Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RESPONS REPRODUKSI SAPI POTONG INDUK PADA UMUR PENYAPIHAN PEDET BERBEDA DI KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI LAHAN KERING (Reproduction Performance of Cows with Different Weaning-Time in Dry Land Farmer Condition) LUKMAN AFFANDHY, D. PAMUNGKAS dan D. RATNAWATI Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT Inappropriate management and mating system within smallholder farmers may affect reproduction performance of beef cattle. The purpose of this study was to investigate the effects of weaning-calf time on reproduction performance of cows. The research was carried out in small holder farmer at Pasuruan RegencyEast Java on 20 cows which were separated in two treatments of weaning-calf, there were at 12 weeks and 16 weeks. The calves were used from PO cows of 14 days post partum. Heat monitoring was carried out under visual method. Rectal palpation was done 60 days after mating. Data was analyzed by one way ANOVA, using DMRT between the two treatments. The parameters were: anoestrus post partum (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR) and average daily gain (ADG) of calf. The APP value in small holder farmer (Nguling) at the weaning 12 weeks (97.1 ± 19.1) was lower (P < 0.05) than weaning 16 weeks (115.9 ± 20.3), and CR of weaning 12 weeks is higher (81.8%) than weaning at 16 weeks (66.7%). The effect of the two treatments weaning in farmer not influenced to the S/C, consumption and ADG (cow, pre-weaned calf and post-weaned calf). It is concluded that weaning-calf management at the weaning-calf at 12 weeks with individual stable in farmer shows that the APP, CI and CR are better than weaning at 16 weeks. Key Words: Beef Cattle, Reproduction Performance, Weaning Calf ABSTRAK Faktor manajemen dan sistem perkawinan pada kondisi usaha ternak rakyat yang kurang tepat akan berdampak terhadap performans reproduksi sapi potong induk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek umur penyapihan pedet terhadap performans reproduksi sapi potong induk di kondisi peternak. Penelitian dilakukan pada lahan kering di Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur terhadap 20 ekor induk sapi potong yang dibagi ke dalam dua kelompok umur penyapihan pedet, yaitu 12 dan 16 minggu. Pedet yang digunakan berasal dari induk PO yang berumur 14 hari post partus. Pengamatan birahi dilakukan secara visual. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal 60 hari setelah terjadi perkawinan. Analisis data menggunakan one way anova, uji beda nyata antar dua perlakuan. Parameter meliputi: An-oestrus post partus (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR) dan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) pedet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat APP sapi potong induk di usaha peternakan rakyat Kec Nguling pada penyapihan umur 12 minggu adalah 97,1 ± 19,1 hari lebih pendek (P < 0,05) daripada umur sapih 16 minggu (115,9 ± 20,3 hari). Demikian pula tingkat CR sapi induk pada umur penyapihan 12 minggu lebih tinggi (81,8%) bila dibandingkan CR sapi induk pada umur sapih 16 minggu (66,7 %). Efek umur penyapihan pedet tidak berpengaruh terhadap S/C, konsumsi serta PBHH induk dan pedet pra-sapih. Disimpulkan bahwa manajemen penyapihan pedet pada umur 12 minggu dengan sistem kandang individu di peternak menunjukkan APP, CI dan CR lebih baik dibandingkan dengan umur 16 minggu. Kata Kunci: Sapi Potong, Performans Reproduksi, Penyapihan Pedet
132
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Usaha ternak sapi potong rakyat masih mengalami beberapa permasalahan, antara lain terjadinya penurunan populasi ternak maupun produktivitasnya. Salah satu faktor penyebab penurunan tersebut adalah manajemen dan pola perkawinan yang kurang tepat sehingga berdampak terhadap rendahnya angka konsepsi (< 50%) dan panjangnya jarak beranak (> 15 bulan). Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi alternatif, diantaranya melalui perbaikan manajemen penyapihan pedet dan penyediaan gizi pakan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi reproduksinya. Salah satu faktor penyebab panjangnya jarak beranak adalah rendahnya nutrisi dan penyusuan tanpa pembatasan (YU et al., 1992; WATTEMANN et al., 2003). Pada umumnya, penyapihan pada pedet sapi potong di peternakan rakyat dilakukan antara umur 4 – 6 bulan (ARIFIN dan RIANTO, 2001; AFFANDHY et al., 2006). Pedet-pedet tersebut berkumpul dengan induknya selama 24 jam (YUSRAN dan AFFANDHY, 1996). Hal itu akan berpengaruh terhadap aktivitas ovarium pasca beranak maupun timbulnya anestrus post partus/APP (AFFANDHY et al., 2001; HAFEZ, 2000; MARGERISON et al., 2002). Penyusuan merangsang sekresi prolaktin (Luteotropic hormone) oleh kelenjar susu. Kondisi prolaktin yang tinggi menyebabkan suasana progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap aktualisasi estrus (HADISUTANTO, 2008), terlambatnya estrus menyebabkan periode anoestrus post partus (APP) semakin panjang. YUSRAN and TELENI (2000) melaporkan bahwa pada umumnya penyapihan pedet dari induk sapi di usaha ternak rakyat desa Sudimulyo Kecamatan Nguling dilakukan pada umur tiga bulan sehingga akan memperpendek periode APP dan memperpendek calving interval menjadi 384 hari. Masa laktasi sapi induk akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi, sehingga periode penyusuan pedet akan berdampak terhadap konsumsi pakan dan waktu penyapihan berhubungan dengan strategi suplementasi yang mempengaruhi bobot hidup sapi dan kondisi selama masa kering (SHORT et al., 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek umur penyapihan pedet terhadap performans reproduksi sapi potong induk di kondisi peternak pada lahan kering MATERI DAN METODE Observasi dilakukan secara on farm pada usaha ternak sapi potong milik rakyat di Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sebanyak 20 ekor sapi induk dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, kelompok pertama penyapihan pedet dilakukan pada umur 12 minggu; sedangkan kelompok kedua pedet disapih pada umur 16 minggu. Pedet yang digunakan berasal dari induk PO yang baru beranak berumur 14 hari. Pengamatan birahi dilakukan secara visual. Perkawinan dilakukan secara inseminasi buatan (IB). Pemberian pakan sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh peternak. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal 60 hari setelah IB. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one way anova, uji beda nyata antar dua perlakuan. Parameter yang diukur meliputi: An-estrus post partus (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR), serta pertambahan bobot hidup harian (PBHH) pedet dan induk. Estimasi bobot hidup ternak menggunakan rumus: (P x LD2)/10400, P = panjang badan, LD = lingkar dada dan 10.400 adalah konstanta. HASIL DAN PEMBAHASAN Performans reproduksi Performans reproduksi induk yang meliputi APP, S/C, CR dan estimasi CI pada induk sapi PO di peternak dengan umur penyapihan pedet berbeda pada kondisi usaha ternak rakyat di lahan kering di sajikan di dalam Tabel 1. Tingkat APP dan CI induk sapi potong di usaha peternakan rakyat Kecamatan Nguling pada perlakuan penyapihan umur 12 minggu lebih rendah (P < 0,05) daripada perlakuan B (penyapihan umur 16 minggu). APP dan CI pada penyapihan 12 minggu adalah adalah 97,1 ± 19,1 hari dan 13,1 ± 0,6 bulan. APP dan CI
133
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 1. Performans reproduksi induk sapi PO di peternak dengan umur penyapihan pedet berbeda (peternak) Umur penyapihan pedet
Parameter
12 minggu
16 minggu
An-estrus post partus (hari)
97,1 ± 19,1a
115,9 ± 20,3b
Service per conception (kali)
1,2 ± 0,4
1,6 ± 1,1
Conception rate (%) Calving interval (bulan)*
81,8 13,1 ± 0,6
66,7 a
14,3 ± 1,2b
ab Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) *Estimasi CI = (tanggal beranak + tanggal kawin terakhir + 285 hari): 30 hari
pada penyapihan 16 minggu adalah 115,9 ± 20,3 hari dan 14,3 ± 1,2 bulan (Tabel 1). Waktu pemisahan induk dan pedet yang pendek (12 minggu) akan mempercepat kenormalan aktivitas ovarium sehingga berpengaruh terhadap perpendekan tingkat APP dan CI induk pasca beranak (YUSRAN dan AFFANDHY, 1996; AFFANDHY et al., 1998; AFFANDHY et al., 2001; HAFEZ, 2000; MARGERISON et al., 2002). Frekuensi dan lama penyusuan akan merangsang kelenjar mammae untuk produksi LTH yang berfungsi memelihara corpus luteum, dampaknya yaitu tidak terjadi birahi dan memperpanjang tingkat APP (BEARDEN and FUQUAY, 1980; HAFEZ, 2000; MARKEY et al., 2000). YUSRAN dan TELENI (2000) melaporkan bahwa pada umumnya penyapihan pedet dari induk sapi di usaha ternak rakyat desa Sudimulyo Kecamatan Nguling dilakukan pada umur tiga bulan, sehingga memperpendek periode APP dan calving interval menjadi 384 hari. Nilai CR induk sapi potong pada penyapihan pedet umur 12 minggu adalah 81,8 % lebih tinggi daripada umur 16 minggu (66,7 %). Hal ini disebabkan fakor hormonal, yaitu bahwa frekuensi dan lama penyusuan yang lebih pendek akan mempercepat terjadinya estrus post partus; di sisi lain kondisi uterus juga sudah kembali ke posisi dan ukuran semula (involusi uteri) secara sempurna. TOLIEHERE (1987) menyatakan bahwa secara involusi uterus sudah selesai pada hari ke-30 – 40 post partus, tetapi secara histologik involusi baru benar-benar terjadi setelah 50 – 60 hari post partus. Sehingga waktu penyapihan yang lebih dini akan memberikan peluang bagi induk untuk kawin dengan pejantan lebih banyak. Frekuensi bercampurnya induk dan
134
pejantan memberikan peluang terjadinya konsepsi/kebuntingan lebih besar. Hal ini didukung juga dengan kondisi/intake pakan (BK dan PK) pada kedua perlakuan telah melebihi standar kebutuhan. Menurut HALL et al. (2001) untuk bobot hidup 300 kg membutuhkan konsumsi BK 6,1 kg/hari dan PK 0,512 kg/hari. Kondisi ini sesuai dengan laporan BOOTHBY and FAHEY (1995), WARDHANI et al.(1993) dan HAFEZ (2000) menyatakan bahwa tingkat kebuntingan juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi. Intake pakan yang cukup akan mendukung berfungsinya saluran reproduksi dengan baik, dengan bukti adalah tingkat conception rate-nya > 65%. Bobot hidup dan konsumsi pakan Konsumsi pakan induk pada perlakuan umur penyapihan pedet antara 12 dan 16 minggu pada usaha ternak rakyat di Kecamatan Nguling tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2). Hal ini mengakibatkan tingkat PBHH induk pada kedua perlakuan umur penyapihan pedet tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penurunan bobot hidup induk pada umur penyapihan 12 minggu sebesar 6,6% (PBHH: -508,0 ± 758,8 g/hari) dan pada umur penyapihan 16 minggu sebesar 3,5% (PBHH: -246,4 ± 397,0 g/hari). Penurunan bobot hidup pada kedua perlakuan masih dalam batas normal, artinya kondisi tersebut tidak akan berpengaruh pada fungsi ovarium induk. Hal ini sesuai dengan penyataan WINUGROHO (1992) bahwa penurunan bobot hidup pada induk laktasi antara 16 – 22% dapat mengganggu fungsi ovarium induk.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 2. Bobot hidup dan pakan sapi PO induk di peternak dengan umur penyapihan pedet berbeda (peternak) Umur penyapihan pedet
Parameter
12 minggu
16 minggu
Bobot awal (kg)
365,5 ± 43,9
349,3 ± 42,8
Bobot akhir (kg)
341,3 ± 45,5
337,1 ± 46,5
-508,0 ± 758,8
-246,4 ± 397,0
Bobot hidup
PBHH (g/ekor/hari) Konsumsi pakan Bahan kering (kg/hari) Protein kasar (g/hari)
8,8 ± 1,3
9,1 ± 3,0
740,0 ± 126,5
930,0 ± 326,8
Kebutuhan pakan 8,7 ± 1,0
8,4 ± 1,1
822,0 ± 97,3
799,0 ± 100,9
Bahan kering (%)
102,7
109,2
Protein kasar (%)
89,1
118,1
Bahan kering (kg/hari) Protein kasar (g/hari) Rasio pemenuhan pakan
*Perhitungan pemenuhan pakan berdasarkan HALL et al. (2001) Tabel 3. Tampilan bobot hidup dan PBHH pedet PO dengan umur penyapihan pedet berbeda Parameter
Umur penyapihan pedet 12 minggu
16 minggu
Bobot awal (kg)
52,7 ± 22,5
47,4 ± 12,2
Bobot akhir (kg)
86,4 ± 19,6
75,1 ± 14,5
599,3 ± 251,6
832,5 ± 277,6
Bobot hidup pedet prasapih
PBHH (g/ekor/hari)
Performans pedet Perlakuan umur penyapihan pedet pada 12 dan 16 minggu pada usaha ternak rakyat di Kecamatan Nguling tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap PBHH pedet prasapih, yaitu 599,3 ± 251,6 g/ekor/hari pada umur sapih 12 minggu dan 832,5 ± 277,6 g/ekor/hari pada umur sapih 16 minggu (Tabel 3). Tingkat PBHH ini tidak jauh beda dengan hasil penelitian AFFANDHY et al. (2001), bahwa PBHH pedet sapih umur 12 minggu adalah sebesar 361,0 ± 84,6 g/hari. Umur pemisahan pedet tidak berpengaruh terhadap penampilan bobot hidup induk dan pedet pascasapih. Hal ini sesuai dengan pernyataan JULIEN dan TESS (2002), bahwa waktu
penyapihan dan program pakan induk dengan konsumsi yang sesuai standar tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan pedet prasapih. KESIMPULAN Disimpulkan bahwa penyapihan pedet umur 12 minggu dengan sistem kandang individu di tingkat peternak menunjukkan tingkat APP, CI dan CR lebih baik dibandingkan dengan penyapihan pedet pada umur 16 minggu. Disarankan untuk penyapihan pedet di peternak dengan sistem pemeliharaan individu dapat dilakukan mulai umur tiga bulan.
135
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS. P.W. PRIHANDINI, P. SITUMORANG dan W. C PRATIWI. 2006. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Perbaikan Efisiensi Reproduksi. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong. AFFANDHY, L., M. A. YUSRAN and MARIYONO. 1998. Effect of weaning age on post-partum anoestrous of Peranakan Ongole cows under smallholder framers in East Java. Bull. of Anim. Sci. Supplement edd. Dec. 1998. Publish. Fac. of Anim. Sci. Gadjah Mada Univ. Yogyakarta, Indonesia pp. 312 – 315. AFFANDHY, L., M. A. YUSRAN dan M. WINUGROHO. 2001. Pengaruh frekuensi pemisahan pedet pra-sapih terhadap tampilan reproduktivitas induk dan pertumbuhan pedet sapi Peranakan Ongole. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslibang Peternakan hlm. 147 – 154. ARIFIN, M. dan E. RIANTO. 2001. Profile produktivitas sapi Peranakan Ongole pada peternakan rakyat: Studi kasus di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. J. Trop. Anim. Dev. Special Edition (April) 2001. pp. 118 – 123. BEARDEN, H.J. and FUQUAY. 1980. Applied Animal Reproduction. A. Prentice-hall Co. Reston Virginia. p. 107. BOOTHBY, D. and G. FAHEY, 1995. A Practical Guide Artificial Breeding of Cattle. Agmedia, East Melbourne Vic 3002. pp. 127. HADISUTANTO, B. 2008. http://politani.blogspot. com/. (09 Sep. 2008). HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. pp 509. HALL, J.B., W.W. SEAY, S. M. BAKER.2001. Nutrition and Feeding of the Cow-Calf Herd: Production Cycle Nutrition and Nutrient Requirements of Cows, Pregnant Heifers and Bulls. Extension Agent, Animal Science, Virginia Tech. Publication Number 400 – 012. JULIEN, D.J. and M.W TESS. 2002. Effects of Breeding date, Weaning date, and Grazing season length on Profitabiliy of Cow-Calf Production systems in Southeastern Montana. J. Anim. Sci. 80: 1462.
136
MARGERISON, J.K., T.R. PRESTON and C.J.C. PHILIPST. 2002. Restricted suckling of tropical diary cows by their calf or their cows” calves. J. Anim. Sci. 80 :1663 – 1670. MARKEY, D.R., J.M. SCREENAN, J.F. ROCHET and M.G. DISKIN. 2000. The effect of progesterone alone or in combination with estradiol on follicular dynamyscs, gonadropin profile , and estrus in beef cows following isolation and restricted suckling. J. Anim. Sci. 78(7): 1917 – 1929. SHORT, R.E., E.E. GRINGS, M.D. MACNEIL, R.K. HEITSCHMIDT, M.R. HAFERKAMP and D.C. ADAMS. 1996. Effect of time of weaning, supplement, and sire breed of calf during the fall grazing period on cow and calf performance. J. Anim. Sci. 74: 1701 – 1710. TOLIEHERE, M.R. 1987. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI-Press. Jakarta. WATTEMANN, R.P., C.A. LENTS, N.H. CICCIOL., F. J. WHITE and I. RUBI. 2003. Nutritional and suckling-mediated anovulation in beef cows. J. Anim. Sci. 81(14): E48 – E59. WINUGROHO, M. 1992. Feeding draught animals in Indonesia. In: Draught Animal Power in the Asian-Australian Region. PRYOR, W.J. (Eds.) Aciar Proc. No. 46:109 – 112. YU, S.J., Y. CUI and B.X. CHEN. 1992. Post partum ovarian function in Yok Cows as revealed by concentration of progesterone in departed milk. Proc. Of the Sixth Anim. Sci. Congress. AHAT Bangkok III: 93. YUSRAN, M.A. and E. TELENI. 2000. The effect of a mix of shurb legumes supplement on the reproductive performance of Peranakan Ongole cows on dry land small holder farmers in Indonesia. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 461. YUSRAN, M.A. dan. L. AFFANDHY. 1996. Studi batasan ideal bobot hidup dan kondisi tubuh sapi PO induk kaitannya dengan aktifitas reproduksi yang normal dalam agroekosistem lahan kering di Jawa Timur. Seminar Hasil Penelitian Peternakan TA 1995/1996 IPPTP Grati.