TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering dibedakan atas lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan relatif tinggi (> 1500 mm/tahun) dengan masa hujan lebih lama dan tanpa kemarau yang jelas (Hidayat et al., 2000). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), wilayah yang beriklim basah dapat diklasifikasikan ke dalam tipe hujan A, B dan C. Pada kondisi iklim demikian, umumnya curah hujan lebih tinggi dari evapotranspirasi sehingga faktor curah hujan yang erat kaitannya dengan faktor ketersediaan air untuk tanaman tidak merupakan faktor pembatas dalam penggunaan lahan untuk pertanian. Dalam tanah demikian selalu tersedia air dan tanaman tidak akan pernah mengalami kekeringan dalam waktu lama. Keadaan kelembaban tanah tersebut dalam Taksonomi Tanah termasuk ke dalam regim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999). Di Indonesia, lahan kering yang beriklim basah mempunyai penyebaran yang sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar, dimana sekitar 49,05 juta hektar merupakan
lahan
datar
sampai
bergelombang
yang
berpotensi
untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998). Selain potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar dari lahan sawah dan lahan gambut, lahan kering juga sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas andalan yang hingga kini belu m dimanfaatkan secara optimal. Umumnya di lahan kering, faktor iklim terutama curah hujan dan suhu udara, topografi, keragaman bahan induk dan tanah sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah tingkat produktivitasnya rendah, dicirikan oleh tanah yang berlapukan lanjut, solum tebal, berwarna kemerahan, kadar liatnya tinggi, reaksi tanah masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara terutama fosfor, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium
tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi (Hidayat et al., 2000). Walaupun tantangan dan kendala dalam pengembangan pertanian di lahan kering terasa berat, namun tetap dijadikan
harapan besar bagi keberhasilan
pertanian di masa datang mengingat lahan-lahan persawahan berlanjut
telah
dikonversi
menjadi
lahan
non-pertanian,
subur secara sementara
produktivitasnya telah mengalami pelandaian dan cenderung menurun akibat pemberian pupuk yang berlebihan (Adiningsih et al., 2000).
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan
Di wilayah tropika basah, termasuk Indonesia, selain faktor iklim dan topografi, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian (Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah memberikan keanekaragaman sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Menurut peta sumberdaya tanah Indonesia tingkat eksplorasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000) tercatat bahwa di Indonesia ditemukan 10 ordo tanah dari 12 ordo tanah yang tersebar di dunia. Tiga ordo tanah di antaranya yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol merupakan tanah -tanah pertanian utama di lahan kering yang berkembang dari batuan volkanik dan batuan sedimen (Subagyo et al., 2000). Dudal dan Soepraptohardjo (1957) mengklasifikasikan tanah -tanah tersebut sebagai Podsolik Merah Kuning dan Latosol. Buol et al. (1980) dan Mohr et al. (1972), menyatakan bahwa sifat bahan induk dari batuan volkanik dan batuan sedimen dapat dibedakan berdasarkan komposisi dan cadangan mineralnya. Secara umum, batuan volkanik mengandung banyak felspar dan sedikit kuarsa, sedangkan batuan sedimen tersusun dari banyak mineral kuarsa keruh dan sangat sedikit felspar. Cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dari tanahtanah yang berkembang dari batuan sedimen umumnya sangat rendah bila dibandingkan dengan batuan volkanik dan didominasi oleh mineral resisten terutama kuarsa keruh. Pengaruh bahan induk terhadap sifat-sifat tanah lebih terlihat jelas pada tanah -tanah di daerah kering atau tanah -tanah muda, sedangkan
7
pada tanah -tanah di daerah lebih basah atau tanah -tanah tua, hubungan bahan induk dengan sifat-sifat tanahnya menjadi kurang jelas (Hardjowigeno, 1993). Proses pelapukan bahan induk tanah pada kondisi iklim basah dengan curah hujan dan suhu udara tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah-tanah yang berlapukan tinggi, dicirikan oleh solum tanah dalam, berwarna coklat kemerahan sampai merah, kandungan liat tinggi, masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara, cadangan mineral rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi, mineral liat didominasi oleh tipe 1:1 (Subagyo et al., 2000). Tingkat perkembangan tanah diekpresikan oleh diferensiasi horison (Soil Survey Staff, 1993), tingkat pelapukan batuan induk dan muatan koloid tanah (Mohr et al., 1972; Sys, 1978) serta umur pembentukan tanah (Hardjowigeno, 1993). Pada tingkat perkembangan tanah lanjut, pelapukan bahan induk mencapai tingkat akhir, dicirikan oleh diferensiasi horison yang jelas, solum dalam, kandungan liat tinggi, cadangan mineral sangat rendah dan hanya mineral resisten yang tertinggal, KTK liat sangat rendah (<16 cmol(+)/kg liat), kandungan besi dan aluminium bebas meningkat tinggi, susunan mineral liat didominasi oleh kaolinit, goethit, disertai dengan meningkatnya muatan tergantung pH. Soil Survey Staff (1999) menghubungkan sekuen perkembangan tanah dengan ordo -ordo tanah dalam Taksonomi Tanah mulai dari yang lemah sampai yang lanjut berdasarkan pembentukan horison bawah pencirinya
yaitu
Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol.
Semakin
lanjut
perkembangan tanah cenderung menurunkan kualitas lahan dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian. Tanah yang berlapukan lanjut memiliki daya dukung yang lebih rendah bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil penelitian Firmansyah (1997) di perkebunan tebu Pelaihari, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa produksi hablur gula dari tanah-tanah yang mempunyai horison kambik (Dystropept) dan argilik (Plinthohumult) lebih tinggi dari pada tanah-tanah yang mempunyai horison oksik (Hapludox). Penurunan kualitas lahan terutama ditandai oleh penurunan kesuburan tanah (ketersediaan hara), retensi hara, bahaya keracunan aluminium dan pemadatan tanah akibat akumulasi liat. Sys (1978) melaporkan pengaruh tingkat pelapukan bahan induk tanah terhadap
8
penurunan kualitas lahan yang mengakibatkan terjad inya penurunan produksi pada beberapa tanaman pangan daerah tropika.
Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan atau sering disebut evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi atau kelas kesesuaian suatu lahan untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan karakteristik atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (FAO, 1976). Dengan cara ini maka akan diketahui potensi atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungannya, juga dapat meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya (Hardjowigeno et al., 1999). Metode evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Soil Conservation Service, USDA mula-mula memperkenalkan sistem kemampuan lahan atau land capability (Klingebie l
dan
Montgomery,
1961).
Dalam
sistem
ini
satuan
lahan
dikelompokkan ke dalam delapan kelas (I sampai dengan VIII) berdasarkan kemampuannya untuk memproduksi tanaman-tanaman pertanian dan rumput makanan ternak tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sistem ini diadopsi oleh Soepraptohardjo (1970) dan diterapkan di Lembaga Penelitian Tanah untuk pemetaan tanah tingkat tinjau dan eksplorasi di sebagian wilayah Indonesia. Selanjutnya FAO (1976) dalam Framework of Land Evaluation memperkenalkan
sistem
klasifikasi
kesesuaian
lahan
(land
suitability
classification ) untuk jenis penggunaan tertentu yang banyak dianut dan dikembangkan di Indonesia. Dalam sistem ini, klasifikasi kesesuaian lahan terbagi dalam ordo sesuai (S) dan ordo tidak sesuai (N). Ordo sesuai dibagi lagi ke dalam
9
tiga kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Pada tahun 1983, Pusat Pen elitian Tanah mengembangkan sistem evaluasi kesesuaian lahan untuk pemetaan tanah tingkat semidetil (skala 1:50.000) untuk tujuan proyek transmigrasi di luar Jawa yang merupakan modifikasi dari konsep FAO (1976). Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan parameter karakteristik lahan dan pengharkatannya disesuaikan dengan kebutuhan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman perkebunan. Dalam tahun yang sama, Pusat Penelitian Tanah dan FAO (CSR/FAO, 1983) mengembangkan pula sistem evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) dalam Atlas Format Procedures, dimana disajikan kriteria kesesuaian lahan untuk 23 jenis tanaman pertanian dan 10 jenis tanaman kehutanan. Kriteria-kriteria tersebut walaupun belum diuji kebenarannya di lapangan, namun telah digunakan secara luas di Indonesia, bahkan diterapkan juga pada pemetaan tanah tingkat semidetil. Dari sistem ini kemudian Wood dan Dent (1983) membangun suatu sistem evaluasi lahan dengan komputer yang disebut LECS (Land Evaluation Computer System). Selanjutnya Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1993 membuat petunjuk teknis evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau, semidetil dan detil yang dilakukan secara manual. Selain itu, dua tahun kemudian melalui kegiatan Proyek LREP-II (Second Land Resources Evaluation and Planning Project) telah dikembangkan juga sistem ALES (Automated Land Evaluation System ) yang berasal dari Amerika Serikat (Rossiter dan Wambeke, 1994). Sistem ini menggunakan sistem pakar dan telah berkembang cepat. Semula hanya ditujukan untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah -daerah prioritas pengembangan di 17 provinsi di Indonesia, namun belakangan ini telah dikembangkan dan digunakan juga untuk berbagai keperluan dan berbagai skala pemetaan tanah di Indonesia. Terlepas dari perkembangan beberapa sistem evaluasi lahan yang telah ada, namun masih dirasakan perlunya kriteria evaluasi lahan yang tepat. Dengan tidak adanya metode evaluasi lahan yang tepat seringkali lahan -lahan yang sama diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang berbeda, bahkan kadangkadang saling bertentangan. Hal ini sangat membingungkan pengguna karena sulit
10
memilih sistem mana yang harus dianut. Terjadinya perbedaan dalam hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) perbedaan terhadap faktor-faktor yang dinilai yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, (2) perbedaan pengharkatan dalam penilaian karakteristik lahan, (3) perbedaan dalam sistem klasifikasi yang digunakan, dan (4) perbedaan dalam metode pengambilan keputusan, antara lain metode penghambat maksimum atau metode parametrik (Hardjowigeno et al., 1999). Disamping itu juga kriteria kesesuaian lahan yang telah ada masih bersifat umum dan disusun berdasarkan pengalaman empiris yang belum dikaji di lapangan dan disesuaikan dengan produksi tanaman pada tipe penggunaan lahan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan tersebut digunakan pada berbagai kondisi lahan, baik pada lahan kering maupun lahan basah atau lahan gambut. Prosedur umum tentang evaluasi lahan untuk pertanian lahan kering telah banyak dibahas oleh FAO (1983), namun kriteria kesesuaian lahan yang spesifik lokasi untuk tanaman pangan di lahan kering khususnya jagung dan kacang tanah belum dikemukakan. Spesifik lokasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang beriklim basah pada dataran rendah, datar atau diteras, sudah digunakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan dengan tipe penggunaan lahan tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis komoditas, pola tanam, tujuan produksi, dan besarnya input produksi yang diberikan terutama pupuk.
Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
Prosedur evaluasi kesesuaian lahan untuk lahan kering secara umum telah dikemukakan oleh FAO (1983) namun prinsipnya hampir sama seperti dikemukakan dalam Kerangka Acuan Evaluasi Lahan menurut FAO (1976). Perbedaan yang mendasar dari prosedur ini hanya terletak pada penentuan tipe penggunaan lahan dan pemilihan kualitas lahan yang ditekankan pada lahan kering. Dengan demikian maka penggunaan beberapa komoditas pertanian seperti padi sawah dan atau kualitas lahan yang tidak relevan dengan lahan kering tidak digunakan lagi, seperti kualitas lahan gambut. Berdasarkan tujuannya, evaluasi kesesuaian lahan dapat dibedakan berdasarkan tingkat pemetaan atau ketersediaan data, cara penilaian dan kondisi
11
saat penilaian. Berdasarkan tingkat pemetaan tanah/lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat tinjau skala 1:250.000, tingkat semi detil skala 1:50.000 dan tingkat detil skala lebih besar dari 1:25.000 (Djaenudin et al., 2003). Jenis, jumlah dan kualitas data yang dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut sangat bervariasi, sehingga penyajian hasil evaluasi kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan dalam ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit. Dari cara penilaiannya, dikenal dua macam kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif (FAO, 1976). Dalam penilaian kesesuaian lahan kuantitatif, hasil pen ilaian kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan besarnya produksi tanaman (secara fisik-kuantitatif) atau keuntungan dalam bentuk uang yang akan diterima petani (ekonomi). Masingmasing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual (saat ini) maupun potensial, yang menghasilkan kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual dihasilkan dari evaluasi kesesuaian lahan pada kondisi aktual (saat sekarang), tanpa masukan perbaikan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan dari penilaian pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan sesuai dengan jenis faktor pembatasnya.
Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan tujuan evaluasi dan persyaratan penggunaan lahan dari suatu tipe penggunaan lahan tertentu yang dihubungkan dengan kualitas lahan. Kualitas lahan terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan yang berpengaruh langsung terhadap penggunaan lahan dari suatu wilayah. Kriteria kesesuaian lahan digunakan untuk menilai atau memprediksi potensi atau kelas kesesuaian lahan dari wilayah yang bersangkutan. Persyaratan penggunaan lahan dalam pengertian kualitas lahan meliputi persyaratan tumbuh tanaman, persyaratan pengelolaan dan konservasi lahan. Setiap tipe penggunaan lahan memerlukan persyaratan penggunaan lahan yang berbeda untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pemilihan
12
kualitas/karakteristik lahan yang dibutuhkan untuk evaluasi kesesuaian lahan sangat ditentukan oleh tujuan evaluasi, relevansi, ketersediaan dan kualitas data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian atau pemetaan sumberdaya lahan. FAO (1983) secara umum telah menginventarisasi sejumlah 25 kualitas lahan beserta karakteristik lahannya yang dibutuhkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering.seperti tertera pada Lampiran 1. Namun demikian, untuk keperluan
evaluasi
lahan
yang
lebih
spesifik
lokasinya
perlu
dipilih
kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan tujuan evaluasi dan ketersediaan data di suatu wilayah. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan CSR/FAO (1983), Wood dan Dent (1983) dan Djaenudin et al. (2003) baru sebagian saja dari sejumlah kualitas lahan yang dikemukakan FAO (1983), seperti tertera pada Tabel 1. Kualitas lahan dan karakteristik lahan lainnya dapat ditambahkan atau dikurangi bila diperlukan sesuai dengan tujuan evaluasi dan kondisi lahannya. Djaenudin et al. (1994, 2000, 2003) telah menetapkan dan menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas pertanian berdasarkan kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan kondisi wilayah di Indonesia. Contoh kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah yang disusun Djaenudin et al. (2003) disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut terdiri dari 12 macam kualitas lahan dan 22 karakteristik lahan. Kriteria yang disusun masih bersifat umum dan berlaku untuk berbagai kondisi lahan, baik lahan kering maupun lahan basah (lahan sawah) atau lahan gambut serta hasil penilaiannya masih bersifat fisik-kualitatif.
Pemilihan
kualitas/karakteristik
lahan,
pengharkatan
dan
pengelompokannya ke dalam kelas-kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan pengalaman empiris dan belum dikaji di lapangan terutama mengenai hubungan antara kelas kesesuaian lahan dengan produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Perbedaan dalam tingkat pengelo laan lahan umumnya dibedakan berdasarkan tingkat pemberian input produksi, terutama pemberian pupuk untuk perbaikan kesuburan tanah (FAO, 1983). Berdasarkan kualitas lahan yang telah diidentifikasi untuk pertanian lahan kering (Tabel 1), beberapa kualitas lahan yang relevan dan perlu dikaji lebih mendalam di lahan kering beriklim basah untuk tipe
13
penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah di daerah Bogor adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran , ketersediaan hara, retensi hara, bahaya keracunan, dan bahaya erosi. Ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang cukup berpengaruh pada produktivitas lahan kering (FAO, 1983; Wood dan Dent, 1983; dan Sys et al., 1993) belum terakomodasi dalam kriteria kesesuaian lahan yang dis usun oleh Djaenudin et al. (2003). Tabel 1. Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering FAO (1983)
CSR/FAO (1983)
Suhu udara: Suhu udara Ketersediaan air: Curah hujan LGP Neraca air Ketersediaan oksigen: Drainase tanah Masa jenuh air Ketersediaan hara: N-total P-tersedia K-dd pH Rasio Fe2O3/liat Daya retensi hara: KTK tanah Total basa Kelas tekstur Kondisi perakaran: Kedalaman efektif Penetrasi akar Berat isi Bahaya keracunan: Kejenuhan Al pH Pengolahan tanah: Tekstur lapisan atas Bahaya erosi: Lereng Besarnya erosi
Rejim suhu : Suhu tahunan Ketersediaan. air: Bulan kering Curah hujan Kondisi perakaran: Kelas drainase Tekstur Kedalaman perakaran Retensi hara: KTK tanah pH Ketersediaan. hara: N-total P-tersedia K-dd Toksisitas: Salinitas/DHL Terrain: Lereng Batuan dipermu kaan Singkapan batuan
Wood dan Dent (1983) Rejim suhu: Suhu bulanan Rejim air: LGP Curah hujan Retensi hara: KTK tanah pH Ketersediaan. hara: N-total P-tersedia K-dd Salinitas : Salinitas/DHL pH Toksisitas: pH Kondisi perakaran: Kedalam. akar Kelas drainase Kelas tekstur
Sys et al. (1993) Suhu udara: Suhu udara Elevasi Ketersed. air : Curah hujan Bulan kering Kelemb. udara Kondisi perakaran: Kedalaman tanah Kelas drainase Tekstur Bahan kasar Retensi hara: KTK liat KB pH C-organik Bahaya keracunan: Aluminium Salinitas/DHL Alkalinitas Bahaya erosi: Lereng Bahaya erosi Penyiapan lahan: Batuan di permukaan Singkapan batuan
Djaenudin et al. (2003) Suhu udara: Suhu rerata Ketersediaan air: Curah hujan tahunan Kelembaban udara Ketersediaan oksigen: Kelas drainase Media perakaran: Kelas tekstur Bahan kasar Kedalaman tanah Retensi hara: KTK liat KB pH C-organik Toksisitas: Salinitas/DHL Sodisitas: Alkalinitas/ESP Bahaya erosi: Lereng Bahaya erosi Bahaya banjir: Genangan Penyiapan lahan: Batuan dipermukaan Singkapan batuan
14