TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah WHO memberi batasan anak usia sekolah adalah anak dengan usia 6-12 tahun. Mereka berbeda dengan orang dewasa, karena anak mempunyai ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang, sampai berakhirnya masa remaja. Anak
sekolah
sedang
mengalami
pertumbuhan
dan
perkembangan.
Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan tubuh yang berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks. Anak usia sekolah sedang mengalami: (1) Perkembangan fisik. Fisik anak usia sekolah lebih kuat dibandingkan usia dibawahnya, sehingga aktivitas
fisiknya
tampak
lebih
menonjol
dan
mempunyai
kemampuan
motorik/bermain ; (2) Perkembangan mental. Anak mempunyai minat terhadap tugas-tugas sekolah seperti membaca, menulis, berhitung dan menggambar. Mereka senang bertanya kepada orang lain (guru atau orang tua) dimana mereka
sedang
mengeksplorasi
apa
yang
dilihat
dan
dirasakan;
(3)
Perkembangan emosi. Anak pada usia ini sudah mampu mengendalikan emosi. Anak sudah dapat mengendalikan emosi di lingkungannya tetapi di luar rumah kadang masih kurang; (4) Perkembangan sosial. Anak sedang mempelajari cara bersosialisasi pada peran social di masyarakat (Almatsier 2001). Anak sekolah sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak oleh karena itu diperlukan asupan makanan yang mengandung gizi seimbang, agar proses tersebut tidak terganggu. Pada masa sekolah selain peran orang tua, kesadaran anak sekolah juga diperlukan karena mereka sudah mampu memilih makanan mana yang dia sukai. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2001). Fase usia sekolah membutuhkan asupan makanan yang bergizi untuk menunjang masa pertumbuhan dan perkembangannya. Kecukupan tubuh akan energi jauh lebih besar dibandingkan usia sebelumnya, karena anak sekolah lebih banyak melakukan aktivitas fisik seperti bermain, berolahraga atau membantu
orangtuanya.
Memasuki
usia
10-12
tahun,
anak
semakin
membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih besar dibanding anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak laki-laki dan perempuan mulai dibedakan. Gizi menjadi masalah yang penting bagi anak sekolah, karena gizi bisa mencerdaskan anak. Anak yang kekurangan gizi mudah mengantuk dan kurang bergairah yang dapat menganggu proses belajar di sekolah dan menurun prestasi belajarnya, daya pikir anak juga akan kurang, karena pertumbuhan otaknya tidak optimal. Orang tua perlu memerikan perhatian pada anak usia sekolah, karena pada umumnya mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan di luar rumah sehingga cenderung melupakan waktu makan termasuk kebiasaan makan pagi. Makan pagi yang cukup akan memenuhi kecukupan energi selama belajar di sekolah, sekaligus mencegah penurunan kadar gula darah yang berakibat pada terganggunnya konsentrasi anak dalam menerima pelajaran di sekolah. Pola asupan makanan yang tidak seimbang pada anak usia sekolah dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kurangnya gizi dalam tubuh. Anak usia sekolah sangat memerlukan asupan makanan yang seimbang untuk menunjang tumbuh kembangnya (Yayasan Amalia 2011). Anak sekolah perlu mendapat asupan gizi yang seimbang, sehingga akan tumbuh sesuai perkembangan usianya dan ada kesesuaian antara BB/umur, TB/umur dan BB/TB. Pola asupan makanan dan pengaturan makanan untuk anak usia sekolah sangat penting dilakukan Syarat pemberian makanan bagi anak antara lain : (1) memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umurnya; (2) susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang; (3) bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi
dan
keadaan
faali
anak;
(4)
memperhatikan
kebersihan
perorangan/anak dan lingkungan (Yayasan Amalia 2011). Pola Konsumsi Pangan Survey konsumsi pangan terbagi menjadi dua yaitu survey konsumsi pangan secara kualitatif dan kuantitatif. Data yang dikumpulkan dalam survey konsumsi pangan secara kualitatif lebih menekankan pada aspek-aspek kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang. Suvey tersebut dilakukan untuk memperoleh data frekuensi makan, frekuensi konsumsi, serta kebiasaan makan atau pola makan. Pola makan merupakan gambaran mengenai frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan
merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat. Pola makan yang baik dan beraneka ragam dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang. Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Slamet 2009). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi , biasa berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Menurut Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Secara umum tujuan survei konsumsi makan adalah untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan. Berdasarkan jenis data maka terdapat dua jenis data yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Terdapat empat metode dalam survei konsumsi pangan secara kuantitatif yaitu metode inventaris, metode pendaftaran,metode meningat-ingat kembali, metode penimbangan, perkiraan makanan, metode food account dan pencatatan (Supariasa et al 2001). Slamet (2009) menyatakan pola makan anak perlu penanganan yang serius karena mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak serta tingkat kesehatan yang optimal. Selama masa pertumbuhan pemberian makanan perlu diatur sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Manusia hidup bermasyarakat memiliki pandangan, kebiasaan dan kebersamaan termasuk pola makannya. Pola makan individu dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam pembentukan pola makan masyarakat. Pola yang dianut oleh remaja dimiliki melalui proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makan yang terjadi sejak dini sampai dewasa dan akan berlangsung selama hidupnya, hingga kebiasaan makan dan susunan hidangan masih bertahan sampai ada pengaruh yang dapat mengubahnya.
Perilaku Konsumsi Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut merespon, maka perilaku tersebut disebut sebaga teori S-OR. berdasarkan teori tersebut respon dibagi menjadi dua jenis yaitu: 1. Respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus ini disebut eliciting stimulation karna menimbulkan respon yang relative tetap. 2. Operant respons atau intrumental respons, yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Stimulus ini disebut reinforcing stimulation karna memperkuat respon. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menajdi dua yaitu : 1. Perilaku tertutup (covert behavior), respon atau reaksi yang terjad masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior), adalah reaksi seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Reaksi ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktitk yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda meskipun objeknya sama. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal (Notoatmodjo 2003). Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan dilakukan sabagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei. Pada prinsipnya ada empat metode untuk menggali informasi konsumsi pangan secara kuantitatif, yaitu: metode inventaris, metode pendaftaran, metode mengingat-ingat dan metode penimbangan. Metode recall adalah metode penelitian konsumsi pangan dimana pewawancara menanyakan apa yang telah
dikonsumsi oleh responden. Prinsip metode mengingat-ingat (recall) 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (Supariasa et al 2001). Metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu: 1) mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden, 2) biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara, 3)cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden, 4) dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Selain kelebihan, metode ini pun memiliki kekurangan yaitu: 1) tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari, bila hanya dilakukan recall satu hari, 2) ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia dibawah 7 tahun, orang tua berusia diatas 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang pelupa, 3) the flat slope syndrome,yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak dan bagi responden
yang
gemuk
melaporkan
konsumsi
yang
lebih
sedikit,
4)
membutuhkan petugas dan tenaga yang lebih terlatih dalam menggunakan alatalat bantu Ukuran Rumah Tangga (URT) dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat, 5) Responden harus diberi motivasi dan pejelasan tentang tujuan dari penelitian (Supariasa et al 2001). Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo 1993). Pengetahuan diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh (Camire & Dougherty 2005 dalam Emilia Esi 2008). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi seseorang, makan diharapkan akan lebih baik juga keadaan gizinya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati D & Fachrurozi 1992 dalam Khomsan et al. 2007). Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985).
Suatu hal yang menyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang dperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemelihraan dan energi. 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Individu yang memiliki pengetahuan yang baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan mencukupi kecukupan (Nasoetion & Khomsan 1995). Menurut Williams (1993) dalam Khomsan et al (2007), masalah yang menyebabkan gizi salah adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Pada usia belasan masih sering dijumpai pengertian yang kurang tepat mengenai kontribusi gizi dari berbagai makanan. Oleh karena itu timbul penyakit gizi salah yang merugikan kecerdasan dan produktivitas. Perilaku Mencontoh Perilaku mencontoh berawal dari memperhatikan perilaku orang-orang sekitar. Perihal kesukaan makanan dapat berubah hanya karena melihat perilaku makan orang lain. Kebiasaan makan umumnya dibentuk dan dipertahankan karena hal itu merupakan perilaku yang efektif, praktis dan bermakna dalam suatu budaya tertentu, namun masyarakat akan mengacu pada orang yang turut berpartisipasi dalam budaya tersebut dan karakteristik orang tersebut akan mempengaruhi asupan makanannya (Gibney 2005). Kelompok referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Beberapa diantaranya adalah kelompok-kelompok primer (adanya interaksi yang berkesinambungan) seperti keluarga, teman, tetangga dan teman sejawat. Orang umumnya sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi mereka dalam tiga cara seperti kelompok referensi memperlhatkan perilaku dan gaya hidup baru, mempengaruhi sikap dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut umumnya ingin menyesuaikan diri, menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri yang dapat mempengaruhi pilihan produk (Slamet 2009).
Perkembangan anak merupakan proses perubahan progresif yang menunjukkan cara anak berprilaku dalam interaksinya dengan lingkungan. Perkembangan juga merupakan proses perubahan dalam kemampuan anak pada suatu kurun waktu tertentu sebagai fungsi dari pematangan dan interaksi dengan lingkungannya (Khomsan 2005). Pengaruh khusus dari lingkungan sosial yang berdampak pada perilaku makan meliputi tekanan sosial dari teman, keluarga, perilaku yang menjadi model dan fasilitas sosial. Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi Air Pola Asuh Keluarga Sejak lahir setiap individu berada dalam suatu kelompok terutama keluarga.
Keluarga
akan
membuka
kemungkinan-kemungkinan
untuk
dipengaruhi dan mempengaruhi anggota kelompok lain. Orang tua memiliki pengaruh sosial yang sangat besar pada pemilihan makanan yang dilakukan anak mereka, hal seperti ini disebut paradoks keluarga yaitu keluarga yang memiliki kuasa yang sangat besar untuk menimbulkan preferensi yang luas menurut budaya, namun sebaliknya sangat lemah dalam hal preferensi yang spesifik pada keluarga. Keluarga ini memainkan peranan penting dalam pembentukan pola makan. Pengaruh sosial tampak terdapat dalam aturan makan keluarga dan seringkali saling berinteraksi dengan faktor penentu asupan makan yang lain. Umumnya ibu dipandang lebih berpengaruh dibanding anggota keluarga lain karena peranan ibu dalam menyediakan makanan, kontrolnya atas aktvitas makan dirumah dan kehadirannya di setiap waktu makan (Gibney 2005). Pengasuhan didefinisikan sebagai cara-cara member makan, merawat, mengajar dan menuntun anak yang dilakukan oleh individu dan keluarga. Sehingga praktek pengasuhan terdiri dari tiga hal penting yaitu cara pemberian makan, perawatan kesehatan anak dan stimulasi kognitif anak. Praktek pengsuhan dalam hal ini adalah pemberian makan yang berkualitas, pemberian perawatan kesehatan pada anak serta dukungan emosional dan stimulasi yang diberikan orang tua. Hal ini dapat sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang berkualitas (Khomsan 2005). Besar Keluarga Menurut Berg (1986) dalam Aprilian (2010) besar kelurga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga yang lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran, pembagian ragam yang dikonsumsi
dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan
keadaan
ekonomi
kurang,
jumlah
anak
yang
banyak
akan
mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak , juga kecukupan primer seperti sandang, pangan, dan perumahan pun tidak terpenuhi. Kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Tambahan pendapatan sebesar 1% untuk semua keluarga, maka keluarga dengan anggota 2-3 orang akan meningkatkan pengeluaran pangan lebih dari 1%, untuk kelurga dengan jumlah yang besar maka akan meningkatkan 0.8-0.9%.
Besar kecilnya anggota keluarga dapat
mempengaruhi pemenuhan gizi anggota keluarga terutama keluarga miskin. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga. Semakin besar anggota keluarga maka kecukupan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kecukupan pangan keluarga akan tinggi (Sanjur 1982). Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan akan mempengaruhi sesorang dalam menyerap dan memahami sesuatu. Orang yang tergolong dalam keluarga kelas sosial lebih tinggi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki pola makan yang sehat (Gibney et al. 2005). Namun menurut Slamet (2009), seseorang yang berpendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang lain yang pendidikannya lebih tinggi, hal ini dapat terjadi karena walaupun pendidikan rendah, namun indidvidu tersebut dapat memeperoleh infomasi tentang gizi dari sumber lain seperti media masa dan teman. Keadaan
gizi
seorang
anak
banyak
ditentukan
oleh
perilaku
pengasuhannya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam bidang gizi yang dimilki orang tua maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Tingkat pendidikan baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga, karena pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir dan kerangka pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi. Menurut Afifa (2003), orang yang memiliki pendidikan
tinggi cenderung untuk memilih makanan yang lebih baik daripada orang yang berpendidikan rendah, dalam hal ini pendidikan ibu yang tinggi akan berpengaruh pada pemilihan makanan bagi keluarganya. Suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila tingkat pendidikan penduduknya semakin baik, derajat kesehatannya tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Di Negara maju anak-anak tumbuh lebih cepat daripada di Negara berkembang Karen asupan gizi yang lebih baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. Terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan fisik perkembangan mental anak usia dini. Anak yang berstatus gizi baik dan sehat akan merespon perubahan lingkungan lebih aktif yang selanjutnya dapat mempercepat perkembangan mental anak (Khomsan 2005). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Sandi 1990) . Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga sehari-hari. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle et al. 1997). Terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi , kesehatan, dan pengasuhan anak Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi kesehatan dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2004). Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan seseorang akan berkatan dengan tingkat pendapatan yang diperolehnya. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. terdapat perbedaan proses pembentukan makan pada anak dengan status ibu bekerja. Seorang ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah diluar rumah akan mengurangi perannya dalam mempersiapkan makanan dan pemberian makan terhadap anak-anaknya. Hal ini disebabkan karena waktu untuk mempersiapkan makanan untuk anaknya cenderung berkurang. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan anggota keluarga lain seperti ayah dan kakak untuk ikut serta membentuk kebiasaan makan yang baik bagi anak. Pendapatan yang tidak cukup sering diikuti pula dengan pengetahuan gizi yang rendah, yang kemudian masalah pangan pada keluarga menjadi lebih kompleks. Mata pencaharian atau pekerjaan orang tua sangat berhubungan dengan faktor-faktor
kesehatan hal ini disebabkan pekerjaan ada hubungannya dengan pendidikan dan pendapatan. Status ibu yang juga sebagai pencari nafkah tentunya berpengaruh terhadap gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989). Pendapatan Orang Tua Besar kecilnya pendapatan akan mementukan kemampuan keluarga tersebut untuk membeli bahan makanan. salah satu faktor penting dalam pemilihan makanan adalah pendapatan dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk makanan. terdapat sejumlah bukti bahwa makanan yang sekarang banyak direkomendasikan untuk pola makan sehat bukan hanya bergizi, lebinh mengenyangkan dan padat energi, namun juga harus dibeli dengan harga yang tinggi (Gibney 2005). Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1995). Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kecukupan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga kecukupan zat besi akan sulit terpenuhi dann dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi. Keluarga dengan penghasilan tinggi akan menggunakan sebagan kecil dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, sebaliknya keluarga dengan penghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk belanja makanan dan bahan makanan. Keluarga yang berpenghasilan rendah tentu akan rendah pula nominal uang yang dibelanjakan untuk keperluan sehari-harinya seperti untuk memebeli makanan, dengan meningkatnya pendapatan perorangan maka akan berdampak pada perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran yang banyak untuk makanan
tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan dan meningkatnya kualitas pangan (Suhardjo 1989) Uang Saku Cara terbaik untuk mendidik anak tentang tanggung jawab keuangan adalah melalui uang saku. Uang saku merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua terhadap kecukupan anggota keluarga sesuai dengan kecukupan anak, namun tak sepenuhnya diberikan sesuai keinginan. Jumlah uang saku tergantung pada usia anak dan jumlah pendapatan orang tua, oleh Karena itu uang saku pada siswa dapat dikatakan sebagai representasi atas pendapatan orang tua
dalam keluarga dan tinggi atau rendahnya kecukupan seseorang
dalam kehidupan sehari-harinya. Uang saku dapat digunakan untuk mengukur status sosial orang. Semakin besar uang saku yang diterima oleh anak maka semakin besar pendapatan keluarga (Slamet 2009). Air Minum Air merupakan kecukupan dan bagian dari kecukupan manusia, dengan kata lain air sangat dibutuhkan oleh manusia. Asupan air yang kurang akan menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia, sebaliknya asupan air yang terlalu banyak akan menimbulkan maslah kesehatan yang cukup berarti. Sebagian besar tubuh masusia terdiri dari air. Pada bayi prematur jumlahnya sebesar 80% dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75% dari berat badan, sebelum pubertas sebesar 65-70% dari berat badan dan orang dewasa sebesar 50-60% dari berat badan. Kita juga menyadari bahwa sebagian besar tubuh kita tersusun dari air, dan tanpa air kita akan lebih cepat mati dibandingkan tanpa makanan. Air berfungsi untuk mentransportasi mineral, vitamin, protein dan zat gizi lainnya keseluruh tubuh. Keseimbangan tubuh dan tempratur juga sangat tergantung air. Air merupakan pelumas jaringan tubuh sekaligus bantalan sendi, tulang dan otot. Mengkonsumsi air secara cukup dapat meningkatkan fungsi hormon, memperbaiki kemampuan hati untuk memecah dan melepas lemak, serta mengurangi rasa lapar. Sebaliknya, kurang air dapat menyebabkan konstipasi, infeksi saluran urin, terbentuknya batu ginjal, kelelahan, dan masalahmasalah seputar kulit, rambut dan kuku (Khomsan 2005). Dalam 15 tahun terakhir ada perkembangan
kebijakan dan program
tentang air minum di Indonesia, pertama adanya pesan departemen Kesehatan tentang anjuran minum air, yaitu pesan nomor sembilan dari 13 pesan dasar Pedoman Umum Giz Seimbang(PUGS). Pesan tersebut adalah “Minumlah air
dalam jumlah yang cukup dan aman”. Dalam pedoman tersebut, orang dewasa Indonesia disarankan untuk mengkonsumsi air minum sebanyak 2 liter atau sekitar 8 gelas per hari untuk menjaga kesehatan tubuh serta mengoptimalkan kemampuan fisknya. Kedua adalah adanya undang-undang tentang sumber daya air dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualtas Air Minum. Ketiga adalah, untuk pertama kalinya dalm Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi direkomendasikan tentang kecukupan air minum bagi orang Indonesia yaitu 0,8 sampai 2,8 liter per hari tergantung pada umur, jenis kelamin, aktivitas dan suhu lingkungan. Keempat, adanya Tumpeng Gizi Seimbang yang baru yaitu memvisualisasikan anjuran kecukupan minum air 8 gelas sehari (Hardinsyah et al 2011). Kecukupan Air Konsumsi air yang cukup pada orang dewasa dalam keadaan basal adalah sebanyak 2 liter dalam 24 jam. Volume asupan air tambahan disesuaikan dengan keadaan msalnya demam, latihan fisik dan suhu lingkungan yang tinggi, dimana kesemuanya akan diberi isyarat haus oleh rasa haus d hipotalamus. Akan tetapi, menentukan kecukupan minum dengan mengendalikan rasa haus tidak sepenuhnya benar. Misalnya, bila kita bekerjadi lingkungan yang dingin kita tidak merasa haus, padahal tubuh kita vseharusnya memerlukan air lebih banyak dibanding kita beraktivitas di lingkungan yang tdak dingin. Jika berada di lingkungan yang dingin, dianjurkan untuk minum lebih banyak karenapada udara yang dingin, tubuh banyak mengeluarkan air melalui urin dan pernafasan, selain itu banyak minum juga akan membantu kulit agar tidak cepat kering. Tubuh memerlukan air tidak hanya untuk mencegah rasa haus. Kekurangan air minum dapat menimbulkan berbagai gangguan. Seseorang yang mengalami demam atau berada pada suhu dingin, kandungan air dalam napasnya akan meningkat. Semakin banyak dan berat kegiatan, semakin banyak diperlukan energi dari makanan dan semakin banyak pula air yang terkuras dari tubuh, sehingga semakin banyak asupan air atau minuma yang diperlukan oleh tubuh. Oleh sebab itu danjurkan untuk mengkonsumsi air tidak hanya saat tubuh merasa haus (Hardinsyah et al, 2011) Hardinsyah et al (2011) menyebutkan, bag orang dewasa, pengeluaran urin 2 liter sehari dapat melarutkan berbagai sisa metabolsme melalui urin dan pembuangannya dengan lancer. Guna menghasilkan urin paling tidak 2 liter sehari maka setiap orang perlu minum lebih dari 2 liter sehari tergantung suhu
lingkungan, aktivitas serta jumlah dan jenis makanan. kondisi tubuh akan menurun bila kadar air tubuh menurun dan kita tidak segera memenuhi kecukupan air tersebut. Kardiolog Amerika Serikat, DR. James M. Rippe memberi saran bagi orang dewasa untuk minum air paling sedikit 1 liter lebih banyak daripada apa yang dibutuhkan rasa haus kita. Gunanya adalah untuk mengoptimalkan fungsi berbaga organ tubuh terutama jantung, pembuluh darah, otak dan saraf. Terdapat perbedaan fisiologis antara bayi dan anak dengan orang dewasa dalam hal air tubuh. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan komposisi, metabolisme, dan derajat kematangan sistem pengaturan air dan elektolit. Oleh karena itu padabayi dan anak cenderung rawan terhadap penyakit yang menimbulkan dehidrasi. Angka kecukupan air berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Angka kecukupan air bagi orang Indonesia Kelompok Umur Bayi Diberikan dalam bentuk ASI Anak
Pria
Wanita
0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun 50-64 tahun 65 tahun + 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun 50-64 tahun 65 tahun +
AKG (2004) (L/hr) 0,8 1,0 1,1 1,4 1,6 1,8 2,1 2,2 2,5 2,4 2,3 1,5 1,9 2,1 2,1 2,0 2,0 2,0 1,5
Komposisi Air Dalam Tubuh Rata-rata kandungan air tubuh pada laki-laki dewasa adalah sekitar 50% hingga 70% dari berat tubuhnya. Perbedaan komposisi air tubuh disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi tubuh. Tubuh manusia terdiri atas dua bagian utama yaitu adiposa (simpanan lemak) dan jaringan bebas lemak (lean tissue). Massa tubuh tanpa lemak mengandung sekitar 73% air, sedangkan massa lemak tubuh mengandung 10% air. Total air tubuh terbagi menjadi dua yatu terdapat
dalam air intrasel dan air ekstrasel, yang masing-masing mengandung air sebanyak 65% dan 35% (Sawka, Cheuvrot & Carter 2005). Kandungan air pada tubuh manusia mencapai setengah hingga tiga per empat bagian dari keseluruhan berat tubuh. Menurut Supariasa (2001), komposisi air tubuh adalah sekitar 65% atau 47 liter pada orang dewasa. Pada bayi usia 20-25 minggu, kandungan air dalam tubuh manusia berjumlah 88%, bayi premature 83%, bayi 1 tahun 62%, laki-laki dewasa 60%, dan laki-laki obese 47%. Kebiasaan Minum Air Kebiasaan didefniskan sebagai pola perilaku yang diperoleh dari pola praktik yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan minum merupakan suatu pola perilaku konsumsi minuman yang dilakukan secara berulang-ulang. Kebiasaan bukanlah merupakan bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil dari suatu proses belajar. Sedangkan kebiasaan makan merupakan faktor determinan perilaku makan. Kebiasaan minum diartikan sebagai karakteristik dan kegiatan berulangkali dari individu dalam memenuhi kecukupannya akan air, sehingga kecukupan fisiologi sosial dan emosional dapat terpenuhi. Terdapat tiga hal pokok yang dapat mempengaruhi kebiasaan minum yaitu pengetahuan, sikap dan praktik (Husain dan Husaini 1989). Penelitian di Hongkong pada orang dewasa menunjukkan hasil bahwa 50% subjek minum air kurang dari 8 gelas per hari, bahkan 30% diantaranya minum air kurang dari 5 gelas per hari. Peneltian di Singapura menunjukkan bahwa sebagian besar wanita hanya minum air 5-6 gelas dan pria hanya minum 6-8 gelas per hari. Alasan yang paling sering ditemui pada subjek di Singapura adalah karena merasa tidak haus, lupa minum, merepotkan, dan tidak mau sering ke kamar kecil (Hardinsyah et al 2011). Hal tersebut memperlihatkan bahwa mereka masih belum memiliki kebiasaan minum yang baik, hal tersebut juga didukung dengan respon mereka terhadap anjuran minum minimal 2 liter per hari. Hanya sekitar 45% responden yang setuju bahwa 2 liter air dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Konsumsi Air Perilaku konsumsi air dapat dirumuskan sebagai cara atau tindakan yang dilakukan individu dalam pemilihan makanan ataupun minuman yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan atau minuman. Almatsier (2001) menyatakan bahwa konsumsi air terdiri atas air yang diminum, yang diperoleh
dari makanan, serta air yang diperoleh dari hasil metabolisme. Sedangkan menurut Sawka, Cheuvront dan Carter (2005), total konsumsi air adalah berasal dari air minum, air pada minuman, dan air pada makanan. kecukupan air sehari dinyatakan sebagai proporsi terhadap jumlah energi yang dikeluarkan tubuh dalam keadaan lingkungan rata-rata. Total konsumsi air berdasarkan survey yang dilakukan NHANES III (Third National Health and Nutrition Examination Survey) pada populasi yang cukup besar memperlihatkan bahwa sektar 80% dari total konsumsi air adalah berasal dari minuman dan hanya 20% diantaranya adalah berasal dari makanan. kedua sumber air tersebut memiliki bioavailabilitas yang sama. Berdasarkan survey tersebut juga diketahui bahwa pada keseluruhan level konsumsi, seluruh responden berada pada keseimbangan air (euhidrasi) yang terlihat dari normalnya kadar osmolalitas plasma.