II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air karena strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Gugus hidrofilik bersifat mudah larut dalam air, sedangkan gugus hidrofobik bersifat mudah larut dalam minyak (Pratomo 2005). Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik, berarti mereka terdiri dari hidrokarbon rantai (kelompok hidrofobik, "ekor") dan kelompok hidrofilik ("kepala"). Oleh karena itu, mereka larut dalam pelarut organik dan air. Mereka mengadsorpsi atau berkonsentrasi di permukaan atau antarmuka fluida/cairan untuk mengubah sifat permukaan secara signifikan, khususnya untuk mengurangi tegangan permukaan atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng 2011). Surfaktan anionik adalah yang paling banyak digunakan dalam injeksi kimia untuk Enhanced Oil Recovery karena mereka menunjukkan adsorpsi yang relatif rendah pada batuan pasir yang permukaannya bermuatan negatif. Surfaktan non ionik terutama berfungsi sebagai co-surfaktan untuk memperbaiki kelakuan fasa. Meskipun surfaktan non ionik lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi, tetapi sebagian besar tidak tahan terhadap panas yang tinggi, yang membuat IFT-nya naik pada suhu yang tinggi. Cukup sering, campuran anionik dan nonionik digunakan untuk meningkatkan toleransi terhadap salinitas. Surfaktan kationik jarang digunakan dalam reservoir batu pasir karena adsorpsinya yang tinggi pada bautan pasir, surfaktan kationik sering digunakan pada batuan digunakan dalam batuan karbonat untuk mengubah wettability dari oil wet menjadi water wet. Surfaktan zwitterionic mengandung dua kelompok aktif. Jenis surfaktan nonionik zwitterionic dapat-anionik, atau non ionic tergantung pH medianya. Surfaktan ini tahan terhadap suhu dan salinitas, tetapi harganya relatif mahal (Lake 1989). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu yang terdiri atas bagian kepala dan ekor (Gambar 1). Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air/suka minyak), merupakan bagian non polar. Kepala dapat berupa kation atau anion. Sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon (Hui 1996).
Gambar 1. Skematik ilustrasi molekul surfaktan (Holmberg et al. 2003). Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan non-ionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen 2004). Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan bahwa surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 50%, kemudian disusul non-ionik 45%, kationik 4%, dan amfoterik 1% (Watkins 2001).
3
Menurut Matheson (1996) surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonate (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa-olefin sulfonate (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Menurut Sadi (1994) surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan fatty alcohol. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Menurut Flider (2001) surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, Metil Ester Sulfonat (MES), dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida, dan sebagainya. Menurut Hui (1996) karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari metil ester C16-C18, maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang sesuai dan murah untuk memproduksi MES. Karakteristik deterjensi MES yang berbahan baku stearin diketahui mirip dengan LAS (linier alkylbenzene sulfonates). Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai merupakan nilai maksimum kelarutan dibandingkan dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya. MES dengan karakteristik ini sangat berguna untuk menghasilkan deterjen pada suhu rendah (Sheat dan MacArthur 2002). Saat larutan surfaktan diinjeksikan kedalam sebuah sistem minyak dan air, surfaktan akan mendesak minyak bergerak hingga surfaktan terserap atau hilang karena adsorpsi batuan. Untuk memperoleh kondisi residual oil yang rendah dengan mengabaikan perubahan sifat kebasahan wettability oleh surfaktan, tegangan antarmuka antara minyak dan air formasi harus diturunkan dari 20-30 mN/m ke 0.001-0.01 mN/m (Schramm 2000). Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sufonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak memiliki ketahanan terhadap kondisi sadah dan salinitas yang tinggi, sedangkan kelebihannya adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antar muka, bahkan dilaporkan mencapai 0.1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager 2002). Dengan semakin tingginya harga minyak dunia dan perhatian dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan maka diperlukan surfaktan yang berbasis renewable resources, seperti methyl ester sulfonate (MES) (Eka 2008).
2.2
Metil Ester Sulfonat (MES)
Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). (Hui 1996). Surfaktan metil ester sulfonat (MES) diproduksi dengan mereaksikan antara metil ester dengan gas SO3 (Rosen 2004). Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc. Sheats dan MacArthur (2002), menyampaikan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari beberapa minyak seperti minyak kelapa, minyak sawit (CPO dan PKO), tallow (lemak sapi), dan minyak kedelai. Metil Ester termasuk ke dalam golongan ester, ester dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001) melaporkan bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia.
4
Metil ester dapat diproduksi melalui esterifikasi dan transesterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat di Gambar 2. Metil ester juga dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi yang terlihat pada Gambar 3. (Hart 1990).
Minyak/Lemak
Metanol
Metil ester
Gliserin
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol. RCOOH + Asam lemak
R’OH Alkohol
RCOOR’ + H2O Ester Air
Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol. MacArthur et al. (2001) menyatakan bahwa studi tentang MES dengan rantai C16-C18 menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik dari pada surfaktan LAS atau AS dalam hal pencucian di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm. Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins 2001). Struktur kimia metil ester sulfonat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia MES (Watkins 2001). Kelebihan surfaktan MES dibanding surfaktan yang berbasis petrokimia adalah sifatnya yang renewable, mudah didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah, karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah (Matheson 1996). Panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besar afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan
5
gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya, panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon (Swern 1979). Menurut Hovda (1994) karakteristik bahan baku memberikan pengaruh terhadap kualitas produk MES yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia metil ester stearin yang dapat diuji meliputi: bilangan asam, bilangan iod, kadar gliserol total, total kadar gliserol bebas, kadar gliserol terikat, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak metil ester stearin. Menurut Watkins (2001) komposisi asam lemak metil ester stearin didominasi oleh C16 (ester asam lemak palmitat) dan C18:1 (ester asam lemak oleat) yaitu 51.05% dan 25.19 %. Asam lemak C16 dan C18 memiliki sifat deterjensi yang baik sehingga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada proses produksi surfaktan. Komposisi asam lemak metil ester seperti di atas dimiliki oleh stearin sawit seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak Asam Lemak Kaplirat (C8) Kaprat (C10) Laurat (C12) Miristat (C14) Palmitat (C16) Stearat (C18) Arakidat (C20)
Kelapa C12-C14 71.5 28.0 0.6 -
Inti Sawit C8-C18 5.2 4.4 51.0 15.0 7.2 17.2 -
Stearin Sawit C16-C18 0,2 1,5 65.4 32.2 0.7
Tallow C16-C18 3.1 31.6 63.6 1.8
Sumber: Sheat dan MacArthur (2002)
Stearin merupakan produk hasil dari proses fraksinasi CPO, proses fraksinasi CPO menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% destilat asam lemak minyak sawit (palm fatty acid destilate /PFAD) dan 0.5% losses. Saat ini stearin banyak digunakan sebagai bahan baku pembuat margarin dan shortening, dengan produktifitas CPO yang tinggi stearin prospektif untuk dikembangkan menjadi surfaktan MES karena memiliki availability/ketersedian bahan baku yang selalu tersedia dan terbaharui. Stearin termasuk ke dalam lemak nabati yang memiliki rantai ikatan C 16-C18 dominan, yang memiliki daya deterjensi tinggi sehingga memungkinkan akan berkemampuan tinggi dalam memperkecil nilai interfacial tension (IFT) apabila diproduksi menjadi surfaktan MES (LIPI 2008). Menurut MacArthur (2002) asam lemak yang mempunyai atom C12-C14 berperan terhadap pembusaan, sedangkan asam lemak yang mempunyai C 16-C18 berperan terhadap kekerasan dan deterjensi. Metil ester palm stearin memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai krafft point minimum 17°C dan ini merupakan nilai maksimum kelarutan dalam air dingin, dibandingkan dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H (Bernardini 1983). Proses sulfonasi berbeda dengan proses sulfatasi, walaupun secara struktur memiliki kesamaan. Pada proses sulfonasi, SO3 terikat langsung pada atom karbon C sedangkan pada sulfatasi membentuk ikatan karbon-oksigen-sulfur (Foster 1996). Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmi (2010) melaporkan analisis sifat fiskokimia dari metil ester dari stearin sawit adalah sebagai berikut:
6
Tabel 2. Hasil Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin Sifat fisikokimia Bilangan asam (mg KOH/ g ME) Bilangan iod (mg I/g ME) Kadar gliserol total (%b) Kadar gliserol bebas (%b) Kadar gliserol terikat (%b) Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) Komposisi ester asam lemak (%) C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2
Metil Ester Stearin 0.21 29.91 0.20 0.018 0.19 207.39
Referensi Maks. 0.5* Maks. 3.0 ** Maks. 0.5* -
0.07 1.12 51.05 2.27 25.19 10.31
Keterangan: *Moretti dan Adami (2001), ** Sheat dan MacArthur (2002)
Menurut Speight (2002) dan Kucera (2001) reaksi sulfonasi adalah reaksi pembentukan asam sulfonat (SO3H) pada molekul organik dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi didefinisikan sebagai komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu senyawa dengan gugus sulfonat (SO3H). Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18 Analisa Metil ester sulfonat (MES) (%b/b) Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (%b/b) Metanol (%b/b) Hidrogen peroksida (% b/b) pH Klett color 5% aktif Sodium metil sulfat (%) Petroleum ether extractables (PEX) (% b/b)` Sodium karboksilat (% b/b) Sodium sulfat (% b/b)
Nilai 83 3.5 0.07 0.13 5.3 310 7.2 2.4 0.3 7.2
Sumber: Sheats dan MacArthur (2002)
Menurut Watkins (2001) proses produksi metil ester sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu 80-90°C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan H 2O2 atau larutan methanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahapan netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula. Menurut Hovda (1994) semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi maka produk yang dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Selain itu warna gelap dikarenakan reaksi gas SO 3
7
terhadap ikatan rangkap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada pembentukan warna, ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna (Robert et al. 2008). Menurut Matheson (1996) metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah.
2.3
Produksi Tahap Lanjut/Enhanced Oil Recovery (EOR)
Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut/enhanced oil recovery merupakan usaha terkini untuk meningkatkan produksi minyak pada lapangan tua yang telah mengalami penurunan produksi yang signifikan, dimana water cut sudah sangat tinggi mendekati angka 99% di beberapa lapangan. Pada kondisi ini, harus dilakukan implementasi teknologi pengurasan tahap lanjut agar dapat menaikkan produksi minyak. Mengingat sebagian besar lapangan minyak di Indonesia telah mengalami penurunan produksi atau pada tahap akhir dari primary dan secondary recovery, sedangkan untuk menemukan lapangan-lapangan baru sangat sulit karena daerah yang belum dieksplorasi kebanyakan berada di laut dalam yang beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengurasan tahap lanjut merupakan keharusan (Eni et al. 2007). Menurut Rachmat (2009) terdapat berbagai cara perolehan minyak tahap lanjut, yaitu dengan cara injeksi fluida tak tercampur (non miscible flood); injeksi air, injeksi gas, injeksi fluida tercampur (miscible flood), injeksi gas CO2, injeksi gas tak reaktif, injeksi gas yang diperkaya, injeksi gas kering, injeksi kimiawi (chemical injection), injeksi alkalin, injeksi polimer, injeksi surfaktan, injeksi termal (thermal injection); injeksi air panas, injeksi uap air, pembakaran di lubang sumur dan lain-lain. Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primer phase), fase skunder (skunder phase), dan fase tersier (teritiary phase). Pada fase primer di terapkan proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi menggunakan asam (acidizing, metode fracturing, dan metode sumur horizontal), pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood dan waterflood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian material yang menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan fluida (Gomaa 1997). Menurut Emegwalu (2009) EOR mengacu pada recovery minyak yang tertinggal setelah metode pemulihan primer dan sekunder.
Produksi primer adalah dimana pertama kali minyak keluar (easy oil). Setelah sumur dibor dan diselesaikan di zona reservoir hidrokarbon, tekanan alami pada kedalaman reservoir yang akan menyebabkan minyak mengalir melalui batuan menuju lubang sumur yang tekanan rendah, sehingga menyebabkan minyak terangkat ke permukaan dengan sendirinya. Recovery pada tahap ini berada pada kisaran 10-15% dari OOIP.
8
Metode recovery sekunder (secondary recovery)digunakan ketika ada tekanan bawah tanah cukup untuk memindahkan sisa minyak. Teknik yang paling umum adalah waterflooding, yang menggunakan sumur injektor untuk memasukkan air dalam jumlah besar ke dalam reservoir untuk menjaga tekanan dan menyapu minyak ketika air bergerak melalui reservoir. Recovery yang diperoleh adalah antara 10-30% dari OOIP. Proses tersier yang diperoleh setelah recovery sekunder menggunakan miscible gases, bahan kimia/termal recovery untuk mendapatkan additional oil setelah proses recovery sekunder menjadi tidak ekonomis.
Menurut Wahyono (2009) EOR dilakukan pada tahap kedua dan ketiga. Karena dilakukan di lapangan-lapangan yang secara primary recovery sudah susah ditingkatkan. Untuk kepentingan ini maka dilakukanlah injeksi air/waterflooding dan kemudian injeksi kimia/chemical injection. Mekanisme perolehan minyak bumi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Mekanisme perolehan minyak bumi (Wahyono 2009). Dalam metode injeksi kimia, surfaktan flooding merupakan proses yang sangat efektif untuk me-recovery sebagian besar minyak konvensional (25°API atau lebih tinggi) yang tersisa di reservoir setelah waterflood yang mampu mendapatkan sebanyak 60% OOIP. Prinsip dasar dari penggunaan surfaktan flooding adalah untuk memulihkan sifat kapiler minyak yang tersisa/residual oil yang masih terjebak saat waterflooding dengan menginjeksikan larutan surfaktan. Residual oil dapat didesak bergerak melalui pengurangan tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dan air. Jika IFT dapat dikurangi antara minyak dan air, resistansi terhadap aliran pasti berkurang. Jika surfaktan yang dipilih adalah tepat, penurunan IFT dapat sebanyak 10-3 dyne/cm, dan recovery yang dihasilkan berkisar 1020% dari OOIP, jika tidak producible oleh teknologi lainnya, secara teknis dan ekonomis layak dengan surfaktan flooding. Menurut Nummedal et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air injeksi. Proses perolehan minyak bumi
9
menggunakan surfaktan disebut dengan surfaktan flooding, karakteristik air/fluida yang diinjeksikan ke dalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi. Demikan pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antarmuka yang rendah meningkatkan capillary number. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif. Technology Assesment Board (1978) menyatakan bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi peningkatan recovery minyak. Pemilihan surfaktan merupakan proses yang penting dalam mempengaruhi keberhasilan enhanced oil recovery. Sebelum proses implementasi, dibutuhkan penelitian laboratorium yang intensif untuk mendapatkan surfaktan yang cocok pada reservoir. Selain itu, parameter lain seperti konsentrasi optimal, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus telah diuji dengan baik. Beberapa percobaan yang dapat dilakukan dalam memilih surfaktan di antaranya adalah: uji kelarutan minyak, efek dari elektrolit, uji densitas dan uji viskositas larutan surfaktan, identifikasi formula optimal surfaktan-cosolvent, dan identifikasi formulasi optimal untuk percobaan core flood (Lake 1989). Ilustrasi injeksi surfaktan dalam EOR dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Skematik enhanced water flooding pada aplikasi di lapangan minyak (Gurgel et al. 2008). Ayirala (2002) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi antara surfaktan dengan permukaan pori batuan yang berpengaruh terhadap wettability/sifat kebasahan adalah: struktur surfaktan, konsentrasi surfaktan, komposisi permukaan pori, stabilitas thermal surfaktan, co-surfaktan, elektrolit, pH dan temperatur, porositas dan permeabilitas batuan serta karakteristik reservoir. Adsorpsi surfaktan pada antar muka padat-cair merupakan kondisi yang tidak diperlukan tetapi dibutuhkan untuk perubahan kebasahan/wettability. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa wettability berubah dari oil-wet ke water-wet karena adsorpsi surfaktan. Water flooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Injeksi air merupakan salah satu metode peningkatan perolehan minyak yang banyak digunakan di industri perminyakan. Hal ini karena air mudah diperoleh, murah dan memiliki mobilitas yang cukup rendah sehingga diharapkan
10
pendesakannya baik.Sedangkan yang menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan air dilakukan pada tertiary recovery/EOR (Wahyono 2009).
2.4
Formula Surfaktan untuk Enhanced Oil Recovery
Pemilihan surfaktan merupakan proses terpenting yang mempengaruhi keberhasilan proses injeksi surfaktan. Sebelum proses implementasi, pengkajian laboratorium secara ekstensif diperlukan dalam rangka memastikan surfaktan yang dipilih tepat untuk suatu reservoir. Juga, parameter seperti konsentrasi surfaktan, laju injeksi, dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus diuji dan dipastikan. Ini memberikan pengetahuan terhadap kelebihan dan kekurangan surfaktan dengan memperhatikan keuntungan terhadap reservoir, dan dapat membantu dalam prediksi perolehan minyak. Beberapa uji dapat digunakan dalam rangka pemilihan surfaktan diantaranya: uji kelarutan minyak, pengaruh elektrolit, uji densitas larutan surfaktan, uji viskositas larutan surfaktan, uji waktu kelarutan, identifikasi formulasi optimal surfaktan-co-solvent, dan core flood (Lake 1989). Untuk mendapatkan gambaran peningkatan recovery minyak, sejumlah penelitian di laboratorium harus dilaksanakan, uji kompatibilitas, pengukuran IFT (sebagai parameter terpenting), uji kelakuan fasa, injektifitas, dan adsorbsi surfaktan oleh batuan, sebelum implementasi surfaktan di lapangan (Eni et al. 2007). Adapun karakteristik formula surfaktan yang diharapkan untuk EOR menurut BPMIGAS (2009) adalah sebagai berikut: Kompatibilitas
: Positif
Adsorpsion
: < 400 µg/gr batuan
IFT
: 10-2 – 10-4 dyne/cm
Temperatur
: stabil, sesuai suhu reservoir
pH
: 6-8
Bentuk fasa
: tipe III (fasa tengah) atau minimal tipe II (-)
Recovery oil
: 10-20 % incremental
Filtration Rate
: < 1.2
Subjek penting lainnya pada surfaktan untuk enhanced water flooding adalah adsorpsi surfaktan. Adsorpsi surfaktan merupakan pertimbangan penting dalam semua penerapan dimana surfaktan akan kontak dengan permukaan padat. Banyak surfaktan teradsorpsi pada sela batuan hingga terjadi interaksi elektrostatik antara lokasi aplikasi pada permukaan padat dan surfaktan. Faktor yang mempengaruhi adsorpsi surfaktan dalam sebuah reservoir meliputi temperatur, pH, salinitas, tipe surfaktan, dan tipe batuan. Seperti biasa, satu-satunya faktor yang dapat dimanipulasi untuk tujuan enhanced oil recovery adalah tipe surfaktan, yang disesuaikan dengan kondisi reservoir (Ayirala 2002). Surfaktan dapat menghasilkan ultra-low IFT antara air dan minyak, yang dapat menarik minyak yang terperangkap di batuan. Kinerja surfaktan tergantung pada berbagai kondisi seperti sifat minyak, temperatur reservoir dan kondisi ionik. Oleh karena itu formulasi surfaktan harus dirancang dan diuji secara spesifik pada kondisi reservoir, tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menyebarkan surfaktan dan bahan kimia lain yang diperlukan melalui media berpori dalam tekanan rendah dan mempertahankan kontrol mobilitas (Leviit 2006). Sugihardjo et al. (2002) menambahkan bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Menurut Nuraini et al. (2004) dengan turunnya tegangan antarmuka minyak-air, maka tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang, sehingga sisa minyak yang
11
terperangkap dalam pori-pori batuan mudah didesak dan diproduksikan. Surfaktan bila dilarutkan di dalam air atau minyak, akan membentuk micelle yang merupakan mikroemulsi dalam air atau minyak. Micelle berfungsi sebagai media yang bercampur (miscible) baik dengan minyak maupun air secara serentak. Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah, maka ditambahkan co-surfaktan. Pada umumnya co-surfaktan yang digunakan adalah alkohol/ROH (C4, C5 dan C6). Menurut Ayirala (2002) co-surfaktan yang ditambahkan ke dalam surfaktan dapat berinteraksi dengan surfaktan didalam larutan untuk memperbaiki karakteristik surfaktan. Beberapa alkohol dapat menurunkan tegangan antarmuka. Pencampuran surfaktan seperti anionik dan non anionik dapat menurunkan adsorpsi surfaktan. Penurunan nilai IFT yang timbul dari penambahan surfaktan ke suatu larutan akan mengurangi pengaruh gaya kapiler. Jika IFT dapat diturunkan mencapai nilai yang cukup, mobilisasi minyak secara fisik dapat terjadi. Nilai IFT antar minyak dan air berada pada kisaran nilai 35-36mN/m (1mN/m = 1dyne/cm), dengan menambahkan surfaktan ke dalam system, nilai tersebut dapat diturunkan secara signifikan mencapai ultra-low IFT 1 x 10-3 mN/m (Nasiri 2011). Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak/air merupakan salah satu parameter utama dalam EOR. Pengukuran nilai IFT menggunakan alat spiningdrop interfacial tension pada suhu sekitar 70°C. Indikasi dari kinerja surfaktan adalah menurunnya tegangan antar muka minyak-air, semakin rendah semakin baik. Nilai IFT yang diyakini agar surfaktan tersebut layak untuk diinjeksikan adalah sekitar 10-3 dyne/cm (Eni et al. 2007). Leviit (2006) menyatakan bahwa ultra-low IFT pada nilai 10-3 dyne/cm diperlukan untuk memobilisasi residual oil yang terdapat dalam batuan reservoir dan mengurangi jumlah residual oil yang jenuh menuju nol pada reservoir. Ditambahkankan oleh Drelich et al. (2002) produksi minyak dengan menggunakan proses surfactant flooding sangat dipengaruhi oleh kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95% air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Sugihardjo et al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka. Menurut Jackson (2006) penggunaan alkali juga harus mempertimbangkan sifat kimia dari reservoir. Bahkan ketika natrium karbonat memiliki kinerja yang baik pada phase behaviour, tetap harus diuji dengan contoh batuan reservoir karena reaksi kimia yang rumit dapat terjadi dengan mineral-mineral batuan. Menurut Sheng (2011) terdapat 6 alkali yang dapat digunakan untuk menurunkan IFT adalah NaOH, Na2SiO3, Na4SiO4, Na3PO4, NaHCO3, dan Na2CO3. Alkali dalam terkait injeksi kimia, penambahan alkali seperti natrium karbonat meningkatkan kekuatan ion (salinitas). Konsentrasi alkali meningkat, menyebabkan salinitas optimum menurun. Hal tesebut membuat anjuran untuk mengurangi salinitas optimal. Menurut Hirasaki dan Zhang (2009) alasan memilih natrium karbonat sebagai alkali dalam formulasi surfaktan diantaranya adalah: 1. pH yang cukup tinggi menghasilkan surfaktan alami dari reaksi penyabunan in situ dari kandungan asam naftenat dalam minyak mentah. 2. Natrium karbonat menekan konsentrasi ion kalsium (Ca2+). 3. Natrium karbonat lebih dapat mengurangi tingkat pertukaran ion dan pelepasan mineral (dalam batu pasir) dibandingkan dengan natrium hidroksida. 4. Adsorpsi surfaktan anionik rendah dengan penambahan alkali, khususnya dengan natrium karbonat.
12
5. 6.
Endapan karbonat tidak mempengaruhi permeabilitas dibandingkan dengan hidroksida dan silikat. Natrium karbonat adalah alkali yang tidak mahal.
Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium karbonat/sodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada batuan reservoir. Karenanya, perambatan/aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam memperbaiki hidrasi polimer. Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Tekanan kapiler yang rendah diperlukan untuk merecovery sebagian besar sisa minyak yang masih terjebak setelah waterflooding. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat diproduksi. Pengaruh dari IFT dalam recovery minyak dimodelkan oleh kurva capillary desaturation, dimana saturasi residual oil berkorelasi dengan fungsi capillary number. Capillary number (Nc) didefinisikan sebagai rasio viskositas dan gaya kapiler. Capillary number secara umum dapat dihitung dari persamaan di bawah ini:
𝑁𝑐 =
𝑣𝜇 𝜎 cos ø
Keterangan: v = laju alir efektif (cm/s) µ = viskositas larutan pendesak (cp) σ = tegangan antarmuka (dyne/cm) Ø= sudut kontak kebasahan/wetting angle Menurut Emegwalu (2010) peningkatan nilai capilary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil. Peningkatan viskositas dari fluida menyebabkan peningkatan kecepatan perpindahan yang tidak efektif. Namun, nilai Nc yang besar dapat dicapai dengan cara mengurangi tegangan antarmuka (IFT) antara air dan minyak dengan menggunakan surfaktan. Korelasi antara minyak yang dapat diperoleh dan nilai capillary number dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan capillary number dengan oil recovery (Chatzis dan Morrow 1994).
13
Waterflood pada kondisi water-wet biasanya memiliki nilai Nc berkisar antara 10-7-10-5. Critical capillary number berada pada kisaran 10-5-10-4 . Namun pada kondisi desaturasi oil-wet nilai Nc berada pada kisaran 10-2-10-1 (Emegwalu 2010).
2.5
Uji Kinerja Surfaktan 2.5.1
Kestabilan Terhadap Panas (Thermal Stability)
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi molekul surfaktan. Salah satu jenis degradasi surfaktan adalah degradasi thermal yang disebabkan oleh suhu yang tinggi (Sugihardjo et al. 2001). Menurut Ayirala (2002) secara normal dibutuhkan waktu yang lama untuk surfaktan berpindah melewati pori batuan reservoir dan mengubah wettability permukaan pori batuan. Surfaktan harus menjaga struktur kimia dan tegangan antarmuka. Stabilitas surfaktan pada temperatur reservoir dalam fluida reservoir dapat ditentukan melalui pengukuran interfacial tension di laboratorium.
2.5.2
Kelakuan Fasa (Phase Behaviour)
Pengamatan di laboratorium terhadap kelakuan fasa fluida campuran antara surfaktan, air injeksi dan minyak dilakukan dengan cara uji tabung, yaitu mencampurkan masing-masing fluida tersebut kedalam tabung reaksi dengan perbandingan volume dan kombinasi konsentrasi tertentu. Campuran yang terbentuk tersebut dikocok dan kemudian dipanaskan dalam oven hingga mencapai suhu reservoir, sehingga terbentuk fasa yang stabil, yang kemudian diamati kondisi fasanya (Sugihardjo et al. 2002). Menurut Leviit (2006) transisi pada phase behaviour dapat disebabkan oleh perubahan variabel seperti salinitas, temperatur, struktur surfaktan, atau equivalen alkane carbon number (EACN) dari minyak. Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antar muka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo et al. 2002). Kelakuan fasa larutan surfaktan sangat dipengaruhi oleh salinitas air formasi. Secara umum, meningkatkan kosentrasi salinitas menurunkan kelarutan surfaktan anionik dalam air formasi/injeksi. Surfaktan didorong keluar dari air formasi dengan meningkatnya konsentrasi elektrolit (Sheng 2011). Menurut Sugihardjo et al. (2002) secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata diklasifikasikan dalam 4 kategori. 1. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. 2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs.
14
3. Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas di atas optimal salinitas cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs
Salinitas rendah
Fasa bawah/tipe II (-)
Salinitas optimum
Fasa tengah/tipe III
Salinitas tinggi
Fasa atas/tipe II (+)
Gambar 8. Diagram ternery air-surfaktan-minyak (Pope 2007). Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (phase form III) atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Sugihardjo et al. 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat dipastikan berjalan efektif. Pada penelitian ini digunakan uji tabung untuk mengetahui kelakuan fasa yang terjadi pada campuran minyak-air-surfaktan setelah perlakuan suhu. Sugihardjo et al. (2001) menyatakan dalam fasa campuran yang membentuk mikroemulsi, mempresentasikan kondisi pendesakan terbaur (miscible displacement). Sedangkan dalam fasa campuran yang membentuk emulsi (fasa atas atau fasa bawah), mempresentasikan kondisi pendesakan tak berbaur (immiscible displacement). Kelakuan fasa campuran tersebut, sangat dipengaruhi oleh: salinitas air pelarut, jenis dan konsentrasi alkohol, suhu, jenis dan konsentrasi surfaktan serta jenis minyak.
15
2.5.3
Uji Filtrasi (Filtration Test)
Tujuan uji filtrasi adalah untuk memberikan gambaran apakah surfaktan yang akan dinjeksikan akan membentuk pluging atau tidak. Uji filtrasi dilakukan dengan melewatkan 500 ml larutan surfaktan melalui membran saring ukuran 0.22 mikron dengan diberi tekanan 1.5 bar. Setiap 50 ml larutan surfaktan yang melewati kertas saring, dicatat waktunya. Kemudian dibuat grafik volume (ml) versus waktu (detik) (Eni et al. 2000).
2.6
Core Flooding Test 2.6.1 Formasi Reservoir Hampir semua aplikasi kimia EOR berada pada reservoir batu pasir, dan beberapa proyek stimulasi pada reservoir batu karbonat. Salah satu alasan sedikitnya aplikasi surfaktan di reservoir karbonat adalah karena surfaktan anionik memiliki adsorpsi yang tinggi dalam karbonat. Alasan lain adalah bahwa anhidrit sering ada di karbonat, yang menyebabkan presipitasi/endapan dan kebutuhan alkali yang tinggi (Sheng 2011). Kebanyakan formasi reservoir terdiri dari campuran silika, clays, batu gamping dan dolomit. Berdasarkan kecenderungan wettability dari komponen matrik silika, sering diasumsikan kebanyakan reservoir minyak bersifat suka air/water-wet. Walau begitu banyak reservoir yang bersifat oil wet ditemukan melalui analisis laboratorium dengan mengukur sudut kontak antara fluida dan batuan reservoir dari berbagai daerah di dunia (Ayirala 2002). Menurut Lake (1987) reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk me-recovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Banyak hal yang mempengaruhi perolehan minyak dari sumur, diantaranya adalah porositas, dan permeabelitas dari batuan reservoir. Porositas adalah kemampuan untuk menyimpan, sedangkan permeabilitas yaitu kemampuan untuk melepaskan fluida tanpa merusak partikel pembentuk atau kerangka batuan. Porositas dan permeabilitias sangat erat hubungannyan sehingga dapat dikatakan bahwa permeabilitas tidak mungkin ada tanpa adanya porositas, walaupun sebaliknya belum tentu demikian (Nurwidiyanto et al. 2005). Gambaran struktur batu pasir dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Penampang batu pasir/sandstone (Loehardjo et al. 2007). Menurut Rachmat (2009) batuan reservoir didefinisikan sebagai suatu wadah yang di isi dan di jenuhi minyak dan/atau gas, merupakan lapisan berongga/berpori-pori. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metaforf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan ternyata 99% batuan reservoir adalah batuan sedimen.
16
Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan bumi yang mengandung minyak dan gas, sedangkan bila berisi air disebut aquifer. Batu pasir merupakan batuan yang penting pada reservoir maupun aquifer. Sekitar 60% dari reservoir minyak terdiri atas batu pasir dan 30% terdiri atas batu gamping dan sisanya adalah batuan lain. Menurut Rachmat (2008) temperatur reservoir merupakan fungsi dari kedalaman. Hubungan ini dinyatakan oleh gradient geothermal. Harga gradient geothermal itu berkisar antara 0.3°F/100 ft sampai dengan 4°F/100 ft. Tekanan reservoir didefinisikan sebagai tekanan fluida didalam pori-pori reservoir, yang berada dalam keadaan setimbang, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya suatu proses produksi. Berdasarkan hasil penyelidikan, besar tekanan reservoir mengikuti suatu hubungan yang linear dengan kedalaman reservoir tersebut ke permukaan, sehingga reservoir menerima tekanan hidrostatis fluida pengisi formasi. Berdasarkan ketentuan ini, maka pada umumnya gradient tekanan berkisar antara 0.435 psi/ft. Menurut Wahyono (2009) porositas adalah suatu besaran yang menyatakan perbandingan antara volume ruang kosong (pori-pori) di dalam batuan terhadap volume total batuan (bulk volume). Porositas dinyatakan dalam fraksi atau dalam persen (%). Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu ukuran kemampuan batuan berpori untuk melalukan fluida (memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain). Permeabilitas dinyatakan dalam Darcy atau mdarcy, 1 darcy adalah ukuran kemampuan batuan untuk melalukan fluida pada kecepatan 1cm3/detik dengan viskositas 1 centipoise melalui penampang pipa/pori 1 cm2 sepanjang 1 cm, pada perbedaan tekanan sebesar 1 atmosfir. Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte 1989). Menurut Koesoemadinata (1978) porositas dikelompokkan menjadi diabaikan (negligible) 0–5%, buruk (poor) 5–10%, cukup (fair) 10–15%, baik (good) 15–20%, sangat baik (very good) 20–25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD. Menurut Allen and Robert (1993) selain porositas dan permeabelitas sifat reservoir juga dipengaruhi oleh sifat kebasahan/ wettability, wettability merupakan sifat kebasahan permukaan batuan. Batuan bersifat water-wet berarti batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh air daripada minyak. Demikian juga sebaliknya batuan oil-wet maksudnya batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada air. Hal ini menyebabkan batuan yang bersifat oil wet atau sifat kebasahan terhadap minyak besar menyebabkan minyak mudah terperangkap sehingga mengakibatkan residual oil. Boneau and Clampitt (1977) melakukan percobaan core flooding baik pada batuan pasir yang bersifat oil-wet dan water-wet dengan permeabilitas, porositas dan struktur pori yang sama menggunakan surfaktan dan mendapatkan recovery minyak tersier dalam range 55-65% pada batuan pasir yang bersifat oil-wet dan 90-95% pada batuan pasir yang bersifat water-wet.
17
Surfaktan mendesak lebih sedikit minyak dari batuan pasir yang bersifat sangat oil-wet karena tiga sampai lima kali lebih banyak jumlah sulfonat teradsorpsi pada batuan pasir yang bersifat oil-wet daripada batuan pasir yang bersifat water-wet. Menurut Kristanto (2010) prinsip dasar dari soaking surfaktan ini adalah menginjeksikan sejumlah tertentu chemical ke dalam reservoir dengan anggapan minyak yang dapat terdorong oleh air (waterflooding) akan bergerak menjauhi lubang sumur dan yang akan bereaksi hanya residual oil yang tidak terkuras/tersapu oleh air, setelah itu surfaktan yang diinjeksikan akan bekerja dan bereaksi dengan menurunkan tegangan antarmuka pada saat perendaman/soaking dilakukan karena surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT).
2.6.2 Fluida Reservoir Menurut Rachmat (2008) fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran rumit dari berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Sheng (2011) menambahkan bahwa komposisi minyak sangat penting untuk alkali-surfaktan flooding karena surfaktan yang berbeda harus dipilih untuk minyak yang berbeda. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi kepermukaan, bersifat asin dengan salinitas rata-rata diatas air laut, kandungan utama air formasi adalah unsur Ca (kalsium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) yang dapat ditemukan dalam jumlah besar. Sedangkan air injeksi adalah air yang memiliki komposisi dan konsentrasi yang berbeda dengan air formasi. Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada fase sekunder/waterflooding. Perbandingan Air formasi dan air injeksi secara umum dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Contoh Kandungan Mineral Air Formasi/Injeksi Lapangan X Jenis Air Air Formasi Air Injeksi Kation mg/L mg/L Sodium 5763 9862 Kalsium 296.6 256.5 Magnesium 41.3 1079.8 Ferrum 6.7 6.7 Anion Klorida 9041.5 17019.4 Bikarbonat 842 134.2 Sulfat 2317.3 Karbonat Total 15,991.10 30,675.90 Sumber: Sugihardjo et al. (2002).
Menurut Sugihardjo et al. (2002) air formasi sumur minyak di Indonesia memiliki kadar garam bervariasi antara 2000 sampai dengan 30.000 ppm NaCl (b/b). Salinitas adalah besarnya kandungan garam-garam yang terdapat di dalam air formasi. Menurut Koesoemadinata dan
18
Speight (1980) secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Table 5. Tabel 5. Komposisi minyak bumi secara umum Komponen Karbon Hidrogen Belerang Nitrogen Oksigen Logam
% Bobot 83,9-86,8 11,4-14,0 0,06-0,08 0,11-1,70 ± 0,50 ± 0,03
Menurut Danesh (1998) fluida hidrokarbon minyak bumi pada reservoir dapat terdiri dari ribuan komponen. Komponen tersebut tidak bisa semua didentifikasi dan diukur. Namun, konsentrasi komponen hidrokarbon memiliki struktural kelas yang sama dan kadang-kadang di ukur dan dilaporkan sebagai suatu kelompok.
19