Warta
s
Nomor 20 Tahun 2008
ISSN 1410-2021
Plasma Nutfah Indonesia Media Komunikasi Komisi Nasional Sumber Daya Genetik
Warta Plasma Nutfah Indonesia merupakan media komunikasi dan pemasyarakatan plasma nutfah, terbit secara berkala dua kali setahun. Redaksi menerima sumbangan naskah berupa artikel maupun berita (news) tentang keplasmanutfahan. Isi warta Plasma Nutfah Indonesia dapat dikutip tanpa izin Redaksi maupun penulis tetapi perlu menyebut sumbernya.
Dian Arum merupakan salah satu varietas baru sedap malam yang dihasilkan Balithi dan telah dilepas sebagai varietas unggul nasional yang berasal dari hasil seleksi individu terhadap rumpun tanaman induk tunggal varietas lokal Cianjur
S
Isi Nomor Ini Berita Utama “Dian Arum” Varietas Baru Sedap Malam Balithi
1
Artikel Varietas Baru Ikan Budi Daya Air Tawar: Ikan Nila Best (Bogor Enhanced Strain Tilapia)
3
Berbagai Jenis Cempedak Lokal Kalimantan Tengah
6
Komak: Sumber Protein Nabati untuk Daerah Kering
8
Berita Lokakarya Kajian Koleksi Sumber Daya Genetik Kelapa Sawit di Indonesia
“Dian Arum” Varietas Baru Sedap Malam Balithi
edap malam (Polianthes tuberosa) merupakan salah satu tanaman hias yang telah lama diusahakan oleh petani terutama di Pulau Jawa dan Sumatera Utara. Meningkatnya perekonomian masyarakat, menyebabkan kebutuhan akan bunga potong juga semakin meningkat. Hal ini memicu petani untuk menghasilkan bunga potong yang setiap saat berganti corak untuk memenuhi selera konsumen. Dengan demikian, varietas baru harus selalu diciptakan untuk mengimbangi pola perubahan selera konsumen. Program pemuliaan untuk menciptakan varietas baru pada tanaman sedap malam sampai saat ini masih langka.
Selain mencakup persilangan, kegiatan pemuliaan juga dapat dilakukan melalui seleksi terhadap kultivar lokal atau varietas introduksi yang telah lama beradaptasi di suatu lingkungan tertentu dan atau telah dianggap sebagai varietas lokal dan seleksi terhadap koleksi plasma nutfah yang dimiliki. Pada sedap malam seleksi individu (klonal) dapat dilakukan terhadap tanaman induk tunggal (rumpun).
10 Polianthes tuberosa, Sedap Malam Dian Arum
Aktivitas Komnas Kongres Kedua Komda Plasma Nutfah
13
Apresiasi Pengelolaan Sumber Daya Genetik untuk Ketahanan Pangan
14
Diskusi Panel tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik
15
Rapat Pleno Komisi Nasional Sumber Daya Genetik Tahun 2008
16
Lokakarya Penyusunan National Report on Plant Genetic Resources
17
Publikasi Baru
20
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
1
Deskripsi tanaman sedap malam varietas “Dian Arum”. Karakter
Uraian
Asal Silsilah Tinggi tanaman Lebar tajuk Bentuk daun Ukuran daun Bentuk ujung daun Permukaan daun Warna daun bagian atas Warna daun bagian bawah Susunan daun Umur berbunga Umur mulai panen Bentuk bunga Warna kelopak bunga Warna mahkota bunga Jumlah lapis mahkota bunga Jumlah helaian mahkota bunga Ukuran mahkota bunga Ketebalan mahkota bunga Diameter bunga kuncup Diameter bunga mekar Ukuran tangkai bunga Warna tangkai bunga Ukuran malai bunga Jumlah bunga per tangkai Aroma bunga Lama kesegaran bunga Susunan kuntum bunga Jumlah bunga per ruas Jumlah ruas bunga Jumlah anakan per rumpun Warna ujung umbi Warna pangkal umbi Ukuran umbi Hasil umbi Hasil bunga Ketahanan terhadap penyakit bercak daun Xanthomonas sp. Sifat-sifat khusus
Warta Plasma Nutfah Indonesia Penanggung Jawab Ketua Komisi Nasional Sumber Daya Genetik Sutrisno Redaksi Sugiono Moeljopawiro Husni Kasim Hermanto Ida N. Orbani Agus Nurhadi Alamat Redaksi Sekretariat Komisi Nasional Sumber Daya Genetik Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor Tel./Faks. (0251) 8327031 E-mail:
[email protected]
2
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Mayak-Cianjur/Balai Penelitian Tanaman Hias Seleksi rumpun induk tunggal kultivar Cianjur 44,5-55,2 cm 69,5-75,2 cm Panjang pipih dan terdapat lekukan pada urat daun di bagian tengah Panjang: 48,2-75,2 cm; lebar: 1,4-2,0 cm Lancip Rata, berlilin dan berbintik merah pada pangkal daun Hijau (Green group 143 C) Hijau (Green group 139 C) Berselang-seling 18-25 minggu setelah tanam 22-30 minggu setelah tanam Seperti terompet Hijau kekuningan (Yellow green 149 D) Putih (White 155 C) 3-5 lapis 18-25 Panjang: 2,5-3,6 cm; lebar: 1,1-1,6 cm 1,0-1,2 mm 1,0-1,2 cm 2,5-5,4 cm Panjang 107,2-132,5 cm, diameter 1,2-1,4 cm Hijau (Green 141 C) Panjang 45,5-56,3 cm, diameter 2,6-3,9 cm 54-67 kuntum Harum 4-6 hari setelah potong Berselang-seling pada tangkai bunga 2 kuntum 22-34 12,3-16,4 anakan Putih (White 155A) Coklat (Brown 200 A) Panjang 1,4-4,5 cm; diameter 0,5-5,1 cm 19,5-22,7 umbi/rumpun/tahun 1-3 tangkai/rumpun/tahun
: Agak tahan : Aroma bunga harum, tangkai bunga panjang, lurus dan kekar, agak tahan penyakit bercak daun
Hasil seleksi rumpun induk tunggal terhadap kultivar lokal Cianjur, diperoleh satu klon terpilih yang dianggap mewakili populasi sedap malam berbunga ganda di daerah Cianjur. Klon tersebut telah dilepas sebagai varietas baru oleh Balai Penelitian Tanaman Hias dengan nama Dian Arum. Keragaan Varietas Secara umum varietas Dian Arum memiliki bentuk tanaman yang cukup tinggi, sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman untuk menghasilkan bunga yang berkualitas baik. Varie-
tas ini memiliki jumlah anakan yang cukup banyak, sehingga akan menghasilkan jumlah bunga per rumpun yang juga makin banyak. Salah satu kriteria yang mempengaruhi preferensi konsumen dan harga jual bunga sedap malam adalah panjang tangkai bunga. Panjang tangkai bunga varietas Dian Arum lebih dari 75 cm dan telah memenuhi kriteria yang dinginkan oleh pasar bunga sedap malam. Demikian juga diameter tangkai bunga tidak begitu besar tetapi kekar, sehingga sangat cocok digunakan dalam rangkaian
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
bunga dalam vas besar maupun kecil. Diameter bunga kuncup tidak begitu besar, namun setelah mekar diameternya lebih besar di atas 5 cm. Di samping itu, Dian Arum memiliki bunga berwarna kehijauan dan bagian ujung kuntum bunga yang masih menguncup sedikit kemerahan. Aroma bunganya juga cukup harum, sehingga sangat disukai oleh panelis pada saat uji preferensi. Varietas Dian Arum memiliki jumlah petal cukup banyak dan cukup tebal. Jumlah petal yang demikian akan membuat penampilan bunga menjadi lebih kompak. Petal yang lebih tebal biasanya akan memiliki periode kesegaran bunga yang lebih lama. Jumlah petal tersebut merupakan salah satu karakter utama yang membedakan varietas Dian Arum dengan varietas Roro Anteng asal Pasuruan Jawa Timur. Jumlah kuntum bunga cukup tinggi, sehingga tangkai malai bu-
nga tertutup dengan rapat. Dengan panjang malai yang lebih pendek dan jumlah kuntum yang lebih banyak, maka posisi antar kuntum akan makin rapat. Hal tersebut lebih mempercantik penampilan bunga secara keseluruhan. Produksi bunga sedap malam varietas Dian Arum cukup tinggi mencapai 3 tangkai per rumpun per tahun. Dengan potensi produksi bunga seperti itu, varietas ini memiliki harapan yang cerah untuk dikembangkan lebih lanjut oleh petani sedap malam. Salah satu karakter yang menjadi perhatian adalah masalah periode kesegaran bunga dalam vas, umumnya konsumen menginginkan periode kesegaran yang lama. Varietas Dian Arum memiliki periode kesegaran vas yang cukup lama, yakni lebih dari 5 hari. Varietas Dian Arum memiliki sifat agak tahan terhadap penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Xanthomonas sebagai
salah satu penyakit penting pada tanaman sedap malam. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan varietas Dian Arum dibandingkan dengan varietas lainnya terutama dibandingkan dengan sedap malam berbunga semi ganda. Penggunaan kultivar yang agak tahan dan dibarengi dengan kultur teknik yang baik, maka serangan hama maupun penyakit dapat ditekan dan biaya produksi akan menjadi lebih rendah. Secara keseluruhan penampilan bunga varietas Dian Arum cukup baik dengan susunan kuntum yang teratur dan kompak, sehingga bagian tangkai malai bunga tertutupi. Demikian juga tangkai bunga yang lurus dan kekar (agak kaku), sehingga mudah ditancapkan saat merangkai bunga dalam vas besar maupun kecil. Hal ini juga akan mempercantik penampilan bunga secara keseluruhan. Donald Sihombing
Balithi, Segunung-Cipanas
ARTIKEL
Varietas Baru Ikan Budi Daya Air Tawar: Ikan Nila Best (Bogor Enhanced Strain Tilapia)
N
ila dikenal sebagai ikan ekonomis penting di dunia karena cara budi daya yang mudah, rasa yang digemari, harga relatif terjangkau dan memiliki toleransi yang luas terhadap lingkungan (Wardoyo 2005). Sejak Nila diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1969, perkembangan budidayanya di masyarakat cukup pesat. Produksi Nila pada tahun 2004 tercatat sebesar 97.116 ton, meningkat sebesar 237% dalam kurun waktu 4 tahun (DGA 2005). Terlebih lagi dengan adanya kasus KHV (koi herpes virus) pada ikan Mas, Nila menjadi alternatif ikan air Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
tawar yang dibudidayakan masyarakat dan menjadi salah satu andalan dalam program revitalisasi perikanan. Di pasar internasional Amerika Utara (Amerika Serikat dan Canada) dan Eropa, Nila dari tahun ke tahun konsumsinya semakin meningkat (Fish Farming Intl. 2005, 2006). Amerika Utara mengimpor 112.945 ton pada tahun 2004, meningkat 25% dari tahun 2003 atau 68% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2002. Di mana nilai impornya juga
3
Tabel 1. Deskripsi keunggulan ikan Nila BEST. No. Parameter
Hasil pengujian
Keterangan
1. Ketahanan terhadap hama dan penyakit 2. Daya tahan terhadap perubahan lingkungan
Tahan
140% lebih baik dari ikan Nila masyarakat (Taufik et al. 2008)
Tahan
● Salinitas ● Suhu 3. Produksi benih ● Sintasan ● Derajat penetasan ● Fekunditas (butir/pemijahan) ● Daya tahan ● Respon terhadap rangsangan ● Kemudahan mendapatkan induk 4. Pembesaran ● Rasio konversi pakan ● Kemudahan mendapatkan pakan ● Sintasan
Kurang tahan Tahan
● Danau Lido >9,5% dari ikan Nila masyarakat (Winarlin dan Gustiano 2008) ● Waduk Cirata >0,9% (Kusdiarti at al. 2008) ● Kolam Cianjur >9,5% (Winarlin dan Gustiano 2008) (Listyowati dan Ariyanto 2007) 21-27oC
● Pertumbuhan
85% 90% 3-5 kali > dari ikan masyarakat Baik Baik Mudah 1,1 Mudah 84,4-93,3% (>8% dari ikan Nila masyarakat) Lebih baik dari varietas ikan Nila yang ada di masyarakat (Red NIFI, Nirwana, Gesit) Pertumbuhan 2 kali > dari ikan Nila masyarakat
meningkat sampai $297 juta tahun 2004, 23% lebih tinggi dari tahun 2003 dan 71% dari tahun 2002 (Fish Farming Intl. 2005). Setengah dari impor Amerika Utara dipasok oleh Cina, sedangkan sisanya oleh Taiwan, Thailand, dan Indonesia. USDA (US Department of Agriculture) memberikan dukungan agar ketiga negara pengimpor utama dapat mengambil alih porsi impor yang dikuasai oleh Cina. Hal ini merupakan peluang yang harus disikapi secara positif. Patut diperhitungkan bahwa budi daya ikan Nila telah mulai menarik perhatian negara-negara Amerika Selatan yang dapat menjadi pesaing handal karena transportasi yang lebih murah. Oleh karena itu, penting sekali diupayakan budi daya yang efisien. Dalam periode waktu yang cukup lama, konsentrasi perikanan nasional adalah pada optimalisasi teknik dan sistem budi daya serta penyediaan benih bagi budi daya untuk meningkatkan produksi. Sedangkan pengembangan mutu genetik komoditas dirasakan masih tertinggal. Sejak Nila diintroduksi dari Taiwan 1969, upaya perbaikan mutu genetik dilakukan dengan cara mendatangkan strain unggul dari luar. Khusus Nila berwarna hitam, jenis-jenis dari luar negeri didatangkan dari Thailand tahun 1989 (Chitralada), Filipina tahun 1994 dan 1997 (GIFT). Sedangkan jenis warna merah didatangkan dari Thailand tahun 1989 (NIFI). Namun beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan kualitas genetik karena kurang tepatnya pengelolaan yang
4
Di petani Hatchery (Widyastuti et al. 2008)
(Winarlin dan Gustiano 2008) Ukuran sebelum matang gonad (Listyowati dan Ariyanto 2007, Gustiano et al. 2008) Ukuran tanam 40 g, pemeliharaan di kolam selama 4 bulan (Winarlin dan Gustiano 2008)
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan (Gustiano et al. 2007). Hasil akhir dari penurunan pertumbuhan tersebut akan menyebabkan penurunan produksi dan produktivitas, serta pendapatan pembudidaya ikan. Di Indonesia, penelitian dasar terhadap perbaikkan mutu genetik Nila telah dilakukan oleh banyak peneliti terdahulu (Brzesky dan Doyle 1988, Matricia et al. 1989, Jangkaru et al. 1992, Widiyati et al. 1996, 2006, Widiyati 2003, Ariyanto dan Imron 2002, Nugroho et al. 2002, Wakhid dan Suwarsito 2003). Meskipun demikian penelitian-penelitian tersebut belum dalam konteks breeding program yang besar, berjalan sendiri-sendiri dan terputus. Berdasarkan ilustrasi di atas dapat dikemukakan arti penting Nila bagi budi daya air tawar dan perlunya riset perbaikan mutu genetik Nila untuk meningkatkan produksi dan produktivitas di masa mendatang. Berkaitan dengan masalah yang ada, upaya pemuliaan untuk menghasilkan jenis Nila unggul menggunakan pendekatan secara menyeluruh dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) melalui program seleksi. Riset diawali dengan karakterisasi jenis populasi (Nugroho et al. 2002, Widiyati 2003, Arifin et al. 2007), evaluasi populasi (Gustiano et al. 2005), dilanjutkan dengan seleksi (Gustiano 2007, Gustiano dan Arifin 2008), serta pengujian keragaan dan multilokasi (Widiyati et al. 2006, Kusdiati et al. 2007, Winarlin dan Gustiano 2007). Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Gambar 1. Fasilitas penelitian yang digunakan.
Gambar 2. Ikan Nila BEST.
Gambar 3. Penilaian dan pengujian varietas ikan Nila BEST.
Setelah 4 tahun (2004-2008) penelitian pemuliaan ikan Nila dilakukan di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Cijeruk (Gambar 1) telah diperoleh keturunan F3. Berdasarkan keunggulan yang ada (Tabel 1), ikan hasil seleksi (Gambar 2) dinyatakan lulus oleh Tim Penilaian dan Pengujian Release Ikan Nila sebagai varietas baru yang diberi nama Nila BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia) yang ditetapkan pada tanggal 2 Desember 2008 (Gambar 3). Daftar Pustaka Arifin, O.Z., E. Nugroho, dan R. Gustiano. 2007. Keragaman genetik populasi ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam program seleksi berdasarkan RAPD. Berita Biologi 8:465-471. Ariyanto, D. dan Imron. 2002. Keragaan TRUSS morphometri ikan nila (Oreochromis niloticus) strain 69; GIFT G-3, dan GIFT G-6. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8:11-18. Brzesky, V.J. and R.W. Doyle. 1988. A morphometric criterion for sex discrimination in tilapia. In Pullin, R.S.V., T. Bukaswan, K. Tonguthai, and J.L. Maclan (Eds.). The Second ISTA, Bangkok, Thailand. ICLARM Conf. Proc. 15:439-444. Directorate General of Aquaculture. 2005. The Indonesian Aquaculture Statistics 2004. Jakarta. 131 p.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Fish Farming International. 2005. Tilapia set to be ‘next big thing’. June 2005. p. 32-33. Fish Farming International. 2006. Belgium to grow Tilapia. January 2006. 6 p. Gustiano, R., A. Widiyati, dan Y. Suryanti. 2005. Evaluasi pertumbuhan populasi nila (Oreochromis niloticus) di dua lokasi penelitian berbeda. Aquaculture Indonesiana 6:79-84. Gustiano, R. 2007. Perbaikan mutu genetik ikan nila. Kumpulan Makalah Bidang Riset Perikanan Budidaya, Simposium Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 6 hlm. Gustiano, R., O.Z. Arifin, A. Widiyati, dan L. Winarlin. 2007. Pertumbuhan jantan dan betina 24 famili ikan nila (Oreochromis niloticus) pada umur 6 bulan. Dalam Prosiding Lokakarya nasional Pengelolaan dan perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia. Jakarta. hlm. 287-291. Gustiano, R. dan O.Z. Arifin. 2008. Respon dan heretabilitas pada seleksi famili ikan nila (Oreochromis niloticus) generasi ketiga (G3). Prosiding Nasional Seminar V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2008. Yogyakarta. BP 14:1-9. Jangkaru, Z., M. Sulhi, dan S. Asih. 1992. Uji banding pertumbuhan ikan nila merah jantan dan hitam jantan dipelihara dalam kolam secara intensif. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992, Balitkanwar, Sukamandi. hlm. 68-72. Kusdiarti, Ani Widiyati, Winarlin, dan Rudhy Gustiano. 2008. Uji banding pertumbuhan biomas ikan nila
5
(Oreochromis niloticus) seleksi dan nonseleksi di Waduk dan danau. 7 hlm. (proses publikasi Jurnal Ichthyology). Matricia, T., A.J. Talbot, and R.W. Doyle. 1989. Instantaneous growth rate of tilapia genotypes in undisturbed aquaculture systems. I. “Red” and “Grey” morphs in Indonesia. Aquaculture 77:295-302. Nugroho, E., A. Widiyati, dan T. Kadarini. 2002. Keragaan genetik ikan nila GIFT berdasarkan polimorfisme mitokondria DNA d-loop. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8:1-6. Wakhid, A. dan Suwarsito. 2003. Uji kekebalan ikan nila strain GIFT dan Chitralada. Sains Akuatik 6:96-100. Wardoyo, S.E. 2005. Pengembangan budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Budidaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 49 hlm. Widiyati, A., Sudarto, L. Emmawati, dan T. Kadarini. 1996. Evaluasi pertumbuhan beberapa strain ikan nila (Oreochromis niloticus). Prosiding Hasil Penelitian
Perikanan Air Tawar 1994/1995, Balitkanwar, Sukamandi. hlm. 44-49. Widiyati, A. 2003. Keragaan fenotipa dan genotipa ikan nila (Oreochromis niloticus) dari Danau Tempe dan beberapa sentra produksi di Jawa Barat. Tesis Magister Sains, IPB. 41 hlm. Widiyati, A., O.Z. Arifin, E. Setiadi, Winarlin, dan R. Gustiano. 2005. Implementasi hasil litbang pada demplot ikan nila (Orechromis niloticus) melalui budidaya monosex pada lingkungan yang optimal. Kementrian Riset dan Teknologi. 39 hlm. Widiyati, A., R. Gustiano, dan O.Z. Arifin. 2006. Uji pertumbuhan 24 famili generasi pertama ikan nila di karamba jarring apung. Sainteks 13:210-216. Winarlin dan R. Gustiano. 2007. Pertumbuhan nila (Oreochromis niloticus) jantan di lingkungan danau dan kolam. Sainteks 14:210-214. Rudhy Gustiano
BRPBAT Bogor
Berbagai Jenis Cempedak Lokal Kalimantan Tengah
K
alimantan Tengah memiliki potensi buahbuahan unggul lokal, antara lain buah cempedak yang tumbuh dan tersebar di beberapa kabupaten dengan tingkat produksi yang cukup tinggi serta potensi pasar yang menguntungkan karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan digemari oleh masyarakat luas. Penyebaran komoditas cempedak di Kabupaten Barito Selatan sebagian besar berada di Kecamatan Dusun Tengah dan daerah-daerah di sekitarnya yang merupakan komoditas spesifik lokalita. Pembedaan nama untuk masing-masing varietas lokal oleh penduduk setempat hanya berdasarkan penampilan visual saja, walaupun dari segi penampilan buah, bentuk buah, warna daging buah, tebal daging buah, dan ciri-ciri lainnya dapat dispesifikasikan menjadi beberapa varietas lokal yang di antaranya terdapat cempedak-cempedak lokal yang berkualitas dan memiliki keunggulan yang apabila dikelola dengan baik dapat dijadikan komoditas unggulan daerah dibidang hortikultura. Survei eksplorasi pohon induk buah-buahan unggul lokal yang dikhususkan pada cempedak lokal di Kabupaten Barito Selatan merupakan langkah awal untuk mengetahui potensi dan karakteristik dari berbagai cempedak spesifik lokalita dalam rangka
6
penelusuran terhadap varietas lokal yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu sebagai dasar dilaksanakan pemutihan untuk ditetapkan sebagai varietas unggul nasional. Kerabat nangka menjadi perhatian dunia sejalan dengan khasiatnya sebagai pengganti karbohidrat pada sukun, kadar alkohol pada cempedak, antikanker pada nangka dan kadar ginseng pada kluwih. Jenis cempedak yang banyak terdapat di Kalimantan Tengah adalah cempedak nangka. Setiap 100 g buah matang cempedak mengandung 116 kal, 3 g protein, 0,4 g lemak, 28,6 g karbohidrat, 1,5 g besi 31 RE vitamin A, dan 15 g vitamin C. Buah nangka mengandung alkohol tinggi dan jika bereaksi dengan asam lambung akan menimbulkan gas dalam pencernaan. Untuk 100 g nangka terdapat 106 kal, 2 g protein, 0,2 g lemak, 1,0 g karbohidrat, 20 mg kalsium, 19 mg fosfor, 0,9 g besi, 0,9 g serat, 96 RE vitamin A, dan 7 mg vitamin C. Buah nangka berkhasiat antikanker, mencegah sembelit, dan antioksidan. Dari produksi buah per tahun, diketahui bahwa belum diberikan perlakuan agronomi untuk meningkatkan produksi, jadi pada saat musim berbuah pemilik hanya berharap dari kemampuan pohon mengWarta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Cempedak Anipe
hasilkan buah. Walaupun demikian, setiap pohon sudah dapat menghasilkan sekitar 200-400 buah. Dari hasil penilaian terhadap mutu buah, dapat direkomendasikan bahwa cempedak lokal Kalimantan Tengah yang layak untuk diputihkan sebagai varietas unggul nasional terpilih sebanyak 3 (tiga) varietas, yaitu Cempedak Anipe, Cempedak Nangka, dan Cempedak Kapas (Gambar 1). Deskripsi Cempedak Anipe, Cempedak Nangka, dan Cempedak Kapas sebagai berikut: 1. Cempedak Anipe
Cempedak Nangka
Cempedak Kapas
Karakter pohon ● Tinggi pohon ● Lingkar batang pada ketinggian 1 m ● Bentuk tajuk ● Keadaan tajuk ● Bentuk batang ● Percabangan ● Letak cabang terendah ● Tekstur kulit batang ● Warna kulit batang Karakter daun ● Warna daun bagian atas ● Warna daun bagian bawah ● Perabaan daun bagian atas ● Perabaan daun bagian bawah ● Permukaan daun ● Belahan daun ● Tepi daun ● Tipe daun ● Bentuk daun ● Ujung daun ● Panjang daun ● Lebar daun ● Tangkai daun ● Jarak antar daun ● Kedudukan daun Karakter buah ● Tipe buah ● Bentuk buah ● Tekstur kulit buah ● Panjang buah ● Lebar buah ● Berat buah ● Warna kulit buah ● Duri buah ● Tebal kulit buah ● Tebal daging buah ● Warna daging buah ● Rasa daging buah ● Kandungan air ● Aroma ● Panjang tangkai buah ● Ketahanan buah dalam pengangkutan Produksi ● Jadwal berbuah ● Panen musiman ● Produksi per tahun/musim
: : : : : : : : :
>20 M 1,28 M Memayung Sedang Bulat Mendatar 2-5 M (+25,00 M) Sedang Kecoklatan
: : : : : : : : : : : : : : :
Hijau tua Hijau Halus Kasar Mengkilap Simetris Rata Datar Lonjong ujung runcing Meruncing Besar, >50 mm (+20,00 cm) Besar, >50 mm (+8,00 cm) Sedang, 2-4 cm (+2,50 cm) <5 cm (+1,50 cm) Condong ke atas
: : : : : : : : : : : : : : : :
Tidak beraturan Bulat panjang Sedang 35,00 cm 11,00 cm 2,30 kg Hijau kekuningan Berduri kecil rapat Sedang, 1,50 cm Sedang, 0,30 cm Kuning Manis legit Agak basah Lembut Panjang, 7,50 cm Tahan
: Konsisten : Pertengahan musim : Banyak, 200-300 buah
Gambar 1. Berbagai jenis cempedak lokal Kalimantan Tengah.
hasilkan buah. Walaupun demikian, setiap pohon suWarta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
7
2. Cempedak Nangka Karakter pohon ● Tinggi pohon ● Lingkar batang pada ketinggian 1 m ● Bentuk tajuk ● Keadaan tajuk ● Bentuk batang ● Percabangan ● Letak cabang terendah ● Tekstur kulit batang ● Warna kulit batang
: : : : : : : : :
10-20 M (+17,00 M) 1,10 M Memayung Rimbun Bulat Jorong ke atas 2-5 M Sedang Kecoklatan
Karakter daun ● Warna daun bagian atas ● Warna daun bagian bawah ● Perabaan daun bagian atas ● Perabaan daun bagian bawah ● Permukaan daun ● Belahan daun ● Tepi daun ● Tipe daun ● Bentuk daun ● Ujung daun ● Panjang daun ● Lebar daun ● Tangkai daun ● Jarak antar daun ● Kedudukan daun
: : : : : : : : : : : : : : :
Hijau Hijau Halus Kasar Mengkilap Simetris Rata Datar Lonjong ujung runcing Meruncing Besar, >50 mm (+18,00 cm) Besar, >50 mm (+8,00 cm) Sedang, 2-4 cm (+3,50 cm) <5 cm (+2 cm) Condong ke bawah
Karakter buah ● Tipe buah ● Bentuk buah ● Tekstur kulit buah ● Panjang buah ● Lebar buah ● Berat buah ● Warna kulit buah ● Duri buah ● Tebal kulit buah ● Tebal daging buah ● Warna daging buah ● Rasa daging buah ● Kandungan air ● Aroma ● Panjang tangkai buah ● Ketahanan buah dalam pengangkutan
: : : : : : : : : : : : : : : :
Rata Bulat panjang Sedang 31,75 cm 10,50 cm 2,35 kg Hijau kekuningan Berduri kecil rapat Sedang, 1,50 cm Tebal, 0,50 cm Kuning Manis legit Agak basah Lembut Panjang, 5,00 cm Tahan
Produksi ● Jadwal berbuah ● Panen musiman ● Produksi per tahun/musim
: Konsisten : Pertengahan musim : Banyak, 200-300 buah
3. Cempedak Kapas Karakter pohon ● Tinggi pohon ● Lingkar batang pada ketinggian 1 m ● Bentuk tajuk ● Keadaan tajuk ● Bentuk batang ● Percabangan ● Letak cabang terendah ● Tekstur kulit batang ● Warna kulit batang
: : : : : : : : :
>20 M 1,27M Memayung Sedang Bulat Jorong ke atas >5 M Sedang Kecoklatan
Karakter daun ● Warna daun bagian atas ● Warna daun bagian bawah ● Perabaan daun bagian atas ● Perabaan daun bagian bawah ● Permukaan daun ● Belahan daun ● Tepi daun ● Tipe daun ● Bentuk daun ● Ujung daun ● Panjang daun ● Lebar daun ● Tangkai daun ● Jarak antar daun ● Kedudukan daun
: : : : : : : : : : : : : : :
Hijau tua Hijau agak muda Halus Halus Mengkilap Simetris Rata Datar Lonjong ujung runcing Meruncing Besar, >50 mm (+17,00 cm) Besar, >50 mm (+5,50 cm) Sedang, 2-4 cm (+2,00 cm) <5 cm (+2,40cm) Condong ke atas
Karakter Buah ● Tipe buah ● Bentuk buah ● Tekstur kulit buah ● Panjang buah ● Lebar buah ● Berat buah ● Warna kulit buah ● Duri buah ● Tebal kulit buah ● Tebal daging buah ● Warna daging buah ● Rasa daging buah ● Kandungan air ● Aroma ● Panjang tangkai buah ● Ketahanan buah dalam pengangkutan
: : : : : : : : : : : : : : : :
Rata Bulat panjang Sedang 31,00 cm 11,50 cm 1,10 kg Hijau kekuningan Berduri kecil rapat Tipis, 1,00 cm Tipis, 0,20 cm Putih kekuningan Manis Agak basah Merangsang Panjang, 7,00 cm Tahan
Produksi ● Jadwal berbuah ● Panen musiman ● Produksi per tahun/musim
: : :
Konsisten Pertengahan musim Banyak, 200-300 buah
Amik Krismawati
BPTP Jawa Timur
Komak: Sumber Protein Nabati untuk Daerah Kering
B
erkurangnya lahan subur untuk pertanian karena beralih fungsi menjadi kawasan perumahan atau industri memaksa kita yang bergerak dibidang pertanian untuk menggunakan lahanlahan yang mempunyai kesuburan rendah. Namun demikian, tidak banyak jenis tanaman yang dapat ditanam di lahan dengan kondisi kesuburan rendah dan
8
curah hujan rendah. Salah satu tanaman yang mempunyai toleransi tinggi pada kondisi ini adalah kacang komak. Kacang komak termasuk dalam famili Leguminosae (Fabaceae), Sub Famili Papilionoidae (Faboideae), dulu kacang komak termasuk dalam Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
genus Dolichos menurut Linneaus, tapi sekarang ditempatkan dalam genus tersendiri, genus Lablab. Kacang komak diduga berasal dari Asia, yang menyebar di daerah Afrika, daerah tropis dan subtropis lainnya. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Brazil dan jazirah Arab. Di Indonesia tanaman ini sudah lama dikenal dan dibudidayakan namun tidak diketahui pasti kapan mulai dibudidayakan. Di Jawa Timur kacang komak banyak dibudidayakan di daerah Madura dan pantai utara Jawa Timur, dan daerah lain yang mempunyai curah hujan rendah dan pendek. Masyarakat menggunakan daun tanaman ini untuk hijau pakan ternak, bahkan daun muda dapat dijadikan sayur. Buah muda (polong) dapat dimanfaatkan untuk sayur seperti kacang kapri (kacang polong). Biji kacang yang tua digunakan sebagai campuran makanan yang bersantan atau campuran nasi ketan yang dapat meningkatkan kandungan protein. Kacang komak dapat beradaptasi baik pada daerah yang mempunyai curah hujan 600-3.000 mm/ th dan ketinggian tempat 0-2.100 m dari permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh pada kisaran jenis tanah mulai dari pasir dalam sampai liat yang kuat asal drainase baik. pH tanah yang dikehendaki 4,57,5. Kacang ini sangat toleran terhadap kekeringan, periode kritis tanaman ini adalah pada saat perkecambahan. Setelah tumbuh akar tanaman akan memanfaatkan lengas tanah yang ada. Tanaman ini akan tumbuh baik bila rata-rata suhu harian antara 1830oC. Tanaman ini toleran suhu tinggi dan dapat tumbuh pada suhu rendah sampai 3oC untuk jangka waktu yang pendek.
Kandungan Gizi Di negara berkembang hampir 43% kebutuhan protein berasal dari tanaman. Kacang komak merupakan salah satu sumber protein yang cukup tinggi setelah kedelai dan kacang tanah. Kandungan protein kacang ini berkisar antara 21-29%, kandungan protein kacang komak di Jawa Timur berkisar antara 22-23%. Kandungan lemak rendah, yaitu 1%, sangat cocok untuk orang-orang yang diet terhadap makanan dengan kandungan lemak tinggi. Biji kacang ini juga mengandung vitamin A, B, dan C yang cukup tinggi. Biji tanaman ini mengandung tannins, phytate, dan trypsin inhibitors, kandungannya sangat beragam tergantung varietasnya, namun dengan perendaman atau pemanasan akan menghilangkan aktivitas dari senyawa ini. Budi Daya Budi daya kacang komak sangat mudah karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi dengan masukan (input) yang rendah sampai sedang. a. Jarak tanam Penanaman kacang komak monokultur bisa menggunakan alur bajak dengan kebutuhan benih 90-125 kg/ha, atau intensif dengan tugal dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm (1 biji/lubang) atau 40 cm x 20 cm (2 biji/lubang). Penanaman tumpangsari atau tumpanggilir ditanam disela-sela tanaman jagung sesuai dengan jarak tanam jagung. Populasi optimal 125.000 pohon/ha, dengan hasil
Gambar 1. Jenis-jenis kacang komak di Kecamatan Tongas, Probolinggo, Jawa Timur, tahun 2007 (pantai utara Jawa Timur). Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
9
1,2 t/ha pada pertanaman monokultur dan 0,91 t/ha pada penanaman tumpangsari dengan jagung, peningkatan populasi menjadi 250.000 tanaman/ ha dapat menurunkan hasil biji komak 15%. b. Pengendalian hama penyakit dan pemupukan Bila dilakukan pengendalian hama penyakit dapat meningkatkan hasil sebesar 60% dan bila disertai dengan pemupukan dapat meningkat 75%. Pemupukan anjuran hingga takaran 45 kg urea + 90 kg TSP + 90 kg
dungan asam ascorbat dari tidak terdeteksi menjadi 55 mg/100 g bahan kering dan vitamin B, serta menurunkan atau menghilangkan senyawa antinutrisi. Pengolahan melalui fermentasi, penepungan atau ekstraksi protein juga menjadi potensi dan peluang cukup besar untuk dikembangkan. Jenis-jenis produk yang dapat dibuat dari kacang komak antara lain tempe, kecap, tahu, tepung komposit, makanan bayi, konsentrat protein, dan pakan.
c. Pengairan Kacang komak mampu berproduksi hingga 0,8 t/ha hanya dengan pengairan pada saat tanam. Apabila tanaman diairi 1 kali pada saat tanam produksi mencapai 0,71 t/ha, dan akan meningkat 0,78 t/ha bila diairi 2 kali, yaitu saat tanam dan umur 1 bulan. d. Pemangkasan
Gambar 2. Kondisi tanaman saat kondisi kering.
Pemangkasan pada kacang komak biasa dilakukan sebelum pembungaan yang bertujuan untuk merangsang pembungaan dan pertumbuhan polong. Pascapanen Secara umum kacang komak dapat dimanfaatkan dalam bentuk biji muda, biji kering, kecambah biji, biji fermentasi atau ekstrak proteinnya. Sebagian besar kacang komak dipanen dalam bentuk biji yang telah masak atau tua. Untuk bahan pangan cepat hidang, kacang komak diolah menjadi kacang komak rebus, kacang komak goreng atau kecambah kacang komak. Pengolahan menjadi kecambah sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kan-
Gambar 3. Kondisi tanaman muda.
Dwi Setyorini
BPTP Jawa Timur
BERITA
Lokakarya Kajian Koleksi Sumber Daya Genetik Kelapa Sawit di Indonesia
I
ndonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat secara pesat pada awal 1990-an dan pada tahun 2007,
10
luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 6,04 juta ha. Meskipun demikian selain melalui perluasan lahan, produksi sawit Indonesia dapat pula ditingkatkan melalui intensifikasi. Pe-
luang untuk intensifikasi masih cukup besar sebagaimana terlihat pada tahun 2004, rata-rata produktivitas CPO nasional adalah 3,72 t/ha/tahun sedangkan potensi genetiknya sekitar 14 t/CPO/ha/
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
tahun (Oil World Annual 20002005). Rendahnya produktivitas kelapa sawit antara lain disebabkan oleh rendahnya kualitas bahan tanaman yang digunakan serta tingkat pemeliharaan yang masih di bawah standar. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas minyak kelapa sawit di Indonesia adalah melalui perbaikan genetik bahan tanaman kelapa sawit dengan memanfaatkan sumber daya genetik (SDG) yang berbeda dengan material yang telah ada. Untuk itu, diperlukan ketersediaan SDG dengan tingkat keragaman yang tinggi sebagai sumber keragaman genetik. Tersedianya SDG yang didukung oleh sistem pengelolaan yang kuat akan memacu percepatan perakitan tanaman kelapa sawit unggul. Sebagai hasil dari kegiatan pemanfaatan SDG kelapa sawit melalui kegiatan pemuliaan, saat ini telah tersedia 33 varietas kelapa sawit yang menjadi materi dasar pengembangan kelapa sawit Indonesia. SDG kelapa sawit tersebar di beberapa lembaga riset dan produsen benih, seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT Socfin Indonesia, PT PP London Sumatera, PT Dami Mas Sejahtera, PT Tunggal Yunus Estate, PT Tania Selatan, dan PT Bina Sawit Makmur, serta beberapa calon produsen benih kelapa sawit lain. Pengelolaan SDG kelapa sawit yang ada di Indonesia selama ini belum dilakukan secara optimal. Selain karena ketiadaan lembaga pengelola, juga karena status SDG kelapa sawit berbeda-beda di setiap institusi. Sebagai contoh, SDG kelapa sawit yang dimiliki oleh PPKS sebagian berada di kebun HGU milik PT Perkebunan Nusantara IV dengan status
pinjam pakai, sedangkan kebun sumber daya genetik kelapa sawit lainnya berada dalam pengelolaan lembaga swasta nasional dan swasta multinasional. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa kelestarian sumber daya genetik kelapa sawit di Indonesia sangat rentan dan tidak terjamin, padahal pengadaan SDG tersebut, yang dilaksanakan melalui cara pertukaran dan pembelian, telah menghabiskan biaya yang sangat besar. Introduksi SDG kelapa sawit yang dilakukan oleh institusi swasta dari luar negeri (baik melalui pertukaran maupun pembelian) pada mulanya ditujukan untuk memperkaya keragaman SDG kelapa sawit nasional. Namun demikian, karena ketiadaan lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk pengelolaan SDG kelapa sawit nasional, kendali pemerintah dalam pengelolaan kekayaan genetik kelapa sawit tidak efektif. Hal ini jauh berbeda dengan negara lain seperti Malaysia yang memiliki lembaga khusus untuk jejaring kerja pengelolaan plasma nutfah. Malaysia Palm Oil Board (MPOB), memiliki akses luas untuk melakukan evaluasi SDG kelapa sawit Malaysia, baik yang dimiliki oleh institusi pemerintah maupun swasta. Sementara itu, di Indonesia pengelolaan SDG kelapa sawit bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan, dan tidak memungkinkan keterlibatan pihak luar dalam mengawasi keberadaan SDG tersebut. Dalam hal evaluasi dan pemanfaatan SDG, masing-masing perusahaan atau lembaga menggunakan standar pengujian tersendiri, sehingga untuk mendapatkan gambaran potensi nasional dari SDG kelapa sawit sulit dilakukan.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
SDG yang terdapat di Indonesia memiliki keragaman genetik yang tidak luas dan hanya berada dalam kisaran segregasi dari bahan genetik yang sempit seperti Deli Dura dan turunan Tenera/Pisifera yang berkerabat dekat. Kenyataan ini memerlukan adanya upaya untuk memperluas keragaman genetik melalui kegiatan introduksi dan eksplorasi ke pusat-pusat keragaman genetik kelapa sawit di Afrika dan Amerika Selatan. Atas dasar kenyataan tersebut maka dirasakan perlu untuk membangun suatu kebun koleksi SDG kelapa sawit yang dikelola oleh lembaga pengelola SDG kelapa sawit nasional secara independen, yang mempunyai fungsi utama untuk mengamankan dan memperkaya keanekaragaman SDG kelapa sawit Indonesia dalam mendukung industri perbenihan kelapa sawit dan industri berbasis kelapa sawit yang lestari, kompetitif, sehat, dan kuat. Guna mewujudkan maksud tersebut di atas, maka pengelolaan SDG kelapa sawit sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen. Untuk itu, diperlukan suatu kajian mendalam mengenai pentingnya pengelolaan SDG kelapa sawit di dalam satu rentang kendali, guna membangun persamaan persepsi, penyusunan rekomendasi, penyiapan rancang tindak pembangunan suatu kebun koleksi SDG kelapa sawit, serta membangun organisasi dan mekanisme kerjanya. Salah satu kegiatan yang dilakukan Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Kelapa Sawit adalah Kajian Koleksi Sumber Daya Genetik Kelapa Sawit di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, atas kerja sama Departemen Pertanian, Kementerian
11
Negara Riset dan Teknologi, dan Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), telah dilaksanakan lokakarya Kajian Koleksi SDG Kelapa Sawit di Indonesia di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2008. Lokakarya dihadiri oleh 91 orang peserta berasal dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB); Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Masyarakat Perkelapa Sawitan Indonesia (MAKSI), dan Tim Peneliti RUSNAS RISTEK Kelapa Sawit serta produsen dan calon produsen benih kelapa sawit. Lokakarya dibuka oleh Direktur Jenderal Perkebunan, didahului pengarahan/sambutan dari Sekretaris Kementerian Negara Riset dan Teknologi, dan Direktur Jenderal Perkebunan. Dalam lokakarya ini telah dibahas empat topik hasil kajian tentang ketersediaan SDG kelapa sawit, program eksplorasi SDG kelapa sawit dan perkembangannya, kelembagaan pengelola SDG kelapa sawit nasional, dan ketersediaan lahan untuk Kebun Koleksi Nasional SDG Kelapa Sawit. Berdasarkan butir-butir pokok dari sambutan/pengarahan, penyajian makalah dan diskusi, dapat dirumuskan beberapa hal dalam rangka pengembangan SDG kelapa sawit di Indonesia, sebagai berikut: 1. Kelapa sawit mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional, terutama dalam aspek penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan PDB, pendapatan dan devisa bagi negara, stimulator penumbuhan pusat-pusat ekonomi baru di pedesaan, serta sebagai sumber pangan dan sumber energi penting di Indonesia.
12
2. Walaupun kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun sangat sesuai dikembangkan di Indonesia. Luas areal kelapa sawit di Indonesia saat ini sekitar 6,7 juta ha dan diproyeksikan akan meningkat secara signifikan pada tahun-tahun mendatang. 3. Indonesia membutuhkan SDG kelapa sawit yang kaya dan beragam sebagai bahan baku untuk perakitan varietas unggul baru yang mampu mendukung pertumbuhan industri kelapa sawit yang memiliki daya saing global. 4. SDG kelapa sawit yang ada di Indonesia belum terdokumentasi dengan baik dan rawan terhadap erosi genetik dan kepunahan karena: ● Tidak ada kebun koleksi SDG kelapa sawit yang berskala nasional yang dikelola secara khusus; ● Belum ada lembaga khusus yang mengelola; ● SDG yang tersedia terbatas pada 12 produsen benih atau calon produsen benih yang kelestariannya belum terjamin secara optimal. 5. Beberapa kemajuan yang telah dicapai dalam pengembangan SDG kelapa sawit saat ini adalah: ● Telah ada kesepahaman para pemangku kepentingan tentang perlunya penanganan SDG kelapa sawit secara terintegrasi dan dikelola oleh Lembaga Khusus dan independen yang melayani kepentingan bersama; ● Telah terbentuk Konsorsium Para Produsen Benih yang difasilitasi pemerintah (Ditjen Perkebunan) dan
Dewan Minyak Sawit Indonesia untuk melakukan eksplorasi SDG baru ke Afrika dan Amerika Selatan; ● Telah dapat dihimpun data dan informasi ketersediaan SDG kelapa sawit di berbagai Lembaga Riset milik pemerintah dan dunia usaha dalam negeri sebagai aset nasional; ● Telah dilakukan kegiatan eksplorasi SDG kelapa sawit tahap I dan berhasil mendapatkan 103 aksesi baru dari Kamerun; ● Telah tersedia lahan seluas 1.000 ha untuk pembangunan Kebun Koleksi Nasional SDG Kelapa Sawit di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat yang dialokasikan dan disiapkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sijunjung; ● Telah dihasilkan konsep model kelembagaan Kebun Koleksi Nasional SDG Kelapa Sawit yang mengakomodasi kepentingan semua pihak terkait. 6. Para pemangku kepentingan sepaham untuk menindaklanjuti pengembangan SDG kelapa sawit berskala nasional untuk mendukung pertumbuhan industri kelapa sawit yang mampu bersaing di tingkat global, yaitu dengan: ● Membangun kelembagaan pengelola SDG kelapa sawit di Indonesia yang mampu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak terkait dengan merujuk kepada peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia; ● Melakukan koleksi dan karakterisasi SDG yang ada di kebun koleksi SDG produ-
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
sen benih dan calon produsen benih dalam negeri, serta melanjutkan kegiatan eksplorasi dan pertukaran SDG ke dan dengan negaranegara sebagai sumber SDG kelapa sawit di Afrika dan Amerika Latin; ● Membangun kebun koleksi nasional SDG kelapa sawit pada lahan yang telah disediakan oleh Pemda Kabupaten Sijunjung; ● Melengkapi Kebun Koleksi Nasional SDG kelapa sawit dengan SDG yang dimiliki
oleh masing-masing pemilik SDG dalam negeri dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban masingmasing, sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku; ● Menyepakati untuk menyerahkan sebagian dari hasil eksplorasi dan pertukaran SDG kepada pemerintah untuk ditempatkan di kebun koleksi nasional SDG kelapa sawit dengan hak dan kewajiban yang akan diatur tersendiri sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang berlaku; ● Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatanpengembangan SDG kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia, perlu didukung oleh kontribusi optimal semua pihak, terutama dari unsur birokrasi, akademisi, dan dunia usaha serta perlu didasari dengan aspek legal yang diperlukan. Komnas SDG
AKTIVITAS KOMNAS
Kongres Kedua Komda Plasma Nutfah
K
ongres Komisi Daerah Plasma Nutfah (Komda PN) se-Indonesia diselenggarakan setiap 2 tahun sekali. Kongres pertama diselenggarakan di Kalimantan Timur pada tahun 2006 sedangkan Kongres Kedua dilaksanakan di Pekanbaru, Riau, pada tanggal 8-10 Juni 2008. Kongres dibuka oleh Asisten III Sekretaris Daerah mewakili Gubernur Provinsi Riau, yang dilanjutkan dengan sambutan Ketua Komda PN Provinsi Riau, dan Komnas SDG. Pada Kongres Kedua Komda PN disajikan lima makalah utama, yaitu 1. Strategi Ketahanan Pangan dengan Pemberdayaan Plasma Nutfah (Kepala Badan Litbang Pertanian) 2. Strategi dan Rencana Tindak Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (Asisten Deputi Bidang Keanekaragaman Hayati)
3. Pemanfaatan Varietas Lokal untuk Perbaikan Tanaman (Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman) 4. Sumber Daya Hayati Tumbuhan Indonesia (Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI) 5. Perkembangan Komda Plasma Nutfah dan Jejaring Kerjanya (Komnas SDG) Setelah penyampaian makalah utama dan materi pendukung yang disampaikan oleh wakil dari Komda PN Provinsi Kalimantan Timur, Komda PN Provinsi Sumatera Selatan, Komda PN Provinsi Sumatera Barat, Komda PN Provinsi Jawa Timur, Komda PN Provinsi Jawa Tengah, Komda PN Provinsi Banten, Komda PN Kabupaten Palalawan, dan Komda PN Kabupaten Kampar. Peserta dibagi dalam lima kelompok sidang, yaitu (1) kelompok SDG tanaman, (2) kelompok
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
SDG perkebunan, (3) kelompok SDG ternak, (4) kelompok SDG ikan, dan (5) kelompok SDG hutan dan hidupan liar. Pada hari ketiga, acara diisi dengan penanaman tanaman langka dan spesifik daerah di Kebun Koleksi Balai Benih Induk-Dinas Tanaman Pangan Padang Marpoyan. Dalam acara ini telah ditanam secara simbolis 48 bibit tanaman oleh wakil-wakil daerah dan Komda. Setelah penanaman pohon, kongres ditutup di Grand Ball Room Hotel Mutiara Merdeka. Hasil rumusan Kongres Kedua Komda PN sebagai berikut: 1. Ketahanan pangan penting dalam pemenuhan hak asasi manusia, pembentukan SDM berkualitas, dan ketahanan ekonomi/nasional. Untuk itu pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pengaturan, pembinaan pengendalian dan pengawasan, sedangkan
13
masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan berhak untuk memperoleh pangan. 2. Masalah utama dalam pencapaian ketahanan pangan adalah pertumbuhan permintaan pangan (cukup, tepat waktu, terjangkau, dan beraneka ragam) jauh lebih tinggi daripada penyediaan pangan. Di sisi lain, Indonesia kaya akan biodiversity yang berpengaruh terhadap kesuksesan pelestarian tanaman pangan, karena itu perlu: mengembangkan sistem produksi berbasis sumber daya, kelembagaan, melakukan kerja sama dan penelitian, serta melakukan inventarisasi, database dan konservasi. 3. Prinsip konservasi keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat (ekosistem, jenis, dan genetik) dengan tiga pilar (perlindungan, pengawasan, dan pemanfaatan secara lestari) yang diimplementasikan dalam dua program (ex situ dan in situ). 4. Pentingnya keanekaragaman hayati maka perlu disusun profil keanekaragaman di masingmasing kabupaten/kota sehingga klaim daerah lain dapat dihindari. 5. Salah satu strategi pemerintah untuk pelestarian SDG adalah melalui program IBSAP (mengembangkan konservasi ke-
ragaman hayati, membangun dan mengembangkan pranata kelembagaan dan kebijakan nasional maupun daerah serta upaya penegakan hukum, meningkatkan dekonsentrasi dan desentralisasi kewenangan pemerintah dalam pengelolaan keragaman hayati. 6. Varietas lokal yang telah ada dan dibudidayakan secara turun menurun oleh petani, menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara. Pendaftaran varietas lokal dilakukan oleh pemda kabupaten/provinsi/pusat pada perlindungan varietas tanaman (PVT). 7. Potensi genetik varietas lokal: mampu mengatasi berbagai cekaman lingkungan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendukung keragaman genetik tanaman. 8. Faktor penyebab erosi genetik meliputi pemuliaan sentralistik, fokus pada beberapa komoditi prioritas dan mengabaikan keragaman genetik spesies non prioritas, pola konsumsi masyarakat yang seragam dan kerusakan lingkungan. 9. Komda di Indonesia telah berkembang dari 14 menjadi 19 pada tahun 2008, ke depan diharapkan Komda terbentuk di setiap provinsi/kabupaten/kota. Untuk itu diharapkan Pemda dan stakeholder lainnya dapat
menginisiasi pendirian Komda bagi daerah yang belum ada, sedangkan bagi daerah yang sudah ada diharapkan Pemda mampu memfasilitasi kegiatan pelestarian plasma nuftah antara lain pendirian kebun koleksi dan kegiatan melakukan introduksi, eksplorasi, inventarisasi, konservasi, evaluasi, dan pemanfaatan plasma nutfah serta membangun jejaring kerja antar Komda dan Komnas. Diharapkan semua stakeholder berperan aktif terlaksananya kegiatan tersebut. Selain itu perlu mengkampanyekan/memperkenalkan plasma nuftah pada acara-acara di masing-masing daerah. 10. Disepakati penggunaan nama Komda Plasma Nuftah menjadi Komda Sumber Daya Genetik. Lebih lanjut Kongres Nasional Komda Sumber Daya Genetik ke III akan dilaksanakan di Jawa Timur (tahun 2010). 11. Kegiatan seminar mengenai hasil kegiatan dan penelitian oleh Komda SDG diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Masing-masing Komda diharapkan dapat menganggarkan biaya untuk peserta dan pelaksanaan kegiatan tersebut. Tim Perumus
Komnas SDG
Apresiasi Pengelolaan Sumber Daya Genetik untuk Ketahanan Pangan
P
ersebaran sumber daya genetik terdapat di daerahdaerah, yang merupakan kekayaan pemerintah daerah atau masyarakat daerah. Untuk itu, pengelolaan plasma nutfah pada
14
tingkat daerah harus diwujudkan. Implikasinya adalah perlu segera disiapkan elemen-elemen di daerah yang diperlukan dalam pengelolaan plasma nutfah, baik
perangkat keras maupun perangkat lunak. Dalam rangka meningkatkan pemahaman pengelolaan plasma nutfah untuk ketahanan pangan,
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Komnas SDG menyelenggarakan Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah untuk Ketahanan Pangan di Badan Lingkungan Hidup (dahulu Bapedalda), Semarang, Jawa Tengah. Apresiasi diselenggarakan pada tanggal 28 Juni 2008, dihadiri oleh 70 orang peserta dari pengurus Komisi Daerah Plasma Nutfah Provinsi Jawa Tengah dan staf/pejabat Dinas/Instansi dari 35 Kabupaten atau Kota di Provinsi Jawa Tengah. Dinas atau Instansi yang hadir dalam Apresiasi ini antara lain Dinas Kehutanan, Badan Litbang Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, Bappedalda, Perguruan Tinggi, BPTP, Balai Taman Nasional, BPSB, BKSDA, dan Pemerintah Daerah. Acara dibuka oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah, Ir. Djoko Sutrisno. Dalam sambutannya,
Kepala BLH menyampaikan terima kasih kepada Komisi Nasional Sumber Daya Genetik yang memberikan pencerahan tentang pengelolaan SDG kepada anggota pengurus Komda dan pejabat daerah Provinsi Jawa Tengah. Materi yang disampaikan selama apresiasi berlangsung, yaitu: 1. Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (Drs. Muslihudin, Kementerian Negara Lingkungan Hidup) 2. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Genetik (Prof. (Riset) Dr. Subandriyo, Komnas SDG) 3. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Ternak (Ir. Bambang Setiadi, MS, APU) 4. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Ikan (Dr. Rudhy Gustiano, Komnas SDG)
5. Kebijakan Konservasi Sumber Daya Genetik Hutan dan Hidupan Liar dan Perkembangan Komda Sumber Daya Genetik dan Jejaring Kerjanya (Dr. Machmud Thohari, DEA, Komnas SDG) 6. Aplikasi Bioteknologi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Genetik untuk Perbaikan Sifat Tanaman (Dr. M. Herman, Komnas SDG) 7. Perkembangan Pengelolaan Sumber Daya Genetik di Jawa Tengah (Prof. Ir. Bambang Sudaryanto, MS, BPTP Jawa Tengah) Dengan diselenggarakan apresiasi ini, diharapkan peserta yang hadir dapat berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya genetik di instansi maupun di lingkungan daerahnya. Agus Nurhadi
Komnas SDG
Diskusi Panel tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik
D
alam sistem pendidikan, upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang pentingnya suatu pengetahuan dapat dilakukan melalui kegiatan pengajaran di perguruan tinggi. Demikian pula dengan program sosialisasi tentang pentingnya SDG kepada para mahasiswa merupakan salah satu metode yang dapat memberikan pemahaman secara efektif terhadap makna dan pentingnya SDG. Pemahaman mengenai pentingnya keberadaan SDG dan keanekaragamannya akan membengkitkan dan mendorong kepedulian berbagai pihak
untuk berperan serta mengelola SDG. Berkaitan dengan hal tersebut, Komnas SDG menyelenggarakan Diskusi Panel tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik dengan para Widyaiswara Pusat Pemberdayaan dan Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian (P4TK Pertanian, VEDCA) yang dilaksanakan di Cianjur, Jawa Barat pada 8 Juli 2008. Diskusi dihadiri 63 peserta dari VEDCA yang terdiri dari akademisi Widyaiswara, para pejabat struktural dan beberapa orang mahasiswa.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Dalam Diskusi Panel ini, disampaikan lima materi dengan pembicara dari Komnas SDG, yaitu: 1. Pengelolaan Agrobiodiversity: Strategi Menuju Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan (Ir. Bambang Setiadi, MS, APU) 2. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Ikan (Dr. Rudhy Gustiano) 3. Kupercayakan Padamu Keberlanjutan Sumber Daya Genetik Ternak (Ir. Bambang Setiadi, MS, APU)
15
4. Aplikasi Bioteknologi dalam Pengelolaan Sumber Daya Genetik (Dr. M. Herman) 5. Kebijakan Konservasi Sumber Daya Genetik Hutan dan Hidupan Liar dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik untuk Ketahanan Pangan (Dr. Machmud Thohari) Dalam sambutan pembukaan Diskusi Panel, Ir. H. Pamudji, MM yang menjabat sebagai Kepala Bidang Program menyampaikan terima kasih kepada Komnas SDG yang bersedia menyelenggarakan acara Diskusi Panel bagi akademisi VEDCA, khususnya para Widyaiswara. Beliau juga menghimbau agar secara berkala dapat dilakukan acara seperti ini, mengingat bah-
Gambar 1. Diskusi Panel tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik.
wa secara reguler VEDCA memberikan pelatihan kepada sekitar 90 orang guru sekolah kejuruan pertanian selama 18 hari (setiap angkatan), sedangkan di Indone-
sia ada 600 sekolah kejuruan pertanian yang perlu diberikan pelatihan. Agus Nurhadi
Komnas SDG
Rapat Pleno Komisi Nasional Sumber Daya Genetik Tahun 2008
P
ada hari Jumat, 31 Oktober 2008, Komisi Nasional Sumber Daya Genetik (Komnas SDG) telah menyelenggarakan rapat pleno pertama tahun 2008 di Jakarta, yang dihadiri oleh Pengarah dan Pelaksana Harian Komnas SDG.
Keputusan Menteri Pertanian No. 734/Kpts/OT.140/12/2006. Ketua Pelaksana Harian juga menyampaikan berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan dan alokasi dana Komnas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 serta rencana kegiatan tahun 2009.
Pada rapat pleno tersebut, Ketua Pelaksana Harian Komnas menyampaikan capaian Komnas SDG dari tahun 1976 sampai dengan 2008. Ketua Pelaksana Harian menceriterakan sejarah mulai terbentuknya Komnas tahun 1976, pergantian kepengurusan, dan perubahan nama Komnas dari awal sampai tahun 2006 menjadi Komisi Nasional Sumber Daya Genetik dengan Surat
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. S. Gatot Irianto sebagai Ketua Pengarah Komnas SDG, menyampaikan perlunya dibentuk Pokja yang melakukan inventarisasi kebun koleksi yang ada di berbagai daerah dan mengefisiensikan pengelolaan SDG tanaman di kebun koleksi milik berbagai instansi seluruh Indonesia. Pengelolaan diharapkan memanfaatkan
16
SDG dan SDM serta anggaran yang sudah dialokasikan di masing-masing instansi. Untuk itu, Ketua Pengarah menunjuk Ketua Pelaksana Harian Komnas SDG sebagai Ketua Pokja dengan anggota: Direktur Perbenihan Tanaman Pangan, Direktur Perbenihan Hortikultura, Direktur Perbenihan Perkebunan, Direktur Perbibitan Ditjen Peternakan, Kepala Pusat PVT, Kapuslit Biologi-LIPI, Asisten Deputi Keanekaragaman Hayati-KLH, Wakil dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Air Tawar-DKP, Kapuslitbang Hutan dan Konservasi Alam, dan Direktur PHKADitjen PHKA-DEPHUT. Agus Nurhadi
Komnas SDG
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Lokakarya Penyusunan National Report on
Plant Genetic Resources
D
alam rangka penyusunan National Report on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture, pada hari Kamis, 20 November 2008, Komnas SDG yang didukung oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyelenggarakan Lokakarya Penyusunan National Report on Plant Genetic Resources. Lokakarya dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari berbagai lembaga yang berkaitan dengan pengelolaan SDG Tanaman, antara lain dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Pertanian, Perguruan Tinggi, SEAMEO BIOTROP, dan Komda SDG (Jawa Timur dan Kalimantan Timur). Plasma nutfah atau SDG tanaman adalah materi genetik dari tanaman yang mempunyai nilai nyata atau potensial. SDG tanaman merupakan kekayaan negara yang tidak ternilai harganya, keberadaannya tersebar di berbagai tempat, dan merupakan bahan dasar yang penting untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pemuliaan untuk memperoleh varietas tanaman unggul baru. Sesuai dengan kesepakatan internasional dalam mengakses International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) dalam UndangUndang RI No. 4 Tahun 2006 tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGTPP), Indonesia berkewajiban ikut serta menyusun the State of the Worlds on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (SOW) di mana
National Report on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture sebagai materi dan bagian dari SOW. Para Pembicara undangan dalam lokakarya tersebut adalah: 1. Asisten Deputi Konservasi Keanekaragaman Hayati-Kementerian Negara Lingkungan Hidup: ”Status Keanekaragaman Sumber Daya Genetik Tanaman di Indonesia”. 2. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati-Direktorat Jenderal PHKA-Departemen Kehutanan: ”Status Pengelolaan in situ Sumber Daya Genetik Tanaman Hutan”. 3. Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan IndonesiaBadan Litbang Pertanian: ”Status Pengelolaan ex situ Sumber Daya Genetik Tanaman Perkebunan di Indonesia”.
4. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman-Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan: ”Status Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman Hutan”. 5. Dr. Sugiono MoeljopawiroKomnas SDG: ”Status Program Nasional, Pelatihan dan Legislasi mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman”. 6. Kepala Bidang Kerja SamaBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: ”Status Kerja Sama Regional dan Internasional mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman”. 7. Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI): ”Akses terhadap Sumber Daya Genetik Tanaman dan Pembagian Keuntungan dari Hasil Pemanfaatannya dan Hak-hak Petani”.
Gambar 1. Lokakarya Penyusunan National Report on Plant Genetic Resources.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
17
Hasil rumusan Lokakarya sebagai berikut: 1. Meskipun RUU Pengelolaan SDG belum ditindaklanjuti untuk diundangkan, banyak kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan SDG Tanaman. Kegiatan yang terkait dengan keanekaragaman hayati telah diperoleh beberapa hasil antara lain: telah disusun database taman keanekaragaman hayati (spesies endemik/lokal Jawa Tengah); telah dibuat disain taman keanekaragaman hayati; terbangunnya jejaring kerja antara Pemda, masyarakat akademisi untuk mendukung upaya pembangunan dan pengembangan taman keanekaragaman hayati; dan telah dibangun suatu taman keanekaragaman hayati, dengan menanam dan memelihara jenis tumbuhan yang sesuai dengan kondisi lingkungan (spesies endemik Jawa Tengah). 2. Pengelolaan ex situ SDG tanaman perkebunan di Indonesia dilakukan pada tujuh jenis tanaman, yaitu kelapa sawit, karet, tebu, kopi, kakao, teh, dan kina. Dalam pengelolaan SDG tanaman perkebunan dijumpai berbagai kendala. a. Kelapa sawit. SDG kelapa sawit yang dimiliki Indonesia saat ini tersebar di berbagai gene pool di beberapa lembaga riset dan produsen benih, seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT Socfin Indonesia, PT PP London Sumatra, PT Dami Mas Sejahtera, dan PT Asian Agri. Kendala dalam pengelolaan SDG kelapa sawit adalah keberadaan koleksi SDG di areal HGU PTPN IV menyebabkan
18
80% SDG yang dimiliki PPKS menjadi rawan terhadap erosi genetik; tidak adanya lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk pengelolaan SDG kelapa sawit nasional, sehingga kebijakan masing-masing perusahaan dalam pelestarian SDG tidak memungkinkan keterlibatan pihak luar dalam mengawasi keberadaan SDG tersebut, maka perlu dibentuk Pusat Pengelolaan SDG Kelapa Sawit (P3NKS) di bawah koordinasi Badan Litbang Pertanian. b. Karet. Indonesia menerima SDG tanaman karet dari International Rubber Research and Development Board (IRRDB) 1981 sebanyak 7.290 genotipe secara bertahap dari tahun 19841988; material IRRDB tersebut dikoleksi di Kebun Percobaan Balit Sungei Putih bersama 73 klon material asal Wickham. Sebagian besar SDG tanaman karet IRRDB 1981 menunjukkan potensi hasil lateks yang rendah; beberapa genotipe memiliki pertumbuhan yang sangat jagur dan dapat menghasilkan volume kayu bebas cabang antara 1-2,5 m3/pk; SDG material IRRDB terpilih dimanfaatkan dalam program pemuliaaan untuk menghasilkan klon unggul penghasil lateks-kayu, dan dari tahun 1977-2001 menghasilkan 30.000 persilangan. c. Tebu. Meskipun pengelolaan tebu sudah dilakukan dengan baik misalnya koleksi dan pelestarian (secara in vitro dan dalam bentuk DNA genom), tetapi ada
beberapa kendala yang dihadapi seperti: dana yang kurang memadai dan tidak berkesinambungan; banyaknya eksploitasi kawasan hutan untuk pertambangan, industri, jalan, dan penebangan kayu akhir-akhir ini semakin mengancam terjadinya erosi genetik di habitat asli yang mempersempit gene resources tebu di Indonesia; dan kurangnya SDM yang handal serta terbatasnya fasilitas laboratorium yang terkait dengan pengelolaan SDG. d. Kopi dan kakao. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengelolaan adalah gangguan serangan hama penyakit dan cekaman kekeringan. e. Teh. Pengelolaan yang dilakukan antara lain dengan membuat dukumen database klon teh di Indonesia dan melakukan diskripsi 50 klon setiap tahun, sampai sekarang sudah 200 deskripsi klon diselesaikan; materi seleksi pohon induk; ada 25 calon klon dimanfaatkan untuk uji multilokasi. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan tanaman teh antara lain: jumlah tanaman setiap aksesi tidak sama, letak koleksi tersebar antar blok; tidak ada dana khusus untuk pemeliharaan; dan terancam erosi genetik karena program replanting. f. Kina. Pengelolaan SDG kina telah dilakukan beberapa kegiatan antara lain: inventarisasi, koleksi dengan rejuvinasi, pembuatan bibit stek sambung, dan penanaman kembali, serta pemeliharaan TBM (tanaman
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
belum menghasilkan) untuk membangun tanaman koleksi baru; kebun koleksi di KP Gambung dibangun untuk menyelamatkan sumber genetik dan klon-klon unggul kina; KP Gambung memiliki aksesi 473 klon (klon kina ledger 470 nomor dan kina succi 3 nomor); Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung bekerja sama dengan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor mengembangkan teknik kultur jaringan dan micrografting yang memanfaatkan eksplan klon-klon unggul dalam koleksi, untuk mempercepat penyediaan bibit kina dalam jumlah banyak. Ada berbagai kendala dihadapi dalam pengelolaan kina antara lain: pengembangan usaha kina terus berkurang, sehingga kebun yang ada kurang terpelihara dan tidak ada program replanting yang lumintu; kondisi tanaman kina koleksi KP Gambung rusak berat, minim pemeliharaan, dan banyak tanaman mati; kebun koleksi yang rusak telah menyebabkan hilangnya aksesi sebanyak 220 klon sehingga pengelolaan SDG diprioritaskan kepada rehabilitasi untuk menyelamatkan aksesi dengan membuat bibit klon-klon dalam koleksi untuk ditanam kembali; dan klon-klon kina unggul hasil pemuliaan belum dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas kebun. 3. Pengelolaan SDG tanaman hutan (SDGTH) dilakukan dengan berbagai kegiatan:
Pelestarian In situ: di 395 unit (22 juta ha) kawasan pelestarian daratan, 100-300 ha pelestarian SDG di areal HPH/ IUPHHK; pelestarian Ex situ: di 17 kebun raya dan arboretum di beberapa areal lembaga penelitian, universitas, BUMN/ BUMS kehutanan dengan 2 (dua) tujuan (praktek pelestarian dan pemuliaan pohon); penetapan prioritas spesies yang dilestarikan (dihimpun dari berbagai instansi); dan reboisasi dan Hutan Rakyat 5 juta Ha (GERHAN 2003-2009), pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR) 9 juta Ha (s/d 2014). Penetapan prioritas spesies SDHTH yang perlu dilestarikan merupakan prioritas program; pengelolaan SDGTH perlu didukung oleh multistakeholders dan peran serta masyarakat merupakan kunci keberhasilan program; dalam program pengelolaan SDGTH, fasilitasi pemerintah dibutuhkan dalam penetapan pedoman, bantuan teknik, dan stimulansi untuk mendorong peran serta masyarakat; pengelolaan SDGTH pada tingkat desa merupakan alternatif bentuk peran serta masyarakat dalam program tersebut; kebijakan ke depan SDGTH di Indonesia akan diarahkan pada kawasan hutan dan areal lahan yang terdegradasi, dan pelestarian hutan alam yang tersisa. Penelitian dan pengembangan serta pertukaran informasi dibutuhkan dalam domestikasi spesies, pemuliaan pohon dan pelestarian genetik; perlu penelitian tentang pengelolaan lingkungan hutan tanaman khususnya tipe monokultur untuk pengelolaan SDGTH secara berkelanjutan. Kendala dalam pengelolaan SDGTH antara lain: belum lengkapnya pengaturan
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
spesifik mengenai pengelolaan SDGTH; terbatasnya dana, fasilitas, kualifikasi sumber daya manusia; kesadaran pentingnya pengelolaan SDGTH masih relatif rendah; dan mobilisasi alternatif pendanaan perlu kompetisi dengan program lain. Dalam kaitannya dengan program nasional, pelatihan dan legislasi mengenai SDG tanaman, Indonesia telah mempunyai suatu lembaga yang terkait dengan pengelolaan SDG, yaitu Komisi Plasma Nutfah Nasional yang dibentuk pada tahun 1976 dengan SK Menteri Pertanian No. 738/ Kpts/OP/11/1976. Komisi tersebut mengalami tiga kali perubahan nama, yang akhirnya pada tahun 2006, dirubah menjadi Komisi Nasional Sumber Daya Genetik dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 734/Kpts/OT.140/ 12/2006. Komnas SDG ikut berkiprah dalam penyusunan legislasi mengenai SDG misalnya penyusunan Undang-Undang (UU No. 29 tahun 2000 tentang PVT dan UU No. 4 tahun 2006 tentang aksesi PGRFA atau SDGTPP), Rancangan UU Pengelolaan SDG, PP No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati, dan berbagai peraturan perundangan seperti Permentan No. 67 tahun 2006 tentang Pelestarian dan Pemanfatan SDG Tanaman. Selain itu Komnas SDG juga melakukan berbagai kegiatan lain seperti penyadaran publik (sosialisasi, apreasiasi, dan pelatihan), penyebaran informasi (publikasi dan web), dan mendorong pembentukan jejaring kerja (pembentukan Komda), serta pengkajian dan pemberian rekomendasi pemasukan dan pengeluaran SDG tanaman. Komnas SDG
19
PUBLIKASI BARU
Buletin Plasma Nutfah Volume 14 Nomor 1 Tahun 2008
T
Untuk mengatasi erosi gen plasma nutfah elah terakreditasi di P2MBI, Lembaga Ilmu kerabat mangga, Amik Krismawati dari BPTP Jawa Pengetahuan Indonesia, Buletin Plasma NutTimur melakukan penelitian di Kalimantan Tengah. fah yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa karater buah Sumber Daya Genetik, Badan Litbang Pertanian, antarspesies kerabat mangga sangat bervariasi. Hal merupakan barometer kinerja penelitian plasma nutini penting artinya untuk digunakan sebagai bahan fah di Indonesia. Hingga akhir 2008, buletin ini telah pemuliaan tanaman mangga. memasuki tahun ke-14. Sudjijo dari Balitbu, Solok, Sumatera Barat, tePada nomor ini Buletin Plasma Nutfah terbit lah mengkarakterisasi beberapa aksesi pepaya introdengan tujuh artikel. Ika Roostika dan kawan-kawan duksi. Dari kegiatan ini diketahui aksesi SR-03 medari BB-Biogen mengungkapkan hasil penelitian miliki ukuran buah yang ideal, kriopreservasi Purwoceng, yang rasa manis, kenyal, berproduksi termasuk tanaman langka, desepanjang tahun, bobot buah ngan teknik enkapsulasi-vitrifiBuletin Plasma Nutfah Volume 14 Nomor 1 Tahun 2008 840 g, dan daging buah berwarkasi. Meski tingkat keberhasilna jingga dengan ketebalasn leannya rendah, teknik ini masih ● Karakterisasi dan Seleksi 139 Galur bih dari 25 mm. dapat dikembangkan dengan Kentang Karakteristik dan produkmemodifikasi perlakuan. ● Peranan dan Dominasi Varietas Unggul tivitas ayam kedu hitam telah Sumarno dan Zuraida, Baru dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat diteliti oleh Acmhad Gozali masing-masing dari Puslitbang● Ragam Karakter Morfologi Kulit Biji Nataamijaya dari BBP2TP. tan dan BB-Biogen membahas Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Ayam lokal ini berasal dari berbagai aspek dalam pengeloKedelai Desa Kedu, Temanggung, Jawa laan plasma nutfah secara ter● Analisis Stabilitas Hasil Ubi 27 Genotipe Tengah. Dari penelitian ini diintegrasi melalui pemuliaan taBengkuang (Pachyrhizus erosus L. ketahui ayam kedu hitam meminaman. Fungsi pengelolaan Urban) di Jatinangor Jawa Barat Berdasarkan Model AMMI liki penampilan yang khas, peteplasma nutfah, menurut mereka, lur yang cukup produktif, dan antara lain adalah melestarikan ● Hasil Persilangan dan Pertumbuhan Beberapa Genotipe Salak dapat digunakan sebagai sumber sumber daya genetik guna daya genetik dalam pembentukmengantisipasi perubahan ras ● Ekologi Pohon Kluwak/Pakem (Pangium edule Reinw.) di Taman Nasional Meru an ayam petelur komersial. patogen dan biotipe baru seBetiri, Jawa Timur Penelitian Siti Chotiah dari rangga hama yang bersifat dina● Perilaku Burung Beo Alor di BB Veteriner bertujuan untuk mis dan cekaman abiotik seperti Penangkaran Oilsonbai, Nusa Tenggara mengetahui seroepidemologi inkekeringan dan keracunan hara. Timur feksi Bordetella bronchiseptica Sri Wahyuni dan kawansebagai perangkat deteksi antikawan dari Balittro mengungbodi pada babi. Hasil penelitian menunjukkan infeksi kapkan hasil penelitian tentang keragaman produksi B. bronchiseptica telah tersebar di empat peternakan plasma nutfah pala di KP Cicurug. Hingga saat ini di babi di dua kabupaten di Jawa Tengah dengan seKP Cicurug terdapat 372 pohon pala dari 33 tipe ropositif tertinggi (77,8%) pada kelompok babi berberdasarkan daerah asal koleksi. Dari semua koleksi umur di atas 5 bulan. hanya 37 nomor yang berproduksi secara kontinu dan tujuh di antaranya mampu memberi hasil secara Hermanto kumulatif di atas 4.000 butir per pohon.
20
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 20 Tahun 2008