11
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses perubahan yang rumit dan panjang sejak pembuahan ovum oleh sperma dan berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besarnya, perkembangan manusia terdiri dari beberapa tahap yaitu kehidupan sebelum lahir, saat bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan lanjut usia (lansia). Menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan- lahan dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo R .Boedhi & Hadi Martono 1999).
Lanjut Usia (Lansia) Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu: a.
Usia pertengahan (middle age)
: usia 45-59 tahun.
b.
Lansia (elderly)
: usia 60 – 74 tahun.
c.
Lansia tua (old)
: usia 75 – 90 tahun.
d.
Usia sangat tua (very old)
: usia di atas 90 tahun
Depkes RI (2006) memberikan batasan la nsia sebagai berikut: a.
Prasenium/virilitas : Masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55 – 59 tahun).
b.
Senescen (Usia Lanjut Dini): Kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c.
Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif: usia di atas 65 tahun
Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam yaitu lansia kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansia biologis yang dijadikan patokan adalah keadaan jaringan tubuh. Individu
12
yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya. Penuaan merupakan proses alamiah, terus menerus dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penuaan Menurut Soekirman et al. (2006), kecepatan proses menua tiap individu berbeda-beda yang bergantung pada beberapa faktor yaitu: 1. Keturunan Kemampuan
mengganti sel-sel yang rusak menurun pada proses menua.
Kecepatan penurunan ini ditentukan oleh faktor keturunan artinya ada orang yang berasal dari keturunan ”cepat tua” dan ”awet muda”. 2. Lingkungan Lingkungan seperti paparan sinar matahari, rokok, polusi udara, ozon dapat merusak sel-sel tubuh sehingga lebih cepat menua. 3. Kebugaran Diperoleh dari istirahat yang cukup, dan olahraga teratur dapat memperlambat penuaan jantung dan pembuluh darah, serta menurunkan risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK). 4. Stress Stress fisik seperti dingin, panas, sakit, dsbnya serta stress psikologis antara lain tekanan hidup, marah, kesal, sedih, dll ternyata mempercepat proses penuaan. Tubuh yang mengalami stress berat atau berkepanjangan dapat menghabiskan cadangan tubuh sehingga tubuh melemah, menua, dan rentan terhadap penyakit. 5. Gizi Gizi seimbang yang terlihat dari perbandingan berat badan sesuai tinggi badan turut mempengaruhi proses penuaan artinya dapat memperpanjang usia. Hal itu terjadi karena gizi seimbang potensial untuk mencegah penyakit infeksi dan degeneratif.
13
Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Proses Penuaan Menurut Soekirman et al. (2006) proses penuaan ditandai oleh terjadinya gangguan fungsi tubuh dan penurunan kemampuan tubuh untuk mengatur proses kehidupan antara lain: 1. Tulang dan Otot Lansia mengalami kerusakan jaringan tulang dengan kecepatan lebih besar pada perempuan daripada laki- laki sehingga terjadi osteoporosis. Hal ini menimbulkan risiko patah tulang pada lansia akibat jatuh. Osteoporosis dapat berkembang dengan cepat atau dengan lambat, tergantung pada mekanisme homeostatik yang terlibat. Fase cepat kehilangan massa tulang (disebut juga tipe I) terjadi disebabkan karena kekurangan hormon estrogen dan testosteron. Kehilangan massa tulang cend erung lebih banyak ditemukan pada wanita. Hal itu disebabkan oleh wanita lebih muda diserang kehilangan tulang dalam 3 atau 5 tahun setelah menopause akibat kekurangan hormon estrogen (osteoporosis tipe I). Osteoporosis pada pria lebih lambat dari wanita. Kekurangan kadar testosteron pria kira-kira 40% antara usia 40 – 70 tahun, diikuti pengurangan massa tulang. Kehilangan massa tulang pada pria dua kali lipat setelah operasi atau pembuangan hormon testosteron (bentuk pengobatan untuk kanker prostat). Fase lambat kehilangan tulang, disebut juga tipe II atau osteoporosis akibat penuaan, terjadi disebabkan karena pengurangan penyerapan kalsium. Osteoporosis berdasarkan umur berhubungan dengan penyakit karena dampak kehilangan tulang terjadi lebih lambat dan biasanya tidak terlihat sampai masa tua. Proses menua menyebabkan proporsi lemak dan otot di dalam tubuh berubah. Semakin tua lemak tubuh bertambah sedangkan otot berkurang dan melemah. Inilah yang menyebabkan kegemukan/obesitas. Kegemukan mempunyai implikasi terhadap kesehatan, yaitu memberi beban ekstra pada tulang yang dapat menyebabkan arthritis atau radang sendi dan penyakit rematik lainnya. Di samping itu, kegemukan meningkatkan risiko terhadap penyakit diabetes, penyakit jantung, kanker dan stroke.
14
2. Jantung dan Pembuluh Darah Proses menua menyebabkan jantung mengecil, katup jantung menjadi kaku dan menebal. Kantong jantung akan dilapisi oleh lemak. Elastisitas pembuluh darah berkurang dan terjadi pengapuran. Akibatnya, kemampuan jantung untuk memompa darah berkurang, begitupun kemampuan untuk menggunakan oksigen. Jantung yang menua tidak tahan terhadap stres fisik, seperti kenaikan tekanan darah, demam dan olah raga berlebihan. Stres ini dapat menyebabkan kegagalan jantung. Tekanan darah sistole biasanya mengalami kenaikan pada proses menua, sedangkan perubahan pada tekanan darah diastole hanya sedikit. 3. Kehilangan Gigi Kesehatan gigi dan mulut yang tdiak diperhatikan sejak usia dini mengakibatkan gigi mudah tanggal atau berlubang sejalan denga n proses penuaan. Akibatnya lansia merasa kurang nyaman atau sakit saat mengunyah makanan. 4. Sistem Saluran Cerna Terjadi pengurangan cairan saluran cerna dan enzim yang membantu pencernaan saat penuaan. Kemampuan penyerapan zat gizi terutama le mak dan kalsium, dan nafsu makan berkurang. Sekresi air ludah yang menurun dapat mengurangi kemampuan mengunyah dan menelan makanan. Kesulitan buang air besar (BAB) pada lansia disebabkan oleh berkurangnya gerakan usus, kurangnya konsumsi makanan tinggi serat, obat-obatan, atau infeksi saluran cerna. 5. Sistem Ginjal Ginjal mengalami kehilangan sel yang berfungsi mengeluarkan urin sehingga tidak mampu berfungsi optimal dan aliran darah yang masuk berkurang. Akibatnya terjadi penumpukan garam dan gula dalam darah, serta pengeluaran sisa-sisa pemakaian protein tubuh menurun. 6. Sistem Endokrin Terjadi gangguan fungsi endokrin sehingga metabolisme sel-sel dan kemampuan tubuh mengatasi stress terganggu, produksi insulin dan hormon reproduksi juga menurun.
15
7. Sistem Imunitas Tubuh Menurunnya imunitas tubuh pada lansia menimbulkan kerentanan terhadap penyakit infeksi dan degeneratif. 8. Sistem Syaraf Terjadi pengurangan kemampua n mengalirkan rangsangan syaraf. Sel otak cenderung rusak dan ingatan menurun sehingga timbul kepikunan. Juga terjadi gangguan pola tidur di mana lansia lebih banyak tidur di siang hari daripada malam hari. 9. Sistem Pernapasan Elastisitas paru-paru berkurang pada penuaan sehingga paru-paru kaku dan kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan fisik berkurang. Juga terjadi pengurangan kemampuan
paru-paru
untuk
menghirup
gas
O2
dan
mengeluarkan gas CO2 . 10. Indera Indera perasa, penciuman, pendengaran, penglihatan, dan perabaan menurun. Akibatnya timbul penurunan nafsu makan dan sensitivitas rasa asin dan manis. 11. Kulit Kulit mengering, keriput, ada pembentukan bintik hitam (pigmentasi), dan kapiler di bawah kulit mudah pecah (memar). Rambut memutih dan mudah rontok.
Perubahan Pertumbuhan Fisik Berdasarkan Siklus Kehidupan Menurut George Kluger dan Meriem F. Kaluger (1974), perubahanperubahan fisik yang timbul pada kelompok daur kehidupan remaja, dewasa muda, dan lanjut usia adalah sebagai berikut: 1.Masa remaja (pubertas) dan dewasa muda Growth spurt dimulai pada 1 sampai 2 tahun sebelum anak-anak menjadi matang secara seksual dan dilanjutkan 6 bulan – 1 tahun setelahnya. Growth spurt remaja puteri dimulai pada usia 8,5 – 11,5 tahun. Setelah pubertas, pertumbuhan tubuh dilanjutkan hingga usia 17 – 18 tahun. Remaja pria memiliki pola percepatan pertumbuhan pada usia 14,5 – 15,5 tahun. Setelah itu mengalami penurunan hingga usia 18 atau 20 tahun ketika rata-rata TB dewasa
16
tercapai. Perbedaan distribusi lemak selama pubertas terjadi akibat perubahan hormonal dan meningkatnya nafsu makan. Pada remaja pria, penumpukan lemak terjadi pada perut, paha, dan pinggul. Jaringan lemak pada remaja pria menurun setelah pubertas. Distribusi lemak pada remaja puteri terdapat pada abdomen perut dan pinggul. Pria dewasa muda biasanya memiliki karakteristik garis kaki lurus, pinggul ramping, bahu lebar, paru-paru yang luas, dan pengembangan otot terpusat pada bahu, tangan, dan paha. Wanita dewasa muda mempunyai garis kaki melengkung seperti kurva, payudara penuh, dan pinggul melebar dengan lemak menumpuk pada panggul, paha, dan lengan atas. Garis pinggang yang tinggi terbentuk pada remaja seiring dengan batang tubuh yang memanjang, tetapi menurun saat proportional tubuh dewasa tercapai. Sebelum pubertas, kaki menjadi lebih panjang daripada batang tubuh dan tangan juga bertambah panjangnya sehingga tangan dan kaki tampak tidak proportional. Pengembangan tulang skeletal berhenti saat seseorang berusia 18 tahun. Akhir perkembangan TB dan BB pada remaja tergantung pada faktor- faktor seperti keturunan, asupan makanan saat prenatal dan postnatal, lingkungan, aktivitas tubuh saat bayi dan masa kanak-kanak, serta status kesehatan. 2. Lanjut Usia (Lansia) Kondisi fisik lansia tergantung pada temperamen psikologi, kehidupan sosial (stress), keturunan, status gizi (malnutrisi), penyakit infeksi dan degeneratif, serta lingkungan (panas dan dingin). Perubahan fisik yang tampak pada lansia antara lain bahu membungkuk, kekuatan tangan dan kaki menurun, komposisi bahan kimia dalam tulang berubah sehingga kepadatan tulang berkurang dan lebih rapuh. Akibatnya meningkatkan risiko kerusakan tulang di kemudian hari. Gerakan- gerakan sendi menjadi kaku dan lebih terbatas sehingga merusak skeleton.
Status Gizi La nsia Status gizi lansia sangat dipengaruhi oleh proses menua (aging). Proses penuaan sangat individual dan berbeda perkembangannya bagi tiap individu karena dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Asupan gizi dari makanan mempengaruhi proses menjadi tua karena seluruh aktifitas sel/metabolisme tubuh
17
memerlukan nutrien yang cukup selain faktor penyakit dan lingkungan. Sebagian besar masalah gizi lansia adalah gizi lebih yang memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti: obesitas, PJK, Diabetes Mellitus (DM), hipertensi, rematik, dan kanker. Dampak asupan gizi saat usia muda akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya di usia lanjut.
Gizi Lebih Gizi lebih merupakan masalah gizi yang umum terjadi pada lansia. Hal itu disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan gizi lebih adalah pola konsumsi makanan secara berlebihan, banyak mengandung lemak, protein, dan karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan kalori sejak usia muda maupun kanak-kanak. Gizi lebih atau obesitas merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit degeneratif seperti PJK, hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Tubuh lansia mengalami kenaikan lemak tubuh dan menurunnya jaringan otot seiring peningkatan usia. Bila seseorang memiliki berat badan (BB) 20% di atas normal termasuk kategori kegemukan. Orang yang gemuk memiliki risiko sakit dan meninggal lebih tinggi karena erat hubungannya dengan penyakit hipertensi, PJK, diabetes, dan kanker.
Gizi Kurang Penurunan berat badan yang drastis pada lansia merupakan pertanda kekurangan gizi akibat rendahnya nafsu makan (anoreksia) yang berkepanjangan. Seringkali gizi kurang merupakan akibat dari penyakit infeksi kronis, keganasan penyakit, penyakit jantung kongestif, masalah sosial, masalah ekonomi atau sebab-sebab lain yang tidak diketahui. Selain itu, pada beberapa keadaan tertentu ditemukan kekurangan vitamin dan mineral khususnya defisiensi Fe, Ca, vitamin C, vitamin B12, dan vitamin B6 karena kurangnya asupan makanan sumbersumber vitamin dan mineral, penyakit-penyakit tertentu, dan obat-obatan yang dimakan.
18
Penilaian Status Gizi Status gizi lansia dapat diukur dengan berbagai cara yaitu: 1. Penilaian Klinis Berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan epitel atau tubuh lain terutama pada mata, kulit, dan rambut. Juga pada bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat atau bagian tubuh lain yang terletak d dekat permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Cara ini relatif murah dan tidak memerlukan perala tan canggih, namun hasilnya sangat subyektif dan memerlukan tenaga terlatih. 2. Penilaian Biokimia Merupakan cara penilaian yang lebih sensitif dan mampu menggambarkan perubahan status gizi lebih dini pada lansia seperti hiperlipidemia, KKP, dan anemia defisiensi Fe dan asam folat. Plasma dan serum memberikan gambaran hasil masukan jangka pendek, sedangkan cadangan dalam jaringan menggambarkan status gizi dalam waktu panjang/lama. 3. Penilaian Dietetik Biro et al. (2002) mendefinisikan penilaian dietetik sebagai penilaian yang menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survey konsumsi makanan. Metode pengumpulan data asupan makanan individu terbagi 2 yaitu: a. Short term Mengumpulkan infomasi data makanan saat sekarang (current) Alat ukur: 24 hours food recall & lbh dari 2 hari (dietary records) b. Long term Mengumpulkan informasi tentang makanan yg biasa dikonsumsi sebulan atau setahun yg lalu. Alat ukur: dietary history atau FFQ Food Frequency Questionnaire (FFQ) Menurut Willet (1999), metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) digunakan untuk menggambarkan frekuensi konsumsi makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi beberapa waktu yang lalu (satuan minggu, bulan, atau tahun).
19
Pada dasarnya metode ini terdiri dari 2 komponen yaitu: daftar makanan dan frekuensi konsumsi untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan dikonsumsi. FFQ semi kuantitatif digunakan untuk memperoleh data jumlah porsi makanan yang dikons umsi (ukuran potong atau sendok, dsbnya). Guthrie dalam Willet (1999) menge mukakan bahwa umumnya individu tidak dapat menggambarkan ukuran porsi makanan yang dikonsumsi secara tepat (hanya sekitar 25% yang akurat). Namun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa ukuran porsi secara positif berkorelasi dengan frekuensi konsumsi artinya informasi ukuran porsi mendukung informasi frekuensi konsumsi. Data FFQ dapat digunakan untuk menghitung asupan zat gizi dengan status kesehatan dan gizi individu melalui program analisis zat gizi bahan makanan. Asupan zat gizi dari FFQ dapat dihitung dari pembobotan frekuensi konsumsi makanan, contohnya 1-3 kali/hari, 1 kali//minggu, 1 kali/bulan, atau 1 kali/tahun. Pengumpulan data FFQ melalui wawancara dapat memberikan hasil lebih akurat karena responden memiliki waktu lama untuk berpikir mengingat kembali semua jenis makanan, frekuensi dan porsi makanan yang dikonsumsi, responden memahami pertanyaan yang diajukan oleh enumerator. Validitas metode FFQ cukup tinggi dibandingkan metode lainnya. Suatu studi yang dilakukan pada wanita post- menopause di Cina (Liangzhi et al. 2004) menemukan bahwa FFQ cukup valid dalam menggambarkan kebiasaan makan responden karena FFQ mengukur volume makanan yang dikonsumsi oleh responden dan bukan berat makanan.
Dietary assessment pada lansia Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yangg memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary asessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada lansia karena adanya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history & dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yg dikonsumsi oleh lansia.
20
Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Metode FFQ yang menggunakan ukuran porsi (semi kuantitatif FFQ) dapat memberikan estimasi jumlah makanan atau zat gizi yang dikonsumsi pada masa lampau. Pada penilaian diet jangka pendek, ukuran porsi makanan yg dikonsumsi adalah ukuran nyata, sedangkan pada jangka panjang adalah ukuran porsi yang umum/biasa dipakai. Informasi tentang makanan yang dikonsumsi dapat mengidentifikasi sumber atau penyebab malnutrisi dan menjadi dasar bagi perubahan-perubahan diet yang direkomendasikan. Data-data asupan makanan di tingkat individu dapat meningkatkan pemahaman antara diet dengan kesehatan, sebagai tandatanda adanya kelainan gizi, dan dapat memecahkan masalah-masalah gizi. Data tersebut menjadi dasar bagi pelaksanaan program bantuan pangan pada kelompok-kelompok rawan gizi, program konseling terkait dengan penyakit degeneratif, dan untuk monitoring tujuan-tujuan gizi yang terkait dengan kesehatan. Survey diet atau konsumsi makanan di tingkat nasional menjadi dasar bagi program edukasi gizi, pengembangan petunjuk gizi, atau legislasi makanan. Pemilihan metode survey gizi tergantung pada tujuan survey itu sendiri. Informasi tentang asupan makanan saat kini dan masa lalu dikumpulkan melalui recal makanan berulang, frekuensi makanan, atau diet history (Sanjur & Maria 1997).
4.
Penilaian Antropometri Antropometri adalah serangkaian teknik-teknik pengukuran dimensi
kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Antropometri seringkali digunakan sebagai tool pengukuran antropologi biologi yang bersifat cukup obyektif dan terpercaya. Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada pria dan wanita yang bervariasi sesuai tahapan penuaan dapat mempengaruhi antropometri. Akibatnya nilai standard antropometri dari populasi dewasa tidak dapat diterapkan pada kelompok lansia. Seleksi variabel- variabel antropometri untuk menentukan status gizi lansia harus berdasarkan: validitas, availabilitas standarisasi teknik-teknik pengukuran dan data rujukan, serta kepraktisan (Perissinotto et al. 2002).
21
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri/ukuran tubuh yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Namun pengukuran TB lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis, atau pembengkokan tulang punggung sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak, maka pengukuran tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk memperkirakan TB. Faktor genetik, diet, dan ras atau lingkungan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan TB seseorang. Faktor-faktor non-patologis yang mempengaruhi distribusi karakteristik antropometri antara lain: usia, gender/sex, dan daerah geografi/etnis (Chumlea et al. 1984). Sebuah studi yang dilakukan pada masyarakat dewasa Suku Aborigin Australia relatif memiliki kaki lebih panjang, tubuh lebih pendek, dan BB/TB lebih rendah dibandingkan etnis lainnya pada umur dan jenis kelamin yang sama (Launer & Harris, 1996). Sementara komposisi tubuh orang dewasa di MesoAmerika mempunyai TB yang rendah dan pada usia lanjut mengalami penuruna n TB sesuai bertambahnya usia (Edmun et al. 2000). Studi lainnya di Belanda menggambarkan penduduk lansia Mediterranian lebih tinggi daripada penduduk lansia Eropa Barat, Asia, Afrika, dan Amerika (Myers & Takiguchi 1994). Studi tentang validasi persamaan Caucasian (Chumlea) tinggi lutut untuk prediksi TB lansia di berbagai negara masih amat minim/langka. Beberapa studi tentang pengembangan persamaan estimasi TB penduduk lansia di beberapa negara disajikan berikut ini. Sebuah studi telah dilakukan pada tahun 2000 terhadap penduduk lansia wanita dan pria Cina di Hongkong tanpa kelainan tulang apapun dan masih dapat berdiri tegak melalui pengukuran TB dan tinggi lutut. Ternyata ditemukan perbedaan signifikan antara persamaan Chumlea dengan studi tersebut pada kelompok lansia wanita. Ada hubungan antara tinggi badan, tinggi lutut, dan umur terhadap etnis dan jenis kelamin. Sementara tinggi badan lansia pria Cina dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Caucasian atau Cina. Regressi model yang dikembangkan dalam studi ini menghasilkan estimasi tinggi badan lebih baik pada kelompok lansia wanita Cina (Pini et al. 2001).
22
Estimasi tinggi badan pada lansia Jepang dilakukan untuk memprediksi tinggi badan menggunakan tinggi badan aktual dan prediksi dengan Multiple Linear Regressión. Persamaan tinggi lutut lansia Jepang di wilayah geografis tertentu digunakan untuk memudahkan pemakaian tinggi lutut secara akurat (Pini et al. 2001). Suatu studi longitudinal dilakukan pada penduduk lansia Italia untuk menentukan perubahan tinggi badan dalam waktu 6 tahun. Studi menemukan hasil pengukuran tinggi lutut lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran tinggi badan pada populasi dan jenis kelamin yang sama. Ada penurunan tinggi badan 1,7 cm di mana wanita menunjukkan penurunan yang lebih besar daripada pria (Donini et al. 2000). Prediksi tinggi badan penduduk lansia Italia juga dilakukan pada tahun 2000 untuk merumuskan persamaan tinggi badan dari hasil pengukuran tinggi lutut (Pini et al. 2001). Pengukuran panjang depa (arm span) sebagai prediktortinggi badan dilakukan terhadap wanita dewasa usia 20-29 tahun di Indian Selatan. Studi membuktikan hubungan antara panjang depa dengan tinggi badan (Mohanty et al. 2001). Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, maka tinggi badan tumbuh bersama dengan pertambahan umur. Lansia akan mengalami penuruna n tinggi badan akibat terjadinya pemendekan columna vertebralis, berkurangnya massa tulang (12% pada pria dan 25% pada wanita), osteoporosis, dan kifosis. Rata-rata penurunan tinggi badan lansia sekitar 1-2 cm/10 tahun, di mana penurunan ini dimulai sejak usia 50 tahun. Sementara Chumlea menemukan adanya penurunan tinggi badan sebesar 0,5 cm/tahun pada lansia kulit putih usia 60-80 tahun (Chumlea et al. 1984). Studi yang dilakukan oleh Perissinotto et al. (2002) menunjukkan penurunan tinggi badan lansia 2-3 cm/10 tahun. Studi lain pada lansia Swedia menemukan penurunan tinggi badan 4-5 cm selama 25 tahun, dan studi Baumgartner et al melaporkan penurunan tinggi badan 0,5-1,5 cm/dekade (Chumlea et al. 1984). Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Tetapi pada lansia yang mengalami kelainan tulang dan tidak dapat berdiri, maka tidak dapat dilakukan pengukuran tinggi badan secara tepat. Menurut Chumlea, bagi lansia yang tidak dapat berdiri ataupun bongkok
23
pengukuran tinggi lutut dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan. Sementara Schlenker (1993) menyebutkan bahwa metode lain yang dapat dipakai dalam memprediksikan tinggi badan dengan tinggi lutut dan panjang depa. Menurut Gibson, tinggi lutut memiliki korelasi yang erat dengan tinggi badan sehingga tinggi badan lansia pria dan wanita dapat dirumuskan dari data tinggi lutut sebagai berikut (Chumlea 1988).
TB pria
= 64,19 – (0,04 x usia dalam tahun) + (2,02 x tinggi lutut dlm cm)
TB wanita = 84,88 – (0,24 x usia dalam tahun) + (1,83 x tinggi lutut dlm cm)
Gambar 1 Tabel nomogram untuk konversi prediksi tinggi badan dari tinggi lutut hasil pengukuran (Gibson 2005). Gambar 1 menampilkan nomogram yang dapat digunakan untuk mengkonversikan data tinggi lutut hasil pengukuran untuk memprediksi tinggi badan lansia pada kelompok usia dan jenis kelamin yang berbeda tanpa perlu memasukkan nilai tinggi lutut hasil pengukuran ke dalam persamaan Chumlea (Gibson 2006). Selanjutnya data tinggi lutut yang telah dikonversikan
24
menggunakan tabel normogram atau persamaan Chumlea dimasukkan dalam rumus IMT yaitu: IMT =
berat badan (kg) tinggi badan (m)2
Pengelompokan IMT untuk klasifikasi status gizi lansia berdasarkan standar WHO (WHO 1999) adalah: Tabel 1
Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut WHO 1999 IMT (kg/m2 ) < 20 20 – 25 25 - 30 >= 30
Status Gizi underweight normal overweight obesitas
Penilaian status gizi lansia menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI 2005) ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2 Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Depkes RI 2005 IMT (kg/m2 )
Status Gizi
< 18,5 18,5 – 25 > 25
gizi kurang gizi normal gizi lebih
Penentuan status gizi lansia di Indonesia hingga saat ini masih menggunakan kategori dalam Tabel 2 di atas sesuai yang dirumuskan oleh Departemen Kesehatan RI Tahun 2005. Berikut ditampilkan beberapa model prediksi tinggi badan lansia dari sejumlah negara di dalam dan luar Indonesia berdasarkan hasil- hasil penelitian (Tabel 3). Umumnya parameter panjang depa dan tinggi lutut lebih banyak digunakan dalam studi-studi tersebut. Tinggi duduk hanya ditemukan dalam dua studi di luar Indonesia. Namun meskipun jarang dipakai, tinggi duduk merupakan
25
salah satu prediktor tinggi badan yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi tinggi badan pada kelompok lansia. Tabel 3 No.
Negara
Model- model prediksi tinggi badan lansia beberapa negara Etnis Laki-Laki
1. Ethiopia
Oromo Amhara Tigre Somali
2. Cina
-
3.
Italia
-
4.
Ohio
Model Prediksi Tinggi Badan Lansia R2 Wanita
45,5 + (0,70 PD) 56,9 + (0,64 PD) 44,9 + (0,70 PD) 56,8 + (0,67 PD)
0,71 0,70 0,71 0,73
51,16 + (2,24 TL)
0,63
55,5 + 0,62 PD 53,4 + 0,64 PD 49,9 + 0,66 PD 52,1 + 0,68 PD 46,11+ (2,46TL) - (0,12U)
94,87 + 1,58TL – 0,23U + 4,8S
Kulit putih Kulit hitam
(TL x 2,08) + 59,01 (TL x 1,96) + 58,72
5. AS Non-Hispanic Putih
0,68 0,73 0,70 0,64 0,67 -
(TL x 1,91) - (U x 0,17) + 75 -
-
0,69
82,21+ (1,85 TL) - (0,21U)
89,58+(1,61TL)-(0,17 U)
0,63
84,25 + (1,82 TL) – (0,26 U)
0,65
7.
Non-Hispanic Hitam 79,69 + (1,85 TL)- (0,14 U) 0,70 Mexico – Amerika 82,77 + (1,83 TL)-(0,16U) 0,66 Filipina 96,50 + (1,38 TL) – (0,08 U 118,24 + (0,28 PD) – (0,07 U) Jepang 71,16 + (2,61 TL) – (0,56 U) -
86,98 + (1,53 TL) – (0,17 U) 63,18 + (0,63 PD) – (0,17 U) 63,06 + (2,38 TL) – (0,34 U)
-
8.
Chumlea
-
64,19 – (0,04 U) + (0,02 TL)
84,88 – (0,24 U) + (1,83 TL)
-
9.
Malaysia
-
(0.681 PD) + 47.56 (1.924 TL) + 69.38
6.
78,31+ (1,94 TL)- (0,14 U)
-
R2
10. Indonesia DKI Ja karta
0,75 0,66
63,05 + (0,59 PD) – (0,05 U) 0,62 + (0,07 BB) – (0,39 JAWA) + (1,13 CINA) 81,48 + (1,58 TL) – (0,04 U) + (0,07 BB) – (0,79 JAWA) + (1,82 CINA)
Catt:
-
0,55
0,64
(0.851 PD) + 18.78 (2.225 TL) + 50.25
0,81 0,70
83,96 + (0,41PD) - (0,07U) + 0,07BB – (0,39 JAWA) + (1,13 CINA)
0,47
71,55 + (1,66 TL) – (0,03U) + (0,07BB) –(0,76 JAWA) + (1,82 CINA)
0,63
PD = PANJANG DEPA TL = TINGGI LUTUT S = SEX U = UMUR
Standar Posisi Pengukuran Antropometri Kebanyakan pengukuran antropometri dilakukan dengan satu atau dua posisi yang berbeda. Pada posisi berdiri, maka subyek yang diukur harus berdiri tegak, mata menatap lurus ke depan dengan bahu rileks dan tangan menggantung
26
bebas. Subyek berdiri menempel di dinding, dan membelakangi alat atau instrumen pengukuran (Peasant 2000). Pada posisi duduk, maka subyek harus duduk tegak di atas permukaan tempat duduk yang rata (flat), menempel pada dinding tembok, pandangan lurus ke depan, an tanpa alas kaki. Bahu rileks dengan tangan menggantung bebas, dan lengan bawah di posisi horisontal (yaitu siku membentuk sudut sebelah kanan). Tinggi tempat duduk disesuaikan (atau sebuah balok ditempatkan di bawah kaki).
IMT (Indeks Massa Tubuh) Penilaian status gizi lansia ditentukan melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu estimasi komposisi tubuh yang berkorelasi dengan berat badan dan tinggi badan terhadap lean body mass. Tingginya IMT menggambarkan cadangan lemak berlebihan, dan rendahnya IMT mengindikasikan penurunan cadangan lemak sehingga IMT berguna dalam mendiagnosa obesitas atau KEP (Kurang Energi Protein). Terdapat hubungan yang kuat antara IMT dan massa lemak tubuh melalui variasi tinggi badan individu. Indeks Massa Tubuh mencerminkan persen lemak tubuh orang dewasa. Tinggi badan dan berat badan merupakan indikator penting dalam menghitung nilai IMT. Model IMT dengan formula di atas (halaman 24) memiliki kesamaan dengan model yang terdapat pada ikan. Model ini menerangkan hubungan antara panjang dan bobot ikan dan dirumuskan sebagai berikut (Efendie 1985): IMT = W/Hß Parameter ß ditentukan berdasarkan populasi yang diamati, tetapi nilai ß yang umum digunakan adalah 2. Pada manusia nilai ß = p dengan nilai antara 1 – 3 (Shetty 1994). W = a /Lß W = bobot ikan L = panjang ikan a & ß = paramer yang nilainya berbeda tergantung jenis ikannya
27
Pada ikan, nilai ß = 3 bila bentuk ikan bulat dan terus memipih dengan mengecilnya nilai ß tersebut.. IMT berhubungan erat dengan berat badan populasi tiap-tiap etnis dan jenis kelamin, tetapi kurang dipengaruhi oleh TB (Shetty 1994). Bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan jenis kelamin, etnis, jenis aktivitas fisik, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, status pernikahan, keturunan, dsbnya. Oleh karena itu, untuk menghindari bias pada penilaian status gizi individu atau kelompok, maka perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut. Studi yang dilakukan pada penduduk dewasa laki- laki dan perempuan di 13 kota besar di Indonesia menunjukkan adanya nilai IMT pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Nilai IMT laki- laki di kota Medan dan Surabaya lebih tinggi daripada perempuan. Sementara nilai IMT baik laki- laki maupun perempuan di Yogyakarta dan Ambon adalah sama. Nilai ß untuk orang dewasa di Indonesia di 13 ibukota propinsi di Indonesia disarankan bernilai 1,85 bagi lakilaki dan 1,68 bagi perempuan (Luqman 1997). Kusdiatmono menyatakan bahwa bentuk tubuh orang dewasa di Indonesia lebih beragam atau banyak yang tidak proporsional. Keragaman itu mungkin disebabkan oleh keragaman suku dan masalah gizi pada masa anak-anak (Kusdiatmono 1997). Laki- laki Aceh memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping daripada lakilaki Denpasar, sedangkan orang Jayapura memiliki volume tulang yang besar sehingga nilai ß= a menjadi besar meskipun rata-rata berat badan dan tinggi badan hampir sama dengan Aceh. Perempuan dewasa Banjarmasin memiliki rata-rata BB dan TB yang kecil dibandingkan perempuan kota lainnya (Sutriyati 1998).
Somatometri Antropometri terdiri dari 2 bagian yaitu cephalometri dan somatometri. Cephalometri mengukur bagian-bagian panjang dan lebar kepala, muka, hidung, bibir, dan telinga manusia menggunakan sinar X, dan ultrasound. Menurut Kewal Krishan (2007), somatometri adalah bagian dari antropometri yang berhubungan dengan pengukuran seluruh anggota tubuh manusia seperti tinggi badan, ukuran kaki, panjang anggota gerak tubuh lainnya, dan wajah selain kepala. Somatometri
28
merupakan bagian dari ilmu somatologi yang mempelajari tubuh manusia. Somatometri merupakan alat ukur dalam beberapa studi antara lain studi variabilitas biologi manusia, studi estimasi usia manusia dari faktor- faktor terkait antara lain tanggal lahir, jenis kelamin, etnis, lokasi geografi, status sosioekonomi, dan sebagainya. Teknik somatometri dipakai dalam menentukan umur kronologi manusia. Somatometri juga digunakan dalam melakukan estimasi tinggi badan dari berbagai segmen tubuh yang berbeda. Salah satu studi yang menggunakan teknik ini adalah studi Bhatnagar et al melalui 3 pengukuran antropometri pada bagian tangan kanan dan kiri secara terpisah. Persamaan regressi dikembangkan dari ketiga pengukuran tersebut. Studi lain dilakukan oleh Jason et al yang mengukur panjang servik, toraks, dan lumbar pada bagian tulang belakang populasi Amerika kulit putih dan kulit hitam. Lalu dikembangkan suatu formula regresi dari pengukuran tersebut. Krishan dan Sharma (2007) mengembangkan studi estimasi tinggi badan populasi Punjabi dari pengukuran panjang depa. Somatometri berhubunga n dengan ergonomi karena ergonomi yang telah berkembang sejak 50 tahun lalu menggunakan teknik pengukuran somatometri untuk merancang sistem, mesin, dan peralatan agar aman, efisien, dan nyaman digunakan oleh manusia. Ergonomi menerapkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari sudut pandang berbeda termasuk empat lapangan ilmiah yaitu: antropometri, biomekanik, fisiologi, dan psikologi. Ergonomi melakukan pengukuran somatoskopi dan somatometri untuk menggambarkan karakteristik struktur, proporsi, dan penge mbangan tubuh antara lain ukuran vertikal (tinggi duduk, tinggi akromion), ukuran horizontal (lebar tangan, panjang kaki) (Marilena & Diana 2002).
Tulang dan Sistem Otot Tulang menga ndung protein kolagen sehingga bersifat lentur dan Calcium Phosphat (hydroxyapatite) membuat tulang menjadi kuat dan kasar. Tulang terdiri dari dua lapisan berbeda yaitu: tulang kortikal (bagian luar) dan tulang trabekular (bagian dalam). Sebagian besar tulang kortikal terletak di tulang
29
panjang lengan depan, sementara trabekular mendominasi bagian tulang belakang (vertebral), dan pinggang. Selama hidup, tulang mengalami siklus perombakan dan pembentukan. Sel-sel osteoclast menghilangkan tulang-tulang tua (resorpsi) dan sel-sel osteoblast membentuk tulang-tulang baru (formasi). Proses remodeling- modeling ini diatur oleh faktor- faktor seperti: status gizi, hormon, tingkat hormon paratiroid, dan status vitamin D. Tahap kritis pembentukan tulang yang sehat terjadi pada masa kanakkanak hingga dewasa muda. Pada masa ini lebih banyak terjadi pembentukan tulang daripada kehilangan tulang. Sekitar 50% peak bone mass terjadi pada masa remaja dan sekitar 90% isi mineral tulang disimpan sejak usia 18 tahun dan 99% pada usia 22 tahun. Perkembangan kepadatan tulang berjalan lambat hingga usia 30 tahun saat puncak massa tulang tercapai. Jaringan - jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, dan tulang terdiri dari sistem muskuloskeletal. Pada lansia terjadi penurunan fungsi tubuh karena gangguan sistem muskuloskeletal pada gerakan- gerakan sendi yaitu sendi menjadi kaku sehingga gerakannya terbatas. Gangguan sistem muskuloskeletal itu disebabkan oleh lambatnya proses turn-over atau perombakan. Sejak usia 50 tahun, densitas tulang (massa tulang per- unit volume) menurun dengan cepat, terutama pada wanita. Proses ini menimbulkan kerusakan tulang belakang dan meningkatkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko patah tulang atau osteoporosis. Penurunan hormon-hormon seks dan proses penuaan berkontribusi pada kehilangan densitas tulang. Pada laki- laki, produksi testosteron menurun secara perlahan- lahan sehingga kehilangan massa tulang berjalan linear dan lambat. Sementara pada wanita, proses hilangnya massa tulang selama 5-10 tahun setelah menopause karena kehilangan estrogen. Kehilangan densitas tulang secara cepat pada wanita saat menopause dini, masa pertumbuhan, dan pubertas dapat meningkatkan jumlah kehilangan massa tulang lebih tinggi daripada laki- laki. Pada usia lanjut, konsekuensi kehilangan densitas tulang pada wanita lebih besar dibandingkan laki- laki sehingga insidens patah tulang duakali hingga tigakali lebih besar pada wanita.
30
Kehilangan massa tulang lebih besar terjadi saat meningkatnya sirkulasi glukokortikoid endogen atau eksogen dan tiroid, pengidap alkoholik, penderita kelainan gastrointestinal, dan perokok. Hilangnya massa tulang secara progresif saat usia menua menimbulkan efek pada trabecular dan apendicular yaitu penurunan atau berhentinya tinggi badan, dan kifosis. Dua perubahan yang timbul pada struktur tula ng adalah berkurangnya ketebalan dan meningkatnya poros tulang. Wanita memiliki korteks tulang lebih tipis daripada laki- laki sehingga efek penipisan korteks tulang lebih berat. Onset kehilangan massa tulang terjadi pada wanita dan laki- laki berusia antara 50 hingga 65 tahun. Wanita memiliki kecepatan hilangnya densitas tulang lebih cepat daripada laki- laki yang ditandai saat menopause. Laki- laki dan wanita kehilangan tulang trabekular dan kortikal.
Proses Regenerasi Tulang Secara Normal Menurut Mark dan Robert (1996), kerangka tubuh mengalami proses remodelling secara periodik yaitu penggantian tulang-tulang tua dengan yang baru tiap 10 tahun. Proses ini terjadi pada permukaan tulang bagian dalam (internal) melalui osteoclast (bagian depan) dan osteoblast (bagian belakang). Massa tulang dipelihara melalui keseimbangan pembentukan (formasi) dan resorpsi tulang. Osteoclast dan osteoblast terjadi dalam sumsum tulang belakang. Prekursor osteoclast adalah sel-sel hematopoietik monist/makrofag. Prekursor osteoblast merupakan sel-sel stem mesensimal yang terdapat pada sel-sel stromal sumsum tulang belakang, kondrosit, sel otot, dan adiposit. Pengembangan osteoclast dan ostoblast dikontrol oleh faktor- faktor pertumbuhan dan sitokin yang diproduksi oleh hormon sistemik dalam sumsum tulang belakang. Hilangnya massa tulang merupakan bagian dari proses penuaan secara normal terjadi melalui 2 fase yaitu: menopausal bone loss (terjadi setelah menopause wanita dengan cepat) dan senescent bone loss (pada wanita dan lakilaki berusia di atas 50 tahun dengan lambat). Perbedaan keduanya ditampilkan pada Tabel 4 di atas. Pada senescent bone loss, terjadi penurunan jumlah tulang yang terbentuk selama remodelling seiring dengan bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin
31
laki- laki dan wanita. Hal itu terlihat dari menurunnya ketebalan dinding tulang secara konsisten khususnya pada tulang trabekular. Selain itu terjadi penurunan formasi osteoblast, peningkatan formasi adiposit di sumsum tulang belakang, kecepatan formasi tulang berkurang, dan densitas mineral tulang menurun. Perubahan-perubahan ini menurunkan formasi tulang, menghasilkan osteopenia, dan meningkatkan adiposit sumsum tulang belakang sejalan dengan bertambahnya usia. Fraktur pinggul dan vertebral merupakan tipe senescent bone loss. Tabel 4 Gambaran menopausal dan senescent bone loss Menopausal Bone Loss
Senescent Bone Loss
Kecepatan remodelling tinggi Meningkatnya risiko fraktur vertebral
Kecepatan remodelling lambat Meningkatnya risiko fraktur vertebral & pinggul Meningkatnya formasi osteoblast & osteoclast Menurunnya formasi osteoblast & osteoclast Jaringan lemak sumsum tl. Be lakang tidak Jaringan lemak sumsum tl. belakang meningkat diketahui Rentang hidup osteoclast meningkat Rentang hidup osteoclast tidak diketahui Rentang hidup osteoblast menurun Rentang hidup osteoblast tidak diketahui
Prediktor Tinggi Badan Lansia Beberapa faktor yang dianggap memiliki hubungan allometrik dengan tinggi badan lansia adalah: 1. Panjang depa (arm span) Panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia karena usia berkaitan dengan penurunan tinggi badan. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh penambahan usia. Namun nilai panjang depa pada kelompok lansia cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak
32
seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dan tinggi badan. Pengukuran panjang depa tidaklah mahal dan teknik prosedurnya sederhana sehingga mudah dilakukan di lapangan (Tayie et al. 2003). Studi pada 4 etnis di Ethiopia (Lucia et al. 2002) menunjukkan bahwa panjang depa dapat digunakan sebagai proksi tinggi badan untuk mengestimasi IMT. Penelitian terhadap 761 pria dan wanita dewasa Ghana usia 20 – 85 tahun menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara pengukuran panjang depa dengan tinggi badan (r = 0,85 pada pria dan r = 0,91 pada wanita). Nilai panjang depa pada dewasa lansia sedikit lebih rendah daripada dewasa muda. Terlihat adanya kecenderungan penurunan kecepatan panjang depa daripada tinggi badan seiring peningkatan usia. Disimpulkan bahwa kemungkinan panjang depa tidak berubah selama terjadinya proses penuaan pada populasi penelitian (Tayie et al. 2003). 2. Tinggi lutut (knee height) Tinggi lutut berkorelasi dengan tinggi badan lansia ditunjukkan dari studi lansia di DKI Jakarta dan Tangerang. Tinggi lutut memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi badan pada kedua kelompok lansia wanita dan pria (Fatmah 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1999) untuk digunakan sebagai prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia ≥ 60 tahun (lansia). Proses bertambahnya usia tidak berpengaruh terhadap tulang yang panjang seperti lengan dan tungkai, tetapi sangat berpengaruh terhadap tulang belakang. Prediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut pertama kali dilakukan pada sampel kecil lansia non-Hispanic kulit putih di Ohio, Amerika Serikat. Kemudian Chumlea et al melakukan penelitian yang lebih baru dengan menggunakan sampel yang lebih besar dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). Model persamaan yang dirumuskan hanya spesifik untuk kelompok kulit putih non-Hispanic, kulit hitam non-Hispanic dan Meksiko Amerika. Tinggi badan pada kelompok wanita lansia dengan osteoporosis diukur dengan tinggi lutut. Parameter ini lebih akurat dan tepat sebagai prediktor tinggi badan maksimal. Studi tentang estimasi tinggi badan lansia di Jepang membuktikan adanya hubungan signifikan antara tinggi lutut dengan tinggi badan (Knous &
33
Arisawa 2002). Demikianpula studi lain yang dilakukan pada 126 lansia Perancis menunjukkan tinggi lutut dapat dipakai untuk menggantikan tinggi badan tegak pada lansia (Ritz 2004). 3. Tinggi duduk (sitting height) Penurunan tinggi badan dapat dipengaruhi oleh berkurangnya tinggi duduk ketika potongan tulang rawan antara tulang belakang (vertebrae) mengalami kemunduran seiring peningkatan usia. Tulang-tulang panjang menunjukkan sedikit perubahan sejalan dengan bertambahnya umur. Studi yang dilakukan pada 279 lansia di India menunjukkan bahwa penurunan tinggi badan dan tinggi duduk berhubungan dengan usia (Tyagi et al. 2003).
Sementara faktor- faktor (underlying factors) yang dianggap menentukan pertumbuhan fisik tinggi badan adalah: 1. Penyakit Osteoporosis merupakan kelainan metabolisme tulang atau kegagalan tulang rangka akibat kehilangan massa tulang yang berakibat timbulnya fraktura. Penyebabnya bermacam- macam, tetapi terutama disebabkan oleh proses penuaan dan kehilangan estrogen, suatu hormon pelindung massa tulang dan menurunkan kehilangan tulang. Osteoporosis saat ini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat pada kelompok lansia di Indonesia. Di masyarakat Barat, osteoporosis juga merupakan masalah kesehatan utama. Pada tahun 1986 di Australia terdapat angka 10.000 kasus retak tulang pada pinggul akibat osteoporosis. Diduga pada tahun 2011 insidens itu akan meningkat menjadi 18.000 kasus per tahun. Ada 2 jenis osteoporosis yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Jenis pertama ditandai adanya gejala penurunan massa tulang dan meningkatnya kerentanan pada keretakan tulang (fracture) tanpa disertai penyebab kehilangan massa tulang. Sementara jenis kedua adalah kondisi di mana osteoporosis dan fraktur merupakan hasil bone resorption akibat kelainan endokrin seperti hiperparatiroid dan hipertiroid, atau pemakaian obatobatan yang mengganggu metabolisme tulang seperti kortikosteroid. Perilaku
34
berisiko terhadap kejadian osteoporosis antara lain: rendahnya kegiatan fisik, merokok, peningkatan konsumsi alkohol, dan status gizi kurang. Penurunan tinggi badan dengan peningkatan usia pada wanita umumnya mencerminkan pengembangan osteoporosis pada columna vertebral. Penyakit virus seperti penyakit Paget adalah suatu penyakit disebabkan oleh infeksi virus yang mengganggu proses normal pembentukan tulang sehingga tulang menjadi lemah dan tipis. 2. Kelainan genetik/keturunan Kondisi bersifat genetik yang mempengaruhi pertumbuhan tulang adalah acondroplasia dan osteogenesis imperfecta. Achondroplasia atau Dwarfism memiliki ciri-ciri tulang panjang pada lengan dan tangan yang pendek sehingga menghasilkan tinggi badan yang rendah. Keadaan ini diturunkan dari orang tua pada anaknya atau dihasilkan dari mutasi gen orang tua pada anaknya. Pertumbuhan tubuh terganggu saat terjadinya pengembangan kartílago yang terlalu dini. Anak-anak dengan kelainan ini berisiko 50% memiliki kelainan gen seperti halnya penyakit sehingga tidak dapat disembuhkan. Osteogenesis imperfecta adalah kelainan akibat kerusakan kolagen dan jaringan penghubung yang membentuk bahan dasar tulang sehingga menghasilkan kualitas kolagen yang rendah dan menimbulkan kerapuhan tulang/mudah retak. Keadaan ini juga diturunkan oleh orang tua pada anaknya atau karena mutasi gen secara spontan sehingga tidak dapat diperbaiki. 3. Kelainan hormonal Disebabkan oleh rendahnya produksi hormon akibat diet, berat badan, dan kelainan kelenjar produksi hormon. Gigantism adalah kondisi pada anak-anak atau remaja akibat adanya tumor pada kelenjar pituitari yang disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon dan tinggi badan. Jika tumor berkembang setelah pertumbuhan tubuh terhenti, maka timb ul acromegaly (pembesaran rahang, tangan dan kaki). Gigantism diobati dengan obat-obatan yang menghambat pelepasan hormon pertumbuhan atau dengan terapi radiasi atau bedah untuk mengangkat tumor.
35
Kelenjar paratiroid di bagian leher manusia menghasilkan hormon paratiroid yang berfungsi mengontrol tingkat Ca dalam darah. Osteitis fibrosa merupakan keadaan di mana tulang menjadi rapuh akibat berlebihnya produksi hormon oleh kelenjar paratiroid, dan menimbulkan nyeri tulang. Kondisi ini dapat diperbaiki melalui pembedahan untuk menurunkan produksi hormon paratiroid oleh kelenjar paratiroid dan menurunkan konsentrasi Ca dalam darah. 4. Defisiensi zat gizi mikro seperti Ca dan Vitamin D Perkembangan tulang yang sehat membutuhkan asupan Ca dan P yang cukup dari diet. Kedua mineral ini tidak dapat diabsorpsi tanpa bantuan vitamin D yang diperoleh dari sumber makanan seperti: keju, susu, dan ik an, serta dari sinar matahari. Jenis mineral lain yang juga dibutuhkan oleh tubuh adalah vitamin A dan C, Mg, Zn, dan protein. Defisiensi zat gizi dapat memperburuk kelainan tulang, pada lansia disebut osteoporosis dan osteomalacia/rickets. Kekurangan asupan Ca dan vitamin D mempengaruhi pengembangan dan kekuatan tulang, mudah rapuh, dan rentan terhadap osteoporosis. Kehilangan tulang (bone loss) mudah terjadi pada wanita setelah menopause sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi 1200 mg Ca per hari. Pola makan salah yang mempengaruhi pertumbuhan tulang adalah menghindari
konsumsi
makanan
utama;
diet
rendah
kalori;
tidak
mengonsumsi makanan sumber Ca, buah, sayuran; atau konsumsi makanan tinggi kalori dengan sejumlah kecil zat gizi. Asupan rendah Ca di bawah 1000 mg/hari dihubungkan dengan menurunnya puncak massa tulang. Dua pertiga kasus osteoporosis berhubungan dengan rendahnya asupan Ca sehingga Ca membantu mencegah osteoporosis. Konsumsi Ca cukup penting bagi pemeliharaan massa tulang sejak usia kanakkanak hingga tua. Sebanyak 52 studi intervensi menunjukkan bahwa asupan tinggi Ca mampu memperbaiki massa tulang selama pertumbuhan, menurunkan kehilangan tulang pada lansia atau menurunkan risiko fraktur. Suplementasi Ca pada lansia wanita mencegah kehilangan tulang selama musim salju ,dan vitamin D mempercepat perombakan tulang.
36
Osteomalacia merupakan demineralisasi tulang yang menyebabkan tulang lemah dan rapuh. Biasanya osteomalacia disebabkan oleh defisiensi vitamin D karena minimnya asupan makanan sumber vitamin D, rendahnya paparan tulang terhadap sinar matahari, dan rendahnya absorpsi vitamin D dari usus halus. 5. Kelainan degeneratif Biasanya dikaitkan dengan usia tua yaitu osteoarthritis yang ditandai dari degenerasi
kartílago
gabungan/joints
(jaringan
tulang.
penghubung
Kehilangan
yang
kartílago
lembut)
menutupi
menimbulkan
nyeri,
pembengkakan, dan kehilangan fungsi tulang. Osteoarthritis biasanya terjadi pada kelompok lansia di atas usia 60 tahun karena aktivitas fisik yang berlebihan. 6. Tumor dan kanker tulang Tumor jinak dan ganas dapat melemahkan tulang saat menekan jaringan normal atau menggantinya dengan jaringan abnormal sehingga mudah terjadi fraktur. Osteokhondroma (tumor jinak) terjadi pada anak-anak dan remaja dan berhenti saat tulang rangka belakang selesai terbentuk. Sebagian kecil kanker tulang bersifat genetik. 7 . Efek pengobatan kanker Pengobatan kanker dengan radiasi atau kemoterapi menimbulkan efek tidak menguntungkan yaitu kehilangan tulang. Terapi hormon pada penderita kanker prostat dapat menurunkan kadar testosteron dalam tubuh, dan pada kanker payudara terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon terakhir ini dibutuhkan untuk menguatkan struktur tulang. 8. Kelainan auto- imun Rheumatoid arthritis suatu kelainan autoimmun yang mempengaruhi tulang disertai sel-sel darah putih migrasi ke daerah antara joints. Akibatnya merusak tulang, ligamen, dan kartílago. 9. Usia Beberapa perubahan pada komposisi tubuh manusia terjadi seiring peningkatan usia. Studi tentang perubahan antropometri pada lansia di Kanada (Shatenstein et al. 2001) menunjukkan perubahan tinggi badan lansia di panti
37
werdha sebesar 2 cm terutama pada lansia di atas usia 90 tahun dan dengan dementia. 10. Rendahnya aktivitas kerja fisik dan olahraga Aktivitas fisik didefinisikan sebagai tiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka dan menyebabkan pengeluaran energi. Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara terencana, terstruktur, dan berulang untuk meningkatkan kebugaran tubuh (Hazzard 2003). Kurang olahraga juga berisiko terhadap penurunan kekuatan dan massa tulang, serta berkurangnya absorpsi Ca. Aktivitas fisik atau olahraga seperti berjalan, berlari, aerobik, tenis, dan senam memperbaiki kesehatan tulang melalui peningkatan puncak massa tulang dan memperlambat kehilangan tulang. Selain itu juga membantu mencegah kejadian fraktur karena memperbaiki kekuatan otot dan keseimbangan tubuh. Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa risiko fraktur pada pinggul menurun dari 20-40% di antara individu yang melakukan olahraga dibandingkan individu yang tidak berolahraga. Intensitas olahraga yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan densitas tulang. Tetapi bagi anak-anak dan lansia tidak dianjurkan jenis olahraga berat agar memiliki efek positif terhadap kesehatan tulang. Suatu multi-center studi pada 10.000 lansia wanita yang melakukan olahraga aerobik dan tenis dihubungkan dengan penurunan fraktur vertebral dan pinggang. Sementara lansia wanita yang duduk minimal 9 jam per hari memiliki risiko fraktur lebih besar daripada mereka yang duduk kurang dari 6 jam per hari. 11. Jenis kelamin Rata-rata tinggi badan lansia wanita lebih rendah dibandingkan dengan lansia pria. Studi yang dilakukan di beberapa panti werdha terpilih di DKI Jakarta dan Tangerang (Fatmah 2005) menyatakan adanya perbedaan nyata rata-rata tinggi badan lansia wanita dan lansia pria (p < 0,05). Rata-rata tinggi badan lansia pria adalah 158,6 cm + 5,9 cm dan lansia wanita 145,8 cm + 6,1 cm. Studi lain yang dilakukan pada 100 lansia di Malaysia (Shahar et al. 2003) menggambarkan hal yang sama yaitu rata-rata tinggi badan lansia wanita lebih rendah (148,5 cm + 6,4 cm) daripada lansia pria (160,4 cm + 5,5 cm).
38
12. Sosio-ekonomi Pencapaian tinggi badan merupakan hasil kombinasi antara faktor- faktor lingkungan dan genetik. Peningkatan standard kehidupan ekonomi dapat memperbaiki pertumbuhan tinggi badan manusia melalui gizi dan penyakit. Tinggi badan yang rendah atau pendek dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Tinggi badan merupakan indikator yang baik bagi kondisi kehidupan masa kanak-kanak di negara maju dan negara berkembang . Kemiskinan mempengaruhi pola asupan makanan mengandung zat gizi. Individu yang berasal dari keluarga kurang mampu cenderung sedikit mengkonsumsi makanan bergizi antara lain Ca dan P yang penting bagi pertumbuhan tulang. Perkembangan tulang yang sehat membutuhkan asupan Ca dan P yang cukup dari diet. Kedua mineral ini tidak dapat diabsorpsi tanpa bantuan vitamin D yang diperoleh dari sumber makanan seperti: keju, susu, dan ik an, serta dari sinar matahari. Jenis mineral lain yang juga dibutuhkan oleh tubuh adalah vitamin A dan C, Mg, Zn, dan protein. 13. Etnis Etnis secara tidak langsung berhubungan dengan tinggi badan manusia melalui pola kebiasaan makan makanan yang mengandung Ca dan P, perbedaan iklim, dan letak geografis. Sebagai lansia, suatu studi yang dilakukan terhadap 461 lansia di Jakarta dan Semarang menunjukkan bahwa lansia Jakarta mengkonsumsi daging lebih tinggi; produk susu lebih rendah; konsumsi tempe, tahu, buah, dan sayuran lebih tinggi; dan konsumsi ikan dan telur yang sama dengan lansia Semarang. Lansia Jakarta memiliki tinggi badan dan berat badan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia Semarang. Namun lansia Indonesia lebih pendek daripada lansia Caucasian (Martalena 2000). 14. Perbedaan iklim Perbedaan
iklim menentukan adanya perbedaan tinggi badan antar etnis
(Hukum Allen atau Allen’s Rule). Teori Allen menjelaskan bahwa hewan atau manusia endotermik dengan volume/massa tubuh yang sama mungkin memiliki permukaan tubuh berbeda yang akan menghalangi atau membantu pengaturan suhu tubuh. Rata-rata panjang le ngan dan tangan populasi Afrika
39
lebih besar daripada populasi Eropa kulit putih. Penduduk Indian Amerika Selatan lebih pendek dibandingkan dengan penduduk Amerika Utara. Perbedaan iklim mempengaruhi ukuran dan bentuk tubuh individu karena kemampuan adaptasi tubuh yang berbeda dari individu yang tinggal di wilayah dengan iklim panas dan dingin (Hardy & Robert 1988). Orang yang hidup di daerah dingin cenderung lebih pendek daripada orang yang hidup di daerah panas karena terjadi pengurangan jumlah daerah permukaan tubuh. Hal it u tercermin dari penampilan fisik yaitu tangan dan lengan yang pendek pada lansia penduduk Eskimo. Orang di daerah iklim lebih panas akan lebih pendek dengan bentuk tubuh linier. Hal itu disebabkan oleh variabilitas morfologi manus ia dalam beradaptasi dengan temperatur. Populasi yang tinggal di bagian selatan Sungai Nil di Afrika (Sudan, Kenya, dan Uganda) lebih tinggi di seluruh dunia karena perbedaan tingkat kelembaban di beberapa bagian di seluruh dunia. Mereka hidup di wilayah sangat panas dengan tingkat kelembaban rendah. Kemampuan beradaptasi secara maksimum dapat dilakukan oleh orang yang hidup di wilayah permukaan lebih tinggi dan massa tubuh rendah. Saat kelembaban rendah, maka ada gelembung udara dan keringat keluar lebih cepat dari permukaan tubuh. Orang bertubuh tinggi dengan permukaan tubuh lebih luas akan memiliki daerah untuk berkeringat dan dingin yang lebih banyak. Semakin besar permukaan tub uh terpapar oleh iklim dingin, semakin besar tubuh kehilangan energi sehingga makhluk hidup yang menetap di wilayah dingin membutuhkan persediaan energi sebanyak mungkin. Sebaliknya makhluk hidup yang tinggal di wilayah panas akan cepat merasa kepanasan jika memiliki ratio permukaan tubuh terhadap volume yang rendah. Oleh karena itu, mereka sebaiknya memiliki ratio wilayah permukaan tubuh terhadap volume yang tinggi untuk membantu kehilangan panas yang cepat. Singkatnya, ada ratio antara permukaan tubuh terhadap massa tubuh. Penduduk Darfur or Watutsi di Afrika melepaskan panas tubuh lebih cepat karena rationya tinggi. Namun penduduk Eskimo dan Inuits menyimpan panas tubuh sehingga memiliki ratio lebih rendah.
40
Osteoporosis Menurut International Osteoporosis Foundation (2007), osteoporosis adalah keadaan yang ditandai dengan penurunan densitas yang cepat dan penipisan jaringan tulang. Dapat pula diartikan sebagai keadaan rendah massa tulang dan kerusakan mikro-arsitektur jaringan tulang yang mengakibatkan meningkatnya kerapuhan tulang dan risiko keretakan tulang. Secara statistik, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan densitas massa tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan menurut umur, atau berada satu standar deviasi di bawah nilai rata-rata nilai rujukan pada umur dewasa muda. Osteoporosis adalah salah satu penyebab kematian dan kesakitan di dunia. Berdasarkan cirinya, ada dua jenis osteoporosis: a. Osteoporosis Tipe I yaitu penurunan massa tulang yang cepat yang terjadi pada wanita umur postmenopause. b. Osteoporosis Tipe II yaitu penurunan massa tulang yang berkaitan dengan proses penuaan, defisiensi kalsium, dan atau hiperparatiroidism. Penyebab Osteoporosis Osteoporosis dapat terjadi pada saat tubuh tidak mampu membentuk tulang baru atau bila sangat banyak tulang lama yang diserap kembali oleh tubuh, atau karena keduanya. Kalsium dan fosfat adalah mineral- mineral penting untuk pembentukan tulang baru (osteoblast). Bila asupan kalsium kurang atau tubuh tidak menyerap cukup kalsium dari makanan, maka pembentukan tulang dan jaringan tulang akan terganggu. Kejadia n, retak tulang yang tinggi pada wanita berhubungan erat dengan perubahan metabolisme tulang pada umur post- menopause. Menopause adalah masa transisi pada kehidupan wanita ditandai ovarium berhenti memproduksi telur, aktivitas menstruasi menurun dan terkadang berhenti, dan kemampuan tubuh memproduksi hormon estrogen dan progesteron menurun. Dalam keadaan normal menopause terjadi pada umur 40 sampai 55 tahun. Menurunnya hormon estrogen meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis yang sering tidak diketahui sampai terjadinya keretakan tulang. Dalam menjalani proses penuaan, wanita
41
membutuhkan cukup kalsium, makanan dengan jumlah kalsiun yang memadai menjadi penting. Wanita post- menopause membutuhkan sekitar 1200-1500 mg kalsium per hari. Suplemen estrogen dapat membantu pencegahan osteoporosis pada wanita post-menopause. Osteoporosis juga dikenal sebagai suatu penyakit yang tidak dirasakan (“silent disease") karena kejadian penurunan massa tulang dapat terjadi bertahuntahun tanpa disertai tanda-tanda (symptom). Pada beberapa kasus, gejala awal adalah patah tulang. Beberapa gejala hanya dapat dikenali bila sudah mencapai tahap lanjut. Penurunan massa tulang biasanya disertai dengan rasa sakit pada leher dan tulang. Gejala yang paling umum pada osteoporosis adalah retak /patah tulang, kelainan spinal (kifosis atau terhentinya proses pertumbuhan tinggi badan), kehilangan tinggi badan, dan sakit punggung. Satu di antara dua wanita dan satu di antara delapan laki- laki umur 50 tahun atau lebih menderita retak tulang yang disebabkan karena osteoporosis dalam kehidupannya.
Faktor Risiko Osteoporosis Ada tujuh faktor risiko yang umum ditemukan pada penderita osteoporosis: a) Genetik - dalam suatu keluarga ada riwayat osteoporosis, maka kemungkinan anggota keluarga lainnya menderita osteoporosis adalah sekitar 6080%; b) Wanita - 80% penderita osteoporosis adalah wanita; c) Masalah kesehatan kronis - asthma, diabetes, hyperthyroidism, penyakit hati, atau rheumatoid arthritis meningkatkan risiko menderita osteoporosis; d) Defisiensi hormon - menopause pada wanita dan beberapa jenis perawatan medis pada lakilaki dapat mengakibatkan defisiensi hormon yang lebih lanjut dapat menyebabkan osteoporosis; e) Alkohol - mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan pada laki- laki dewasa muda merupakan salah satu dari faktor risiko yang dapat mengakibatkan osteoporosis; f) Merokok - Laki- laki yang merokok meningkat risiko retak/patah tulangnya 2-3 kali dari laki- laki yang tidak merokok; dan g) Kurangnya olah raga - tanpa olah raga tulang akan kehilangan densitasnya dan akan menjadi lemah
42
Kalsium, Vitamin D, dan Osteoporosis Menurut Rene Rizzoli (2006), kalsium berperan dalam pemeliharaan jaringan tulang selama masa dewasa, khususnya lansia. Tanpa keberadaan vitamin D dalam jumlah memadai, maka bioavailabilitas dan metabolisme kalsium terganggu sehingga mempercepat kehilangan massa tulang. Pada lansia terjadi beberapa perubahan yang mengarah pada keseimbangan negatif kalsium. Ada penurunan asupan kalsium karena berkurangnya konsumsi produk-produk susu, absorpsi kalsium dalam usus halus, paparan sinar matahari, kemampuan kulit untuk memproduksi vitamin D, dan kemampuan re-absorpsi untuk berespons pada PTH (Paratiroid Hormon).
Hubungan Asupan Fosfor dan Protein Hewani dengan Kalsium Fosfor bersifat menekan pengeluaran kalsium dari urin, tetapi ratio kalsium berbanding fosfor adalah 0,2 – 2 tidak akan mempengaruhi keseimbangan kalsium. Asupan diet tinggi fosfor tidak mempengaruhi penyerapan kalsium. Asupan tinggi protein akan meningkatkan insidens osteoporosis karena protein mempunyai mekanisme pengeluaran kalsium melalui urin. Tiap peningkatan diet protein sebanyak 1 gram akan meningkatkan ekskresi urin sebesar 1 mg. Kalsium membutuhkan lingkungan yang asam agar dapat diserap secara efisien. Penyerapan terutama terjadi pada bagian atas usus halus. Usus halus cenderung selalu dalam kondisi asam karena menerima keasaman dari perut yang kadangkala menjadi netral oleh karena adanya pelepasan cairan dari pankreas. Kalsium dimobilisasi dari tulang untuk menetralkan suasana asam hasil pemecahan produk-produk protein. Selain itu, asam amino metionin yang paling banyak ditemukan dalam daging sapi, produk-produk susu, dan telur diubah menjadi homosistein juga menyebabkan hilangnya tulang (Tori 2006).
Insidens dan Prevalensi Osteoporosis Seiring peningkatan usia dan sosio-ekonomi, osteoporosis telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi dan menelan biaya cukup tinggi pada populasi Asia dewasa ini. Berikut ditampilkan beberapa data proporsi kejadian osteoporosis di Asia antara lain:
43
•
Cina : - Terjadi peningkatan 30% dalam 30 tahun terakhir - Angka prevalensi osteoporosis lansia sekitar 16,1% pada Tahun 2002 yaitu 11,5% pada pria dan 19,9% pada wanita.
•
Hongkong: - Terjadi peningkatan insidens fraktur paha sebesar 200% selama 20 tahun terakhir, sekitar 10 lansia mengalami fraktur tiap harinya. - 45% lansia wanita berusia di atas 65 tahun mengalami osteoporosis, dan 42% osteopenia. - 13% lansia pria di atas 65 tahun mengalami osteoporosis dan 47% osteopenia
•
Singapura: - Diduga antara 800-900 kasus fraktur paha terjadi tiap hari. - Lebih dari 3 dekade, terdapat peningkatan fraktur paha 5 kali lipat dari 75 kasus menjadi 402 kasus/100.000 populasi pada lansia wanita di atas 50 tahun. Pada lansia pria di atas 50 tahun osteoporosis meningkat 1,5 kali dari 103 kasus menjadi 152 kasus/100.000 populasi.
•
Malaysia : - Jumlah kasus fraktur panggul pada wanita dan pria adalah 218 & 88 /100.000 populasi - 51,8% wanita urban yang berusia menopause memiliki osteoporosis tingkat ringan
•
Indonesia : - Prevalensi osteoporosis berdasarkan suk u/ etnis tertentu relatif tidak diketahui. -Skrining
ultrasound
bone
density
Tahun
2002
menunjukkan 35% normal, 36% osteopenia, dan 29% osteoporosis. - 28% lansia berusia 50-60 tahun, dan 47% lansia berusia 60-70 tahun menderita osteoporosis. •
Thailand :
- Jumlah fraktur panggul pria dan wanita sebesar 114 dan 289/100.000 populasi - Prevalensi osteoporosis lansia wanita berusia di atas 70 tahun adalah lebih dari 50%
44
Distribusi Lemak Tubuh Komposisi tubuh adalah jumlah massa jaringan bebas lemak (lean body mass) dan cadangan lemak tubuh manusia yang berubah akibat pertumbuhan, pengembangan, dan penuaan; keseimbangan kalori; dan pemecahan energi. Komposisi tubuh dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, gen, dan faktor- faktor lingkungan serta perilaku (Tyagi et al. 2003). Lemak tubuh terdiri dari jaringan adiposa, lemak subkutan, dan lemak viseral. Kompartemen tubuh dapat mengalami perubahan akibat dari penurunan atau peningkatan asupan energi, aktivitas fisik, proses menua, atau perubahan-perubahan patologis yang diakibatkan oleh suatu penyakit. Seluruh jaringan tubuh manusia berubah seiring peningkatan usia. Penurunan massa bebas lemak yang terjadi pada lansia yaitu otot dan massa tulang disertai peningkatan massa lemak. Perubahan-perubahan ini berdampak pada kesehatan antara lain: penyakit kronik, geriatric syndrome seperti mobility impairment, jatuh, lemah, dan menurunnya fungsi- fungsi tubuh. Penurunan lean body mass (massa otot) dan peningkatan massa lemak pada lansia merupakan perubahan normal pada komposisi tubuh akibat penuaan. Forbes et al. (1970) menunjukkan adanya penurunan massa otot sebesar 6,3% per 10 tahun. Rata-rata wanita kehilangan massa otot 5 kg dan pria 12 kg jika dibandingkan antara usia 25-70 tahun. Unsur terbesar tubuh manusia terdiri dari air (50-60% berat badan). Komposisi kedua terbesar kedua adalah lemak tubuh (10-20% pada pria, dan 2030% pada wanita). Sisanya adalah protein, dan karbohidrat dalam otot-otot dan mineral yang membentuk tulang. Lemak tubuh (body fat) disimpan dalam 2 jenis yaitu untuk lemak esensial dan cadangan lemak. Lemak esensial ditemukan di sumsum tulang belakang, sistem syaraf pusat, kelenjar susu, dan organ tubuh lain yang dibutuhkan untuk fungsi fisiologi menjadi normal. Sementara cadangan lemak berada pada lemak inter dan intramuscular, lemak di sekeliling organ, dan saluran cerna, serta lemak subkutan. Persentase lemak tubuh merupakan persentase massa lemak tubuh (berat lemak) terhadap berat badan yaitu diperoleh dari perbandingan antara massa lemak tubuh dengan berat badan x 100%. Sementara lemak viseral (visceral fat)
45
adalah lemak yang terletak pada bagian abdomen yang dikelilingi oleh organorgan internal yang vital. Massa lemak viseral yang besar menggambarkan batang tubuh yang besar pula dan berhubungan dengan tinggi badan (Hieranux & Boedhi Hartono 1980). Secara umum dengan menurunnya massa otot, maka persentase lemak tubuh meningkat 2% dari berat badan/10 tahun setelah usia 30 tahun. Distribusi lemak lansia kebanyakan berupa lemak subkutan yang dideposit di trunk. Dilaporkan bahwa jaringan adiposa viseral di tingkat abdominal meningkat rata-rata 61% pada pria, dan 66% pada wanita berusia 20-39 tahun dibandingkan lansia di atas 60 tahun. Disimpulkan pada lansia terjadi peningkatan total lemak tubuh, persen massa tubuh, dan deposit lemak di bagian pusat dan viseral. Studi tentang komposisi tubuh dan pola distribusi lemak pada lansia di India pada Tahun 2000-2001 menggambarkan adanya penumpukan lemak pada bagian abdomen dan subscapular pada lansia. Meningkatnya IMT pada lansia disebabkan oleh bertambahnya massa lemak tubuh (Tyagi et al. 2003).
Persen Lemak Tubuh (PLT) Persen lemak tubuh adalah persentase lemak dalam tubuh manusia atau berat lemak terhadap berat badan yang diperoleh dari perbandingan antara massa lemak tubuh dengan BB x 100% (Omron 2006). Peningkatan persen lemak tubuh terjadi seiring bertambahnya usia. Pada usia 25-30 tahun, persen lemak tubuh sebesar 14% meningkat menjadi 30% di usia 70-75 tahun. Peningkatan persen lemak tubuh sebesar 2% BB/10 tahun setelah usia 30 tahun. Perubahan komposisi ini terjadi akibat menurunnya aktivitas hormon insulin dan androgen/estrogen dan meningkatnya hormon prolaktin sebagai hormon pengatur metaboslime tubuh. Penurunan hormon- hormon ini karena berkur angnya aktivitas tubuh manusia dan akhirnya menurnkan nilai basal metabolik (Basal MetabolicRate). Perempuan lebih banyak memiliki persen lemak tubuh daripada laki- laki. Perbedaan ini karena aktivitas fisik dan otot laki- laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Perempuan mengalami masa menopause yang ditandai berkurangnya hormon estrogen sehingga proses pemecahan energi untuk metabolisme tubuh juga menurun. Akibatnya energi yang tidak digunakan untuk
46
kegiatan fisik disimpan menjadi lemak atau glikogen dalam tubuh. Batasan nilai persen lemak tubuh bagi laki- laki dan perempuan adalah (Omron 2006): •
Normal
: 20-30% (wanita) 10-20% (pria)
•
Mendekati tinggi: 30-35% (wanita) 20-25% (pria)
•
Tinggi
: > 35% (wanita) 25% (pria)
Lemak Viseral (Visceral Fat) Lemak viseral merupakan lemak yang terdapat di bagian perut/abdomen dan sekitarnya yang mengelilingi organ-organ internal vital tubuh (Omron 2006). Lemak viseral atau lemak intra-abdominal berbahaya bagi kesehatan tubuh karena mengelilingi tubuh
organ-organ
internal
dan disimpan dalam hati.
Selanjutnya
lemak
ini
mengalir
dalam aliran darah sebagai kolesterol. Akibatnya tubuh rentan terhadap penyakit jantung koroner, stroke, diabetes mellitus, dan hipertensi. Lemak viseral tidak terlihat oleh mata telanjang sehingga membutuhkan alat MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang menggunakan gelombang magnetik untuk memotret bagian dalam abdomen. Gambar ini dapat dipakai untuk mengestimasi jumlah kandungan lemak viseral tubuh seseorang. Kadar lemak viseral dalam tubuh ditentukan oleh diet dan aktivitas fisik. Individu yang memiliki gaya hidup sedentary atau kurang gerak, banyak mengonsumsi lemak jenuh, merokok, sering mengalami stress, minum alkohol memiliki kandungan lemak viseral lebih tinggi daripada individu yang banyak gerak atau aktif berolahraga, tidak merokok, konsumsi rendah lemak, dan tidak minum alkohol.
47
Lemak di bagian perut (visceral fat) disebut normal bila nilainya berada di antara 1-9, mendekati tinggi jika nilainya 10-14, dan tinggi jika lebih dari 15 (Omron 2006).
Akumulasi Kelebihan Lemak Tubuh. Lemak tubuh total dalam bentuk viseral dan subkutan atau non- viseral meningkat hingga usia 40 tahun pada pria dan usia 50 tahun pada wanita. Setelah itu akan tetap hingga usia 70 tahun, dan selanjutnya terus menurun karena hilangnya jaringan lemak dan otot. Persentase lemak tubuh mengalami puncaknya pada usia pertengahan dan mungkin menurun tajam pada usia tua. Lemak intraabdominal dan intramuskular meningkat sesuai umur. Lemak berperan sebagai tempat cadangan kalori, melindungi tubuh saat sakit, melindungi organ-organ vital dari luka akibat jatuh, dan memelihara suhu tubuh. Namun akumulasi kelebihan lemak tub uh menimbulkan komplikasi medis pada lansia yakni munculnya penyakit-penyakit degeneratif. Rendahnya nilai perbandingan
ratio
waist-to-hip
melindungi
tubuh
dari
kompliksi
ini.
Meningkatnya ratio ini berindikasi pada peningkatan lemak viseral dan berisiko pada penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, kematian dini. Perempuan memiliki ratio waist-to-hip lebih rendah daripada laki- laki.
48
KERANGKA TEORI, KERANGKA OPERASIONAL, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL Kerangka Teori
Kelainan hormonal
Sex
Efek pengobatan kanker
Usia
Kelainan genetik
Penyakit
Kelainan autoimmune
Tinggi Lutut
Kelainan degeneratif Panjang Depa
Prediksi TB
Beban kerja fisik IMT
Tinggi Duduk Aktivitas Fisik Sosioekonomi
Etnis
Konsumsi zat gizi mikro & makro
Perbedaan iklim
BB
Persen Lemak Tubuh
Lemak Viseral Gambar 2 Kerangka teori penelitian.
Gambar 2 menjelaskan kerangka teori penelitian yaitu sejumlah prediktor yang berhubungan dengan tinggi badan dan berat badan lansia. Prediktor tinggi badan lansia yaitu tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, efek pengobatan kanker, kelainan hormonal, kelainan genetik, kelainan autoimmune, dan kelainan
49
degeneratif menimbulkan penyakit-penyakit, Penyakit yang dimaksud adalah osteoporosis dengan faktor- faktor risikonya seperti aktivitas, jenis kelamin, ekonomi, asupan makanan sumber zat gizi makro dan mikro, etnis, dan usia. Etnis berhubungan dengan densitas tulang melalui 2 faktor yaitu kebiasaan makan yang mempengaruhi asupan makanan sumber zat gizi mikro dan makro, serta perbedaan iklim. Seluruh variabel- variabel bebas itu mempengaruhi kepadatan massa tulang dan akhirnya mempengaruhi tinggi badan. Prediktor berat badan lansia adalah persen lemak tubuh dengan faktorfaktor risiko antara lain ekonomi, konsumsi makanan tinggi lemak dan energi, aktivitas fisik, jenis kelamin, dan usia. Gambar 3 menjelaskan kerangka konsep penelitian. Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung dari pengukuran berat badan dan prediksi tinggi badan mencerminkan status gizi lansia karena menggambarkan cadangan protein dan lemak tubuh. IMT berhubungan erat dengan massa lemak dan massa bebas lemak, serta bervariasi menurut usia dan jenis kelamin. Tubuh lansia cenderung mengalami peningkatan massa lemak dan penurunan massa bebas lemak sehingga merubah signifikansi IMT pada kelompok tersebut. Prediksi tinggi badan, dan berat badan merupakan variabel- variabel dependen terhadap IMT. Tinggi badan dapat diprediksi dari faktor- faktor yang berhubungan secara allometrik dengan tinggi badan yaitu tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Faktor- faktor lain yang juga menentukan tinggi badan lansia adalah wilayah tinggal (desa dan kota), aktivitas fisik, beban kerja fisik harian, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). Osteoporosis diduga dapat mempengaruhi tinggi badan lansia dalam studi ini. Faktor- faktor risiko osteoporosis yang diteliti adalah wilayah tinggal (desa dan kota), usia, jenis kelamin, asupan kalsium, tingkat aktivitas fisik, beban kerja, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). Sementara berat badan dapat diprediksi dari persen lemak tubuh dan faktor- faktor risikonya yaitu wilayah tinggal (desa kota), usia, jenis kelamin, asupan energi dan lemak, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). Namun seluruh hubungan di atas bukanlah hubungan sebab akibat karena pengukuran variabel bebas dan variabel terikat dilakukan pada suatu waktu dengan pendekatan disain cross sectional.
50
Kerangka Operasional
Wilayah tinggal
Beban pekerjaan fisik harian
Usia Tinggi Lutut
Aktifitas Fisik
Panjang Depa
Osteoporosis
Prediksi TB Indeks Massa Tubuh
Ekonomi
Tinggi Duduk
Sex
Persen Total Lemak Tubuh
Berat Badan
Lemak Viseral
Gambar 3 Kerangka operasional penelitian. Penelitian ini menilai tiga parameter yang berhubungan secara allometrik dengan tinggi badan yaitu tinggi lutut; panjang depa; tinggi duduk ; dan faktorfaktor penentu tinggi badan yakni wilayah tinggal, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, ekonomi (tingkat pendidikan akhir); serta osteoporosis yang mempengaruhi TB. Tinggi badan diduga berhubungan dengan densitas mineral tulang, dan lemak tubuh. Orang yang berpostur tubuh tinggi memiliki
51
densitas massa tulang yang lebih besar dibandingkan orang dengan tubuh pendek sehingga berisiko kecil menderita osteoporosis. Namun tinggi badan yang pendek cenderung memiliki kadar lemak tubuh yang tinggi sehingga cenderung mengalami obesitas. Osteoporosis berhubungan dengan faktor- faktor risikonya: wilayah tinggal desa kota, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, jenis kelamin, usia, dan sosio-ekonomi. Wilayah tinggal desa dan kota berhubungan dengan kejadian osteoporosis melalui perbedaan pola aktivitas fisik dan konsumsi serat dan lemak. Usia lanjut berhubungan dengan osteoporosis melalui penurunan kemampuan tubuh dalam memproduksi hormon estrogen dan progesteron pada wanita pascamenopause. Tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan fisik berperan dalam kejadian osteoporosis melalui tinggi rendahnya frekuensi tubuh melakukan kegiatan fisik sehari- hari, olahraga rutin, dan waktu luang. Jenis kelamin juga terkait erat dengan osteoporosis yakni lansia perempuan cenderung mengalami osteoporosis lebih tinggi dibandingkan lansia laki- laki. Variabel ekonomi yang diwakili oleh tingkat pendidikan akhir berhubungan dengan daya beli dalam mengonsumsi
makanan sumber
kalsium
yang
berperan pada kejadian
osteoporosis. Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan dengan massa lemak dalam berat badan dari persen lemak tubuh dan lemak viseral. Persen lemak tubuh merupakan persentase massa lemak tubuh (berat lemak) terhadap berat badan yang berbeda berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan besaran nilai IMT. Hubungan antara IMT dengan lemak tubuh adalah ketergantungan antara usia dan jenis kelamin. Wanita usia lanjut cenderung memiliki persen lemak tubuh lebih tinggi daripada wanita muda. Lansia wanita mempunyai kandungan persen lemak tubuh lebih besar dibandingkan dengan lansia laki- laki. Penurunan aktivitas fisik dan beban pekerjaan fisik harian dapat meningkatkan kadar persen lemak tubuh. Wilayah desa dan kota berhubungan dengan persen lemak tubuh karena ada perbedaan antara tingkat aktivitas fisik dan pola konsumsi lemak. Lemak viseral adalah sekumpulan lemak pada bagian abdomen tubuh yang mengelilingi organ-organ dalam tubuh yang vital. Lemak viseral pada lansia laki- laki berbeda dengan perempuan yakni laki- laki lebih tinggi daripada
52
perempuan. Indeks Massa Tubuh dan persen lemak berhubungan dengan lemak viseral karena indikator berat badan terdiri dari komposisi massa lemak dan massa bebas lemak. Faktor- faktor risiko yang diduga berperan dalam penentuan tingkat lemak viseral adalah usia, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fiisk harian, dan ekonomi. Hubungan antara faktor- faktor risiko itu dengan lemak viseral sejalan dengan hubungan antara persen lemak tubuh dengan faktor- faktor risikonya. Lemak viseral diduga berhubungan dengan persen lemak tubuh karena lemak terdapat pada subkutan dan viseral.
Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konsep, maka hipotesis penelitian yang dibuktikan adalah: 1. Tinggi badan dapat diprediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk. 2. Terdapat perbedaan tinggi badan (aktual dan prediksi) dengan faktor- faktor penentu tinggi badan yaitu wilayah tinggal, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). 3. Tinggi badan (aktual dan prediksi) berhubungan dengan densitas massa tulang (osteoporosis) dan lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral). 4. Osteoporosis berhubungan denga n faktor- faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, usia, jenis kelamin, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir). 5. Lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) berhubungan dengan faktor- faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, tingkat aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, usia, jenis kelamin, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir).
53
Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional
IMT (Indeks Massa Tubuh)
Ukuran berat badan dibagi tinggi badan kuadrat dlm satuan kg/m2
Perhitungan dengan TB dan BB
Berat badan
Komposit pengukuran ukuran total tubuh
Tinggi badan
Pengukuran dalam posisi tegak pada permukaan tanah/ lantai yang rata (flat surface) tanpa memakai alas kaki dengan alat mikrotoa. Tempat tinggal lansia di desa dan kota yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan diet lemak dan serat
Pengukuran langsung dengan timbangan injak digital Seca Pengukuran langsung dengan mikrotoa
Wilayah
Jenis kelamin
Usia
Ekonomi
Karakteristik biologis yang ditampilkan dari penampilan fisik Umur responden sejak dilahirkan sampai saat penelitian dilakukan (tahun) Tingkat pendidikan akhir yang dilalui baik tamat ataupun tidak tamat
Metode & Instrumen
Wawancara
Indikator
Skala Ukur
Pustaka
1. Obes (IMT >= 30 kg/m2 ) 2. Gizi lebih (IMT antara 25,0-29,9 kg/m2 ) 3. Normal (IMT 18,5 – 24,9 kg/m2 ) 4. Gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m2 ) -
Ordinal
Shetty et al. 1994. WHO 1999.
Ratio
WHO 1999
-
Ratio
WHO 1999
1. Desa (Gunung Kidul, Wonogiri, dan Magetan) 2. Kota (Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya) 1. Pria 2. Wanita
Nominal
Belum ada
Nominal
Abas & Sri 2006
Wawancara
1. 55 – 65 tahun 2. 66-85 tahun
Ordinal
Depkes 2006
Wawancara
1. Tinggi (minimal SMA ke atas) 2. Rendah (minimal SMP ke bawah)
Ordinal
Ronnie 2006
Wawancara
RI
54
Variabel
Definisi Operasional
Aktivitas fisik
Jumlah kegiatan yang dilakukan sehari-hari (perminggu) saat dewasa muda (usia 25 tahun) dan lansia usia 55 tahun
Metode & Instrumen Wawancara
Beban pekerjaan fisik harian
Pekerjaan fisik yang rutin dilakukan seharihari oleh responden
Wawancara
Tinggi lutut
Perhitungan estimasi TB lansia dengan cara berbaring atau duduk pada kaki kiri antara tulang tibia dengan tulang paha membentuk sudut 900 . Alat ditempatkan di antara tumit sampai bagian proksimal dari tulang platela.
Pengukuran langsung. Caliper (mistar pengukuran)
Indikator Usia 25 tahun: Rendah (< 1494 kkal) Sedang (1494-2478 kkal) Tinggi (> 2474 kkal) Usia 55 tahun: Rendah (< 1398 kkal) Sedang (1398-2316 kkal) Tinggi (> 2316 kkal) 1.Ringan: PNS, pegawai swasta, TNI/ polisi, guru, pedagang warung, wiraswasta 2.Berat: pedagang keliling, buruh pabrik, penjahit, tukang becak, jasa, petani, buruh/kuli bangunan -
Skala Ukur
Pustaka
Ordinal
Belum ada
Ordinal
The Netherlands Nutrition Council tanpa tahun
Ratio
Gibson 2005 Chumlea 1988
55
Variabel
Definisi Operasional
Metode & Instrumen
Indikator
Panjang depa
Perhitungan estimasi TB lansia dengan cara merentangkan tangan sepanjang mungkin, lurus, & tidak dikepal
Pengukuran langsung dengan mistar sepanjang 2m
-
Tinggi duduk
Pengukuran estimasi TB dalam posisi duduk tegak (vertikal) membela kangi dinding tembok dari permukaan tempat duudk sampai bagian kepala paling atas. Penilaian Densitas Massa Tulang (DMT) yang ditandai dari nilai Skor T < -2 SD
Pengukuran langsung dengan kursi kayu tanpa bantalan, meteran tukang kayu dan penggaris siku-siku Pengukuran langsung. "Sahara Clinical Bone Sonometer".
-
Persen total lemak tubuh
Persentase massa lemak tubuh (berat lemak) terhadap BB yaitu diperoleh dari perbandingan antara massa lemak tubuh dengan BB x 100%
Pengukuran langsung dengan Fat Analyzer Scale Model HBF-352
Lemak viseral
Lemak yang ditemukan pada bagian abdomen dan mengelilingi organ-organ internal yang vital
Pengukuran langsung dengan Fat Analyzer Scale Model HBF-352
Osteoporosis
1. Osteoporosis (Skor T < = -2,5 SD) 2. Osteopenia (Skor T antara -1 s/d - 2,5 SD) 3. Normal (Skor T > -1 SD) Normal: Wanita 2030% Pria 10-20% Mendekati tinggi: Wanita (3035%) Pria (20-25%) Tinggi : Wanita (>35%) Pria ( > 25%) Normal (1-9) Mendekati tinggi (10-15) Tinggi (> 15)
Skala Ukur Ratio
Pustaka Tayie 2003
Ratio
Stephen 2000. Chumlea 1998.
Ordinal
WHO 1994.
Ordinal
Omron 2006
Ordinal
Omron 2006
56
BAHAN DAN METODE Rancangan, Sampel, dan Lokasi Penelitian menggunakan rancangan cross sectional (potong lintang) yang mengukur variabel- variabel bebas yaitu: tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk; osteoporosis dan faktor- faktor risikonya yakni wilayah tinggal, umur, jenis kelamin, ekonomi, aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, dan asupan kalsium; serta lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) dan faktorfaktor risikonya yaitu: wilayah tinggal, umur, jenis kelamin, ekonomi, aktivitas fisik, beban pekerjaan fisik harian, asupan energi, dan asupan lemak dengan variabel terikat yaitu tinggi badan prediksi pada satu waktu. Besar minimal sampel yang digunakan untuk analisis Multiple Regression menggunakan formula berikut ini (Denise 1996): ? =
R2 1-R2
R2 = koefisien determinan (digunakan nilai 0,08 untuk menghasilkan efek size yang cukup besar)
=
0,08 1 – 0,08 = 0,087
N
=[ L ]+k+1 ? = [ 15,41 ] + 4 + 1 0,087 = 182
N = jumlah responden yang dibutuhkan L = kekuatan uji pada a = 0,05, power 0,90, dan 4 prediktor dari tabel k = jumlah variabel prediktor
= 200 (setelah ditambahkan 10%) Untuk tiap jenis kelamin lansia dibutuhkan 200 lansia setelah ditambahkan 10% dari jumlah minimal lansia yang dibutuhkan. Total dibutuhkan sebanyak 400 lansia untuk Suku Jawa di 6 lokasi penelitian yaitu: 1. Wilayah perkotaan: Surabaya, Semarang, dan DI Yogyakarta 2. Wilayah pedesaan : Kabupaten Magetan, Wonogiri, dan Gunung Kidul. Untuk menyeleksi lansia yang tidak menderita osteoporosis, maka dari 400 lansia ditambahkan 30% yaitu rata-rata prevalensi osteoporosis lansia usia di atas 55 tahun (Abas & Sri 2006) sehingga total seluruhnya adalah 522 lansia.
57
Pemilihan Kabupaten Magetan, Gunung Kidul, dan Wonogiri yang mewakili wilayah pedesaan di Propinsi Jatim, DI Yogyakarta, dan Jateng karena ketiganya memiliki proporsi penduduk lansia terbesar di antara kabupaten lain akibat rendahnya angka fertilitas dan tingginya angka out- migrasi (Aris & Evi 2004). Metode Two Stages Stratified Random Sampling digunakan untuk memilih lokasi melalui 2 tahap seleksi yaitu di tingkat kecamatan dan kelurahan. Pemilihan kecamatan dan kelurahan dilakukan secara acak dari seluruh daftar kecamatan dan kelurahan yang ada di tingkat propinsi. Sampel penelitian diambil secara acak dengan menggunakan metode Simple Random Sampling dari tiap-tiap kelurahan terpilih. Pengumpulan data telah dilakukan oleh ahli gizi terlatih pada bulan Desember 2007– Pebruari 2008. Kriteria inklusi penelitian adalah lansia yang tinggal/berada di masyarakat baik pria maupun wanita dengan usia lebih dari 55 tahun, memiliki kedua orang tua berasal dari Suku Jawa asli, tinggal sendiri atau bersama keluarga, kondisi tubuh sehat atau masih mampu berdiri tegak, memiliki status densitas massa tulang normal atau osteopenia atau menderita osteoporosis, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), serta dapat berkomunikasi dengan baik. Adanya gangguan ingatan dapat dideteksi dari konsistensi informasi yang diberikan oleh responden ketika menjawab pertanyaan kebiasaan makan dan aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun, dan ekspressi wajah responden yang menunjukkan kepastian atau tidak ragu-ragu dalam mengingat kembali kebiasaan makan dan aktivitas fisik. Bila ditemukan keraguan dalam menjawab atau jawaban tidak konsisten, maka responden akan di drop dalam penelitian. Selanjutnya akan dicari responden pengganti yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kriteria eksklusi lansia yang tidak masuk dalam penelitian adalah: lansia memiliki salah satu tangan yang tidak dapat direntangkan karena patah atau akibat tertentu, mengalami patah tulang/kaki palsu, menderita stroke atau gangguan ingatan, dan gangguan berkomunikasi. Alasan pemilihan lansia penelitian pada Suku Jawa karena suku ini menempati urutan etnis terbesar dari seluruh total populasi Indonesia (41,7%).
58
Kelompok ini paling banyak menempati wilayah Propinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan proporsi penduduk lansia Suku Jawa sebesar 48,6% berada pada urutan terbesar di antara 4 suku lainnya di Indonesia yaitu Sunda, Melayu, Batak, dan Madura (Aris & Evi 2004).
Pengumpulan Data Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti telah melaksanakan 2 hari training bagi 2 tenaga pengukur dari Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dan 4 tenaga lapangan dari Akademi Gizi wilayah setempat. Materi training meliputi teknik prosedur pengukuran tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, tinggi duduk, panjang depa, risiko osteoporosis, persen lemak tubuh, dan lemak viseral. Selanjutnya validasi alat ukur dilakukan dengan mengevaluasi kesalahan intra dan inter-observer 3 tenaga pengukur tersebut menggunakan sub-sampel sebanyak 50 lansia di wilayah Cibubur, Jakarta Timur. Pada saat training, tiap observer melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, persen lemak tubuh, dan lemak viseral masing- masing sebanyak 3 kali. Untuk memelihara kualitas data, seluruh parameter diukur sebanyak 3 kali saat pengumpulan data. Nilai yang diambil adalah nilai tengah bila ketiga nilai itu berbeda atau nilai yang seringkali muncul dari ketiga hasil pengukuran tersebut. Uji reliabilitas kuesioner pengukuran konsumsi makanan dan aktivitas fisik responden usia 25 dan 55 tahun dilakukan dengan Kappa statistik dan koefisien korelasi Spearman rank. Sebanyak lima puluh lansia yang tinggal di Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur telah diwawancarai sebanyak 1 kali dengan rentang waktu 2 minggu setelah dilakukan wawancara pertama. Materi wawancara adalah frekuensi konsumsi makanan (FFQ semi kuantitatif) dan aktivitas fisik saat usia 25 dan 55 tahun. Selanjutnya dihitung nilai Kappa statistik dan Korelasi Spearman rank. Nilai Kappa statistik berkisar antara 0,39 sampai 0,47. Korelasi Spearman rank ditentukan tiap kali wawancara dan berkisar dari 0,69 (periode pertama) hingga 0,85 (periode kedua).
59
Berikut adalah serangkaian kegiatan pengukuran antropometri dan data konsumsi makanan lansia yaitu: 1. Berat badan dan tinggi badan. Pengukuran berat badan lansia dilakukan penimbangan dengan timbangan injak merk SECA dengan ketelitian 0,1 kg. Setiap lansia yang akan ditimbang diminta untuk menggunakan pakaian seringan mungkin. Setelah timbangan siap, lansia diminta berdiri di atas timbangan sekitar 1 menit hingga angka hasil penimbangan muncul dan dicatat petugas. Sedangkan pengukuran tinggi badan lansia dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tinggi badan mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm. 2. Tinggi lutut. Tinggi lutut diukur dengan caliper berisi mistar pengukuran dengan mata pisau menempel pada sudut 900 . Alat yang digunakan adalah alat ukur tinggi lutut terbuat dari kayu. Lansia yang diukur dalam posisi duduk atau berbaring/tidur. Pengukuran dilakukan pada kaki kiri antara tulang tibia dengan tulang paha membentuk sudut 900 . Alat ditempatkan di antara tumit sampai bagian proksimal dari tulang platela. Pembacaan skala dilakukan pada alat ukur dengan ketelitian 0,1 cm. 3. Panjang depa. Pengukuran panjang depa dilakukan dengan alat mistar panjang 2 meter. Panjang depa biasanya menggambarkan hasil pengukuran yang sama dengan tinggi badan normal dan dapat digunakan untuk menggantikan pengukuran TB. Lansia yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lurus lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan. Lansia berdiri dengan kaki dan bahu menempel melawan tembok sepanjang pita pengukuran ditempel di tembok. Pembacaannya dilakukan dengan skala 0,1 cm mulai dari bagian ujung jari tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri. Panjang depa juga dapat diukur dengan posisi telentang/berbaring, tetapi menimbulkan beberapa kesulitan sehingga hasilnya kurang akurat (WHO 1995). 4. Risiko osteoporosis. Pemeriksaan Densitas Massa Tulang (DMT) dilakukan dengan alat Sahara Clinical Bone Sonometer bekerjasama dengan PT. Tigaraksa Satria Utama produsen susu Produgen. Alat ini memiliki tingkat
60
sensitivitas cukup tinggi (highly predictive) dalam memprediksi fraktur osteoporosis atau individu dengan risiko tinggi terpapar fraktur tulang di masa yang akan datang sehingga validitasnya cukup tinggi. Dua studi terdahulu menemukan bahwa ha sil test ultrasound Sahara Bone Sonometer hampir mendekati risiko fraktur pinggang seperti hasil yang ditunjukkan dengan alat DXA yang menggunakan sinar X-Ray (WHO Tanpa Tahun). 5. Persen lemak tubuh dan lemak viseral dengan alat ukur Omron Body Fat Analyzer HBF 352 . 6. Tinggi duduk dengan alat ukur antropometer terdiri dari bangku duduk sepanjang 44 cm bagi lansia pria dan 40 cm bagi lansia wanita. 7. Responden juga diwawancara riwayat konsumsi makanan dengan alat ukur semi kuantitatif FFQ (Food Frequency Questionnaire) saat usia 25 dan 55 tahun. Tabel 5 Distribusi jumlah penduduk lansia 55-65 tahun di 6 lokasi penelitian Tahun 2005 Propinsi
Jatim
Lokasi Penelitian
Kota Surabaya Total Kab. Magetan Total Jateng Kota Semarang Total Kab.Wonogiri Total DI Yogyakarta Yogyakarta Total Gunung Kidul Total Grand Total
Jumlah Penduduk (jiwa) Laki-Laki Perempuan 65.330
74.392 139.722 29.783 30.389 60.172 23.256 29.463 52.719 51.844 55.272 107.116 9.836 11.702 21.538 34.186 37.579 71.765 214.235 238.797 453.032
Proporsi Lansia (%) Laki-laki Perempuan 14,5
16,4 30,9 6,6 6,7 13,3 5,1 6,5 11,6 11,4 12,2 23,6 2,2 2,6 4,8 7,5 8,3 15,8 47,3 52,7 100,0
Sumber: SUPAS (Survey Penduduk Antar Sensus) 2005
Pertanyaan dalam kuesioner meliputi frekuensi konsumsi nasi sebagai makanan pokok/utama per hari, kebiasaan konsumsi makanan sumber kalsium saat berusia 25 tahun dan 55 tahun, aktivitas fisik (kegiatan fisik harian, waktu
61
luang, dan olahraga) yang dilakukan saat berusia 25 tahun dan 55 tahun. Bagi lansia yang terdeteksi menderita osteoporosis (memiliki nilai skor T > -2,5 SD), maka dilanjutkan dengan pertanyaan seputar keluhan yang diderita antara lain: sakit di bagian leher, tulang, retak/patah tulang, sakit punggung; tindakan yang dilakukan setelah mengalami gejala/keluhan tersebut; perubahan pola makan, dan aktivitas fisik termasuk olahragaPerbandingan kebiasaan makan dan aktivitas fisik pada kedua periode usia muda (25 tahun), dan usia lanjut dini (55 tahun) dapat mencerminkan gambaran kondisi kepadatan tulang saat ini. Pemilihan kelompok usia 25 dan 55 tahun berdasarkan fakta bahwa usia 25 tahun termasuk pada usia dewasa muda (Koesmanto 2007). Rata-rata usia menikah laki- laki di Indonesia adalah 25 tahun, dan wanita usia 22 tahun. Diduga ada perubahan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik sejak menikah sampai lanjut. Usia 55 tahun merupakan batasan usia pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) sesuai UU No. 4 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan orang jompo atau usia lanjut bila telah mencapai usia 55 tahun tidak mampu mencari nafkah sendiri untuk keebutuhan hidupnya sehari- hari. Menurut Depkes (2006), batasan usia lanjut dini atau mulai memasuki masa usia lanjut pada usia 55 tahun. Tabel 6 Jumlah populasi lansia berdasarkan jenis kelamin di 6 lokasi penelitian Kabupaten/Kota
Surabaya Magetan Semarang Wonogiri Yogyakarta Gunung Kidul Total
Jenis Kelamin Laki- laki Perempuan n % n %
Total n
%
412 110 106 356 105 122
47,5 35,4 34,9 45,5 35,9 36,3
455 201 198 426 187 211
52,5 64,6 65,1 54,5 64,1 63,7
867 311 304 782 292 333
100 100 100 100 100 100
1211
41,9
1678
58,1
2889
100
Proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan laki- laki dari hasil pencatatan data lansia usia 55-65 tahun di puskesmas, posbindu lansia, dan ketua RW setempat (Tabel 6). Gambaran yang sama ditemukan pada distribusi lansia usia 55-65 tahun di 6 lokasi penelitian berdasarkan Survey Penduduk Antar
62
Sensus Tahun 2005 (Tabel 5). Hasil penelitian juga menggambarkan jumlah lansia perempuan lebih besar daripada laki- laki. Tabel 7
Distribusi lansia di 6 lokasi penelitian berdasarkan tingkat kecamatan dan kelurahan terpilih
Lokasi Penelitian Kecamatan
Kelurahan/Desa
Surabaya
Jumlah Responden (Orang) 211
Simokerto Bubutan Sawahan
Simokerto Tambakrejo Gundih Tembok Dukuh Kupangkrajan Banyu Urip
Magetan
81 Barat Magetan Plaosan
Rejomulyo Purwodadi Tawang Anom Kepolorejo Plaosan Pacalan
Semarang
158 Semarang Barat Panggung Lor Bulu Lor Semarang Utara Gisikdrono Kembang Arum Candisari Jomblang Tegalsari
Wonogiri
149 Pracimantoro Jatiroto Wonogiri
Pracimantoro Suci Jatiroto Jatirejo Giritirto Giripurwo
Yogyakarta
79 Ngampilan Gedongtengen Gondomanan
Notoprajan Ngampilan Pringgokusuman Sosromeduran Ngupasan Prawirodirjan
Gunung Kidul
131 Wonosari Tepus
Semanu
Wonosari Ngeposari Tepus Sidoharjo Semanu Baleharjo
TOTAL
812
63
Tabel 7 menggambarkan distribusi jumlah responden penelitian di 6 lokasi penelitian. Jumlah responden lansia terbesar di Kota Surabaya, dan terendah di Kota Yogyakarta. Salah satu kriteria inklusi lansia penelitian adalah usia 55-65 tahun, tetapi banyak lansia yang sebelumnya tidak terpilih secara acak dan usianya tidak sesuai kriteria inklusi datang ke tempat penelitian minta diukur dan diwawancarai. Mereka tahu kegiatan pengukuran itu dari teman-temannya maupun dari aparat desa/kelurahan setempat. Kumpulan lansia yang tidak memenuhi kriteria usia inklusi, tetapi sepanjang masih mampu berdiri tegak dan memenuhi kriteria inklusi lainnya, mereka tetap diukur dan dan diwawancarai. Tempat pengukuran antropometri dan wawancara di balai desa/posbindu/kantor kelurahan/ rumah kader posbindu. Total terkumpul 812 lansia (612 lansia usia 55-65 tahun dan 200 lansia usia 66-84 tahun). PROPINSI
IBUKOTA PROPINSI
KECAMATAN A
KEL. / DESA
KECAMATAN B
KEL. / DESA • •
LANSIA WANITA LANSIA LAKI-LAKI
Gambar 4
KECAMATAN C
KEL./DESA
KECAMATAN D
KECAMATAN E
KEL./DESA
KEL./DESA • •
KEL./ DESA
LANSIA WANITA LANSIA LAKI-LAKI
Skema pemilihan responden di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
Pemilihan lansia penelitian dilakukan secara acak dari data jumlah dan nama-nama lansia di tiap kelurahan/desa. Data-data lansia dikumpulkan dari kader posbindu, bidan puskesmas, dan ketua/pengurus RW setempat. Setelah nama-
64
nama lansia terpilih secara acak, selanjutnya mereka diberikan undangan untuk menghadiri acara kegiatan pengukuran di lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti dan kader/pengurus RW setempat. Undangan itu dikirimkan secara langsung ke rumah-rumah mereka oleh kader/pengurus RW. Pada 6 lokasi penelitian di Kota Semarang dilakukan kegiatan minum susu Produgen bersama setelah peneliti berhasil melakukan kerjasama dengan Produgen DI Yogyakarta. Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan teknis sebagai berikut: di tiap kota/kabupaten dipilih 3 kecamatan secara acak dari seluruh kecamatan yang ada. Di tiap kecamatan terpilih, selanjutnya diambil 2 kelurahan/desa secara acak pula. Dari 1 kelurahan/desa terpilih, dilakukan seleksi sejumlah lansia yang memenuhi kriteria inklusi untuk diukur tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, skor T, persen lemak tubuh, dan lemak viseral. Skema pengumpulan data di lapangan disajikan pada Gambar 4.
Pengolahan Data Semua data yang diperlukan setelah dicatat dalam formulir khusus, dipindahkan ke dalam lembaran data di komputer dan dilakukan pengkodean untuk ditabulasi atau dianalisis. Data yang terkumpul diolah dengan Program SPSS versi 13. Data yang bersifat deskriptif disajikan dalam bentuk tabel atau gambar. Proses manajemen data yang dilakukan sebelum data dianalisis adalah sebagai berikut:
1. Editing terhadap kuesioner yang telah terisi. Bila ditemukan kejanggalan (in-konsistensi informasi dan kelengkapan data) segera dilakukan pengecekan ulang di lapangan. 2. Entry data, dilakukan melalui perangkat lunak komputer. 3. Cleaning data, dilakukan setelah entry data dengan melihat distribusi frekuensi data mentah (raw data). Bila terdapat kesalahan, dilakukan pengecekan ulang ke kuesioner.
65
Data berat badan, tinggi badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, skor T, persen lemak tubuh, dan lemak viseral dikelompokkan menjadi data numerik/kontinyu. Wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, ekonomi (tingkat pendidikan), tingkat aktivitas fisik, osteoporosis, tingkat persen lemak, dan tingkat lemak viseral dikelompokkan menjadi data kategori. Persen lemak tubuh pada awalnya dibuat menjadi data numerik. Selanjutnya data persen lemak tubuh diubah menjadi data kategori sebagai berikut (Omron 20060): •
Normal
: 20-30% (wanita) 10-20% (pria)
•
Mendekati tinggi: 30-35% (wanita) 20-25% (pria)
•
Tinggi
: > 35% (wanita) 25% (pria)
Sementara pengelompokan tingkat lemak viseral dilakukan dengan memenuhi kriteria dari Omron (2006) yaitu: •
Normal
:
1-9
•
Mendekati tinggi
:
10-14
•
Tinggi
:
> 15
Data kebiasaan makan dan aktivitas fisik saat usia 25 tahun dan 55 tahun dikumpulkan
dari
hasil
wawancara
seluruh
lansia
yang
telah
diukur
antropome trinya. Rata-rata jumlah makanan sumber karbohidrat, protein, dan lemak yang dikonsumsi oleh responden diperoleh dari wawancara frekuensi konsumsi jenis makanan yang dimakan. Selanjutnya porsi/ukuran makanan yang dikonsumsi (gram) dikalikan dengan frekuens i konsumsi/hari. Bila frekuensi konsumsi makanan dalam satuan minggu sebanyak 2 kali, maka 2 dibagi 7 dan dikalikan dengan berat porsi makanan tersebut dalam satuan gram. Bila frekuensi dalam satuan bulan dibagi 30, dan satuan tahun dibagi 365 hari. Berikut adalah illustrasi pengalian tersebut:
66
Jenis Makanan
>1x perhari
1x perhari
3–5x per- mg
7
6
7
6
Frekuensi Konsumsi 1-2 x 2–3x 1x Per mg per bln per- bln
1-2 x per- thn
Tidak pernah
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
URT (gram)
Karbohidrat a.
Nasi
8
b.
Biskuit crackers/ marie
8
2/7 x berat nasi
2/365 x berat biskuit
Data aktivitas fisik meliputi kegiatan fisik harian, waktu luang harian, dan olahraga dikumpulkan dalam 2 periode yaitu saat usia 25 tahun dan 55 tahun. Bila responden menjawab ya pada pertanyaan ketiga kegiatan itu, maka diberikan nilai 1 dan bila tidak mendapat nilai 0. Untuk
olahraga,
terdapat
3
item
penilaian
yaitu
jenis
olahraga,
lama/durasi/minggu, dan frekuensi/minggu. Jenis olahraga dibagi menjadi menjadi 3 tingkat yaitu ringan (bobot 3,5), sedang (5,5), dan berat (7,5) berdasarkan kategori dari Durnin dan Passmore (1955) -----------à skor untuk daftar kegiatan terlampir. Lama olahraga/minggu dalam satuan jam terdiri dari 5 skor yaitu: •
Skor 1 bila < 1 jam
•
Skor 2 bila 1-2 jam
•
Skor 3 bila 2-3 jam
•
Skor 4 bila 3-4 jam
•
Skor 5 bila > 4 jam
Frekuensi melakukan olahraga per minggu diberikan skor 1-5 yaitu: •
Skor 1 bila 1 kali
•
Skor 2 bila 2 kali
•
Skor 3 bila 3 kali
•
Skor 4 bila 4 kali
•
Skor 5 bila > 4 kali
Skor lama olahraga dikalikan dengan skor frekuensi/minggu, lalu dibagi 7 dan dikalikan 60 untuk diubah ke menit. Hasil perkalian ini dikalikan bobot jenis olahraga untuk memperoleh energi yang dikeluarkan per menit.
67
Jenis kegiatan fisik harian disesuaik an dengan jenis pekerjaan yang ditekuni saat usia 25 tahun dan 55 tahun. Pemberian bobot dilakukan pada tiap-tiap kegiatan
fisik
harian
yang
dilakukan
pada
kedua
periode
tersebut
(FAO/WHO/UNU 1985, dan Durnin & Passmore 1955). Bila terdapat lebih dari 1 kegiatan yang dilakukan, maka dihitung bobotnya masing- masing. Bobot tiap kegiatan dikalikan lama kegiatan/hari dan dikalikan 60 menit untuk mengubahnya ke satuan menit. Lama kegiatan fisik harian terdiri dari 5 skor yaitu: •
Skor 1 bila < 1 jam
•
Skor 2 bila 1-2 jam
•
Skor 3 bila 2-3 jam
•
Skor 4 bila 3-4 jam
•
Skor 5 bila > 4 jam
Tiap kegiatan dihitung perkalian bobot dan skornya. Bila terdapat lebih dari satu kegiatan, maka dijumlahkan seluruhnya untuk memperoleh total energi yang dikeluarkan per hari. Kegiatan waktu luang harian diberikan bobot berdasarkan tingkat berat ringannya (FAO/WHO/UNU 1985, dan Durnin & Passmore 1955). Bobot dikalikan dengan skor lama kegiatan/hari. Nilai skor lama kegiatan waktu luang /hari adalah sama dengan skor kegiatan fisik harian di atas. Perhitungan jumlah energi pengeluaran harian untuk kegiatan waktu luang sama dengan perhitungan energi pengeluaran kegiatan fisik harian di atas. Penjumlahan nilai skor olahraga dengan kegiatan fisik harian, dan waktu luang dilakukan untuk memperoleh total nilai energi yang dikeluarkan untuk aktivitas fisik. Tingkat aktivitas fisik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: ringan, sedang, dan tinggi berdasarkan rata-rata pengeluaran energi total tersebut. Makin tinggi nilai SKOR menunjukkan tingkat aktivitas yang semakin tinggi (bobot kegiatan terlampir)
68
Analisis Data Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau menggambarkan karakteristik masing- masing varaibel yang diteliti dalam bentuk distribusi frekuensi. Tujuannya adalah untuk melihat seberapa besar proporsi tiap-tiap variabel yang diteliti atau dengan kata lain untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi variabel berskala nominal atau ordinal. Variabel berskala interval atau ratio dieksplorasi dengan melihat Rata-rata, median, standard deviasi, dan range. Variabel yang memiliki data numerik/kontinyu digambarkan dengan nilai Rata-rata (jika distribusi data bersifat normal), dan standard deviasi, sedangkan variabel dengan data ordinal/nominal didistribusikan dalam satuan persen. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk memeriksa kenormalan distribusi data variabel numerik yaitu tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, tinggi duduk, skor T, persen lemak tubuh, dan lemak viseral.
Analisis Bivariat Analisis hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan terikat melalui uji statistik disebut analisis bivariat. Tujuan analisis ini adalah untuk melihat hubungan dan besarnya hubungan antara variabel bebas dan terikat serta faktorfaktor lain yang diduga sebagai variabel perancu yang potensial (potential confounding variable). Perbedaan rata-rata antropometri berdasarkan tinggi badan, berat badan, tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dengan faktor- faktor penentunya yaitu wilayah, tingkat pend idikan, beban pekerjaan fisik harian pada usia 25 dan 55 tahun dianalisis dengan uji-t independen (independent-t test). Uji yang sama juga dilakukan untuk memperoleh perbedaan rata-rata status densitas massa tulang (DMT) dengan faktor- faktor risikonya yait u: wilayah tinggal; jenis kelamin; kelompok umur; tingkat pendidikan akhir; beban kerja usia 25 dan 55 tahun; dan tingkat aktivitas fisik usia 25 dan 55 tahun; Uji t independen dilakukan juga untuk menilai perbedaan rata-rata tingkat persen lemak tubuh dan lemak viseral dengan faktor-faktor risiko yang sama dengan di atas.
69
Uji Kai Kuadrat digunakan untuk memperoleh hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang keduanya bersifat kategori dengan batas kemaknaan (p) < 0,05 atau p < 0,01 pada tingkat kepercayaan 95%. Status osteoporosis terdiri dari 3 kelompok yaitu normal, osteopenia, dan osteoporosis. Tingkat persen lemak tubuh dan lemak viseral masing- masing dibagi dalam 3 kategori: normal, mendekati tinggi, dan tinggi. Hubungan antara faktor-faktor risiko dengan osteoporosis dan lemak tubuh dianalisis dengan uji Kai Kuadrat.
Analisis Multivariat Tujuan analisis multivariat adalah untuk menggambarkan beberapa variabel bebas dengan variabel terikat secara simultan dalam populasi. Analisis multivariat akan menghasilkan: 1. Variabel bebas yang berisiko paling besar (paling dominan) terhadap variabel terikat. 2. Hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dipengaruhi oleh variabel lain atau tidak (confounding factors). 3. Bentuk hubungan yang terjadi, apakah langsung atau tidak langsung. Variabel-variabel bebas yang dianalisis secara multivariat dalam penelitian ini adalah: 1.
Tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dengan variabel terikat tinggi badan.
2.
Faktor-faktor risiko: wilayah tinggal, jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan akhir, beban kerja fisik harian, tingkat aktivitas fisik, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir ) dengan variabel terikat osteoporosis.
3.
Faktor-faktor risiko: wilayah tinggal, jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan akhir, beban kerja fisik harian, tingkat aktivitas fisik, dan ekonomi (tingkat pendidikan akhir) dengan lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) sebagai variabel terikat.
4.
Ketiga variabel terikat di atas (osteoporosis, persen lemak tubuh, dan lemak viseral) mungkin berhubungan dengan beberapa variabel
70
perancu yang dapat mempengaruhi nilai hubungan dengan variabel bebas.
Dalam analisis multivariat ini, juga digunakan analisis regresi linier ganda (Multiple Regression Linier Analysis) sebagai salah satu model matematis untuk menganalisis hubungan beberapa variabel bebas dengan variabel terikat yang bersifat kontinyu yaitu tinggi badan dan faktor- faktor penentunya. Model prediksi tinggi badan lansia laki- laki dan perempuan dari predik tor panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk yang dihasilkan dari analisis ini adalah:
Tinggi Badan Laki- Laki = a + b Tinggi Lutut = a + b Panjang depa = a + b Tinggi Duduk
Tinggi Badan Perempuan = a + b Tinggi Lutut = a + b Panjang depa = a + b Tinggi Duduk
Analisis Logistik Regressi Ganda (Multiple Regression Logistic Analysis) digunakan untuk memperoleh model matematis hubungan antara variabel bebas lebih dari 1 dengan variabel terikat yang bersifat dikotom/binary.
Osteoporosis
=
a + b1 wilayah tinggal +b2 sex + b3 kelompok usia + b4 tingkat pendidikan akhir + b5 tingkat beban kerja fisik harian usia 25 tahun
Persen lemak tubuh tingkat tinggi = a + b1 wilayah tinggal +b2 beban kerja fisik harian usia 25 tahun + b3 beban pekerjaan fisik harian usia 55 tahun Lemak viseral tingkat tinggi
=
a + b1wilayah tinggal + b2 sex + b3 tingkat pendidikan akhir + b4 beban pekerjaan fisik harian usia 55 tahun
71
* Etika Penelitian (Ethical Consideration)
Bila subyek bersedia terlibat dalam penelitian ini, selanjut nya diminta tanda tangan persetujuannya (informed consent) hingga kegiatan selesai. Sejak studi yang dilakukan ini menyangkut manusia, maka informed consent seluruh responden harus disiapkan. Maksud dan tujuan studi telah dipresentasikan dan dijelaskan pada Ethical Committee Badan Litbang Departemen Kesehatan RI. Pertimbangan etis dalam studi ini adalah: *
Pengukuran antropometri panjang depa, tinggi lutut, tinggi duduk, risiko osteoporosis, berat badan, tinggi badan, dan persen lemak tubuh dengan informed consent dilakukan setelah adanya penjelasan protokol studi.
*
Kerahasiaan atas nama subyek terjamin.
* Pengumpulan data dilakukan pada Desember 2007-Pebruari 2008. Ethical Clearance mulai diurus pada bulan November 2007, namun Ethical Clearance baru dikeluarkan oleh Badan Litbang Depkes RI bulan Maret 2008. Meskipun terjadi keterlambatan, tetapi hal itu tidak menjadi masalah karena studi tidak melakukan kegiatan yang bersifat invasif kepada responden.