BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Baku Pisang merupakan tanaman asli daerah asia tenggara termasuk Indonesia. Nama latinnya adalah Musa Paradisiaca. Nama ini diberikan sejak sebelum masehi, diambil dari nama dokter kaisar Romawi Octavianus Augustus (63 SM – 14 M) yang bernama Antonius Musa (Munadjim,1988). Pisang merupakan tanaman hortikultura yang penting karena potensi produksinya yang cukup besar dan produksi pisang berlangsung tanpa mengenal musim. Sejak lama pisang sudah dikenal sebagai buah yang lezat dan berkhasiat bagi kesehatan, karena pisang mengandung gizi sangat baik, antara lain menyediakan energi cukup tinggi dibanding dengan buah-buahan lain. Walaupun demikian, pemanfaatan pisang masih terbatas. Selain dapat dimakan langsung sebagai buah segar, pisang juga dapat diolah dalam keadaan mentah maupun matang. Pisang mentah dapat diolah menjadi gaplek, tepung dan keripik, sedangkan pisang matang dapat diolah menjadi anggur, sari buah, pisang goreng, pisang rebus, kolak, getuk dan lain sebagainya. Dalam proses pengolahan buah pisang seperti disebutkan diatas tentunya terdapat limbah kulit pisang. Masyarakat pedesaan memanfaatkan kulit pisang sebagai pakan ternak. Padahal kulit pisang mengandung 18,90 g karbohidrat pada setiap 100 g bahan (Susanto dan Saneto,1994). Karbohidrat tersebut yang nantinya akan diubah menjadi alcohol. Untuk mengurangi limbah kulit pisang dan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini kulit pisang dapat difermentasi menjadi minuman. Caranya kulit pisang diolah dengan bantuan Saccharomyces Cereviciaea (Lintal Muna, 2007). Amilum atau dalam bahasa sehari-hari disebut pati terdapat dalam berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang disimpan dalam akar, batang buah, kulit, dan biji sebagai cadangan makanan. Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuh-tumbuhan, misalnya ketela pohon, pisang, jagung,dan lain-lain (Poedjiadi A, 1994).
4
5
Hidrolisa adalah proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-unit monomer gula. Hidrolisa dapat dibagi atas dua cara, yaitu hidrolisa dengan katalis asam dan hidrolisa dengan enzimatis (Saraswati, 1982). Menurut Junk dan Pancoast (1980), hidrolisa pati dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu hidrolisa dengan katalis asam, kombinasi asam dan enzim, dan kombinasi enzim dan enzim. Secara umum proses kimia yang terjadi pada hidrolisa karbohidrat terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Proses Hidrolisa Karbohidrat menjadi Glukosa (Pancoast dan Junk, 1980)
Granula pati mengandung amylose dan amylopectin, dapat dilepaskan dengan penggilingan mekanis. Pati merupakan polimer glukosa dengan 2 komponen utama yaitu amylose, polimer linier dari glukosa dengan ikatan α 1-4 dan amylopectin, rantai cabang dengan α 1-6 pada titik percabangannya (Najafpour dan Lim, 2002). Struktur kimia amylose dan amylopectin ditampilkan pada gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Strukur kimia amylose
Gambar 3. Struktur kimia amylopectin
6
Karbohidrat tersebut diurai terlebih dahulu melalui proses liquifikasi dan sakarifikasi kemudian di fermentasi dengan menggunakan Saccharomyces cereviseae menjadi etanol. Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut dalam bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar 99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan dari fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Komposisi limbah kulit pisang ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Limbah Kulit Pisang (100 gr) Unsur Air Karbohidrat Lemak Protein Kalsium Pospor Besi Vitamin B Vitamin C
Komposisi 69,80% 18,50% 2,11% 0,32% 715mg/100gr 117mg/100gr 0,6mg/100gr 0,12mg/100gr 17,5mg/100gr
Sumber: (Anynomous, 1978)
Bioetanol diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). 2.2. Mikroogranisme pada fermentasi Alkohol dapat diproduksi dari beberapa bahan secara fermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi terdiri dari yeast (ragi), khamir, jamur, dan bakteri. Saccharomyces cereviseae merupakan mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi alkohol secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur. Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cereviseae dapat memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi pada kadar alcohol yang tinggi. Kadar alcohol yang dihasilkan sebesar 8-20% pada kondisi optimum.
7
Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil, tidak berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan malah mudah dalam pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat tahan pada kadar alkohol yang tinggi (Sudarmadji K., 1989). Saccharomyces adalah genus dalam kerajaan jamur yang mencakup banyak jenis ragi. Saccharomyces berasal dari bahasa latin yang berarti gula jamur. Banyak anggota dari genus ini dianggap sangat penting dalam produksi makanan, salah satu contohnya adalah Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam pembuatan anggur, roti, dan bir atau alkohol (Fadly, 2000). Jamur Saccharomyces cerevisiae atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama jamur ragi, telah memiliki sejarah dalam industri fermentasi. Jamur ragi ini memiliki kemampuan dalam menghasilkan alkohol, sehingga disebut sebagai mikroorganisme aman (Generally Regarded as Safe) yang paling komersial saat ini (Fadly, 2000). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifani Bestari, Ir. Endro Sutrisno, M.S, Sri Sumiyati, ST, M.Si yang berjudul Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol dari Limbah Kulit Pisang Kepok dan Raja. Kadar bioetanol yang dihasilkan oleh kulit pisang raja dengan ragi 3 gram pada waktu 2, 4, 6, 8 hari pada menghasilkan nilai etanol 9.08%; 10.15%; 12.88%; 13.81% dengan ragi 5 gram menghasilkan 11.05%; 12.10%; 13.20; 15,67% dengan ragi 7 gram 12.90%; 14.08%; 15.62 ;16.55%. Pada kulit pisang kepok dengan ragi 3 gram pada waktu 2, 4, 6, 8 hari pada menghasilkan nilai etanol 8.30%; 12.70%; 15.16%; 16.20% dengan ragi 5 gram menghasilkan 14.50%; 15.12%; 16.77%; 17.08% dengan ragi 7 gram 13.87%; 15.90%; 17.22%; 17.05%. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arifani Bestari, Ir. Endro Sutrisno, M.S, Sri Sumiyati, ST, M.Si yang berjudul Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol dari Limbah Kulit Pisang Kepok dan Raja. Kadar bioetanol tertinggi didapat pada sampel kulit pisang kepok ragi 7 gram pada waktu 8 hari senilai 17.05%. Sedangkan kadar bietanol terkecil didapat pada sampel kulit pisang kepok dengan ragi sebanyak 3 gram pada waktu 2 hari senilai 8.30%.
8
Hal ini dapat disamakan dengan penelitian Dyah (2011) yang dilakukan pada waktu yang berbeda terjadi peningkatan kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi karena bertambah banyak karena aktifitas mikroba mengalami pertumbuhan dengan berkembang biak sehingga alkohol yang dihasilkan bertambah banyak. Pada penelitian kulit pisang kepok dan raja kadar pada saat 3 gram ragi waktu 2 hari hal ini dikarenakan sampel mengalami pada fase lag merupakan penyesuaian mikroba sejak mikroorganisme dengan kondisi pertumbuhan dalam lingkungan yang baru. Pada fase ini terjadi pertumbuhan lambat karena sel mempersiapkan diri melakukan pembelahan (Isra, 2007). Sedangkan pada 7 gram ragi pada hari ke – 8 dengan jenis kulit pisang kepok mengalami pertumbuhan mikroba pada fase statis konsentrasi biomassa mencapai maksimum (Isra, 2007). Pada proses fermentasi akan terjadi perombakan karbohidrat menjadi glukosa dan fruktosa, serta senyawa lainnya. Enzim invertase yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae akan mengubah glukosa menjadi alkohol. Semakin besar ragi dan semakin lama proses fermentasi, maka semakin banyak glukosa yang dirombak menjadi alkohol dan senyawa lainnya (Karlina, 2008). 2.3. Taksonomi Saccaromyces Cerevisiae Saccaromyses cereviseae termasuk dalam kelas Saccharomycetes dan family Saccharomycetaceae. Taksonomi dari Saccaromyces cereviseae adalah sebagai berikut (Hansen, 1838) : Kingdom
: Fungi
Phylum
: Ascomycota
Subphylum
: Saccharomycotina
Kelas
: Saccharomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
Famili
: Saccharomycetaceae
Sub. famili
: Saccharoycoideae
Genus
: Saccharomyces
Species
: S. cerevisiae
9
Saccaromyces cereviseae merupakan organisme uniseluler yang bersifat mikroskopis dan disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk metabolisme. Saccaromyces cerevisiae memiliki sejumlah gula, diantaranya sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, dan maltosa (Assegaf, 2009). Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu mikroorganisme yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4–36ºC (Kartika dkk,1992). Ada beberapa jenis mikroba lain yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan etanol, namun hampir 95% fermentasi melibatkan jenis Saccharomyces cereviceae. Gula jamur ini dipilih karena tahan terhadap konsentrasi asam yang relatif tinggi (Assegaf, 2009). Komposisi kimia S. cerevisiae terdiri atas : protein kasar 50-52%, karbohidrat ; 30-37%; lemak 4-5%; dan mineral 7-8% (REED dan NAGODAWITHANA, 1991). SURIAWIRIA (1990) melaporkan komposisi kimia sel khamir yang hampir sama Tabel 2. Tabel 2. Komposisi sel khamir S. cerevisiae Senyawa
Jumlah (%)
Abu
5,0-9,5
Asam Nukleat
6,0-12,0
Lemak
2,0-6,0
Nitrogen
7,5-8,5
Sumber: SURIAWIRIA (1990)
S. cerevisiae mempunyai beberapa enzim yang mempunyai fungsi penting yaitu intervase, peptidase dan zimase . Enzim peptidase mempunyai 96 gen dan yang homolog inaktif sebanyak 32 (PEPTIDASE, 2004).
10
2.4. Proses Fermentasi Fermentasi berasal dari bahasa latin “Fervere” yang berarti mendidihkan (Muljono, 2002). Fermentasi pada awalnya hanya menunjukkan pada suatu peristiwa alami dalam pembuatan anggur yang menghasilkan buih (ferment berarti buih). Beberapa ahli mendifinisikan kata fermentasi dengan pengertian yang berbeda, adapun beberapa pengertian menurut : -
Fardiaz (1992) Fardiaz mendefinisikan fermentasi sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anerobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat di pecah dalam proses fermentasi terutama karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat di fermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu.
-
Satiawihardja (1992) Mendefinisikan fermentasi dengan suatu proses dimana komponenkomponen kimiawi dihasilkan sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba. Pengertian ini mencakup fermentasi aerob dan anaerob.
Setelah Produk glukosa didapatkan maka langka selanjutnya melakukan proses fermentasi agar menjadi etanol, adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: C6H12O6
Fermentasi
2C2H5OH + 2CO2
Pada tahap ini proses fermentasi dengan menggunakan bantuan ragi (yeast). Reaksi yang dihasilkan bersifat eksotermis. Proses fermentasi dijalankan dalam reaktor (fermentor) pada suhu 30 0C, tekanan atmosfer (1 atm), pH 4,5 – 5,5 dengan lama proses fermentasi 48 jam. Selama proses reaksi berjalan digunakan pendingin air, dimana air pendingin dimasukkan dalam coil pendingin untuk menjaga agar suhu reaktor tetap.
11
2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Fermentasi a. Media Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik terutama glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi bioethanol (Prescott and Dunn, 1959). b. Suhu Suhu
optimum
bagi
pertumbuhan
Saccharomyces
cereviseae
dan
o
aktivitasinya adalah 25-35 C. Suhu memegang peranan penting, karena secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas Saccharomyces cereviseae dan secra tidak langsung akan mempengaruhi kadar bioethanol yang dihasilkan (Prescott and Dunn, 1959). Pada penelitian ini pertumbuhan Saccharomyces cereviseae dijaga pada suhu 27oC (Rhonny.A dan Danang J.W, 2003). Menurut Fardiaz (1992) dan Assegaf, F (2009), Saccharomyces cereviseae memiliki kisaran suhu pertumbuhan antara 20-30oC. Hal senada dituliskan Amin J.M. et.al. (2011) bahwa Saccharomyces cereviseae tumbuh optimal pada suhu 28 -32oC dan pH media 4,5 – 4,8. Tetapi Azizah,N.et al (2012),menyatakan bahwa Saccharomyces cereviseae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 30- 35oC dan puncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33oC. c. Volume Starter Volume starter yang ditambahkan 3-7% dari volume media fermentasi. Jumlah volume starter tersebut sangat baik dan efektif untuk fermentasi serta dapat menghasilkan kadar alcohol yang relative tinggi (Monick, J. A., 1968). Penambahan volume starter yang sesuai pada proses fermentasi adalah 5% dari volume fermentasi (Prescott and Dunn, 1959).Volume starter yang terlalu sedikit akan mengakibatkan produktivitas menurun karena menjadi lelah dan keadaan ini memperbesar terjadinya kontaminasi. Peningkatan volume starter akan mempercepat terjadinya fermentasi terutama bila digunakan substrat berkadar tinggi. Tetapi jika volume starter berlebihan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup sehingga tingkat kematian bakteri sangat tinggi.
12
d. pH pH substrat atau media fermentasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
kehidupan
Saccharomyces
cereviseae.
Salah
satu
sifat
Saccharomyces cereviseae adalah bahwa pertumbuhan dapat berlangsung dengan baik pada kondisi pH 4 – 6 (Prescott and Dunn, 1959). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rhonny.A dan Danang J.W., (2003) pH media fermentasi ( filtrat ) dijaga pada kondisi pH 5. e. Waktu Fermentasi Waktu fermentasi yang biasa dilakukan 5-7 hari. Jika waktunya terlalu cepat Saccharomyces cereviseae masih dalam masa pertumbuhan sehingga alcohol yang dihasilkan dalam jumlah sedikit dan jika terlalu lama Saccharomyces cereviseae akan mati maka alcohol yang dihasilkan tidak maksimal (Prescott and Dunn, 1959). Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Diah Restu Setiawati, dkk ,. (2013) Waktu Fermentasi 2 hari menghasilkan bioetanol yang baik sebesar 6,2646%. Sedangkan pada penelitian Retno Dewati, (2008) hasil terbaik dari fermentasi adalah pada 3 hari dengan kadar ethanol 9,06%. f. Konsentrasi gula Hampir semua mikroorganisme dapat memfermentasikan glukosa, fruktosa, sukrosa, dan galaktosa sampai kadar gula optimum, massa sel akan bertambah sesuai dengan kadar oksigen yang tersedia hal ini penting dalam proses pembuatan starter dan ragi roti, konsentrasi gula yang baik antara 10 – 18%, apabila dipergunakan konsentrasi lebih dari 18% akan mengakibatkan pertumbuhan ragi terhambatdan waktu fermentasi lama mengakibatkan banyak gula yang tidak terfermentasi, sehingga hasil alkohol akan rendah begitu jug bila konsentrasi kurang dari 10%, maka alkohol yang dihasilkan juga rendah (D.Syamsul Bahri,1973). Higgins et al. (1984) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang paling baik untuk proses fermentasi adalah 16 - 25%, dimana akan menghasilkan etanol sebesar 6 - 12%. Konsentrasi gula di atas 25% memperlambat fermentasi sedangkan di atas 70% proses fermentasi akan terhenti. Hal ini disebabkan adanya
13
tekanan osmotik (Amerine et al., 1980). Jika konsentrasi gula dalam substrat terlalu tinggi maka etanol yang terbentuk akan menghambat aktivitas khamir, sehingga waktu fermentasi menjadi lebih lama dan efisiensi menjadi rendah, karena tidak semua gula dikonversi menjadi etanol. Konsentrasi gula yang terlalu rendah menjadikan proses tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor tidak efisien. Presscot dan Dunn (1959) mengatakan, pada proses fermentasi anggur, jika konsentrassi terlalu tinggi maka akan dihasilkan kandungan asam menguap yang meningkat. Sedangkan konsentrasi gula terlalu rendah maka akan menghasilkan asetaldehid, gliserol, dan asam-asam mudah menguap lainnya. 2.6. Klasifikasi Berdasarkan Metode Fermentasi Sangjin Ko mengelompokan metode fermentasi menjadi tiga, single step fermentation, independent two-step fermentation, and simultaneous two step fermentation. Karakteristik fermentasi berbeda tergantung pada metodenya: a. Single-step Fermentation Metode ini paling sederhana dibandingkan dua metode yang lain. Yeast langsung dapat menggunakan gula dari buah yang digunakan untuk membuat ragi. b. Independent two-step Fermentation Metode ini memiliki dua tahap fermentasi, karena yeast tidak dapat menggunakan pati secara langsung. Tahap sakarifikasi oleh enzim seperti maltose dibutuhkan sebelum proses fermentasi. Mula-mula pati harus dihidrolisis menjadi maltose oleh enzim, kemudian yeast menggunakan maltose tersebut untuk fermentasi. c. Simultaneous two-step Fermentation Dalam metode ini, proses sakarifikasi dan fermentasi berlangsung bersamaan tidak seperti independent two-step fermentation. Pati tidak dapat digunakan yeast, oleh karena itu amylase berperan dalam memecah karbohidrat bersamaan dengan yeast. Sebagai enzim tambahan, biasanya digunakan ragi tape dan koji. Metode ini dapat menghasilkan ragi yang baik dan lebih sedikit risiko terkontaminasi.
14
2.7. Pertumbuhan Mikrobial Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikroorganisme lain dan biasanya mengacu pada perubahan didalam hasil panen sel (pertambahan total massa sel) dan bukan perubahan individu organisme. Inokulum hampir selalu mengandung ribuan organism; pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya. Tabel 3. Fase Pertumbuhan Fermentasi Fase Pertumbuhan
Ciri - ciri
Lamban ( lag )
Tidak ada pertambahan populasi. Sel
mengalami
perubahan dalam
komposisi kimiawi. Bertambah
ukurannya
substansi
intraselular bertambah. Logaritma atau eksponensial
Sel membelah dengan laju konstan. Massa menjadi dua kali lipat dengan laju sama. Aktivitas metabolik konstan.
Statis
Penumpukan produk beracun dan / atau kehabisan nutrient. Beberapa sel mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah. Jumlah sel hidup menjadi tetap.
Penurunan atau kematian
Sel menjadi mati lebih cepat daripada terbentuknya sel – sel baru. Laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial. Bergantung pada spesiesnya, semua sel mati dalam waktu. Beberapa hari atau beberapa bulan.
15
Selama fase pertumbuhan seimbang (balance growth) pertambahan massa bakteri berbanding lurus (proposional) dengan pertambahan komponen selular yang lain seperti protein. 2.8. Alkohol (Etanol) Etanol adalah etil alkohol atau metil karbonil. rumus kimia etanol adalah C2H5OH, yaitu suatu cairan tak berwarna, bening, mudah menguap, atau berbau merangsang, dan mudah larut dalam air. Alkohol dapat dibuat melalui proses sintesa dan fermentasi (Pringgomulyo dan Wardoyo, 1980). Table 4. Sifat Fisika dan Sifat Kimia Etanol Properti
Nilai
Berat molekul, gr/mol
46,1
Titik beku, oC
-114,1 o
Titik didih normal, C
78,32
Densitas, g/mol
0,7983
Viskositas pada 20oC, mPa.s (Cp) Panas penguapan normal, J/gr o
Panas pembakaran pada 25 C, J/gr Panas jenis pada 25oC, J (gr. oC)
1,17 839,31 29676,6 2,42 106 – 111
Nilai oktan Wujud pada suhu kamar Dicampur dengan Natrium kelarutan dalam air Dapat terbakar
Cair Bereaksi Larut sempurna Ya
Sumber : Kirk- Orthmer, Enncyclopedia of Chemical Technology, vol 9, 1967
Menurut Amerine dan Cruess (1967), selain etanol dan CO2, proses fermentasi juga menghasilkan hasil sampingan yaitu asam laktat, asam piruvat, asetaldehid, asam asetat dan gliserol. Alkohol dapat
dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung pati
dengan menggunakan bantuan dari aktivitas mikroba. Bioethanol merupakan senyawa organik yang mengandung gugus hidroksida dan mempunyai rumus
16
umum CnHn+1OH. Istilah
bioethanol
dalam
industri
digunakan
untuk
senyawa etanol atau etil bioethanol dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol termasuk bioethanol primer yaitu bioethanol yanh gugus hidroksinya terikat pada atom karbon primer. Sifat-sifat bioethanol yang mudah menguap, mudah terbakar, berbau spesifik, cairannya tidak berwarna, dan mudah larut dalam : air, eter, khloroform, dan aseton (Rhonny. A dan Danang J.W., 2003). Standar dan mutu (spesifikasi ) bahan bakar nabati (biofuel) jenis bioetanol sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri yaitu: Tabel 5. Standar dan Mutu Bahan Bakar Nabati No
Sifat
Unit, min/max
Spesifikasi
1
Kadar etanol
%-v, min
99,5 (sebelum denaturasi)
2
Kadar metanol
mg/L, max
300
3
Kadar air
%-v, mix
1
4
Kadar denaturan
%-v, min
2
%-v, max
5
5
Kadar tembaga (Cu)
mg/kg, max
0,1
6
Keasaman sebagai
mg/L, max
30
CH3COOH 7
Tampakan
Jernih dan terang, tidak ada endapan dan kotoran
8
Kadar ion Klorida (Cl)
mg/L, max
40
9
Kandungan Belerang (S)
mg/L, max
50
10
Kadar Getah (gum), dicuci mg/100 ml, max
5,0
11
pH
6,5-9,0
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, BIOFUEL (Jakarta : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral).
2.9. Bioetanol Bioetanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus molekul etanol adalah C2H5OH,sedang rumus empirisnya C2H6O atau rumus bangunnya CH3-CH2-OH. Bioetanol merupakan bagian dari kelompok metil (CH3-) yang terangkai pada
17
kelompok metilen (-CH2-) dan terangkai dengan kelompok hidroksil (-OH). Secara umum akronim dari Bioetanol adalah EtOH (Ethyl-(OH)).
Gambar 4. Rumus Bangun Bioetanol (Fessenden dan Fessenden, 1986). Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya terbarukan. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). 2.10. Manfaat Penggunaan Bioetanol Adapun manfaat bioetanol secara terperinci sebagai berikut (Yani, 2009) 1. Terhadap Mesin Bioetanol menghasilkan nilai oktan yang tinggi dan tingkat kompresi yang tinggi sehingga performa mesin meningkat serta mencegah terjadinya fenomena ketuk (knocking) yaitu penyebab penurunan daya mesin. Bioetanol juga dapat menurunkan kadar emisi gas buang. 2. Terhadap Lingkungan Penggunaan bioetanol atau bahan bakar nabati lainnya akan sangat menguntungkan bagi lingkungan yaitu menurunkan nilai polusi gas buang, seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan particulate matter (PM). 3. Penggunaan lain Bioetanol berkadar rendah dapat dimanfaatkan lebih luas, misalnya sebagai pelarut, untuk bahan campuran kosmetik, proses pengolahan pangan, di bidang kesehatan dan lain-lain.
18
2.11. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Bioetanol Beberapa kelebihan dari penggunaan etanol sebagai bahan bakar yaitu (Hambali dkk, 2007) : -
Diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui (renewable) dan mudah terurai (degradable)
-
Bioetanol mengandung kadar oksigen sekitar 35%, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi rumah kaca
-
Bioetanol memiliki nilai oktan lebih tinggi yaitu 118 sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif
-
Bioetanol bersifat ramah lingkungan, karena gas buangnya terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai
rendah
polutan, seperti
karbon monoksida, nitrogen oksida dan gas-gas rumah kaca -
Pembakaran bioetanol tidak menghasilkan partikel timbal dan benzen yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker)
Kelemahan dari penggunaan etanol sebagai bahan bakar adalah etanol murni yang digunakan pada mesin akan bereaksi dengan karet dan plastik. Etanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi (Haholongan, 2009). 2.12. Alkohol Meter Alat untuk mengukur kadar etanol tersebut juga dikenal dengan nama alkoholmeter atau hydrometer alkohol. Alat ini sebenarnya digunakan dalam industri minuman keras (bir, wine) untuk mengukur kandungan alkohol dalam minuman tersebut. Di bagian atas alkoholmeter tersebut dilengkapi dengan skala yang menunjukkan kadar alkohol. Prinsip kerjanya berdasarkan berat jenis campuran antara alkohol dengan air. Pengunaan alkoholmeter sangat sederhana. Pertama masukkan bioetanol ke dalam gelas ukur atau tabung atau botol yang tingginya lebih panjang dari panjang alkoholmeter. Kemudian masukkan batang alkohlmeter ke dalam gelas ukur. Alkoholmeter akan tenggelam dan batas airnya akan menunjukkan berapa kandungan alkohol di dalam larutan tersebut (Isroi, 2008).
19
Gambar 5. Spesifikasi Alkohol Meter 2.13. Indeks Bias Indeks bias pada medium didefinisikan sebagai perbandingan antara kecepatan cahaya dalam ruang hampa dengan cepat rambat cahaya pada suatu medium (Wikipedia, 2010). Pembiasan cahaya adalah peristiwa penyimpangan atau pembelokan cahaya karena melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya. Pembiasan cahaya dapat terjadi dikarenakan perbedaan laju cahaya pada kedua medium. Laju cahaya pada medium yang rapat lebih kecil dibandingkan dengan laju cahaya pada medium kurang rapat. Menurut Christian Huggeas (1629-1695) “perbandingan laju cahaya ruag hampa dengan cahaya dalam suatu zat dinamakan indeks bias” (Johan, 2008). Refraktometer adalah alat ukur untuk menentukan indeks bias cairan atau padat, bahan transparan dan refractometry. Prinsip pengukuran dapat dibedakan, oleh cayaha, penggembalaan kejadian, total refleksi, ini adalah pembiasan (refraksi) atau reflaksi total cahaya yang digunakan. Sebagai prisma umum menggunakan semua tiga prinsip, satu dengan insdeks bias dikenal (Prisma). Cahaya merambat dalam transisi antara pengukuran prisma dan media sampel (n cairan) dengan kecepatan yang berbeda indeks bias diketahui dari media sampel diukur dengan defleksi cahaya (Wikipedia Commons, 2010). Faktor-faktor penting yang harus diperhitungkan pada semua pengukuran refraksi ialah temperatur cairan dan jarak gelombang cahaya yang dipergunakan untuk mengukur n. Pengaruh temperatur terhadap indeks bias gelas adalah sangat
20
kecil, tetapi cukup besar terhadap cairan dan terhadap kebanyakan bahan plastik yang perlu diketahui indeksnya. Karena pada suhu tinggi kerapatan optik suatu zat itu berkurang, indeks biasnya akan berkurang (Dogra, 1990). 2.14. Penentuan Kadar Glukosa Kadar glukosa = 2.15. Penentuan Persen Yield
% Yield =