4
TINJAUAN PUSTAKA Lansia Masa lanjut usia pada kelompok lansia merupakan masa penutup dari kehidupan manusia. Seseorang diatas umur 55 tahun disebut dalam tahap masuk
lanjut
usia
(Setiyono
2010).
Departemen
kesehatan
(1991)
mengelompokkan lansia menjadi tiga. Pertama adalah lansia dini (55-64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia. Kedua adalah kelompok lansia (65-70 tahun). Ketiga adalah lansia risiko tinggi (>70 tahun), atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Menurut Undang-undang No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Dengan demikian dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa lanjut usia adalah yang berumur 56 tahun ke atas. Turner dan Helms (1991) menyatakan bahwa proses penuaan terbagi atas penuaan eksternal dan penuaan internal. Proses penuaan eksternal merupakan
proses
penuaan
yang
gejalanya
dapat
dilihat.
Perubahan-
perubahannya dapat diamati dari kulit, rambut, gigi, dan postur tubuh. Penuaan internal adalah penuaan yang gejalanya tidak dapat dilihat, yaitu perubahan degeneratif yang terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut terjadi pada sistem saraf, kardiovaskuler, pernapasan, pencernaan, urinari, dan sistem imun. Astawan dan Wahyuni (1988) menyatakan bahwa perubahan-perubahan umum yang dialami oleh lansia adalah berkurangnya cairan di dalam tubuh, meningkatnya kadar lemak dalam tubuh, meningkatnya kadar kapur dalam otak dan pembuluh darah namun mengalami penurunan dalam jaringan tulang, terjadi perubahan-perubahan pada jaringan ikat, menurunnya laju metabolisme basal setiap satuan berat badan, menurunnya aktivitas hormon, menurunnya aktivitas enzim, dan perubahan fisik lain-lain. Menurut Dahlia (2004) dalam Erawati (2005), pada umumnya setelah orang memasuki tahap lanjut usia maka akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Asupan dan Keluaran Air Air mempunyai berbagai fungsi dalam proses vital tubuh, diantaranya yaitu air berfungsi sebagai pelarut zat-zat gizi dan alat angkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan tubuh. Selain itu air juga berfungsi sebagai katalisator dalam
5
berbagai reaksi biologik. Air diperlukan juga untuk menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fungsi lain air adalah sebagai pelumas dalam cairan sendi-sendi tubuh, fasilitator pertumbuhan, dan pengatur suhu (Almatsier 2003). Keseimbangan air tubuh dikontrol dengan pengaturan masukan dan ekskresi cairan. Secara normal, masukan air dipengaruhi oleh rasa haus, yang merupakan pertahanan utama terhadap kekurangan cairan. Rasa haus merupakan keinginan yang sadar untuk minum air yang diatur oleh suatu pusat di midhipotalamus (Adelman & Solhung). Namun, selain karena adanya rasa haus, manusia juga mengonsumsi cairan karena alasan kesukaan seperti saat mengonsumsi minuman manis dan alkohol (Popkin et al. 2010). Keseimbangan cairan tubuh diatur oleh mekanisme homeostatis yang dipengaruhi oleh status cairan tubuh. Defisiensi air meningkatkan konsentrasi ionik pada kompartemen ekstraseluler yang meyebabkan sel-sel mengerut. Pengerutan sel dideteksi oleh dua sensor otak, yang satu mengontrol minum dan yang lain mengontrol ekskresi urin (Popkin et al. 2010). Keseimbangan air akan tercapai bila jumlah asupan air sama dengan jumlah keluaran air. Asupan dan keluaran air dibagi menjadi dua, yaitu asupan air wajib dan asupan air elektif (kehendak sendiri) serta keluaran air wajib dan keluaran air elektif. Asupan air wajib berasal dari air minum (jumlah minimal), air yang berasal dari makanan, dan air hasil oksidasi zat makanan (Santoso et al. 2011). Jumlah air minum minimal adalah air minum yang harus masuk dalam keadaan basal (badan dan lingkungan normal, serta dalam keadaan istirahat) untuk menjaga keseimbangan, volumenya kurang lebih 400 mL. Air yang berasal dari makanan adalah kandungan air yang ada dalam makanan, volumenya kurang lebih 850 mL (daging mengandung 70% air sedangkan buah dan sayuran mengandung 100% air). Air hasil oksidasi zat makanan adalah air hasil oksidasi protein, hidrat arang, dan lemak, volumenya kurang lebih 350 mL. Volume air wajib adalah sebesar 1.600 mL (Santoso et al. 2011). Volume asupan air elektif tergantung dari besarnya kebutuhan akibat kemungkinan suhu lingkungan yang tinggi, suhu badan yang tinggi atau setelah melakukan latihan fisik yang merangsang pusat rasa haus sehingga individu tersebut ingin minum. Besaran volume ini disebut sebagai asupan air elektif.
6
Keluaran air wajib berasal dari urin, kulit, saluran napas, dan feses. Bila jumlah solute urin 600 mOsm sedangkan osmolalitas urin maksimal adalah 1200 mOsm/kg, maka jumlah urin minimal adalah 600/1200 atau 500 mL (asumsi osmolalitas plasma normal). Keluaran air dari kulit dan saluran napas (insensible water loss) adalah berupa penguapan yang juga berfungsi sebagai pengatur suhu badan atau termoregulasi yang besarnya 0,58 Kal/1 mL air. Besaran penguapan dari kulit dan saluran napas kurang lebih 900 mL air. Air yang keluar melalui feses tidak terlalu banyak antara 100-200 mL. Air yang dikeluarkan melalui keringat dalam keadaan basal sedikit. Produksi keringat bertambah dalam keadaan suhu lingkungan yang tinggi, atau panas endogen tubuh yang meningkat seperti demam, latihan fisik, dan hipertiroid. Dalam keadaan sehat dengan fungsi ginjal yang normal asupan elektif harus seimbang dengan keluaran elektif (Santoso et al. 2011). Sumber Air Bagi Tubuh Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada pria dewasa 55% - 60% berat tubuh adalah air, pada perempuan dewasa 50% - 60% berat tubuh adalah air (Santoso et al. 2011). Air dalam tubuh manusia diperoleh dari tiga sumber, yaitu air dari minuman, air dari makanan, dan air hasil metabolisme (air metabolik). Dalam kondisi tertentu sumber air tubuh juga berasal dari cairan infus. Jumlah air dari makanan 700-1000 mL per hari. Jumlah ini tergantung pada pola konsumsi makan. Proses metabolisme di dalam tubuh menghasilkan air tetapi jumlahnya relatif sedikit. Jumlah air metabolik yang dihasilkan oleh orang dewasa 200-300 mL dalam sehari (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah air menurut sumber dan pengeluaran air tubuh Sumber Air Tubuh Minuman/cairan Makanan Hasil metabolisme
Jumlah (mL) 550-1.500 700-1.000 200-300
Total
1.450-2.800
Pengeluaran Air Tubuh Urin/ginjal Keringat/kulit Pernapasan/paru Tinja Total
Jumlah (mL) 500-1.400 450-900 350 150 1.450-2.800
Sumber Sherwood L dalam Whitney et al. (1998)
Kajian asupan air pada populasi dewasa di Amerika Serikat menunjukkan total asupan air 28% berasal dari makanan dan 72% dari minuman, yang terdiri dari 28% air putih dan 44% minuman lain-lain (Institut of medicine 2004 dalam Santoso et al. 2011). Hasil penelitian Fauji (2011) menunjukkan bahwa total
7
asupan air pada dewasa laki-laki yaitu 71.9% dan pada dewasa perempuan yaitu 73.8%. Berbagai bangsa mempunyai preferensi terhadap jenis minuman dalam memenuhi kebutuhan air tubuh. Penelitian The Indonesian Hydration Study (THIRST) pada tahun 2008 terhadap 400 sampel di Indonesia menunjukkan bahwa 63.4% remaja dan 71.3% orang dewasa lebih menyukai air putih sebagai minuman utama setiap hari. Pilihan kesukaan berikutnya adalah teh, kopi, susu, dan minuman berkarbonasi bagi remaja; serta teh, kopi, jus, dan susu bagi orang dewasa. Apabila seseorang banyak mengonsumsi makanan lembek atau cair, sayur dan buah termasuk salad, maka sumber air tubuh dari makanan akan lebih tinggi. Akan terjadi sebaliknya bila seseorang lebih banyak mengonsumsi makanan dari produk serealia, tepung dan daging yang kering (Santoso et al. 2011). Berbagai jenis pangan memberikan kontribusi asupan air terhadap tubuh manusia. Sebagian besar sumber air dari makanan adalah makanan pokok (46%) serta buah dan sayur (30%). Makanan pokok orang Indonesia pada umumnya adalah nasi yang mengandung kadar air 25-35%, sementara buah dikonsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit meskipun banyak kadar airnya. 3% 13
makanan pokok Lauk pauk
46%
Buah dan sejenisnya Sayur dan sejenisnya
22%
Jajanan berkuah Jajanan kering
8%
8%
Sumber: Hardinsyah et al. (2009) dalam Santoso et al. (2011)
Gambar 1 Pola asupan air dari makanan pada dewasa
Air metabolik adalah air yang dihasilkan dari proses metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat di dalam tubuh. Semakin banyak produksi energi dari makanan karbohidrat akan semakin banyak air metabolik yang dihasilkan tubuh. Jumlah air yang dihasilkan dari metabolisme pemecahan lemak, protein dan karbohidrat per 1 gram dapat dilihat pada tabel berikut
8
Tabel 2 Jumlah air yang dihasilkan dari proses metabolisme (mL/1 gram) Zat gizi Lemak Protein Karbohidrat
Air yang dilepaskan 1.07 0.40 0.55
Sumber: Verdu & Navarrete (2009)
Proses metabolisme tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut Karbohidrat Protein
+ O2
+ CO2 + H2O + ATP
Lemak Secara umum dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa kontribusi air dari air metabolik dan air makanan hanya sekitar sepertiga total asupan air (35%). Dengan demikian, air minum merupakan jumlah terbesar yang diperoleh tubuh, yaitu sekitar dua pertiga (65-70%) (Santoso et al. 2011). Kebutuhan Air Lansia Perkiraan kebutuhan air tubuh biasanya dinyatakan berdasarkan asupan energi, luas permukaan tubuh, atau berat badan tubuh. Faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan cairan tubuh adalah kegiatan olahraga, suhu udara yang tinggi, kelembaban udara rendah, ketinggian, konsumsi tinggi serat, dan kehilangan cairan tubuh karena konsumsi kopi dan alkohol. Pada usia lanjut tidak dianjurkan mengonsumsi air lebih dari 1.5 Liter dalam 24 jam (Siregar et al. 2009). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan cairan pada lansia diantaranya adalah berat badan. Berat badan (lemak tubuh) cenderung meningkat dengan bertambahnya usia, sedangkan sel-sel lemak mengandung sedikit air, sehingga komposisi air dalam tubuh lansia kurang dari manusia dewasa yang lebih muda atau anak-anak dan bayi. Faktor lain adalah fungsi ginjal yang menurun dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan kemampuan untuk memekatkan urin sehingga mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi. Selain itu pada lansia terjadi penurunan asam lambung, yang dapat mempengaruhi individu untuk mentoleransi makananmakanan tertentu. Lansia terutama rentan terhadap konstipasi karena penurunan pergerakan usus. Masukan cairan yang terbatas, pantangan diit, dan penurunan aktivitas fisik dapat menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif yang berlebihan atau tidak tepat dapat mengarah pada masalah diare. Faktor lain-lain adalah lansia mempunyai pusat rasa haus yang kurang sensitif dan
9
mungkin mempunyai masalah dalam mendapatkan cairan (misalnya gangguan dalam berjalan) atau mengungkapkan keinginan untuk minum (pasien stroke). Dampak Kekurangan dan Kelebihan Air Kurang air sekitar 1% berpotensi menimbulkan gangguan mood (Temasek Polytechnic and Asian Food Information Center 1998 dalam Santoso et al. 2011). Kekurangan air sebanyak 2% atau lebih akan menurunkan kemampuan fisik, visuomotor, psikomotor, dan kognitif. Kurang air tubuh adalah kondisi dimana terjadi pengurangan air intrasel atau air ekstrasel. Kurang air tubuh dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu hipovolemia dan dehidrasi. Hipovolemia adalah kondisi terjadi pengurangan volume cairan ekstrasel. Keadaan ini terjadi bila keluaran airnya adalah cairan yang isotonik, yaitu air dan natrium keluar dalam jumlah yang sebanding (proporsional) sehingga osmolalitas plasma tidak berubah atau kadar natrium plasma tetap normal. Hipovolemia atau disebut juga deplesi volume, dapat terjadi misalnya pada perdarahan atau diare. Dehidrasi adalah kondisi terjadinya pengurangan volume cairan intrasel. Dehidrasi terjadi bila keluaran airnya adalah cairan hipotonik, yaitu volume air yang keluar jauh lebih besar dari jumlah natrium yang keluar. Dehidrasi dapat terjadi pada pasien diabetes insipidus atau pada usia lanjut yang lupa minum (Santoso et al. 2011). Asupan air yang berlebihan tidak dianjurkan pada keadaan kelainan tertentu, misalnya adanya peningkatan hormon ADH, penyakit ginjal kronik. Gagal jantung, dan kadar albumin dalam serum rendah. Asupan air yang berlebihan juga tidak dianjurkan pada mereka dalam kelompok usia lanjut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar dkk, asupan air lebih dari 1.500 mL/24 jam potensial menimbulkan hiponatremia pada usia lanjut (Siregar et al. 2009 dalam Santoso et al. 2011) Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan oleh seorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruihi konsumsi pangan, yaitu: 1) karakteristik sampel, seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakteristik makanan atau minuman seperti rasa, rupa, tekstur, tipe makanan, bentuk dan
10
kombinasi makanan dan minuman; 3) karakteristik lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat. Konsumsi makanan dan minuman yang mencukupi sangat dibutuhkan oleh tubuh agar tubuh dapat melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh, dan aktivitas. Pola konsumsi pangan lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan akibat proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 1998). Perubahan-perubahan tersebut misalnya berkurangnya sensitifitas indera penciuman dan perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun. Lansia sering mengalami gangguan pada gigi yang mengakibatkan lansia mengalami hambatan dalam proses pengunyahan dan membatasi jenis makanan yang dikonsumsi (Wirakusumah 2000). Bagi lansia, pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu
dalam
proses
beradaptasi
atau
menyesuaikan
diri
dengan
perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia. Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernapasan dan ginjal. Meningkatnya usia akan diikuti dengan menurunnya aktivitas tubuh yang berakibat pada menurunnya kebutuhan kalori. Seseorang yang berusia 70 tahun akan mengalami metabolisme basal 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang berusia 30 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka konsumsi kalori harus dikurangi untuk menghindari risiko kegemukan dan serangan penyakit lain (Astawan & Wahyuni 1988). Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi makanan dan minuman yang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi (Suhardjo 1989). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan meggunkan Daftar Komposisi
11
Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa et al. 2001). Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa et al. 2001). Mutu Gizi Asupan Pangan Menurut McCollum dan becker (1934) dalam Hardinsyah (2001), mutu gizi asupan pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa komponen mutu gizi tidak hanya ditentukan dari kandungan energi, karbohidrat, dan lemak, tetapi ditentukan juga oleh kandungan vitamin, dan mineral. Sejak ada konsep yang dirumuskan oleh McCollum dan Becker (1934), konsep mutu gizi asupan pangan yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya (Hardinsyah 1996 dalam Hardinsyah & Atmojo 2001). Kandungan gizi pangan merupakan salah satu ukuran mutu gizi pangan. Penilaian kandungan gizi pangan dapat dilakukan melalui analisis dengan menggunakan data kandungan gizi pangan berupa Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Daftar ini menunjukan kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan (BDD). Daftar ini berguna sebagai alat untuk menilai konsumsi pangan, merencanakan menu, merencanakan ketersediaan dan produksi pangan yang sesuai kecukupan gizi. Konsumsi zat gizi tertentu per hari yang diperoleh dari mengonsumsi aneka makanan adalah penjumlahan dari zat gizi yang sama yang diperoleh dari aneka makanan tersebut (Hardinsyah & Atmojo 2001).
12
Penilaian mutu gizi asupan pangan menggunakan metode rata-rata tingkat kecukupan gizi pertama kali dilakukan oleh Medden (1976) dalam Hardinsyah (2001). Selanjutnya diadopsi dan dikembangkan oleh Guthrie dan Scheer (1981), Kreb-Smith et al (1982), dan penelitain lain-lain (Hardinsyah & Atmojo 2001). Secara umum, cara penilaian mutu gizi asupan pangan adalah dengan membagi antara tingkat kecukupan zat gizi tertentu dengan jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian mutu gizi asupan pangan.