6
TINJAUAN PUSTAKA Lanjut Usia Perkembangan kehidupan manusia dibagi dalam dua tahap, yaitu masa pertumbuhan (bayi, anak, remaja) dan masa dewasa, dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan. Tahap lanjut dari masa dewasa yaitu kelompok manusia usia lanjut. Pada masa ini kematangan fisik dan fisiologis telah tercapai dan terlampaui (Nasoetion & Briawan 1993). Usia lanjut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu usia lanjut kronologis atau usia berdasarkan kalender, dan usia lanjut biologis (Astawan & Wahyuni 1988). Departemen Kesehatan (1991) membuat pengelompokkan usia lanjut menjadi: 1. Kelompok pertengahan umur ialah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun). 2. Kelompok usia lanjut dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun). 3. Kelompok usia lanjut ialah kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas). Lansia adalah mereka yang telah berusia 65 tahun ke atas, menurut Durmin (1992) membagi lansia menjadi young elderly (65-74 tahun) dan older elderly (≥75 tahun). Sementara Munro et al. (1987) dalam Arisman (2002) mengelompokkan older elderly ke dalam dua bagian, yaitu 75-84 tahun dan 85 tahun. Menurut Astawan & Wahyuni (1988), untuk negara-negara yang sudah maju, dengan ekonomi, gizi, dan kesehatan yang telah baik, batas lanjut usia adalah sekitar 65 tahun ke atas, sedangkan PBB menetapkan batas lansia adalah 60 tahun ke atas. Menurut Patmonedowo et al. (2001), ketuaan menjadikan manusia rentan terhadap berbagai penyakit. Dibandingkan dengan usia lain, kesehatan para lansia ditandai oleh menurunnya fungsi berbagai organ tubuh. Penyakit lansia memiliki karakteristik sebagai berikut : a. saling terkait, kronis sehingga cenderung mengalami komplikasi b. degeneratif, sering menimbulkan kacacatan bahkan kematian c. akut tetapi ada juga penyakit yang berkembang perlahan-lahan d. terjadi karena pengaruh obat-obatan
7
Proses Penuaan Proses penuaan (aging) merupakan proses menua atau proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Proses penuaan ini dimulai sejak proses pembuahan dan umum dialami oleh semua makhluk hidup serta berlangsung berbeda-beda pada setiap orang. Proses kelahiran, pertumbuhan, dewasa dan manula adalah bagian dari penuaan yang normal dan penuaan ini berakhir saat makhluk hidup mati (Cooper et al. 1963). Turner et al. (1991) menyatakan bahwa proses penuaan terbagi menjadi penuaan eksternal dan internal. Poses penuaan eksternal merupakan proses penuaan yang gejalanya dapat dilihat. Perubahan-perubahannya dapat diamati dari kulit, rambut, gigi, dan postur tubuh. Penuaan internal adalah penuaan yang gejalanya tidak dapat dilihat, yaitu perubahan degeneratif yang terjadi di dalam tubuh.
Perubahan
tersebut
terjadi
pada
sistem
saraf,
kardiovaskular,
pernapasan, pencernaan, urinari, dan sistem imun. Penuaan dapat disebabkan karena faktor umur juga dapat terjadi karena faktor psikososial seperti stress, sosial ekonomi, lingkungan, makanan (gizi) dan kesehatan. Menurut Wirakusumah (2002), ada beberapa yang mempengaruhi kecepatan seseorang menjadi tua, baik yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. 1. Faktor genetika yang merupakan faktor bawaan (keturunan) yang berbeda pada setiap individu. 2. Faktor lingkungan dan faktor gaya hidup. Faktor ini berkaitan dengan diet, kebiasaan merokok, minum alkohol, kafein, tingkat polusi, pendidikan, pendapatan, dan sebagainya. 3. Faktor endogenik. Terkait proses penuaan, yaitu perusakan sel yang berjalan seiring perjalanan waktu. Selain umur, proses penuaan yang terjadi pada seseorang dapat juga terjadi karena faktor psikososial seperti stress, sosial ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan gizi. Faktor-faktor ini saling mempengaruhi dan pada setiap individu berbeda-beda prosesnya. Keadaan Kesehatan Lansia Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada lansia mengidap penyakit kronis. Disamping itu sebagian lansia masih mampu mengurus diri sendiri. Sementara sebagian lain masih sangat tergantung pada
8
belas kasihan orang lain. Kebutuhan zat gizi mereka tergolong aktif biasanya berbeda dengan orang dewasa sehat. Penuaan tidak begitu berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Hal tersebut memunculkan istilah Lansia Risiko Tinggi (High Risk Elderly) dengan kriteria (a) usia diatas 80 tahun, (b) hidup sendiri, (c) depresi, (d) gangguan intelektual, (e) jatuh beberapa kali, (f) inkontinensia urin, dan (g) di masa lalu tidak dapat menyesuaikan diri (Arisman 2007). Kecukupan Gizi Pada Lansia Lansia adalah mereka yang telah berusia sama dengan diatas 60 tahun. Lansia mengalami penurunan fungsi organ tubuh yang mengakibatkan aktivitasnya menurun dibandingkan pada masa dewasa ataupun remaja. Hal ini mengakibatkan kecukupan gizi lansia pada umumnya lebih rendah dibandingkan pada kedua masa tersebut (Hardinsyah dan Martianto 1988). Wirakusumah (2002) menyatakan bahwa pada lansia penggunaan energi semakin menurun karena proses metabolisme basalnya juga semakin menurun, kenyataan ini juga berimplikasi pada penurunan kebutuhan energi lansia. Adanya perubahan pada tubuh lansia menghendaki pola konsumsi pangan yang berbeda dibandingkan pada usia yang lebih muda. Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi pada lansia akan tetap seperti yang dibutuhkan oleh orang dengan usia yang lebih muda, hanya saja terdapat perbedaan pada jumlah dan komposisinya (Astawan dan Wahyuni 1988). Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (LIPI 2004), angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk lansia adalah: Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk usia lanjut Zat gizi Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (µg RE) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin K (µg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Sianokobalamin (µg) Asam Folat (µg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg)
Angka Kecukupan Gizi 50-64 tahun ≥65 tahun 1750 1600 50 50 500 500 10 15 15 15 55 55 0.9 0.8 1.1 1.1 14 14 2.4 2.4 400 400 75 75 800 800 600 600
9
Seseorang
yang
berusia
70
tahun
akan
mengalami
penurunan
metabolisme basal sebesar 20% dibandingkan dengan mereka yang berusia 30 tahun (Astawan & Wahyuni 1988). Studi mengenai pemilihan makanan pada manusia melibatkan banyak faktor yang saling berinteraksi mulai dari mekanisme biologis, perilaku makan secara psikologis, sosial, budaya, hingga kesehatan umum (David & Annie 2004). Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang, menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencegah terjadinya defisiensi maupun kelebihan gizi. Kecukupan gizi seseorang akan lebih besar dibandingkan kebutuhan gizinya. Dalam perhitungan kecukupan gizi, sudah diperhitungkan faktor variasi kebutuhan individual kecuali untuk energi setingkat dengan kebutuhan rata-rata ditambah dengan dua kali simpangan bakunya. Angka Kecukupan Energi (AKE) pada WNPG VIII bagi orang dewasa didasarkan pada Oxford Equation yang merupakan hasil meta analisis untuk estimasi energi basal metabolisme (EBM) berdasarkan berat badan. Komponen utama yang menentukan kecukupan energi adalah Energi Basal Metabolik (EBM) atau Basal Metabolic Rate (BMR). Menurut Manual of Medical Nutritional Therapy (2011), EBM adalah pengeluaran energi seseorang yang diukur pada saat status post-absorptif (tidak ada konsumsi makanan dalam 12 jam terakhir) setelah beristirahat selama 30 menit dalam lingkungan dengan temperatur normal. Perhitungan EBM Oxford Equation lebih sesuai karena dalam sampelnya termasuk populasi Asia (China dan Filipina) yang postur tubuhnya mirip orang Indonesia. Disamping studi yang dilakukan di Malaysia dan Filipina juga menunjukkan bahwa Schofield Equation yang digunakan FAO/WHO (1985) overestimate sekitar 10-15% tergantung usia dan jenis kelamin. Tingkat kegiatan diadopsi dari review kajian di Filipina (FNRI 2003). Koreksi umur bagi orang dewasa setelah usia 30 tahun juga dilakukan (FAO/WHO 1985 & IOM 2002). Penurunan kebutuhan energi 5% pada usia 30-64 tahun dan 10% pada usia >65 tahun. Hasil estimasi AKE bagi wanita dewasa disajikan dalam Tabel 2. Tingkat Kegiatan Fisik (TKF) dalam perhitungan bagi orang dewasa adalah pada tingkat kegiatan ringan. Faktor tingkat kegiatan fisik, menggunakan hasil berbagai penelitian Guzman et al. yang direview oleh FNRI (2003), yaitu 1.58 dan 1.45 masing-masing bagi pria dan wanita kegiatan ringan; 1.67 dan
10
1.55 bagi pria dan wanita kegiatan sedang; dan 1.88 dan 1.75 bagi pria dan wanita kegiatan berat. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan faktor tingkat kegiatan FAO/WHO (1985) terutama untuk wanita. AKE pria dan wanita dewasa menggunakan tingkat kegiatan fisik sedang. Tabel 2 Proses estimasi AKE wanita dewasa berdasarkan EBM yang menggunakan Oxford Equation Umur Wanita 19-29 30-49 50-64 65+
BB (Kg)
Rumus EBM
EBM (kkal)
TKF (ringan)
Koreksi umur
52 55 55 55
13.4B + 517 9.59B + 687 9.59B + 687 9.59B + 608
1214 1214 1214 1135
1.55 1.55 1.55 1.55
1.00 0.95 0.95 0.90
AKE (kkal/hr) 1882 1788 1788 1583
AKE diperhalus 1900 1800 1750 1600
Angka Kecukupan Protein (AKP) wanita dewasa didasarkan pada ratarata kebutuhan protein dikalikan berat badan, ditambah sejumlah safe level (24%) dan dikoreksi dengan faktor koreksi mutu sebesar 1.2. Tambahan 24% didapat dari review FAO/WHO (1985) yang masih valid menurut IOM (2002), yaitu berasal dari koefisien variasi 12% (2 x koefisien variasi). Koreksi mutu protein didasarkan pada kenyataan bahwa pangan hewani hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap total energi, artinya mutu protein makanan penduduk Indonesia masih rendah, sehingga perlu adanya faktor koreksi mutu yaitu sebesar 1.2. Pola Konsumsi Pangan Nasoetion et al. (1992) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai susunan jenis atau ragam pangan yang biasa dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang di daerah tertentu. Pengelompokkan pola konsumsi pangan dapat dibentuk berdasarkan kegunaan atau fungsi pangan dalam tubuh meliputi pola konsumsi pangan pokok, pola konsumsi pangan sumber protein, pola konsumsi sayuran, dan pola konsumsi buah-buahan. Pola konsumsi pangan dapat juga diartikan sebagai frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Harper et al. 1985). Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam penelitian konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan, yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif, serta gabungan keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan
11
untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat gizi. Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yaitu, (1) ketersediaan pangan, jenis, dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu. Bila pangan tersedia secara kontinyu maka akan membentuk kebiasaan makan, (2) pola sosial, budaya, dan pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Pola konsumsi pangan yang baik hendaknya diartikan dengan membudayakan makan yang memenuhi konsumsi makanan yang bermutu, beragam, bergizi seimbang, dan sesuai kebutuhan serta aman dan halal. Metode food recall 24 jam adalah salah satu metode dalam melakukan penilaian konsumsi pangan dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan pangan dan zat gizi pada tiap kelompok, rumah tangga, dan individu serta faktor-faktor yang mempengruhi konsumsi pangan. Prinsip dari metode ini adalah melakukan pencatatan jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Data kuantitatif didapatkan dengan menanyakan secara lebih rinci jumlah makanan yang dikonsumsi dengan menggunkan alat ukuran rumah tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain-lain (Supariasa et al. 2002). Penyakit Asam Urat (Gout) Gout adalah salah satu penyakit artritis yang disebabkan oleh metabolisme abnormal purin yang ditandai dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Hal ini diikuti dengan terbentuknya timbunan kristal berupa garam urat di persendian yang menyebabkan peradangan sendi pada lutut dan atau jari (Bagian Gizi RS.Dr.RSCM dan Persagi 2005). Menurut Price dan Wilson (2002) gout merupakan gangguan metabolik yang sudah dikenal oleh Hipokrates pada zaman Yunani kuno. Pada waktu itu gout dianggap sebagai penyakit kalangan sosial elit yang disebabkan karena terlalu banyak makan, minum anggur, dan seks. Sejak saat itu banyak teori etiologis dan terapeutik yang telah diketahui mengenai penyakit gout, dan tingkat keberhasilannya juga tinggi.
12
Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik, sekurang-kurangnya ada sembilan gangguan, yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pemebentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu. Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai gout. Jika tidak diobati, endapan kristal akan menyebabkan kerusakan yang hebat pada sendi dan jaringan lunak. Gout merupakan salah satu penyakit tertua yang tercatat sepanjang sejarah kesehatan yang merupakan kegagalan metabolisme purin yang level akumulasi asam urat dalam darahnya di atas normal (hyperurisimia). Sebagai konsekuensinya, sodium urat dibentuk dan disimpan sebagai tophi dalam tulang sendi kecil dan mengelilingi jaringan. Penyakit ginjal terjadi dan asam urat nephrolithiasis dapat terjadi. Pada penyakit gout, titik yang biasa terjadi adalah di sekitar telinga, kemudian titik tersebut menjadi pelebaran jempol atau siku (Mahan & Stump 2008). Prevalensi gout meningkat (Choi dan Curhan 2005 dalam Mahan dan Stumb 2008), penyakit ini biasanya terjadi setelah usia 35 tahun dan didominasi oleh laki-laki. Tetapi, ini dapat menyebar merata pada kedua jenis kelamin pada usia lanjut (Sag dan Choi 2006 dalam Mahan dan Stumb 2008). Gout dicirikan oleh nyeri atritis pada suatu tempat dengan serangan mendadak dan akut yang biasanya dimulai pada ibu jari dan berlanjut ke kaki. Pada sebuah kajian retrospektif pada keluarga yang menderita gout mempunyai serangan 7.5 tahun lebih awal dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar serum trigliserida, kolesterol, dan hipertensi terendah dibandingkan dengan keluarga tanpa penyakit guot (Chen et al. 2001 dalam Mahan dan Stumb 2008). Simpanan urat dapat merusak jaringan sendi, menunjukkan gejala artritis kronis. Salah satu yang membentuk gout adalah obesitas (WHO 2002 dalam Mahan dan Stumb 2008). Peningkatan jaringan adiposa viseral sepertinya
13
memberatkan risiko resistensi insulin dalam gout dan dapat membuat pasien lebih berisiko untuk penyakit aterosklerosis (Takashi et al. 2001 dalam Mahan dan Stumb 2008). Meskipun penurunan berat badan kelihatan melindungi (Choi et al. 2005; Dessein et al. 2000 dalam Mahan dan Stumb 2008), ketosis dikaitkan dengan puasa atau diet rendah karbohidrat juga dapat menurunkan serangan. Ada kalanya gangguan tersebut disebabkan oleh pembedahan. Sebagai penyakit yang maju, gejala yang terjadi lebih berfrekuensi dan lebih lama. Luka yang parah atau di luar yang biasa terjadi dapat mempercepat episode dan serangan yang berhubungan dengan lingkungan. Hipertensi dan penggunaan diuretik menjadi faktor risiko gout yang tepat (Choi et al. 2005b dalam Mahan dan Stumb 2008). Kajian epidemiologi menunjukan adanya hubungan antara gout dengan dislipidemia, diabetes mellitus, dan sindrom resistensi insulin (Fam 2005 dalam Mahan dan Stumb 2008). Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin pada satwa primata, baik purin yang berasal dari bahan pangan maupun dari hasil pemecahan purin asam nukleat tubuh. Dalam plasma, urat terutama berada dalam bentuk natrium urat sedangkan dalam saluran urin, urat dalam bentuk asam urat. Namun pada umumnya disebutkan sebagai asam urat tanpa menunjukkan tempat keberadaannya (Yenrina 2001). Kandungan normal natrium urat dalam plasma kurang dari 7 mg/dl (Martin et al. 1984). Berdasarkan penelitian laboratorium klinis, kadar natrium urat normal untuk wanita berkisar berkisar 2.4-5.7 mg/dl dan untuk pria berkisar 3.4-7 mg/dl. Jika natrium urat plasma melebihi standar ini disebut hiperurisemia. Enzim penting yang berperan dalam sintesis asam urat adalah xantin oksidase yang sangat aktif bekerja dalam hati, usus halus, dan ginjal. Tanpa bantuan enzim ini asam urat tidak dapat dibentuk (Martin et al. 1984). Mekanisme turn over asam urat dapat dilihat pada Gambar 1.
14
Prekusor bukan purin Sintesa de novo
Purin jaringan nukleotida Nukleoprotein makanan
Asam Nukleat Jaringan
Katabolisme
Pool Asam Urat
Ekskresi melalui ginjal
Ekskresi melalui saluran cerna
Gambar 1 Mekanisme Turn Over Asam Urat
Peningkatan kadar asam urat dalam plasma dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi asam urat atau menurunnya pengeluaran asam urat. Apabila produksi asam urat meningkat akan terjadi peningkatan pool asam urat, hiperurisemia, dan pengeluaran asam urat melalui urin meningkat. Peningkatan produksi asam urat dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi bahan pangan yang mengandung purin atau meningkatnya sintesis purin dalam tubuh (Krisnatuti et al. 2000). Menurut Passmore dan Eastwood (1987), penyebab hiperurisemia dibagi dua yaitu primer dan sekunder. Hiperurisemia primer disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Hiperurisemia sekunder disebabkan adanya komplikasi dengan penyakit atau obat dari penyakit ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, hyperlipidemia, pisoriasis, hipotiroid, dan leukemia sedangkan faktor kegemukan dan minum alkohol dapat memicu terjadinya hiperurisemia.
15
Gambaran Klinis Pada keadaan normal kadar asam urat serum pada laki-laki mulai meningkat setelah pubertas. Pada perempuan kadar urat tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah menopause, kadar urat serum meningkat seperti pada pria. Terdapat empat tahap perjalanan klinis dari penyakit gout yang tidak diobati. Tahap pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Nilai normal asam urat serum pada laki-laki adalah 5.1 ± 1.0 mg/dL dan pada perempuan adalah 4.0 ± 1.0 mg/dL. Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/dL pada seseorang dengan gout. Dalam tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut (Price & Wilson 2002). Pengelompokkan Bahan Makanan Menurut Kadar Purin dan Anjuran Makan Kelompok 1 merupakan bahan makanan dengan kandungan purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g bahan makanan). Kelompok bahan makanan ini sebaiknya dihindari. Kelompok tersebut terdiri dari otak, hati, jantung, ginjal, jeroan, ekstrak daging/ kaldu, bouillon, bebek, ikan sardine, makarel, remis, dan kerang. Kelompok 2 adalah bahan makanan dengan kandungan purin sedang ( 9100 mg purin/100 g bahan makanan). Kelompok bahan makanan ini dibatasi maksimal 50-75 g (1-1 ½ potong) daging, ikan atau unggas, atau 1 mangkok (100 g) sayuran sehari. Kelompok bahana makanan tersebut terdiri dari daging sapi dan ikan (kecuali yang terdapat dalam kelompok 1), ayam, udang ; kacang kering dan hasil olahannya, seperti tahu dan tempe; asparagus, bayam, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo. Kelompok 3 merupakan bahan makanan dengan kandungan purin rendah, sehingga dapat diabaikan dan dapat dimakan setiap hari. Kelompok bahan makanan ini adalah nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mie, bihun, tepung beras, cake, kue kering, puding, susu, keju, telur; lemak dan minyak; gula; sayuran dan buah-buahan, kecuali sayuran dalam kelompok 2 (Bagian Gizi RS.Dr.RSCM dan Persagi 2005).
16
Purin Purin adalah molekul yang terdapat dalam sel dalam bentuk nukleotida. Asam amino dan nukleotida berhubungan satu sama lain. Keduanya adalah unit dasar dalam biokimiawi pembawa sifat genetik. Nukleotida unsur pemberi sandi asam nukleat, bersifat essensial pada pemeliharaan dan pemindahan informasi genetik. Asam amino merupakan unit pembangun protein dan dibutuhkan untuk ekspresi informasi genetik (Lehninger 1991). Nukleotida yang paling dikenal adalah purin dan pirimidin sebagai pra-zat monomerik asam ribonukleat (RNA) dan asam deoksiribonukleat (DNA). Purin apabila berdiri sendiri disebut basa purin, jika basa purin berikatan dengan gula pentosa disebut nukleosida, jika basa purin berikatan dengan gula pentosa dan asam phospat disebut nukleotida purin. Basa purin terdiri dari adenin, guanin, hipoxantin (inosin) dan xantin (Bondy dan Rosenberg 1980, Martin et al. 1984 dalam Yenrina 2001). Basa-basa purin yang terdapat pada nukleotida berasal dari substitusi struktur cincin zat dasar purin. Adenin dan guanin terdapat pada makhluk hidup sedangkan xantin dan hipoxantin terdapat sebagai zat antara pada metabolisme adenin dan guanin (Martin et al. 1984). Fungsi utama nukleitida purin bersama-sama dengan nukleotida pirimidin adalah sebagai pro-zat pembentuk asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA). Selain itu nukleotida purin berperan sebagai komponen dari molekul berenergi tinggi yaitu adenosin tripospat (ATP), adenosin dipospat (ADP), adenosin monopospat (AMP), dan guanosin monopospat (GMP), guanosin dipospat (GDP), dan guanosin tripospat (GTP) (Yenrina 2001). Fungsi Purin Asam deoksiribonukleat (DNA) berkaitan dengan sifat-sifat genetik, pada mikroorganisme satu untai DNA menyimpan informasi genetiknya. Pada organisme tingkat tinggi, DNA terdapat sebagai nukleoprotein di dalam kromosom, sebagian besar DNA terdapat di dalam inti sel, sejumlah kecil di dalam mitokondria dan kloroplas. DNA menyediakan cetakan bagi sintesis protein di dalam sel, sifat keturunan diwariskan melalui proses replikasi yang melibatkan peranan sejumlah protein dan enzim (Suhartono 1989 diacu oleh Yenrina 2001). DNA dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel, unit monomer DNA adalah adenin,
17
guanin, sitosin, dan timin. Unit-unit monomer DNA dijadikan bentuk polimer oleh ikatan 3’5’ fosfodiester. Asam ribonukleat tersebar luas diseluruh sel, sebagian RNA terdapat di dalam sitoplasma sebagai RNA terlarut dan RNA ribosom sebagian kecil terdapat di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Asam ribonukleat dibutuhkan dalam sintesis protein, unit monomer RNA adalah adenin, guanin, sitosin, dan urasil (Yenrina 2001). Metabolisme Purin Di dalam bahan pangan, purin terikat dalam asam nukleat berupa nukleoprotein. Di dalam usus, asam nukleat dibebaskan dari nukleoprotein oleh enzim pencernaan, dan asam nukleat dipecah menjadi mononukleotida. Selanjutnya mononukleotida dihidrolisis menjadi nukleosida. Nukleosida sudah dapat langsung diserap dan sebagian dipecah lebih lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin teroksidasi menjadi asam urat yang dapat diabsorpsi melalui mukosa usus dan diekskresikan melalui urin (Martin et al. 1984). Mamalia dan sebagian besar vertebrata bersifat prototrofik untuk purin dan pirimidin yaitu mampu mensintesis nukleosida purin dan pirimidin de novo sehingga tidak tergantung pada asam nukleat dan nukleotida dari bahan pangan. Berbagai macam nukleosida hasil dari pemecahan nukleoprotein dapat diserap atau dipecah lebih lanjut oleh posporilase usus menjadi purin atau pirimidin bebas. Basa guanin dioksidasi menjadi xantin dan kemudian menjadi asam urat, nukleosida adenosin dapat dirubah menjadi inosin, hipoxantin, dan kemudian menjadi asam urat. Pada manusia dan mamalia lainnya, nukleotida purin disintesis untuk memenuhi kebutuhan organisme akan pra-zat monomer asam nukleat dan untuk fungsi lainnya. Pada beberapa organisme seperti burung, amphibi, dan reptilia, sintesis purin mempunyai fungsi tambahan sebagai alat ekskresi produk buangan nitrogen sebagai asam urat. Organisme ini dinamakan urikotelik, sedangkan organisme yang membuang produk nitrogennya dalam bentuk urea seperti manusia dinamakan ureotelik. Organisme urikotelik mensintesis nukleotida purin dengan kecepatan yang relatif lebih besar dari pada organisme ureotelik, akan tetapi langkah yang diperlukan dalam sintesa de novo nukleotida purin sama (Yenrina 2001). Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).
18
1. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat, yang diubah melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam inosinat, asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa enzim yang mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (PRPP) sintetase dan amidofosforibosiltransferase (amido-PRT). Terdapat suatu mekanisme inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk, yang fungsinya untuk mencegah pembentukan yang berlebihan. 2. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan. Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo. Basa purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan PRPP untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini dikatalisis oleh dua enzim: hipoxantin guanin fosforibosiltransferase (HGPRT) dan adenin fosforibosiltransferase (APRT) (Murray et al. 2006) Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme purin akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus proksimal ginjal. Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian diekskresikan di nefron distal dan dikeluarkan melalui urin. Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, di mana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo 1993 dalam Sukandar 2007). Lebih lanjut dijelaskan oleh Notoatmodjo (1993) dalam Marga (2007), tingkat pengetahuan mencakup 6 tingkatan, yaitu (1) Tahu atau dapat mengingat materi yang sebelumnya; (2) Memahami, yaitu kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar objek yang diketahui; (3) Aplikasi yaitu menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya; (4) Analisis yaitu kemampuan menjabarkan materi kedalam komponen-komponen; (5) Sintesis yaitu kemampuan menghubungkan bagian-bagian menjadi satu
19
kesatuan yang baru; (6) Evaluasi yaitu kemampuan melakukan penilaian terhadap suatu objek. Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Brieger (1992) mengemukakan bahwa pengetahuan umumnya datang dari pengalaman yang dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, keluarga, teman, buku, surat kabar dan majalah. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah proses untuk mengetahui sesuatu yang dilakukan oleh manusia berdasarkan pengalaman, perasaan, pola pikirnya terhadap objek tertentu. Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985). Menurut Sanjur (1982) yang diacu dalam Sukandar (2007), pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga, belum tentu konsumsi makanan
menjadi
baik.
Konsumsi
makanan
jarang
dipengaruhi
oleh
pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan dan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi. Seseorang yang memiliki pengetahuan positif tentang makanan maka akan memiliki kualitas makanan yang lebih baik. Kualitas yang dimaksud adalah ketersediaan zat gizi dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi kesehatan tubuh. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Penilaian status gizi dapat memberikan gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut (Gibson 2005). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari keadaan gizi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu melalui konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Menurut Riyadi (2001), penilaian
20
status gizi dapat dilakukan secara tunggal dengan satu indikator atau dapat menggunakan beberapa indikator gabungan agar didapat hasil yang lebih efektif. WHO
(2000)
menyatakan
bahwa
wanita
cenderung
mengalami
peningkatan penyimpanan lemak. Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa adalah masalah penting karena akan menimbulkan resiko penyakit tertentu.
Pemantauan
keadaan
tersebut
perlu
dilakukan
secara
berkesinambungan salah satunya adalah dengan mempertahankan berat badan normal. Menurut Manual Of Medical Nutritional Therapy (2011), penentuan status gizi seseorang juga dapat dilakukan dengan menggunakan persentase berat badan aktual terhadap berat badan ideal. Tabel 3 Kriteria status gizi berdasarkan persentase berat badan aktual terhadap berat badan ideal Persentase Berat Badan Ideal (%) ≥200 ≥150 ≥120 80-90 70-79 ≤69
Kriteria Obesitas II Obesitas I Overweight Gizi kurang I Gizi kurang II Gizi kurang III
Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan teknologi tepat guna untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Berikut ini merupakan tabel Indeks Massa Tubuh berdasarkan usia. Tabel 4 Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Usia Usia (Tahun) IMT (Berat/Tinggi [kg/m2]) 19-24 19-24 20-25 25-34 21-26 35-44 22-27 45-54 23-28 55-65 24-29 >65 Sumber : Food and Nutrition Board, Committee on Diet and Health, National Research Council: Implications for reducing chronic diseases risk 1989 dalam Mahan and Stump 2000.
21
Penggunaan IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu IMT dapat diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali (Supariasa et al. 2002). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan system penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolismenya untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2003). Riyadi (1996) menyatakan bahwa jika diketahui jumlah energi tubuh yang dikeluarkan selama aktivitas sehari maka sebenarnya jumlah tersebut merupakan kebutuhan energi seseorang, dengan asumsi aktivitas harian tersebut merupakan aktivitas normal. Perubahan terbesar yang terjadi pada usia lanjut adalah kehilangan massa tubuhnya, termasuk tulang, otot, dan massa organ tubuh, sedangkan massa lemak meningkat (Doewes 1996). Peningkatan massa lemak dapat memicu resiko penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit degeneratif lainnya. Penurunan aktivitas fisik pada usia lanjut harus diimbangi dengan penurunan asupan kalori. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya obesitas. Jika asupan kalori tidak diimbangi dengan penggunaan kalori maka akan dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit degeneratif (Wirakusumah 2001). Program Pemberdayaan Wanita Pra Lanjut Usia dan Wanita Lanjut Usia Program ini merupakan program pemberdayaan wanita lanjut usia. Program ini diadakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang bekerjasama dengan Yayasan Aspirasi Muslimah Indonesia (YASMINA). Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan dan produktivitas wanita lanjut usia. sasaran dan peserta dalam kegiatan adalah ibu-ibu usia lanjut dan/atau keluarga Terdapat 6 kegiatan yang dilaksanakan dalam program pemberdayaan wanita pra lanjut usia dan wanita lanjut usia. Kegiatan yang dilaksanakan pada program ini adalah penyuluhan tentang perawatan dan pengasuhan lanjut usia, pelatihan daur ulang sampah plastik, pelatihan menyulam pita dan mayet,
22
pelatihan kelembagaan, pendampingan, dan pemeriksaan kesehatan (klinis) lanjut usia. Kegiatan-kegiatan tersebut menjalin kemitraan dengan Yayasan Emong Lansia (YEL), Puskesmas Dramaga, Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Trashion, Posdaya Desa Babakan, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewirausahaan IPB.