TINJAUAN PUSTAKA Ternak Sapi Peranakan Ongole Bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Pylum: Chordata; Subphylum : Vertebrata; Class: Mamalia; Sub Class : Theria; Infra class: Eutheria; Ordo: Artiodactyla; Sub ordo : Ruminantia; Infra ordo: Pecora; Famili: Bovidae; Genus: Bos (cattle); Group : Taurinae; Spesies: Bos Taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india/ sapi ongole), Bos sondaicus (banteng) (Williamson dan Payne, 1993). Ciri-ciri sapi Peranakan Ongole adalah sebagai berikut: warna putih; pada bagian kepala dan gumba sapi jantan berwarna keabu-abuan; mempunyai gelambir dari rahang hingga bagian ujung tulang dada; persentase karkas 44%; tinggi sapi jantan maupun betina mencapai + 135 – 150 cm; termasuk tipe sapi potong dan pekerja; terdapat lipatan kulit dibawah leher dan perut; telingga panjang menggantung; berat badan mendekati sapi Ongole (sapi jantan 615 kg, betina 425 kg). Sapi peranakan Ongole hasil persilangan dari sapi Ongole Sumba dengan sapi Brahman diperoleh sifat ekonomisnya sebagai berikut: berat lahir 24 kg; berat sapih (umur 6 – 7 bulan) rata-rata 143 kg; berat pada umur 18 – 24 bulan rata-rata 260 kg; pertambahan bobot badan mencapai 0,8 kg/ekor/hari (Santoso, 2008). Disamping itu juga sapi peranakan Ongole memiliki sifat-sifat khas seperti sapi Brahman, yaitu tahan gigitan serangga dan dapat hidup pada padang penggembalaan yang jelek sekalipun. Adapun pertambahan berat badan sapi Peranakan Ongole adalah 0,204 kg/ekor/ hari; 0,302 kg/ekor/ hari; 0,450 kg/ekor/ hari pada masing-masing umur 6 – 9 bulan, 10 – 13 bulan, 14 – 17 bulan (Sijabat, 1979). Pertumbuhan Ternak Sapi Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangunan seperti urat daging, tulang, otak, jantung, dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak), serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut
Universitas Sumatera Utara
dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein dan zatzat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak dan penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni. Dalam pertumbuhan seekor hewan, ada dua hal yang terjadi: bobot badan meningkat sampai mencapai bobot badan dewasa yang disebut pertumbuhan dan terjadinya perubahan konfirmasi dan bentuk tubuh serta terjadinya berbagai fungsi dan kesanggupannya untuk melalukan sesuatu menjadi wujud penuh yang disebut perkembangan (Anggrodi, 1984). Penggemukan bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas dengan jalan mendeposit lemak seperlunya. Bila hewan belum dewasa yang digunakan untuk penggemukan ini sifatnya membesarkan sambil memperbaiki kualitas karkas. Ternak yang mempunyai potensi genetik yang tinggi akan memiliki respon yang baik terhadap pakan yang diberikan dan memiliki efisiensi pakan yang tinggi dan adanya keragaman yang besar dalam konsumsi bahan kering rumput yang disebabkan oleh beda kualitas, daya cerna dan spesies tanaman (Parakkasi, 1995). Hidanah (2007), mengatakan pemanfaatan jerami padi tanpa difermentasi sebagai pakan ternak berkisar antara 31-39%, Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat kasar dan selain itu kadar proteinnya rendah, sehingga sulit diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak ruminansia sehingga tujuan penggemukan ternak tidak akan tercapai. Oleh sebab itu diperlukan teknologi dalam pengolahannya.
Pertambahan Bobot Badan Tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi dapat dicapai jika ternak tersebut memiliki potensi genetik yang baik dan ditunjang oleh kondisi lingkungan dan pakan yang menunjang munculnya potensi genetik tersebut. Perbedaan spesies akan mempengaruhi strategi pemanfaatan hijauan terutama ketika ketersediaan dan sebaran sumberdaya pakan yang melimpah. Sebagai contoh pada kambing dan camelids akan mempertahankan kecernaan pakan dengan mengorbankan asupan pakan, sedangkan pada rusa merah akan mempertahankan asupan pakan. Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan konsumsi pakan, makin tinggi bobot tubuhnya, makin tinggi pula tingkat konsumsinya terhadap
Universitas Sumatera Utara
pakan.
Bobot
tubuh
ternak
dapat
diketahui
dengan
penimbangan
(Kartadisastra, 1997). Laju pertumbuhan seekor ternak dikendalikan oleh banyaknya konsumsi pakan dan terutama energi yang diperoleh. Energi merupakan perintis pada produksi ternak dan hal tersebut terjadi secara alami. Variasi energi yang disuplai pada ternak akan digambarkan pada laju pertumbuhan (McDonald et al., 1995). Untuk mendapatkan pertambahan bobot badan maksimal maka sangat perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas pakan. Pakan tersebut harus mengandung zat makanan dalam keadaan cukup dan seimbang sehingga dapat menunjang pertumbuhan maksimal (Yamin, 2002). Kurva hubungan antara bobot badan dengan umur adalah seperti bentuk S (sigmoid). Ada dua fase awal yang pendek dimana bobot badan sedikit meningkat dengan meningkatnya umur, hal ini diikuti oleh pertumbuhan eksplosif, kemudian akhirnya ada satu fase dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah (Lawrie, 1995). Bobot badan (kg) 40 30 20 10
10
20
30
40
Umur (minggu)
Gambar 1. Kurva sigmoid pertumbuhan pada ruminansia Laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan dan genetik dimana berat tubuh awal fase penggemukan berhubungan dengan berat dewasa. Pengurangan pakan akan memperlambat kecepatan pertumbuhan dan bila pengurangan pakan yang signifikan akan menyebabkan ternak kehilangan berat badannya (Tillman et al, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Hasil Penelitian Soepranianondo et al (2007) menyebutkan pertambahan berat badan, disebabkan karena kebutuhan bahan kering dalam pakan sudah terpenuhi, dan juga disebabkan hasil produk fermentasi protein dan karbohidrat yang lebih tinggi disbanding kelompok kontrol tanpa fermentasi sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga lebih baik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Soepranianondo (2005), bahwa kalau proses metabolisme pada ternak ruminansia baik, maka produk fermentasi yang berupa asam amino, ammonia-N maupun asam lemak volatil didalam rumen akan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa untuk pertumbuhan ternak dibutuhkan asam amino untuk pembentukan protein jaringan sedangkan asam lemak volatile digunakan sebagai sumber energi yang sisanya akan dimanfaatkan sebagai timbunan lemak atau cadangan energi. Budiono (1997) mengatakan peningkatan laju pertumbuhan berat badan dapat diperoleh dengan meningkatnya jumlah komposisi pakan, seperti diketahui bahwa pakan yang mengandung zat pakan dalam jumlah cukup memungkinkan ternak untuk tumbuh . Hasil penelitian Dradjat et al (2013) mengenai pertambahan berat badaan pada ternak yaitu pada ternak sapi bali betina menunjukkan pertambahan bobot badan yang signifikan dengan menggunakan pakan jerami fermentasi dimana PBB nya sebesar 4,17 kg/minggu atau 0,59 kg/ hari.
Konsumsi Pakan dan Konversi Pakan Tingkat konsumsi (Voluntary feed Intake) adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Dalam mengkonsumsi pakan ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu tingkat energi, keseimbangan asam amino, tingkat kehalusan pakan, aktivitas ternak, bobot badan, kecepatan pertumbuhan dan suhu lingkungan. Tingkat perbedaan konsumsi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas). Makanan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan makanan yang berkualitas rendah sehingga bila kualitas pakan maka
tingkat
konsumsinya
juga
tidak
berbeda
relatif
sama
(Parakkasi, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, Tomazweska et al. (1993) menyatakan bahwa kualitas pakan berpengaruh terhadap konsumsi akhirnya bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan. Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah inidikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan. Semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin baik (Anggorodi,1979). Konversi pakan khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, besarnya pertambahan bobot badan dan nilai kecernaan. Dengan memberikan kualitas pakan yang baik, ternak akan tumbuh lebih cepat dan lebih baik konversi pakannya (Martawidjaja et al., 1999). Faktor yang mempengaruhi konversi pakan yaitu lingkungan (suhu, penyakit, pakan dan minuman), kemampuan genetik, nilai gizi dan tingkat energi pakan. Konversi pakan diukur dari jumlah bahan kering yang dikonsumsi dibagi dengan unit pertambahan bobot badan persatuan waktu. Konversi pakan khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan dan nilai kecernaan (Martawidjaya et al., 1999). Hasil penelitian Kostaman et al (1999) menunjukkan performans ternak sapi yang menggunakan pakan jerami fermentasi dan non fermentasi pada ternak sapi Ongole dimana PBBH sebesar 0.75 kg/ekor dengan total konsumsi pakan 13 kg/hari. Penelitian Mahendri et al (2006) menyebutkan bahwa konversi pakan dengan menggunakan jerami padi fermentasi sebesar 12,12.
Pakan Sapi Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi, yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral (Parakkasi, 1995). Pakan yang diberikan jangan sekedar dimaksudkan untuk mengatasi lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermanfaat untuk
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, menggantikan sel yang rusak dan untuk berproduksi. Kebutuhan ternak ruminansia dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Kebutuhan pakan (dalam berat kering) setiap ekornya adalah 2,5% dari bobot badannya (Anggrodi, 1984). Jumlah nturisi setiap harinya sangat tergantung kepada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya serta berat badannya. Jadi untuk setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya pakan yang berbeda (Anggrodi, 1990).
Jerami Padi Jerami merupakan bagian dari batang tumbuhan tanpa akar yang tertinggal setelah dipanen butir buahnya. Jika jerami padi lansung diberikan kepada ternak tanpa melalui proses pengolahan, maka jerami padi ini akan tergolong sebagai makanan ternak yang berkualitas rendah. Jerami padi memiliki kandungan gizi yang minim, kandungan protein yang sedikit dan daya cerna yang rendah. Meskipun demikian teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi pakan ternak yang potensial dan berkualitas karena dapat meningkatkan daya cerna dan kandungan proteinnya (Sulistyono, 1976). Menurut Sutardi (1980), jerami padi sebagai makanan ternak masih terbatas pemanfaatannya karena hanya berperan sebagai bulk serta menggantikan tidak lebih dari 25% kebutuhan ternak akan rumput, selain itu jerami padi mempunyai nilai nutrisi yang rendah karena kecernaannya hanya sekitar 35-40% dengan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) 20.97% dan kecernaan bahan organik (KCBO) 20,10% (Selly, 1994). Sutardi (1980) menyatakan rendahnya kecernaan jerami padi disebabkan oleh tanaman padi yang dipanen pada umur tua mempunyai kandungan lignin yang tinggi sehinggga sulit dirombak oleh mikroba rumen. Kandungan serat kasar yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam saluran pencernaan (Winugroho et al., 1983). Menurut Doyle et al (1986), jerami padi mengandung silika yang terikat ke dalam gugus organk. Bersamasama dengan mineral lain, silikat membentuk suatu lapisan tipis yang menyelimuti bagian luar dinding sel sehingga dapat menghalangi kerja enzim pencernaan bahan organik. Adanya faktor pembatas tersebut menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak perlu dilengkapi dengan pemberian pakan penguat (Sofyan dan Sriharini, 1986). Teknologi saat ini limbah jerami padi bila diolah sebagai pakan ternak akan meningkatkan nilai ekonomi dan ramah lingkungan walaupun limbah jerami padi memiliki kandungan serat kasar (crudefiber) yang tinggi seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa, serat-serat ini merupakan senyawa yang sulit dicerna. Tingginya kandungan serat kasar menunjukan mutu pakan tersebut rendah. Hasil proximate analysis ada perubahan nilai kadar nutirisi yang nyata dalam bahan yang telah difermentasi, perubahan kadar nutrisi tersebut ditandai dengan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan serat kasar. Limbah jerami padi yang telah difermentasi mudah dicerna daripada limbah jerami mentah, dibawah ini dapat dilihat kandungan gizi jerami padi segar dan jerami fermentasi (Arifin, 2003). Tabel 1. Kandungan gizi jerami padi segar dan jerami fermentasi No 1 2 3 4 5
Zat makanan Kadar air Abu Serat Kasar Lemak BETN
Jerami Segar (%) 6,750 19,758 27,300 1,120 40,190
Jerami Fermentasi (%) 9,975 1,950 9,700 2,480 66,652
Sumber: BPTP Jawa Barat (2008)
Jerami padi sebagai pakan ternak tergolong hijauan bermutu rendah. Mutu rendah jerami padi bila dibandingkan dengan hijauan, disebabkan antara lain: 1. Mempunyai kadar silika yang tinggi 2. Jerami padi limbah tanaman tua, sehingga sudah mengalami lignifikasi tingkat lanjut, maka sebagian besar karbohidratnya telah membentuk ikatan lignin dalam bentuk lignosesulosa dan lignohemisesulosa yang sukar dicerna, 3. Kandungan protein kasar rendah. Nilai manfaat jerami padi sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan dengan dua cara yaitu dengan dengan mengoptimumkan lingkungan saluran pencernaan atau dengan meningkatkan nilai nutrisi jerami. Optimasi lingkungan saluran pencernaan terutama rumen, dapat dilakukan dengan pemberian bahan pakan suplemen yang mampu memicu pertumbuhan mikroba rumen pencerna serat seperti bahan pakan sumber protein. Sementara nilai nutrisi dan tingkat
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan dapat diperbaiki dengan memberikan perlakuan yang dapat meningkatkan kandungan protein dan perenggangan ikatan lignoselulosa (Sutrisno, 1988). Salah satu teknologi untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi dengan cara: amoniasi. Jerami padi kurang bermanfaat dibandingkan dengan hijauan berkualitas rendah lainnya karena kurang palatabel dan daya cernanya rendah. Palalatabilitas jerami padi rendah karena kandungan proteinnya jauh dibawah standar. Kecernaan jerami padi hanya mencapai 35 – 37%, dan kandungan protein 3,5 – 4,5%, Lemak 1,4 – 1,7 %, Serat Kasar 31,5 – 46,5%, Abu 19,9 – 22,9%, Kalsium 0,19%, Fosfor 0,1% dan BETN 27,8 – 39,9% (Widayati et al., 1996).
Teknologi Pengolahan Limbah Jerami Padi Secara umum teknologi pengolahan limbah jerami dilakukan dengan tujuan untuk: 1. memperbaiki nilai nutrisi dan kecernaan, serta meningkatkan fermentasi ruminal dengan menambahkan elemen yang kurang, 2. mengoreksi defisiensi jerami dengan menambahkan nitrogen atau mineral, 3. meningkatkan konsumsi dengan cara memperbaiki palatabilitas, 3. meningkatkan ketersediaan energi dan mengurangi sifat amba dari jerami padi (Sutrisno, 1988).. Teknik – teknik pengolahan limbah jerami padi yakni sebagai berikut: 1. Pengolahan jerami secara fisik seperti dipotong-potong, digiling, direndam, direbus, dibuat pelet , perlakuan ini akan memecahkan lapisan kulit seperti lignin dan memperluas permukaan partikel makanan sehingga mikroorganisme rumen dapat langsung memecah selulosa .
Dengan demikian kecepatan
fermentasi akan meningkat, waktu retensi makanan akan menurun dan konsumsi pakan meningkat. 2. Pengolahan jerami secara kimia menggunakan bahan kimia antara lain NaOH, Ca(OH)2, Amonium Hidroksida, Urea Amonia, Sodium Klorida, Sulfur Dioksida. Larutan basa dapat mengurangi ikatan hidrogen antar molekul selulosa dalam serat jerami padi. 3. Pengolahan jerani secara fisik – kimia; melakukan gabungan kedua cara diatas seperti pemotongan dengan NaOH, dibuat pelet dan NaOH.
Universitas Sumatera Utara
4. pengolahan jerami secara biologi: dilakukan dengan penambahan enzim, menumbuhkan jamur dan bakteri, fermentasi anaerob (Widayati, et al., 1996).
Fermentasi Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dimana enzim dari mikroorganisme (jasad renik) melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1974). Proses fermentasi bahan pangan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu bahan pangan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan aslinya, hal ini tidak hanya disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna tetapi jangan karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba itu sendiri (Winarno dan Fardias, 1980). Penambahan bahan-bahan nutrien kedalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada proses fermentasi adalah urea, urea yang ditambahkan kedalam medium fermentasi akan diuraikan untuk enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida selanjutnya aman digunakan untuk pembentukan asam amino (Mc. Donald, 1995). Aspergillus niger Menurut (Hardjo et al, 1989) klasifikasi Aspergillus niger adalah sebagai berikut: genus: Aspergillus; family: Euratiaceae; ordo: Eutiales; kelas: Asomycotina; divisio: Asmatgmycota; spesies: Aspergillus niger. Aspergillus niger bersifat aerob, sehingga membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Temperatur optimum bagi pertumbuhannya antara 350 C sampai 370 C. Kisaran pH antara 2,0 – 8,5 dengan pH optimum antara 5,0 – 7,0 dan membutuhkan kadar air media antara 65% - 70%. Aspergillus niger mempunyai
Universitas Sumatera Utara
ciri yaitu benang-benang tunggal yang disebut hifa berupa kumpulan benangbenang padat yang menjadi suatu bahan yang disebut miselium, tidak mempunyai klorofil dan hidupnya heterotrof serta berkembangbiak secara vegetatif dan generatif (Fardiaz, 1989). Aspergillus niger menghasilkan enzim urease yang memecahkan urea asam amino dan CO2 yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino (Lenhininger, 1991) Aspergillus niger didalam pertumbuhannya berhubungan lansung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler seperti amylase, aminoglukosidase, pepktinase, selulase, katalase dan glukosidae (Hardjo et al., 1989).
Amoniasi Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah perkebunan dengan menambahkan bahan kimia berupa kaustik soda, sodium hidroksi atau urea. Umumnya masyarakat lebih banyak menggunakan urea ini sebagai bahan kimia yang digunakan karena lebih mudah untuk memperolehnya. Dibanding
cara pengolahan kimia yang lain (NaOH), amoniasi
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1). Sederhana cara pengerjaannya dan tidak berbahaya; 2). Lebih murah dan mudah dikerjakan dibanding dengan NaOH; 3). Cukup efektif untuk menghilangkan aflaktosin khususnya pada jerami; 4). Meningkatkan kandungan protein kasar; 5). Tidak menimbulkan polusi dalam tanah. (Sugeng, 1995). Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah di peroleh, harganya murah dan sedikit resiko keracunan yang diakibatkan dibanding biuret
(Ernawati, 1995).
Urea yang ditambahkan dalam ransum ruminansia dengan kadar yang berbeda-beda ternyata dirombak menjadi protein oleh mikroorganisme rumen. Sejumlah protein dan urea dalam ransum nampaknya mempertinggi daya cerna sellulosa dalam hijauan (Anggorodi, 1979).
Universitas Sumatera Utara
Bungkil Inti Sawit Menurut Devendra (1997) protein bungkil inti sawit lebih rendah dari pada bungkil yang lain. Namun demikian masih dapat dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap, imbangan kalsium fosfor cukup lengkap. Tabel 2. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN
Kandungan (%) 92.60 15.40 2.40 16.90 72.00
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005) b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB Bogor (2008)
Semakin tinggi persentase bungkil inti sawit dalam pakan, maka kenaikan bobot badan perhari semakin besar, namun demikian pemberian optimal dari bungkil inti sawit ialah 1,5 % dari bobot badan untuk mempengaruhi pertumbuhan ternak. Dedak Padi Dedak padi merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tebal, tetapi bercampur dengan bagian penutup beras. Hal ini yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya serat kasar dedak. Bila dilihat dari pengolahan gabah menjadi beras dapat digantikan serat kasarnya tinggi (Rasyaf, 1992) Tabel 3. Kandungan nilai gizi dedak padi Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar
Kandungan (%) 91.86 10.54 12.44 14.97
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005)
Dedak mempunyai harga yang absolut yang relatif rendah tetapi kandungan gizinya tidak mengecewakan. Dedak cukup mengandung energi dan protein, juga kaya akan vitamin. Hal tersebutlah yang menyebabkan dedak dapat diggunakan sebagai campuran formula ransum atau sebagai makanan tambahan (Rasyaf, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Onggok Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah yang disebut onggok. Onggok sebebagai hasil samping peternakan dapat dimanfaat sebagai bahan pakan ternak sebagai sumber karbohidrat. Nilai kandungan gizi onggok dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan nilai gizi onggok Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN
Kandungan (%) 81.70 0.60 0.40 12.00 76.00
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000)
Ketersediaan onggok sangat bergantung pada jumlah varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, ekstraksi pati tapioka Moertinah (1984) melaporkan bahwa dalam pengolahan ubi kayu menghasilkan 15-20 % dan 5-20 % onggok kering, sedangkan onggok basah dihasilkan 70-79 %.
Molases Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat, protein dan mineral yang cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molasses terletak pada aroma dan rasanya, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa memperbaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996). Tabel 5. Kandungan nilai gizi molases Uraian Berat Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar TDN
Kandungan (%) 67.50 3-4 0.08 0.38 81.00
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000)
Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (46-60% sebagai gula), kadar mineral cukup disukai ternak.
Universitas Sumatera Utara
Molases atau tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, mangan dan seng. Sedangkan kelemahannya adalah kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare bila dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985).
Urea Murtidjo (1990) menyatakan bahwa pemberian Nitrogen Non Protein (NPN) pada makanan domba dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea cukup membantu ternak untuk mudah mnegadakan pembentukan asam amino esensial. Urea CO(NH2)2 bila diberikan kepada ruminansia melengkapi sebagian dari protein oleh mikroorganisme dalam rumen. Untuk itu diperlukan sumber energi seperti jagung dan molasses (Anggorodi, 1990). Basri (1990) menyatakan bahwa selain meningkatkan kualitas hijauan, urea juga dapat sebagai pengganti protein butir-butiran. Urea dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein dan pertumbuhan produksi ternak ruminansia.
Ultra Mineral Mineral adalah zat organik, yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil, namun berperan penting agar proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik. Mineral digunakan sebagai kerangka pembentukan tulang, gigi, pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme didalam sel. Penambahan mineral dalam pakan ternak dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inouno, 1991). Parakkasi (1995) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan mineral, mungkin dapat diusahakan bila ruminan bersangkutan dapat mengkonsumsi hijauan yang cukup. Hijauan tropis umumnya mengandung (relatif) kurang mineral (terutama di musim kemarau) maka umumnya ruminan di daerah tropis cenderung defisiensi mineral.
Universitas Sumatera Utara
Garam Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan udema. Defisiensi garam lebih sering terdapat pada hewan herbivora dari pada hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi mundur sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990). Semua herbivora akan suka memakan garam apabila disediakan dalam bentuk jilatan (lick) atau dalam bentuk halus dalam tempet mineral. Oleh karena itu biasanya garam digunakan sebagai campuran fosfor atau mineral mikro dan senyawa lainnya seperti obat parasit (Tillman et al.,1981).
Kecernaan Daya cerna (digestibility) adalah bagian zat makanan dari makanan yang tidak dieksresikan dalam feses, biasanya dinyatakan dalam bentuk bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut “koefisien cerna”. Daya cerna tidak hanya dipengaruhi oleh komposisi suatu pakan tetapi juga dipengaruhi komposisi suatu makanan lain yang ikut dikonsumsi bersama pakan tersebut. Hal ini disebut “efek asosiasi”. Cara yang lebih baik adalah dengan penambahan secara bertingkat dari bahan makanan yang diteliti untuk menentukan pengaruh pakan basal terhadap daya cerna bahan yang sedang diteliti. Serat kasar mempunyai pengaruh terbesar terhadap daya cerna. Selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama bila mengandung lignin (Tillman, et al., 1981). Menurut Tillman et al (1981), nilai koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Komposisi Kimiawi. Daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya. Serat kasar berisi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh ternak ruminansia secara enzimatik.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengolahan makanan. Beberapa perlakuan terhadap bahan makanan seperti pemotongan, penggilingan
dan pelayuan mempengaruhi daya cerna.
Penggilingan yang halus dari hijauan menambah kecepatan jalannya bahan makanan melalui usus sehingga menyebabkan pengurangan daya cerna 5-15%. 3. Jumlah makanan yang diberikan. Penambahan jumlah makanan yang dimakan mempercepat arus makanan ke dalam usus, sehingga mengurangi daya cerna. Penambahan jumlah makanan sampai dua kali lipat dari jumlah kebutuhan hidup pokok mengurangi daya cerna 1-2%. Penambahan yang lebih besar akan menyebabkan daya cerna akan menjadi turun. 4. Jenis Ternak. Ternak ruminansia dapat mencerna serat kasar yang tinggi karena N Metaboliknya lebih tinggi sehingga daya cerna protein ruminansia lebih rendah dibanding non ruminansia, disamping adanya peran mikroorganisme yang terdapat pada rumen. Salah satu faktor yang harus dipenuhi dalam bahan pakan adalah tingginya daya cerna bahan pakan tersebut, dalam arti bahwa pakan itu harus mengandung zat pakan yang dapat diserap dalam saluran pencernaan dan zat pakan yang terkandung tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian besar dikeluarkan
lagi
melalui
feses
karena
tidak
tercerna
(Ranjhan dan Pathak, 1979). Kecernaan pakan didefenisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak, biasanya dinyatakan berdasarkan bahan kering dan sebagai suatu koefisien atau persentase. Selisih antara nutrient yang dikandung dalam bahan pakan dengan nutiren yang ada dalam feses merupakan bagian nutrient yang dicerna (Mcdonald et al., 1995). Kecernaan In vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrisi menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses (Tillman et al., 2001). Anggorodi (2004) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrient dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentse nutrient yang diserap dalam saluran pencernaan yang
Universitas Sumatera Utara
hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrient yang dikonsumsi dengan jumlah nutrient yang dikeluarkan dalam feses. Jerami padi tanpa fermentasi mengandung protein sebesar 3-5% (Sutardi et al., 1982). Kandungan phospor dan kalsium yang tersedia dari jerami padi juga rendah. nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik yang rendah, yakni antara 34–52% dan 42–59% (Winugroho et al., 1983). Rendahnya kecernaan ini menyebabkan rendahnya kemampuan konsumsi bahan kering, yaitu hanya 2% dari bobot badan (Jackson, 1977; Utomo et al., 1998). Sebagai akibatnya, konsumsi energi juga rendah. Dibanding dengan jerami lain (misal jerami gandum), jerami padi mempunyai kandungan lignin yang rendah yaitu 6–7% sedangkan jerami barley dan oat antara 8–12% (Mcdonald et al., 1988). Namun dilain pihak, jerami padi mempunyai kandungan silica (13.3%) yang lebih tinggi (Doyle et al., 1986). Kandungan silika ini menjadi faktor pembatas dari pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ruminansia. Sedangkan menurut Sutardi (1980) menyatakan bahwa jerami padi sebagai makanan ternak masih terbatas pemanfaatannya karena hanya berperan sebagai bulk serta menggantikan tidak lebih dari 25% kebutuhan ternak akan rumput, selain itu jerami padi mempunyai nilai nutrisi yang rendah karena kecernaannya hanya sekitar 35-40% dengan nilai kecernaan bahan kering (KCBK) 20,9% dan kecernaan bahan organik (KCBO) 20,1% (Selly, 1994).
Universitas Sumatera Utara