2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan
yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik (non polar/yang suka akan minyak/lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air untuk membentuk lapisan tunggal. Gugus hidrofilik surfaktan berada pada fase air dan gugus hidrofobik ke udara dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (hidrofobik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis, kimiawi maupun biokimiawi. Pada umumnya surfaktan digunakan sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan, menurunkan tegangan antarmuka antara fasa minyak dan fasa air.
2.1.1
Bahan baku surfaktan Bahan baku surfaktan dapat terbuat dari sumber nabati yang bersifat dapat
diperbaharui, mudah terurai, tidak mengganggu aktivitas enzim dan proses produksinya yang lebih bersih sehingga sejalan dengan isu lingkungan (Suryani et al. 2002). Flider (2001) menyebutkan bahwa, jutaan ton surfaktan yang berbasis bahan alami digunakan setiap tahunnya pada berbagai aplikasi yang berbeda. Pemakaian surfaktan terbesar adalah untuk aplikasi pembersih dan pencucian, namun surfaktan banyak pula digunakan untuk produk pangan, produk perlindungan hasil panen, pertambangan, cat, coating, pembuatan kertas, sabun dan produkproduk perawatan diri (personal care products). Surfaktan berbasis bahan alami terbagi atas empat kelompok, yaitu (1) berbahan dasar minyak nabati, seperti monogliserida dan digliserida (2) berbahan
6
dasar karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan sorbitol ester (3) berbahan dasar ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin (4) berbahan dasar biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti ramnolipida dan soforolipida (Flider 2001). Rosen (2004) mengatakan bahwa berdasarkan gugus hidrofilik surfaktan terbagi atas empat jenis yaitu : 1. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active).
Sifat hidrofilik disebabkan
karena adanya keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat dan sulfonat.
Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Linier Alkilbenzen
Sulfonat (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES), Metil Ester Sulfonat (MES). 2. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya.
Sifat dari hidrofilik ini, umumnya disebabkan karena adanya
keberadaan garam ammonium. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain lemak amina, amidoamina, diamina, amina oksida, amina etoksilat. 3. Surfaktan nonionik, merupakan jenis surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul.
Sifat hidrofiliknya disebabkan karena adanya
keberadaan gugus eter atau hidroksil. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Alkil Poliglikosida (APG), Dietanol Amida (DEA), sukrosa ester, sorbitol, sorbitol ester, etoksilat alkohol. 4. Surfaktan amfoterik, merupakan jenis surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya. Muatan molekul pada surfaktan jenis ini bergantung pada pH, dimana jika pH rendah akan bermuatan negatif sedangkan jika pH tinggi akan bermuatan positif. Contoh dari surfaktan amfoterik ini antara lain asam amino karboksilik, alkil betain, dan lain-lain. 2.1.2
Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai bahan
dalam formulasi produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik, pemucatan kain tekstil dan herbisida adalah Alkil Poliglikosida (APG). Kebutuhan surfaktan APG Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
7
Tabel 1 Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia Tahun Bobot (kg) Nilai (US $) 2005 16 735 515 29 790 690 2006 15 408 042 26 659 130 2007 14 865 928 28 353 164 2008 17 168 473 42 172 772 2009 18 176 494 38 617 994 Jan-Agust 2010 17 016 995 38 878 278 Sumber : BPS (2010)
Negara Jerman telah menyatakan bahwa surfaktan APG, merupakan surfaktan nomor satu dalam masalah keramahan lingkungan (Indrawanto 2008). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang baik, karena bahan baku pembuatannya dapat diperoleh dari sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui dan juga merupakan bahan yang 100% biodegradable. Hill et al. (2000) menyatakan bahwa proses produksi APG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) secara langsung yaitu dengan satu tahap berupa tahap asetalisasi dengan bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (fatty alcohol) dan (2) dengan cara tidak langsung yang melalui dua tahap yaitu tahap butanolisis dan tahap transasetalisasi, cara ini bahan baku berupa pati dan alkohol lemak (fatty alcohol). Kedua cara ini kemudian dilanjutkan ke tahap pemurnian yaitu proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan sehingga diperoleh surfaktan APG. Penggunaan pati sebagai bahan dasar dalam sintesis surfaktan APG dua tahap, selain ketersediaan pati yang banyak juga biaya bahan baku lebih murah. Namun APG yang dihasilkan berwarna lebih gelap yang diakibatkan oleh proses pencoklatan karena kandungan furfuraldehid pada pati. Wuest et al. (1992) telah mematenkan sintesis surfaktan APG dengan reaksi dua tahap berbahan baku pati. Tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan alkohol rantai lebih panjang C 8 sampai C 22 terutama C 12 sampai C 18 dengan bahan baku alami. Rosen (2004), mengatakan pada umumnya produk-produk komersial yang berupa detergen ataupun produk-produk perawatan diri menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik.
8
Tahap butanolisis dilakukan pada suhu diatas 125 0C, sebaiknya pada 140150 0C. Tekanan pada reaktor sebesar 4-10 bar, sebaiknya 4.5-7 bar dalam zona reaksi tertutup. Tahap transasetalisasi dilakukan pada suhu 100-140 0C, namun sebaiknya pada 110-120 0C dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio mol senyawa sakarida dan air sekitar 1:5 sampai 1:12, sebaiknya 1:6 sampai 1:12, lebih baik 1:6 sampai 1:9, dan lebih khusus lagi dengan ratio mola1:8. Campuran ratio mol pati dan alkohol rantai panjang sekitar 1:1.5 sampai 1:7 atau 1:2.5 sampai 1:7, namun lebih baik lagi dengan ratio mol 1:3 sampai 1:5 (Wuest et al. 1992). Putri (2010) telah melakukan penelitian terhadap karakteristik surfaktan APG dengan menggunakan pati tapioka, yang menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati dan alkohol lemak (fatty alcohol) dengan panjang rantai atom C 10 adalah 1:4.7 dan ratio mol pati tapioka dengan butanol sebesar 1:8.5. Dibawah ini merupakan gambar sintesis surfaktan APG proyeksi Fischer dua tahap (Gambar 1), sedangkan diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2. I
Pati
Butanol
Butil Glikosida
Air
II
Butil Glikosida
Air Alkohol lemak Alkil Poliglikosida Butanol
Air
Keterangan : I. Reaksi pada proses butanolisis II. Reaksi pada proses transasetalisasi
Gambar 1 Sintesis surfaktan APG proyeksi Fischer dua tahap (Schick 1987).
9
Diagram alir sintesis surfaktan APG dapat dilihat pada Gambar 2.
Butanol
Pati
Air
PTSA
BUTANOLISIS
Alkohol lemak TRANSASETALISASI
Butanol dan air
PTSA
NaOH
NETRALISASI
DISTILASI
Alkohol lemak dan air
PELARUTAN
PEMUCATAN
APG
Gambar 2 Diagram alir sintesis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) (Hill et al. 2000).
Buchanan dan Wood 2000, menyatakan tahapan proses APG dengan dua tahap meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut (1) reaksi glikosidasi (reaksi pada butanolisis) menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, (2) transglikosidasi (reaksi pada transasetalisasi) dari butil glikosida dengan alkohol rantai panjang C 8 sampai C 20 menjadi APG, pada proses ini terjadi pemisahan butanol selama reaksinya, (3) netralisasi dari katalis asam, (4) distilasi untuk memisahkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi, (5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk dan (6) isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan, sedangkan untuk proses sintesis APG tahap tunggal meliputi semua
10
langkah dari proses dua tahap, dengan pengecualian langkah (1) dan (2) dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan alkohol rantai panjang. Beberapa formula pun telah dipatenkan pada beberapa kantor paten Amerika (USPTO) dan Eropa (ep. Espacenet). Beberapa aplikasi pemanfaatan surfaktan APG dalam industri produk perawatan diri (Faber 2002) antara lain industri sampo dan kosmetik L’Oreal, Paris (Cauwet dan Dubief 1999), untuk mengurangi dan perawatan rambut rontok (Duranton dan Hansenne 2001), industri sabun transparan (White dan Kinsman 1999), industri tekstil pada proses pemucatan kain untuk meningkatkan keindahan warna kain (Francois et al. 1998), industri pestisida dan herbisida yang ramah lingkungan (Lachut 1996), industri detergen (Balzer dan Luders 1994) dan industri lainnya. Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ini telah melalui pengujian di laboratorium toksikologi dan ekologi dengan hasil yang sangat memuaskan. Surfaktan APG tidak membuat iritasi di mata, kulit dan membran mukosa serta dapat mengurangi efek iritasi yang ditimbulkan karena penggunaan surfaktan lain. Selain itu, APG telah diakui sebagai surfaktan yang ramah lingkungan. Jerman telah mengklasifikasikan surfaktan APG ini, sebagai surfaktan kelas I dalam the German Water Hazard Classification (WGK I), sehingga keamanan surfaktan ini dalam lingkungan tidak perlu diragukan (Hill et al. 2000).
2.1.3
Katalis Pemilihan katalis pada proses sintesis surfaktan APG sangat menentukan
keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesis. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses sintesis surfaktan APG meliputi : 1. Asam anorganik : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll. 2. Asam organik : asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi, dll. 3. Asam dari surfaktan : asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.
11
Dari katalis tersebut diatas, dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat (para-toluene sufonic acid/PTSA). Hal ini dikarenakan katalis tersebut cenderung bersifat dapat terurai oleh lingkungan dan merupakan jenis asam lemah sehingga tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000). Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisis glukosa.
2.2
Produksi surfaktan APG
2.2.1
Bahan baku surfaktan APG
2.2.1.1 Alkohol Lemak (Fatty Alcohol) Alkohol lemak (fatty alcohol) merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alkohol lemak alami, sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai alkohol lemak sintetik (Hill et al. 2000). Pada minyak kelapa sawit, alkohol lemak diperoleh dari minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan jenis alkohol alifatik rantai panjang, yang memiliki panjang rantai atom karbon (C) antara 8 sampai 22 (C 8 sampai C 22 ). Pada umumnya alkohol lemak, bersifat mudah terurai oleh lingkungan dan tidak menimbulkan pencemaran (biodegradable). McCurry et al. (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang diperkenankan dalam sintesis APG adalah dengan panjang rantai atom C 8 -C 22 , namun lebih baik lagi jika menggunakan panjang rantai alkohol lemak C 8 -C 18 . Rosen (2004), mengatakan bahwa umumnya produk-produk komersial yang menggunakan surfaktan APG berbasis alkohol lemak dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 , karena memiliki sifat sebagai bahan pembusa, bahan pembasah serta sebagai bahan pembersih yang baik. Karakteristik jenis alkohol lemak C 10 dan C 12 dapat dilihat pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Karakteristik alkohol lemak C 10 dan C 12 Nama Nama Rumus Densitas Bobot Titik didih (0C) Titik umum IUPAC molekul (g/cm3) molekul kondisi kondisi leleh normal vakum (0C) Dekanol Alkohol C 10 H 21 OH 0.8297 158.3 233 158.8 7 kaprat Dodekanol Alkohol C 12 H 25 OH 0.8309 186.3 259 185.5 24 lauril Sumber : Wikipedia (2009)
Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (–OH), dimana sifat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan hidrogen.
Semakin panjang rantai karbon maka sifat
kepolaran gugus hidroksil akan semakin menurun. Hal ini mengakibatkan alkohol lemak yang berat molekul rendah cenderung lebih larut dalam air, sedangkan alkohol lemak yang berat molekul tinggi lebih cenderung bersifat non polar. Alkohol lemak merupakan bahan baku industri produk perawatan tubuh (personal care product), sabun mandi, sampo, kondisioner, detergen, makanan, plastik, farmasi, pelumas, dan berbagai produk industri lainnya. Alkohol lemak yang digunakan sebagai bahan baku surfaktan mampu bersaing dengan produk turunan petroleum, seperti alkil benzena. Persaingan ini lebih disebabkan karena sifat dari surfaktan yang lebih stabil dan harga yang lebih murah dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963). Suryani et al. (2002) mengatakan bahwa, alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak. 2. Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak kemudian dihidrogenasi menjadi alkohol lemak. Pada umumnya, alkohol lemak yang berasal dari industri oleokimia berbasis minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO). Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang diperdagangkan di dunia baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri.
Kontribusi minyak kelapa dalam perdagangan dunia sebesar
2.98%, nilai ini jauh lebih kecil dibanding minyak sawit dan minyak kedelai yang masing-masing hampir mencapai 30%. Meskipun dalam jumlah yang relatif kecil,
13
namun minyak kelapa merupakan bahan baku yang sangat penting bagi industri oleokimia. Minyak kelapa memiliki kandungan berbagai asam lemak (fatty acid) yang khas, sehingga sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia. Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) dengan panjang rantai atom C 10 dan C 12 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi asam lemak dari minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO) Jenis asam lemak Rumus molekul Minyak kelapa (%) PKO (%) Asam kaprat C 10 H 20 O 2 6-10 3-7 Asam laurat C 12 H 24 O 2 46-50 46-52 Sumber : Shahidi (2005)
2.2.1.2 Sumber Karbohidrat Pada proses sintesis surfaktan APG, gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat yang dapat diperoleh dari pati atau glukosa. Pati merupakan karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan
amilopektin dengan komposisi yang berbeda-beda, dimana komposisi amilosa lebih sedikit yaitu berkisar antara 17-27%. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pada sintesis surfaktan APG karena lebih mudah didapat serta lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa. Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati memiliki diameter berkitar antara 2-100 µm (Thomas dan Atwell 1997). Pati terdiri dari gugus amilosa dan amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida α-1.4 sedangkan amilopektin memiliki rantai cabang yang menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α-(1.4) dan α-(1.6) pada percabangannya (Miller dan Whitsler 2009). Pati sering digunakan pada pengolahan makanan, pakan, sebagai komponen perekat, campuran kertas, tekstil, kosmetik, industri kimia, industri perawatan diri (personal care) dan lain sebagainya (Harris 2001).
14
Tapioka merupakan tepung pati berasal dari ubi kayu yang banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat di industri farmasi, kosmetik dan industri perawatan diri (personal care). Kadar pati ubi kayu cukup besar, yaitu berkisar antara 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Komposisi kimia tapioka Kandungan Kadar air Kadar pati Kadar abu pH Kandungan sulfur dioksida Kandungan sianida
Jumlah 13 85 0.2 5-7 30 0
Sumber : Miller dan Whitsler (2009)
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13 300 000 ton) setelah Brazil (25 554 000 ton), Thailand (13 500 000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11 000 000 ton), India (6 500 000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122 134 000 ton per tahun. Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12.2 ton/ha dibandingkan dengan India (17.57 ton), Angola (14.23 ton/ha), Thailand (13.30 ton/ha) dan China (13.06 ton/ha) (Trijaya 2007).
2.2.2
Tahapan proses sintesis surfaktan APG
2.2.2.1 Tahap Butanolisis Tahap butanolisis (glikosidasi) merupakan reaksi antara monosakarida (sumber pati-patian) dan butanol dengan menggunakan katalis asam untuk membentuk produk butil glikosida, pada proses ini terjadi pemisahan air (H 2 O) dari hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+ dari katalis (Lueders, 1989). Hill et al. (2000) menyatakan reaksi ratio mol antara pati dengan butanol 1:6 sampai 1:10.
Optimasi ratio molar pati tapioka dan butanol pada pembuatan
surfaktan APG berbasis alkohol lemak C 10 adalah 1:8.5 (Putri 2010). Pemilihan katalis pada proses sintesis APG, bertujuan untuk mempercepat proses sintesis APG. Schick (1987) menyatakan bahwa katalis asam yang dapat digunakan pada sintesis surfaktan APG antara lain :
15
Katalis asam onorganik, misalnya : asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll. Katalis asam organik, misalnya : asam trifluoroasetat, asam para toluena surfonat, asam sulfosuksinat, dll. Asam yang berasal dari surfaktan, misalnya : asam alkil benzena surfonat, akohol lemak surfat, dll. Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa katalis yang digunakan pada sintesis surfaktan APG sebaiknya katalis p-toluene sulfonic acid (asam para toluena sulfonat/PTSA), karena merupakan katalis organik dan bersifat mudah terurai oleh lingkungan serta merupakan jenis asam lemah. Selain itu, penggunaan jenis asam lemah bertujuan untuk memudahkan pada proses netralisasi. Katalis PTSA juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al. 2000). Katalis yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan asam kuat karena dapat menghidrolisa glukosa, selain itu juga dapat bersifat korosif pada pipa besi ataupun stainless steel.
Buchanan dan Wood (2000) menyatakan bahwa
penggunaan katalis pada sintesis APG sebaiknya 0.009, 0.018, 0.027 dan 0.036 mol, namun penggunaan katalis PTSA sebaiknya digunakan dengan 0.018 mol. Proses ini terjadi pada suhu 140-150 0C, dengan tekanan 4.5-7 bar selama selama 30 menit (Wuest et al. 1992). Penggunaan bahan baku sakarida yang berasal dari pati terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain menghasilkan produk butil glikosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula.
2.2.2.2 Tahap Transasetalisasi Produk dari tahap butanolisis yaitu butil glikosida kemudian direaksikan dengan alkohol lemak C 10 dan C 12 . Putri (2010) menyatakan bahwa optimasi ratio mol pati tapioka dengan alkohol lemak sebesar 1:4.7. Butil glikosida tidak dapat bercampur dengan alkohol lemak C 10 dan C 12 , hal ini dikarenakan perbedaan polaritas untuk itu perlu dilakukan penambahan solubilizer (Balzer dan Luders 1994).
Schmitt (1993) menyatakan bahwa penggunaan solubilizer N-metil 2
pirolidon (NMP) dapat melarutkan metil monoglikosida dan alkohol lemak C 10 dan C 12 , namun bahan ini bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer yang sejenis dengan NMP dan bersifat tidak mencemari lingkungan adalah dimetil solfooksida (DMSO) dengan rumus molekul (CH 3 ) 2 SO. DMSO merupakan asam
16
lemah dengan titik didih 179 0C dan akan terpisah pada saat distilasi. Penggunaan DMSO sebaiknya 0.1 mol/bobot mol pati (Balzer dan Luders 1994). Katalis asam yang digunakan pada proses transasetalisasi juga menggunakan PTSA sebanyak 0.009 mol/bobot mol pati. Pada proses ini, butanol dan air akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Proses transasetalisasi ini terjadi pada suhu 110-120 0C dengan tekanan vakum dan selama 2 jam (Wuest et al. 1992). Kondisi asam dan suhu tinggi selama proses sintesis akan menghasilkan produk sekunder (by-product) seperti polidekstrosa yang berupa endapan pasta berwarna gelap. Penggunaan suhu tinggi (>120
0
C) dapat mempercepat
pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat (McCurry et al. 1994). Borsotti dan Pellizzon (1996) menyatakan bahwa pemakaian katalis dapat menghasilkan endapan yang berupa pasta pada proses transasetalisasi, untuk itu perlu dilakukan penyaringan sebelum dilanjutkan ke tahap pemurnian.
2.2.2.3 Tahap Pemurnian Proses Netralisasi Proses netralisasi bertujuan untuk mengatur pH produk, agar produk pada kondisi basa dengan pH 8-9. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi ini diantaranya natrium hidroksida, potasium hidroksida, aluminium hidroksida dan lain sebagainya (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-90 0C dengan tekanan 1 atm dan waktu 30 menit. Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan, karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol ataupun produk. NaOH yang digunakan untuk proses netralisasi sebaiknya dengan konsentrasi 50% (McCurry dan Pickens 1990). Penambahan katalis NaOH pada proses ini juga akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Pada umumnya industri menggunakan NaOH pada proses netralisasi, karena selain murah juga lebih efisien (Ketaren 1996). Pada proses ini ratio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan, karena alkohol lemak cenderung bersifat asam. Semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan, maka semakin banyak pula basa yang dibutuhkan (Hill et al. 2000).
17
Proses Distilasi Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan yang rendah, agar alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi teruapkan. Proses ini terjadi pada suhu 140160 0C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Wuest et al. (1992) mengatakan bahwa semakin panjang rantai atom alkohol lemak yang digunakan maka akan semakin tinggi suhu yang dibutuhkan dan semakin rendah tekanannya. Pada proses ini diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk surfaktan APG yang dihasilkan, yaitu kurang 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar yang berbentuk pasta berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang enak. Produk surfaktan APG yang beredar dipasaran berwarna bening dengan bau yang enak, oleh sebab itu perlu dilakukan proses pelarutan dan pemucatan untuk memperoleh surfaktan APG yang sesuai beredar dipasaran.
Proses Pelarutan Proses pelarutan merupakan proses pengenceran APG kasar yang diperoleh setelah proses distilasi. Pelarutan dilakukan dengan penambahan air, dimana air yang digunakan untuk pengenceran sebaiknya pada suhu sekitar 60-80 °C dengan perbandingan 1 : 1 dari bobot APG kasar (Borsotti dan Pellizon 1996).
Proses Pemucatan (Bleaching) Tahap pemurnian merupakan suatu tahap untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika membutuhkan peralatan penunjang yang cukup spesifik, sehingga diperoleh produk akhir yang lebih baik pula dengan warna yang lebih jernih. Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya memerlukan metode pencampuran dengan senyawa kimia lainnya (Hernani 2007). Schmitt (1993) mengatakan bahwa proses pemucatan merupakan suatu tahap pemurnian surfaktan APG, yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna dan
18
bau yang tidak diinginkan. Proses pemucatan (bleaching) merupakan tahap akhir dari proses sintesis surfaktan APG. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dan logam alkali yang dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 40-60 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000). McCurry et al. (1994), menyatakan proses pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan logam alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) dan magnesium oksida (MgO) yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada produk surfaktan APG. Konsentrasi NaOH dan MgO yang efektif digunakan sekitar 250-1000 ppm, namun lebih baik lagi sekitar 500-700 ppm. Penggunaan logam alkali NaOH dan MgO sebagai bahan aktivator serta penambahan H 2 O 2 akan menghasilkan surfaktan APG berwarna lebih jernih, dimana konsentrasi H 2 O 2 adalah 35% (b/v) sebanyak 2% dari bobot surfaktan APG kasar (b/b).
2.2.3
Bahan pemucat pada sintesis surfaktan APG Bahan pemucat (bleaching agent) merupakan suatu bahan yang dapat
memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan proses reduksi. Proses ini melibatkan proses oksidasi dan reduksi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan, karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna yang diubah menjadi zat yang tidak berwarna tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, CaSO 4 , TiO 2 , dll. Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) merupakan cairan yang berwarna bening namun agak lebih kental daripada air, berbau khas agak keasaman dan larut dengan baik dalam air. Hidrogen proksida merupakan oksidator kuat, oleh sebab itu salah satu kegunaan larutan ini adalah sebagai bahan pemutih. Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya, hanya air dan oksigen.
19
Hidrogen peroksida ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang terdiri atas gas hidrogen (H 2 ) dan gas oksigen (O 2 ), dengan titik didih 150.2 0C. Hidrogen peroksida banyak digunakan sebagai bahan pemucat (bleaching agent) pada industri pulp, kertas, tekstil, farmasi, deterjen, perawatan diri, makanan dan minuman. Pada kondisi normal (kondisi ambient) dan asam, hidrogen peroksida sangat stabil. Namun pada kondisi basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun akan semakin tinggi. Selain itu, hidrogen peroksida dapat merusak ikatan rangkap pigmen, dari yang berwarna menjadi komponen tidak berwarna (Onggo dan Astuti 2005). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH atau alkali lainnya, dimana semakin basa kondisi suatu reaksi maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi dan sangat mudah terurai. Proses penguraian hidrogen peroksida juga dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu selama proses reaksi. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO-), dimana anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut : H 2 O 2 + HO- ↔ HOO- + H 2 O Ion HOO- inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan, namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu maka reaksi dekomposisi hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut : H 2 O 2 + HO 2 → H 2 O + O 2 + HO Pada saat mengalami dekomposisi, hidrogen peroksida terurai menjadi air dan gas oksigen (Ulia 2007). Pada proses pemucatan, diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang pertama karena menghasilkan ion HOO-. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O 2 namun daya pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama (Fuadi dan Sulistya 2008).
2.3
Pembuatan sabun cuci tangan cair Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, yang
fungsi utamanya merupakan sebagai pencuci.
Berbagai jenis sabun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun
20
mandi (padat dan cair), sabun tangan (cair), serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (cair dan krim). Sabun cuci tangan cair adalah bahan pencuci dan pembersih cair yang digunakan untuk mencuci tangan (Paul et al. 2003). Wibisono dan Budiono (2004) menyatakan bahwa berdasarkan dari jenis bahan bakunya, sabun dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : (1) Sabun yang dibuat dari asam lemak dan logam yang digaramkan. Logam yang digunakan biasanya dari jenis logam alkali, misalnya natrium dan kalium. Jenis sabun yang dihasilkan di antaranya adalah sabun mandi padat dan krim. (2) Sabun yang dibuat dari bahan dasar zat aktif permukaan (ZAP). Pada umumnya, sabun dengan bahan dasar ZAP menghasilkan produk cair. Salah satu contoh zat aktif permukaan adalah alkil poliglikosida (APG). Somasundaran et al. (2007) menyatakan bahwa surfaktan berbasis pati (gula) memiliki sifat pembusaan yang baik, tidak beracun pada permukaan kulit terutama pada pemakaian untuk tangan serta dapat mengurangi efek iritasi karena pengaruh pemakaian surfaktan jenis lain. Pencucian adalah proses membersihkan suatu permukaan benda padat dengan bantuan larutan pencuci melalui suatu proses kimia-fisika yang disebut deterjensi. Sifat utama dari kerja deterjensi adalah membasahi permukaan yang kotor kemudian melepaskan kotoran. Pembasahan berarti penurunan tegangan muka padatan-cair.
Pencucian atau pelepasan kotoran berlangsung dengan jalan
mendispersikan dan mengemulsi kotoran, lalu dengan bantuan aksi mekanik kotoran menjadi terlepas dari permukaan benda padat. Kotoran padat dapat melekat karena adanya pengaruh : ikatan minyak, gaya listrik statik, dan ikatan hidrogen (Amato 2007). Pada pembuatan sabun, peran bahan penolong dan pengisi sangat besar karena akan sangat menentukan mutu dan kenampakan sabun yang dihasilkan. Zatzat yang biasa digunakan sebagai bahan penolong adalah : (1) Garam, berfungsi sebagai pengental. Semakin banyak jumlah garam yang dimasukkan, maka sabun yang dihasilkan akan semakin kental (2) Alkali, pengatur pH larutan sabun dan penambah daya deterjensi (3) Zat pemberi busa, untuk meningkatkan pencucian yang bersih. Jika sabun tanpa busa, maka kemungkinan besar sabun telah mengendap sebagai sabun kalsium atau sabun tidak larut lainnya (4) EDTA, sebagai pengikat logam sadah dan pengawet (5) Pewangi, untuk memberikan aroma tertentu
21
sesuai selera dan meningkatkan daya tarik dari sabun yang dihasilkan (6) Zat warna, memberi warna pada sabun agar mempunyai penampilan menarik (Perdana dan Hakim 2007).
2.3.1
Polisorbat 20 Polisorbat merupakan etilen oksida yang diesterkan pada gugus hidroksi
dengan asam lemak. Adanya gugus etilen pada molekul menyebabkan sifat-sifat hidrofilik yang menonjol jika dibandingkan dengan ester asam lemak.
Pada
umumnya polisorbat digunakan sebagai zat pelarut dan pengemulsi. memadukan lebih dari satu surfaktan dapat digunakan untuk sistem emulsi yang mempunyai keseimbangan antara hidrofilik dan hidrofobik (Rusmawati et al. 2002). Polisorbat 20 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik, yang memiliki karakter : berbentuk cairan seperti minyak, berwarna jernih kuning muda, berbau khas, rasa pahit, sangat larut dalam air. Polisorbat memiliki nama lain yaitu tween 20, polioksietilen sorbitan monolaurat, emulsifier tween 20. Rumus molekul dari polisorbat adalah C 58 H 114 O 26 , bobot molekul 1 227.54 g/mol dan titik didih 100 0C (Wikipedia 2007).
2.3.2
Triklosan Triklosan merupakan bahan kimia yang tergolong dalam zat antiseptik dan
anti mikroba yang banyak terdapat pada sabun, obat kumur, pasta gigi, deodorant dan sebagainya. Triklosan mempunyai daya antimikroba dengan spektrum luas yang dapat membunuh berbagai macam bakteri yang terdapat pada kulit dan permukaan lainnya serta mempunyai sifat toksisitas yang rendah (Glaser 2004). Triklosan berupa padatan bubuk berwarna putih dengan rumus kimia C 12 H 7 Cl 3 O 2 dan bobot molekul 289.55 g/mol (Wikipedia 2010) Pada pencapaian kondisi yang efektif, penggunaan triklosan pada sabun pembusa cair antiseptik diimbangi dengan polisorbat 20. Penggunaan polisorbat 20 bertujuan untuk membantu melarutkan triklosan, karena triklosan merupakan bahan yang tidak larut dalam air (Paul et al. 2003). Formulasi sabun pembusa cair antiseptik dapat dilihat pada Tabel 5.
22
Tabel 5 Formulasi sabun pembusa cair antiseptik Bahan Komposisi (%) Surfaktan 35-70 Polisorbat 20 10-30 Triklosan 0.2-2 Pewangi 1-3 Air 40-80 Sumber : Paul et al. (2003)
2.4.
Karakteristik surfaktan APG
2.4.1
Stabilitas Emulsi Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakterisasi
terpenting serta mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan. Emulsi merupakan adalah campuran dari dua atau lebih bahan yang tidak bercampur (unblendable), saling ingin berpisah karena mempunyai berat jenis yang berbeda. Cairan yang satu terdispersi dalam bentuk globula-globula atau butirbutir kecil di dalam cairan lainnya. Cairan yang mendispersikan disebut dengan fase kontinyu, sedangkan butir-butir yang terlarut disebut dengan fase terdispersi (Somasundaran et al. 2007).
Emulsi cenderung memiliki penampilan berawan,
karena fase antarmuka menyebar. Emulsi yang tidak stabil merupakan emulsi yang tidak terbentuk secara spontan. Pembentukan emulsi dapat terjadi dengan adanya getaran, pengadukan atau pada proses penyemprotan. Emulsi yang tidak stabil akan cepat terpisah tanpa adanya getaran, guncangan kecuali terjadi secara terus menerus. Emulsi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu emulsi dengan sistem o/w (oil in water) dan emulsi dengan sistem w/o (water in oil). Kondisi tergantung dari bagian yang menjadi fase kontinu atau bagian yang menjadi fase diskontinu. Contoh umum untuk emulsi o/w adalah air susu dan mayonaise, sedangkan contoh emulsi w/o adalah margarin dan mentega. Komponen yang paling penting dalam pembentukan emulsi adalah minyak, karena minyak menentukan apakah bentukan emulsi adalah o/w atau w/o. Jenis dan jumlah minyak yang ditambahkan berpengaruh terhadap kestabilan emulsi.
2.4.2
Tegangan Permukaan Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis
permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase (Myers 2006). Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik
23
dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka (Rosen 2004).
Tegangan permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer
metode Du Nouy yang dinyatakan dalam dyne/cm atau mN/m.
2.4.3
Tegangan Antarmuka Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada
antarmuka dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan ciri terhadap suatu surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik (Myers 2006).
Surfaktan berfungsi
sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989).
2.4.4
H L B (Hydrophile - Lipophile Balance) Keseimbangan antara jumlah molekul hidrofilik dan hidrofobik dihitung
dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Nilai HLB berkisar antara 0-40, hal ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas surfaktan berdasarkan data emulsi. HLB dapat menunjukkan tipe aplikasi surfaktan tergantung nilai interval HLB. Emulsifier untuk water in oil emulsi (w/o emulsion) harus yang bersifat hidrofobik dengan nilai HLB 3-6, sedangkan untuk
oil in water emulsi (o/w
emulsion) diperlukan emulsifier dengan HLB 8-18 (Schick 1987). Nilai HLB dan aplikasinya (Metode Griffin) dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Nilai HLB, karakteristik dan aplikasinya Kisaran HLB Aplikasi 3-6 emulsi air dalam minyak (w/o) 7-9 sebagai bahan pembasah 8-14 emulsi minyak dalam air (o/w) 9-13 untuk deterjen 10-13 sebagai solubilizer 12-17 untuk dispersant Sumber : Schick (1987)