TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Anak Jalanan Anak jalanan adalah anak yang berusia 5–18 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, memiliki komunikasi yang minimal atau sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga dan kurang pengawasan, perlindungan dan bimbingan sehingga rawan terkena gangguan kesehatan dan psikologi (UNICEF 2001). Menurut Moeliono (2001) secara operasional dapat dikatakan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan lebih dari empat jam waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Hasil penelitian dan penanganan anak jalanan di beberapa kota besar menunjukkan ada dua kategori anak jalanan yaitu: Pertama, children of the street, tipe ini adalah anak yang hidup dan tinggal di jalanan, tidak berhubungan lagi dengan keluarganya dan di lingkungan anakanak jalanan biasanya disebut gelandangan, gembel, tekyan dan sebagainya. Mereka biasanya tidak mempunyai tempat tinggal maupun pekerjaan yang tetap sehingga banyak diantara mereka terlibat dalam pencurian, kriminalitas dan penggunaan NARKOBA (Narkotik, Alkohol, Obat dan Bahan Adiktif). Kedua, children on the street also called working children. Di Indonesia jenis anak ini disebut pekerja anak di jalan yakni anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan atau tempat-tempat umum untuk membantu keluarganya. Pada umumnya mereka bekerja untuk memperoleh pendapatan sehingga biasanya mereka relatif tidak banyak menggunakan waktu luang untuk hal lain seperti penggunaan NARKOBA (Moeliono 2001). UNICEF mengkategorikan anak jalanan ke dalam tiga kelompok yaitu children at risk, children on the street dan children of the street. Children at risk didefinisikan sebagai anak malang dengan faktor risiko tertentu seperti kemiskinan dan putus sekolah yang dapat memicu mereka untuk pergi dari rumah dan menghabiskan sebagian hidup mereka di jalan. Children on the street bekerja di jalan sepanjang hari dan kembali ke rumah pada malam hari. Pekerjaan mereka sebagai tenaga kasar seperti menyemir, menjual permen dan barang lain, mencuci dan menjaga mobil atau membawa barang. Children of the street memiliki kontak yang sangat minimal dengan keluarga serta hidup dan tidur di jalan dengan teman atau yang lebih dewasa. Kategori yang lain adalah
abandoned street children yaitu anak jalanan yang tidak berhubungan dengan orangtua lagi (Gilbert et al. 2004). Dari hasil pengolahan data Susenas 2000 diperkirakan jumlah anak terlantar di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 3,06 juta anak dan anak dalam kondisi rawan terlantar diperkirakan berjumlah 10,09 juta anak. Anak jalanan diperkirakan berjumlah 39.861 anak di 12 kota besar. Sebesar 53,7 persen anak laki-laki dan 46,0 persen anak perempuan putus sekolah yaitu di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Mataram, Makasar, Medan, Padang, Palembang dan Lampung (Hamid 2008). Berdasarkan hasil survai tri wulan I di Jakarta, menurut kelompok umur persentase jumlah anak jalanan pada kelompok umur 10-14 tahun merupakan yang terbesar diikuti oleh kelompok umur 15-18 tahun, 19-21 tahun dan 5-9 tahun sedangkan anak jalanan pada kelompok umur balita persentasenya paling kecil (BPS 2001). Pada dua rumah singgah yang berada di Kotamadya Bandung, rentang usia anak jalanan berkisar antara 13-18 tahun (Sugiharto 2001). Pada semua hasil penelitian ada indikasi ketidakseimbangan gender yang jelas pada anak jalanan yakni 75-90 persen anak jalanan di Amerika Latin dan Afrika adalah laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki memiliki kebebasan dan mampu berdapatasi dengan lingkungan jalanan sejak dini untuk memperoleh uang demi menambah pendapatan keluarga meskipun orangtua khawatir dengan adanya kekerasan, obat-obatan dan kecelakaan. Harapan masyarakat dan keluarga terhadap anak perempuan yaitu lebih baik tinggal di rumah melakukan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Perempuan yang tinggal di jalan kebanyakan memiliki masalah serius dalam keluarga dengan banyak masalah mengenai penyalahgunaan fisik dan seksual sebelum meninggalkan rumah (Abdelgalil et al. 2004). Berdasarkan studi yang dilakukan Suhartini (2008) terhadap anak jalanan di Kota Bogor, kebanyakan anak jalanan yang berusia 13-18 tahun turun ke jalan untuk mencari tambahan uang saku sedangkan pada usia 16-18 tahun kebanyakan turun ke jalan karena kesulitan ekonomi. Sebagian anak jalanan memperoleh pendapatan Rp.15.000 per hari. Biasanya penghasilan mereka tidak sama setiap harinya. Rata-rata mereka tidak memiliki target penghasilan setiap harinya. Alokasi pendapatan yang diperoleh beragam, sebagian besar alokasi penghasilan untuk bertahan hidup yaitu diberikan kepada orangtua dan makan sehari-hari.
Latar Belakang dan Penyebab Anak Turun ke Jalan Tidak ada satu faktor tunggal yang menyebabkan anak berada, tinggal, hidup atau bekerja di jalanan melainkan ada banyak faktor (multifaktor) yang sangat terkait. Pada dasarnya ada tiga faktor utama sebagai penyebab yaitu: kemiskinan, faktor-faktor keluarga dan pengaruh lingkungan. Setiap faktor bisa saling tumpang tindih atau terkait dengan faktor lainnya. Kemiskinan, persoalan dalam keluarga atau hubungan keluarga yang buruk dan pengaruh lingkungan sebaya yang secara bersamaan dapat memberi tekanan yang begitu besar pada anak sehingga meninggalkan rumah dan melarikan diri ke jalan untuk mencari kebebasan, perlindungan dan dukungan dari jalanan dan dari rekan-rekan senasibnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak anak jalanan berasal dari keluarga besar (5-10 jiwa) dengan orangtua yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal (pemulung, pedagang, asongan/kaki lima, supir dan sebagainya) berpenghasilan rendah atau juga petani miskin di desa (Moeliono 2001). Ada empat hal yang perlu diperhatikan dari faktor keluarga yang menyebabkan anak di jalan. Pertama, orangtua tunggal yakni wanita sebagai kepala keluarga. Banyak anak jalanan berasal dari keluarga tanpa ayah. Kedua, pengalaman
atau
kejadian
traumatis
dalam
keluarga.
Orangtua
sakit
berkepanjangan, keluarga terlibat hutang/kredit, perkelahian dalam rumah tangga, perceraian dan lain-lain menjadikan anak lebih betah tinggal di jalan. Ketiga, penyalahgunaan dan kekerasan terhadap anak. Penelitian DAI-YKAI (1994) menunjukkan bahwa 60 persen dari anak jalanan yang diteliti kabur dari rumah akibat konflik yang dihadapinya di dalam keluarga. Keempat, pandangan terhadap nilai anak. Dari penelitian Atmajaya di tiga kota, terungkap bahwa masih banyak juga orangtua di kota dengan kondisi sosial ekonomi rendah baranggapan bahwa bekerja lebih penting daripada sekolah (Moeliono 2001). Lingkungan juga mempunyai pengaruh kuat atas pola pikir dan perilaku seseorang. Dari penelitian yang dilakukan DAI-YKAI (1994) sebesar 79 persen anak jalanan yang diteliti memperoleh akses menjadi anak jalanan di Jakarta melalui teman atau kerabat yang sudah lebih dahulu berada di Jakarta. Mereka umumnya tertarik pada cerita, pengalaman atau penghasilan rekan-rekan atau kerabatnya yang sudah lebih dahulu berada di Jakarta (Moeliono 2001). Survai yang dilakukan oleh BPS (2001) terhadap keberadaan anak jalanan di Jakarta menyatakan bahwa ada beberapa alasan atau faktor yang
menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan. Alasan tersebut diantaranya sebagian besar dari mereka merupakan korban eksploitasi kerja, kemudian diikuti oleh alasan tidak punya tempat tinggal dan alasan keluarga tidak harmonis. Kebanyakan anak jalanan kembali ke rumah pada malam hari dan mereka turun ke jalan hanya untuk menambah penghasilan mereka sendiri dan keluarga. Pendapatan ini sangat penting untuk keuangan keluarga karena banyak orangtua yang memperoleh uang dari anaknya. Hal ini
disebabkan rata-rata
pendapatan anak di jalanan lebih besar daripada program beasiswa pemerintah. Beasiswa ini bertujuan untuk mendorong agar anak tetap sekolah namun tidak seperti yang diharapkan orangtua bahwa beasiswa dapat mengganti pendapatan yang diperoleh anaknya (Gurgel et al. 2004). Rumah Singgah Rumah singgah adalah organisasi sosial atau merupakan organisasi intregrasi yang sengaja dibentuk karena tujuan-tujuan yang ingin dicapai yaitu terbinanya anak-anak jalanan. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial rumah singgah adalah tempat penampungan bagi anak jalanan dengan memberikan kemudahan bagi eksistensi mereka dengan memberikan pelayanan dan pembinaan yang bermisi sebagai penyiapan untuk masa depannya (Sugiharto 2001). Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan anak jalanan menurut Departemen Sosial RI (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) adalah kebutuhan makan 3 kali sehari, kebutuhan pakaian, kebutuhan kesehatan, kebutuhan tempat tinggal, kebutuhan pendidikan, kasih sayang dari orangtua, uang saku dan citacita atau harapan. Fungsi rumah singgah adalah sebagai tempat pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan, pusat assessment dan rujukan, fasilitator, tempat perlindungan, rumah informasi, kuratif-rehabilitatif, akses terhadap pelayanan dan resosialisasi (Sugiharto 2001). Prinsip rumah singgah disusun sesuai dengan karakteristik pribadi maupun kehidupan anak jalanan untuk memenuhi fungsi dan mendukung strategi. Prinsip rumah singgah adalah:
1. semi institusional yaitu anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan 2. pusat kegiatan yaitu rumah singgah merupakan tempat kegiatan, pusat informasi dan akses semua kegiatan yang dilakukan didalam maupun diluar rumah singgah 3. terbuka 24 jam yaitu anak jalanan boleh datang kapan saja 4. hubungan informasi dalam rumah singga bersifat informal seperti perkawanan dan kekeluargaan 5. bermain dan belajar 6. persinggahan dari perjalanan ke rumah atau ke alternatif lain. Rumah singgah merupakan persinggahan anak jalanan dari situasi jalanan menuju situasi lain yang dipilih dan ditentukan oleh anak (Zulfadli 2004). Pola Aktivitas Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktifitas remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang ulang (Kartono 1992 dalam Ratnayani 2005). Hasil survai di Jakarta menunjukkan bahwa aktivitas anak jalanan yang paling dominan adalah mengamen, kemudian mengasong dan mengemis yang masing-masing sebesar 54,61 persen, 29,85 persen, dan 6,24 persen. Selain itu, banyak anak jalanan yang sudah tidak sekolah lagi yaitu sebesar 46,89 persen sementara yang masih sekolah dan ingin sekolah tetapi tidak mampu berturut-turut 27,56 persen dan 16,74 persen (BPS 2001). Anak jalanan umumnya bekerja antara 4-18 jam per hari jika melakukan satu atau sejumlah aktivitas dengan rata-rata 11 jam kerja per hari (UNICEF 2001). Dengan jam kerja yang tidak yang menentu, anak jalanan sering ditemui sampai larut malam mengikuti kehidupan kota. Dengan demikian anak jalanan hanya bekerja pada siang sampai sore hari dan tidur pada pagi harinya. Selain itu, aktivitas lain dalam kehidupan anak jalanan adalah mendapatkan tempat aman untuk tidur, tempat untuk istirahat, mendapatkan uang untuk bersenangsenang sedikit dan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka (Twikromo 1999 dalam Janaka 2000). Selain melakukan aktivitas dalam mencari nafkah atau dalam pendidikan, di sela waktu istirahatnya sebagian anak jalanan melakukan kegiatan buruk yang
seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak. Ada tiga ketegori besar kegiatan negatif yang menyertai kehidupan anak jalanan yaitu merokok, minumminuman keras dan mengkonsumsi narkoba (BPS 2001). Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kelebihan atau kekurangan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, aktivitas fisik (Almatsier 2006). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Kusharto & Sa’adiyah 2006). Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuesi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu, maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Secara umum tujuan survai konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Berdasarkan jenis data terdapat dua jenis data yaitu kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makanan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode-metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode
telepon, metode pendaftaran makanan (food list). Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), dafar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM) (Supariasa et al. 2001). Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dilakukan dengan cara mencatat jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam ukuran rumah tangga setelah itu dikonversikan ke dalam satuan berat. Pada metode ini subjek diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan dalam 24 jam atau sehari yang lalu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi pada individu (Gibson 2005). Beberapa cara dilakukan oleh anak tunawisma untuk memperoleh pangan. Cara memperoleh pangan tersebut diantaranya membeli sendiri, diberi oleh orang lain, sumbangan, tempat sampah atau sisa makanan, pangan yang diperoleh dari program darurat dan pangan yang diperoleh dari lainnya (Tarasuk et al. 2005). Higiene personal Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya penyakit pada higiene personal (kesehatan peseorangan) diantaranya sebagai berikut (Widyati & Yuliarsih 2002) : 1. Mandi minimal dua kali sehari untuk mencegah dan menghindari penyakit kulit 2. Menyikat gigi 3. Pakaian yang bersih 4. Olahraga 5. Minuman yang direbus 6. Mencuci tangan sebelum memegang makanan Mencuci tangan merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penyebaran penyakit diare. Sabun dan abu gosok merupakan pembersih dan desinfektan yang menggunakan air dan dapat digunakan untuk membunuh bakteri patogen pada tangan dan peralatan. Waktu yang paling
penting dalam mencuci tangan adalah setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang buang air besar dan sebelum makan atau memegang makanan (WHO 2008). Menurut Depkes RI (2000) kejadian diare erat kaitannya dengan kebiasaan hidup bersih dan sehat, seperti pemeliharaan higiene personal. Begitu juga halnya dengan penyakit kulit dan gigi (Sari 2007). Mandi dan mengganti pakaian secara teratur penting untuk kebersihan dan penampilan seseorang yang baik. Hal ini juga termasuk higiene pencegahan terhadap penyakit seperti skabies, cacing gelang, trakoma, konjungtivitis dan tifus (WHO 2008). Rendahnya higiene personal pada anak jalanan akibat tidur di jalan dan bekerja di lingkungan tidak sehat merupakan alasan mengapa anak jalanan mudah terkena penyakit (UNICEF 2001). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Infeksi pernapasan akut merupakan penyebab masalah kesehatan paling umum yang terjadi di dunia. WHO telah memperkirakan bahwa terdapat 14-15 juta kematian anak di bawah lima tahun dalam setahun dan sepertiganya adalah karena infeksi pernapasan akut. Meskipun penyakit ini belum didefinisikan ke dalam kelompok penyakit, namun infeksi pernapasan akut termasuk di dalamnya batuk influenza, pneumonia, bronkhitis, dan sejumlah penyakit infeksi lainnya. Kebanyakan infeksi pernapasan ditemukan di bagian dunia yang lebih dingin atau di dataran tinggi pada daerah tropis (Webber 2005). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat bersifat akut atau kronik. Istilah ISPA atau Acute Respiratory Infection (ARI) meliputi tiga unsur yaitu: 1. Infeksi yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit 2. Saluran pernapasan yaitu organ mulai dari hidung hingga alveoli. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adenoksa saluran pernapasan (sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura) 3. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menujukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes 2004 dalam Fitriyani 2008).
Diare Diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer bahkan dapat berupa air saja yang terjadi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih dari sehari). Diare disebabkan oleh kuman yang ada pada kotoran manusia, ditularkan melalui lalat atau air yang tidak bersih, tangan yang tidak bersih dan keracunan makanan. Tanda-tanda diare diantaranya adalah buang air besar encer terus-menerus (lebih dari tiga kali sehari) kadang disertai muntah (muntaber) dan panas, nafsu makan berkurang dan selalu haus serta badan lesu dan lemas (Latifah et al. 2002). Diare ada dua jenis yaitu diare akut dan kronis. Diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari tiga minggu yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab lainnya sedangkan diare akut adalah diare yang timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari. Diare akut lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil daripada anak yang lebih besar. Penyebab prevalensi yang tinggi dari penyakit diare di negara yang sedang berkembang yaitu kontaminasi dari sumber air yang tercemar dan terjadinya defisiensi zat gizi yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (As’ad 2002). Diare akut lebih mudah diobati dibandingkan yang kronis. Diare akut akan segera hilang setelah gejala atau penyebabnya teratasi. Sebaliknya pengobatan diare kronis lebih spesifik sebab terlebih dahulu harus menemukan dahulu penyebabnya sebelum dilakukan tindakan pengobatan. Diare akut dapat menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi). Dehidrasi berat sering menimpa bayi, anak-anak maupun orang dewasa (manula). Jika terlambat ditanggulangi dapat berakibat fatal. Sebaliknya diare kronis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan gizi (Uripi 2000). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah diare diantaranya menggunakan air bersih dan sehat untuk minum, masak, mencuci makanan dan peralatan makan, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggunakan jamban atau kakus sehat ketika buang air besar atau kecil dan membuang tinja bayi atau anak kecil ke dalam lubang jamban (Latifah et al. 2002). Penyakit Kulit Folikulitis Folikulitis adalah infeksi bakteri pada folikel rambut yang menyebabkan formasi bisul-mengumpulkan nanah di bawah lapisan kulit luar. Infeksi dapat di
luar atau di dalam. Folikulitis dapat juga menjurus pada pengembangan furunkel (furunkulosis) umumnya dikenal sebagai borok atau radang (karbunkel). Penyebab umum dari folikulitis, borok dan karbunkel adalah bakteri yang disebut stafilokokus aureus. Faktor yang meningkatkan seseorang untuk terkena folikulitis antara lain luka yang terinfeksi, kebersihan yang buruk, pelemahan diabetes, kosmetik yang menyumbat pori, pakaian ketat, friksi, pemakaian bahan kimia dan pengobatan lesi kulit dengan tar atau dengan terapi penghambat, pemakaian steroid (Sitepoe 1996). Skabies Skabies di Indonesia dikenal dengan penyakit kudis. Kulit terasa sangat gatal di malam hari dan pada kulit didapat vesikula kecil-kecil berisi cairan bening. Kudis ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabei yang memasuki kulit, memakan jaringan kulit dan menaruh telur-telurnya di dalam kulit. Telur akan menetas dalam waktu 4-8 hari dan nymphanya menjadi dewasa dalam waktu dua minggu. Karena gatalnya penderita terus menggaruk-menggaruk kulitnya dan sebagai akibatnya seringkali terjadi infeksi sekunder (Slamet 2006). Skabies didapat terutama di daerah kumuh dengan keadaan sanitasi yang sangat jelek. Reservoir skabies adalah manusia; penularan terjadi secara langsung dari orang ke orang ataupun lewat peralatan seperti pakaian. Hal ini dipermudah oleh keadaan penyediaan air bersih yang kurang jumlahnya. Oleh karena itu skabies banyak didapat juga sewaktu terjadi peperangan (Slamet 2006). Cara pencegahan skabies diantaranya mandi dengan air bersih dan menggunakan sabun, gunakan cairan anti kudis jika salah satu anggota terserang kudis dan jangan menyentuh penderita, pakaian atau peralatan lain yang digunakan penderita (Latifah et al. 2002). Impetigo Impetigo adalah infeksi kulit bagian luar yang menular, ditandai oleh bidang yang melepuh amat kecil dan pecah kemudian menyerang kulit di bawahnya. Penyakit ini dapat muncul hampir dimana pun tetapi biasanya tampak pada daerah di sekitar hidung dan mulut. Gangguan ini yang biasanya muncul di akhir musim panas atau awal musim gugur, menyebar lebih mudah pada bayi, anak kecil dan orangtua. Faktor-faktor resiko tertentu seperti higiene yang buruk, anemia, kurang gizi, dan iklim hangat dapat meningkatkan kemungkinan berjangkitnya infeksi ini. Impetigo dapat merupakan komplikasi cacar ayam, eksim atau kondisi kulit lain
yang ditandai oleh pembukaan lesi. Impetigo disebabkan oleh infeksi bakteri. Tipe-tipe bakteri yang menghasilkan bakteri ini antara lain Stafilokokus aureus dan kadang-kadang kelompok Streptokokus beta hemolitikus A (Sitepoe 1996). Tinea Tinea adalah infeksi jamur yang dapat mempengaruhi kulit kepala (tinea kapitis), tubuh (tinea korporis), kuku (tinea unguium), kaki (tinea pedis), kunci paha (tinea kruris) dan kulit berjambang (tinea barbar). Infeksi tinea disebabkan oleh jamur Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton. Tranmisi dapat muncul secara langsung melalui kontak dengan lesi yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui kontak dengan benda-benda terkontaminasi seperti sepatu, handuk atau kamar mandi dus (Sitepoe 1996). Dermatitis Atropik Dermatitis atropik adalah penyakit kulit menahun atau kronik yang sangat mengganggu bagi seluruh keluarga karena sulit untuk disembuhkan dan sangat gatal. Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia namun banyak dijumpai pada anak-anak. Dapat mengenai bagian pipi, kaki, lengan dan punggung, tungkai bawah, lipatan siku-lutut, tangan, bibir, kelopak mata dan kulit kepala. Gejala dermatitis atropik dapat berupa kulit kering dan bersisik, sensitif dan mudah terangsang, kulit merah dan basah (eksim), penebalan kulit terutama di daerah yang sering mengalami garukan disertai dengan perubahan warna menjadi lebih gelap akibat peningkatan jumlah pigmen kulit serta rentan terhadap perubahan suhu (Boediarja 2002). Status Gizi dan Kesehatan Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik yang mungkin terjadi karena adanya patologi. Status makanan merupakan salah satu aspek yang mengacu pada konsumsi pangan seseorang, kelompok pangan atau zat gizi. Status makanan dan status gizi tidak sepenuhnya sama karena konsumsi pangan tidak hanya faktor yang temasuk dalam faktor penyebab tetapi asupan makanan diperlukan untuk menjaga kesehatan (Rippe 2001). Pada keluarga yang berlatarbelakang sosial dan ekonomi yang rendah atau miskin umumnya menghadapi masalah kekurangan gizi (disebut gizi kurang). Resiko penyakit yang mengancam mereka adalah penyakit infeksi terutama diare dan infeksi saluran pernapasan atas, rendahnya
intelektual dan produktivitas kerja bahkan sebagian berisiko cacat seumur hidup yaitu buta karena kurang vitamin A, cebol, kretin, dan cacat mental karena kurang zat iodium dalam tingkat parah (Soekirman 2000). Terjadinya masalah gizi kurang tidak hanya karena asupan gizi yang kurang karena makanan yang kurang tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi sering diserang diare atau ISPA dan demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Pada anak yang makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Azwar 2004). Penyebab malnutrisi pada anak jalanan adalah ganda dan berhubungan. Konsumsi makanan busuk, ketidakcukupan asupan zat gizi esensial, kebiasaan makan yang salah, dan sakit yang berulang-ulang menyebabkan malnutrisi (UNICEF 2001). Kurang gizi dihubungkan dengan gangguan kognitif dan fungsi fisiologi serta terjadi peningkatan
resiko
terhadap
penyakit.
Selain
itu
masalah
gizi
dapat
mempengaruhi masalah kesehatan seperti depresi, gangguan penyerapan zat, tuberkulosis, hepatitis B, HIV, penyakit kelamin menular, dan lain-lain yang merupakan prevalensi pada anak-anak tunawisma di Kanada (Tarasuk et al. 2005). Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Astawan & Wahyuni 1987 dalam Almasari 2007). Status kesehatan individual diartikan sebagai hasil proses yang digambarkan oleh fungsi produksi kesehatan yang menghubungkan status kesehatan dengan bermacam-macam input kesehatan (pelayanan kesehatan, makanan dan sanitasi lingkungan) (Hardjono 2000). Status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan faktor lingkungan seperti perumahan, air minum dan kesehatan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah (Subandriyo 1993 dalam Fitriyani 2008). Status kesehatan merupakan bagian dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Status kesehatan ini dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung diukur melalui pendekatan objektif yaitu pemeriksaan
medis oleh tenaga kesehatan sedangkan secara tidak langsung diukur dengan pendekatan subjektif melalui persepsi penduduk tentang kesehatan (BPS 2004 dalam Fitriyani 2008). Pada tahun 2003, dilaporkan penyakit anak jalanan rumah singgah Yayasan Masyarakat Sehat (YMS) Bandung sebagai berikut : Tabel 1 Data kesehatan anak jalanan YMS tahun 2003 No. Jenis Penyakit 1. Diare 2. Gatal-gatal dan infeksi kulit 3. Sakit gigi 4. Flu, pilek, demam 5. Anemia 6. Cacingan 7. Demam berdarah 8. TBC 9. Kecelakaan 10. Typhoid Total
Jumlah 25 orang 19 orang 11 orang 8 orang 3 orang 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 72 orang
Persentase 34,72 26,39 15,28 11,11 4,17 2,78 1,39 1,39 1,39 1,39 100
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Jabar, 2004
Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa tiga penyakit dengan angka tertinggi adalah diare, gatal-gatal dan infeksi kulit, serta penyakit gigi (Sari 2007). Anak jalanan selalu memiliki resiko tinggi terkait masalah kesehatan kronis seperti penyakit pernapasan, infestasi parasit, infeksi kulit dan penyalahgunaan obatobatan dan masalah kesehatan terkait paparan penyakit lain. Penyakit akan meningkatkan kebutuhan gizi anak jalanan dan sebaliknya imunitas mereka menjadi lebih rendah sehingga dapat membentuk lingkaran setan. Lingkungan tempat tinggal anak jalanan yang tidak sehat dan kurangya ketersediaan serta penggunaan pelayanan kesehatan juga merupakan faktor penyebab malnutrisi pada anak jalanan (UNICEF 2001).
Kerangka Pemikiran Anak jalanan menghabiskan waktu lebih dari 4 jam di jalanan baik untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Aktivitas yang dilakukan dapat berupa mengamen, mengemis, memulung, menjadi kuli angkut, berjualan dan jasa lainnya. Aktivitas ini biasanya dilakukan setiap hari sehingga menjadi pola aktivitas anak jalanan. Waktu anak jalanan yang banyak dihabiskan di jalan akan menyebabkan kebiasaan makan menjadi tidak teratur. Kebiasaan makan anak jalanan berupa frekuensi makan dan cara anak jalanan memperoleh pangan. Kebiasaan makan anak jalanan yang tidak teratur akan mengakibatkan konsumsi makan menjadi kurang teratur pula. Selain pola aktivitas dan kebiasaan makan, konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendapatan dan tingkat pendidikan. Pendapatan yang diperoleh anak jalanan menentukan jenis, kualitas dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan secara langsung mempengaruhi status gizi anak jalanan. Tingkat konsumsi pangan anak jalanan yang rendah baik kualitas maupun kuantitasnya akan menyebabkan status gizi mereka menjadi rendah. Selain status gizi, masalah yang terjadi pada anak jalanan adalah kesehatan. Aktivitas yang banyak dilakukan di jalan menyebabkan anak jalanan kurang memperhatikan kebersihan pribadi seperti mengganti pakaian, mencuci tangan, memotong kuku dsb. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit seperti diare, ISPA dan infeksi kulit. Status gizi dapat mempengaruhi status kesehatan dan sebaliknya. Status gizi yang rendah dapat menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit sedangkan status kesehatan yang rendah dapat menyebabkan status gizi yang buruk karena zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian anak jalanan memerlukan perhatian dan berhak mendapatkan status gizi dan kesehatan yang baik karena anak jalanan merupakan aset sumber daya manusia Bangsa Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Karakteristik anak jalanan: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan
Kebiasa an makan
Pola aktivitas
Sanitasi tempat tinggal
Konsumsi pangan
Status gizi dan kesehatan
Karakteristik keluarga
Higiene personal
Pelayanan kesehatan
Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan : Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti