Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
PERFORMANS REPRODUKSI DAN PENGELOLAAN SAPI POTONG INDUK PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT LUKMAN AFFANDHY1, P. SITUMORANG2, P. W. PRIHANDINI1, D. B. WIJONO1 dan A. RASYID1 1
2
Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor, 16002
ABSTRACT Cows Management and its Reproductive Performance on Farmers Level The productivity of beef cattle was increased by improving reproductive efficiency of local breed or crossbreed, which are good and have distributed at smallholder farmers. The aim of research was to evaluate performance and management reproductive of beef cattle on farmers, especially PO cattle and their crossbreeding produced Simmental or Limousine bull. The research was conducted in East Java, Central Java and DIY. The survey was done and periodically monitored on smallholder farmer condition. The data observation was conducted by interviews with questioners to respondents and other information sources as Rapid Rural Appraisal. The data were recorded as following: performance, management, and efficiency factor of reproductive. The data were analyzed as descriptive and average value for parametric data. The result showed that, the puberty of Simmental and Limousine crossbred were 15,5 ± 2.7 and 14.4 ± 3.5 months at low land faster than Simmental and Limousine crossbred (19.8 ± 5.4 and 18.5 ± 5.9 months) at high land or PO (23.9 ± 9.2 and 22.9 ± 7.2 months) at high and low land area, respectively. The performance of reproductive between genotype/breed were not different, however the APP, Days open, S/C and calving interval of cows at low land were lower than the cows at high land area. The weaning of calves at high land were 6-7 months and the free suckling was 95-100%, whereas at low land area was 14-17% restricted suckling with 3-4 times per days. The abilities and skills of farmers is enough. It was concluded that, the performance reproductive of PO cows on smallholder farmers was lower compared with crossbreed cows (Simmental and Limousine) with separated model of suckling was free suckling. Key words: Cows, management, performance of reproductive
PENDAHULUAN Produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksinya, antara lain dengan meningkatkan kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak dan memperpanjang masa produksi serta mengoptimalkan pengelolaan program perkawinan, guna penyediaan bakalan. Sapi-sapi hasil silangan, banyak disenangi oleh peternak karena pertumbuahnnya cepat dan harganya tinggi (M ISTO, komunikasi pribadi; YUSRAN et al., 2001) dan keunggulan lain, seperti bobot lahir, bobot sapih, kawin post partus dan jarak beranak yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lainnya di Indonesia (SIREGAR et al., 1999; TAMBING et al., 2000). Pemerintah Jawa Timur memprogramkan inseminasi Buatan Sejuta Akseptor Sapi (INTAN SEJATI) dengan memanfaatkan IB dari bibit unggul bangsa Simmental dan Limousin (A MIRULLAH, 2000), karena sapi bakalan turunan bangsa sapi Simmental dan Limousin lepas sapih harga jualnya mencapai Rp. 3.500.000,00 (YUSRAN et al., 2001). Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi potensi keragaan reproduksi bangsa – bangsa sapi lokal dan hasil silangannya pada peternakan rakyat.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keragaan reproduksi adalah managemen penyapihan pedet, diantaranya disapih sampai umur delapan bulan (SUMADI dan M UKIJA, 1998). Adanya pembatasan susu pedet tersebut dapat berpengaruh terhadap tampilan reproduksi induk selama periode pra-sapih selama 90 hari post partus, terutama lama periode anestrus post partus (GOODWIN et al., 1996; A FFANDHY et al., 1998; A FFANDHY et al., 2001) dan memperpanjang terjadinya ovulasi setelah beranak (LAMB et al., 1997). Demikian pula frekuensi penyusuan akan menstimulus kelenjar mammae (mammary gland) dan berhubungan dengan sekresi lute tropic hormone (LTH) yang dapat mengganggu corpus luteum sehingga menghambat terjadinya anestrus post partus (BEARDEN dan FUQUAY, 1980; DJANUAR, 1985). Selain itu, efisiensi reproduksi yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan ekternal yang berkaitan dengan pengelolaan reproduksi, kondisi induk, kualitas ransum dan daya beli peternak untuk straw unggul, rendah (YUSRAN et al., 2001). Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang baik yang mendukung program pemuliaan. Untuk itu survei pendahuluan potensi biologis dan pengelolaan efisiensi reproduksi ini dilakukan.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
37
____________________________________________________________________________________________________________________
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh keragaan reproduksi berbagai bangsa sapi potong induk peternakan rakyat sebagai dasar perencanaan pengelolaan reproduksi usaha sapi potong pada berbagai agroekosistem, guna peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan 400 ekor induk/dara sapi potong milik petani dan melibatkan 250 responden di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY selama satu tahun (Januari-Desember 2002) Tabel 1. Jenis sapi potong yang diamati adalah bangsa sapi potong lokal (Peranakan Ongole/PO) dan hasil silangannya (Simmental dan Limousin). Penelitian dilakukan menggunakan metode survei pada lokasilokasi di dataran rendah < 200 m dpl dan tinggi > 400600 m dpl. Data dikumpulkan dengan observasi langsung terhadap kondisi fisiologis dan biologis reproduksi sapi, serta wawancara dan monitoring berkala menggunakan kuisioner terhadap responden maupun sumber-sumber informasi yang terkait (Inseminator dan Dinas Peternakan) dengan menggunakan teknik Rapid Rural Appraisal. Data meliputi keragaan reproduksi ternak (umur pubertas, post partum anestrus/APP, services per copception, conception rate, days open,calving interval, model penyapihan pedet dan umur sapih), dan faktorfaktor yang mempengaruhi pengelolaan efisiensi reproduksi (keterampilan/pengetahuan peternak, ketersediaan fasilitas perkawinan, respon peternak dan
kondisi sapi induk). Cara pengukuran/pengambilan sampel untuk umur sapi dengan melihat struktur gigi I0 , I1 , I2 , I 3 dan I4 atau melihat pada kartu IB di peternak, sedangkan keragaan reproduksi, yaitu kesuburan ternak conception rate (CR) (%) = Jumlah ternak yang bunting /jumlah ternak yang dikawinkan X 100; S/C) = jumlah kali perkawinan/jumlah ternak bunting; APP (berahi pertama setelah melahirkan = hari). Data yang diperoleh dianalisis dan diinterprestasikan secara deskriptif dan perhitungan nilai rata-rata untuk data yang bersifat parametrik. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendidikan dan pengalama peternak Umumnya tingkat pendidikan peternak di daerah dataran rendah dan tinggi adalah 37,9-38,6% dan 26,548,0% berpendidikan SD ke bawah, pengalaman beternak sapi potong mencapai 67,5-74,4% adalah sudah berpengalaman memelihara sapi potong lebih dari 10 tahun (Tabel 1). W IRDAYATI dan BAMUALIM. (1994) menyatakan bahwa rendahnya ilmu pengetahuan, miskinnya pengalaman menyebabkan tidak efisiensinya kinerja reproduksi. Salah satu cara yang mudah menerapkan konsep alternatif tentang perbaikan pengelolaan reproduksi sapi potong induk, yaitu dengan jalan langsung memberi contoh terhadap peternak tersebut di lapang dan hasilnya selalu dicatat dan didiskusikan secara partisipatif (GUNTORO 2001). Pengetahuan reproduksi pada responden disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 1. Lokasi dan responden menurut ketinggian Ketinggian (m dpl)
Desa/Kecamatan
Kabupaten
Propinsi
400-600
Tanggung/Padang
Lumajang
Jawa Timur
Jumlah responden 38
<200
Japanan/Gudo
Jombang
Jawa Timur
19
<200
Kayangan/Diwek
Jombang
Jawa Timur
11
<200
Sonoagung/Prambon
Nganjuk
Jawa Timur
22
>600
Sumberputih/Wajak
Malang
Jawa Timur
39
<200
Muktisari/Margorejo
Pati
Jawa Tengah
12
<200
Sumurboto/Jepon
Blora
Jawa Tengah
20
<200
Sumberejo/Ambulu
Jember
Jawa Timur
20
<200
Lojejer/Wuluhan
Jember
Jawa Timur
11
<200
Wringinanom/Asembagus
Situbondo
Jawa Timur
18
<200
Sudimulyo/Nguling
Pasuruan
Jawa Timur
18
>400
Batang Cilik/Tempel
Sleman
DIY
22
dpl (dari permukaan laut)
_____________________________________________________________________________________________ 38
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Peternak sebagian besar menyatakan bahwa program IB (60%) sudah mantap dengan taksiran biaya IB relatif sedang (60%) dan pilihan bibit semen beku pejantan unggul yang paling disenangi peternak adalah pejantan Limousin di wilayah dataran rendah dan pejantan Simmental di wilayah dataran tinggi. Namun peternak di dataran rendah 33% menyatakan bahwa straw unggul masih mahal dan umumnya daya beli peternak di dataran rendah juga rendah (Tabel 2). Hal ini sama dengan laporan YUSRAN et al. (2001) menyatakan bahwa daya beli peternak untuk straw unggul rendah sehingga masih ada sebagian peternak yang mengawinkan sapinya dengan pejantan secara alam yang disewakan oleh pemiliknya. Hal serupa dilaporkan pula oleh SUMADI dan M UKIJA (1998), bahwa sapi potong di daerah Gunung Kidul (DIY) perkawinan alam, IB dan kombinasi masing-masing adalah 47, 34 dan 19%. Pengetahuan responden tentang gejala berahi Pengetahuan peternak di dataran rendah dan tinggi mengenai berahi dan perkawinan sudah memadai dengan deteksi gejala/tanda berahi 100% dan siklus berahi antara 63-65% (Tabel 3). Namun peternak di dataran rendah (44%) mengawinkan sapi induknya pada
sore hari yang memungkinkan keterlambatan perkawinan dan berpengaruh terhadap S/C. Keragaan dan pengelolaan reproduksi sapi induk/dara Informasi keragaan dan pengelolaan reproduksi sapi potong induk/dara berbagai bangsa pada kondisi peternak di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta disajikan dalam Tabel 4. Sapi silangan Simmental dan Limousin di dataran rendah lebih cepat mencapai umur pubertas (15,5 ± 2,7 dan 14,4 ± 3,5 bulan) dibandingkan dengan sapi Simmental dan Limousin di dataran tinggi (19,8 ± 5,4 dan 18,5 ± 5,9 bulan) maupun sapi PO di dataran tinggi dan rendah (23,9 ± 9,2 dan 22,9 ± 7,2 bulan). Lebih cepatnya umur pubertas terutama pada sapi induk silangan Simmental dan Limousin disebabkan oleh bangsa, selain faktor iklim, makanan, dan tingkat pelepasan hormon (FRANDSON, 1992); dengan demikian sapi silangan bangsa sapi Bos taurus memiliki dewasa kelamin lebih cepat daripada Bos indicus, seperti yang dilaporkan oleh TAMBING et al.(2000), yang menyatakan bahwa hasil silangan keturunan antara sapi Bali dengan Bos taurus dari bangsa Simmental dan Limousin memiliki umur pubertas masing – masing adalah 19,07 ± 3,78 dan 22,0 ± 5,66 bulan.
Tabel 2. Pendidikan dan pengalaman peternak sapi potong Agroekologi
Uraian dataran rendah 165
dataran tinggi 86
<SD (%)
37,9
26,5
SD (%)
38, 6
48,0
SLTP (%)
15,0
13,3
SLTA (%)
7,2
12,2
>SLTA (%)
1,3
0,0
< 10 tahun (%)
32,5
25,.6
> 10 tahun (%)
67,5
74,4
Kondisi sapi-sapi induk
kurus-sedang
kurus-sedang
Jumlah peternak (orang) Pendidikan peternak
Pengalaman peternak
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
39
____________________________________________________________________________________________________________________
Tabel 3. Presepsi peternak tentang program Agroekologi Uraian Jumlah peternak (orang) Respon peternak terhadapIB Mantap (%) Belum (%) Pemilikan kartu IB: Memiliki (%) Tidak (%) Pelaporan ke inseminator Langsung Telpon Pos IB/kotakIB Respon Biaya IB Murah (%) Sedang (%) Mahal (%) Urutan pemilihan pejantan unggul Limousin (%) Simmental (%) Ongole (%) Brahman (%) Angus (%) * Pilihan ke-1 dan ** pilihan ke-2
dataran rendah
dataran tinggi
165
86
67,6 32,4
67,5 32,5
31,9 68,1
44,7 55,3
62,8 16,3 20,9
84,3 03,9 11,8
20,3 50,8 32,6
41,7 50,0 8,3
41,7 * dan 34,8** 33,3* dan 22,7** 17,4* dan 12,2** 04,5* dan 13,6** 03,1* dan 16,7**
47,0* dan 25,0** 51,0 *dan 62,5** 00,0 *dan 08,3** 10,0 *dan 00,0** 01,0 *dan 04,2**
Tabel 4. Pengetahuan diteksi berahi pada sapi potong di tingkat peternak Uraian Jumlah peternak (orang) Pengetahuan berahi peternak Diteksi berahi pagi: Dikawinkan langsung (%) Dikawinkan siang (%) Dikawinkan sore (%) Diteksi berahi sore: Dikawinkan langsung (%) Dikawinkan besuk pagi (%) Dikawinkan besuk siang/sore (%) Diteksi lama berahi (jam) Diteksi jarak berahi: 18 – 23 hari (tepat) (%) <18 atau >23 hari (kurang tepat) (%) Tanda-tanda berahi (%)
Agroekologi dataran rendah 165
dataran tinggi 86
24,6 21,2 44,2
25,7 35,7 39,2
65,2 12,7 22,1 4 - 14
18,8 70,3 10,9 11 – 19
64,6 25,4 100
63,3 36,7 100
_____________________________________________________________________________________________ 40
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Tabel 5. Keragaan dan pengelolaan reproduksi berbagai genotipe sapi
PO
Parameter
Umur pubertas (bulan) Anestrus post partus (hari) Days open (hari) Services/conseption: Kawin alam Kawin suntik/IB Calving rate (%) Kawin alam Kawin suntik/IB Calving interval (bulan) Penyapihan Bebas (%) Terbatas (%) Umur sapih (bulan) Skor kondisi tubuh induk DR: Dataran rendah DT: Dataran tinggi
Genotipe sapi potong Limousin X PO DR DT N=42 N=50 14,4±3,5 18,5±5,9 90,0±43,5 125,7±64,1 103,4±36,5 169,7±59,8
Simmental X PO DR DT N=32 N=49 15,5±2,7 19,8±5,4 80,7±38,0 100,7±47,7 156,0±49,3 157,0±64,0
DR N=292 22,9 ±7,2 88,0±42,7 153,1±67,6
DT N=62 23,9±9,2 117,6±55,8 164,6±54,9
1,7±0,9 2,2±1,1
2,1±0,9 2,0±1,6
1,9±0,9
2,1±1,0
1,5±0,7 2,1±0,6
2,1±1,1
57,9 44,8 15,5±2,6
48,6 50,0 17,5±3,5
50,9 15,3±0,6
48,3 15,6±2,3
66,7 48,2 13,7±1,7
47,9 13,2±1,3
85,9 14,1 5,1 ±1,8 5,7±0,7
94,9 5,1 5,4±1,2 5,9±0,6
72,2 27,8 4,7 ±1,1 5,8 ±0,7
100,0 0,0 6,8 ±1,1 5,5 ±0,9
81,8 18,2 4,9±1,7 6,0±0,9
95,0 5,0 6,3±1,8 5,6±0,5
Keragaan reproduksi antara tiga genotipe sapi potong tidak menunjukkan perbedaan pada lingkungan yang sama, tetapi pada wilayah dataran rendah menunjukkan nilai APP, days open, S/C dan calving interval lebih rendah daripada wilayah dataran tinggi (Tabel 4). Hal ini dikarenakan sebagian besar (95100%) umur penyapihan pedet di dataran tinggi diatas lima bulan bahkan ada yang 6-7 bulan Sementara itu, di dataran rendah hanya 14–27% yang penyapihannya dibatasi sejak umur 2-3 bulan dengan interval menyusunya 3-4 kali sehari. Sehingga dengan adanya pembatasan susu pedet tersebut dapat berpengaruh terhadap tampilan reproduksi induk selama periode prasapih selama 90 hari post partus, terutama lama periode anestrus post partus (GOODWIN et al., 1996; A FFANDHY et al., 1998; A FFANDHY et al., 2001) dan memperpanjang terjadinya ovulasi setelah beranak (LAMB et al., 1997). Frekuensi penyusuan akan menstimulus kelenjar mammae (mamary gland) dan berhubungan dengan sekresi LTH yang dapat mengganggu corpus luteum sehingga menghambat terjadinya anestrus post partus (BEARDEN dan FUQUAY, 1980; DJANUAR, 1985).
keragaan reproduksi antara tiga genotipe sapi potong tersebut tidak menunjukkan perbedaan, tetapi untuk wilayah dataran rendah menunjukkan nilai APP, days open, S/C dan calving interval lebih rendah daripada wilayah dataran tinggi. Disarankan konsep pengelolaan reproduksi sapi potong bagi peternak adalah konsep tentang perbaikan pola perkawinan, teknologi penyapihan pedet dan perbaikan kondisi sapi-sapi induk serta peningkatan keterampilan peternak dalam efisiensi reproduksi. DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN dan M ARIYONO . 1998. Effect of Weaning Age on Post-Partum Anoestrous of Peranakan Ongole Cows Under Smallholder Farmers in East Java. Bull. Of Anim. Sci. supplement edd. Dec 1998. Publish. Fac. of Anim. Sci, Gadjah Mada Univ.Yogyakarta, Indonesia. 312-315.
KESIMPULAN DAN SARAN
AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN, M.WINUGROHO dan E. T ELENI 2001. Pengaruh Frekuensi Pemisahan Pedet Pra-Sapih Terhadap Tampilan Reproduktivitas Induk dan Pertumbuhan Pedet Sapi Peranakan Ongole, dalam: Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor:147-154.
Umur pubertas sapi silangan Simmental dan Limousin adalah 14-19 bulan, lebih pendek daripada umur pubertas sapi PO (23-24 bulan), sedangkan
AMIRULLAH, R.M.A. 2000. Optimasi Pemberdayaan Sumberdaya Alam Pertanian Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Jawa Timur. Lokakarya Penyusunan Prioritas Program dan
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
41
____________________________________________________________________________________________________________________
Perencanaan Strategis Jawa Timur, tanggal 1-2 Maret di Hotel Cendana Surabaya. BPTP Karangploso. hlm. 12 BEARDEN , H, J. dan J. FUQUAY .1980. Applied Animal Reproduction. A. Prentice-hall Co. Reston, Virginia hlm. 107
SIREGAR, A.R., J. BESTARI, R.H. MATONDANG , Y. SANI dan H. PANJAHITAN. 1999. Penentuan Breeding Sapi Potong Program IB di Propinsi Sumatera Barat. dalam: Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor:113121.
DJANUAR, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada Univ. Press. 59 halaman (Terjemahan).
SUMADI and M UKIJA . 1998. Output estimation og Beef Cattle At Gunungkidul Regency. Bull. Anim. Sci, Supplement Edition, Gadjah Mada Univ:328-333.
FRANDSON, R.D. 1992. Anatomy and Physiology of Farm Animals , 4th Edition Colorado state Univ. Fort Collins, Colorado. In: Srigandono, B dan Koen Praseno (Penterjemah) Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. hlm. 969.
T AMBING, S.N., M. SARIUBANG dan CHALIDJAH. 2000. Bobot Lahir dan Kenerja Reproduksi Sapi hasil Silangan Bos Taurus X Bos Banteng. dalam: Pros. Seminar Nasinal Peternakan dan Veteriner 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor:75-79.
GOODWIN , P.J., J. DRAPER, M.J. JOSEY and M. IMBEAH. 1996. Effect of Three Time Daily Milking on Milk Production and Reproductive Performance. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. No 21:339.
WIRDAYATI , R.B., and A. BAMUALIM. 1994. Cattle Management System in Nusa Tenggara, Indonesia. In: Proc of 7th AAAP Anim. Sci. Congress Vol. III, Bali: 149-151.
GUNTORO , B. 2001. Managemen Konflik Pada Sistem Perkampungan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Bull. Peternakan Vol 25 (2) 101108.
YUSRAN, M.A., L. AFFANDHY dan SUYAMTO . 2001. Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan alternatif solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. dalam: Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbang. Peternakan, Bogor: 155167.
LAMB, G.C., J.M LYNCH , D.M. GRIEGER, J. E., MINTON and J.S STEVONSON. 1997.Ad libitum Suckling by an Unrelated Calf in the Presence or Absence of Cows. J. Anim. Sci., 75:.2762-2769.
DISKUSI Pertanyaan: Lokasi penelitian dimana? Model peternakan yang dipakai bagaimana? Spesifik bangsa yang berkembang di Yogyakarta apa? Jawab: Sapi lokal dan silangan sudah menyebar di daerah-daerah. Kegiatan ini dilakukan di daerah di Gunung Kidul dan Sleman. Pola pemeliharaan sapi pada kegiatan ini adalah kelompok dan individu.
_____________________________________________________________________________________________ 42
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003