MAKALAH SEMINAR UMUM
POTENSI KONSERVASI IN SITU PLASMA NUTFAH PADI DI INDONESIA
Disusun Oleh: Imas Rita Sa’adah 06/194361/PN/10650 Dosen Pembimbing: Ir. Supriyanta, M.P.
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
INTISARI
POTENSI KONSERVASI IN SITU PLASMA NUTFAH PADI DI INDONESIA
IMAS RITA SA’ADAH 06/194361/PN/10650
Padi lokal merupakan salah satu sumber plasma nutfah keragaman genetik padi di Indonesia. Jumlah varietas lokal sebagian besar telah diganti oleh varietas-varietas unggul yang tidak banyak jumlahnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya erosi genetik yang tidak terpulihkan, apabila tidak diambil langkah-langkah untuk melestarikan padi lokal sebagai sumber plasma nutfah padi di Indonesia. Karya tulis ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana potensi konservasi in situ plasma nutfah padi di Indonesia. Konservasi in situ plasma nutfah padi merupakan bagian dari pengelolaan plasma nutfah padi di Indonesia. Konservasi in situ diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan spesies atau populasi plasma nutfah di habitat aslinya. Sekitar 11.520 varietas padi lokal belum terkarakterisasi dan terevaluasi, serta masih sekitar 11.575 varietas belum termanfaatkan dengan optimal dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Sifat dinamis konservasi in situ dapat menjadi sumber keragaman genetik terbarukan dan berkelanjutan serta terjaga kelestariannya, sehingga konservasi in situ merupakan strategi yang potensial untuk mempertahankan keragaman genetik. Kata kunci : plasma nutfah, konservasi in situ, padi lokal
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
…………………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN
………………………………………………………….ii
INTISARI
………………………………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………….
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan
…………………………………………………………. 1
…………………………………………………………………. 3
C. Kegunaan …………….. ………………………………………………... II.
iv
3
POTENSI KONSERVASI IN SITU PLASMA NUTFAH PADI DI INDONESIA A. Konservasi Bagian dari Kegiatan Pengelolaan Plasma Nutfah ………… 4 B. Konservasi Ex Situ dan In Situ
………………………………………………. 7
C. Potensi Konservasi In Situ dalam Pelestarian Plasma Nutfah III.
……… 9
PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………………
15
B. Saran ……………………………………………………………………..
15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….
16
LAMPIRAN ……………………………………………………………………………
19
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras sejak 1984. Salah satu tonggak utama dalam upaya mempertahankan swasembada beras adalah kegiatan pemuliaan tanaman yang telah menghasilkan dan mengembangkan varietas-varietas padi sawah maupun padi gogo yang lebih produktif dan adaptif. Upaya ini sekaligus merupakan usaha peningkatan gizi masyarakat dan pendapatan petani. Keberhasilan dalam menciptakan varietas baru padi tersebut tidak lepas dari peran plasma nutfah sebagai bahan keragaman genetik dan bahan dasar pemuliaan. Sebelum tahun 1970 sebagian besar petani padi di Indonesia menggunakan varietas lokal yang jumlahnya ribuan dan penyebarannya meliputi areal yang sempit sesuai dengan keadaan lingkungan yang berbeda. Varietas-varietas lokal ini telah ditanam oleh petani secara turun temurun sejak berabad-abad yang lampau dan telah beradaptasi pada berbagai kondisi lahan dan iklim. Selain itu, varietas lokal secara alami telah teruji ketahanannya terhadap berbagai tekanan lingkungan serta hama dan penyakit sehingga merupakan kumpulan sumberdaya genetik yang tak ternilai harganya. Walaupun kelihatannya varietas lokal masih mencakup sekitar 30% area tanam tahun 1979, namun jumlah varietas lokal sebagian besar telah diganti oleh varietas-varietas unggul yang tidak banyak jumlahnya, terutama pada sawah beririgasi dan areal yang dicakup oleh intensifikasi. Penananaman varietas lokal telah terdesak ke dataran tinggi, lahan kering dan sebagian lahan tadah hujan yang belum banyak menggunakan varietas unggul. Hal ini mengakibatkan terjadinya erosi genetik yang tidak terpulihkan, apabila tidak diambil langkahlangkah untuk melestarikan padi lokal (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat berkurang karena usaha manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru sehingga jenis-jenis lokal yang amat berguna akan terdesak bahkan dapat lenyap. Keadaan ini dapat menimbulkan bahaya cukup serius karena mengurangi ragam genotipa yang penting artinya bagi pemuliaan (Poespodarsono, 1988). Plasma nutfah merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan karena merupakan bahan pokok pemuliaan tanaman. Untuk mendukung program pemuliaan tanaman dalam menciptakan
varietas padi unggul diperlukan sumber gen yang tahan terhadap organisme pengganggu tanaman dan toleran terhadap cekaman lingkungan serta mempunyai potensi hasil tinggi dengan mutu baik. Untuk itu diperlukan plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas (Silitonga, 1988). Padi lokal merupakan salah satu sumber plasma nutfah keragaman genetik padi di Indonesia. Padi lokal memiliki banyak sifat keunggulan, seperti keunggulan spesifik lokasi hingga ketahanan terhadap hama dam penyakit. Untuk memperkaya atau menambah jumlah koleksi dapat dikatakan lebih mudah tetapi mepertahankan atau melestarikan keberadaaannya membutuhkan perhatian dan penanganan secara khusus. Dua macam cara konservasi banyak dilakukan yaitu konservasi in situ, yang merupakan bentuk konservasi sesuai bentuk aslinya, dan konservasi ex situ, yang merupakan bentuk konservasi yang bukan dalam bentuk aslinya. Konservasi ex situ yang baik pada dasarnya adalah memperpanjang jangka waktu hidup atau life span dari material yang diinginkan. Sehingga pada suatu ketika, biji-bij koleksi harus diperbaharui. Dengan demikian, dalam pelaksanaaannya jaminan untuk kelangsungan true variety nya harus mendapatkan perhatian, apalagi bila tanaman tadi merupakan tanaman yang cross pollinated dimungkinkan terjadinya genetik drift. Konservasi dengan tujuan untuk menghindari
terjadinya
kepunahan
suatu
tanaman,
konservasi
in
situ
lebih
tepat
(Mangoendidjojo, 1986). Melestarikan keanekaragaman hayati berarti dapat menolong untuk menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan. Dengan konservasi keanekaragaman tersebut, fleksibilitas untuk menghadapi perubahan di masa depan telah dipersiapkan, konsekuensinya Indonesia harus memikirkan antara pemakaian dan konservasi sumberdaya alam ini. Menghadapi tantangan
tersebut
perlu
segera
digalakkan
kesadaran
akan
keanekaragaman hayati sebagai aset nasional (Mangunjaya, 2006).
pentingnya
pelestarian
B. Tujuan Karya tulis ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana potensi konservasi in situ plasma nutfah padi di Indonesia. C. Kegunaan Karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal konservasi plasma nutfah padi di Indonesia, dan konservasi in situ plasma nutfah padi dapat dijadikan sebuah referensi baru yang patut dipertimbangkan dalam kegiatan konservasi plasma nutfah.
II.
POTENSI KONERVASI IN SITU PLASMA NUTFAH PADI DI INDONESIA A. Konservasi Bagian dari Kegiatan Pengelolaan Plasma Nutfah Pengelolaan plasma nutfah padi meliputi kegiatan berikut (Daradjat et al. 2008) : 1. Eksplorasi dan koleksi Eksplorasi dan pengumpulan plasma nutfah telah dilakukan di seluruh provinsi di Indonesia namun masih terbatas hanya pada daerah-daerah yang mudah dijangkau. Eksplorasi masih jarang dilakukan pada daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah rawa, pasang surut dan padi liar di pedalaman hutan karena membutuhkan dana yang banyak. Namun demikian, dalam rangka kerjasama badan litbang pertanian dengan IRRI, ORSTOM, dan Universitas Cornell (USA) eksplorasi spesies padi liar telah dilakukan di kabupaten Merauke dekat Taman Nasional Wasur.
Kegiatan tersebut telah berhasil mengoleksi
sejumlah spesies padi liar seperti O. officinali, O. longiglumis, dn lain-lain. Pada saat melakukan eksplorasi dan koleksi plasma nutfah, sejumlah informasi perlu dikumpulkan dan dicatat dalam formulir pengumpulan plasma nutfah padi (tabel 1). Informasi tentang daerah asal aksesi koleksi plasma nutfah padi yang tersimpan di Bank Gen BB Biogen disajikan dalam tabel 2 2. Rejuvenasi dan karakterisasi plasma nutfah Rejuvenasi adalah salah satu kegiatan dalam pengelolaan plasma nutfah yang bertujuan memperbaiki daya tumbuh (daya berkecambah) benih plasma nutfah yang telah mengalami deteriorasi akibat penyimpanan dalam jangka panjang. Dalam proses rejuvenasi tersebut aksesi plasma nutfah yang daya berkecambahnya <50% ditanam di lapangan. Bersamaan dengan proses rejuvenasi tersebut dapat dilakukan karakterisasi sifat morfologi dan agronomi tanaman. Karakterisasi sifat-sifat morfologi dan atau agronomi aksesi plasma nutfah didasarkan pada pedoman yang telah dikeluarkan oleh IBPGR atau UPOV. Berdasarkan pada daftar karakter (descriptor list) yang dikeluarkan oleh UPOV yang diadopsi oleh pusat perlindungan varietas tanaman departemen pertanian, karakteristik tanaman padi sebaiknya dilakukan terhadap 5 karakter tanaman (PVT, 2006).
Tabel 1. Formulir pengumpulan data plasma nutfah padi INFORMASI UMUM/DATA PASPOR No. koleksi : kolektor : Nama varietas : arti nama varietas : Tanggal :------------- --------------- --------------Hari Bulan Tahun Lokasi : Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan provinsi Tinggi tempat (dpl) : ……m lintang : ……U/S Bujur: ……..T/B Topografi : datar, bergelombang, bukit, pegunungan, rawa Ekosistem : dataran tinggi, dataran rendah, dan rawa (dalam dan dangkal) Tekstur tanah : berpasir, lempung, liat, berbatu, tanah organic Drainase : jelek, sedang, bagus, air berlebih Tipe pertanaman : sawah, tadah hujan, gogo, air dalam, rawa, pasang surut Status sampel : varietas lokal, liar, rumput Tipe sampel : biji, malai, tanaman Grup : cere, bulu, japonica, hibrida Nama petani : Fotoperiodisitas : sensitif dan tidak KARAKTERISITIK VARIETAS PETANI Deskripsi singkat (kata kunci) : Sifat penting : Umur : sangat genjah, genjah, sedang, dalam Rasa : nasi (pulen, sedang, dan pera) Pertukaran benih : Pengelolaan lingkungan yang spesifik : Issue gender :
Karakterisasi plasma nutfah selain didasarkan atas penampilan fenotip morfologi tanaman dilakukan juga dengan menggunakan markah molekuler mikrosatelit. Cara tersebut selain digunakan untuk membedakan satu aksesi dengan aksesi lain, juga dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara padi yang telah dibudidayakan dengan spesies padi liar. 3. Evaluasi plasma nutfah Evaluasi ketahanan/toleransi plasma nutfah terhadap hama, penyakit dan kondisi lahan yang sub-optimal dilakukan untuk memperoleh nilai aktual dari potensi plasma nutfah sebagai sumber gen keunggulan karakter tanaman. Evaluasi dilakukan sesuai dengan metode skrining baku untuk masing-masing karakter unggul yang menjadi target evaluasi. Informasi hasil
evaluasi dimasukkan ke dalam suatu pangkal data yang didata sesuai dengan sistem yang sudah baku speerti sistem informasi koleksi bank gen padi IRRI (IRGCIS). Tabel 2.Jumlah koleksi plasma nutfah padi di BB Biogen tahun 2008 ____________________________________________________________________ Provinsi Jumlah koleksi (aksesi) Nanggroe Aceh Darussalam 225 Sumatera Utara 175 Sumatera Barat 89 Jambi 7 Bengkulu 9 Riau 55 Sumatera Selatan 126 Lampung 53 Jawa Barat 645 Jawa Tengah 168 DI Yogyakarta 35 Jawa Timur 342 Bali 10 Nusa Tenggara Barat 16 Nusa Tenggara Timur 13 Kalimantan Barat 276 Kalimantan Timur 386 Kalimantan Tengah 28 Kalimantan Selatan 54 Sulawesi Utara 19 Sulawesi Tengah 34 Sulawesi Selatan 65 Sulawesi Tenggara 16 Maluku Utara 19 Papua 1+ padi liar (4) spesies Introduksi 253 Sumber : Daradjat et al. (2008) 4. Konservasi “Invasi “VUB (Varietas Unggul Baru) di sentra produksi padi, disinyalir telah menggeser kondisi alami ekosistem padi dari heterogen ke kondisi yang homogeni, sehingga sejumlah ras lokal, varietas lokal, dan atau spesies liar padi “hilang”. Plasma nutfah tersebut, merupakan sumber daya hayati yang memiliki nilai potensial dan aktual untuk kepentingan manusia, maka perlu konservasi (in situ dan ex situ).
B. Konservasi Ex Situ dan In Situ Kepunahan sumber keanekaragam hayati salah satu sebabnya adalah terjadinya pergeseran habitat oleh varietas unggul baru yang dikembangkan secara besar-besaran sehingga menggantikan kedudukan varietas lokal. Sebagai contoh keanekaragaman barley dan gandum di Asia bagian barat dan Asia tenggara, padi di Afrika tropis bagian barat, buah-buahan di Asia bagian barat dan Asia tenggara hampir sama sekali hilang dan punah (Soebekti, 1986). Berbicara mengenai penyusutan keanekaragaman hayati pertanian, seperti juga keanekaragaman hayati pada umumnya, keanekaragaman hayati pertanian mengalami penyusutan deras, baik di tingkat ekosistem, jenis, maupun di dalam jenis. Di antara ketiga tingkatan itu, penyusutan di dalam jenis yang paling tidak bisa terlihat dengan cepat. Sumber daya genetik yaitu keanekaragaman di tingkat dalam jenis, yang merupakan bahan mentah untuk perakitan varetas unggul itu, memang telah secara sistematis dikumpulkan dan dilestarikan dalam jaringan bank gen yang dikelola oleh FAO (Sastrapradja dan Widjaja, 2010). Dua macam cara konservasi banyak dilakukan yaitu konservasi in situ, yang merupakan bentuk konservasi sesuai bentuk aslinya, dan konservasi ex situ, yang merupakan bentuk konservasi yang bukan dalam bentuk aslinya. 1. Konservasi Ex Situ Konservasi ex situ adalah bentuk konservasi yang bukan dalam bentuk aslinya. Dalam konteks konservasi plasma nutfah padi, konservasi ex situ meliputi aktivitas koleksi contoh benih padi budidaya dan padi liar dari tempat asalnya dan menyimpannya dalam gene bank. Plasma nutfah dikemas dalam aluminium foil dan disimpan dalam ruang dingin dengan temperature 15 – 18oC (di ruang AC) untuk jangka pendek, temperature -5 – 0oC dan jangka menengah, temperature -20o C untuk jangka panjang. Seluruh plasma nutfah padi disimpan dalam ruang penyimpanan yang terdiri atas ( Silitonga, 2004): a. Satu unit chiller dengan ukuran 6 x 2 x 2 m (temperatur +10o C dan RH 45-50%). b. Satu unit chiller dengan ukuran 3600 x 2400 x 240 mm (temperatur 0o C dan RH 40%). c. Satu unit chiller dengan ukuran 2400 x 2400 x 2400 mm (temperatur 0o C dan RH 40%). d. Satu unit freezer dengan ukuran 6 x 2 x 2 m (temperatur -10o C dan RH 40%) e. Satu unit freezer ukuran 2400 x 2400 x 2400 mm (temperatur -18 – 20o C dan RH 40%).
f. Dua unit freezer dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 m (temperatur -4 – 0o C dan RH 80-90%). g. Enam unit freezer dengan ukuran 1280 x 891 x 690 mm (kapasitas 370 liter) dan temperature -18 – 20o C. Freezer ini digunakan untuk penyimpanan jangka panjang (>50 tahun). Seluruh alat penyimpanan tersebut ditempatkan dalam ruangan berukuran 13 x 12 m dengan temperature 15o C, yang dilengkapi dengan enam unit AC. Pendekatan konservasi ex situ, dalam upaya pelestarian makhluk hidup, menurut Taufik (2008) memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: a. minimnya jumlah jenis yang dikonservasi, karena terutama hanya berfokus pada mamalia, reptilia dan aves, sementara takson lain diabaikan b. membutuhkan pendanaan yang cukup besar, c. membutuhkan keahlian khusus, sehingga cenderung ekslusif dimana tidak semua orang mampu melakukannya, hanya yang memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu d. etika yang berkaitan dengan kesejahteraan hewan (animal welfare). Konservasi ex situ telah dilakukan dari tahun 1972. Konservasi plasma nutfah padi melalui bank gen secara ex situ merupakan cara pelestarian yang aman dan efisien (Ford-Llyod and Jackson, 1986). Namun konservasi dalam bank gen bersifat statis dan bukan satu-satunya cara untuk melestarikan keragaman genetik padi. Salah satu strategi pelestarian sebagai pelengkap bank gen adalah pelestarian di tempat asal (in situ conservation), di mana varietas lokal atau spesies liar atau populasi dapat lestari secara alami dan terus berkembang (Silitonga, 2004).
2. Konservasi In Situ Konservasi in situ adalah bentuk konservasi sesuai bentuk aslinya. Konservasi in situ plasma nutfah padi diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan spesies atau populasi plasma nutfah di habitat aslinya. Salah satu tipe konservasi in situ adalah konserasi on farm (lekat lahan). Daradjat et al.(2008) mendefinisikan konservasi on farm sebagai suatu konservasi yang memadukan sistem budidaya dan pengelolaan tanaman secara berkelanjutan dari suatu set populasi beragam yang dipertahankan oleh petani pada suatu agroekosistem dimana populasi
tanaman tersebut berada. Konservasi ini bersifat dinamis, karena di samping melestarikan, petani juga dapat mengembangkan varietas tersebut. Sifat dinamis ini terjadi sebagai akibat varietas yang dikelola petani terus menerus dipengaruhi oleh alam dan seleksi manusia. Sehingga konservasi on farm merupakan strategi potensial untuk mempertahankan keragaman genetik. Konservasi in situ memiliki kelemahan (Taufik, 2008): a. kebutuhan luasan yang cukup luas, saat ini sulit mengalokasikan lahan yang cukup luas agar tidak bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat setempat b. jaminan kelestarian populasi sulit dipertanggungjawabkan selama konflik sosial ekonomi masih ada.
C. Potensi Konservasi In Situ dalam Pelestarian Plasma Nutfah Salahsatu faktor utama yang mendukung keberhasilan usaha peningkatan produksi padi adalah penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit utama. Untuk itu mutlak diperlukan plasma nutfah padi yang menjadi sumber sifat genetik bagi perakitan varietas unggul. Plasma nutfah merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan karena merupakan bahan pokok pemuliaan tanaman. Untuk mendukung program pemuliaan tanaman dalam menciptakan varietas padi unggul diperlukan sumber gen yang tahan terhadap organisme pengganggu tanaman dan toleran terhadap cekaman lingkungan serta mempunyai potensi hasil tinggi dengan mutu baik. Untuk itu diperlukan plasma nutfah dengan kergaman genetik yang luas (Silitonga, 1988). Keragaman genetik suatu species tanaman dapat berkurang karena usaha manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru sehingga jenis-jenis lokal yang amat berguna akan terdesak bahkan dapat lenyap. Keadaan ini dapat menimbulkan bahaya cukup serius karena mengurangi ragam genotipa yang penting artinya bagi pemuliaan (Poespodarsono, 1988). Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai total keanekaragaman dan variabilitas sistem dan organism pada tingkat bioregional, lanskap (landscape), ekosistem dan individu pada berbagai tingkat organism dari spesies, populasi dan individu serta pada tingkat gen (Heywood,
1995), sedangkan IPGRI (1993) mndefinisikan sumber daya genetik sebagai bahan genetik tanaman yang memiliki nilai aktual dan potensial sebagai suatu sumber bahan perbaikan varietas untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Hawkes et al.(2000) mengelompokkan bahan genetik tanaman tersebut menjadi beberapa golongan: a. Bentuk-bentuk primitif tnaman budidaya atau varietas lokal, merupakan hasil pertanian tradisional yang berkembang dengan menggunakan praktek pertanian tradisonal b. Varietas modern adalah plasma nutfah yang penting ketika varietas ini sudah tidak beredar lagi di masyarakat c. Varietas yang tidak terpakai lagi, adalah varietas yang dihasilkan oleh pemulia yang sudah tidak memiliki nilai komersial tetapi masih memilliki gen yang berguna untuk pemuliaan d. Galur pemuliaan atau stok genetik, yaitu materi yang digunakan untuk membentuk varietas modern dengan cara pemuliaan tanaman atau seleksi e. Ras gulma adalah kelompok tumbuhan yang terjadi sebagai bagian dari kompleksitas tanaman-gulma di dalam pusat gen atau dimanapun juga. Gulma ini mungkin memiliki gen yang berguna dari spesies padi liar. f. Kerabat spesies liar, adalah kelompok tanaman yang terbentuk di daerah pusat gen tanaman yang dibudidaya atau tidak dibudidaya g. Spesies liar lainnya, adalah spesies tanaman yang memiliki nilai guna untuk manusia sebagai tanaman obat, estetika, dan berguna untuk pemulia tanaman di masa yang akan datang karena mungkin memiliki gen yang mungkin tidak tersedia pada tanaman yang telah dibudidayakan. Padi varietas lokal telah ditanam oleh petani secara turun temurun dan telah beradaptasi pada berbagai kondisi lahan dan iklim. Selain itu, varietas lokal secara alami telah teruji ketahanannya terhadap berbagai tekanan lingkungan serta hama dan penyakit sehingga merupakan kumpulan sumberdaya genetik yang tak ternilai harganya (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Dalam perkembangannya, varietas lokal semakin terdesak perkembangannya karena meluasnya penanaman varietas unggul, hal ini mengakibatkan bergesernya bahkan punahnya
sejumlah varietas lokal yang memiliki daya adaptasi spesifik pada kondisi tertentu, sebagaimana dikenal sebagai erosi genetik (Silitonga, 1998). Pada tahun 1987, varietas padi lokal yang telah dikoleksikan berjumlah 11.690 nomor yang terdiri atas 8.851 nomor padi sawah, 2.134 nomor padi gogo dan 705 nomor padi rawa. Sebagian besar terdiri dari varietas padi golongan cere yaitu 9.034 nomor dan selebihnya yaitu 2.656 nomor termasuk golongan bulu (tabel 2). Tabel 2. koleksi varietas padi lokal, 1970-1987 Propinsi Golongan Adaptasi _______________ ___________________________ Bulu Cere Sawah Gogo Rawa Jumlah Jawa Barat 644 1378 1810 212 2.022 Jawa Tengah 389 887 1146 119 1.276 DI Yogyakarta 58 215 155 118 273 Jawa Timur 540 866 1257 140 9 1.406 DKI Jakarta 3 7 6 4 10 DI Aceh 64 482 514 17 15 546 Sumatera Utara 56 1123 1144 28 7 1.179 Sumatera Barat 11 485 243 225 28 496 Riau 10 344 161 133 60 354 Jambi 12 378 205 10 175 390 Bengkulu 3 171 132 42 174 Sumatera Selatan 209 256 437 28 465 Lampung 124 448 280 290 2 572 Kalimantan Barat 11 440 269 103 79 451 Kalimantan Tengah 11 222 116 45 72 233 Kalimantan Selatan 13 418 160 32 239 431 Kalimantan Timur 9 433 200 234 8 442 Bali 185 47 205 27 232 NTB 225 122 230 117 347 NTT 78 78 224 119 183 302 Maluku 18 82 56 27 83 Irian Jaya 6 6 6 ______________________________________________________________________________ Jumlah 2.656 9.034 8.851 2.134 705 11.690 ______________________________________________________________________________ sumber : Siwi dan Kartowinoto, 1989 Hasil karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah padi pada tahun 2001, telah diketahui beberapa varietas yang mempunyai sifat genjah, bentuk tanaman pendek, malai panjang, jumlah butir isi per malai banyak, bobot 1000 butir > 30 g, serta tahan terhadap ceakaman biotik dan
abiotik (tabel 3). Namun baru sekitar 170 varietas yang terkarakterisasi dan terevaluasi sifatsifatnya. Tabel 3. plasma nutfah padi yang memiliki sifat tahan/toleran-agak toleran terhadap cekaman biotik dan abotik Tahan/toleran Wereng coklat
Varietas Mudgo, Babawee, Ptb 18, Ptb 19, Ptb 21, Ptb 33, Rathu heenati, Kencana Bali, TKM 6, Paedai Kalibunga, Paedai Ngulahi, Sinna Sivappu, ASD 7, IR 56, IR 68, IR 70, IR 72, Barumun, Membramo, O. officinalis, IR 54742-23-1-29-3, O. minuta, O. autraliansis, dan O.eichingeri Wereng hijau IR 8, ASD 8, ASD 9, Ptb 2, Ptb 8, Ptb 18, Ptb 33, Pankhari 203, Utri Merah, Utri Rajapan, ARC 10342, Habiganj, DW 8, Mondai, Gampai 30-12-5, Malimau Putih, O. officinalis, O. minuta, dan O. eichingeri Wereng Punggung putih Bahbolon, Citandui, N 22, Colombo, O. officinalis, O. minuta, dan O. echingeri Penyakit blas Pinang Merah, Pinang Bunga, Pinang Gendok, Si Rias, Si Tendek, Si Rapot, Si Bidang, Si pelang, Mamisi, Padi Sapar, Cimanuk dan Bengawan Solo Hawar daun jingga Bonti, Padi Bayan, Padi Lanbaw, Pinang Merah, Segon Omas, Pare Cere, Padi Baru, Cere Marahmay, Cere Makmur, Si Gabe, Pasawar, RP 1837, Abadi dan Bengawan Solo Hawar daun Bakteri No. registrasi 19185, 19193, 19197, 19199, 19200, 19201, 19202, 19214, 19222, 19259, 19277, 19289, 19313, 19339, 19365, 19366, 19628, 19720, 19732, 19784, 19785a, 19890, 19912, 19935, 19974, 20068, 20264, 20277, 20303, 20324, 20329, 20340, 20343, 20353a, 20465, 20583, 20595, Brentel (reg 3734), Tomat, Benang (reg 5456), Mayor, Segon, Darat, Sempor, Lelek, Si Dapat, Si Gypai, Si Rakap, si Tangke Mas, dan Si Kedah. Virus Tungro Peta, Sigadis, Gampai, IR 34, DA c4-63 Virus kerdil rumput O. nivara, O. latifola, dan si Topas Kekeringan Bawang putih, Dara Muda, Kapai, Si Kopah, Sasak Jalan, Ketan Leler, Luput Sippa, Padi Lilin, Kwatik Kundur, Muntul, Rangkuh, Pangraman, Leukat Adang, Leukat Idi, NC 490, Si Dapet, Humbang Inai, Umbang Kencana, Muncul, Taring Manjangan, Cabacu, Langke, Hawara Bunar, Cantik Mas, Sereh, dan Irian Naungan B995D-Si-72-3, Bpj 76, G288-Si-11-267, BG-C-MD-3-3, Kencana, Angkeng, Sidomuncul, Ketan Tarling, Ketan Tawa, dan B529C-MD-3-6 Kemasaman tanah Kuku Balam, Si Pelang, Manusen, Lelak, Kuning, Ketan Keong, Bangban, dan Singkut Sumber : Silitonga et al., 2001
Dalam program pemuliaan padi nasional hingga tahun 2004, varietas lokal banyak digunakan sebagai donor gen sifat mutu baik (rasa nasi enak, aromatic), ketahanan terhadap hama dan penyakit utama (wereng coklat, hawar daun bakteri, tungro dan sebagainya) dan toleransi terhadap cekaman abiotik. Tetua yang digunakan dalam program persilangan padi tersaji dalam tabel 4. Tabel 4. plasma nutfah padi yang telah dimanfaatkan dalam program persilangan Tujuan perbaikan Tetua Cekaman Biotik Wereng coklat Ptb 18, Ptb 19, Ptb 21, Ptb 33, Rathu heenati, IR54742-23-1-29-3, Mudgo, Babawee, Barumun, IR 56, IR68, IR 70, IR 72, Membreamo, TKM6, O. officinalis, Kencana Bali, Paedae Kalibungga, dan Paedae Nggulahi Wereng hijau/tungro Balimau Putih, Utri Merahdan Utri Rajapan, PTB8, PTB18, PTB33, Pankhari Ganjur Siam-29 dan Muay Nangh (Acc4375) Hawar daun bakteri IRBB5, IRBB7, DV-8, Pelita I1, Cisadane, Aceh-aceh, RP1837175-3-2, Baso, Sipulut, Lemo, Si Topas, Siredep, Bengawan, Papah Aren, dan Rojolele Blas Tetep, Tadukan, CAN-4140, Carreon, Lagas, Arias, Klemas, Sirendah, Sibuah, Cartuna, Dular, dan Genjah Lampung Kerdil rumput Si Topas Cekaman abiotik Kekeringan Gajah Mungkur, Kalimutu, ITA257-MP7-B2, Salumpikit, Centro America, Cabacu, ICOX1-A-58, ICOX1-B-66, Lagos dan Tera Suhu rendah Silewah, Pratao, Progal, dan Lengkuwang Naungan Jatiluhur dan B6842E-TB-3 Keracunan Al IRAT144, IRAT303, hawarabunar, IAC-1246, Azucena, IRAT351, IRAT 352, dan IRAT 379 Keracunan Fe Mahsuri, BW-267-3, KDM105, Batang Ombilin, Kapuas, dan Kuatik Putih Submergence FR13A dan Mahakam Kegaraman Pokkali, Nona Bokra, Pucuk, PelitaI/1, dan Bayar Putih Umur genjah NDR308, CINA V, Gajah Mungkur, ITA257-MP7-B2, dan B6.750 Mutu beras Bengawan, Sintha, Rojolele, Sukamandi, Genjah Lampung, Seratus Malam, IR841, IR64, KDM 105, Cabacu, Barumun, Bengawan Solo, Cisadane, Memberamo, Cibodas, Gilirang, Fatmawati, Ciherang Sumber : Daradjat et al., 2008 Jika kita evaluasi, dari koleksi varietas lokal tahun 1987 yang berjumlah 11.690 nomor baru terkarakterisasi dan terevaluasi sekitar 170 varietas pada tahun 2001. Dari sekitar 170
varietas tersebut, yang dimanfaatkan sebagai tetua atau donor gen untuk program persilangan hingga tahun 2004 berjumlah 115 varietas. Sehingga masih ada sekitar 11.520 varietaspadi lokal yang belum terkarakterisasi dan terevaluasi, dan masih sekitar 11.575 varietas yang belum termanfaatkan dengan optimal dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Agar terjaga keberadaan dan kelestariannya, dibutuhkan kegiatan pelestarian atau konservasi terutama untuk varietas-varietas lokal yang merupakan bahan pokok kegiatan pemuliaan tanaman, namun keberadaannya mulai terancam. Konservasi in situ yang merupakan pemeliharaan spesies atau populasi plasma nutfah di habitat aslinya, sesuai bila diterapkan pada pelestarian padi lokal yang memiliki karakter spesifik lokasi. Konservasi in situ ataupun konservasi on farm, memadukan sistem budidaya dan pengelolaan tanaman yang dipertahankan oleh petani pada suatu agroekosistem dimana populasi tanaman tersebut berada. Sehingga varietas lokal dilestarikan pada habitatnya dengan sistem budidaya dan pengelolaan tanaman tersendiri sesuai kebiasaan dan tradisi petani. Dalam konservasi in situ, faktor alam seperti mutasi dan seleksi dapat mengubah bentuk dan penampilan tanaman. Selain itu, petani juga dapat mengembangkan varietas tersebut di samping melestarikannya. Hal inilah yang menimbulkan dinamika dalam konservasi in situ. Sifat dinamis konservasi in situ ini yang kemudian menjadi sumber keragaman genetik terbarukan dan berkelanjutan serta terjaga kelestariannya karena berada pada habitat aslinya. Oleh karena itu, konservasi in situ ataupun koservasi on-farm merupakan strategi yang potensial untuk mempertahankan keragaman genetik. Namun demikian sedikit sekali pengetahuan hubungan antara jumlah varietas yang dikelola petani dengan macam pengelolaan yang diberikan, dan antara keragaman genetik yang ada di dalam agrekosistem dengan perubahan evolusioner yang mungkin terjadi (Nafisah et al. 2008). Oleh karena itu masih dibutuhkan banyak kegiatan eksplorasi lapangan dalam upaya menginventarisasi keragaman varietas padi yang dikelola petani dalam rangka upaya konservasi in situ.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konservasi in situ plasma nutfah padi merupakan bagian dari pengelolaan plasma nutfah padi di Indonesia. 2. Konservasi in situ diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan spesies atau populasi plasma nutfah di habitat aslinya. 3. Sekitar 11.520 varietas padi lokal yang belum terkarakterisasi dan terevaluasi, serta masih sekitar 11.575 varietas yang belum termanfaatkan dengan optimal dalam kegiatan pemuliaan tanaman. 4. Sifat dinamis konservasi in situ dapat menjadi sumber keragaman genetik terbarukan dan berkelanjutan serta terjaga kelestariannya, sehingga konservasi in situ merupakan strategi yang potensial untuk mempertahankan keragaman genetik B. Saran Kegiatan konservasi plasma nutfah padi di Indonesia sebaiknya tidak hanya terfokus pada konservasi ex situ saja, yang menelan biaya cukup besar karena membutuhkan peralatan yang modern, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan konservasi in situ, terutama untuk varietas yang spesifik lokasi seperti padi lokal. Serta diperlukannya kegiatan penelitian terkait data konservasi in situ di lapangan dan varietas yang berkembang disana.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, A.A, S. Silitonga, dan Nafisah. 2008. Ketersediaan Plasma Nutfah untuk Perbaikan Varietas Padi dalam Padi Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. Ford-Lloyd, B. and M. Jackson. 1986. Plant Genetic Resources: An Introduction to Their Conservation and Use dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 10 (2): 56-71. Hawkes, J.G., N. Maxted, and B.V. Ford-Lloyd. 2000. The Ex Situ Conversation of Plant Genetik Resources dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. Heywood, V.H. (Ed).1995. Global Biodiversity Assessment dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. IPGRI. 1993. Diversity for Development dalam Keragaman Genetik dan Upaya Pemanfaatannya dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. Mangoendidjojo, W. 1986. Plasma Nutfah dan Pelestariannya. Dikemukakan dalam pertemuan DRN, Kelompok I BUTSARMAN Sub kelompok pangan dan gizi, 25-26 Juni 1986 di Jakarta. Mangunjaya, F.M. 2006. Hidup Harmonis dengan Alam. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Nafisah, A.A.Daradjat, dan S. Silitonga. 2008. Keragaman Genetik dan Upaya Pemanfaatannya dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemulian Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB Bogor. PVT. 2006. “Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Padi” PVT/PPI/I/I dalam Ketersediaan Plasma Nutfah untuk Perbaikan Varietas Padi dalam Padi Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subang. Sastrapradja, S.D dan E. A. Widjaja. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan pangan. LIPI Press, Jakarta. Silitonga, T.S. 1988. Konservasi dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi dalam Padi Buku 1. Badan Penelitian dan Pengemabangan pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Silitonga, T.S. 1998. Pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah padi di Indonesia. Warta Plasma Nutfah Indonesia (5): 6-8. Silitonga, T.S, S.G. Budiarti, S.A Rais, dan Asadi. 2001. Sumberdaya Genetik untuk Perbaikan dan Perakitan Varietas Unggul Baru Tanaman Pangan. Buletin Plasma Nutfah 7(1): 26-39. Silitonga, T.S. 2004. Pengelolaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Padi di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 10 (2): 56-71. Siwi, B.H. dan S. Kartowinoto. 1989. Plasma Nutfah Padi dalam Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengemabangan pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Soebekti. 1986. Sumber Plasma Nutfah, Kegunaan dan Pelestariannya dalam Kajian Keragaan Beberapa Varietas Lokal Padi Gogo dan Kemungkinan Pemanfaatannya dalam Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Taufik. 2008. Konservasi di lahan budidaya (on farm conservation) sebuah alternatif upaya konservasi.
dan-lustrum/konservasi-di-lahan-budidaya-on-farm-conservation-sebuah-alternatifupaya-konservasi> Diakses 29 Maret 2012
LAMPIRAN
HASIL DISKUSI SEMINAR UMUM Ruang Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman Rabu, 20 Juni 2012 1. Tika Pertanyaan
:
a. Di Indonesia, daerah mana saja yang mengadakan konservasi in situ?
Jawaban
:
a. Sepengetahuan penyaji, belum ada referensi dan publikasi tentang program konservasi in situ secara resmi dari pemerintah, sehingga belum ada daerah khusus untuk program konservasi in situ di Indonesia. Namun untuk penanaman padi lokal, jika dapat dimasukkan sebagai kegiatan konservasi in situ juga, telah dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia, tiap provinsi masih memiliki bagian daerah yang menanam padi lokal. Contohnya pada tahun 1987, daerah Bandung memiliki 27% dari total lahan pertanamn padi yang ditanami padi lokal (Siwi dan Kartowinoto, 1989).
2. Eni Dwi Pertanyaan
:
a. Apa kelemahan dan kelebihan konservasi in situ? b. Apa sebenarnya tujuan utama dari konservasi in situ dan upaya pelestarian lainnya?
Jawaban
:
a. Kelemahan dari konservasi in situ diantaranya : kebutuhan luasan yang cukup luas, dan jaminan kelestarian populasi sulit dipertanggungjawabkan selama konflik sosial ekonomi masih ada. Kelebihan dari konservasi in situ, diantaranya: bersifat dinamis (secara genetik dan sosial), melibatkan keaktifan petani, lebih mudah sehingga pada umumnya bisa dilakukan semua orang, dan menurut Mangoendidjojo (1986) konservasi in situ lebih tepat terutama untuk konservasi dengan tujuan menghindari terjadinya kepunahan suatu tanaman.
b. Tujuan utama dari konservasi in situ dan kegiatan pelestarian pada umumnya adalah untuk menjaga agar materi genetik dan keragamannya tetap ada dan terjaga, sehingga pada suatu saat ketika dibutuhkan dan pada kondisi tertentu di masa depan, materi tersebut dapat dimanfaatkan khususnya dalam kegiatan pemuliaan tanaman.
3. Isma Pertanyaan
:
a. Bagaimana solusinya, apakah masih mungkin menjalankan konservasi in situ, melihat dua kendala yang sangat besar, yaitu kendala terkait penyediaan lahan dan kendala konflik sosial petani terkait pemahaman petani tentang pentingnya keanekaragam plasma nutfah yang masih minim?
Jawaban
:
a. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dan juga target ke depannya, adalah dimulai dari pembentukan pola pikir masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa makanan pangan utama adalah beras varietas unggul, harus dicoba untuk memberikan alternatif jenis makanan pangan, yang masih banyak jenis dan macamnya dan beras lokal dapat mulai dikenalkan disana. Sehingga pola tanam masyarakat pun akan mulai memikirkan untuk pembudidayaan padi lokal spesifik daerah tersebut, dan kegiatan budidaya dapat sekaligus berfungsi sebagai kegiatan pelestarian. Kedua melalui pembentukan kebijakan, misalnya pengenalan konsep konservasi in situ dan pentingnya pelestarian plasma nutfah kepada petani, serta dapat menimbang kembali kebijakan kewajiban penanaman varietas unggul baru di kalangan petani.