TINJAUAN PUSTAKA Lansia Penentuan masa usia lanjut merupakan hal yang tidak mudah.
Di
Indonesia, batas usia 60 tahun ditetapkan sebagai awal dari usia lanjut. Hal ini disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong pada tahap dewasa akhir adalah 55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi tertentu seperti professor, ahli hukum, dokter atau professional lain yang biasanya pensiun ketika berumur 65 tahun (Anitasari, 1993). Pada masa kehidupan lanjut usia biasanya seseorang mengalami banyak masalah yang berkaitan dengan kesehatannya.
Berbagai macam masalah yang terjadi
semakin bertambah dengan bertambahnya umur, kondisi ini berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi. Pada setiap individu, proses menjadi tua sangat bervariasi, tergantung dari kondisi fisik dan mentalnya sehingga sulit membuat patokan siapa yang disebut lanjut usia (lansia).
Dalam kegiatan program,
Departemen Kesehatan membuat patokan kelompok lansia berdasarkan usia kronologis yaitu seorang pria atau wanita yang berumur 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karen a sesuatu hal tidak lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan (Depkes, 1998). Burnside (1979) membagi batasan lanjut usia berdasarkan usia kronologisnya adalah sebagai berikut: a. Young-old (60 – 69 tahun) Masa ini dianggap sebagai transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan. b. Middle-age old (70 – 79 tahun) Periode ini identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan hidup dan teman yang meninggal. Ditandai dengan kesehatan yang semakin menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah dan mudah marah serta aktifitas seks menurun.
4
c. Old-old (80 – 89 tahun) Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari sudah semakin besar. d. Very old-old (lebih atau sama dengan 90 tahun) Lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung pada orang lain dengan kesehatan yang semakin menurun. Pada proses penuaan, terjadi evolusi dan degenerasi jaringan serta sel-sel tubuh yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang dimulai sejak usia 20 tahun dan semakin meningkat pada usia 45 tahun keatas. Proses ini biasanya ditandai oleh kemunduran fisik, anatomis dan fungsional yang akhirnya akan mempengaruhi kemampuan badan secara keseluruhan (Hardinsyah & Martianto, 1992).
Schlenker, Pipies & Thrahms (1992)
menyatakan bahwa proses penuaan terjadi dalam dua aspek yaitu aspek biologis dan aspek fisiologis. Aspek biologis meliputi perubahan sel dan jaringan antar sel. Pada lansia terjadi pembelahan sel yang lebih cepat sehingga jumlahnya semakin sedikit dan berkurang. Selain aspek biologis, aspek fisiologis juga mengalami perubahan. Penuaan yang terjadi dalam aspek in meliputi perubahan fungsi otak dan sistem syaraf.
Stimuli terhadap respon juga berkurang, respon yang diberikan oleh
sistem organ lebih lambat ketika terjadi perubahan lingkungan misalnya respon terhadap perubahan suhu lingkungan. Selain itu pula terjadi perubahan pada sistem hormon, sistem peredaran darah, sistem ekskresi, sistem pernafasan dan sistem pencernaan. Manusia lanjut usia mengalami penurunan fungsi-fungsi organ tubuh yang mengakibatkan aktivitas atau kegiatannya menjadi menurun dibandingkan pada masa dewasa dan remaja. Oleh karena itu kecukupan gizi pada lansia umumnya lebih rendah dibandingkan pada masa dewasa dan remaja (Hardinsyah & Martianto, 1992).
5
Pendidikan Pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku mencakup aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan para peserta didik sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Secara umum, pendidikan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu formal, non formal dan informal (Pranadji, 1988). Michael (1975) diacu dalam Suyanto (2002) mengungkapkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan manusia. Aspek-aspek perilaku atau kebiasaan yang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dalam individu maupun rumah tangga antara lain adalah pendapatan, pemilihan pekerjaan, pemilihan tempat tinggal, pemilihan dan jumlah konsumsi makanan, gaya hidup, dan karakteristik teman pergaulan. Suhardjo (1989) juga menambahkan bahwa dari beberapa kajian empiris, terdapat indikasi bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi secara langsung kebiasaan makan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat kesejahteraannya cenderung akan lebih tinggi, termasuk dalam hal pola makan.
Panti Werdha Menurut Departemen Sosial RI (1994), panti werdha merupakan bentuk pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia yang pada awalnya merupakan inisiatif
organisasi
sosial
yang
pada
waktu
itu
merasakan
pentingnya
penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti. Lahirnya panti-panti tersebut berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan akan perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan keagamaan, dan komunikasi sosial yang bersifat efektif yang tidak didapat lansia di luar panti. Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan. Saat ini banyak panti werdha didirikan yang bertujuan untuk memberikan santunan dan pelayanan kepada golongan lansia.
Panti werdha merupakan
upaya terakhir setelah keluarga dan masyarakat tidak dapat memberi mekanisme pelayanan.
6
Menurut Suyanto (1996), latar belakang lansia masuk panti werdha dapat ditinjau: 1. Status perkawinan a. Tidak pernah menikah b. Pernah menikah tetapi tidak mempunyai keturunan c. Menikah, mereka masih terikat perkawinan dan ada juga yang sudah berpisah 2. Ditinjau dari segi pendapatan a. Mempunyai pensiun/ pendapatan b. Tidak mempunyai pendapatan c. Tidak mempunyai pendapatan tetapi ada yang membantu 3. Ditinjau dari segi kesehatan a. Sehat b. Sakit ringan c. Komplikasi d. Gangguan kejiwaan e. Sakit dan perlu perawatan khusus 4. Ditinjau dari masalah yang dihadapi a. Terlantar, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai pendapatan, tidak mempunyai keluarga b. Terlantar, sakit dan tidak ada yang mengurus c. Tidak bisa hidup dengan menantu d.
Dibuang oleh keluarganya
e. Masalah sosial lain (perbedaan gaya hidup, agama, dll) f.
Mencari ketenangan hidup di hari tua Panti Werdha di Indonesia ada yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan ada yang diselenggarakan oleh lembaga sosial swasta. Apabila kesehatan, status ekonomi atau kondisi lainnya tidak memungkinkan lansia untuk melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika lansia tidak mempunyai sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka, maka para orang lanjut usia sebaiknya tinggal di lembaga tempat tinggal yang dirancang khusus untuk orang lanjut usia. Rumah yang disediakan khusus untuk para lanjut usia dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu rumah untuk pensiunan dan rumah untuk perawatan.
Dalam rumah untuk pensiunan, tempat tinggal
7
perorangan berukuran kecil baik dalam bentuk apartemen perorangan atau kamar untuk perorangan.
Dalam apartemen terdapat ruang makan, ruang
rekreasi dan ruang duduk yang letaknya dalam wilayah yang dapat terjangkau oleh semua penghuni. Dalam ruang perawatan, kebutuhan fisik bagi orang lanjut usia dikerjakan oleh orang-orang yang telah dilatih dan dapat berbuat seperti di rumah sakit bila memang diperlukan (Hurlock, 1980). Dalam usaha memberikan pelayanan kepada lansia, panti werdha melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain: a) memberikan jaminan makanan dengan pengaturan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi, b) memelihara kesehatan dan kebersihan melalui pemeriksaan secara rutin, pengobatan pada saat sakit melalui kerjasama dengan instansi kesehatan setempat, serta lingkungan yang bersih dan teratur, c) bimbingan mental keagamaan dan kemasyarakatan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan YME serta memupuk rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri serta lingkungannya, d) pengisian
waktu
luang
dengan
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
yang
bermanfaat termasuk kegiatan aktifitas berolahraga yang teratur (Departemen Sosial, 1994). Fungsi
dan
peranan
panti
werdha
dalam
upaya
mewujudkan
kesejahteraan sosial dapat dilihat pada Pola Dasar Bidang Kesejahteraan Sosial diacu dalam Depsos RI (1994), dinyatakan bahwa pemeliharaan dan penyantunan sosial lansia terlantar merupakan tugas kemanusiaan dan fungsional yang harus dilaksanakan dalam kerjasama dengan masyarakat beserta lembaga-lembaga sosial lainnya secara terpadu dan berkesinambungan. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para lansia tercantum dalam UU nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo yang pelaksanaannya dituangkan dalam surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 3 HUK/I.50/107 tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Adapun kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan pelayanan dan penyantunan kepada lansia itu antara lain: a. Pemberian bantuan dan santunan kepada para lansia di panti werdha b. Pemberian bantuan penyantunan kepada para lansia di luar panti berupa pemberian bantuan usaha produktif
8
c. Bantuan dan peningkatan kemampuan pelayanan panti werdha pemerintah daerah dan swasta Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/KEP/XI/79 tahun 1979 tentang kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja panti di lingkungan Departemen Sosial pada pasal 211 menyebutkan tentang fungsi panti, yaitu: a. Pemeliharaan kesehatan b. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat c. Pelaksanaan bimbingan mental dan spiritual kemasyarakatan Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang dapat merawatnya. Selain itu, adapula lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia yang dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus membayar biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain untuk biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren, 1994).
Pengelolaan Makanan Menurut Nursiah (1990), pengelolaan makanan adalah penyelenggaraan dan pelaksanaan makanan dalam jumlah besar.
Pengelolaan makanan
mencakup anggaran belanja, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, penyediaan/pembelian bahan makanan, penerimaan dan pencatatan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, pengolahan bahan makanan, penyajian dan pelaporan. Secara garis besar pengelolaan makanan mencakup
perencanaan
menu,
pembelian,
penerimaan
dan
persiapan
pengolahan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, pendistribusian/ penyajian makanan dan pencatatan serta pelaporan.
Perencanaan Menu. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan,
karena
menu
sangat
berhubungan
dengan
kebutuhan
dan
penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran
9
belanja.
Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada
dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan variasi bahan makanan. Menu seimbang perlu untuk kesehatan, namun agar menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi menu yang baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa dan kombinasi masakan yang serasi (Nursiah, 1990). Perencanaan
kebutuhan
bahan
makanan
adalah
kegiatan
untuk
menetapkan jumlah, macam dan jenis serta kualitas bahan makanan yang dibutuhkan untuk kurun waktu tertentu. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah mengumpulkan data mengenai jumlah pasien yang diberi makanan, jumlah dan macam makanan yang diberikan, menghitung taksiran persediaan bahan makanan, menghitung kebutuhan bahan makanan untuk satu periode tertentu hingga diperoleh taksiran bahan makanan.
Tujuannya adalah menetapkan kebutuhan bahan makanan
sesuai dengan menu yang telah direncanakan serta jumlah pasien yang akan dilayani (Mukrie & Nursiah, 1983).
Pembelian, Penerimaan dan Persiapan Pengolahan Bahan Makanan Pembelian bahan makanan merupakan serangkaian proses penyediaan bahan makanan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar tersedia bahan makanan dengan jumlah dan macam serta kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan makanan yang tepat dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana yang tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik dan kualitas bahan makanan yang dibeli. Prosedur pembelian dapat dilakukan secara tender maupun penunjukkan langsung (Depkes, 1999). Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan, penimbangan, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan mengenai jumlah bahan makanan menurut permintaan atau pesanan (Mukrie & Nursiah, 1983). Dalam penerimaan diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan dan batas waktu kadaluarsa (Moehyi, 1992). Persiapan bahan makanan merupakan suatu pros es dalam rangka menyiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu yang siap untuk dimasak sesuai dengan standar resep. Depkes (1999) menetapkan beberapa hal yang perlu
10
diperhatikan dalam kegiatan persiapan bahan makanan adalah (1) melakukan persiapan bahan makanan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik persiapan bahan makanan dalam standar resep, (2) merencanakan persiapan bahan makanan dengan memperhatikan waktu dan menu yang digunakan, (3) peralatan, bahan makanan, dan bumbu-bumbu dikumpulkan sesuai dengan menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga memudahkan dalam melakukan pekerjaan, (4) mempergunakan peralatan yang sesuai dengan pekerjaan, (5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa dalam daerah pekerjaan sesuai dengan tugas, (6) mempergunakan peralatan dengan baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja, (7) memperhatikan urutan langkah-langkah kerja sesuai dengan metode teknik persiapan, (8) meja kerja, perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan disusun setelah digunakan.
Pengolahan Bahan Makanan. Memasak adalah suatu pengetahuan dan seni yang sudah dikenal sejak zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi selera konsumen. Makanan yang disajikan harus dapat merangsang kelenjar ludah, mata, lidah dan dan perasaan sehingga makanan yang diproduksi sedap dipandang dan mempunyai citarasa yang lezat. Kesalahan dalam urutan dan pencampuran bumbu akan menghasilkan makanan yang tidak menarik. Untuk dapat menghasilkan makanan yang berkualitas tinggi memerlukan persiapan dan diolah dengan cara yang tepat, proporsi bahan penyusun yang seimbang, bervariasi, disajikan dengan menarik serta standar sanitasi yang tinggi (Depkes, 1999). Dalam pengolahan bahan makanan terdapat dua kegiatan yaitu persiapan dan pemasakan bahan makanan. Tahap ini perlu mendapat perhatian karena kehilangan sering terjadi pada saat bahan pangan mengalami proses pengolahan (Hardinsyah & Briawan, 1994).
Persiapan sebaiknya dilakukan
dengan baik agar makanan kelihatan menarik, nilai gizi tidak berkurang. Tujuan pemasakan bahan makanan adalah mempertahankan nilai gizi makanan, meningkatkan mutu cerna, mempertahankan dan menambah rasa, memperindah rupa, warna dan tekstur makanan.
11
Pendistribusian/ Penyajian Makanan . Dalam menerapkan
prosedur distribusi, dikenal dua cara pendistribusian
makanan kepada klien, yaitu cara sentralisasi dan desentralisasi (Moehyi, 1992). 1. Cara sentralisasi Dengan cara ini maka semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada suatu tempat (centralized). manajer/penanggung
Sebelum memilih cara sentralisasi ini, maka
jawab
penyediaan
makanan
sudah
harus
memperhitungkan konsekuensi yang harus diadakan seperti luas tempat, peralatan, tenaga dan kesiapan manajemen yang menyeluruh.
Sistem
sentralisasi sesuai untuk institusi besar yang memiliki tenaga yang terbatas. Pegawai hanya diperlukan di dapur dan ruang makan saja, karena klien bisa langsung mengambil makanan ke ruang makan tidak perlu diantar ke tiap ruang klien. Sehingga pegawai untuk pendistribusian atau pengantar makanan dapat ditiadakan. 2. Cara desentralisasi Cara desentralisasi adalah suatu cara pendistribusian makanan.
Dengan
cara ini fokus kegiatan masih tetap berada di unit pembagian utama, kemudian langkah selanjutnya adalah menata makanan dalam alat-alat makan perorangan yang telah disediakan di pantry/dapur ruangan. Sistem ini jelas membutuhkan pantry/pos pelayanan makan sementara yang berfungsi untuk menghangatkan kembali makanan, membuat minuman/sejenisnya, menyiapkan peralatan makan bersih, menyajikan makanan sesuai dengan porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan, serta membawa hidangan kepada klien.
Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan
dan
pelaporan
merupakan
serangkaian
kegiatan
mengumpulkan data kegiatan pengelolaan makanan dalam jangka waktu tertentu, untuk menghasilkan bahan bagi penilaian kegiatan pelayanan makanan. Kegiatan pencatatan pelaporan diperlukan agar semua pekerjaan atau kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan tercapai secara berdaya guna dan berhasil guna. Kegiatan pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu bentuk dari pengawasan dan pengendalian. Pencatatan dilakukan setiap
12
langkah kegiatan yang dilakukan, sedangkan pelaporan dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2003).
Analisis SWOT Lingkungan
adalah
salah
satu
faktor
penting
untuk
menunjang
keberhasilan suatu program. Untuk membuat dan menentukan tujuan, sasaran dan strategi yang diambil maka diperlukan suatu analisis mendalam serta menyeluruh mengenai lingkungan (Wahyudi, 1996). Lingkungan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal.
Untuk menunjang
keberhasilan program suatu panti dengan adanya kedua lingkungan tersebut dapat dilakukan analisis, salah satunya dengan analisis SWOT. Menurut Siagian (1995), SWOT merupakan akronim dari Strength (kekuatan),
Weakness (kelemahan),
Opportunity
(peluang)
dan
Threat
(ancaman). Analisis SWOT dapat merupakan instrumen untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul dan harus dihadapi.
Jika para penentu strategi panti mampu melakukan hal tersebut
dengan tepat, maka upaya untuk memilih dan menentukan strategi akan membuahkan hasil yang diharapkan (Siagian, 1995). SWOT merupakan pendekatan diagnosis dari analisis strategi, yang terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal untuk mengidentifikasi masalah (potensi) secara konseptual, yaitu dengan mengoptimasi sumberdaya yang dimiliki (pemecahan masalah) suatu unit kerja pada posisi dari setiap segmen kegiatan. Analisis SWOT dapat digunakan untuk memformulasikan, membuat rekomendasi
dan
memperoleh
pemahaman
yang
jelas
terhadap
suatu
permasalahan sehingga dapat diambil tindakan manajemen yang tepat dan konkret (Rangkuti, 1999). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) dengan faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) untuk merumuskan strategi (Rangkuti, 1999).
Perbandingan antara faktor internal dan faktor
eksterna l dapat dilihat pada Tabel 1.
13
Tabel 1. Lembar Kerja SWOT Faktor Internal Kekuatan 1. n Kelemahan 1. n
Faktor Eksternal Peluang 1. n Ancaman 1. n
Analisis SWOT merupakan penyesuaian atau perpaduan antara sarana ETOP dengan SAP (Glueck dan Jauch, 1992). Berikut ini disajikan uraian lebih lanjut tentang analisis yang dapat digunakan dalam melakukan analisis lingkungan.
Analisis SWOT dan analisis yang
dilakukan dalam ETOP dan SAP dapat diuraikan seperti di bawah ini:
Kekuatan (Strength) Menurut Stahl dan Grigsby (1992), kekuatan adalah segala faktor internal dalam perusahaan yang memiliki keunggulan relatif terhadap pelanggan. Faktorfaktor kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan termasuk satuan-satuan didalamnya antara lain kompetensi khusus yang terdapat dalam organisasi.
Kelemahan (Weakness) Menurut Siagian (1995), jika orang berbicara tentang kelemahan yang terdapat dalam tubuh suatu satuan bisnis, maka yang dimaksud ialah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber, keterampilan dan kemampuan yang menjadi penghalang serius bagi penampilan kinerja organisasi yang memuaskan. Dalam praktek, berbagai keterbatasan dan kemampuan tersebut bisa terlihat pada sarana yang dimiliki atau tidak dimiliki dan kemampuan manajerial yang rendah.
14
Peluang (Opportunity ) Menurut Glueck dan Jauch (1992), peluang merupakan faktor lingkungan yang berdampak positif bagi perusahaan.
Berbagai situasi lingkungan yang
menguntungkan akan merupakan suatu peluang bagi satuan bisnis.
Yang
dimaksud dengan berbagai situasi untuk penelitian ini antara lain ialah hubungan antara lansia dengan petugas pelaksana program panti, program panti, dan kebijaksanaan pemerintah/ swasta.
Ancaman (Threat) Ancaman adalah faktor-faktor lingkungan yang tidak menguntungkan suatu bisnis (hambatan, kendala atau berbagai unsur eksternal lainnya), yang potensial untuk merusak strategi yang telah disusun, sehingga menimbulkan masalah, kerusakan atau kekeliruan. Jika tidak diatasi, ancaman akan menjadi hambatan/ ganjalan bagi satuan bisnis yang bersangkutan, baik untuk masa sekarang maupun masa depan (Siagian 1995).
Strategic Advantage Profile (SAP) Menurut Simanjuntak (2003), analisis ini membahas faktor-faktor internal perusahaan. Dari analisis ini dapat dilihat bahwa perusahaan mempunyai hal-hal yang menjadi keunggulan yang sifatnya strategis atau hal-hal lain yang menguntungkan. Hasil dari analisis ini disusun dalam suatu profil keunggulan strategis (SAP).
Analisis keunggulan strategis dalam penelitian ini meliputi
program panti (pengelolaan makanan).
Environmental Threat and Opportunity Profile (ETOP) Menurut Simanjuntak (2003), analisis ini membahas faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perusahaan. Analisis ini menetapkan faktor-faktor apa saja di luar perusahaan yang merupakan tantangan atau peluang untuk berprestasi lebih baik, termasuk segala resiko dan kemungkinan yang terkandung didalamnya. Faktor lingkungan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: (1) Tenaga pengelola makanan, (2) Kebijakan pemerintah/swasta, (3) Hubungan pengelola makanan dengan lansia, (4) Kegiatan pelatihan, (5) Sarana angkutan.
15
Daya Terima Makanan Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang timbul oleh makanan melalui panca indera penglihatan, penciuman, dan pencicip. Namun demikian faktor utama
yang akhirnya mempengaruhi daya terima
terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan, oleh karena itu penting sekali dilakukan penilaian citarasa untuk menjajaki daya penerimaan konsumen (Nasoetion A, 1980). Moehyi (1992) menyatakan bahwa makanan yang akan disajikan haruslah memenuhi dua syarat utama, yaitu citarasa makanan harus memberi kepuasan bagi yang memakannya dan makanan harus aman yang berarti tidak mengandung zat atau mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan tubuh.
Citarasa makanan ditimbulkan oleh adanya rangsangan terhadap
berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, penciuman dan pengecap. Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat dari jumlah yang habis dikonsumsi. Daya terima makanan dapat juga dinilai dari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan makanan yang dikonsumsi. Daya terima makanan terdiri dari citarasa makanan (rasa, aroma dan tekstur) dan penampilan makanan meliputi warna, bentuk dan ukuran (Nasoetion, 1980).
Citarasa Nasoetion
(1980)
mengemukakan
bahwa
faktor
utama
yang
mempengaruhi daya penerimaan terhadap makanan adalah citarasa yang ditimbulkan oleh makanan tersebut. Sedangkan citarasa dapat ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman dan indera pengecap (Moehyi, 1992). Penilaian citarasa makanan, karena menggunakan indera manusia untuk alat penilaian seringkali disebut dengan istilah penilaian organoleptik atau sensori.
Cara ini sering disebut sebagai cara penilaian subyektif, karena
tergantung sepenuhnya pada kemampuan atau kepekaan indera manusia. Selanjutnya menurut Moehyi (1992), yang dimaksud dengan citarasa tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Sedangkan penyajian makanan yang
16
cocok dan serasi dapat menimbulkan daya tarik yang kuat bagi konsumen. Usaha untuk mendapatkan citarasa makanan yang baik sudah dimulai sejak memilih bahan makanan yang akan digunakan dan kemudian menyiapkan bahan makanan itu untuk dimasak melalui berbagai cara, seperti memotong, mengiris, menggiling, mengaduk, serta membuat bentuk-bentuk tertentu agar menarik. Pada tahap pengolahan digunakan berbagai cara memasak sehingga diperoleh citarasa
yang
diinginkan,
karena
masing-masing
cara
memasak
akan
menghasilkan citarasa berbeda (Moehyi, 1992). Untuk menghasilkan makanan yang bercita rasa tinggi, yang merupakan salah satu tujuan mengolah makanan, dapat diperoleh jika seorang juru masak bukan hanya memiliki keterampilan dalam mengolah makanan, tetapi juga pengetahuan tentang bahan makanan dan sifat-sifatnya.
Keterampilan dan
pengetahuan yang dimilikinya itu, kemudian dipadukan dengan rasa seni dalam mengolah dan memasak, sehingga menghasilkan makanan dengan berbagai cita rasa yang diinginkan (Moehyi, 1992).
Rupa/Penampilan Menurut Sukarni dan Kusno (1980) yang termasuk faktor-faktor rupa diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk.
Selanjutnya
Lowe diacu dalam Hardinsyah, Setiawan dan Marliyati (1989) berpendapat bahwa hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihatan, yaitu warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut dan sebagainya. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan, karena meskipun makanan tersebut lezat, tetapi apabila penampilan tidak menarik waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang memakannya menjadi hilang (Moehyi, 1992). Menurut Sukarni & Kusno (1980) warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan dari makanan. Oleh karena itu untuk mendapatkan warna makanan yang sesuai dan menarik harus digunakan teknik memasak tertentu. Soenardi (1992) menyebutkan bahwa kombinasi warna merupakan faktor dalam mempengaruhi indera penglihatan dan berperan penting dalam penampilan makanan. Tenaga pengolah makanan harus mengerti adanya perbedaan warna makanan sebelum dan sesudah diolah. Makanan akan lebih menarik jika terdiri dari tiga warna.
Betapapun lezatnya makanan jika
17
penyajiannya tidak menarik mengakibatkan selera orang untuk memakannya kurang. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan. Pada saat disajikan terdapat beberapa bentuk makanan yaitu (a) sesuai dengan bentuk asli bahan makanan, (b) bentuk yang diperoleh dengan cara memotong bahan makanan dengan teknik tertentu, (c) bentuk sajian khusus seperti nasi kuning (Moehyi, 1992). Ukuran dan berat tertentu dari bahan makanan dapat menentukan porsi makanan yang dihasilkan, selain dapat mempengaruhi penampilan makanan pada saat disajikan, juga berkaitan dengan perencanaan dan penghitungan bahan (Moehyi, 1992).
Kondisi Kesehatan Lansia Kondisi kesehatan adalah keadaan kesehatan yang dialami oleh seseorang, dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Shintadewi, 1995 diacu dalam Herlina, 2001). Penuaan bukanlah suatu penyakit atau masalah kesehatan, namun perubahan fisiologis yang tak terelakkan dapat meningkatkan kemungkinan munculnya masalah kesehatan. Penuaan tidak dapat dicegah, namun masalah kesehatan yang berhubungan dengan penuaan dapat dicegah. Deteksi awal dan manajemen kesehatan yang efektif dapat menurunkan konsekuensi hipertensi, penyakit ginjal dan gagal jantung (Hanlon & Picket, 1984). Pada lansia, keadaan fisiologis yang melemah, memungkinkan lansia mendapat gangguan penyakit hampir pada seluruh sistem dalam tubuhnya. Penyakit tersebut antara lain : 1) Penyakit pada sistem pernafasan, yaitu bronchitis chronica, dan tuberculosis pulmonum, penyakit ini lebih sering dipengaruhi oleh faktor daya tahan tubuh dan daya elastisitas jaringan paru-paru daripada pengaruh faktor gizi, 2) Penyakit pada sistem pencernaan, karena fungsi kelenjar yang semakin kurang efektif pada usia lanjut, juga perubahan susunan gigi sebagai alat pencerna makanan mekanis, 3) Gangguan kardiovaskuler, atherosklerosis dan hipertensi, serta 4) Rheumatik (Astawan & Wahyuni, 1988).
18
KERANGKA PEMIKIRAN Dalam kegiatan program, Departemen Kesehatan membuat patokan kelompok lansia berdasarkan usia kronologis yaitu seorang pria atau wanita yang berumur 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan (Depkes, 1998). Di Panti Werdha, penyediaan makanan untuk lansia dilakukan oleh petugas pengelola makanan, maka para petugas pelaksana makanan di Panti Werdha diharapkan dapat memberikan tanggapan yang tepat terhadap lansia, memantau keadaan lansia dan lingkungannya. Kegiatan pengelolaan makanan secara garis besar meliputi tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, produksi dan distribusi (penyajian). Penanganan dari tahap perencanaan sampai distribusi (penyajian) akan berpengaruh terhadap daya terima makanan yang disajikan dan kondisi kesehatan lansia. Karakteristik dari lansia berpengaruh pula pada daya terima makanan yang disajikan dan kondisi kesehatan lansia. Daya terima lansia terhadap makanan dan kondisi kesehatan lansia merupakan salah satu indikator output dari proses pengelolaan makanan di panti werdha. Pengukuran daya terima lansia terhadap makanan yang disajikan
dapat ditentu kan dari citarasa (rasa, aroma dan tekstur),
penampilan (warna, besar porsi/ ukuran dan bentuk). Sedangkan pengukuran untuk kondisi kesehatan lansia adalah keadaan kesehatan dan penyakit yang diderita lansia saat ini. Untuk mengetahui apakah program panti khususnya pengelolaan makanan sudah terlaksana dengan baik, maka dapat dilakukan analisis terhadap sistem pengelolaan, salahsatunya dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT diharapkan dapat memberikan masukan pada pengelola panti apakah input, proses dan output dari panti sudah mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas secara optimal. Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut dapat disederhanakan dalam Alur Bagan 1.
19
20