TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Salmonella Salmonella (Enterobacteriaceae) merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang langsing (0.7- 1.5 x 2-5 µm), fakultatif anaerobik, uji oksidase negatif, dan uji katalase positif.
Sebagian besar strain Salmonella bersifat motil dan
memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam (Cox
2000).
Salmonella umumnya memfermentasi dulsitol, tetapi tidak memfermentasi laktosa,
menggunakan
sitrat
sebagai sumber karbon, menghasilkan hidrogen
sulfida, dekarboksilat lisin dan ornitin, tidak menghasilkan indol, dan negatif untuk uji urease. Salmonella merupakan bakteri mesofilik, dengan suhu pertumbuhan optimum antara 35 - 37°C, tetap dapat tumbuh pada range 5 - 46°C, Salmonella sensitif pada pH rendah (lebih kecil atau sama dengan 4,5) dan tidak berbiak pada Aw0,94 khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5,5 atau kurang. Salmonella dapat bertahan pada pembekuan dan bentuk kering dalam waktu yang lama. Salmonella mampu berbiak pada berbagai makanan tanpa mempengaruhi tampilan kualitasnya (Ray 2001). Salmonella secara alami hidup di saluran gastrointestinal hewan baik yang terdomestikasi maupun liar. Salmonella pada hewan dapat menyebabkan salmonellosis, pada kasus hewan bertindak sebagai pembawa penyakit. Manusia dapat
bertindak
sebagai
pembawa
penyakit
setelah
terinfeksi
dan
menyebarkannya melalui feces untuk waktu yang cukup lama. Selain itu Salmonella dapat juga diisolasi dari tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi feces (Ray 2001). Salmonella sp. menyebabkan jutaan kasus penyakit salmonellosis pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia (Nogrady et al. 2008). Kemampuan suatu bakteri patogen untuk menyebabkan infeksi dipengaruhi oleh faktor virulensi yang dimilikinya (Inglis 1996). Faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas Salmonella meliputi lipopolisakarida (LPS) dan pili (Cogan & Humphrey 2003), endotoksin yang tersusun dari lipopolisakarida (LPS) yang menyebabkan timbulnya gejala demam pada penderita salmonellosis dan enterotoksin (Ray 2001). Salmonella
memiliki gen yang mengkode lebih dari 12 tipe pili (fimbriae) yang berbeda, termasuk SEF 14, 17, 18 dan 21, long polar fimbriae (lpf) dan plasmid-encoded fimbriae (pef) (Edwards et al. 2002; Townsend et al. 2001). Salmonella di dalam tubuh inang akan menginvasi mukosa usus halus, berbiak di sel epitel, dan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan reaksi radang dan akumulasi cairan di dalam usus. Salmonella yang ada di dalam sel epitel akan memperbanyak diri dan menghasilkan termolabil enterotoksin yang secara langsung mempengaruhi sekresi air dan elektrolit sehingga menyebabkan diare (Ray 2001). Menurut Jay (2000) Salmonella secara epidemiologis, dikelompokkan menjadi tiga grup yaitu: (1) Salmonella yang menginfeksi hanya manusia; (2) Salmonella
yang beradaptasi dengan inang;
beradaptasi
(tidak membutuhkan inang).
(3) Salmonella yang belum
Grup ke 1 ini yang menyebabkan
demam typhoid dan paratyphoid, contohnya: S. enteritidis, S. typhimurium. Grup ke 2 beberapa bersifat patogen terhadap manusia, contohnya: S. galinarum (pada ayam), S.dublin (pada sapi), S.abortus-equi (pada kuda), S. abortus-ovis (pada domba) dan S.choleraesuis (pada babi). Grup ke 3 sangat patogen untuk manusia dan hewan yang menyebabkan salmonellosis. Contohnya: S. enteritidis, S. typhimurium. Salmonella dikelompokkan berdasarkan antigen somatik (O), flagela (H), dan kapsular (Vi) (Bhunia 2008; Molbak et al. 2006).
Saat ini terdapat 2463
serotipe Salmonella yang ditempatkan di bawah dua spesies, yaitu S. enterica dan S. bongori. S. enterica terdiri atas 2443 serotipe dan S. bongori terdiri atas 20 serotipe.
S. enterica terdiri atas enam subspesies yang ditulis dengan angka
romawi, yaitu I (enterica), II (salamae), IIIa (arizonae), IIIb (diarizonae), IV (houtenae), dan VI (indica). Nama isolat Salmonella ditulis sebagai S. enterica subspesies
I serovar
Enteritidis (Bhunia 2008).
Dalam sistem nomenklatur
modern informasi mengenai subspesies diabaikan, isolat dengan nama S. enterica subspesies I serovar Enteritidis pada kalimat ditulis sebagai S. enteritidis (Bhunia 2008; Molbak et al. 2006).
Salmonellosis Salmonellosis disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella yang menyerang saluran gastrointestinal yang mencakup usus halus, dan usus besar atau kolon. Serangan gastroenteritis terjadi 8-72 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar Salmonella, dengan gejala sakit perut mendadak dengan diare encer atau berair, kadang-kadang dengan lendir atau darah.
Penderita gastroenteritis
seringkali merasa mual dan muntah, demam dengan suhu 38-39oC (Chung et al. 2003; Cox 2000). Ray (2001) menjelaskan bahwa secara umum gejala penyakit salmonellosis berlangsung 2 - 3 hari, dengan angka mortalitas rata-rata 4,1 %, dengan variasi 5,8 % pada penderita berumur di bawah 1 tahun, 2 % sampai umur 50 tahun dan 15 % pada umur di atas 50 tahun. Perbedaan tingkat mortalitas juga terjadi pada berbagai spesies Salmonella, angka mortalitas tertinggi dicapai S. cholerasuis yaitu 21 %. Salmonelosis pada manusia umumnya dikategorikan penyakit yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan asal hewan yang tercemar Salmonella (daging, susu, unggas, telur).
Produk susu, termasuk keju dan es krim, juga
pernah dilaporkan terkait kasus salmonelosis (Bhunia 2008; Hugas et al. 2009). Dosis infeksi Salmonella yang menyebabkan salmonellosis tidak diketahui dengan pasti.
Dosis infeksi S. typhi pada manusia pernah dilaporkan
yaitu lebih dari 104 CFU/gr makanan, dan jumlah yang lebih besar ditemukan pada serovar yang lain. Dosis infeksi yang lebih rendah yaitu kurang dari 103 CFU/gr makanan juga pernah dilaporkan menyebabkan wabah salmonellosis pada manusia (Cooper 1994). Vought dan Tatini (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di Inggris yang terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es krim yang terkontaminasi S. enteritidis lebih besar atau sama dengan 107 CFU/gr. Beberapa penelitian menyatakan bahwa jumlah Salmonella lebih kecil atau sama dengan 105 CFU/gr telah dapat menyebabkan infeksi. Salmonella tidak tahan terhadap pH asam, tetapi mampu melewati lambung yang ber pH asam. Hal ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut mengandung banyak lemak atau gula sehingga dapat melindungi Salmonella dari keasaman lambung.
Dengan demikian bakteri tersebut dapat mencapai usus halus dan
menimbulkan gejala penyakit.
Penularan salmonellosis dapat terjadi dari hewan ke manusia melalui pangan asal hewan yang terkontaminasi Salmonella. Berbagai jenis Salmonella yang dapat menular dari hewan ke manusia tersebut adalah:
S. enteritidis, S.
typhimurium. Serovar-serovar pada kelompok ini umumnya menyebabkan gastroenteritis, dengan infeksi terbatas pada saluran pencernaan, biasanya tidak berada dalam sirkulasi darah dan masa inkubasi yang pendek. Infeksi Salmonella ini diketahui sebagai Salmonellosis-non tifoid (Cary et al. 2000; Cooper 1994). Pada periode 1999-2003 sebanyak 59 isolat Salmonella spp. dari manusia telah berhasil diisolasi oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet). Isolat-isolat tersebut adalah: S.typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S. agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S. virchow dan S. virginia (Poernomo 2004). Sudarmono et al. (2001) melaporkan bahwa selama bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret 1999, salmonellosis-non tifoid pada manusia yang paling umum terjadi disebabkan oleh S. aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, S. lexington, dan S. vircow. Salmonellosis sebagai penyakit yang ditularkan melalui makanan terdokumentasi untuk pertama kali pada akhir tahun 1800an (Cox 2000), dan sejak itu serangan Salmonella terus terjadi dan meningkat. Kasusnya menyebar secara cepat karena Salmonella mampu membentuk klon-klon baru pada hewan ternak yang berbeda (Wagener et al. 2003) dan resisten terhadap berbagai antibiotik (Chung et al. 2003). Bakteri dapat bersifat resisten terhadap antibiotik karena adanya mutasi kromosom ataupun karena pertukaran material genetik melalui transformasi, transduksi dan konjugasi melalui plasmid.
Peningkatan atau kesalahan
penggunaan antibiotik dalam bidang klinik, penggunaan antibiotik dalam bidang molekular, dan penambahan antibiotik pada pakan ternak juga dapat menyebabkan bakteri bersifat resisten terhadap antibiotik (Desselberger 1998; Neu 1992). Penelitian Kusumaningrum et al. (2012), menyatakan empat serotipe Salmonella yaitu: S. Weltevreden, S. Kenthucky, S. Typhimurium dan S. Paratyphi C yang diisolasi dari produk segar di Indonesia resisten terhadap antibiotik
chloramphenicol, erythromycin, tetracyclin, sulfamethoxazole dan streptomycin. Penelitian Tjaniadi et al. (2003), menyatakan Salmonella yang diisolasi dari penderita diare di Indonesia resisten terhadap antibiotik. S. enteritidis resisten terhadap ciprofloxacin dan norfloxacin. S. typhi resisten terhadap trimetroprimsulfamethoxazole, chloramphenicol, streptomycin dan tetracycline.
Karakteristik Fage Fage ditemukan oleh Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan Felix d’Herelle dari Pasteur Institute pada tahun 1917. Twort mengamati adanya koloni bakteri yang lisis, sifat lisis dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya. D’Herelle menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena Twort-d’Herelle (Pelczar & Chan 2007). Fage telah digunakan sebagai metode pengendalian biologis untuk berbagai aplikasi. Fage adalah virus yang menggunakan bakteri sebagai inangnya untuk bisa bereplikasi. Fage tidak dapat bereproduksi (replikasi) di luar sel karena tidak memiliki enzim untuk melakukan metabolisme (Doyle 2007). Fage terdiri dari protein kapsid yang mengandung asam inti. Asam inti dapat berupa ss-RNA, ds-RNA, ss-DNA atau ds-DNA. Asam inti ds-DNA fage dapat mengkode 50-200 protein, ss-DNA dan ss-RNA fage dapat mengkode 3-5 protein, ds-RNA fage dapat mengkode 20 macam protein. Ukuran fage jauh lebih kecil daripada bakteri, biasanya antara 20 dan 200 nm (Mc Grath & Van Sinderen 2007). Fage diperkirakan paling banyak terdapat di biosfer. Fage berada di manamana dan dapat ditemukan di semua tempat yang dihuni oleh bakteri, seperti tanah atau usus binatang. Salah satu sumber fage adalah air laut, 9 × 108 fage per mililiter telah ditemukan pada permukaan air laut (Wommack & Colwell 2000) 70% dari bakteri laut dapat terinfeksi oleh fage (Prescott 1993). Fage dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: fage berekor, fage DNA polyhedral, fage RNA polyhedral, fage berserabut, dan fage pleomorfik (Ackermann 2005). Semua fage berekor dimasukkan ke dalam golongan Caudoviridae dan terdiri dari tiga famili berdasarkan struktur ekornya, yaitu: Myoviridae (ekor kontraktil), Siphoviridae (ekor panjang, non-kontraktil), dan
Podoviridae (ekor pendek, non-kontraktil) (Ackermann 2001). Fage polyhedral memiliki kepala simetri ikosahedral dan kubik (Ackermann 1999). polyhedral
meliputi
famili:
Microviridae,
Corticoviridae,
Leviviridae, dan Cystoviridae. Fage berserabut meliputi famili: Lipothrixviridae,
dan
Rudiviridae.
Fage
pleomorfik
Fage
Tectiviridae, Inoviridae,
meliputi
famili:
Plasmoviridae dan Fuselloviridae (Ackermann 2005). Infeksi fage dimulai dengan tahap adsorpsi yaitu serat ekor fage mengenali dan mengikat reseptor permukaan spesifik sel bakteri. Pada bakteri gram negatif komponen yang dapat berfungsi sebagai reseptor permukaan dapat berupa: protein membran luar, lipopolisakarida, dan oligosakarida. Selanjutnya ekor fage menghasilkan ezim lisozim yang merusak
struktur permukaan sel bakteri
sehingga ekor fage dapat menembus permukaan sel bakteri dan menyuntikkan materi genetiknya ke dalam sel bakteri.
Didalam sel bakteri, genom fage
melakukan transkripsi. Transkripsi terjadi dalam beberapa tahap melalui gen fage yang disebut sebagai: gen awal (early genes), gen tengah (middle genes), dan gen akhir (late genes).
Produk gen awal bertanggung jawab untuk memblokir
protease dan pembatasan enzim sel inang, menghentikan metabolism sel inang, dan mendenaturasi protein sel inang. Gen tengah ditranskripsikan dan diterjemahkan untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan untuk replikasi genom fage.
Gen akhir ditranskripsi dan diterjemahkan untuk menghasilkan
komponen protein partikel fage seperti ekor, kepala dan serabut. Gen akhir juga menyandikan pembentukan lisozim yang melisiskan sel bakteri sehingga fage baru dapat dilepaskan dari sel inang (Guttman et al. 2005).
Penelitian dan Aplikasi Fage Penggunaan fage sebagai agen terapi pertama kali direalisasikan oleh Felix d’Herelle pada tahun 1919. D’Herelle melakukan penelitian penggunaan fage untuk mencegah infeksi Bacillus gallinarum pada ayam, hasil penelitiannya menunjukkan ayam yang diberi pengobatan fage lebih sedikit mengalami kematian dan infeksi dapat dicegah (Kutter & Sulakvelidze 2005). Penggunaan fage sebagai bentuk terapi telah diteliti dengan baik sebelum pengenalan antibiotik. Selama perang dunia II, Jerman dan Soviet menggunakan terapi fage
untuk mengobati disentri, namun munculnya antibiotik pada tahun 1940-an menyebabkan penurunan penggunaan fage terapi dan penelitian tentang fage terapi. Pada saat ini dengan adanya peningkatan jumlah bakteri yang resisten antibiotik, penelitian tentang fage kembali meningkat terutama sebagai pengawet produk makanan (Doyle 2007). Fage litik memiliki aktivitas antibakteri yang luar biasa. Fage dilaporkan lebih efektif daripada antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri tertentu pada manusia (Sakandelidze 1991). Studi oleh Meladze et al. (1982) menggunakan fage untuk mengobati pasien penderita penyakit paru-paru dan pleura bernanah yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan fage membaik sebanyak 82%, sedangkan yang diobati dengan antibiotik hanya 64%. Pemulihan kesehatan kelompok pasien yang menerima fage secara intravena bahkan lebih tinggi yaitu 95%. Fage dapat ditemukan pada bahan makanan. Hal ini memungkinkan fage dapat digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan kontaminasi patogen Salmonella dari makanan (Doyle 2007). Penelitian penggunaan fage spesifik E. coli secara oral aman dilakukan pada manusia telah dilaporkan oleh Bruttin dan Brussow (2005). Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan fage sangat efektif mengurangi kontaminasi Salmonella. Penelitian yang dilakukan oleh Modi et al. (2001) menggunakan fage SJ2 pada starter produksi keju cheddar mampu mengontrol pertumbuhan S.enteritidis. Keju eksperimental yang ditambahkan dengan fage memiliki kadar kontaminasi S.enteritidis yang sangat rendah yaitu 50 CFU / g, sedangkan semua keju yang tanpa penambahan fage memiliki jumlah S.enteritidis 103 CFU / g. Whichard et al. (2003) menyatakan fage tipe liar dan fage Felix 01 dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi S. typhimurium menjadi 102 CFU / g pada sosis ayam. Leverentz et al. (2001) menggunakan fage untuk mengurangi kontaminasi Salmonella pada produk buah segar, fage mampu mengurangi jumlah Salmonella pada potongan melon segar sebesar 3,5 log pada 5° C dan 10° C, dan 2,5 log pada 20° C.
Pao et al. (2004) menyatakan
penggunaan fage terbukti secara signifikan mampu menekan pertumbuhan S. typhimurium dan S. enteritidis pada biji brokoli dan biji sawi selama 24 jam.
Dalam hal pengendalian Salmonella, spesifisitas inang adalah sebuah rintangan untuk dapat mengurangi tingkat pencemaran.
Fage tunggal tidak
mampu melisiskan semua serovarian Salmonella, maka penggunaan gabungan beberapa fage (koktail fage) harus dirancang agar mampu melisiskan semua strain Salmonella (Joerger 2003).
Produksi koktail fage yang efektif untuk
Salmonella telah dilaporkan sebelumnya oleh Chighladze et al. (2001), yaitu mengembangkan koktail fage yang mampu melisiskan 232 dari 245 isolat Salmonella terdiri dari 21 serovarian dengan 78 pola jenis Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE). Keberhasilan pengobatan dengan menggunakan fage terhadap pasien yang menderita penyakit infeksi Salmonella yang resisten terhadap antibiotik pernah dilaporkan oleh Slopek et al. (1983). Penelitian infektivitas fage litik pada enteropatogenik E. coli resisten antibiotik dari pasien penderita diare di Indonesia telah dilaporkan oleh Budiarti et al. (2011), fage mampu melisiskan sel EPEC K1.1 yang resisten terhadap antibiotik tetrasiklin dan ampisilin sebesar 22% setelah 5 jam dan 84% setelah 24 jam.