Profil Sapi Rambon Berdasarkan Performans Produksi dan Reproduksi Jauhari Efendy dan Lukman Affandhy Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan Jawa Timur E-mail:
[email protected] Abstrak Sapi Rambon adalah salah satu plasma nutfah lokal yang diupayakan sebagai salah satu alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Munculnya sapi Rambon cukup menarik untuk dikaji mengingat selama ini peternak lebih suka menyilangkan induk-induk sapi lokal dengan pejantan sapi eksotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil sapi Rambon berdasarkan performans produksi dan reproduksinya. Lokasi penelitian di Desa Kemiren dan Oleh Sari Kec. Glagah Kab. Banyuwangi Jawa Timur menggunakan metode survai. Jumlah responden sebanyak 40 orang yang ditentukan secara purposive random sampling; dan data dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa jenis sapi Rambon yang ada di Kec. Glagah yang paling disukai oleh peternak dan konsumen sapi potong adalah Sapi Rambon Tes. Dari aspek reproduksi, sapi Rambon memiliki performans yang cukup baik diantaranya masa estrus kembali setelah melahirkan (APP) 72,13 hari dan hari-hari kosong (DO) 102,45 hari serta jarak beranak pada umumnya sekitar 11-12 bulan. Metode perkawinan sapi Rambon sebanyak 90% backcross; sedangkan antar sapi Rambon jarang dilakukan karena pedet turunannya memiliki bentuk eksterior yang kurang menarik. Dari aspek ekonomi, eksistensi sapi Rambon dapat menambah pendapatan keluarga yang cukup tinggi yaitu sekitar 26-31% per tahun. Kata kunci: daging sapi, performans produksi dan reproduksi, sapi Rambon.
Pendahuluan Perkembangan usaha budidaya sapi potong di Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir banyak mengalami peningkatan; tidak saja terbatas pada bertambahnya jumlah peternak dan skala usahatani tetapi juga semakin beragamnya bangsa atau jenis sapi yang dibudidayakan. Sapi Rambon adalah salah satu jenis sapi potong lokal yang sudah lama dikembangkan oleh peternak rakyat khususnya di wilayah Kec. Glagah Kab. Banyuwangi yang berasal dari persilangan antar sapi lokal. Disamping sebagai plasma nutfah lokal, eksistensi sapi Rambon ini diupayakan sebagai salah satu alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri melalui optimalisasi performans produksi maupun reproduksinya (Nugroho dan Azizah, 2014). Di sisi lain, munculnya sapi Rambon cukup menarik untuk dikaji mengingat selama ini peternak lebih suka menyilangkan induk-induk sapi lokal dengan pejantan sapi eksotik; seperti antara sapi Limousine atau Simmental dengan sapi Bali maupun PO (Simba, Limpo) atau Limousine dengan sapi Madura yang dikenal dengan istilah Limoura. Adanya fenomena ini menunjukkan bahwa peternak sapi potong di Indonesia telah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik terhadap adanya manfaat program persilangan yaitu untuk mendapatkan sifat-sifat unggul (heterosis) yang diwariskan dari tetuanya (pejantan dan induk) dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat jelek (resesif). Hall (2004) menyatakan bahwa keuntungan persilangan antara dua rumpun untuk memperbaiki fitness dan viability (daya hidup) atau menghasilkan hewan yang mengombinasikan keunggulan dari dua rumpun tersebut. Program kawin silang pada sapi potong dapat dilakukan dengan menggunakan dua, tiga atau lebih sapi yang berbeda rumpun sebagai populasi dasarnya. Hasil perkawinan silang tiga
1234
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
rumpun sapi (three-breed rotation) mempunyai derajat heterosis lebih tinggi daripada perkawinan silang dua rumpun sapi (two-breed system). Secara teoritis, respon potensi heterosis dapat mencapai 87% dari respon maksimum (Frahm, 1998). Hammack (1998) melaporkan bahwa perkawinan tiga rumpun pada sapi potong dapat menaikkan bobot sapih 23% dibandingkan dua rumpun yang hanya 8,3%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil sapi Rambon yang saat ini telah banyak dibudidayakan oleh peternak sapi potong rakyat di Kab. Banyuwangi berdasarkan performans produksi dan reproduksinya. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kemiren dan Oleh Sari Kec. Glagah Kab. Banyuwangi Jawa Timur. Pemilihan lokasi survai ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di Kec. Glagah khususnya di dua desa tersebut memiliki populasi sapi Rambon yang cukup tinggi yaitu sekitar 350-400 ekor dengan pengalaman beternak cukup lama. Jumlah responden sebanyak 40 orang (23 orang berasal dari Desa Kemiren dan 17 orang dari Desa Oleh Sari) yang ditentukan secara purposive random sampling (Singarimbun dan Effendi, 1995); jumlah total penguasaan ternak sapi Rambon sebanyak 112 ekor. Responden yang dipilih adalah peternak yang memiliki minimal satu ekor induk sapi Rambon yang telah beranak satu kali dan saat penelitian dilakukan ternak tersebut dalam kondisi bunting. Metode menggunakan statistik deskriptif.
penelitian dengan survai; data dianalisis
Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Karakteristik Peternak Sapi Rambon Desa Kemiren dan Oleh Sari termasuk dalam wilayah Kec. Glagah Kab. Banyuwangi. Kedua desa tersebut berjarak sekitar 13 km arah Selatan dari pusat Kota Banyuwangi; akses jalan cukup bagus dengan ketinggian wilayah sekitar 350-450 meter di atas permukaan laut (dpl). Pemanfaatan lahan pertanian sebagian besar berupa areal persawahan dengan tanaman utama padi dan jagung; pada bagian pematang umumnya ditanami rumput Gajah sebagai pakan ternak sapi. Disamping itu, terdapat juga lahan tegalan atau pekarangan dengan jenis tanaman hortikultura dan padang penggembalaan sebagai sumber penghasil rumput alam. Responden dalam penelitian ini adalah peternak sapi Rambon; sebagian besar adalah suku Osing yang merupakan suku asli yang banyak bermukim di wilayah bagian tengah dan Utara Kab. Banyuwangi termasuk salah satunya di Kec. Glagah. Profesi utama suku Osing adalah petani, sebagian kecil lainnya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti PNS, guru dan lainlain. Karakteristik responden disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik peternak sapi Rambon di Kec. Glagah Karakteristik individu
Kategori Terendah
Rataan
Tertinggi
Sd*
Umur (thn)
23
48,83
73
10,90
Pendidikan (thn)
2
7,45
17
3,23
Pengalaman beternak sapi Rambon (thn)
1
21,75
50
14,78
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1235
Karakteristik individu Penguasaan ternak sapi (ekor) Penguasaan lahan pertanian (ha)
Kategori Terendah
Rataan
Tertinggi
Sd*
1
1,55
3
0,78
0,25
0,375
2
0,43
Keterangan: *: Standar deviasi
Umur peternak dihitung berdasarkan lama hidup sampai saat dilakukan pengambilan data dalam satuan tahun. Dari 40 responden terlihat umurnya beragam dari yang termuda 23 tahun dan tertua 73 tahun dengan rata-rata 48,83 tahun. Secara kumulatif, sebanyak 33 orang (82,50%) responden berada pada kategori usia produktif sehingga secara fisik maupun mental mendukung aktivitas usahatani sapi potong. Pendidikan merupakan salah satu indikator formal untuk mengukur kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) secara individu (Efendy dan Hutapea, 2010). Tingkat pendidikan responden umumnya rendah; proporsi terbanyak adalah setingkat SD dan bahkan sebanyak 7 orang (17,5%) yang tidak sampai lulus SD dan hanya satu orang yang mengenyam pendidikan sampai ke jenjang S-1. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar responden, tentu saja berpengaruh terhadap upaya pengembangan usaha sapi potong dan kemampuan pemahaman responden dalam mengadopsi teknologi sapi potong di masa yang akan datang. Pada umumnya pengalaman responden dalam usahatani sapi potong –khususnya sapi Rambon cukup lama dengan rata-rata lebih dari 20 tahun. Lamanya pengalaman beternak sapi Rambon ini disebabkan kegiatan usahatani tersebut merupakan aktivitas yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi sebagai mata pencaharian serta merupakan komoditas yang terintegrasi dengan usaha pertanian tanaman pangan khususnya padi. Hampir seluruh responden menjadikan sapi Rambon sebagai pengolah lahan pertanian (sawah) karena memiliki keunggulan dalam hal kemampuannya membajak sawah yang sebagian besar termasuk dalam kategori tanah dalam. Rata-rata sapi Rambon yang dikuasai oleh responden (baik milik maupun gaduh) sekitar 2 ekor yang umumnya adalah induk. Rendahnya tingkat penguasaan ternak terkait dengan ketersediaan tenaga kerja yang hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga seperti mencari pakan, membersihkan kandang maupun memandikan sapi. Disamping itu, usahatani sapi potong masih merupakan usaha sampingan sehingga waktu yang tersedia untuk kegiatan pemeliharaan dan perawatan terbatas. Penguasaan lahan pertanian sebagian besar responden relatif rendah; yaitu 0,375 ha dan tertinggi 2 ha. Namun demikian aktivitas pertanian tanaman pangan (terutama komoditas padi dan jagung) menjadi pekerjaan utama walaupun secara ekonomi kontribusinya lebih kecil dibanding dengan usaha sapi potong (sapi Rambon) terhadap pendapatan keluarga. Produktivitas Sapi Rambon Profil Sapi Rambon Sapi Rambon berawal dari hasil persilangan antara induk sapi Bali dengan pejantan sapi PO dan sampai saat ini sudah berkembang beberapa jenis di masyarakat. Sapi hasil persilangan antar dua rumpun tersebut dikenal dengan istilah sapi Rambon Keling dengan ciri-ciri warna bulu ampal; yaitu merah keputihan (Dawok). Sapi Rambon betina memiliki performans produksi maupun reproduksi yang bagus yang dicirikan antara lain: (i) performans reproduksinya (fertilitas)
1236
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
baik, (ii) efisien pakan serta (iii) komposisi tulang kompak/kuat sehingga cocok sebagai sapi pekerja –terutama sebagai pengolah lahan. Perkawinan antara induk sapi Rambon Keling dengan pejantan sapi Bali (back cross) akan menghasilkan sapi Rambon Tes dan merupakan jenis sapi Rambon yang paling disukai oleh masyarakat setempat karena disamping secara eksterior menarik (badan panjang dan tanduk berbentuk pangku aren) juga memiliki performans reproduksi yang baik. Sementara itu, persilangannya dengan pejantan sapi PO menghasilkan sapi dengan istilah yang sama dengan tetuanya; yaitu Rambon Keling. Sapi Rambon Keling ini memiliki kandungan darah Rambon sekitar 10-20% dan tidak berpunuk. Induk sapi Rambon apabila dikawinkan dengan pejantan sapi Brahman akan menghasilkan turunan dengan performans sebagai berikut: (i) apabila dari hasil perkawinan tersebut dihasilkan sapi jantan maka sangat baik untuk pemacek; sedangkan (ii) jika dihasilkan sapi betina akan menjadi indukan yang baik dengan warna bulu menarik; yaitu berwarna merah. Karakteristik sapi Rambon tersebut di atas menunjukkan bahwa penerapan kawin silang telah menghasilkan perbaikan prestasi beberapa sifat produksi secara cepat. MC.Dowell (1982); Mason dan Buvanendran (1982); Tawfik dan Sodiq (2002) menyatakan bahwa kawin silang memungkinkan para penghasil bibit untuk membuat kombinasi sifat-sifat rumpun yang dikehendaki, sekaligus mengurangi sifat-sifat yang tidak menguntungkan atau breed complementarity.
Gambar 1. Sapi Rambon Tes (warna bulu merah, tanduk berbentuk pangku aren)
Gambar 2. Sapi Rambon Keling (warna bulu ampal atau dawok)
Tabel 2. Perbandingan profil/karakteristik eksternal sapi Rambon, PO dan Bali Karakteristik Warna kulit/bulu Garis punggung Warna kaki
Bagian pantat Punuk Bentuk tanduk
Sapi Rambon Ampal/dawok, coklat, coklat kehitaman Coklat sampai hitam Sama dengan warna tubuh, ada sedikit warna hitam pada bagian atas dan bawah lutut Sama dengan warna tubuhnya Tidak ada Lurus ke atas sampai dengan bentuk pangku aren (bentuk huruf “U” dan bagian atas cenderung ke arah depan)
Jenis sapi Sapi PO Putih ada campuran warna kelabu Tidak ada Putih sampai putih kelabu
Sama dengan warna tubuhnya Ada Pendek sampai panjang arah lurus ke atas.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Sapi Bali Coklat/hitam, putih di bagian tubuh tertentu Warna hitam Di atas lutut berwarna coklat, bagian bawah lutut warna putih (kaos kaki) Terdapat bulatan warna putih Tidak ada Mengarah ke atas
1237
Manajemen Budidaya Sapi Rambon Usaha budidaya sapi Rambon sudah lama ditekuni oleh peternak khususnya di wilayah Kec. Glagah, Licin dan Giri. Preferensi atau ketertarikan masyarakat setempat terhadap sapi Rambon karena secara ekonomi harga jualnya lebih mahal dibandingkan sapi Bali maupun sapisapi lokal lainnya serta memiliki tenaga yang kuat sehingga cocok dijadikan sebagai pembajak sawah yang dikenal dengan karakter tanahnya yang dalam. Disamping itu, alasan lainnya adalah pemeliharaannya mudah dan cepat menghasilkan keturunan yang ditunjukkan dengan jarak beranak (calving interval) yang relatif pendek sehingga dapat menghasilkan pedet hampir setiap tahun; juga memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap serangan penyakit termasuk penyakit Jembrana yang sampai saat ini masih menghantui peternak sapi Bali di berbagai wilayah Indonesia. Pakan yang diberikan sebagian besar berupa campuran rumput alam, rumput Gajah, tebon jagung dan jerami padi dengan total pemberian berkisar 25-40 kg/ekor/hari. Sebagai pakan tambahan, sebagian kecil peternak juga memberikan dedak padi sebanyak 2-3 kg per ekor per hari. Aryogi dan Romjali (2006) menemukan kondisi yang hampir sama pada sapi Rambon di Kabupaten Bondowoso bahwa pakan yang diberikan berupa rumput lapangan dan dalam proporsi yang kecil ditambah dedaunan tanaman tahunan (legume), serta hampir tidak pernah mendapat pakan penguat. Bentuk perawatan dan pemeliharaan sapi yang rutin dilakukan adalah membersihkan kotoran yang dilakukan setiap hari serta memandikan sapi mulai dari dua kali seminggu sampai dua minggu sekali tergantung ketersediaan tenaga kerja dan air. Kotoran sapi yang diambil dari kandang umumnya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang untuk tanaman padi, jagung maupun beberapa jenis palawija lainnya. Pemberian obat cacing dan vitamin jarang diberikan; sedangkan jamu hanya diberikan pada sapi pejantan (merk Jamu Hewan) yang diberikan setiap satu bulan atau tergantung kebutuhan maupun terhadap induk sapi yang baru melahirkan dengan komposisi jamu terdiri atas lempuyeng, kunyit dan telur ayam atau bebek. Performans Reproduksi Sapi Rambon Anestrus post partus (APP) sapi Rambon rata-rata 72,13 hari dan days open (DO) 102,45 hari. Munculnya estrus setelah melahirkan pada sapi Rambon di Kab. Banyuwangi ini relatif lebih baik dibandingkan sapi Rambon yang ada di Kab. Bondowoso maupun Situbondo yaitu dengan APP umumnya 4-5 bulan (Aryogi dan Romjali, 2006). Sistem perkawinan sebagian besar dengan IB (75%) dan sisanya kawin alam dengan rata-rata S/C 1,67 kali; besaran biaya IB kawin alam hampir sama yaitu antara Rp 50.000-60.000,- untuk sekali kawin. Sedangkan calving interval (jarak beranak) rata-rata 13,42 bulan. Metode perkawinan pada sapi Rambon (F-1) umumnya (sekitar 90%) backcross terutama dengan pejantan sapi Bali (60%) maupun sapi PO (40%). Perkawinan antar sapi Rambon (inter sex) sangat jarang dilakukan karena turunannya memiliki performans tubuh (secara eksterior) yang kurang diminati oleh peternak dan konsumen pada umumnya karena warna bulunya tidak menarik yaitu coklat tua-kehitaman sehingga tidak banyak dikembangkan dan secara ekonomis harga jualnya relatif lebih murah. Sekitar 8-12% induk sapi Rambon juga dikawinkan dengan pejantan sapi silangan seperti Brahman, Limousin maupun Simmental. Pedet turunannya kadang-kadang memiliki karakteristik yang spesifik yaitu adanya warna putih di bagian kepala seperti pada sapi perah FH maupun PFH. Sapi Rambon jenis ini cukup disukai oleh peternak namun performans reproduksinya lebih rendah
1238
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
dibandingkan sapi Rambon Keling maupun Rambon Tes yang ditunjukkan dengan kejadian kawin berulang (S/C relatif tinggi) sehingga berpengaruh terhadap jarak beranak yaitu rata-rata berkisar 16,67 bulan; demikian juga bentuk tanduknya tidak menarik karena arah pertumbuhannya langsung lurus ke atas. Tabel 3. Performans reproduksi sapi Rambon Uraian
An-oestrus post partus (hari) Days open (hari) Service per conception (kali) Calving interval (bulan)
Terendah 59 62 1 11
Kategori Rataan 72,13 102,50 1,67 13,42
Tertinggi 180 300 5 21
Sosial Ekonomi dan Pemasaran Sapi Rambon Secara ekonomi sebagian besar peternak merasa terbantu dari hasil pemeliharaan sapi Rambon yang biasanya dijual pada kisaran umur 5-7 bulan atau setelah disapih dengan harga berkisar Rp 7.000.000-9.000.000,- per ekor; dan ketika berumur 12 bulan harganya mencapai Rp 12.000.000-14.000.000,-. Umumnya sapi dijual kepada belantik dengan penentuan harganya berdasarkan taksiran (bukan timbangan); dan pembayarannya secara tunai. Penjualan sapi umumnya dilakukan saat memasuki tahun ajaran baru maupun ketika ada hajatan (seperti acara pernikahan, khitanan, dan lainnya) dan bahkan ketika akan memperbaiki dan/atau membangun rumah. Kontribusi penjualan sapi Rambon mampu menyumbang pendapatan keluarga cukup tinggi yaitu sekitar 26-31%. Angka pendapatan tersebut cukup membantu dalam menunjang pemenuhan kebutuhan keluarga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nugroho (2010) bahwa keuntungan penjualan sapi Rambon di Kab. Banyuwangi Jawa Timur cukup tinggi yaitu mencapai 37,74%. Kesimpulan Sapi Rambon yang banyak berkembang di Kab. Banyuwangi Jawa Timur berasal dari persilangan antara pejantan sapi PO dengan induk sapi Bali; saat ini memiliki beberapa jenis diantaranya Rambon Keling, Rambon Tes dan Rambon Gligon. Preferensi peternak terhadap sapi Rambon cukup tinggi karena memiliki performans produksi dan reproduksi yang cukup baik; seperti bentuk tubuh kuat dan kompak dengan jarak beranak yang cukup pendek yaitu 11-12 bulan. Walaupun sebagai usaha sampingan, eksistensi sapi Rambon dapat memberikan kontribusi sebanyak 26-31% per tahun terhadap pendapatan keluarga peternak. Daftar Pustaka Aryogi dan E. Romjali. 2006. Potensi, pemanfaatan dan kendala pengembangan sapi potong lokal sebagai kekayaan plasma nutfah Indonesia. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Bogor. Hal: 151-167. Efendy,J. dan Y. Hutapea. 2010. Analisis adopsi inovasi teknologi pertanian berbasis padi di Sumatera Selatan dalam perspektif komunikasi. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 13 Nomor 2, Juli 2010. Frahm, R.R. 1998. Systems of crossbreeding. OSU Extension Facts. No. 3151. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1239
Hall, S.J.G. 2004. Livestock Biodiversity. Genetic resources for the farming of the future. Blackwell Science Ltd, Oxford, U.K. Hammack, S.P. 1998. Sire types for commercial beef herds. Agrc. Communications. The Texas A&M. University System. Mason, I.L. and V. Buvanendran. 1982. Breeding plans for ruminant livestock in the tropics. FAO Anim. Prod. and Health Paper. FAO of The United Nations, Rome. MC.Dowell, R.E. 1982. Strategy for improving beef and dairy cattle in the tropics. Adapted from paper presented: 2nd Congress of the Asian-Australian Association of Anim. Prod. Societies and 19th Annual Convention of the Philippine Society of Anim. Sci., Manila, November 10–13, 1982. Nugroho, E. 2010. Analisa usaha peternakan sapi Rambon pada skala usaha peternakan rakyat di Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan – Volume 20 No. 1 Tahun 2010; p: 77-85. Nugroho, E dan S. Azizah. 2014. Manajemen komunikasi pembinaan pelestarian plasma nutfah sapi Rambon di Banyuwangi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan – Volume 24 No. 2 Tahun 2014. ISSN: 0852-3581; p: 84-95. Singarimbun, M dan S. Effendi. 1995. Metode penelitian survey. LP3ES. Jakarta. Tawfik, E.S. dan A. Sodiq. 2002. Basic concept of animal breeding: Some considerations in genetic improvement. J. Produksi Ternak 4(1): 44–51.
1240
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016