II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Air Baku Pengertian air bersih menurut Permenkes RI No 416/Menkes/PER/IX/1990 adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan dapat diminum setelah dimasak. Air baku adalah air yang digunakan sebagai sumber/bahan baku dalam penyediaan air bersih. Sumber air baku yang dapat digunakan untuk penyediaan air bersih yaitu air hujan, air permukaan (air sungai, air danau/rawa), air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam, mata air) (Sutrisno, 2002). Standar kualitas air bersih yang ada di Indonesia saat ini menggunakan Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat–Syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sedangkan standar kualitas air baku diatur dalam PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990, air dibagi menjadi empat golongan yaitu: Golongan A : Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu; Golongan B : Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum; Golongan C : Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan; Golongan D : Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990, juga terdapat standar baku muku dari setiap golongan. Standar baku mutu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Salah satu sumber air baku yaitu air permukaan, air permukaan seperti air sungai, air rawa, air danau, air irigasi, air laut dan sebagainya adalah merupakan sumber air yang dapat dipakai sebagai bahan air bersih dan air minum tetapi perlu pengolahan. Air permukaan sifatnya sangat mudah terkotori dan tercemar oleh bahan pengotor dan pencemar yang mengapung, melayang, mengendap dan melarut di air permukaan. Karena sifatnya yang demikian maka sebelum digunakan sebagai air bersih, air permukaan perlu diolah terlebih dahulu sampai benar-benar aman dan memenuhi syarat sebagai air bersih. Hal-hal yang mempengaruhi kualitas air bersih ataupun air baku adalah pencemaran air baik pencemar berupa padatan maupun komponen organik yang dapat menimbukan penampakan fisik, bau, dan reaksi kimia yang tidak diinginkan. Definisi pencemaran air menurut surat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-02/ MENKLH/I/1988 tentang penetapan baku mutu lingkungan adalah : masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air bersih menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (pasal 1). Limbah rumah tangga cair merupakan salah satu sumber pencemaran air. Dari limbah rumah tangga cair dapat dijumpai berbagai bahan organik (misal sisa sayur, ikan, nasi, minyak, air buangan manusia) yang terbawa air got/parit, kemudian ikut aliran sungai. Adapula bahan-bahan anorganik seperti plastik, alumunium, dan botol yang hanyut terbawa arus air. Sampah bertimbun, menyumbat saluran air, dan mengakibatkan banjir. Bahan
pencemar lain dari limbah rumah tangga adalah pencemar biologis berupa bibit penyakit, bakteri, dan jamur. Bahan organik yang larut dalam air akan mengalami penguraian dan pembusukan. Akibatnya kadar oksigen dalam air turun dratis sehingga biota air akan mati. Jika pencemaran bahan organik meningkat, maka di dalam air tersebut dapat ditemui cacing Tubifex berwarna kemerahan bergerombol. Cacing ini merupakan petunjuk biologis (bioindikator) parahnya pencemaran oleh bahan organik dari limbah pemukiman. Dikotakota, air got berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau yang menyengat. Di dalam air got yang demikian tidak ada organisme hidup kecuali bakteri dan jamur. Dibandingkan dengan limbah industri, limbah rumah tangga di daerah perkotaan di Indonesia mencapai 60% dari seluruh limbah yang ada. Sebagian industri membuang limbahnya ke aliran air. Jenis polutan yang dihasilkan tergantung pada jenis industri. Mungkin berupa polutan organik (berbau busuk), polutan anorganik (berbuih, berwarna), atau mungkin berupa polutan yang mengandung asam belerang (berbau busuk), atau berupa suhu (air menjadi panas). Pemerintah menetapkan tata aturan untuk mengendalikan pencemaran air oleh limbah industri. Misalnya, limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai agar tidak terjadi pencemaran. Sebagian penduduk dan nelayan ada yang menggunakan tuba (racun dari tumbuhan atau potas (racun) untuk menangkap ikan tangkapan, melainkan juga semua biota air. Racun tersebut tidak hanya hewan-hewan dewasa, tetapi juga hewan-hewan yang masih kecil. Dengan demikian racun yang disebarkan akan memusnahkan jenis makluk hidup yang ada didalamnya. Kegiatan penangkapan ikan dengan cara tersebut mengakibatkan pencemaran di lingkungan perairan dan menurunkan sumber daya perairan. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air antara lain : 1. Terganggunya kehidupan organisme air karena berkurangnya kandungan oksigen. 2. Terjadinya ledakan populasi ganggang dan tumbuhan air (eutrofikasi) 3. Pendangkalan Dasar perairan. 4. Punahnya biota air, misalnya ikan, yuyu, udang, dan serangga air. 5. Munculnya banjir akibat got tersumbat sampah. 6. Menjalarnya wabah muntaber. Limbah cair memiliki tiga karakteristik yaitu karakteristik fisik, kimia, dan biologi. Adapaun karakter fisiknya antara lain : 1. Karakteristik fisik Karakteristik fisik ini terdiri dari beberapa parameter, diantaranya : a. Total Suspended Solid (TSS) Merupakan jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto, 1987). b. Warna Pada dasarnya air bersih tidak berwarna, tetapi seiring dengan waktu dan menigkatnya kondisi anaerob, warna limbah berubah dari yang abu–abu menjadi kehitaman. c. Kekeruhan Kekeruhan disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik. d. Temperatur
Merupakan parameter yang sangat penting dikarenakan efeknya terhadap reaksi kimia, laju reaksi, kehidupan organisme air dan penggunaan air untuk berbagai aktivitas sehari-hari. e. Bau Disebabkan oleh udara yang dihasilkan pada proses dekomposisi materi atau penambahan substansi pada limbah. 2. Karateristik Kimia a. Biological Oxygen Demand (BOD) Menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan–bahan buangan di dalam air b. Chemical Oxygen Demand (COD) Merupakan jumlah kebutuhan oksigen dalam air untuk proses reaksi secara kimia guna menguraikan unsur pencemar yang ada. COD dinyatakan dalam ppm (part per milion) atau mL O2/ liter (Alaerts, 1984). c. Dissolved Oxygen (DO) Adalah kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi aerob mikroorganisme. DO di dalam air sangat tergantung pada temperatur dan salinitas. d. Ammonia (NH3) Ammonia adalah penyebab iritasi dan korosi, meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan mengganggu proses desinfeksi dengan chlor (Soemirat, 1994). Ammonia terdapat dalam larutan dan dapat berupa senyawa ion ammonium atau ammonia. tergantung pada pH larutan. e. Derajat keasaman (pH) pH dapat mempengaruhi kehidupan biologi dalam air. Bila terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mematikan kehidupan mikroorganisme, pH normal untuk kehidupan air adalah 6-8. f. Logam Berat Logam berat bila konsentrasinya berlebih dapat bersifat toksik sehingga diperlukan pengukuran dan pengolahan limbah yang mengandung logam berat. 3. Karateristik Biologi Karakteristik biologi digunakan untuk mengukur kualitas air terutama air yang dikonsumsi sebagai air minum dan air bersih. Parameter yang biasa digunakan adalah banyaknya mikroorganisme yang terkandung dalam air limbah. Pada umumnya pengolahan air bersih menggunakan cara koagulasi-flokulasi dengan menggunakan tawas atau PAC (Poly Aluminium Chloride). Saat ini PAC lebih sering digunakan sebagai bahan koagulan dibandingkan tawas karena harganya lebih murah dan tingkat koagulasi (hasil endapan) lebih baik. Penggunaan koagulan ini sangat efektif dalam peningkatan kualitas air bila dilihat dari karakteristik fisiknya. Zat organik dalam air dapat disisihkan secara biologi, dengan beberapa variable yang berpengaruh antara lain jumlah oksigen terlarut, waktu kontak, senyawa pengganggu (inhibitora), jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton, 1994). Bahan-bahan organik akan dirubah menjadi produk-produk akhir yang relatif lebih stabil dan sifatnya akan disintesis menjadi mikroba baru. Mekanisme penguraian senyawa organik pada kondisi aerob secara umum dapat dilihat dari persamaan berikut:
Mikroorganisme Bahan organik + O2
CO2 + H2O + Energi Sel-sel baru
Sumber: Bitton, 1994 Oksidasi biologis biasa terjadi di dalam limbah organik pada saluran air atau limbah industri, dan limbah cair lainnya, bahan organik merupakan komponen yang dibutuhkan untuk konsumsi mikroorganisme heterotropik, sebagian besar berupa bakteri atau fungi. Bagian yang terkandung dalam limbah cair ini dapat digunakan seperti bahan bakar pada proses respirasi (metabolisme) dan kemudian dipecah menjadi gas CO 2, air dan hasil pengolahan lainnya. Kumpulan mikroorganisme ini harus dihilangkan dari air sebelum air keluar ke aliran air seperti sungai (Gomes, 2009).
2.2
TEKNOLOGI FIXED BED REAKTOR Dalam proses pengolahan air yang mengandung polutan senyawa organik, teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik polutan tersebut (Miwa, 1991). Fixed bed reactor didefinisikan sebagai suatu tube silindrikal yang dapat diisi dengan partikel-partikel katalis. Selama operasi, gas atau liquid atau keduanya akan melewati tube dan partikel-partikel katalis, sehingga akan terjadi reaksi, baik reksi kimia maupun raksi biologis (Elma, 2010). Katalisator disini digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Cara penanganan limbah dengan bantuan bahan pengendali biologis sangat efektif dan tidak membahayakan perairan maupun mencemari perairan. Fixed bed reactor biasanya terdiri dari katalis partikel padat (stationary solid catalyst particle) yang bereaksi dengan aliran fluida. Aliran fluida bisa berupa gas atau liquid (atau campuran keduanya) (Elma, 2010). Keuntungan penggunaan reaktor fixed bed, antara lain relatif stabil terhadap perubahan kualitas influent dan keberadaan senyawa toksik, konsentrasi biomassa yang tinggi dan waktu retensi solid yang panjang dapat dicapai, mudah dalam proses aklimatisasi dan mampu mengatasi influen limbah yang bervariasi tanpa kesalahan proses (Umana et al., 2008). Biofilm heterogen biasa tumbuh di dalam media yang digunakan bioreaktor. Biofilm tersebut dapat menyebabkan korosif bila berada di air permukaan, namun pada bioreaktorbioereaktor tertentu biofim ini menjadi sesuatu yang menguntungkan seperti pada bioreaktor trickling filters, submerged, aerated fixed bed reactors, dan rotating disc reactors (Wiesmann et al., 2007). Fixed bed reactor beroperasi secara aerobik dimana pada area bawah reaktor terdapat aerator, fixed bed reactor ini memproduksi aliran dua fase pada sistem tiga fase dengan aliran naik ke atas (up flow). Biomassa yang terdapat dalam bioreaktor ini dapat melekat pada permukaan media dan juga tersuspensi didalam air seperti flok. Hal yang tidak mudah untuk menghindari hambatan pada daerah biofilm yang memiliki ketebalan yang besar dan dengan laju alir yang rendah. Sehingga fixed bed reactor harus dibersihkan sewaktu-waktu dengan meningkatkan laju alir air (Schulz dan Menningmann 1999). Gambaran umum dari model fixed bed reactor terendam dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Aerated Fixed Bed Reactor Terendam (Sumber: Schulz dan Menningmann 1999). Dalam rangka meningkatkan efisiensi penyisihan bahan organik dan kotoran yang berada dalam air (influent) dibutuhkan laju bioreaksi yang rendah dalam reaktor yang memiliki biofilm di dalamnya sehingga dibutuhkan juga laju substrat yang rendah. Tujuan lainnya yaitu untuk mengontrol kestabilan biofilm karena adanya aliran air ke dalam biofilm tersebut (Martinov et al., 2010). Menurut Blackwell (2010), energi yang digunakan pada bioreaktor dengan sistem aerasi (sehingga terbentuk gas dalam CO 2) dalam pengolahan limbah cair memiliki empat fungsi utama, yaitu untuk menghilangkan karbon (senyawa organik), proses nitrifikasi, menghillangkan phosphor, pencuci hama, menghilangkan kotoran berupa mikroorganisme.
2.3
Media Batu Apung Batu apung (pumice) adalah jenis batuan yang berwarna terang, mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas, dan biasanya disebut juga sebagai batuan gelas volkanik silikat. Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunung api yang mengeluarkan materialnya ke udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik. Batu apung mempunyai sifat vesicular yang tinggi, mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih gas alam yang terkandung di dalamnya, dan pada umumnya terdapat sebagai bahan lepas atau fragmen-fragmen dalam breksi gunung api (Fauzi, 2010). Menurut dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara (2009) komposisi kimia dari batu apung adalah sebagai berikut : CaO = 2,86 %, MgO = 2,57 %, Al 2O3 = 17,59 %, SiO2 = 60,56 %, Fe2O3 = 4.08 %. Gambar 2 ini menggambarkan bentuk fisik dari batu apung.
Gambar 2. Batu apung Secara mikroskopis batu apung dapat terlihat seperti pada Gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3. Batu Apung Secara Mikroskopis (sumber: Kitis et al., 2005) Batu apung (pumice) berwarna putih abu-abu, kekuningan sampai merah, tekstur vesikuler dengan ukuran lubang yang bervariasi baik berhubungan satu sama lain atau tidak struktur skorious dengan lubang yang terorientasi. Kadang-kadang lubang tersebut terisi oleh zeolit atau kalsit. Batuan ini tahan terhadap pembekuan embun (frost), tidak begitu higroskopis (mengisap air). Mempunyai sifat pengantar panas yang rendah dan bersifat
hidrolisis. Kekuatan tekan antara 30-20 kg/cm2. Komposisi utama mineral silikat amorf (http://www.senyawa.com) Batu apung juga bersifat ringan, porositas tinggi (volume pori-pori mencapai 85%) dan merupakan batu volkanik. Partikel batu apung hampir serupa dengan spons, yang terdiri dari suatu jaringan yang tidak beraturan dan berpori-pori didalamnya, beberapa pori-pori diantaranya tidak saling berhubungan dan langsung terbuka ke permukaan batu apung, dan pori-pori lainnya terisolasi di dalam partikel tersebut (Wesley, 2001). Kegunaan utama batu apung biasanya dijadikan bahan bangunan. Aplikasi terbesar lainnya dari batu apung yaitu dijadikan bahan abrasif, penyerap, campuran pembuatan beton dengan berat ringan, penyaring (filter), di bidang pertanian (landscape), dan dapat juga digunakan sebagai alat pembersih pakaian (Bolen, 2003). Batu apung yang dihancurkan dan kemudian disaring juga digunakan sebagai bahan perekat dinding seperti semen, industri plastik, menyemir batu-batu perak, kosmetik, krim muka, bahan tambahan sabun, dan lainlain. Tingginya porositas pada batu apung dan kaya akan kandungan silika, aluminium, dan zeolit alami mengakibatkan batu apung dapat dijadikan bahan katalis pada reaksi yang membutuhkan aktivitas terpusat atau sebagai katalisator logam dalam reaksi isomerisasi dan hidrogenasi (Brito et al., 2004). Oleh karena itu, batu apung dapat digunakan sebagai bahan pendukung katalisator logam (seperti nickel, palladium, copper–palladium, silver, platinum, and rhodium), yang digunakan dalam reaksi hidrogenasi pada berbagai senyawa seperti CO, alkadienes and alkynes, phenylacetylene, but-1-ene, hidrokarbon tak jenuh, nitrat, nitrit, dan untuk hidroisomerisasi pada n-pentana (Deganello et al., 1994) Batu apung sebagian besar juga dijadikan bahan penyerap, media filtrasi, dan media tempat terbentuknya biofilm. Batu apung dapat digunakan dengan baik untuk filtrasi perlahan sebagai media menyisihkan zat patogen dari air irigasi dan dengan biaya yang rendah bagi bidang pertanian. (Wohanka et al., 1999). Batu apung juga potensial digunakan sebagai alat penyaring dan menurunkan tingkat kekeruhan dengan kondisi filtrasi cepat (Farizoglu et al., 2003). Batu apung merupakan material yang sangat baik digunakan dalam bioreaktor dan membutuhkan lebih sedikit energi dibandingkan material pasir (Balaguer et al., 1997). Fixed bed reactor dapat dioperasikan dengan menggunakan mikroorganisme heterotropik yang diimobilisasi dalam batu apung sebagai bahan pengisi (Karagozoglu et al., 2002). Batu apung juga dapat digunakan sebagai penyerap minyak dan lemak dan phosphor (Njau et al., 2003). Biofilm merupakan ekosistem kecil biasanya terdiri dari tiga lapisan dengan ketebalan yang berbeda-beda, perubahan ketebalan tersebut dipengaruhi lokasi dan lama waktu. Material seperti substrat dan oksigen diubah menjadi biofilm melalui proses difusi dan konveksi, produk dari proses tersebut diubah menjadi biofilm. Oksigen lebih banyak terdapat dibagian atau lapisan terluar biofilm, sehingga dilapisan tersebut ditumbuhi mikroorganisme aerobik seperti bakteri nitrifikasi dan protozoa. Nitrat dan nitrit dihasilkan di lapisan aerobik ini dan akan berkurang pada lapisan anoksik yaitu lapisan tengah, sehingga dilapisan bagian dalam terbentuk zona anaerobik, dimana pada lapisan ini asam asetat dan sulfat menjadi berkurang atau terdegradasi (Marshall dan Blainey, 1991), skema umum biofilm dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Model biofilm (sumber: Marshall dan Blainey, 1991) Bentuk dari struktur biofilm telah beralih dari masa lalu. Pada awalnya biofilm dikira mempunyai satu struktur yang homogen yang diselimuti substrat seperti lapisan film (Gambar 5). Gambar ini didapat dengan mikroskop beresolusi cahaya rendah dan scanning electron microscopy (SEM). Gambar dengan struktur biofilm homogen merupakan model biofilm dengan pendekatan rangkaian.
Gambar 5. Skema Dari Biofilm Heterogen (pendekatan rangkaian) Pada pendekatan rangkaian ini diasumsikan bahwa biomass terdistribusi rata pada biofilm. Sehingga dasar model biofilm merupakan pendekatan dari sekumpulan rangkaian yang membentuk satu dimensi (Dumont et al., 2009). Biofilm ditransformasikan dari sekumpulan air/ cairan menjadi suatu permukaan yang berbentuk padatan (lendir) lebih cepat dibandingkan pertumbuhan mikroorganismenya. Sering kali mikroorganisme tidak membentuk lapisan tertutup pada ketebalan seragam, mereka hampir membentuk koloni kecil, yang mungkin menyebar pada perkembangan selanjutnya. Biasanya, sel ini berbekalkan substrat dan oksigen sehingga mampu untuk tumbuh dengan laju maksimum yang dimiliki mikroorganisme tersebut. Selama proses ini, mereka menghasilkan molekul organik, melalui proses difusi pada dinding sel dan kemudian menjadi extracellular polymeric substances (EPS) oleh katalis berupa eksoenzim (Wiesmann et al, 2007)
2.4
Biodegradasi (Penurunan senyawa organik dan Proses Nitrifikasi) Salah satu penjelasan mengenai peningkatan aktivitas biodegradasi yaitu dimulai dengan peningkatan jumlah dari konsentrasi biomassa dalam pertumbuhan sistem. Aktivitas yang tinggi ini juga dilengkapi untuk meningkatkan konsentrasi dari nutrien yang melekat di dalam biofilm. (Madigan et al., 1997). Pengolahan limbah secara biologis terutama dimaksudkan untuk menyisihkan zat-zat organik yang terlarut dan yang koloid tetapi zat organik yang tersuspensi juga dapat tersisihkan dalam proses ini. Bahan organik tersebut dikonversi menjadi massa mikroorganisme (biomassa) dan karena sifatnya biomassa ini mengalami bioflokulasi yang dapat dipisahkan dengan pengendapan ( Liao et al., 2001). Sehubungan dengan bentuknya yang berlumpur, biofilm tersebut menjerab zat partikulat dari pengolahan air, jadi konsentrasi nutrien dalam biofilm biasanya lebih tinggi dibandingkan air yang bebas dari kandungan organik. Tingginya konsentrasi nutrien dapat menyebabkan tinggi pula laju pertumbuhan mikroorganisme dan mempertinggi aktivitas degradasi. Penjelasan mengenai peningkatan aktivitas biodegradasi lainnya dapat dilihat dari perbedaan fisik antara lekatan dan suspensi mikroorganisme. Perbedaan ini dapat menunjukkan kecepatan laju pertumbuhan, aktivitas metabolik yang meningkat, dan hambatan besar atau keracunan (Cohen, 2000). Menurut Bitton (1994), mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 6.
N2 CO2
H2O H2S
O2
Gambar 6. Mekanisme metabolisme di dalam biofilm Gambar 6 menunjukkan suatu sistem metabolisme yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada pada medium, lapisan air yang diolah dan
lapisan udara yang terletak di luar. Senyawa polutan yang ada di dalam air seperti amonium, nitrat, phospor, dan senyawa organik lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomassa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni melalui kontak dengan udara luar, pada sistem trickling filter dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem fixed bed reactor tercelup dengan mengunakan blower udara dan dibantu dengan pompa sirkulasi. Di dalam proses biologis ini apabila lapisan biofilm cukup tenang maka pada bagian luar lapisan biofilm akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S,dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh baktri sulfat yang ada di dalam biofilm. Pada zona aerobik, nitrogen-amonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat kemudian pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Dalam proses biologis terjadi kondisi aerobik dan anaerobik pada saar bersamaan, oleh karena itu dengan sistem biofilm ini proses penyisihan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah (Bitton, 1994). Menurut Metcalf dan Eddy (2003) proses metabolisme pada mikroorganisme adalah sebagai berikut: Oksidasi COHNS + O2 + bakteri CO2 + NH3 + produk + energy akhir (Materi organik) Sintesa COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2 (Materi organik) Respirasi C5H7NO2 + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2H2O + energi Pelczar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologi efektif dalam menyisihkan bahan-bahan organik. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi proses pengolahan antara lain: 1. Suhu (temperatur) air Suhu optimal antara 20oC-30oC dan efisiensi pengolahan akan berkurang pada temperature yang lebih rendah atau lebih tinggi. 2. Nilai pH Nilai pH optimal antara 7-7,5 3. Oksigen terlarut Oksidasi dan penguraian dari zat-zat organik, nitrifikasi amoniak dengan mikroorganisme membutuhkan oksigen (DO >1 mg/L), sehingga apabila menginginkan efisiensi lebih tinggi perlu ditambahkan aerasi atau suplai udara. 4. Penghambat Kehadiran dari beberapa pencemar seperti logam berat, minyak, zat organik berbahaya, tanah dan pasir halus yang tersuspensi menutup lapisan biofilm dapat menghambat aktivitas biologis. Sehingga efisiensi pengolahan berkurang. 5. Frekuensi kontak
Frekuensi kontak dapat diartikan sebagai kapasitas pengolahan per unit luas permukaan biofilm. Frekuensi kontak antara air yang akan diolah dengan biofilm semakin tinggi maka efisiensi penyisihan akan meningkat. Pengolahan air secara aerob dalam mengurangi kandungan bahan organiknya secara umum dapat berjalan dengan baik bila kondisi sekitar memiliki pH antara 6.5 sampai 9.0 dan dengan temperatur antara 3-4oC hingga 60- 70°C (bakteri mesophilic digantikanoleh bakteri thermophilic pada temperatur berkisar 35°C) (Technical Learning Collage, 2003). Secara luas bahan organik lebih mudah diurai secara oksidasi aerobik dibandingkan cara penguraian lainnya. Faktanya, cara oksidasi aerobik ini mebutuhkan energi yang sangat rendah, sehingga produk akhirnya lebih stabil dan baik (seperti menyisihkan bahan organik tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan atau suatu gangguan kondisi), dapat dicapai pada sistem oksidasi lainnya. Karena sebagian besar energi dihabiskan dalam proses oksidasi aerobik, hampir semua organisme aerobik mampu tumbuh dengan cepat. Akibatnya, ada produksi sel baru yang lebih luas dibandingkan dengan sistem oksidasi lainnya. Hal ini dapat diartikan banyak sel biologis yang dihasilkan. (Davis, 2010) Penyisihan substrat secara cepat terjadi pada proses kontak karena adanya penyimpanan, baik dalam bentuk partikel flok (ketika substrat dalam bentuk koloid atau partikulat) maupun ketika substrat dalam bentuk terlarut, padatan biologis aktif mengsorbsi zat organik tersuspensi dan zat- zat organik terlarut, dan padatan biologis aktif kemudian dipisahkan dari air limbah yang sudah diolah. Ketika lumpur direaerasi dalam proses stabilisasi, produk simpanan akan dimetabolisme dan replikasi sel terjadi yang akan digunakan kemudian untuk penyimpanan lebih banyak substrat pada tangki kontak (Hadiwidodo dan Junaidi, 2007) Parameter pH dan TSS (total suspended solids), juga berperanan penting dalam baku mutu limbah, yang lebih lanjut juga berarti berperan penting dalam penentuan tingkat pencemaran perairan. Dari nilai pH akan dapat diketahui apakah telah terjadi perubahan sifat asam-basa perairan dari nilai pH alaminya, bila nilainya lebih tinggi lebih dari satu unit di atas normal berarti perairan menjadi terlalu basa, sebaliknya bila terjadi penurunan maka perairan menjadi terlalu asam. Bila ini terjadi, selain mengganggu biota atau ekosistem perairan, juga akan mengurangi nilai guna air. Demikian juga TSS, bila nilainya meningkat cukup signifikan, perairan akan tampak keruh dan terkesan kotor sehingga tentu saja mengurangi daya guna airnya. (Hariyadi, 2004) Sungai dan muara dapat meningkatkan konsentrasi nitrat karena masukkan anthropogenic di dasar air (Boynton dan Kemp, 2008). Sejauh ini, nilai nitrat tertinggi biasa ditemukan di daerah perkotaan dan daerah pertanian yang dipengaruhi sungai sekitarnya, dimana konsentrasinya dapat meningkat hingga 21.000 μg N/L. Nitrat secara relatif ditemukan dalam konsentrasi rendah karena nitrat merupakan suatu senyawa perantara dalam proses kation nitirifikasi dan kation denitrifikasi (Mc Graw, 2010) Hasil dari penyisihan fenol membentuk trend yang sama dengan penyisihan COD atau bahan organik lainnya seperti KMnO4 pada limbah cair. Laju penyisihan phenol meningkat secara signifikan setelah asetat habis terdegradasi. Dengan demikian, phenol pada limbah cair akan dihilangkan secara efektif dengan menggunakan biomassa yang telah beradaptasi pada bioreaktor koninyu (Bajaj et al., 2008).
2.5 Pemakaian Bahan Koagulan PAC (Poly Aluminium Chloride) merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk mengikat padatan baik yang tersuspensi maupun terlarut dan kemudian membentuk flok, sehingga bobot padatan tersebut bertambah dan akhirnya turun bersama koagulan tersebut, proses ini biasa disebut dengan proses koagulasi. PAC menghasilkan proses koagulasiflokulasi yang sangat baik bila dibandingkan dengan Al 2(SO4)3 atau sering disebut tawas dalam beberapa kasus pengilahan sungai yang berwarna kuning atau cukup keruh. PAC secara efektif dapat menurunkan konsentrasi monomer AL terlarut (Yang et al., 2010). Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini menunjukkan perbandingan antara pemakai PAC dan alum atau tawas. Tabel 1. Dua eksperimen dengan dua jenis koagulan (Sumber: Ghafari et al., 2009) PAC Run no. Experimental design A: dosage* (code) B: pH (code) 1 1.00[-1] 6.50:-1) 2 0.00[+1] 6.50:-1) 3 1.00[-1] 6.50:+1) 4 0.00[+1] 6.50:+1) 5 1.50[0.3] 7.50:0) 6 2.50[+0.5] 7.50:0) 7 2.00[0] 7.00:-0.5) 8 2.00[0] 8.00:0.5) 9 2.00[0] 7.50:0) 10 2.00[0] 7.50:0) 11 2.00[0] 7.50:0) 12 2.00[0] 7.50:0) 13 2.00[0] 7.50:0) * Unit dosage: g/L
Result (removal (%)) COD Turbidity Color 26.7 47 46.8 28.5 50.4 42.3 17.8 53.8 49.2 19.6 64.2 32 34.8 81.5 80 32.9 85.1 87.6 37.2 82.3 80 32.6 80.7 78.6 43.4 96.3 91.6 42.1 93 87.2 46.7 98.4 94 48.3 97.2 95.2 51.5 95 94.6
TSS 44.8 48.2 65.1 56.1 77.3 82.3 79.7 80.7 90.6 96.3 95.6 89.3 94.9
Alum Experimental design A: dosage* (code) B: pH (code) 9.00[-1] 6.0[-1] 10.00[+1] 6.0[-1] 9.00[-1] 8.0[+1] 10.00[+1] 8.0[+1] 9.25[0.5] 7.0[0] 9.75[+0.5] 7.0[0] 9.50[0] 6.5[-0.5] 9.50[0] 7.5[0.5] 9.50[0] 7.0[0] 9.50[0] 7.0[0] 9.50[0] 7.0[0] 9.50[0] 7.0[0] 9.50[0] 7.0[0]
Result (removal (%)) COD Turbidity Color 42.7 72.3 56.1 63.5 92.8 87.8 57.8 76 70.8 40.3 79.3 69.2 55.7 85.3 70 56.7 85.3 86 65.3 85.9 82.2 42.3 78.6 67.5 63.3 88.3 86.9 31.2 65.8 54.3 65.8 64.7 62.6 69.4 89.6 88.1 52 75.7 72.9
TSS 80.2 90.3 88.6 81.2 87.5 86 94.1 82.5 88 79.3 64.5 89.9 86.3
Tabel 2. Nilai minimun koagulan yang diizinkan dalam identifikasi kondisi optimum (Sumber: Ghafari et al., 2009) Coagulant
Minimum removal COD (%)
Turbidity (%)
Color (%)
TSS (%)
PAC
42
90
90
90
Alum
62
85
85
90
Poly Aluminum Chloride (PAC) merupakan salah satu koagulan yang digunakan untuk pengolahan air dan juga air limbah. Standar nasional China dalam penggunaan PAC, dimana konsentrasi yang terkandung pada larutan besi dan logam berat dari PAC harus dikontrol dengan ketat, kemudian diteliti jumlah PAC yang dibutuhkan untuk pemurnian. Pada lembar standar penggunaan PAC di China untuk mendapatkan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu mengandung aluminum oxide (>10%), high basicity (>90%), dan zat kimia terlarut (<0.04%), besi (<300mg/L) dan logam berat. (Li et al., 2010)