7
TINJAUAN PUSTAKA Plasma Nutfah Ternak Sapi Indonesia dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah menciptakan
keanekaragaman
hayati
yang
sangat
tinggi.
Di
dalam
keanekaragaman hayati, terdapat keragaman di dalam jenis yang disebut plasma nutfah. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis (Sumarno 2002). Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal (Kurniawan et al. 2004). Plasma nutfah yang ada harus dipertahankan eksistensinya atau keberadaannya, karena plasma nutfah merupakan aset negara yang tak ternilai. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Upaya mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, maka perlu perhatian dalam bentuk kegiatan inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi) (Azmi et al. 2006). Keanekaragaman bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik ternak asli dan impor. Keanekaragaman ternak menurut Subandriyo dan Setiadi (2003) penting dalam rangka pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Punahnya keanekaragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak hingga saat ini. Proses perkembangan sapi di Indonesia telah menghasilkan plasma nutfah ternak yang lebih beragam. Sarbaini (2004) mengelompokkan ternak sapi Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi, dan (3) ternak impor. Beberapa diantara sumberdaya ternak sapi tersebut menurut
Utoyo (2002) dan Martojo (2003)
adalah Sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti Sapi Pesisir, Sapi Aceh, Sapi Madura, Sapi Sumba Ongole (SO) dan Sapi Peranakan Ongole (PO). Diperlukan upaya untuk mempertahankan ternak-ternak lokal di suatu daerah atau negara karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan
8
keadaan lingkungan baik terhadap makanan yang bernilai gizi rendah maupun penyakit terutama di daerah tropis. Dalam mempertahankan sumber daya genetik atau plasma nutfah ternak diperlukan langkah-langkah yang sistematis. Tahapan pengelolaan sumber daya genetik ternak menurut Turner (1981) adalah melakukan
dokumentasi,
evaluasi,
pengembangan
rencana
pemuliaan
(development of breeding plans) dan konservasi. Mengacu kepada UU No. 18 tahun 2009, upaya pelestarian ternak asli Indonesia diarahkan dalam kerangka pengembangan ternak bibit unggul nasional sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah berwawasan kedepan yaitu melestarikan potensi genetik ternak dalam rangka biodiversity untuk tujuan perekayasaan bibit unggul nasional. Hal ini masih mendapatkan hambatan karena inventarisasi terhadap potensi berbagai sumberdaya genetik ternak, distribusi, performans dan perkembangan masih belum lengkap sehingga sangat sulit dilakukan kebijakan-kebijakan yang strategis khususnya arah dan program kerja manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya genetik ternak baik secara morfologis maupun genetik (Azmi et al. 2006). Keberadaan plasma nutfah tidak mempunyai arti tanpa pemberdayaan melalui karakterisasi dan evaluasi serta pemanfaatan untuk kesejahteraan. Menurut KNPN (2002), pemanfaatan plasma nutfah ternak secara umum ada tiga macam, yaitu : 1. Penggunaan rumpun ternak asli (lokal) sebagai rumpun murni secara terus menerus. Hal ini diterapkan apabila rumpun ternak impor tidak akan lebih baik hasilnya dibandingkan dengan ternak asli (lokal), bahkan ternak asli (lokal) lebih baik mutunya dibandingkan dengan rumpun impor pada kondisi lingkungan tertentu. Keadaan ini dapat terjadi apabila kondisi produksi dan pasar statis. 2. Membentuk rumpun baru melalui persilangan. Apabila kondisi produksi atau pasar berubah secara cepat, maka pembentukan rumpun yang sesuai dengan persilangan dapat dicapai dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dengan menggabungkan rumpun-rumpun yang tersedia. Rumpun baru ini dikenal sebagai rumpun komposit atau sintetis.
9
3. Penggantian rumpun. Perubahan pasar dan kondisi produksi dapat mengakibatkan banyak rumpun yang tidak sesuai untuk digunakan lagi. Pada masa lampau penggantian rumpun dilakukan secara bertahap melalui metode silang balik berulang (repeated back cross atau grading up) terhadap suatu rumpun.
Keragaman Produksi ternak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam faktor lingkungan dan faktor genetis. Salah satu faktor lingkungan utama yang mempengaruhi produktivitas ternak adalah berupa pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas pakan akan mempengaruhi sistem pencernaan dan metabolisme. Disamping itu, masing-masing individu ternak memiliki sistem pencernaan dan sistem metabolisme yang diatur secara genetis, yang antara individu satu dengan individu lain dalam populasi terdapat variasi. Variasi genetis inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam pemuliaan (Sutarno 2009). Keragaman individu (terutama variasi genotip) memegang peranan penting dalam pemuliabiakan ternak. Jika dalam suatu populasi ternak tidak ada variasi genotip, maka tidak ada gunanya menyeleksi ternak bibit. Semakin tinggi variasi genotip didalam populasi, semakin besar perbaikan mutu bibit yang diharapkan. Populasi ternak yang memiliki keragaman genetik rendah crossbreeding ataupun outcrossing akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Sebaliknya, apabila keragaman genetik suatu populasi sangat tinggi maka upaya peningkatan mutu genetik ternak sebaiknya dilakukan melalui program seleksi yang ketat sehingga kemajuan genetik yang diperoleh akan lebih besar (Soeroso 2004). Di Indonesia usaha untuk menyeleksi dan menyingkirkan sapi-sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara hampir tidak pernah dilakukan. Hal semacam ini disamping kurang menguntungkan dari segi ekonomi, juga dapat memperburuk keturunan-keturunan berikutnya (Sutarno 2009). Keragaman
dalam
populasi
dibedakan
keragaman
fenotipik
dan
keragaman genetik (Noor 2008). Keragaman fenotipik lebih banyak digunakan pada kegiatan pemuliaan praktis. Dewasa ini keragaman genetik melalui teknologi
10
molekuler telah berkembang dengan pesat sejak ditemukannya PCR, marker dan teknologi sekuensing (Hanotte & Jianlin 2005).
Keragaman Fenotipik Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi. Keragaman pada sapi dapat dilihat dari ciri-ciri (karakteristik) yang dapat diamati atau terlihat secara langsung. Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994; Noor 2008). Potensi biologik seekor ternak diukur berdasar kemampuan produksi dan reproduksinya dalam lingkungan pemeliharaan yang tersedia, karena data kuantitatif potensi biologik yang berupa fenotipe produksi dan reproduksi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tempat ternak dipelihara. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Populasi Sapi Jawa yang menyebar pada lokasi-lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman performan yang tinggi pada beberapa sifat kuantitatif, hal ini disebabkan karena kondisi pakan pada setiap lokasi tidak sama (Soeroso 2004), kondisi yang relatif sama dilaporkan oleh Bugiwati (2007) pada Sapi Bali di Sulawesi Selatan. Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifatsifat penting yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas yang bersangkutan. Karakterisasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Sarbaini 2004; Noor 2008). Ukuran-ukuran tubuh yang merupakan sifat kuantitatif mempunyai peranan yang penting untuk melihat produktivitas ternak. Rekwot et al. 2000 dan Ho Son et al. 2001 melakukan penelitian dengan menghubungkan antara sifat kuantitatif (bobot badan) dengan umur pubertas sapi. Ukuran-ukuran tubuh banyak dikaitkan dengan bobot badan. Pada sapi ukuran tubuh yang digunakan untuk menentukan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan Abdullah (2008).
11
Warna bulu dan bentuk tanduk merupakan bentuk ekspresi gen lainnya selain ukuran tubuh yang dikenal dengan sifat kualitatif (Noor 2008). Sifat kualitatif menurut Soeroso (2004) dan Noor (2008) tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungan (lokasi penyebaran), oleh karena itu sifat kualitatif seperti warna bulu kulit memiliki keragaman yang rendah. Warna bulu kulit pada sapi dan mamalia disebabkan kehadiran melanin. Melanin ada 2 tipe yaitu eumelanin yang responsif terhadap warna hitam dan coklat dan phaeomelanin yang responsif terhadap warna merah dan kuning (Russo & Fontanesi 2004). Menurut Fries dan Ruvinsky (1999), hewan-hewan dengan warna bulu terang yang menutupi kulit berpigmen gelap akan beradaptasi dengan baik di daerah tropis dimana tingkat radiasi mataharinya tinggi.
Keragaman Genetik Studi genetik sangat diperlukan pada kegiatan konservasi. Riwantoro (2005) menjelaskan bahwa konservasi adalah semua bentuk kegiatan yang melibatkan tatalaksana pemanfaatan sumberdaya genetik dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian saat ini dan masa yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetik yang dikandungnya. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 konservasi adalah sebagai pengawetan, yaitu suatu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. Pelestarian keragaman sumberdaya genetik penting dan diperlukan untuk mengantisipasi perubahan. Keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap penyakitpenyakit yang ada di alam. Berkembangnya teknologi molekuler maka keragaman genetik, kesamaan genetik dan jarak genetik populasi sapi yang berasal dari berbagai wilayah dapat dipelajari (Astuti 2004). Menurut Metta et al. (2004) karakterisasi molekuler rumpun sapi adalah penting untuk mencegah erosi genetik karena adanya crossbreeding. Polimorfisme protein adalah marker molekuler pertama yang digunakan pada ternak yang dikenal sebagai allozyme. Sejumlah besar penelitian tersebut
12
telah didokumentasikan terutama pada periode tahun 1970an (Hanotte & Jianlin 2005). Adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah yang merupakan polimorfisme biokimia (misalnya albumin, alkaline phosphatase, transferrin dan lain-lain), sel darah merah (acid phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase dan sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta dan sebagainya) juga merupakan keragaman yang dapat dilihat pada sapi (Handiwirawan & Subandrio 2004). Lebih lanjut dikatakan Handiwirawan dan Subandrio (2004) bahwa jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme (dengan menggunakan prosedur elektroforesis),
yang
merupakan
cerminan
adanya
perbedaan
genetis.
Polimorfisme biokimia yang diatur secara genetis dijelaskan oleh Maeda et al. (1980) sangat berguna untuk membantu penentuan asal usul dan menyusun hubungan filogenetis antara spesies-spesies. Namun demikian menurut Hanotte dan Jianlin (2005), level polimorfisme yang diamati pada protein sering rendah sehingga akan mempengaruhi studi keragaman. Berkembangnaya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, polimorfisme berbasis DNA sekarang menjadi pilihan utama untuk studi keragaman genetik. Berthouly et al. (2008) melaporkan bahwa berbagai penelitian tentang keragaman genetik berbasis DNA molekuler muncul sekitar tahun 1990an. Salah satu marker DNA molekuler tertua yang digunakan untuk mengkaji keragaman adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLPs). Dewasa ini teknologi molekuler banyak dikembangkan untuk mempelajari keragaman genetik pada berbagai variasi sapi seperti RFLP, AFLP, SNP, mikrosatelit, dll. (Shashikanth & Yadav 2003). DNA mikrosatelit nampaknya banyak digunakan dan menjadi pilihan terbaik sebagai alat molekuler untuk karakterisasi rumpun sapi (Metta et al. 2004). Berbagai bangsa sapi di Indonesia dan di dunia telah diteliti keragaman genetiknya dengan menggunakan mikrosatelit (Pereira et al. 2003; Kim et al. 2004; Ibeagha et al. 2004; Metta et al. 2004; Sarbaini 2004; Liron et al. 2006; Nguyen et al. 2007; Sun et al. 2008; Abdullah 2008; Hartati 2010). DNA mikrosatelit merupakan rangkaian molekul DNA pendek yang susunan basanya berulang, biasanya terdiri dari 1 sampai 6 pasang basa (bp)
13
panjangnya, yang mana diulang bisa sampai maksimum 60 kali. Mikrosatelit mempunyai polimorfisme dan tingkat mutasi yang tinggi. Tingginya polimorfisme mikrosatelit disebabkan oleh variasi dalam jumlah unit ulangan (Masle 2007). Penyebab utama mutasi dikarenakan adanya mekanisme replikasi slippage (Ellegren 2004). Laju mutasi yang cepat dari DNA mikrosatelit lebih disebabkan oleh perubahan jumlah basa berulang yang mengalami penambahan atau pengurangan dibandingkan dengan perubahan pada urutan basa (Jeffreys et al. 1991). Tingkat mutasi mikrosatelit dilaporkan kira-kira 10-3 – 10-6 (Zhang & Hewitt 2003; Masle 2007).
Dewasa Kelamin dan Sexual Maturity Dewasa kelamin atau pubertas adalah umur atau waktu dimana alat kelamin mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat berlangsung (Helbig 2005). Partodihardjo (1982) mengemukakan bahwa pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan atau betina dimana proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai oleh kemampuan untuk pertamakalinya memproduksi benih dan selain itu menurut Levaseur dan Thibault (1980) juga memperlihatkan kelakuan kelamin yang kompleks. Pubertas merupakan manifestasi kerja hormonal dan perubahan level hormon (Lunstra et al. 1978). Pubertas pada sapi jantan didefinisikan sebagai fase perkembangan tubuh yang kelenjar gonadnya mensekresikan sejumlah hormon dalam jumlah yang cukup untuk mempercepat (merangsang) pertumbuhan organ kelamin dan munculnya sifat-sifat kelamin sekunder (Toelihere 1985; Helbig 2005). Pubertas dimulai dengan pembentukan sperma hidup di dalam ejakulatnya (Toelihere 1985). Sapi dikatakan telah mencapai pubertas apabila jumlah sperma paling tidak mencapai 50 x 106/ml dan motilitas 10% (Lunstra et al. 1978; Brito et al. 2004; Casas et al. 2007; Devkota et al. 2008). Adapun hormon yang berperan dalam proses pubertas pada hewan jantan ialah androgen (Soeparna 1984), utamanya adalah testosteron (Lunstra et al. 1978; Helbig 2005). Pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur pada saat pertama kali munculnya estrus dan terjadi ovulasi (Senseman 1989; Elmer 1981). Hormon yang berperanan adalah estrogen
dan progesteron (Hardjopranjoto 1983).
14
Pubertas terjadi ketika hormon gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk mengawali pertumbuhan folikel, pemasakan oosit dan ovulasi. Pertumbuhan folikel dapat dideteksi beberapa bulan sebelum pubertas (Elmer 1981). Umur permulaan pubertas pada sapi betina didefinisikan sebagai umur ketika konsentrasi serum progesteron >1 ng/ml (Cooke & Arthington 2009; Getzewick 2005; Sargentini et al. 2007). Pubertas
tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya. Hewan
masih memerlukan waktu untuk mencapai level optimum atau dikenal mencapai dewasa kelamin (sexual maturity). Contohnya pada kerbau jantan menurut Cool dan Entwisle (1989) saat pubertas produksi harian sperma > 0.5 x 106 per gram parenkim testis, sedangkan dewasa kelamin dicapai saat produksi harian sperma mencapai 14 x 106 per gram parenkim testis.
Tingkah Laku Kelamin Hafez (1969) membagi sembilan bentuk dasar tingkah laku hewan, salah satunya adalah tingkah laku kelamin (sexual behavior). Tingkah laku kelamin betina tergantung pada keseimbangan sirkulasi endokrin, yang dikontrol oleh sekresi ovarium, terutama estrogen. Betina ketika estrus menjadi receptive mereka menaiki atau dinaiki oleh sapi betina lainnya dan ini berlangsung sekitar 1 hari. Tingkat tingkah laku kelamin ditentukan oleh genetik, faktor lingkungan, faktor fisiologis, kesehatan dan pengalaman sebelumnya (Hafez & Hafez 2000). Sapi betina akan menerima pejantan hanya selama benar-benar periode estrus. Pejantan mendeteksi pro-estrus betina sekitar 2 hari sebelum estrus (Albright et al. 1997). Ketika sapi betina mencapai estrus, pejantan menjadi sangat bergairah dan mengikuti betina dari dekat, menjilati dan membaui organ genital luar dan sering memperlihatkan flehmen (Jacobs et al. 1980). Sapi yang estrus akan menunjukkan tanda-tanda menaiki dan dinaiki oleh sapi lain baik yang jantan maupun betina. Periode ini (mounting) berlangsung 1 – 18 jam dengan ratarata sekitar 4.4 jam. Selama periode estrus betina meningkatkan frekuensinya mengeluarkan urin sehingga pejantan mendapatkan contoh baik bau maupun rasa urin betina (Phillips 1993). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pejantan menggunakan lidah untuk mentransfer (kemungkinan urin)
ke bantalan gigi,
15
kemudian di transfer ke organ vomeronasal (Jacobs et al. 1980) yang dipertimbangkan menjadi tempat identifikasi feromon. Libido dan kemampuan kopulasi (mengawini) adalah dua sifat penting pada pejantan, tanpa kedua sifat tersebut menjadikannya sebagai pejantan afkir (Chenoweth 1983). Libido menurut Tomaszewska (1991) adalah kesediaan dan keinginan untuk menaiki, mengawini dan menginseminasi betina. Sedangkan kemampuan kawin atau kopulasi adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan secara lengkap. Tingkah kawin menurut Chenoweth (1981) adalah tingkah laku yang muncul/ditunjukkan sebelum, selama dan setelah pelayanan. Ditambahkan oleh Chenoweth (1982) bahwa libido dan kemampuan untuk kawin adalah sangat penting pada sapi jantan dan dua sifat tersebut sangat kuat dipengaruhi oleh faktor genetik. Interaksi kelakuan kelamin jantan yang menghasilkan kopulasi dibagi menjadi 4 fase utama yaitu: pencarian pasangan seksual, penentuan keadaan fisiologis pasangan seksual, rangkaian interaksi kelakuan kelamin yang menghasilkan penyesuaian bentuk perkawinan oleh hewan betina, dan reaksi menaiki betina kemudian kopulasi. Munculnya kelamin sebenarnya dimulai oleh hewan betina. Peranan hewan betina saat estrus sangat penting terhadap hewan jantan yang sedang mencari pasangan seksual. Pada saat estrus hewan betina mengeluarkan tanda-tanda yang menarik perhatian pejantan (Alexander et al. 1980). Kelakuan kelamin hewan jantan menunjukkan rangkaian pola tertentu. Pola tersebut hampir sama pada semua spesies, hanya bentuknya berlainan. Rangkaian pola tersebut mengarah ke satu sasaran ialah kopulasi (Bailey 2003). Senger (1999) membagi rangkaian pola tingkah laku kelamin ke dalam beberapa stadium, yaitu tingkah laku pre-kopulatori, kopulatori dan post-kopulatori. Pada stadium pre-kopulatori, komponen-komponennya adalah mencari pasangan yang dilanjutkan dengan rayuan (courtship), dorongan seksual (sexual arousal), ereksi dan penile protrusion. Selama stadium kopulatori terjadi menaiki (mounting) diikuti intromisi dan ejakulasi. Sedangkan pada stadium post-kopulatori, pejantan turun (dismounting) dan rasa puas (refraktories). Respon flehmen terjadi pada stadium pre-kopulatori.