II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JARAK PAGAR Jarak termasuk dalam keluarga Euphorbiaceae. Di Indonesia setidaknya ada empat jenis pohon jarak yang pernah tercatat, yakni jarak kaliki/kastor (Ricinus communis), jarak pagar (Jatropha curcas L.), jarak gurita (Jatropha multifida), dan jarak landi (Jatropha gossypifolia) (Tim Jarak Pagar RNI 2006). Menurut Hyene (1987), klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas Linn Tanaman jarak pagar telah dikenal masyarakat Indonesia, meski manfaat jarak pagar hanya diketahui oleh masyarakat sebagai tanaman obat tradisional dan pagar hidup. Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan ketinggian 1-7 m, bercabang tidak teratur, dan batangnya berbentuk kayu silindris. Daun tanamannya berlekuk dan bersudut tiga atau lima. Panjang daun berkisar antara 5-15 cm dengan tulang daun menjari (Hambali et al. 2007). Buah tanaman jarak pagar berbentuk bulat telur dengan diameter 2-3 cm. Panjang buah 2 cm, dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah jarak terbagi atas tiga ruang, masing-masing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong berwarna coklat kehitaman. Biji mengandung minyak dengan kadar 30-50% (Hambali et al 2007). Jarak pagar tidak memerlukan banyak perawatan dan relatif tidak banyak membutuhkan air. Jarak pagar bisa beradaptasi pada daerah dengan curah hujan rata-rata 480-2380 mm per tahun. Namun, curah hujan yang cocok antara 200-1500 mm per tahun. Tumbuhan ini juga bisa bertahan hidup di musim kemarau panjang dengan cara menggugurkan daun. Ketinggian lahan yang dibutuhkan untuk tumbuh yaitu 300 m di atas permukaan laut. Jarak pagar tidak memerlukan banyak pupuk dan dapat beradaptasi pada suhu udara yang tinggi (Prihandana dan Hendroko 2007). Syakir (2008) mengemukakan bahwa pada proses perawatan tanaman jarak pagar, salah satu tahapan yang penting adalah pemangkasan. Pemangkasan ini bertujuan untuk memperoleh cabang produktif dan memperkuat struktur fisik tanaman yang berbentuk perdu dan bersifat succulent. Ada dua bentuk pemangkasan yang perlu dilakukan pada tanaman jarak pagar yaitu pemangkasan untuk membentuk cabang-cabang produktif dan pemangkasan cabang-cabang vegetatif. Pada pertumbuhan awal di lapangan, jarak pagar akan membentuk cabang-cabang vegetatif yang dicirikan dengan ukuran cabang lebih panjang dengan jumlah daun 20-25 lembar dibandingkan dengan cabang produktif yang lebih pendek dengan jumlah daun 6-8 lembar. Percabangan tanaman jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1A dan 1B.
3
Gambar 1. Percabangan tanaman jarak pagar (sumber: Syakir 2008) Pemangkasan pada tanaman jarak pagar terutama ditujukan untuk membentuk kanopi tanaman seperti semak atau payung. Hal ini penting karena tanaman jarak pagar berbunga terminal, sehingga jumlah cabang berkorelasi positif dengan produksi buah dan biji. Untuk itu, pada akhir tahun pertama perlu dilakukan pemangkasan pertama dengan memotong tanaman hingga tersisa hanya 30 cm dari permukaan tanah, untuk merangsang pertumbuhan cabangcabang. Hasil pemangkasan tanaman jarak pagar pada akhir tahun pertama dan kedua dapat dilihat pada Gambar 2. Selanjutnya pada akhir tahun kedua pemangkasan berikutnya dilakukan dengan memotong cabang-cabang tanaman sepanjang 2/3 bagian dan menyisakan 1/3 bagian cabang-cabang tersebut. Khusus untuk tanaman yang berasal dari setek, cabang hasil pangkasan tahun kedua ini dapat dipakai sebagai perbanyakan tanaman untuk ditanam di tempat lain. Untuk mendapatkan produktivtas dan kualitas biji yang optimum, jumlah cabang hendaknya dipertahankan maksimal tidak lebih dari 60 cabang per pohon (Syakir 2008).
Gambar 2. Hasil pemangkasan tanaman jarak pagar (sumber: Syakir 2008) Seluruh bagian tanaman jarak pagar dapat dimanfaatkan. Daun, ranting, batang, akar, serta biji jarak pagar diketahui mengandung berbagai macam senyawa kimia, beberapa diantaranya merupakan senyawa-senyawa aktif. Senyawa kimia yang terisolasi dari bagian daun dan ranting jarak pagar meliputi siklik triterpene stigmaterol, kampesterol, β-sitosterol, dan 7-keto-βsitosterol. Selain itu, bagian daun dan ranting mengandung senyawa flavonoid (Naengchomnong et al. 1994). Menurut Harborne (1987), flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Jenis utama flavonoid yang terdapat dalam tanaman antara lain dihidrokalkon, kalkon, katekin, leukoantosianidin, flavanon, flavon, flavonol, garam flavilium, antosianidin, dan auron. Flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi Low Density Protein (LDL) (Johnson, 2001). Hodek et al. (2002) berpendapat bahwa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak kulit batang jarak pagar memiliki aktivitas biologi seperti antimikroba, anti alergi, dan antioksidan.
4
Naidu (2000) menambahkan bahwa flavonoid memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran. Pemanfaatan jarak pagar selain sebagai bioenergi juga terdapat potensi yang besar untuk pengembangan produk di bidang obat-obatan, pertanian maupun industri kimia. Daun jarak pagar di sejumlah daerah di Indonesia secara tradisional telah digunakan untuk penyembuh batuk, zat antiseptik setelah melahirkan, pereda panas, pereda kembung, obat cacing, obat gusi bengkak, anti ketombe dan lain-lain. Daun jarak juga dilaporkan sebagai obat malaria di Mali (Henning 1997) dan sebagai haemostatik di Afrika (Gubitz et al. 1999). Minyak jarak digunakan sebagai obat pencahar, mengobati penyakit kulit, mengurangi rasa sakit akibat reumatik. Sedangkan biji jarak digunakan langsung sebagai obat pencahar dan anthelmintic di Afrika (Gubitz et al. 1999). Kajian mengenai aktivitas senyawa aktif pada tanaman jarak pagar juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Igbinosa et al. (2009) melakukan pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol, metanol dan ekstrak air kulit batang jarak pagar. Kemampuan ekstrak kasar dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang merupakan indikasi adanya potensi yang besar sebagai produk antimikroba. Pase (2009) melakukan pengujian aktivitas antimikroba dari sabun transparan dan sabun opaque berbahan baku minyak jarak pagar. Adanya aktivitas antimikroba pada sabun jarak membuka peluang untuk pengembangan sabun kesehatan alami. Produk lain seperti antioksidan juga dapat dikembangkan dari jarak pagar. Diwani et al. (2009) mendapatkan bahwa ekstrak metanol dari akar tanaman jarak pagar menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi yang dapat meningkatkan stabilitas oksidasi dari minyak dan biodiesel jarak pagar, jelantah dan minyak zaitun.
B. EKSTRAKSI Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Menurut Hunt (1988), ekstraksi merupakan metode pemisahan satu atau lebih senyawa yang diinginkan dari larutan atau padatan yang mengandung campuran senyawa-senyawa tersebut secara fisik maupun kimiawi. Dalam proses ekstraksi, terjadi peristiwa difusi pelarut ke dalam sel bahan. Pelarut yang masuk ke dalam sel bahan tersebut akan melarutkan senyawa bila kelarutan senyawa yang diekstrak sama dengan pelarut. Dengan cara tersebut akan tercapai kesetimbangan antara zat terlarut dan pelarut. Pengeluaran bahan aktif dari bahan tergantung kepada laju difusi substansi zat ke dalam pelarut, waktu kontak, dan laju pelarut menembus bahan (Bombardelli 1991). Harborne (1987) menyebutkan bahwa kelarutan zat dalam pelarut bergantung pada kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar begitu pula zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar. Pemilihan pelarut dalam ekstraksi harus memperhatikan selektivitas pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Menurut Durran (1933), pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam melakukan ekstraksi suatu senyawa. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstrak karena masing-masing pelarut memiliki efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran. Ekstraksi terdiri atas beberapa tahapan proses yaitu tahap persiapan bahan dan pelarut, tahap pembuatan serbuk bahan dengan ukuran yang tepat sesuai keperluan ekstraksi, tahapan 5
ekstraksi, dan tahapan pemekatan larutan ekstrak. Persiapan bahan baku mencakup proses pengeringan bahan hingga mencapai kadar air tertentu dan penggilingan bahan untuk mempermudah proses ekstraksi. Tingkat kemudahan ekstraksi bahan kering ditentukan oleh ukuran partikel bahan. Bahan yang akan diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut (Purseglove et al. 1981). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut. Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini akan terus menerus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar di antara kedua fase dan akan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut seluruhnya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut berlangsung secara seri. Bila salah satu proses berlangsung lebih cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut (Sediawan 1997). Terdapat beberapa metode ekstraksi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan yang akan diekstrak, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi, partisi, dan ekstraksi ultrasonik (Ansel 1989). Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan panas. Cara dingin yaiu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain yaitu metode reflux, soxhlet, digesti, destilasi uap, dan infus. Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang sesuai dalam jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi sesekali dilakukan pengadukan dan juga pergantian pelarut. Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan (Sudjadi 1986). Adapun menurut Houghton (1998), maserasi merupakan suatu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dalam suatu pelarut baik tunggal maupun campuran dengan lama waktu tertentu (umumnya 1-2 hari perendaman) tanpa pemanasan. Perendaman bahan yang dilakukan pada proses maserasi akan dapat menaikkan permeabilitas dinding sel melalui tiga tahapan yaitu: 1) masuknya pelarut ke dalam dinding sel dan membengkakannya; 2) senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan masuk ke dalam pelarut; 3) difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel. Proses
6
ekstraksi padat cair dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu lama ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne 1996). Menurut List (1989), metode maserasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini relatif sederhana yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kelemahan metode ini diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien (Meloan 1999). Sedangkan metode ekstraksi soxhlet adalah metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan diluar sel. Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping soxhlet maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik (Harborne 1987). Harborne (1987) menambahkan keuntungan metode ekstraksi soxhlet adalah sebagai berikut: 1) cairan pelarut yang digunakan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat; 2) simplisia disari oleh pelarut yang selalu baru sehingga dapat menarik zat aktif yang lebih banyak; 3) penyarian dapat diteruskan sesuai keperluan tanpa menambah volume pelarut. Sementara itu, kelemahannya adalah: 1) tidak baik untuk zat aktif yang tidak tahan panas, tetapi kondisi itu dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk mengurangi tekanan udara; 2) adanya pendidihan pelarut terus menerus sehingga mempengaruhi kualitas pelarut. Adapun ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling sederhana yaitu cukup dengan cara menambahkan pelarut pengekstrak yang tidak saling bercampur kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi zat terlarut di antara kedua pelarut (Khopkar 2003). Pada penelitian ini, pemisahat zat yang berbeda kepolarannya dilakukan dengan ekstraksi cair-cair/partisi pelarut dalam corong pemisah. Pengocokan yang dilakukan pada saat proses partisi ini bertujuan untuk memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut sehingga pendistribusian zat terlarut di anatara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Harvey (2000) menambahkan syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah setelah pengocokan.
C. ANTIOKSIDAN Menurut Supari (1995), radikal bebas adalah sebuah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital kulit terluarnya dan terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen (sebagai respon normal dari peristiwa biokimia dalam tubuh) dan secara eksogen (radikal bebas didapat dari polusi yang berasal dari luar tubuh dan bereaksi di dalam tubuh melalui pernafasan, pencernaan, injeksi, dan penyerapan kulit). Radikal bebas juga merupakan molekul atau senyawa yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan dan dapat menimbulkan kerusakan pada biomolekul. Sifat radikal bebas yang sangat labil dan elektron yang tidak berpasangan dapat dianggap sebagai perebut elektron dari molekul lain yang terdapat di sekitarnya maupun yang berjarak jauh untuk memenuhi keganjilan elektronnya. Radikal bebas ini dapat berbentuk anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal nitrit oksida (NO-), dan radikal lipid peroksida (LOO-) (Bast et al. 1991).
7
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi dalam tubuh. Antioksidan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia (Trilaksani 2003). Beberapa contoh antioksidan sintetik adalah butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluene (BHT), dan tert-butil hidroksi quinon (TBHQ). Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial. Adapun senyawa antioksidan alami adalah senyawa antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan. Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, karoten, dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan. Antioksidan alami yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam bentuk α, β, γ, δ-tokoferol (Winarno 2008). Charalampos et al. (2008) menambahkan senyawa kimia lainnya yang tergolong antioksidan dan berasal dari tumbuhan adalah golongan flavonoid dan polifenol. Flavonoid dalam tanaman berfungsi sebagai pigmen yang memberikan warna pada bunga, buah, dan daun tanaman., contohnya adalah antosianin. Flavonoid dapat berperan sebagai antioksidan dalam tubuh manusia. Senyawa ini tidak terlalu beracun dibanding alkaloid sehingga flavonoid dapat dikonsumsi dalam jumlah besar. Contoh flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan adalah quercetin, xanthohumol, isoxanthohumol, dan genistein (Murray et al. 2003). Antioksidan golongan flavonoid lainnya adalah proantosianidin yang sering pula disebut procyanidin, oligometric proanthocyanidin (OPC), dan condensed tannins. Proantosianidin merupakan bagian dari flavanol, seperti katekin. Proantosianidin merupakan antioksidan yang 20 kali lebih kuat dari vitamin C dan memiliki potensi 50 kali lebih besar dibanding vitamin E (Kakuda et al. 2003). Antioksidan dari golongan polifenol merupakan senyawa kimia yang dapat larut dengan mudah dalam air dan lemak. Senyawa antioksidan tersebut umumnya digunakan untuk mencegah kerusakan akibat reaksi oksidasi yang terjadi pada makanan, kosmetik, dan farmasi. Senyawa polifenol memiliki fungsi sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari ion-ion logam yang mengalami kerusakan (Perron 2009). Perron (2009) juga menyebutkan bahwa senyawa antioksidan lainnya adalah golongan terpenoid, berasal dari unit isoprena yang dimodifikasi dengan bermacam-macam cara. Terpenoid memiliki fungsi sebagai senyawa yang memberi aroma pada tanaman,. Terpenoid juga diduga memiliki fungsi antibakteri. Contoh antioksidan lainnya adalah vitamin C. Vitamin C merupakan suatu senyawa asam L-askorbat dan memiliki fungsi yang beragam. Selain sebagai antioksidan, vitamin C juga memiliki fungsi sebagai proantioksidan, pengikat logam, pereduksi, dan penangkap oksigen. Vitamin lainnya yang memiliki fungsi antioksidan adalah vitamin E. Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan memiliki sifat antioksidan yang cukup kuat. Vitamin E berfungsi untuk memproteksi sel-sel membrane dari proses oksidasi, membantu memperlambat penuaan, dan melindungi tubuh dari kerusakan sel yang dapat menyebabkan penyakit kanker (Tuminah 2000). Antioksidan pada umumnya mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan amino (Ketaren 2008). Antioksidan berdasarkan gugus fungsinya dibagi atas tiga golongan yaitu golongan fenol, amin,
8
dan amino-fenol. Adapun penggolongan antioksidan tersebut menurut Ketaren (2008) sebagai berikut: a) Antioksidan golongan fenol Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintetis. Beberapa contoh antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon, gosipol, katekol, resorsinol, dan eugenol. b) Antioksidan golongan amin Antioksidan yang mengandung gugus amino atau diamino yang terikat pada cincin benzena biasanya mempunyai potensi tinggi sebagai antioksidan, namun beracun dan umumnya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan ion logam. Senyawa golongan ini juga stabil terhadap panas serta ekstraksi dengan kaustik. Beberapa contoh antioksidan golongan ini adalah N,N difenil p-fenilenediamin, difenilhidrazin, difenilguanidin, dan difenil amin. c) Antioksidan golongan amino-fenol Antioksidan golongan ini biasanya mengandung gugus fenolat dan amino yang merupakan gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan. Golongan ini banyak digunakan dalam industry petroleum untuk mencegah terbentuknya gum dalam gasolin. Contoh antioksidan golongan ini yaitu N-butil-p-amino-fenol dan N-sikloheksil-p-amino-fenol. Jenis antioksidan sangat beragam. Menurut Gordon (1990), berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan primer (chain breaking antioxidant) dan antioksidan sekunder (preventive antioxidant). Antioksidan primer dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Sebuah senyawa dapat disebut sebagai antioksidan primer apabila senyawa tersebut dapat mendonorkan atom hidrogennya dengan cepat ke radikal lipid dan radikal antioksidan yang dihasilkan lebih stabil dari radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil. Adapun antioksidan sekunder adalah antioksidan pencegah yang berfungsi menurunkan kecepatan inisiasi dengan berbagai mekanisme, seperti melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen, dan penguraian hidroperoksida menjadi produk-produk non radikal. Pada dasarnya, tujuan antioksidan sekunder adalah mencegah terjadinya radikal yang paling berbahaya yaitu radikal hidroksil. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi (Ketaren 2008) yaitu: a) Pelepasan hidrogen dari antioksidan. b) Pelepasan elektron dari antioksidan. c) Adisi lemak ke dalam cincin aromatic pada antioksidan. d) Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan yang mempunyai fungsi sebagai pemberi atau pelepas atom hidrogen sering disebut sebagai antioksidan primer. Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi dan propagasi. Rasikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipid baru. Radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal
9
antioksiidan (Gordonn 1990). Reakksi penghamb batan radikal bebas oleh aantioksidan pada tahap inisiasi dan propagassi dapat dilihatt pada Gambaar 3. Inisiassi
: R R*
+ AH
Æ RH
+ A*
Propaggasi
: R ROO*
+ AH
Æ ROOH
+ A*
: radikal lipida l Keteranggan: R* : radikal peroksida p ROO* : antioksid dan AH : radikal antioksidan a yaang terbentuk A* : hidroperroksida ROOH Gambbar 3. Reaksi penghambatan p n oleh antioksiidan primer teerhadap radikaal lipid (Gordo on 1990) Aktivitas antiooksidan dapatt diukur deng A gan metode DPPH. D Menuruut Miller et al. a (2000), metode DPPH meruupakan salah satu metodee untuk mengganalisa aktivvitas antioksiidan yang sederhaana dengan menggunakaan 1,1-diphen nyl-2-picrylhyydrazil (DPP PH) sebagai senyawa pendeteeksi. Simanjuuntak et al. (22002) mengeemukakan bahhwa DPPH aadalah senyaw wa radikal bebas yang y dapat berreaksi dengann atom hidrogeen yang berasal dari suatu aantioksidan membentuk m DPPH tereduksi. t P Pada metode DPPH free radical r scaveenging activity ty, DPPH diggunakan sebag gai model radikal bebas. Jika senyawa s ini masuk m ke dalaam tubuh maanusia dan tiddak terkendaliikan dapat menyebbabkan kerusaakan fungsi sel. Dalam uji in ni, metanol diigunakan sebaagai pelarut, an ntioksidan dalam zat z yang dieksstrak akan berreaksi dengan DPPH dan mengubahnya m m menjadi 1,1-d diphenyl-2picrylhyydrazine. Peruubahan serapaan yang dihassilkan oleh reaaksi ini menjaadi ukuran keemampuan antioksiidan dari bahaan tersebut (H Hatano et al. 19 988). K Ketika DPPH H menerima elektron e atau radikal hidroogen, maka aakan terbentuk k molekul diamagnnetik yang sttabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secaraa transfer elek ktron atau radikal hidrogen akaan menetralkaan karakter raadikal bebas dari d DPPH (Suratmo 2009)). Struktur kimia DPPH D dari benntuk radikal bebas b menjadii bentuk komppleks non raddikal dapat diilihat pada Gambarr 4.
dikal Gambar 4. Struuktur kimia DPPH dari benttuk radikal beebas menjadi bbentuk non rad ( Molyn neux 2004) Ada tiga tahapp reaksi antaraa DPPH dengaan zat antiokssidan yang dappat dicontohk A kan dengan reaksi antara DPPH H dengan seenyawa mono ofenolar (antiioksidan). Taahap pertamaa meliputi delokalisasi satu eleektron pada gugus yang terssubtitusi oleh senyaw wa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen untuk mereduksi DPPH. D Tahap berikutnya b meeliputi dimerissasi antara dua raddikal fenoksil yang akan mentransfer m rad dikal hidrogenn dan akan beereaksi kembaali dengan radikal DPPH. Tahapp terakhir adaalah pembentu ukan komplekks antara radiikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukann dimer mauppun kompleks antara zat anntioksidan denngan DPPH bergantung b pada keestabilan dan potensial p reakksi dari struktu ur molekulnyaa (Suratmo 20009).
10
D. ANTIMIKROBA Menurut Jay (1992), senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat kapang), dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Antimikroba yang berfungsi untuk menghambat maupun membunuh mikroba dari golongan fungi dikenal dengan istilah antifungal. Menurut Prindle (1983), mekanisme kerja dari senyawa antimikroba ada beberapa cara yaitu: (1) merusak dinding sel sehingga menyebabkan terjadinya lisis; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran zat nutrisi dari dalam sel; (3) denaturasi protein sel; dan (4) merusak metabolisme sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler. Pelczar et al. (1993) menyebutkan bahwa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa ammonium kuartener. Senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme kerja sebagai berikut: 1. Senyawa fenolik : merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler, serta mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. 2. Alkohol : mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan membran sel mikroba. 3. Halogen : terdiri dari yodium, klor, dan bromine yang merupakan pengoksidasi kuat dan perusak organel yang penting dari sel mikroba. 4. Logam berat : menginaktifkan protein seluler. 5. Detergen : merusak membran siroplasma dan menyebabkab kebocoran bahan intraseluler. 6. Senyawa ammonium kuartener : mendenaturasi protein, mengganggu proses metabolism, dan merusak membran sitoplasma. Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983). Sedangkan kemampuan senyawa non polar seperti trigliserida, minyak atsiri, dan senyawa terpenoid dalam menghambat mikroba diduga karena senyawa non polar dapat menyebabkan perubahan komposisi membran sel dan terjadinya pelarutan membran sel, sehingga membran sel mengalami kerusakan. Selain itu, komponen non polar juga dapat berinteraksi dengan protein membran yang menyebabkan kebocoran isi sel (Sikkema et al. 1995).
11
E. CANDIDA ALBICANS, MICROSPORUM PSEUDOMONAS AERUGINOSA
GYPSEUM,
DAN
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Sel ragi (blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 μ x 3-6 μ hingga 2-5,5 μ x 5-28 μ (Riana 2006). Riana (2006) juga menyebutkan bahwa C. albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol, dalam jumlah sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 μ. Morfologi koloni C. albicans pada medium padat agar Sabouraud Dekstrosa, umumnya berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang telah tua. Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape. Dalam medium cair seperti glucose yeast, extract pepton, C. albicans tumbuh di dasar tabung (Suprihatin 1982). C. albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih o
o
baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 28 C - 37 C. C. albicans membutuhkan senyawa organik sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat. Jamur ini merupakan organisme anaerob fakultatif yang mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses peragian (fermentasi) pada C. albicans dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukan metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO dan H O 2
2
dalam suasana aerob (Suprihatin 1982). Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa asam laktat atau etanol dan CO . Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan persediaan bahan bakar yang diperlukan 2
untuk proses oksidasi dan pernafasan. Pada proses asimilasi, karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel. Klasifikasi Candida albicans adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Saccharomycotina Kelas : Saccharomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida Spesies : Candida albicans Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans Menurut Segal (1994), pada manusia, C. albicans sering ditemukan di dalam mulut, feses, kulit dan di bawah kuku orang sehat. C. albicans dapat membentuk blastospora dan hifa, baik dalam biakan maupun dalam tubuh. C. albicans juga dapat menyerang alat dalam berupa hati,
12
paru-paru, limpa dan kelenjar gondok. Mata dan otak sangat jarang terinfeksi. Pada wanita, C. albicans sering menimbulkan vaginitis dengan gejala utama fluor albus yang sering disertai rasa gatal. Infeksi ini terjadi akibat tercemar setelah defekasi, tercemar dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri; sebaliknya vaginitis Candida dapat menjadi sumber infeksi di kuku, kulit di sekitar vulva dan bagian lain. Adapun Microsporum gypseum merupakan cendawan keratophilik geofilik. Kelembapan, pH, dan kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya (Emmons et al. 1977). Mikroorganisme ini memiliki dinding sel yang mengandung kitin bersifat heterotrof, menyerap nutrient melalui dinding selnya, dan mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluker ke lingkungannya (Indrawati 2006). Klasifikasi Microsporum gypseum menurut Wicaksana (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Onygenales Famili : Arthrodermataceae Genus : Microsporum Spesies : Microsporum gypseum Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung baik melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur, ataupun dari tanah. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur ini antara lain adalah tinea capitis, tinea favosa, dan tinea unguinum. Tinea capitis merupakan salah satu akibat dari infeksi dermatofita yang mengenai kulit kepala dan rambut (Moschella 1992). Tinea favosa merupakan salah satu bentuk infeksi kronik dari Microsporum gypseum yang infeksinya dapat dimulai semenjak kanak-kanak dan jika tidak dapat ditangani dengan baik maka penderita akan menjadi carier selama hidupnya. Adapun tinea unguinum adalah kerusakan pada dasar kuku yang dimulai dari tepi kuku. Pada kuku yang terinfeksi maka akan tampak ukuran kukunya mengecil, memiliki batas yang lebih tegas dibandingkan dengan kuku yang sehat, dan ada bercak-bercak kuning atau putih yang tersebar pada basis kuku (Rippon 1974). Adapun Pseudomonas aeruginosa merupakan mikroorganisme yang tergolong ke dalam bakteri gram negatif aerob obligat, berkapsul, dan mempunyai flagella polar sehingga bakteri ini bersifat motil. Menurut Tranggono (2007) Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu jenis bakteri yang seringkali menyerang kosmetik. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim pyocynase yang dapat menyebabkan penggunaan zat pengawet menjadi tidak berguna lagi. Kontaminasi Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan pembusukan kornea mata dan kebutaan. Adapun yang dimaksud kosmetik untuk daerah mata mencakup produk-produk yang mungkin kontak dengan kornea mata, misalnya sampo, pembilas rambut, conditioner, krim-krim wajah, lotion, dan cleanser.
F. PERSONAL HYGIENE DAN SABUN TRANSPARAN Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Sedangkan kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya. Melihat hal itu personal hygiene diartikan sebagai hygiene perseorangan yang mencakup semua aktivitas yang bertujuan untuk mencapai kebersihan tubuh, meliputi membasuh, mandi, merawat rambut, kuku, gigi, gusi dan membersihkan daerah genital. Jika seseorang sakit, biasanya masalah kesehatan 13
kurang diperhatikan. Hal ini terjadi karena mengganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut kurang diperhatikan dapat mempengaruhi kesehatan secara umum (Maria 2010). Sedangkan menurut Tarwoto (2003), personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan seseorang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseoran untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Macam-macam personal hygiene yaitu perawatan kulit kepala dan rambut, perawatan mata, perawatan hidung, perawatan telingga, perawatan kuku kaki dan tangan, perawatan genetalia, perawatan kulit seluruh tubuh, dan perawatan tubuh secara keseluruhan. Adapun tujuan personal hygiene yaitu meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, menciptakan keindahan, dan meningkatkan rasa percaya diri. Produk-produk yang berfungsi sebagai perangkat personal hygiene antara lain adalah sabun, shampoo, pencuci mulut, salep, cream, dan produk perawatan tubuh lainnya. Sabun menurut SNI (1994) adalah sabun natrium yang umumnya ditambahkan zat pewangi atau antiseptik dan digunakan untuk membersihkan tubuh manusia dan tidak membahayakan kesehatan. Sabun merupakan pembersih tubuh sehari-hari dimana dengan air sabun dapat membersihkan kotoran dari permukaan kulit seperti minyak, keringat, sel-sel kulit yang telah mati dan sisa kosmetik. Berdasarkan jenisnya, sabun dibedakan atas tiga macam yaitu sabun opaque, sabun translucent, dan sabun transparan. Menurut Mitsui (1997), sabun transparan pada dasarnya sama dengan sabun mandi lainnya yaitu hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dengan basa kuat. Hal yang membedakan hanyalah penampakannya yang transparan. Sabun transparan dapat dihasilkan dengan sejumlah cara berbeda. Salah satu metode adalah dengan cara melarutkan sabun dalam alkohol dengan pemanasan lembut untuk membentuk larutan jernih yang kemudian diberi pewarna, pewangi, maupun zat antioksidan. Untuk membentuk struktur transparan pada sabun maka dalam formulasi sabun transparan ditambahkan beberapa bahan seperti gliserin, sukrosa, dan alcohol serta transparent agent lainnya. Mitsui (1997) menyatakan untuk melengkapi fungsi yang sama dengan gliserin dapat ditambahkan beberapa bahan seperti propilen glikol, sorbitol, polietilen glikol, surfaktan amfoterik, dan surfaktan anionik. Penambahan transparent agent serta bahan-bahan lainnya menyebabkan sabun transparan mengandung lebih sedikit massa sabun dibandingkan sabun mandi biasa. Sabun ini selain penampakannya yang menarik, juga dapat merawat kulit yaitu memberi kelembapan pada kulit yang disebabkan oleh adanya kandungan gliserin dan gula pada formulasi sebagai humektan.
14