II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas pada permukaan yang tinggi. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekulnya yang tidak seimbang. Surfaktan memiliki bagian yang bersifat hidroflik dan hidrofobik. Bagian yang bersifat hidrofilik, merupakan bagian yang sangat polar (suka air), sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik, merupakan bagian nonpolar (suka minyak). Bagian hidrofiik dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan hidrofobik dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon.
Konfigurasi tersebut membuat surfaktan memiliki
fungsi yang beragam dalam memberi kestabilan emulsi dan diaplikasikan pada berbagai industri (Hui, 1996). Surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian hidrofobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionic. Contoh khas surfaktan anionik adalah keberadaan gugus alkohol sulfat dan ester sulfonat (Hui, 1996). Surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fasa yang sama tetapi berbeda derajat polaritasnya dalam suatu medium yaitu dengan cara melarutkan surfaktan ke dalam medium tersebut. Tegangan antar muka merupakan usaha yang dibutuhkan untuk meningkatkan area permukaan sebagai respon adanya tekanan antara dua fase yang berbeda (IUPAC, 1997). Tegangan permukaan merupakan sifat fisik yang berhubungan dengan gaya antarmolekul pada pemukaan fasa cair dan fasa gas (biasanya udara) dan dapat
menjadi hambatan bagi peningkatan luas permukaan cair. Tegangan yang serupa juga dapat terjadi pada fasa cair satu dengan cairan lain dan disebut dengan tegangan antarmuka Hal ini disebabkan daya kohesi dimana dalam suatu fluida sejenis dan sefasa, molekul yang berada di dalam akan ditarik oleh molekul sejenis di sekitarnya secara homogen ke segala arah. Sedangkan molekul yang berada di permukaan, meski bertemu dengan fase atau jenis fluida yang berbeda, juga tetap ditarik oleh molekul sejenis yang ada di dalamnya dan menghasilkan suatu tegangan terhadap permukaan molekul yang berbeda. Selain jenis dan struktur molekul yang terlibat, tegangan permukaan dan tegangan antarmuka dipengaruhi juga oleh temperatur. Tarikan antarmolekul beda fase dan tegangan permukaan di antarmuka antara dua jenis partikel ini akan menurun bila temperatur menurun (Takeuchi, 2008).
Gambar 1. Tarikan Antar Molekul di Permukaan Cairan (Nave, 2009) Tegangan permukaan berupa gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Molekul cairan yang berada di permukaan (yang bertemu langsung dengan udara) mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat pada arah lainnya karenaa ada interaksi antar molekul dalam cairan yang menyebabkan pada bagian atas permukaannya terjadi tegangan (Hargreaves 2003). Apabila surfaktan ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu atau kontak sedangkan permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas (biasanya udara). Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0,1% akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mN/m (dyne/cm). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain
oleh gaya Van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves, 2003). Tabel 1 Nilai Berbagai Tegangan Permukaan Cairan terhadap Udara dan Tegangan Antarmuka terhadap Air Cairan
Tegangan permukaan (mN/m)
Tegangan antarmuka (mN/m)
Air
72,75
-
Benzena
28,88
35,0
CCL4
26,80
45,1
n-Hexana
18,40
51,1
Air Raksa
485,00
375,0
Sumber : Shaw (1980) Tegangan permukaan dan tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada berbagai aplikasi surfaktan Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi. (Hui, 1996). Pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications), namun surfaktan banyak pula digunakan untuk produk pangan, produk kosmetika dan produk perawatan diri, cat dan pelapis, kertas, tekstil, serta pertambangan (Flider, 2001). Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses enchanted oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi minyak yang terikat dengan batuan (emulsion blocks), mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan (wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan demikian water cut dapat diturunkan. Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak (fatty alcohol). Proses-proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu asetilasi,
etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi (Sadi, 1993).
Produksi surfaktan dengan bahan baku metil ester dapat berasal dari
minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO), dan lemak hewan (MacArthur et al., 2002). 2.2 CRUDE PALM OIL (CPO) Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang sangat penting. Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras (eksokarp), daging buah (mesocarp) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji (endocarp) atau cangkang atau tempurung yang berwarna hitam dan keras, kernel atau daging biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak (Gunawan, 2009). Keterangan gambar:
Klasifikasi Kelapa Sawit Divisi
: Spermatophyta
1.
Kernel
Subdivisi
: Angiospermae
2.
Endokarp
Kelas
: Monocotyledonae
3.
Mesokarp
Ordo
: Palmales
4.
Eksokarp
Famili
: Palmaceae
Genus
: Elaeis
Spesies
: – Elaeis Guineensis
Varietas
: – Elaeis guineensis dura – Elaeis guineensis tenera
2
1
4 3
– Elaeis guineensis pisifer
Gambar 2. Klasifikasi Tanaman Sawit dan Bagian Buah Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit terdiri atas minyak sawit kasar atau CPO (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit atau PKO (Palm Kernel Oil). CPO diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp (daging buah) kelapa sawit, sedangkan PKO atau minyak inti sawit diperoleh dari ekstraksi kernel (inti sawit). Minyak sawit memiliki warna jingga kemerahan karena mengandung pro vitamin A (β-karoten) 60-100 ppm. Minyak sawit memiliki konsistensi padat sebagian pada suhu kamar dan konsistensi serta titik leburnya ini banyak dipengaruhi oleh kadar asam lemak bebasnya. Dalam keadaan segar, asam lemak bebas memiliki kadar yang lebih rendah. (Mangoensoekarjo, 2005).
Menurut SNI (2006), CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati (minyak yang berasal dari tumbuhan) berwarna jingga kemerah-merahan yang diperoleh dari proses pengempaan atau ekstraksi daging buah tanaman Elaeis guinneensis. Syarat mutu minyak kelapa sawit mentah (CPO) adalah sebagai berikut. Tabel 2 Syarat Mutu Minyak Sawit Kasar (CPO) Kriteria Uji
Syarat Mutu
Warnaa)
Jingga kemerahan
Kadar Air a)
0.5%
Asam Lemak Bebas a)
0.5%
Bilangan Iod a)
50-55 gram iodium/100gram minyak
Berat jenis (37,8oC) b)
0,898 – 0,901 gram/cm3
Indeks refraksi pada suhu 40oC b) Bilangan penyabunan
b)
Fraksi Tak Tersabunkan a)
1,453 – 1,456 195-205
b)
< 0,8
b)
Sumber: SNI (2006) dan AOCS dalam Mangoensoekarjo et al. (2005)
Minyak sawit yang diperoleh dari mesokarp buah kelapa sawit melalui ektraksi dan mengandung sedikit air serta serat halus, yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi padat pada suhu ruang (Naibaho, 1988). Bentuk semi padat minyak sawit disebabkan oleh kandungan asam lemaknya. CPO mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Pada tabel berikut dapat dilihat komposisi asam lemak pada minyak sawit kasar atau CPO.
Tabel 3 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) Jenis Asam Lemak Asam Lemak Jenuh Laurat Miristat Palmitat Stearat Asam Lemak Tak Jenuh Palmitoleat Oleat Linoleat Linolenat
Atom C
Komposisi (%)
C12:0 C14:0 C16:0 C18:0
< 1,2 1,1 – 2,5 40 – 46 3,6 – 4,7
C16:1 C18:1 C18:2 C18:3
< 0,6 39 – 45 7 – 11 < 1,5
Sumber: berdasarkan Eckey (1955) di dalam Ketaren (2005)
Sekitar 50 persen asam lemak yang ada merupakan asam lemak jenuh dengan komponen utama asam palmitat, baik dalam bentuk bebas dan bentuk terikat sebagai monopalmitin, dipalmitin, dan tripalmitin, yang memiliki titik leleh yang relatif tinggi (50-60oC), sehingga pada suhu ruang senyawa tersebut berbentuk padat. Namun, selain itu minyak sawit juga mengandung sekitar 40 persen asam lemak tidak jenuh berikatan rangkap tunggal (asam oleat dan asam palmitoleat) dan sekitar 10 persen asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap jamak. Minyak sawit mentah yang mengandung air dan serat halus, tidak dapat langsung digunakan sebagai bahan pangan maupun non pangan sehingga perlu proses permurnian (Naibaho, 1988). Permunian meliputi tahap proses penguapan, degumming, pencucian dengan asam, pemisahan asam lemak bebas dengan netralisasi, deodorisasi, dan dekolorisasi atau bleaching. Proses pemurnian minyak bertujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak dan warna yang tidak menarik, memperpanjang masa simpan minyak sebelum digunakan untuk dikonsumsi atau sebagai bahan mentah dalam industri lebih lanjut (Ketaren, 2005). Volume produksi minyak sawit di Indonesia meningkat sejak tahun 2002. Hal ini menunjukkan besarnya potensi besarnya potensi minyak sawit di Indonesia, sehingga perlu dilakukan diversifikasi sekaligus peningkatan nilai tambah terhadap komoditas tersebut. Perkembangan volume produksi minyak sawit di Indonesia dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar 3.
Sumber: Foreign Agricultural Service (2009)
Gambar 3. Grafik Perkembangan Volume Produksi Minyak Sawit (CPO) di Indonesia (2002-2008) Minyak sawit dapat dipilih sebagai bahan baku dalam industri yang membuat surfaktan karena komponen asam lemak penyusun trigliseridanya, yaitu asam lemak C16-C18 bila diaplikasikan menjadi surfaktan memiliki sifat deterjensi dan mampu berperan baik terhadap air sadah, sedangkan asam lemak C12-C14 berperan terhadap efek pembusaan (Yuliasari, et al., 1997).
2.3 METIL ESTER (ME) Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar, turunan dari trigliserida (minyak atau lemak). Berdasarkan Freedman et al., (1984), reaksi pembentukan ester melibatkan lemak atau asam lemak dengan alkohol rantai pendek seperti etanol atau metanol yang dipercepat dengan menggunakan katalis asam maupun katalis basa. Pada reaksi tersebut, terjadi pemindahan alkohol menjadi alkohol lain dalam proses yang sama seperti hidrolisis. Jika pada reaksi ini, alkohol yang digunakan adalah metanol, maka reaksinya disebut metanolisis dan ester yang dihasilkan berupa metil ester. Metil ester dapat dihasilkan dengan dua cara, yaitu esterifikasi asam lemak dan transesterifikasi trigliserida. Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak) menjadi molekul ester. Transesterifikasi meliputi reaksi antara alkohol dan
molekul trigliserida dengan adanya katalis basa atau asam. Reaksi transesterifikasi untuk mendapatkan metil ester, dinyatakan dalam persamaan berikut. RCOOCH2
Katalis
RCOOCH + 3 CH3OH
CH2OH 3 RCOOCH3 + CHOH
RCOOCH2 Minyak/lemak
CH2OH Metanol
Metil ester
Gliserol
Gambar 4. Reaksi Transesterifikasi antara Lemak/Minyak dengan Metanol (Hui, 1996)
Tahapan konversi minyak atau lemak menjadi metil ester bergantung pada mutu awal minyak. Proses konversi dipengaruhi oleh kandungan asam lemak bebas dan kandungan air. Minyak yang mengandung asam lemak bebas rendah, dapat langsung dikonversi menjadi metil ester melalui transesterifikasi (Canaki dan Gerpen, 2001). Minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi serta mengandung air lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1984). Minyak dengan asam lemak bebas tinggi akan lebih efisien jika melalui dua tahap reaksi. Asam lemak bebas dalam minyak diesterifikasi dahulu dengan melibatkan katalis asam. Selanjutnya, transesterifikasi dapat dilakukan untuk mengkonversi sisa minyak atau trigliserida yang ada dengan melibatkan katalis basa (Canaki dan Gerpen, 2001). Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol mengkonversi asam lemak menjadi metil ester. Reaksi esterifikasi ditunjukkan melalui persamaan berikut. RCOOH + R’OH Asam
alkohol
RCOOR’ + H2O ester
air
Gambar 5. Reaksi Esterifikasi antara Asam Lemak dengan Metanol (Hui, 1996). . Pada reaksi esterifikasi, bila asam lemak (asam kaboksilat) dan alkohol (metanol) dipanaskan dengan kehadiran katalis asam, kesetimbangan tercapai dengan ester dan air. Reaksi kesetimbangan ini dapat digeser ke kanan dengan penambahan alkohol berlebih. Air yang terbentuk berasal dari gugus hidroksil
asam dan hidrogen dari alkohol. Dengan kata lain, dalam esterifikasi tersebut, gugus –OCH3 dari alkohol menggantikan gugus –OH dari asam. Berdasarkan Hart et al. (2003), dalam reaksi esterifikasi, sesungguhnya mekanisme yang terjadi adalah setahap demi setahap. Pertama, gugus karbonil dari asam terprotonisasi secara reversibel sehingga meningkatkan muatan positif pada karbon karboksil dan menambah reaktifitasnya terhadap nukleofil. Kedua, alkohol sebagai nukleofil menyerang karbon karbonil dari asam yang terprotonisasi. Inilah langkah yang membentuk ikatan baru C-O (ikatan ester). Dua langkah selanjutnya merupakan kesetimbangan dimana oksigen lepas atau memperoleh proton. Kesetimbangan asam seperti ini bersifat reversibel dan berlangsung cepat dan terus menerus berjalan dalam larutan bersuasana asam dari senyawa yang mengandung oksigen. Kelima, air sebagai salah satu produk pun terbentuk. Agar langkah ini terjadi, gugus –OH harus terprotonisasi untuk meningkatkan kapasitas. Langkah akhir, menghasilkan ester dan meregenerasi katalis
asam
(kebalikan
dari
langkah
pertama).
.. O: || R – C – OH
+
H+
..
..
OH || .. R – C – OH ..
H
.. OH || .. R – C – OH ..
CH3
+
Sumber: Hart et al. (2003)
-H+
.. + O ..
.. O .. CH3
..
:OH | .. R – C – OH ..
-H+
CH3O: .. .
H
.. :OH | .. R – C – OH .. CH3O: ..
:OH | R – C – OH
-H2O
.. :OH | H + R – C – ..O H
CH3O: ..
Gambar 6. Mekanisme Reaksi Esterifikasi antara Asam Lemak dan Metanol dengan Katalis Asam
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh suhu dan waktu proses, jumlah rasio molar metanol terhadap minyak, serta jenis dan konsentrasi katalis (Sontag, 1982). Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung (continue) pada suhu 50-70oC. Kondisi proses transesterifikasi secara kontinyu telah dilakukan Darnoko et al. (2000), yaitu dengan suhu proses 60oC pada tekanan 1 atmosfir, dengan pengadukan, menggunakan katalis KOH 1 % (w/w) terlarut dalam metanol. Hasil transesterifikasi minyak sawit tersebut mencapai 97,3% pada waktu 60 menit. Waktu yang lebih dari 60 menit dapat menurunkan laju produksi metil ester. Penambahan metanol dilakukan dengan rasio metanol–minyak sebesar 6 : 1. Menurut Bernardini (1983), konsentrasi metanol yang digunakan pada proses transesterifikasi tidak boleh lebih rendah dari 98 %, karena semakin rendah konsentrasi metanol yang digunakan maka semakin rendah rendemen metil ester yang dihasilkan sedangkan waktu reaksi menjadi lama. Konsentrasi metanol untuk transesterifikasi telah diteliti lebih lanjut oleh Widyawati (2007) yang membuktikan konsentrasi metanol 10% (b/b) dapat diterapkan untuk melakukan proses esterifikasi yang efisien dalam menurunkan bilangan asam pada produk. Katalis basa sebesar 1% juga menurunkan bilangan asam lebih rendah dibandingkan dengan katalis lain dengan kadar yang sama pada proses transesterifikasi. Menurut Sontag (1982), katalis basa banyak digunakan karena reaksinya sangat cepat, sempurna, dan dapat dilakukan pada suhu yang rendah. Jika
minyak
mengandung
asam
lemak
bebas
tinggi,
rendemen
transesterifikasi dapat diperbaiki dengan menggunakan katalis basa yang berlebih. Namun, asam lemak bebas yang terkandung dapat terkonversi juga menjadi garam alkali datau sabun (Haas et al., 2003). Pembentukan sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya adalah melalui dua tahap reaksi, dengan melibatkan katalis asam pada reaksi esterifikasi dan melibatkan katalis basa pada reaksi transesterifikasi (Canaki dan Gerpen, 2001). Katalis asam dapat berperan mengkonversi trigliserida menjadi metil ester.
Meskipun demikian, kecepatan katalis asam lebih rendah
dibandingkan dengan katalis basa (Freedman et al., 1984).
Menurut MacArthur et al. (2002), bahan baku metil ester dapat berasal dari minyak kelapa, lemak hewan, dan minyak sawit. Metil ester dari lemak hewan dan minyak sawit didominasi dengan kandungan gugus ester asam lemak berantai karbon C16 dan C18. Metil ester yang berasal dari lemak hewan memiliki perbandingan C16 dan C18 sebesar 1:2 sedangkan metal ester yang diperoleh dari minyak kelapa sawit memiliki perbandingan C16 dan C18 sebesar 2:1. Selain dari komposisi rantai karbon dan asam lemak, pemilihan bahan baku untuk pembuatan metil ester dapat dipengaruhi juga oleh harga. Sesuai dengan tahapan prosesnya, metil ester dari minyak kelapa sawit kasar memiliki harga yang realtif lebih murah dibandingkan dengan metil ester dari minyak inti sawit dan minyak kelapa. Metil ester lebih banyak digunakan untuk aplikasi oleokimia dibandingkan dengan asam lemak karena memiliki keuntungan, di antaranya dapat diproduksi pada tekanan atmosfer normal dan kondisi suhu yang rendah sehingga konsumsi energi produksi lebih sedikit. Metil ester juga lebih tahan terhadap oksidasi, tidak bersifat korosif, dan tidak mudah berubah warna sehingga peralatan produksi tidak mahal serta pada waktu penyimpanan dan transportasi lebih mudah (Hui, 1996). Metil ester menjadi produk antara dari minyak dan lemak yang dapat menjadi bahan baku pembuatan surfaktan di samping bahan baku lainnya seperti asam lemak (fatty acid) dan alkohol lemak (fatty alcohol). Metil ester menjadi produk antara untuk membuat produk oleokimia selanjutnya melalui proses amidasi (misalnya menjadi monoetanolamida atau dietanolamida), proses sukrolisis menjadi sukrosa ester, dan proses sulfonasi menjadi metil ester sulfonat (Matheson, 1996). 2.4 METIL ESTER SULFONAT Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (Watkins, 2001). MES diperoleh dari sulfonasi terhadap metil ester yang dapat diperoleh dari minyak nabati. Kualitas MES dipengaruhi oleh bahan baku produk. Bahan baku
metil ester dapat berasal dari minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO), dan lemak hewan (babi), belum terhidrogenasi atau dimurnikan lebih lanjut. Kualitas bahan baku dapat dilihat dari nilai bilangan iod serta parameter lain seperti bahan tak tersabunkan, nilai bilangan asam, nilai bilangan penyabunan, berat molekul, kadar air, dan distribusi panjang rantai karbon (MacArthur et al., 2002). MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C16-18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (heavy duty detergent). Pada penggunaannya, MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14 (Watkins, 2001). Kualitas MES bergantung pada keluasan manfaatnya untuk dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk produk. Hal ini dikaitkan dengan warna produk akhir, jumlah kandungan by product yang tak diinginkan, dan bentuk fisik produk akhir. Dalam proses pemurnian yang utama perlu diperhatikan adalah kemungkinan terbentuknya by product berupa sabun sulfonat atau lebih dikenal di-salt, yang terbentuk dari hidrolisis MES. Meskipun di-salt adalah surfaktan juga, tetapi komponen ini menyebabkan penurunan daya deterjensi MES dan sensitifitasnya pada air sadah semakin besar (MacArthur et al., 2002). Tabel 4 Kualitas Metil Ester (ME) Komersial Parameter Kualitas Berat Molekul Bilangan iod Bahan Tak Tersabunkan Bilangan Asam Bilangan Penyabunan Kadar Air Distribusi rantai karbon (%) < C12 C12 C14 C16 C18 >C18
Nilai 218-284 0,10 – 0, 39 (cgI/gramME) 0,05 – 0,27 (%) 0,15 – 0,5 (mgKOH/gramME) 191 – 252 (mgKOH/gramME) 0,04 – 0,19 (%) 0,00 - 0,85 0,16 - 72,59 1,55 - 26,9 0,51 - 60,18 0,00 - 64,45 0,00 - 1,06
Sumber: MacArthur et al. (2002) Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah kondisi saat sulfonasi yaitu rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi gugus SO3 yang ditambahkan. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Reaksi sulfonasi molekul asam lemak untuk pembuatan MES dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap).
Gambar 7. Kemungkinan Terikatnya Pereaksi Kimia dalam Proses Sulfonasi (Jungermann, 1979) Pemilihan proses sulfonasi bergantung pada beberapa faktor. Satu faktor terpenting adalah produk yang diinginkan dan kualitas produk yang dihasilkan. Beberapa proses dapat menghasilkan produk yang dapat beragam sementara yang lain hanya mampu menghasilkan beberapa jenis produk. Faktor kedua yang diperlukan adalah kapasitas produksi. Proses sulfamasi dengan bentuk batch hanya cocok untuk memproduksi pada kapasitas kecil. Proses gas SO 3 untuk proses kontinyu dna skala besar. Selain itu, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, atau asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1997).
2.5 ASAM METIL ESTER SULFONAT (MESA) Sintesis MES dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya proses penyerapan sulfur trioksida oleh metil ester di dalam reaktor falling film yang dapat membentuk MESA. Adsorbsi sulfur trioksida oleh metil ester ditunjukkan pada reaksi (1) dan dengan cepat membentuk reaksi (2). Reaksi (3) terjadi pada saat proses aging (MacArthur et al., 2002). O || R-CH2-C-OCH3 (I) + SO3
O || R-CH2- (C-OCH3):SO3 (II)
O || R-CH2- (C-OCH3):SO3 (II) + SO3
O || R-CH- (C-OCH3):SO3 (III) | SO3H
(2)
O || R-CH- (C-OCH3):SO3 (III) | SO3H
O || R-CH- C-OCH3 + SO3 | SO3H
(3)
(1)
Sumber: MacArthur et al. (2002)
Gambar 8. Mekanisme Pembentukan MESA dalam Falling Film Reactor Mekanisme pembentukan MESA dalam reaktor sulfonasi terdiri dari beberapa tahap. Urutan proses yang terjadi adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO 3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Senyawa (III) adalah MESA yang diinginkan untuk dapat diproses dalam tahap netralisasi selanjutnya (MacArthur et al., 2002).
2.6 SULFONASI Proses sulfonasi terhadap turunan minyak dapat menghasilkan produk surfaktan berupa sulfonat atau sulfat. Meskipun memiliki struktur yang serupa, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Menurut Suryani et al. (2000), perbedaan yang mendasar dari kedua jenis surfaktan yaitu surfaktan disebut memiliki gugus sulfat jika mengandung belerang (sulfur) pada gugusnya dimana karbon disambungkan dengan sulfur melalui oksigen. Sedangkan pada surfaktan disebut memiliki gugus sulfonat jika sulfur langsung disambungkan dengan karbon). Sulfur trioksida SO3 adalah bahan kimia elektrofilik yang agresif dan sangat reaktif terhadap komponen organik karena dapat mendonorkan gugus elektron. Reaksi bersifat eksotermik dan banyak komponen organik menjadi hitam setelah reaksi terbentuk. Reaksi juga menyebabkan adanya peningkatan kekentalan produk menjadi 15-300 kali lipat dibandingkan bahan organik itu sendiri. Kekentalan ini sering menyulitkan pendinginan sehingga dalam prosesnya dibutuhkan transfer panas yang tepat. Pengendalian terhadap perbandingan molar reaktan sangat diperlukan mengingat SO3 yang berlebih dalam reaksi dapat menyebabkan terbentuknya by product yang tidak diiginkan (Foster, 1997). Selain dikendalikan dengan perbandingan mol, masalah reaktifitas sulfur trioksida juga dapat diatasi dengan mendilusikan gas SO 3 atau membentuk komplek molekul seperti dengan ammonia (menjadi asam sulfamat atau NH2SO3H), dengan asam klorida (menjadi asam klorosulfonat atau ClSO 3H), dengan air atau asam sulfat (dapat menjadi oleum, H2SO4.n H2O, atau hanya asam sulfat saja), serta pilihan lain adalah dengan udara kering (udara/SO3). NH2SO3H dan ClSO3H hanya dapat digunakan dalam produksi alkohol sulfat dan merupakan reaktan yang mahal. NH2SO3H memang bersifat lembut, bereaksi spesifik, juga dapat digunakan untuk produksi alkohol etoksilat, dengan produksi dalam bentuk batch. ClSO3H digunakan juga untuk produksi alkohol etersulfat dan produk pencelup dalam industri tekstil, tetapi reaktan ini sifat korosif dan berbahaya serta menghasilkan cukup banyak HCl sebagai by product (Foster, 1997).
Sulfonasi dengan oleum dapat digunakan dalam proses batch maupun kontinyu. Tetapi dengan reaksi kesetimbangan tersebut, menyebabkan banyaknya oleum yang tidak bereaksi, bersisa, dan menjadi terbuang yang membutuhkan tambahan peralatan waste treatment sebelum benar-benar dibuang ke lingkungan (Foster, 1997). Sulfonasi dengan H2SO4 telah dilakukan oleh Putra (2004) dengan perbandingan mol reaktan 1: 1.2 antara metil ester dengan asam sulfat, konsentrasi asam sulfat 80%, dan suhu reaksi 65 oC. Proses ini berhasil menghasilkan MES yang dapat menurunkan tegangan permukaan sebanyak 47% , tegangan antarmuka 98%, dan meningkatkan stabilitas emulsi 63,32%. Sulfonasi serupa juga telah dilakukan Hidayati (2006) dengan perbandingan mol reaktan 1:1,5 yang menghasilkan MES yang dapat menurunkan tegangan permukaan 33,1%. Kajian sulfonasi dengan reaktan tersebut juga telah dilakukan Hambali (2005) dan menghasilkan produk MES dengan kadar aktif sebesar 60%. Proses pilihan lain sulfonasi dengan SO3 adalah dengan melarutkan gas sulfur trioksida dengan udara yang sangat kering serta langsung mereaksikannya dengan bahan organik. Sulfur trioksida dapat diperoleh dari bentuk liquid SO 3 atau dari pembakaran sulfur. Proses sulfonasi ini paling murah karena selain bahan organik hanya sulfur trioksida dan udara kering yang digunakan sebagai reaktan, dapat menghasilkan MES dengan cepat dan tetap berkualitas, tetapi memang
membutuhkan peralatan yang tepat dan sedikit lebih mahal sesuai
dengan proses yang harus kontinyu. Proses ini merupakan proses kontinyu yang dapat digunakan untuk skala besar dan cocok untuk proses produksi industri 24 jam per hari, 7 hari per minggu, dan dapat mencapai 1 ton produk per jam (Foster, 1997). Sulfonasi metil ester selain menghasilkan metil ester sulfonat juga dapat melibatkan pembentukan komponen dari oksidasi karbon oleh sulfur trioksida membentuk olefin, air, dan sulfur dioksida. Selanjutnya pembentukan olefin sulfonat memungkinkan adanya reaksi dengan hipoklorit yang berpotensi terhadap iritasi kulit (MacArthur et al., 2002).
Sulfonasi dilakukan dengan seperangkat falling film reactor yang dibangun dengan tujuan agar membentuk kontak antara bahan baku metil ester dengan campuran gas sulfur trioksida dalam udara yang sangat kering. Perbandingan mol dari reaktan utama (mol SO3 terhadap mol metil ester) perlu dikontrol dengan seksama dan dijaga selama proses. Pada produksi skala komersial, diperlukan secara khusus sistem pembentuk gas SO3. Selain itu, pada sistem falling film reactor juga diperlukan pemisahan antara gas sisa yang telah terpakai dengan produk metil ester sulfonat asam (MESA) yang terbentuk. Selanjutnya, MESA dapat dialirkan ke tangki aging yang bersuhu 80-85oC selama 1 jam dan dilanjutkan proses pemucatan warna (MacArthur et al., 2002). Sulfonasi metil ester dengan falling film reactor dapat mencapai 0,1 kgmol/jam. Konsentrasi gas sulfur trioksida yang digunakan 7% dalam udara kering (titik cair di bawah -60oC) dan gas masuk pada suhu 40oC. Bahan baku metil ester masuk secara kontinyu dengan kelajuan terkontrol sehingga perbandingan molalitas reaktan dapat mencapai 1,25-1,3 mol SO3 per mol metil ester. Reaktor secara kontinyu didinginkan dengan mengalirkan air dingin melalui lapisan luar dinding reactor (menggunakan double jacket reactor). Produk yang dihasilkan dapat berupa pasta cair lembut pada suhu ruang tetapi memerlukan bantuan pompa jika dialirkan pada suhu yang lebih rendah. Metil ester sulfonat dari bahan yang mengandung C12-C14 apabila dilanjutkan sampai tahap pengeringan (<2% kadar air) seperti melalui spray dryer) akan mengalami kesulitan proses karena kekentalannya (MacArthur et al., 2002). Ada empat macam cara untuk mendapatkan sumber SO 3 bagi sistem sulfonasi, yaitu melalui converter gas asam sulfat, SO 3 dari penguapan konsentrat oleum, cairan SO3, dan pembakaran sulfur yang dibentuk khusus untuk memproduksi gas SO3 untuk sulfonasi. Konversi gas dari sistem produksi asam sulfat menjadi potensial untuk mendapatkan gas SO3 bagi proses sulfonasi dengan cara yang murah. Lokasi proses sulfonasi untuk pembuatan surfaktan pun menjadi hal yang perlu diperhatikan karena instalasi tersebut harus dekat dengan konverter asam sulfat. Kemudian, proses sulfonasi juga hanya dapat berlangsung saat proses produksi asam sulfat berjalan aktif (Foster, 1997).
Produksi asam sulfat secara umum menghasilkan produk dengan kadar 78100% serta bermacam-macam konsentrasi oleum. Produksi diawali dengan pencairan belerang padat di melt tank, lalu pemurnian belerang cair dengan cara filtrasi, kemudian pengeringan udara proses. Selanjutnya pembakaran belerang cair dengan udara kering untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO 2). Reaksi oksidasi lanjutan SO2 menjadi SO3 dalam empat lapis bed konverter dengan menggunakan katalis V2O5, pada tekanan 1,5 atm dan suhu 425-430oC (Lutfiani, 2008). Kemudian pendinginan gas, dan penyerapan SO3 dengan asam sulfat 93%98,5%. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut. → SO2 + 31.148 kkal
(1)
SO2 + ½ O2 → SO3 + 70.960 kkal
(2)
SO3 + H2O → H2SO4 + 23.490 kkal
(3)
S + O2
H2SO4 (l) + SO3
→ H2S2O7 (l)
H2S2O7 (l) + H2O (l) → 2 H2SO4 (l)
(4) (5)
Gambar 9. Reaksi pada Produksi Asam Sulfat (Lutfiani, 2008) Reaksi (1) terjadi dalam tangki pembakar, dimana belerang dikabutkan dan direaksikan dengan udara kering. Reaksi (2) terjadi dalam konverter atau reaktor katalis V2O5. Reaksi (3) terjadi dalam tangki pengencer, gas belerang trioksida diserap dengan asam sulfat (93-98,5%). Proses produksi asam sulfat yang menggunakan proses kontak akan melewatkan campuran sulfur dioksida dan udara dengan bantuan katalis kemudian diikuti dengan absorbs sulfur trioksida di dalam asam sulfat. Proses kontak dapat ditingkatkan dengan menggunakan oksigen berlebihan di dalam campuran gas reaksi. Proses kontak telah menjadi proses industri yang murah, kontinyu, dan dapat dikendalikan otomatis (Lutfiani, 2008). Sulfur trioksida yang digunakan memiliki sifat kimia khas, yaitu jika bereaksi dengan air dapat membentuk asam kuat. Bahkan dengan udara lembab, sulfur trioksida membentuk uap putih tebal dengan bau yang menyengat.
Tabel 5 Sifat Fisik Sulfur Trioksida Sifat Fisik
Nilai
Berat molekul
80,06 g/mol
Titik leleh
3,57oC
Titik didih
16,86oC
Densitas standar
44,8 kg/m3
Panas penguapan pada titik didih
528 J/g
Sumber Lutfiani (2008).
Ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan pada saat menggunakan konversi gas SO3 dari sistem produksi asam sulfat. Pertama, gas SO 3 yang dihasilkan mendekati 18% lebih sehingga perlu dilarutkan menjadi konsentrasi normal yang dibutuhkan bagi konsentrasi sulfonasi (sekitar 4-7%). Oleh karena itu, perlu dilengkapi penyuplai udara yang dapat menambah biaya dan alat. Kedua, karena bed konverter absorbs asam sulfat menggunakan udara kering, maka udara kering- SO3 dari proses produksi asam sulfat memiliki titik didih lebih tinggi (-35oC) dibandingkan yang dibutuhkan pada proses sulfonasi (-60oC sampai dengan -80oC). Titik didih yang tinggi membuat masalah pada kualitas produk dalam proses sulfonasi dan mempercepat korosi pada peralatan proses. Ketiga, tekanan dari udara-SO3 yang terbentuk biasanya tidak cukup bagi proses sulfonasi. Pemberian tambahan tekanan terhadap udara- SO3 dari konverter bukan hal yang mudah karena memerlukan kompresor tinggi untuk menahan lingkungan korosif dan dapat membentuk aliran udara basah. Masalah ini dapat diatasi, tetapi solusi ini tidak murah. Mempertimbangkan semua masalah yang melekat dalam memanfaatkan aliran gas dari konverter pabrik asam sulfat, kesimpulannya adalah bahwa secara teknis layak. Namun pemilihan ini menambahkan kesulitan operasional yang signifikan dan tidak berdampak pada penghematan biaya besar atas instalasi pabrik sulfonasi yang tetap memerlukan lengkap pembakaran belerang (Foster, 1997). Reaktor yang digunakan untuk proses harus dapat memenuhi syarat. Menurut McCabce et al. (1993), persyaratan utamanya adalah bahan reaktor tidak bereaksi dengan fluida di dalam menara, harus kuat tapi tidak terlalu berat, bentuknya tidak menyebabkan zat cair terperangkap, memungkinkan terjadinya
kontak yang memuaskan antar zat cair dan gas (fluida yang direaksikan), dan tidak terlalu mahal. Bila dari logam, dapat terbuat dari baja, aluminium, atau stainless steel. Secara ideal, zat cair mengalir membentuk lapisan tipis ke seluruh permukaan menuruni reaktor. Film yang terbentuk cenderung menebal pada beberapa tempat tertentu dan menipis di tempat lain sehingga zat cair mengumpul menjadi arus-arus kecil dan mengalir melalui lintasan tertentu dalam dinding reaktor. Pada aliran rendah, sebagian permukaan mungkin mengering atau diliputi oleh zat cair stagnan. Kondisi ini disebut pengkanalan (channeling) dan menjadi penyebab utama kinerja kurang efisien. Ukuran diameter menara sedikitnya 8 kali diameter lubang pengisian, sehingga zat cair cenderung mengalir di dinding kolom. Reaktor tipe film merupakan reaktor yang paling banyak digunakan dalam proses pembuatan deterjen, khususnya untuk memperoduksi produk oleokimia yang diperuntukkan bagi produk kosmetik, dalam reaktor film, bahan organik dialirkan ke dalam dinding reaktor sebagai suatu film yang kontinyu. Kecepatan bahan organik ke dalam reaktor sulfonasi diukur secara akurat menggunakan flowmeter dan dikendalikan oleh pompa. Reaktor dengan banyak tabung (multitube) merupakan jenis reaktor sulfonasi yang umum digunakan. Pada reaktor jenis ini, bahan organik didistribusikan ke sejumlah tabung reaksi yang disusun secara paralel. Tabung disusun berkumpul dengan arah vertikal. Gas SO3 dan bahan organik mengalir menuruni tabung secara bersamaan, bereaksi dan keluar dari bagian bawah reaktor menuju reaktor pemisah. Panas reaksi dipindahkan oleh air pendingin yang mengalir di sepanjang jaket reaktor. Waktu rata-rata yang dibutuhkan asam mengalir dari atas reaktor menuruni reaktor kemudian menuju pemisah, siklon, dan netralisasi adalah 2-3 menit. Kecepatan bahan organik yang dialirkan tergantung pada ratio mol antara gas sulfur trioksida (SO3) dengan bahan organik. Gas SO3 berdifusi ke dalam bahan organik dan bereaksi membentuk asam sulfonat. Secara umum, gas SO 3 dan bahan organik mengalir bersamaan dari atas reaktor menuju ke bagian bawah
reaktor. Panas reaksi dipindahkan oleh air pendingin yang mengalir sepanjang jaket pendingin di bawah permukaan reaksi dari reaktor. Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan ratio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk mengahsilkan MES dengan mereaksikan gas SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO3 dan metil ester 1,2:1 samapi dengan 1,3:1 pada suhu 50-60oC. Proses sulfonasi menggunakan falling film reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol/jam. Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42 oC. Baker (1995) melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor pada suhu 75-95oC selama 20-90 menit. Penelitian sulfonasi telah dilakukan terhadap metil, etil, dan isopropil ester. Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO 3 dengan ester. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alfa. Pada reaksi selanjutnya dengan mol SO3 kedua kemudian akan menyempurnakan sulfonasi sehingga membentuk produk antara. Produk sulfonat yang baik ditunjukkan dari sulfonasi metil ester dengan suhu 60oC, dengan lama sulfonasi 1 jam, yang menghasilkan produk 90% sodium alfa sulfonat dan 1% garam sodium (Smith and Stirton, 1967). Sulfonasi terjadi dengan cukup baik pada rasio metil ester : SO 3 sebesar 1:1,3 pada suhu 70-90oC. Pada suhu rendah, reaksi eksotermal terjadi secara cepat dan hanya sedikit reaksi sulfonasi terjadi. Agar sulfonasi berjalan sempurna, SO 3 yang digunakan secara berlebih. Jumlah SO3 yang digunakan merupakan faktor yang menentukan pembentukan produk samping. Proses sulfonasi minyak inti sawit secara batch menggunakan SO3 30%-mol berlebih pada reaktor skala laboratorium merupakan fungsi jumlah SO3, sementara pada proses secara kontinyu hanya dibutuhkan kelebihan gas SO3 lebih sedikit. Proses sulfonasi menggunakan SO3 berlebih 30%-mol selama 50-60 menit pada reaktor diskontinyu menghasilkan tingkat sulfonasi sekitar 95%. proses sulfonasi menggunakan SO3 berlebih 20%-mol pada falling film reactor kontinyu menghasilkan tingkat sulfonasi lebih besar 97% (Stein dan Baumann, 1975).