Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN (Physical Characteristics of Ongole Bulls’ Meat at Various Body Weight) EDY RIANTO, M.F. RAHMAWATI dan A. PURNOMOADI Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang
ABSTRACT This study was aimed to investigate physical characteristics of Ongole Grade bulls’ meat at various body weight. This study was carried out by Cross Sectional Comparison method. Parameters observed in this study were pH, colour, cooking loss, tenderness and water holding capacity (WHC). The muscles taken as subsamples were longissimus dorsi (LD) to represent passive muscles, and bisep femoris (BF) to represent active muscles. The results showed that body weight had low correlation with pH of meat, i.e. 0.192 on LD dan 0.000 on BF. Body weight and R colour of meat had medium correlation on LD (0.429) but low on BF (0.354). The correlation between body weight and Y colour of meat was high on LD (0.820), but medium on BF (0.490). The correlation between body weight and B colour of meat was medium on LD (0.592) but low on BF (0.32). The correlation between body weight and cooking loss was medium on LD (0.635), but low on BF (0.173). The correlation between body weight and meat tenderness had relatively medium both on LD and BF, i.e. 0.409 and 0.657, respectively. Body weight also had medium correlation with water holding capacity, i.e. 0.596 on LD and 0.502 on BF. Key Words: Body Weight, Ongole Grade Bulls, Physical Meat Characteristics ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji karakteristik fisik pada daging sapi Peranakan Ongole (PO), pada berbagai tingkatan bobot badan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode Cross Sectional Comparison, yaitu membandingkan karakteristik fisik daging sapi PO pada tingkatan bobot badan yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Parameter yang diamati meliputi pH, warna, susut masak, keempukan dan daya ikat air. Bagian tubuh yang diambil sebagai sub-sampel adalah longissimus dorsi (LD) mewakili otot pasif, dan bisep femoris (BF) mewakili otot aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan memiliki korelasi yang sangat rendah dengan nilai pH daging, yaitu 0,192 pada LD dan 0,000 pada BF. Bobot badan dan warna R daging memiliki korelasi sedang pada LD ( 0,429), dan rendah pada BF (0,354). Bobot badan memiliki korelasi yang relatif tinggi dengan warna Y pada daging pada LD (0,820) dan memiliki korelasi sedang pada BF (0,490). Warna B memiliki korelasi sedang dengan bobot badan pada LD (0,592) dan rendah pada BF (0,32). Susut masak daging memiliki korelasi yang sedang dengan bobot badan, yaitu 0,635 pada LD, dan menunjukkan korelasi yang rendah pada BF, yaitu 0,173. Bobot badan daging dan keempukan daging menunjukkan korelasi sedang, yaitu 0,409 pada LD dan 0,657 pada BF. Bobot badan juga memiliki korelasi sedang dengan daya ikat air, yaitu 0,596 pada LD dan 0,502 pada BF. Kata Kunci: Bobot Badan, Daging, Karakteristik Fisik, Sapi PO
PENDAHULUAN Karakteristik fisik daging menjadi berhubungan erat dengan kualitas daging. Karakteristik fisik daging ini meliputi pH,
warna, susut masak, keempukan dan daya ikat air daging sapi tersebut. Karakteristik fisik pada daging saling mempunyai keterikatan satu sama lain, misalnya perbedaan karakteristik pada daging sapi yang berwarna merah gelap
301
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
mempunyai pH daging yang tinggi dengan daya ikat air yang tinggi pula dan tekstur yang lekat. Demikian pula dengan kekompakan atau kekenyalan, daging yang lebih banyak mengandung marbling atau lemak dalam otot akan menjadi lebih kompak atau kenyal. Banyak faktor yang mempengaruhi karakteristik fisik daging, salah satu diantaranya adalah tingkatan bobot badan yang berbeda. Daging sapi yang dipotong pada tingkatan bobot badan yang berbeda akan menunjukkan kualitas dan karakteristik fisik yang berbeda pula. Hal ini sangat perlu diketahui karena merupakan salah satu parameter yang penting dalam pemilihan kualitas daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik daging sapi Peranakan Ongole (PO) pada berbagai tingkatan bobot badan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai bobot potong yang tepat pada sapi PO dengan karakteristik fisik yang diharapkan dan disukai oleh konsumen daging sapi. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor sapi PO jantan dengan bobot potong 182, 207, 210, 220,5, 238, 241, 255 dan 294 kg, dengan kisaran umur antara 6 dan 18 bulan. Pakan yang diberikan terdiri atas hay rumput Gajah dan konsentrat. Rumput Gajah dijadikan hay dengan cara digantung dan diangin-anginkan selama satu minggu. Konsentrat yang diberikan memiliki kandungan protein kasar 20,23%, terdiri atas dedak padi dan bungkil kedelai dengan perbandingan 1 : 2. Kandungan bahan pakan penelitian ditampilkan dalam Tabel 2. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode Cross Sectional Comparison, yaitu
membandingkan karakteristik fisik daging sapi PO pada 8 tingkatan bobot badan yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, sesuai dengan petunjuk MUHADJIR (1998). Penelitian ini dilaksanakan dalam 5 periode, yaitu adaptasi (2 minggu), pendahuluan (1 minggu), pemeliharaan (12 minggu), pemotongan dan analisis. Sapi diadaptasikan terhadap tempat dan pakan yang berupa hay rumput Gajah dan konsentrat supaya sapi terbiasa mengkonsumsi bahan pakan tersebut. Bersamaan dengan adaptasi pakan juga dilakukan pemberian obat cacing untuk menghilangkan pengaruh negatif akibat gangguan parasit cacing didalam tubuh ternak. Pada periode pendahuluan ternak ditimbang untuk mengetahui bobot badan, yang kemudian digunakan untuk menentukan jumlah konsentrat yang diberikan, yaitu 2,1% bobot badan. Pada periode ini juga dilakukan penempatan sapi dalam kandang. Pada tahap ini ternak dibiasakan dengan perlakuan dan lingkungan sekitar. Pada periode perlakuan dilakukan penimbangan ternak setiap satu minggu sekali pada pagi hari sebelum sapi diberi pakan, untuk mengetahui perkembangan bobot badan sapi. Konsentrat tersebut diberikan 2 kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 13.30 WIB. Pemberian rumput Gajah mulai diberikan pada 09.00 WIB dan selanjutnya tersedia sepanjang waktu. Air minum tersedia sepanjang waktu. Sisa pakan ditimbang setiap pagi, jumlah konsumsi pakan dihitung dari jumlah pemberian dikurangi sisa. Sapi-sapi yang telah dipelihara selama 12 minggu kemudian dipotong. Sebelum pemotongan, sapi dipuasakan selama 12 jam. Sesaat sebelum dipotong sapi-sapi tersebut ditimbang untuk mengetahui bobot potongnya. Pemotongan dilakukan dengan cara memutus vena jugularis, arteri carotis, oesophagus, dan
Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian Bahan pakan
Kandungan Nutrisi dalam 100% BK
BK PK
LK
SK
Abu
BETN
-------------------------------%----------------------------Hay rumput Gajah
44,16
7,76
6,96
24,73
17,00
43,55
Konsentrat
90,68
20,23
6,32
11,36
11,36
50,73
BK: bahan kering; PK: protein kasar; LK: lemak kasar; SK: serat kasar; BETN: bahan ekstrak tanpa nitrogen
302
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
trachea. Bagian karkas diperoleh setelah ternak yang dipotong dikurangi darah, kepala, kulit, viscera, kaki bagian corpus dan tarsus ke bawah serta ekor. Karkas yang telah terbentuk kemudian ditimbang dan dilayukan pada suhu 18ºC selama 8 jam. Setelah pelayuan, dilakukan pengambilan sub-sampel daging untuk diuji pH, warna, susut masak, keempukan dan daya ikat airnya. Sampel daging yang diuji adalah bisep femoris (BF) yang merupakan otot aktif, dan longissimus dorsi (LD) yang merupakan otot pasif. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot potong sapi PO dan karakteristik fisik daging sapi tersebut yang meliputi nilai pH, warna daging, susut masak, keempukan dan daya ikat air (DIA) daging. Pengukuran pH dilakukan dengan mengambil sampel pada masing-masing bagian BF dan LD sebanyak 5 gram, sampel dilumat hingga halus dan dilakukan pengenceran 10 kali yaitu dengan menambahkan 50 ml aquadest. Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengujian warna daging dilakukan dengan menggunakan alat Lavibond Tintometer model F. Sampel daging dengan ukuran 2x2x2 cm diletakkan pada tabung kaca, kemudian dimasukkan ke dalam alat uji. Sampel yang telah dimasukkan kedalam alat uji, diamati melalui teropong. Dalam teropong tersebut, akan tampak dua buah layar yang berdekatan. Pada layar disebelah kiri terdapat sampel yang akan diuji, sedangkan di sebelah kanan terdapat layar pembanding dengan warna awal putih. Notasi warna dapat ditentukan dengan cara mengatur tombol R (merah), Y (kuning), dan B (biru), sehingga warna layar yang disebelah kanan sama dengan warna layar disebelah kiri. Nilai notasi R, Y, B pada Lavibond Tintometer model F berkisar antara 0 – 70. Pengujian keempukan daging dilakukan dengan menggunakan subsampel dengan ukuran 2 x 2 x 2 cm. Pengujian keempukan dilakukan dengan alat penetrometer. Pengujian susut masak daging dilakukan dengan merebus subsampel seberat 100 gram yang dimasukkan dalam plastik tahan panas secara triplo dengan waterbath pada suhu 80ºC. Metode yang digunakan dalam pengujian susut masak ini sesuai dengan metode BOUTON et al. yang disitasi oleh SOEPARNO (1998). Nilai susut masak dihitung dengan rumus:
X-Y
Susut masak (g) =
X
× 100% ………(1)
X: bobot sampel sebelum dimasak Y: bobot sampel setelah dimasak
Pengujian DIA daging menggunakan metode Hamm sesuai dengan petunjuk SOEPARNO (1998). Sub-sampel seberat 0,3 g dan ditekan menggunakan beban 35 kg diatas dua plat kaca yang telah dilapisi dengan kertas saring “Munktell”. Sampel yang telah ditekan digambar pada kertas grafik, dari gambar tersebut diperoleh area basah setelah dikurangi area yang tertutup sampel daging dari total area. Kandungan air pada area basah dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar air daging =
X-Y
Luas kertas sampel (LKS) =
Air (mg) =
P×S 0,0948
× 100% .............(2)
X1
P×S X
…….….(3)
- 8,0 ……………..….(4)
Kadar area basah (%) = air (mg)
× 100%.......(5)
berat sampel (mg) Nilai DIA dapat dihitung dari rumus: Kadar air daging - Kadar area basah (%) …....…(6) X1 X Y P S Q
: : : : : :
bobot sampel bobot sampel + cawan sebelum dioven bobot sampel + cawan setelah dioven bobot kertas sampel luas kertas standar bobot kertas standar
Data karakteristik fisik daging sapi PO dikorelasikan dengan bobot potong (dengan regresi linier). Keeratan hubungan antara bobot potong dan karakteristik fisik daging dievaluasi dengan melihat nilai r (koefisien korelasinya) menurut petunjuk MEAD dan CURNOW (1983). HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pH daging Bobot potong memiliki korelasi yang sangat rendah dengan nilai pH daging, yaitu 0,192 pada LD dan 0,000 pada BF (Gambar 1).
303
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kisaran nilai pH yang diperoleh adalah antara 5,37 dan 5,98, dengan rata-rata nilai pH setinggi 5,58 Pada bobot rendah (182 kg) nilai pH adalah 5,76 pada bagian BF dan 5,54 pada bagian LD, sedangkan pada bobot tinggi (294 kg) nilai pH adalah 5,55 pada bagian BF dan 5,64 pada bagian LD. Nilai pH otot bagian BF dan LD juga menunjukkan angka yang hampir sama; nilai pH pada BF rata-rata adalah 5,57 dan pada LD adalah 5,59. Nilai pH daging dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal menurut SOEPARNO (1998), yaitu antara 5,4 dan 5,8. Kisaran pH yang sempit ini menunjukkan bahwa bobot badan tidak banyak berpengaruh terhadap pH daging. Hasil yang diperoleh menunjukkan pH otot BF dan LD hampir sama. Hal ini diduga karena ternak dipelihara dalam kandang secara intensif, sehingga gerakannya terbatas dan menyebabkan aktivitas otot BF dan LD tidak berbeda. Korelasi yang sangat rendah antara bobot potong dengan nilai pH daging diduga disebabkan ternak melakukan aktivitas yang sama sebelum dipotong, sehingga kadar glukosa darah ternak juga relatif sama. Tingginya rendahnya pH daging postmortem
antara lain tergantung pada jumlah ketersediaan glikogen otot saat pemotongan (LAWRIE, 1995). Aktivitas yang sama sebelum dipotong tersebut akan membentuk asam laktat yang relatif sama pula, sehingga pH yang terbentuk menunjukkan kisaran yang sama. Warna daging Warna R pada daging pada penelitian ini diketahui memiliki korelasi yang relatif rendah dengan bobot potong, yaitu 0,429 pada LD dan 0,354 pada BF (Gambar 2). Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa warna merah daging yang semakin cerah tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berarti dengan bobot badan yang semakin tinggi pada sapi PO. Warna R pada daging disebabkan oleh molekul myoglobin (KAUFFMAN dan MARSH, 1987; LAWRIE, 1995). Kandungan myoglobin dan hemoglobin bervariasi tergantung beberapa faktor, yaitu spesies, umur, pakan, jenis otot, dan aktivitas fisik ternak (Kauffman dan MARSH, 1987). Tidak adanya perbedaan warna R antar bobot badan, menunjukkan bahwa sapi percobaan dalam kisaran umur yang hampir sama..
Gambar 1. Nilai pH daging bisep femoris dan longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
304
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Gambar 2. Warna R daging bisep femoris dan longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
Warna Y pada daging cenderung memberikan kesan warna kontras, sehingga memberikan kesan bahwa daging berwarna terang. Hubungan antara warna Y dengan bobot potong ditampilkan pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot potong memiliki korelasi yang relatif tinggi dengan warna Y pada daging, yaitu 0,820 pada LD dan memiliki korelasi yang relatif rendah pada BF, yaitu 0,490. Korelasi yang lebih tinggi pada LD diduga disebabkan oleh kandungan lemak intramuskular (marbling). Semakin tinggi bobot badan, diduga semakin tinggi pula tingkatan marbling. Menurut WALTER (1974),
warna kontras daging meningkat seiring dengan tingkatan marbling otot, dan bobot potong yang meningkat berkaitan dengan tingginya tingkat marbling. Otot LD merupakan otot pasif, sehingga timbunan lemak diduga lebih banyak daripada otot BF yang merupakan otot aktif. Jumlah lemak marbling yang tinggi akan memberikan kesan bahwa daging berwarna pucat, sedangkan warna merah serabut otot cenderung memberikan warna gelap. Jika warna putih dari lemak dapat mengimbangi warna gelap serabut otot, maka warna daging akan cenderung lebih muda (ROMANS et al., 1994; WALTER, 1974).
Gambar 3. Warna Y daging Bisep femoris dan Longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
305
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Warna B yang terdapat pada daging merupakan cerminan dari pigmen metmyoglobin sebagai hasil dari oksidasi myoglobin pada urat daging. Hubungan antara warna B daging dengan bobot potong ditampilkan pada Gambar 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna B pada daging memiliki korelasi sebesar 0,592 pada LD dan dan 0,321 pada BF.
Susut masak daging Susut masak daging pada LD memiliki korelasi yang relatif tinggi dengan bobot badan, yaitu 0,635, tetapi kerelasi pada BF hanya 0,173 (Gambar 5). Semakin tinggi bobot badan, semakin tinggi pula susut masak daging LD. Kondisi ini tidak terjadi pada BF, bobot badan ternak tidak berpengaruh terhadap susut masak BF.
Gambar 4. Warna B daging bisep femoris dan longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
Gambar 5. Susut masak daging bisep femoris dan longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
306
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Korelasi yang relatif tinggi antara bobot potong dengan susut masak pada otot LD dan korelasi yang sangat rendah antara bobot potong dengan susut masak pada otot BF, diduga disebabkan oleh perbedaan deposisi lemak marbling. Menurut KEMP et al. yang disitasi oleh SOEPARNO (1998) bahwa bobot potong mempengaruhi susut masak, terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler (marbling). Susut masak yang tinggi mengakibatkan juiceness pada daging turun. Semakin tinggi bobot badan, diduga semakin tinggi pula tingkat marbling. Posisi LD sebagai otot pasif memiliki kandungan marbling lebih tinggi daripada bagian BF sehingga pada saat pemasakan, Otot LD lebih banyak mengeluarkan cairan daging daripada BF.
aktivitas gerak terhadap keempukan daging berhubungan dengan jumlah jaringan ikat daging; otot yang sering digunakan untuk bergerak ukuran diameter jaringan ikatnya jauh lebih besar daripada otot pasif (FORREST et al., 1975). Selain perbedaan lokasi otot dan aktivitasnya, beberapa faktor lain seperti daya ikat air juga mempengaruhi keempukan, beberapa sifat fisik pada daging termasuk warna, tekstur, juiceness dan keempukan dari pemasakan daging sebagian tergantung pada daya ikat air (FORREST et al., 1975). Peningkatan keempukan merupakan refleksi dari kadar air yang lebih tinggi dan kapasitas memegang air dari protein urat daging yang lebih besar pula (LAWRIE, 1995). Daya ikat air
Keempukan daging Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot potong memiliki korelasi yang relatif rendah dengan keempukan daging, yaitu 0,409 pada LD dan memiliki korelasi yang relatif tinggi pada BF, yaitu 0,657 (Gambar 6). Korelasi antara bobot potong dengan keempukan daging yang relatif rendah pada LD, dan korelasi yang relatif tinggi pada BF diduga disebabkan oleh perbedaan macam otot. Otot LD merupakan otot pasif (termasuk kategori empuk), sedangkan BF merupakan otot aktif (termasuk kategori liat). Pengaruh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan memiliki korelasi yang rendah dengan daya ikat air, yaitu 0,596 pada LD dan 0,502 pada BF (Gambar 7). Hal ini tidak sesuai dengan pendapat LAWRIE (1995) bahwa umur mempengaruhi daya ikat air. Pada penelitian ini bobot badan berkaitan dengan umur ternak, semakin tinggi bobot badan menunjukkan umur yang semakin tinggi pula. Otot BF lebih banyak digunakan untuk melakukan gerakan, hal ini diduga terkait dengan tingginya nilai pH, dimana pada otot yang lebih banyak
Gambar 6. Keempukan daging Bisep femoris dan Longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
307
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Gambar 7. Daya ikat air daging Bisep femoris dan Longissimus dorsi sapi Peranakan Ongole pada berbagai tingkatan bobot potong
beraktivitas, memiliki timbunan glikogen yang lebih besar, sehingga memiliki nilai pH yang lebih rendah. Menurut SOEPARNO (1998) apabila pH lebih tinggi (antara 7 – 10) dari pH isoelectric protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari myofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air, sehingga daya ikat air menurun. Titik pH isoelectric protein-protein daging adalah antara 5,0 dan 5,1. Pada penelitian ini, rata-rata pH adalah 5,57 pada BF dan 5,59 pada LD. Nilai pH pada otot bagian BF lebih rendah daripada LD, hal ini dikarenakan otot BF merupakan otot aktif. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai pH daging tidak terpengaruh oleh bobot badan sapi. Semakin tinggi bobot badan sapi, warna Y (kuning) pada otot LD daging semakin meningkat, susut masak semakin meningkat pada LD, keempukan semakin meningkat pada BF dan daya ikat air daging semakin meningkat pada BF.
308
DAFTAR PUSTAKA FORREST, J. C., E. B. ABERLE., H. B. HENDRICK., M. D. JUDGE and R. A. MERKEL. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Francisco. KAUFFMAN, R.G. and B.B. MARSH. 1987. Quality characteristics of muscle as food. In: The Science of Meat and Meat Products, Third Edition. PRICE, J.F. and B.S. SCHWEIGERT (Ed.). Food & Nutrition Press, Inc., Westport. LAWRIE, R.A. 1995. Ilmu Daging. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Diterjemahkan oleh: PARAKKASI, A. MEAD, R. and R.N. CURNOW. 1983. Statistical Methods in Agriculture and Experimental Biology. Chapman and Hall. New York. ROMANS, J.R., W.J. COSTELLO, C.W. CARLSON, M.L. GREASER and K.W. JONES. 1994. The Meat We Eat. Interstate Publisher, Inc. Danville. SOEPARNO. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WALTER, C.L. 1974. Meat Colour. The importance of haemology chemistry. In: COLE, D.J.A. and R.A. LAWRIE (Eds.). Meat. Butterworths, London.