disitasi oleh TILLMAN et al. (1991) menunjukkan bahwa angka konversi pakan pada sapi adalah sekitar 8,5. Semakin tinggi nilai konversi pakan berarti pakan yang digunakan untuk menaikkan bobot badan persatuan bobot badan semakin banyak atau efisiensi pakan rendah. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sapi dengan bobot badan terendah (152 kg) memiliki nilai konversi pakan sebesar 6,1, sedangkan sapi dengan bobot badan tertinggi (253 kg) mempunyai nilai konversi pakan sebesar 7,5 (lihat Gambar 7). Hasil penelitian ini masih lebih baik dari hasil yang dilaporkan oleh SAWARNO et al. (2003) bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 95,5 kg yang diberi pakan berupa rumput gajah, konsentrat jadi, dan bungkil kelapa sawit memiliki nilai konversi pakan sebesar 8,73. RIANTO et al. (2005a) melaporkan bahwa sapi PO jantan dengan bobot badan 198,5 kg yang diberi pakan berupa rumput raja dan ampas bir memiliki nilai konversi pakan sebesar 8,49. Perbedaan nilai konversi pakan ini dikarenakan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Gambar 7. Grafik hubungan antara bobot badan dan konversi pakan
oleh perbedaan kandungan gizi dalam pakan yang diberikan pada masing-masing penelitian terutama dari segi nilai PK. Pada penelitian ini konsentrat yang digunakan memiliki nilai PK sebesar 20,23 %, sedangkan pada penelitian SAWARNO et al. (2003) menggunakan konsentrat dengan kandungan PK sebesar 11,67%.
disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi pada berbagai tingkatan umur dan bobot badan ternak, agar produktivitas ternak yang optimal.
KESIMPULAN
HAMDAN, A., N. NGADIYONO dan A. AGUS. 2004. Konsumsi Pakan dan peningkatan bobot badan sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole jantan yang diberi pakan basal jerami padi terfermentasi dan suplemen konsentrat. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku II: 126 – 131.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bobot badan berpengaruh terhadap konsumsi pakan, semakin tinggi bobot badan semakin tinggi pula kemampuan ternak mengkonsumsi pakan. Hal ini berhubungan dengan kapasitas saluran pencernaan, semakin tinggi bobot badan sapi semakin besar pula kapasitas saluran pencernaan. Namun demikian, tingkat kecernaan pakan tidak terpengaruh oleh bobot badan, sehingga jumlah konsumsi pakan dapat dicerna mengikuti jumlah konsumsi pakan. Laju pertambahan bobot badan dan konversi pakan juga tidak memiliki korelasi yang berarti dengan bobot badan sapi. Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan pemberian pakan hendaknya
DAFTAR PUSTAKA CHURCH, D.C. and W.G. POND. 1978. Animal Nutrition and Feeding. O & B Book. Corvallis, Oregon.
HASAN, M. I. 2002. Pokok-Pokok Materi Statistik 2. Edisi Ke-2. PT Bumi Aksara, Jakarta. KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute, Utah Agricultural Experiments Station, Utah State University, Logan Utah. MCDONALD, P., R.A. EDWARDS, and J.F.D. GREENHALGH (1988). Animal Nutrition, 4th Ed. Longman Scientific and Technical, Harlow.
171
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
MOUGHAN, P.J. and M.F. FULLER. 2003. Modelling amino acid metabolism and the estimation. In: D’Mello, J.P.F. 2nd Ed. Amino Acid in Animal Nutrition. CAB International, Wallingford. pp. 187 – 202.
RIANTO, E., A.S. ISWALDI dan S. DARTOSUKARNO. 2005a. Penampilan produksi sapi Peranakan Ongole dan sapi Peranakan Ongole X Limousin yang mendapat pakan rumput raja dan ampas bir. Caraka Tani XX (2): 91 – 97.
MUHADJIR, N. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III. PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta.
RIANTO, E., M. WULANDARI dan R. ADIWINARTI. 2007. Pemanfaatan protein pada sapi jantan Peranakan Ongole dan Peranakan Fresian Holstein yang mendapat pakan rumput gajah, ampas tahu dan singkong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan,Bogor. hlm. 64 – 70.
NATIONAL RESEARCH COUNCIL (NRC), 1984. Nutrient Requirements of Beef Cattle. Sixth Revised Edition. National Academy Press, Washington, D.C. PARAKKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. PURBOWATI, E., M. ARIFIN, dan MUHTADI. 2005. Penampilan produksi sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan pakan dasar jerami padi dan konsentrat sumber protein yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Yogyakarta, 8 Oktober 2004. Kersajama Fakultas Peternakan Universita Gadjah Mada dengan Puslitbang Peternakan, Departemen Pertanian. hlm. 67 – 73. PURNOMOADI, A., B.C. EDY, R. ADIWINARTI and E. RIANTO. 2007. The performance and energy utilization of Ongole Crossbred cattle raised under two level supplementation of concentration to the rice straw. J. Indonesian Tropical Animal Agriculture. 32(1): 1 – 5.
172
SAWARNO, A., E. PURBOWATI dan S. DARTOSUKAMO. 2003. Penampilan produksi sapi peternakan ongole jantan muda dengan frekuensi pemberian konsentrat yang berbeda. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku I. hlm. 147 – 153. SOEPARNO. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SUSANTO, S.A., E. RIANTO dan J.A. PRAWOTO. 2004. Pengaruh penggantian konsentrat dengan ampas bir terhadap penampilan produksi sapi Peranakan Ongole yang mendapat pakan basal rumput raja. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition Bulan Oktober Buku I. hlm. 35 – 39. TILLMAN, A. D, H. HARTADI, S. PRAWIROKUSUMO, S. REKSOHADIPRODJO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Presss, Yogyakarta