II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble (Allen dan Robert, 1993). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fasa yanag berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Geourgiou et. al., 1992). Menurut Hui (1996) dan Hasenhuettl (1997), peranan surfaktan yang berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekul surfaktan yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu atau bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air) merupakan bagian yang sangat polar sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air / suka minyak) merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio, 1996) Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok penting yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif. Kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), paraffin (secondary alkane sulfonate, SAS) dan metil ester sulfonat (MES) (Matheson, 1996).
4
Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengarungi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya van der walls. Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsentrasi di bawah kondisi CMC sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997). Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) dapat dilihat pada Gambar 2. (Watkins, 2001) :
Gambar 2. Struktur kimia MES Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surfaceactive) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10–18 atom karbon. Kemampuan surfaktan dalam hubungannya untuk meningkatkan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik), yang dapat dilihat dari ukuran HLB (Hydrophile Lypophile Balance). Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan semakin larut dalam minyak. Sebaliknya, semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan semakin cenderung larut dalam air. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya Kisaran
Aplikasi Penggunaan
3-6 7-9 8-15 13-15 15-18
Emulsifier water in oil (w/o) Bahan pembasah Emulsifier oil in water (o/w) Deterjen Bahan pelarut
Sumber : Swern (1979) Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Namun demikian surfaktan MES memiliki kelemahan diantaranya warnanya yang gelap (Rosen, 2004). Proses produksi pembuatan surfaktan MES dimulai melalui proses esterifikasi atau/dan transesterifikasi menjadi metil ester (biodiesel) dengan metanol. Esterifikasi adalah reaksi asam karboksilat (asam lemak) dengan alkohol untuk menghasilkan ester sedangkan transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Reaksi tersebut bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ini, metil ester harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing dan dry washing. Metil ester yang telah terbentuk selanjutnya dilakukan konversi menjadi metil ester sulfonat. Metil ester sulfonat (MES) adalah zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3 atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Watkins, 2001). Menurut Foster (1996), untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi. Proses produksi metil ester sulfonat dapat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu 80–90oC (Watkins, 2001). Proses sulfonasi yang dilakukan oleh pihak SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Centre) menggunakan reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung. Proses sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80–100oC. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Perbandingan metil ester, gas SO3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Proses sulfonasi
6
berlangsung selama 3–6 jam. Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu 70–80oC selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30–40oC selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dengan urutan proses adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV) (Mac Arthur et. al., 2001). Komoditas yang dapat diolah sebagai surfaktan MES adalah jarak pagar. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman yang berasal dari keluarga Euphorbiaceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India. Jarak pagar merupakan golongan pohon perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter dan memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0–1.700 m dpl dan suhu 19–38oC. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi antara 200–2.000 mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari 4.000 mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah kurang subur (Hambali et. al., 2006). Jarak pagar memiliki buah yang terbagi menjadi tiga ruang dimana masing-masing ruang berisi satu biji. Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman dan mengandung banyak minyak (Sinaga, 2006). Gambar buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b) Gambar 3. (a) Buah jarak pagar dan (b) Biji jarak pagar (SBRC, 2010) Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi, sekitar 30–50% sehingga sangat prospektif untuk digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan. Kelebihan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak menganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik (Hambali et.al., 2006). Seperti halnya minyak yang lain, minyak jarak pagar juga tersusun dari beberapa asam lemak. Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat.
7
Sifat fisikokimia minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. dan komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar Analisis c
Kadar air Bilangan asama Bilangan iodb Bilangan penyabunana Densitasa
Satuan
Nilai
% mg KOH/g lemak mg iod/g lemak mg KOH/g lemak g/cm3
0.07 3.21±0.21 96.5 198±0.5 0.911
Sumber : Peace dan Aladesanmi (2008)a ; Hambali et. al. (2006)b ; Gubitz et. al. (1999)c Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar Kandungan asam lemak Asam miristat Asam palmitat Asam stearat Asam arachidat Asam behenat Asam palmitoleat Asam oleat Asam linoleat Asam linolenat
Sifat dan komponen
Persentase (%)
Jenuh, C 14:0 Jenuh, C 16:0 Jenuh, C 18:0 Jenuh, C 20:0 Jenuh, C 22:0 Tidak jenuh, C 16:1 Tidak jenuh, C 18:1 Tidak jenuh, C 20:2 Tidak jenuh, C 22:3
0–0.1 14.1–15.3 3.7–9.8 0–0.3 0-0.2 0–1.3 34.3–45.8 29.0–44.2 0–0.3
Sumber : Gubitz et. al. (1999)
2.2. ENHANCED OIL RECOVERY Menurut Gomaa (1997), pengembangan Lapangan minyak dapat dikelompokkan atas tiga fase yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer, produksi dikontrol dari tenaga alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Optimasi produksi pada fase primer antara lain stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan penambahan energi dari luar seperti gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian dengan penambahan material tertentu yang dapat menyebabkan perubahan fluida dalam reservoir seperti komposisi minyak, rasio mobilitas dan juga karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diijeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solventmiscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam) dan lainnya (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau pada awal pengembangan. Menurut Haynes (1976), teknologi EOR sangat bergantung karakteristik reservoir. Metode primer dan sekunder pada recovery minyak bumi biasanya mencakup 1/3 bagian dari volume minyak awal (OOIP) karena gaya kapilaritas yang tinggi mampu memperangkap minyak
8
dalam pori-pori. Gaya kapilaritas merupakan hasil tegangan antar muka minyak-air menyebabkan terikatnya fluida dalam pori-pori batuan sehingga recovery hanya 1/3 bagian dari OOIP. Walaupun banyak metode yang telah dilakukan dalam metode EOR, tetapi metode dalam menurunkan tegangan antarmuka seperti surfactant flooding lebih memberikan harapan yang besar dalam peningkatan recovery (Zhang et. al., 2007). Menurut Wahyono (2009), waterflooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Penginjeksian air (waterflooding) ke dalam pori-pori reservoir bertujuan agar tekanan reservoir meningkat sehingga minyak terdorong yang mengakibatkan produksi naik atau penurunan produksi (decline) dapat diturunkan. Skema mekanisme recovery minyak dapat dilihat pada Gambar 4. Mekanisme Perolehan Minyak Perolehan Minyak Secara Konvensional
Primer
Tenaga alami
Injeksi air
EOR
Surfaktan
Stimulasi uap panas atau injeksi uap panas secara siklik
Pengangkatan buatan
Tersier
Penggunaan tekanan
Termal
Kimia
Polimer
Sekunder
Miscible
Alkali
Uap panas atau air panas
CO2
Lainnya : mikrobial, listrik, mekanis (getaran, pengeboran horizontal )
Miscible solvent
Gas inert
Pembakaran in-situ
Pendesakan busa Gambar 4. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009) Menurut Gulick dan William (1998), waterflooding telah dikenal sejak tahun 1860 tetapi pada saat itu waterflooding sebagai upaya proses peningkatan recovery minyak bumi tidak dapat diterapkan secara luas. Hal ini dikarenakan karakteristik reservoir yang berbeda-beda tiap wilayah. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain.
9
Menurut Salager (1977), chemical flooding dengan menggunakan formula surfaktan harus memperhatikan beberapa faktor seperti : •
Tahan terhadap temperatur dan tekanan reservoir.
•
Tidak menyebabkan tersumbatnya pori-pori batuan.
•
Dapat menurunkan saturation residu oil (SOR) dan dapat merubah sifat kebasahan (wettability) batuan
•
Dapat meningkatkan efisiensi displacement minyak dimana formula surfaktan harus mampu menurunkan tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan air formasi.
•
Adsorpsi formula surfaktan yang rendah oleh batuan reservoir dan tanah lempung untuk mengurangi lose surfaktan.
•
Kompatibilitas yang baik dengan fluida pada reservoir khususnya terhadap senyawa kation dua valen seperti Mg2+ dan Ca2+. Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antar muka yang rendah meningkatkan nilai kapilaritas. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif. Reservoir minyak dan / atau gas bumi adalah suatu batuan yang berpori-pori dan permeable tempat minyak dan/atau gas bergerak serta berakumulasi. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metamorf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan lebih dari 90% batuan reservoir adalah batuan sedimen. Jenis batuan reservoir akan berpengaruh terhadap besarnya porositas dan permeabilitas (Rachmat, 2009). Porositas menurut Levorsen (1954) adalah perbandingan antara volume total ruang pori-pori dan volume total batuan yang disebut porositas total atau absolut. 100% Permeabilitas menurut Koesoemadinata (1978) dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : atau dengan q adalah laju rata-rata aliran melalui media pori (cm3/dt), k adalah permeabilitas (Darcy), A adalah luas alas benda yang dilalui aliran (cm2), µ adalah viskositas fluida yang mengalir (centipoise) dan
adalah tekanan per panjang benda (atm/cm).
Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte, 1989). Menurut Rachmat (2009), fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran yang rumit berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Sedangkan Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke
10
dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur production well. Perbandingan kandungan air formasi dan air injeksi tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan garam air formasi / injeksi Jenis Air
Air Formasi
Air Injeksi
mg/L
mg/L
5763 296.6 41.3 6.7
9862 256.5 1079.8 6.7
9041.5 842 -
17019.4 134.2 2317.3 -
Kation Sodium Kalsium Magnesium Ferrum Anion Klorida Bikarbonat Sulfat Karbonat
15,991.10 Total Sumber : Sugiharjo et. al. (2001)
30,675.90
Unsur pokok terbesar dalam minyak bumi adalah hidrokarbon dengan konsentrasi antara 50– 95%. Unsur lainnya merupakan senyawa-senyawa non-hidrokarbon seperti nitrogen, belerang, oksigen dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Hidrokarbon digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi minyak bumi Komponen % Bobot Karbon 83,9-86,8 Hidrogen 11,4-14,0 Belerang 0,06-0,08 Nitrogen 0,11-1,70 Oksigen ± 0,50 Logam ± 0,03 Sumber : Speight (1980) Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah : •
Minyak mentah alkana mempunyai kerapatan relatif yang rendah, susunan hidrokarbonnya bersifat alkana, mengandung kadar wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen
11
asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine, solar dan wax yang bermutu baik. •
Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil.
•
Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya. Golongan parafinik merupakan senyawa HC jenuh alkana yang memiliki rantai lurus dan bercabang dimana golongan ini merupakan fraksi yang terbesar di dalam minyak mentah. Golongan naftenik merupakan senyawa HC jenuh siklo alkana yang memiliki lima cincin atau enam cincin. Golongan aromatik merupakan senyawa HC tidak jenuh yang memiliki enam cincin dimana golongan ini terdapat dalam jumlah kecil (Irapati, 2008). Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh proses pemboran dan cara memproduksikan hidrokarbon yang menyebabkan menurunnya permeabilitas sekitar lubang sumur. Produktifitas sumur dapat dipengaruhi oleh sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle blocking dan emulsion blocking (Mulyadi, 2000). Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antar muka antar cairan dengan batuan dan dapat mengubah kutub dari permukaan batuan sehingga akan mengubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et. al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut oil wet. Pada kondisi water wet, batuan diselubungi oleh air sedangkan pada kondisi oil wet, batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir. Sifat batuan oil wet dapat mengurangi produktivitas sumur hingga 15–85% (Mulyadi, 2000). Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Robert, 1993). Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang bergerak akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Salah satu cara dalam mengatasi water blocking adalah dengan menginjeksikan 1–3% surfaktan dalam formasi (Allen dan Robert, 1993). Particle blocking atau penyumbatan pori-pori oleh partikel-partikel tertentu (lempung halus dan lumpur) merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada reservoir. Particle blocking dapat diatasi dengan melarutkan partikel-partikel penyumbat dengan menggunakan surfaktan jenis tertentu. Surfaktan anionik dapat melarutkan lempung pada larutan asam (Allen dan Robert, 1993). Menurut McCune (1976), melalui penginjeksian asam ke dalam formasi reservoir carbonate yang padat dan
12
mengalami kerusakan biasa disebut stimulasi, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat. Emulsion block merupakan emulsi kental minyak dan air yang terbentuk pada lubang reservoir dimana dapat mengurangi produksi minyak bumi (Mulyadi, 2000). Emulsion block dapat dihancurkan dengan cara menyuntikkan oil well stimulation agent ke dalam reservoir. Oil well stimulation agent mampu menghancurkan emulsi dengan cara menghilangkan kestabilan emulsi (Allen dan Robert, 1993).
13