TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Menurut Hurlock (1999), anak usia sekolah dasar termasuk ke dalam fase akhir masa kanak-kanak (late childhood). Fase ini berlangsung dari usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya, yaitu antara usia 13 sampai 14 tahun. Selain itu, menurut teori perkembangan Piaget diacu dalam Hidayat dan Alimul (2004), anak usia 7-11 tahun termasuk dalam tahap konkret operasional yaitu kemampuan untuk memahami konsep – konsep, hubungan sebab akibat, hubungan yang majemuk, serta kemampuan diri yang menyangkut proses berpikir, daya ingat, pengetahuan, tujuan dan aksi yang meningkat. Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Masa sekolah dasar dapat dirinci dalam dua fase, yaitu masa kelas rendah SD (umur 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun) dan masa kelas tinggi SD (umur 9 atau 10 tahun sampai kira-kira umur 13 tahun). Menurut Yusuf (2005), sifat khas anak pada masa kelas rendah antara lain adanya hubungan yang positif dan tergantung antara keadaan jasmani dengan prestasi, tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional, cenderung memuji diri sendiri, suka membandingkan dirinya dengan anak lain. Sedangkan, sifat khas anak masa kelas tinggi antara lain berminat terhadap pelajaran khusus, minat pada kehidupan praktis yang konkret, realitis dan selalu ingin banyak tahu, gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama, membutuhkan orang dewasa untuk membimbing belajar, dan nilai rapor dianggap sebagai ukuran yang tepat terhadap prestasi belajarnya. Karakteristik Siswa Besar uang saku Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Menurut Madanijah et al. (2010), sebagian besar siswa (77%) di Kabupaten Bogor menerima uang saku dengan kisaran Rp 500 – Rp 5000 per hari. Selanjutnya, sebanyak 46% siswa mengalokasikan uang saku yang
5
diberikan orangtuanya untuk membeli jajan. Sisa uang saku tersebut oleh anak digunakan untuk membeli peralatan sekolah (11%), transportasi (14%), dan menabung (29%). Semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun di luar sekolah (Andarwulan et al. 2009). Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Berdasarkan Suhardjo (1989), secara garis besar keluarga dapat dibagi atas keluarga inti dan keluarga dalam arti luas. Keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri dengan anak-anaknya. Sedangkan, keluarga dalam arti luas yaitu keluarga yang tidak terbatas hanya pada keluarga inti, melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orangtua dan anak-anaknya terdapat pula kakek, nenek, paman, bibi, saudara, sepupu, menantu, dan cucu. Menurut
Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
atau
BKKBN
(1998),
berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga dikelompokan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang, keluarga sedang adalah keluarga yang beranggotakan lima sampai tujuh orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga yang beranggotakan lebih dari tujuh orang. Pemenuhan konsumsi pangan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Menurut Suhardjo (1989), penambahan besarnya keluarga akan menyebabkan pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerluhkan pangan relatif tinggi daripada golongan yang lebih tua. Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Menurut Padmiari dan Hadi (2001), tingkat pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap pemilihan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, pengetahuan tentang gizi semakin baik. Pengetahuan gizi yang baik akan berpengaruh terhadap kebiasaan makan keluarga karena pengetahuan gizi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan
6
kebiasaan makan seseorang. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Selain itu, tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional dan psikologi) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah (Atmarita 2004). Pekerjaan Orangtua Bekerja
adalah
kegiatan
melakukan
pekerjaan
dengan
maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Menurut Suhardjo (1989), besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al. 1994). Pendapatan Orangtua Menurut Soekirman (2000) dan Hartog et al. (1995) menyatakan bahwa berdasarkan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan
untuk
pangan
meningkat.
Peningkatan
pendapatan
akan
mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Apabila tingkat pendapatan perkapita lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan padat energi, terutama padi-padian. Menurut Soekirman (2000), apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi pangan di luar rumah. Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindari seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Individu yang berpengetahuan baik akan mempunyai
7
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya di dalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi kebutuhan bisa lebih terjamin (Suhardjo 2003). Selanjutnya, Suhardjo (2003) menyatakan suatu hal yang menyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, (3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992). Selanjutnya, Khomsan (2000) menyatakan tingkat pengetahuan gizi siswa dapat diperoleh melalui skor dari beberapa pertanyaan yang berbentuk multiple choice. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah. Selanjutnya tingkat pengetahuan gizi siswa dikategorikan dengan menetapkan cut of point dari skor yang telah dijadikan persen. Adapun, kategori untuk tingkat pengetahuan gizi dibagikan ke dalam tiga kelompok yaitu baik (>80%), sedang (60-80%), dan kurang (<60%). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa SD di Kabupaten Bogor tahun 2010 tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan, bahwa sebanyak 59.6% siswa SD di Kabupaten Bogor memiliki pengetahuan gizi tergolong sedang meskipun yang tergolong baik hanya sebanyak 5.3% siswa dan sisanya (35.1%) tergolong rendah (Adriani 2010). Selain itu, hasil penelitian Andarwulan et al. (2009) tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan secara nasional pada siswa SD diketahui bahwa rata-rata skor pengetahuan gizi siswa adalah sekitar 63,0 atau termasuk cukup. Siswa di SD yang berakreditasi A memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa di SD yang terakreditasi B, C, dan tidak terakreditasi. Sedangkan siswa di luar Jawa memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan lebih baik dibandingkan dengan siswa di Jawa.
8
Menurut Sanjur (1982), pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi pangan tidak selalu linear. Artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi anak belum tentu konsumsi pangannya menjadi baik. Konsumsi pangan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan hasil interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Selain itu, menurut penelitian Ekeke dan Thomas (2007) di Wales menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pemilihan pangan anak dengan pengetahuan mereka tentang gizi seimbang. Meskipun anak-anak tahu bahwa mereka membutuhkan makanan yang sehat untuk pertumbuhan, kesehatan, dan pemenuhan energi, serta bahwa vitamin dan serat baik bagi mereka, permen dan gorengan tidak baik untuk mereka, namun sangat sedikit pemahaman tentang fungsi zat gizi di dalam tubuh. Konsumsi Pangan Pangan merupakan sumber berbagai zat gizi dan termasuk kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari. Menurut Maslow, pangan menduduki peringkat pertama dari kebutuhan lainnya. Setiap individu membutuhkan pangan untuk menjaga
kelangsungan
hidupnya.
Kebutuhan
pangan
perlu
diupayakan
ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, layak, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (Khomsan 2002). Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al. 2002). Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Meningkat jumlah dan mutu konsumsi makanan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi, perubahan sikap serta perubahan perilaku
sehari-hari
dalam
menentukan,
memilih
dan
mengkonsumsi
makanannya. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Mengkonsumsi pangan tidak hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kecerdasan dan kemampuan fisik tubuh. Konsumsi pangan yang kurang atau lebih dari yang diperlukan tubuh dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama akan berdampak buruk bagi kesehatan. Pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut. Menurut Soekirman et al. (2010), anjuran pemberian makanan sehari anak usia 6-9 tahun adalah nasi tiga porsi (300 g), daging tiga porsi (105
9
g), tempe dua porsi (100 g), sayur dua porsi (200 g), buah 3,5 porsi (75-105 g), minyak tiga porsi (15 g), gula dua porsi (26 g), dan susu satu porsi (4 sdm = 20 g). Penilaian Konsumsi Pangan Menurut Supariasa et al. (2001) penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian konsumsi pangan secara kuantitatif dihitung jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan penilaian konsumsi pangan secara kualitatif dengan melihat frekuensi makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan kebiasaan makan (food habit). Ada lima metode yang sering digunakan untuk pengukuran konsumsi makanan individu secara kuantitatif, yaitu metode recall 24 jam, metode estimated food records, metode penimbangan makanan, metode dietary history dan metode frekuensi makanan. Metode recall merupakan salah satu metode yang sering dipakai dalam penilaian konsumsi pangan. Dalam metode ini, responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan, biasanya makanan sehari atau 24 jam yang lalu. Responden diminta untuk mengingat jenis masakan yang dimakan dalam bentuk masak (kecuali untuk makanan-makanan tertentu yang biasa dikonsumsi dalam bentuk segar dan mentah) dalam ukuran rumah tangga (URT) misalnya gelas, mangkuk, sendok makan dan sebagainnya. Untuk membantu mengestimasi jumlah makanan yang dimakan, deskripsikan dan identifikasi secara tepat setiap jenis pangan dengan menggunakan ukuran porsi, food models, atau foto pangan. Penggaris dapat digunakan untuk mengestimasi ukuran pangan. Kuesioner yang terstruktur digunakan sebagai panduan pengisian data. Responden biasanya merangkap sebagai sasaran dalam penelitian. Namun, jika sasaran penelitian anak-anak, maka yang menjadi responden adalah ibunya atau seseorang yang cenderung mengetahui apa saja yang dimakan oleh anaknya (Sa’diyah dan Kusharto 2007). Motode recall ini memiliki banyak kelebihan. Menurut Supariasa et al. (2001), kelebihan metode recall yaitu 1) mudah melaksanakannya dan tidak terlalu membebani responden; 2) biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara; 3) cepat sehingga dapat mencakup banyak responden; 4) dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Selain itu, metode ini juga mempunyai kekurangan seperti, 1) tidak dapat
10
menggambarkan asupan makanan sehari-hari, bila hanya dilakukan food recall satu hari; 2) ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden. Kebutuhan Energi dan Protein Gizi pada anak sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan untuk mendapatkan kesehatan yang positif. Kebutuhan energi individu ditentukan oleh resting energy expenditure (REE), kecepatan pertumbuhan, dan tingkat aktivitas. Perbedaan nilai REE sesuai dengan jumlah dan komposisi jaringan dengan metabolisme aktif yang dikelompokkan menurut umur dan gender (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI 2009). Kebutuhan protein merupakan konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui. Kebutuhan asam amino dan protein untuk anak-anak dapat ditentukan dengan menggunakan metode faktorial, yaitu dengan menghitung kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh (Almatsier 2006). Kebutuhan protein berdasarkan kegunaannya dalam mempertahankan jaringan, perubahan komposisi tubuh, dan sintesis jaringan baru (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI 2009). Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia sekolah (7-9 tahun) dan (10-12 tahun), menurut WKNPG 2004 tercantum dalam Tabel 1. Rumus formula estimasi dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan individu secara aktual. Mulai umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik misalnya olahraga dan bermain, sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai haid sehingga memerlukan protein yang lebih banyak. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhannya lebih cepat, terutama dalam hal pertumbuhan tinggi badan (Kurniasih 2010). Tabel 1 Formulasi perhitungan angka kebutuhan gizi Anak SD Umur Anak (7-9 tahun) Anak Pria (10-12 tahun) Anak Wanita (10-12 tahun)
Standar AkF
Rumus Formula Estimasi AKE
AKP
AKE
AKP
1.31
(88.5-61.9U)+26.7BB(AkF)+903TB+20
0.95/kg BB
1800
45
1.42
(88.5-61.9U)+26.7BB(AkF)+903TB+25
0.95/kg BB
2050
50
1.31
(88.5-61.9U)+26.7BB(AkF)+903TB+25
0.85/kg BB
2050
50
Sumber : Hardinsyah dan Tambunan (2004)
11
Intik Energi dan Protein Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan seperti menghasilkan energi, mengganti jaringan aus serta rusak, memproduksi substansi tertentu misalnya enzim, hormon dan anti bodi. Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok makronutrien yang terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, dan kelompok mikronutrien yang terdiri atas vitamin dan mineral (Hartono 2006). Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan gizi. Menurut Depkes (1996), klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein adalah: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); (5) kelebihan (≥ 120% AKG). Energi Menurut
Almatsier
(2006),
energi
merupakan
salah
satu
hasil
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi di dalam tubuh akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi tubuh dan merupakan risiko untuk menderita penyakit kronis. Sedangkan, kekurangan energi di dalam tubuh mengakibatkan berat badan kurang dari berat badan seharusnya (Ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Menurut Lestari (2011), rata-rata intik energi siswa SD di Bogor adalah 1969±630 kkal/kap/hari. Adapun, pangan sumber energi adalah bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian. Setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian, umbiumbian, dan gula murni (Almatsier 2006). Protein Istilah protein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti yang utama atau yang didahulukan. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh setelah air. Protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke
12
jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat gizi termasuk zat besi (Fe). Kelebihan protein protein (asam amino) di dalam tubuh dapat memberatkan fungsi ginjal dan hati, karena harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum darah dan demam (Almatsier 2006). Rata-rata intik protein siswa SD di Bogor adalah 52 g/kap/hari (Syafitri 2010). Menurut Almatsier (2006), sumber protein yang berasal dari pangan hewani antara lain telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan, sumber protein nabati kacang kedelai dan olahannya seperti tempe, tahu, dan kacang-kacangan lainnya. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2006). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan (Gibson 2005). Sedangkan menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan (Riyadi 2006). Metode penilaian status gizi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Antropometri merupakan salah satu metode penilaian status gizi secara langsung. Antropometri digunakan untuk mengukur status gizi anak dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa et al. 2001). Menurut Thuluvath dan Triger (1994) pengukuran antropometri merupakan indikator yang reliable terhadap pengukuran status gizi. Menurut Depkes (2011), ada empat indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menilai status gizi anak, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).
13
Menurut Gibson (2005), indeks antropometri dapat dinyatakan dalam istilah
z-skor,
persentil atau persen terhadap median.
Indikator BB/U
menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB). Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan status gizi saat ini secara sensitif dan spesifik. Status gizi siswa dihitung menurut TB/U dan IMT/U. Menurut WHO (2007), TB/U dan IMT/U merupakan indikator yang direkomendasikan untuk menilai status gizi pada anak usia 5-19 tahun.
Berdasarkan indikator TB/U,
status gizi dikategorikan ke dalam status gizi sangat pendek, pendek, normal dan tinggi, sedangkan indikator IMT/U, status gizi dikategorikan ke dalam status gizi sangat
kurus,
kurus,
normal,
gemuk
dan
obesitas.
Lebih
jelasnya,
pengkategorian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/U Indeks Antropometri TB/U
IMT/U
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5.
Variabel < -3 SD - 3 ≤ Z <-2 SD - 2 ≤ Z ≤ +2 SD > +2 SD < -3SD -3 SD ≤ Z < -2 SD -2 SD ≤ Z ≤ +1 SD +1 SD < Z ≤ 2 SD > +2 SD
Kategori Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas
Sumber : WHO (2007) dan Depkes (2011)
Berdasarkan Supariasa et al. (2001) pengukuran status gizi dengan menggunakan metode antropometri memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dari metode ini adalah (a) tidak sensitif, (b) faktor di luar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunanaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri, (c) kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi. Sedangkan kelebihannya adalah (a) relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, (b) metode ini tepat dan akurat, (c) dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau, (d) umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk, (e) dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.