II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman prospektif sebagai sumber bahan baku biodiesel. Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia. Tanaman ini tumbuh tersebar di beberapa daerah di Indonesia dan dikenal dengan nama berbeda-beda. Selama ini masyarakat hanya mengetahui manfaat tanaman jarak pagar sebagai tanaman obat tradisional dan sebagai pagar hidup, namun belum diketahui potensinya sebagai bahan baku biodiesel, sehingga penanamannya belum dilakukan secara komersial dalam skala besar (Hambali et al., 2007) Tanaman jarak pagar termasuk dalam famili Euphorbiaceae, berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur, dan batangnya berkayu berbentuk silindris. Daun tanaman jarak tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5. Panjang daun berkisar antara 5-15 cm dengan tulang daun menjari. Buah tanaman jarak berupa buah berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah jarak terbagi menjadi tiga ruang, masingmasing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna cokelat kehitaman. Biji kandungan minyak dalam biji jarak pagar 30–50 % (Hambali et al., 2007). Jarak pagar dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1.000 m dpl. Curah hujan berkisar antara 300-2.380 mm/tahun, sedangkan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jarak adalah 20-26 oC. Tanaman jarak memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air sehingga tahan terhadap kekeringan. Tanaman ini dapat tumbuh di atas tanah berpasir, tanah berbatu, tanah lempung atau tanah liat. Tanaman ini juga dapat beradaptasi pada tanah yang kurang subur, memiliki drainase baik, tidak tergenang dan pH tanah 5,0 - 6,5. Bila dipelihara dengan baik, tanaman jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun. Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 2-4 kg biji/pohon/tahun. Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 5 tahun. Dengan tingkat populasi tanaman 2.500 pohon/ha maka tingkat produktivitas antara 5-10 ton biji/ha. Biji jarak pagar merupakan bagian dari tanaman jarak yang memiliki arti
4
penting karena mengandung minyak jarak yang cukup tinggi. Jarak pagar terdiri dari 75% karnel dan 25% kulit. Kira-kira dua pertiga dari berat karnel terdiri dari minyak. Tabel 1. Komposisi buah jarak pagar Unsur Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak (%) Abu (%) Neutral detergent fiber (%) Acid detergent fiber (%) Acid detergent lignin (%) Gross energi (MJ/kg) Sumber : Gubitz et al. (1999)
Biji 94,2 – 96,9 22,2 – 27,2 56,8 – 58,4 3,6 – 4,3 3,5 – 3,8 2,4 – 3,0 0,0 – 0,2 30,5 – 31,1
Kulit 89,9 – 90,4 4,3 – 4,5 0,5 – 1,4 2,8 – 6,1 83,9 – 89,4 74,6 – 78,3 45,1 – 47,5 19,3 – 19,5
Daging 100 56,4 – 63,8 1 – 1,5 9,6 – 10,4 8,1 – 9,1 5,7 – 7,0 0,1 – 0,4 18 – 18,3
Dari tabel diatas terlihat bahwa kandungan terbesar dari biji jarak adalah minyak, oleh karena itu
tanaman ini berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
sumber biodiesel. Bungkil biji hasil pengepresan pada saat mengambil minyak masih dapat dimanfaatkan menjadi biogas, pupuk kompos dan herbisida. 2.2. Minyak Jarak Pagar Minyak jarak pagar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pembuatan sabun, insektisida, obat-obatan tradisional, sumber bahan bakar dan kompor jarak dan jika diolah melalui proses estrans menjadi biodiesel. Minyak jarak dari biji jarak dapat diekstrak dengan cara mekanik ataupun ekstraksi dengan pelarut seperti heksan. Minyak jarak memiliki komposisi trigliserida yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat. Ekstraksi minyak jarak dari inti buah dan cangkang dilakukan dengan menggunakan alat pengepresan tipe press hidrolik (hydraulic pressing) atau press tipe ulir (expeller pressing). Masing masing jenis press memiliki kelebihan dan kekurangan pada kapasitas, jumlah rendeman. Biji jarak yang telah kering dimasukkan kedalam mesin press sehingga dihasilkan minyak cair. Kemudian dilakukan penyaringan memisahkan minyak dan endapan. minyak mentah jarak pagar atau CJO (cruide jatropha oil) yang memiliki
asam lemak bebas tinggi diolah menjadi biodiesel dengan proses
sebagai berikut :
5
Minyak jarak 100 gram Larutan metanolikKOH (50 %) Pengadukan 400 rpm, 30/65 oC, 30 menit
Pengendapan 2 jam
Pemisahan metil ester Larutan metanolikKOH (50 %) Pengadukan 400 rpm, pada 30 atau 65 oC, 90 menit
Pengendapan 12 jam
Pencucian dengan air panas 50 °C
Penambahan gel silika
Filtrasi metil ester
Analisa metil ester
Gambar 1 Proses pengolahan jarak pagar menjadi biodiesel (estran).
Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam lemak oleat (34,3-45,8 %), asam linoleat (29 – 44,2 %) dan palmitat (14,1 – 15,3 %) seperti pada tabel berikut :
6
Tabel 2 Kandungan asam lemak minyak jarak Asam lemak Asam miristat (14:0) Asam palmitat (16:0) Asam palmitoleat (16:1) Asam stearat (18:0) Asam oleat (18:1) Asam linoleat (18:2) Asam linolenat (18:3) Asam arakhidat (20:0) Asam behenat (22:0) Sumber : Gubitz et al. (1999).
Komposisi (% berat) 0 – 0,1 14,1 – 15,3 0 – 1,3 3,7 – 9,8 34,3 – 45,8 29,0 – 44,2 0 – 0,3 0 – 0,3 0 – 0,2
Minyak jarak mengandung racun berupa phorbol ester dengan jumlah sekitar 0,03 – 3,4 % sehingga kurang cocok digunakan sebagai minyak makan. Oleh karena itu jika akan digunakan sebagai minyak makan, maka phorbol ester harus dihilangkan terlebih dahulu. Minyak jarak pagar memiliki sifat mudah larut dalam etil alkohol dan asam asetat glasial, namun kurang larut dalam petrolium karena adanya gugus hidroksil dalam asam oleat. Tabel 3 Sifat fisik minyak jarak pagar Sifat fisik Titik pembakaran Densitas pada 15oC Viskositas pada 30o C Sisa karbon Kandungan abu sulfat Titik tuang Kadar air Kadar sulfur Bilangan asam Bilangan iod Sumber : Gubitz et al. (1999)
Satuan o C g/cm3 Nm2/s %(m/m) %(m/m) o C Ppm Ppm Mg KOH/g -
Nilai 236 0,9177 49,15 0,34 0,007 -2,5 935 <1 4,75 96,5
Menurut Sudrajat (2006) minyak jarak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel umumnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi khususnya minyak jarak pagar yang diperoleh dari masyarakat Bogor, Lampung, Kebumen, Yogyakarta, NTT dan NTB dengan tingkat keasaman lebih dari 10 KOH / gr sample. Bila biodiesel dengan keasaman tinggi diaplikasikan ke mesin kendaraan dapat merusak mesin. Dengan demikian dalam pengolahannya perlu menerapkan
7
teknologi khusus esterifikasi transesterifikasi (estrans). Asam lemak bebas merupakan kunci utama dalam proses traneseterifikasi, sehingga dalam proses ini diperlukan nilai asam lemak bebas kurang dari 3 %. Pada suasana asam akan menimbulkan proses yang kurang efisien dan dengan katalis yang tidak memenuhi standar akan menghasilkan sabun (Dolorado et al. 2002). Menurut Lepper dan Friesenhagen (1986) dalam Canakci dan Gerpen (2001) perlakuan pendahuluan terhadap minyak yang mengandung asam lemak tinggi melalui proses esterifikasi menggunakan metanol dan katalis asam dapat menghasilkan minyak dengan asam lemak bebas kurang dari 0,5% b/b sebelum dilakukan transesterifikasi basa. Gerpen et al. (2004) menambahkan bahwa esterifikasi dengan katalis asam terhadap minyak asam lemak bebas tinggi dan telah dikeringkan terlebih dahulu memerlukan alkohol dalam jumlah banyak (20:1).
Selanjutnya
Lee
et
al.
(2002)
menyatakan
bahwa
rendemen
transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25 % menjadi 96% dengan menurunkan asam lemak bebas (pada minyak jelantah) dari 10% menjadi 0,23% dan menurunkan air dari 0,2 % menjadi 0,02 %. Semakin rendah nilai asam lemak bebas mengindikasikan bahwa kebutuhan methanol dan asam sulfat untuk reaksi esterifikas i semakin rendah. Minyak jarak pagar hasil pengepresan umumnya mengandung asam lemak bebas yang tinggi karena tergolong minyak kasar dan belum mendapatkan perlakuan deguming dan netralisasi (Setyaningsih, 2007). Hal yang sama juga dilaporkan Gubitz et al. (1999) bahwa minyak jarak pagar memiliki tingkat keasaman yang tinggi sama seperti minyak kapuk dan kanola yang kurang sesuai jika langsung diproses secara transesterifikasi karena akan terjadi penyabunan. Terkait dengan proses produksi biodiesel maka dibuat standar mutu biji jarak (Tabel 4 ). Tabel 4. Standar mutu biji jarak Jenis uji Biji rusak (b/b) Biji jarak pecah (b/b) Benda – benda asing (b/b) Kadar air (b/b) Bilangan asam Sumber : SNI Biji Jarak 01-1677-1989
Satuan % % % % -
Persyaratan Maks 2,0 Maks 4,0 Maks 0,5 Maks 7,0 Maks 3,0
8
2.3. Kerusakan Biji dan Minyak Jarak Pagar Kerusakan minyak jarak pagar yang ditandai dengan peningkatan nilai keasaman minyak diakibatkan oleh faktor internal yaitu kandungan asam lemak tidak jenuh dengan rantai rangkap, keberadaan enzim pemecah lemak seperti lipase, lipoksidase atau lipolitik serta keberadaan mikrobia alami dari jenis bakteria, jamur dan khamir
yang semuanya bisa sendiri-sendiri atau saling
berinteraksi. Ketika faktor internal bertemu dengan faktor eksternal seperti aerasi, pemanasan, air, kation
logam atau bahan kimia, maka akan terjadi proses
oksidasi. Proses oksidasi menghasilkan senyawa peroksida atau hidroperoksida yang kemudian memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol disertai gugus aldehid, keton dan hidrokarbon lain (tengik). Bahkan proses oksidasi bisa berlangsung secara berantai yaitu minyak yang tertinggal diperalatan mengandung asam menjadi stimulir atau sumber keasaman proses berikutnya (Sudrajat et al., 2006). Lemak akan mengalami penguraian menjadi asam lemak dan gliserol terutama jika temperature dan kadar air bahan tinggi. Sifat dan daya tahan minyak terhadap kerusakan terutama sangat tergantung dari kandungan asam lemak penyusunnya. Minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh cenderung mudah teroksidasi, sedangkan minyak dengan asam lemak jenuh lebih mudah terhidrolisis. Menurut Sudrajat et al. (2006) minyak jarak pagar yang didominasi asam lemak tidak jenuh oleat, linoleat, dan linolenat mudah mengalami oksidasi sehingga minyak menjadi asam. Penyimpanan pada suhu 27 oC selama 5 hari akan meningkatkan keasaman sebesar 15,52% (10,82 menjadi 12,5), sedangkan penyimpanan pada suhu 40oC meningkat 17,84% (12,5 menjadi 14,73). Hal tersebut berbeda dengan minyak kelapa sawit yang relative lambat mengalami kerusakan dengan peningkatan bilangan asam 2,46 % (0,406 menjadi 0,416) selama penyimpanan 5 hari. Kerusakan oksidasi disebabkan oleh penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh membentuk peroksida dan hidroperoksida yang labil. Peroksida dan hidroperoksida ini akan berisomer dengan air yang kemudian memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol disertai terbentuknya gugus aldehid, keton dan hidrokarbon lain. Proses oksidasi dipengaruhi oleh udara, suhu, enzim, katalisator dan logam.
Reaksi
9
oksidasi terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Menurut Min dan Smouse (1985) mekanisme oksidasi yang umum adalah sebagai berikut : Inisiasi
RH + O2
R * + * OOH
RH Propagasi
R* + O2 ROO * + RH
Terminasi
R* +H
(1b)
ROO *
(2a)
ROOH + R *
R*+R* senyawa tdk stabil
ROO* + ROO * merupakan
(2b) (3ª)
R * + ROO*
Inisiasi
(1a)
(3b) (3c)
reaksi
pembentukan
radikal
bebas,
propagasi
merupakan perubahan radikal bebas menjadi radikal lain. Terminasi melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih labil (Gordon, 1990). Tahap inisiasi terjadi jika lemak kontak dengan panas, cahaya, ion metal atau oksigen maka akan terbentuk radikal bebas (R*). Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C- (Buck, 1991). Reaksi antara R* dengan oksigen (2a) pada tahap propagasi akan mengahasilkan radikal peroksida (ROO*) yang akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh menjadi hidroperoks ida (ROOH). Selanjutnya reaaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga merupakan reaksi berantai. Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan mudah terpecah menjadi senyawa aldehid, keton, alkohol dan asam lemak bebas. Pada umumnya asam lemak jenuh dari minyak mempunyai rantai lurus monokarboksilat dengan jumlah atom karbon genap. Dalam reaksi hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol, dimana reaksi ini akan berlangsung dengan baik jika didalam minyak terdapat sejumlah air. Semakin lama reaksi berlangsung maka asam lemak yang dihasilkan semakin banyak, faktor yang menunjang dalam percepatan reaksi tersebut adalah panas, air, keasaman, dan enzim.
Enzim lipase mampu menghidrolisis lemak menjadi
asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Selain
10
enzim lipase dapat juga dikombinasi oleh kontamiansi mikrobia dari kelompok bakteri (Staphylococus, Bacilus, Pseudomonas dan Achromobacter), Jamur (Aspergilius, Penicillium, Mucor, Rhizopus, Monila, Oidium, Cladosporium). Hidrolisis lemak tersebut dapat berlangsung dalam suasana aerobik dan anarobik. Menurut Ketaren (1986) reaksi hidrolisis yang terjadi pada trigliserida adalah sebagai berikut : C3 H5(OOCR) 3
+ 3 H2O
Trigliserida
C3H5(OH) 3 + 3 HOOCR
air
Reaksi
gliserol
asam lemak
hidrolisis terjadi secara bertahap dimulai dari penguraian
trigiserida menjadi digliserida dan asam lemak.
Kemudian dilanjutkan dari
digliserida menjadi monogliserida dan asam lemak dan akhirnya monogliserida terurai menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi hidrolisis
terjadi secara
reversible. Apabila reaksi ini tidak dipisahkan maka akan terjadi secara berkesinambungan antar reaksi-reaksi tersebut. Tingkat kerusakan minyak dapat diukur dengan mengukur asam lemak bebas atau bilangan asam.yang terdapat dalam minyak. 2.4. Tingkat Kematangan dan Pemanenan Buah Jarak pagar adalah tanaman monoecious, bunga berkelamin satu (uniseksual),
jarang
yang
biseksual.
Bunga
tersusun dalam
rangkaian
(inflorescence), biasanya terdiri atas 100 bunga atau lebih, persentrase bunga betina 5-10%. Bunga memiliki 5 sepala dan 5 petala yang berwarna hijau kekuningan atau coklat kekuningan. Bunga jantan mempunyai 10 tangkai sari yang tersusun dalam dua lingkaran (whorl) masing-masing berisi lima tangkai sari yang
menyatu
berbentuk
tabung;
(longitudinal), masa berbunga 1-2 hari.
kepala
sari
pecah melintang
Bunga betina lebih besar dari bunga
jantan terdiri atas ovari (bakal buah) yang beruang lima (5 locule) yang masing- masing berisi satu bakal biji (ovule). Tangkai putik lepas atau melekat pada pangkal, kepala putik terpecah tiga, berwarna coklat, masa berbunga 3-4 hari. Bunga betina membuka 1-2 hari jantan. Lama pembungaan
infloresen
10-15 hari.
sebelum Bunga
jarak
bunga pagar
11
menyerbuk dengan bantuan serangga; bunga menghasilkan nektar yang mudah terlihat (exposed) dan harum hingga dapat diakses oleh seranggaserangga seperti lalat dan serangga lain (Hasnam dan Mahmud, 2006). Bunga betina yang telah dibuahi akan terus membesar bakal buahnya, selanjutnya menggugurkan kelopak bunga dan tangkai putiknya. Adikardasih dan Joko (2006) menyatakan bahwa dalam satu tandan bunga jarak pagar baik jantan maupun betina bersama-sama melainkan bertahap sesuai dengan pola yang tidak tentu. Bunga yang mekar pertama kali bisa berupa bunga jantan meupun betina
Selanjutnya bunga jantan akan gugur meskipun bunga
belum semua bunga jantan atau betina yang baru mulai mekar, hal ini yang menyebabkan terjadinya tingkat kemasakan yang berbeda-beda dalam satu tandan buah. Kapsul yang berukuran sangat kecil terbentuk pada hari ke-10 setelah anthesis (hsa). Biji mulai berkembang setelah 20 hsa. Kapsul berkembang dan mencapai fase matang sekitar 40 – 45 hsa, kemudian mencapai fase masak pada 55 hsa dan akhirnya memasuki sensen pada waktu 60 - 65 hsa ( Bambang, 2008). Selama proses pemasakan tersebut ditandai dengan perubahan warna dari hijau tua, hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman dan hitam. Buah jarak pagar dipanen pada tingkat kemasakan tertentu sesuai dengan komposisi yang diinginkan, dimana warna kulit buah sebagai cerminan tingkat kemasakan buah. Menurut Syah (2006) panen optimal dilakukan setelah biji masak ditandai dengan kulit buah berwarna kuning kemudian menjadi hitam. Selanjutnya Yeyen dan Joko (2007) menyatakan hasil analisis kandungan minyak buah jarak buah berwarna hijau 10,93 %, warna buah hijau kekuningan 26,98 %, buah kuning 29,38 %, kuning kehitaman 22,83 % dan buah hitam 23,68 %. Warna hijau kekuningan hingga kuning biasanya berumur 45 hari setelah anthesis. Sehubungan dengan proses pematangan buah yang tidak serempak pada satu tandan maka panen dapat dilakukan beberapa kali untuk memilih buah yang berwarna kuning. Bambang (2008) menyatakan untuk ekotipe yang proses pematangan buah tidak serempak diperlukan waktu atau lama periode pematangan dari fase matang (hijau tua / mature) menjadi menjadi masak (kuning / ripe) dan dari masak menjadi kering (over ripe) adalah 7,6 – 11,7 hari. Cara panen tersebut secara ekonomi kurang efisien karena tingginya biaya tenaga kerja untuk panen.
12
Gambar 2 Perbedaan tingkat kemasakan buah jarak pagar
2.5. Perubahan Fisik dan Kimia Pascapanen 2.5.1. Warna Warna yang ada pada buah-buahan disebabkan oleh pigment yang dikandungnya. Pigment tersebut pada umumnya dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu klorofil, anthocianin, flavonoid dan karotenoid atau dapat dibagi menjadi dua kelompok lain yaitu yang bersifat polar (larut dalam air) dan non polar (tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik). Warna buah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan waktu panen dan
indikator tingkat kemunduran bahan pertanian.
Buah jarak pagar pada
awalnya berwarna hijau selanjutnya berubah menjadi warna kuning, kuning kecoklatan, coklat dan hitam. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh perubahan pigmen yang terdapat dalam buah. Pada waktu masih muda umumnya buah-buahan mengandung klorofil yang jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan karotenoid atau pigmen-pigmen lainnya, sehingga buah tersebut berwarna hijau. Selama proses pematangan buah akan tejadi degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen-pigmen lainnya, sehingga berubah warnanya menjadi kuning, oranye atau merah (Muchtadi, 1992). Pembentukan warna menjadi kuning dalam pematangan (sintesis karotenoid) tersebut tidak terlepas dari adanya enzim ß karoten. Aktifitas enzim tersebut dipengaruhi oleh kandungan karoten, asam mevalonat bebas dan geraniol bebas yang merupakan prekusor terbentuknya karoten (Pantastico, 1989). Jumlah karoten yang terbentuk akan semakin meningkat seiring dengan lama waktu
13
pematangan, sehingga warna kuning atau jingga akan terbentuk pada seluruh bagian buah.
2.5.2. Tekstur Tekstur buah–buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketengangan, ukuran, bentuk dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan susunan tanaman. Ketegangan
disebabkan oleh tekanan isi sel dan
konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola. Bagian permukaan buah secara kimiawi tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, zat pektin dan lignin. Zat pektin yang dilekatkan pada bagian dinding sel yang berfungsi sebagai bahan perekat. Zat pektin merupakan polimer dari asam galakturonat. Beberapa gula yang membentuk pektin antara lain rhaminosa, galaktosa dan xylosa. Gugus asam (karbonil) pada asam galaktoronat dapat membentuk ester dengan metanol atau etanol maupun garam dengan monovalen kation (Na+) dan divalen (Ca++). Menurut Winarno (2002), menyatakan bahwa pada buah sekitar 80 persen dari karbonil yang ada pada pektin termetilasi dan kira-kira dua persen teretilasi / banyaknya karboksil yang termetilasi akan banyak pengaruhnya terhadap daya larut serta kemampuan untuk menjadi jelly. Selanjutnya Zat pektin terbagi atas protopektin , asam pektinat, pektin, asam pektat . Protopektin merupakan makromolekul yang memiliki berat molekul tinggi, terbentuk antara rantai molekul pektin satu sama lain atau dengan polimer lain. Protopektin tidak larut karena dalam bentuk garam kalsium – magnesium pektinat. Proses pelarutan protopektin menjadi pektin dapat terjadi karena adanya penggantian ion kalsium dan magnesium oleh ion hidrogen ataupun karena putusnya ikatan antara pektin dengan selulosa. Semakin tinggi ion hidrogen kemampuan untuk mengganti ion kalsium dan magnesium ataupun memutus ikatan dengan selulosa maka semakin tinggi pula pektin yang larut akan bertambah (Meyer, 1978). Protopektin adalah bahan awal dari zat pektin yang tidak dapat larut dalam air, dan bila dihidrolisa akan membentuk asam pektinat, dimana pada kondisi tertentu akan membentuk jelly dengan asam dan gula. Jumlah zat - zat pektat bertambah selama perkembangan buah tetapi sebaliknya pada proses
14
pematangan mengalami penurunan. Selama proses pematangan zat-zat pektin terdegradasi, depolimerisasi dan deesterisifikasi atau penghilangan gugus metil dari polimernya. Perubahan komponen-komponen buah ini diatur oleh enzymenzym antara lain enzym hidrolitik, poligalakturokinase, metil asetate, selullose (Pantastico, 1989).
Zat-zat pektin yang larut dalam sel menimbulkan struktur
serabut selulosa menjadi longgar sehingga menurunkan daya kohesi dinding sel yang mengikat sel yang satu dengan yang lain akibatnya kekerasan buah akan semakin menurun dan buah menjadi lunak.
2.5.3 Pemecahan Makromolekul Menjadi Mikromolekul Pemecahan makromolekul menjadi mikromolekul tidak terlepas dari kerja enzim. Pada karbohidrat perubahan yang terjadi dari polisakarida menjadi disakarida (sukrosa, maltosa) atau monosakarida (glukosa, fruktosa) oleh enzim amilase. Monosakarida merupakan senyawa gula paling sederhana dan bila dipecah tidak lagi menjadi gula lagi. Glukosa mampu menyediakan sebagian besar energi dalam benda hidup dengan cara oksidasi glukosa yang terjadi selama proses respirasi, sehingga menghasilkan karbon dioksida dan air. Sementara itu karbohidrat struktural seperti selulosa dan zat pektin tidak mengalami penguraian dalam jumlah besar. Enzym yang berperan melakukan penguraian adalah enzim hidrolitik, poligalakturokinase, metil asetate, selullose. Zat pektin dan selulosa merupakan karbohidrat cadangan yang labil yang dapat juga berfungsi sebagai sumber potensial untuk asam, gula, dan zat-zat respiratorik lainnya selama pematangan. Pada protein terjadi perombakan menjadi asam-asam amino. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah asam amino tertentu selama pematangan. Namun demikian beberapa asam amino mengalami peningkatan khususnya pada fase klimakterik selanjutnya akan mengalami penurunan kembali. Pada buah mangga, jenis asam amino tersebut antara lain asam glutamat, glutamin, leusin, dan arginin. Beberapa asam amino yang mengalami peningkatan selama pematangan adalah alanin, triptofan, isoleusin, falin, glisin dan serin. Beberapa asam amino dapat digunakan sebagai sumber energi pada siklus kreb seperti asam glutamat
15
dengan ditransaminasi oleh enzim selanjtnya masuk ke dalam siklus kreb pada fase a-ketoglutarat (Pantastico, 1989). Fosfolipid terdapat dalam sitoplasma dan dalam banyak unit-unit struktural jaringan tanaman. Zat –zat ini mempengaruhi fisiologi yang lebih besar dari pada lipid netral yang terdapat pada makanan cadangan. Perubahan lemak menjadi asam lemak terjadi selama pematangan buah. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan jumlah asam lemak.
2.5.4. Respirasi Laju respirasi merupakan petunjuk daya simpan hasil pertanian sesudah dipanen. Intensitas respirasi dapat dianggap sebagai ukuran jalannya metabolisme, karena itu intensitas respirasi sering dianggap sebagai potensi daya simpan. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai umur simpan yang pendek. Hal ini juga merupakan petunjuk laju kemunduran kualitas bahan makanan (Pantastico, 1989). Laju respirasi dapat diukur dengan mengukur perubahan kosentrasi O2 dan CO2 yang terjadi dalam ruang simpan selang waktu tertentu. Laju respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi protoplasma, suhu, subtrat untuk respirasi, kosentrasi O2 dan CO2, luka, sinar, efek mekanis serta komponen kimia tertentu seperti etilen. Selanjutnya Pantastico (1989) mengatakan bahwa faktor internal dan eksternal akan mempengaruhi laju respirasi. Faktor-fakror internal mencakup tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran produk, pelapis alami, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal mencakup suhu, karondioksida, oksigen, zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah. Untuk mengevaluasi sifat respirasi digunakan konsep Quesien respirasi (RQ). Wills et al. (1989) menyatakan RQ didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah CO2 yang diproduksi terhadap O2 yang dikonsumsi. RQ berguna untuk mengetahui subtrat yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana reaksi telah berlangsung dan sejauh mana proses tersebut bersifat aerobik atau anaerobik. Nilai RQ > 1 menandakan bahwa subtrat yang dirombak dalam proses respirasinya merupakan asam-asam organik dan bukan karbohidrat. Asam –asam organik yang dirombak kemungkinan asam malat. dimana karbondioksida yang dihasilkan lebih besar dari pada oksigen yang dipakai.
Pantastico (1989)
16
menyatakan apabila subtratnya glukosa, maka RQ = 1. RQ > 1 apabila subtrat yang digunakan mengandung oksigen yaitu asam – asam organik. Respirasi senyawa ini memerlukan O2 lebih sedikit untuk menghasilkan CO2 yang sama .
2.6. Penundaan Pengeringan Karakteristik biji jarak pagar yang mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan sehingga dalam penanganan pasca panen perlu adanya perlakuan khusus karena setiap tahapan penanganan pasca panen yang tidak tepat akan memberikan kontribusi terhadap penurunan mutu biji jarak pagar khususnya peningkatan kadar keasaman. Buah jarak pagar setelah dipanen hendaknya segera dilakukan pengupasan dan pengeringan serta disimpan pada tempat yang tepat. Sudrajat et al. (2006) menyatakan penyimpanan biji menggunakan karung plastik dan diletakkan bersentuhan dengan lantai gudang bisa menyebabkan peningkatan keasaman, biji berjamur dan penurunan rendemen minyak. Tantangan dalam penanganan pasca panen jarak pagar untuk mempertahankan mutu cukup berat karena agribisnis jarak pagar biasanya diusahakan pada areal terpencar-pencar dengan skala usaha yang kecil serta tidak tersedia pengering mekanis. Penundaan pengeringan akan terjadi pada musim hujan sehingga berakibat terhadap kerusakan biji jarak pagar. Potensi terjadinya kerusakan biji oleh serangan cendawan sangat besar terkait dengan kadar air biji yang masih tinggi (15 - 20 %). Berdasarkan pada ekologinya, cendawan yang menyerang biji diklasifikasikan kedalam cendawan lapangan dan cendawan pasca panen. Cendawan akan menghasilkan enzim eksoseluler untuk menguraikan bahan-bahan cadangan biji (protein, lemak dan karbohidrat) menjadi bahan-bahan yang digunakan untuk pertumbuhannya. Cendawan pada biji yang berasal dari lapangan biasanya berlokasi di dalam jaringan biji. Serangan cendawan ke dalam jaringan biji terjadi pada saat pembentukan biji yaitu pada saat fase penyerbukan, fase antara penyerbukan dengan pembuahan dan fase sesudah pembuahan (Neergaard, 1979). Apabila serangan cendawan pada akhir pembentukan biji, cendawan akan berada dipermukaan testa atau jaringan bagian luar seperti testa, permukaan kotiledon atau endosperm, tetapi apabila
17
serangan terjadi pada awal pembentukan biji, letak cendawan dapat lebih dalam lagi. Kulit biji secara fisik atau kimiawi merupakan pertahanan yang utama bagi biji untuk mencegah penetrasi cendawan. Retakan biji yang terjadi secara mekanis memberikan peluang bagi serangan cendawan ke dalam biji (Styer and Cantliffe, 1984). Serangan cendawan pada biji-bijian dapat menyebabkan penurunan daya kecambah, perubahan warna, bau apek, pembusukan, perubahan komposisi kimia, penguraian lemak sehingga meningkatkan kandungan asam lemak bebas dan penurunan nutrisi (Sauer et al. 1992). Pertumbuhan cendawan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan tempat cendawan tumbuh. Ominski et al. (1994) mengemukakan bahwa beberapa kondisi lingkungan tersebut adalah nilai aktivitas air (aw ) dan kadar air, suhu, subtrat, O2 dan CO2, interaksi mikroba, kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan. Jumlah air bebas yang dibutuhkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya ditetapkan oleh akitivitas air (aw). Semua cendawan
mempunyai
aw minimum,
optimum
dan
maksimum
untuk
pertumbuhannya. Akitivitas air 0.70 merupakan aw minimum pembentukan koloni semua spesies cendawan selama penyimpanan. Worang (2008) menyatakan bahwa berdasarkan hasil identifikasi biji jarak pagar yang terserang cendawan diperoleh 15 spesies cendawan yaitu Aspergillus flavus, A. niger, A. restrictus, A. tamari, Cladosporium sp., C. cladosporioides, Colletotrichum sp, Eurotium chevalieri, E rubrum, Fusarium semitectum, F. verticillioides, Lasiodiplodia sp, Libertella sp, Penicillium citrium, P. oxalicum dan 1 (satu) isolate yang belum dapat diidentifikasi. Cendawan yang selalu terisolasi pada setiap aktivitas air dan lama penyimpanan adalah Cladosporium sp., C. cladosporioides, Colletotrichum sp, F. verticillioides, dan Lasiodiplodia sp. Hanafi (2006) menyatakan berdasar hasil identifikasi cendawan yang terbawa benih ditemukan 4 jenis cendawan yaitu Chrysosporium sp (47 – 49 %), Fusarium solani (30 %), Aspergilus flavus (11-31 %) dan panicilium sp (2-6 %). Cendawan Chrysosporium sp bersifat saprofit sehingga cendawan cepat berkembang pada bagian kulit dan tidak berpotensi merusak struktur benih bagian dalam. Berbeda dengan
cendawan Fusarium
solani yang merupakan pathogen yang berbahaya karena dapat menyebabkan pembusukan pada radikula. Untuk cendawan Aspergilus flavus bersifat saprofit
18
dengan kemampuan adaptasi yang luas sehingga dapat perubahan kualitas fisik, perubahan warna dan penurunan kandungan nutrisi dalam benih.
2.7. Desinfektan Desinfektan adalah senyawa kimia yang mampu membunuh bentukbentuk pertumbuhan. Tujuan penggunaan desinfektan adalah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme pathogen dan perusak di dalam makanan, pengolahan pangan, serta fasilitas dan perlengkapan makan (Jenie, 1988). Penggunaan bahan kimiawi seperti natrium hipoklorit, klorin dioksida, natrium bisulfit, sulfur dioksida, asam-asam organik, kalsium klorida dan ozon dilakukan untuk mengurangi populasi mikrobia pada buah ataupun sayuran (David et al. 1996).
2.7.1. Klorin Klorin telah dikenal sejak dahulu sebagai desinfektan pada produk pertanian. Menurut Izumi (1999) 50 – 125 ppm larutan klorin dapat digunakan sebagai desinfektan untuk produk sayuran, buah bahkan susu olahan karena klorin pada kosentrasi tersebut dinilai tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Penggunaan desinfektan sangat dipengaruhi oleh kosentrasi, pH, suhu, bahan – bahan organik, waktu penggunaan dan fase pertumbuhan dari mikroorganisme tersebut (Izumi, 1999). Penggunaan natrium hipoklorin sebagai desinfektan pada biji-bijian
biasanya menggunakan dosis 1 % dengan cara
dicelupkan selama 3 menit. Penggunaan beberapa senyawa kimia dengan kosentrasi yang tidak sesuai dapat menimbulkan kontaminasi pada produk, baik dalam bentuk ataupun perubahan warna dari produk tersebut. Penggunaan klorin dengan kosentrasi cukup tinggi dapat menyebabkan timbulnya bau yang tidak menyenangkan pada produk (Marriot, 1997). Klorin digunakan sebagai desinfektan akan bereaksi dengan air membentuk asam hipoklorin. Asam hipoklorin ini diyakini bekerja aktif membunuh bakteri dengan cara oksidasi (Gamman dan Sherington, 1992). Reaksi klorin dengan air terjadi sebagai berikut : Cl2 + Klorin
H2O air
HCl asam klorida
+
HOCl asam hipoklorit
19
Kosentrasi klorin yang lebih tinggi menyebabkan waktu pemusnahan mikroorganisme lebih cepat. Dari persamaan reaksi diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi pH air atau suatu bahan maka daya pemusnahan klorin tersebut akan berjalan semakin lambat (Winarno dan Laksmi, 1974). Hipoklorin merupakan agen mikrobial tertua dan paling banyak digunakan untuk sanitasi dan desinfeksi.
Hipoklorin biasa dikenal dengan nama bleach dan banyak
diaplikasikan pada penanganan air minum dan air limbah (Naidu dan Khanna, 2000). Klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat mempengaruhi DNA. Hipoklorit bereaksi dengan DNA sel hidup, menyebabkan mutasi oleh rekasi oksidasi basa purin dan pirimidin (Jenie, 1988). 2.7.2. Asap cair Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran / pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Asap cair mengandung sejumlah besar senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al., 2005). Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan (Darmadji, 2002). Zat-zat yang ada dalam asap cair berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama (Darmadji, 1995). Menurut Maga (1988) komposisi asap cair terdirin dari air 11 – 92 %, fenol 0,22 – 2,9 %, asam 2,8 – 4,5 %, karbonil 2,6 – 4,6 % dan tar 1-17 %. Perbedaan komposisi asap tergantung kepada jenis kayu yang dipakai dan kandungan air kayu asap (Rusz and Miler, 1976) sedangkan menurut Peszczola (1995) perbedaan komposisi asap cair berdasarkan species dari tanaman, umur dan kondisi pertumbuhan tanaman. Asap cair dari tempurung kelapa mempunyai 7 macam komponen yang dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-metioksifenol, 2–metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6–dimetoksifenol dan 2,5 – dimetoksi benzil alkohol, yang kesemuanya larut dalam eter. Komponen utama yang terdapat dalam tar
20
adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol; 4-propyl guaiacol; 2,6-xylenol; 3,5xylenol; creosol; o-creosol; syringol; 4-et srigol; 4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Yatagai, 1996). Penggunaan lain sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi, industri makanan, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida, herbisida, desinfektan (Hendra, 1992). Kualitas dan kuantitas unsur kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat. Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan antioksidan
yang
berbeda-beda
tergantung
pada
kandungan
selulosa,
hemiselulosa dan lignin pada masing-masing kayu (Tranggono et al. 1996). Dalam penelit ian Tranggono (1996) diketahui bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2metoksiphenol,
2-metoksi-4-metilphenol,
4-etil-2-metoksiphenol,
2,6-
dimetoksiphenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5.5% methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam sebesar 7.1%. Yulistiani (1997) mendapatkan data bahwa kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1.28% bahwa asap cair yang bersumber dari tempurung kelapa memiliki efek antimikrobia yang lebih tinggi dibandingkan sumber kayu lainnya. Hal tersebut terkait dengan pH asap cair dari tempurung kelapa memiliki (pH 2.05) paling rendah dibandingkan sumber jenis asap lain seperti: kayu jati, bangkirai, kruing, lamtoro, mahoni, kamfer dan glugu. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol asap cair tempurung kelapa berbeda-beda, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kadungan zat-zat yang mudah terbakar yang terdapat pada bahan baku tempurung kelapa seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, resin, protein dan abu (Daun, 1979). Secara khusus Daun (1979) menyebutkan bahwa perbedaan kandungan fenol sangat ditentukan oleh banyaknya lignin yang
21
terkandung dalam asap cair. Semakin tinggi kandungan lignin dalam bahan baku maka kandungan fenol dalam asap cair semakin besar.
2.8. Pengeringan Pengeringan merupakan salah satu cara penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menekan laju kerusakan produk akibat akitivitas biologi dan kimiawi. Air merupakan media penting dalam pertumbuhan mikroorganisme, pertumbuhan spora, dan berbagai reaksi kimia. Dalam lingkungan mikro kemampuan air untuk menjadi media bagi mikroorganisme ditentukan oleh tekanan uap relatif atau akitivitas air yang didefinisikan sebagai rasio tekanan uap air sistem terhadap tekanan uap air murni pada tempertarur yang sama (Fardiaz, 1996). Pengeringan secara alami dilakukan menggunakan dengan sinar matahari. Pengeringan ini memiliki beberapa kelemahan antara lain sangat tergantung dengan cuaca, memerlukan tempat yang luas dan kurang praktis. Cara pengeringan yang kurang tepat dapat menimbulkan reaksi oksidasi dan hidrolisis asam lemak sehingga akan terjadi peningkatan asam lemak bebas serta pertumbuhan mikrobia pada biji sehingga menimbulkan kerusakan semakin berat. Pengeringan adalah operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia yang pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan panas dan massa (Tambunan et al., 2001). Dasar proses pengeringan adalah terjadi penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban udara nisbi yang rendah, sehingga terjadi penguapan (Sinaga, 2006). Selama proses pengeringan terdapat dua proses perpindahan yang terjadi secara simultan yaitu perpindahan panas dan perpindahan massa. Perpindahan kalor dan perpindahan massa dalam bahan terjadi pada tingkat molekul. Perpindahan kalor ditentukan oleh konduktivitas kalor bahan sedangkan perpindahan massa akan proporsional dengan difusi molekul uap air dalam udara. Menurut Geankoplis (1993) perpindahan kalor yang terjadi selama pengeringan terjadi secara konduksi, konveksi dan radiasi. Dalam bahan yang bersifat mikroporous dimana ruang
22
kosong dalam bahan berisi cairan atau uap, perpindahan kalor secara konveksi terjadi antara fluida yang mengalir dengan permukaan bahan padat. Pengeringan biji jarak pagar dilakukan hingga mencapai kadar air < 7 %. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan aw 0.64 yang setara dengan kadar air 7,61 % (Dirjenbun, 2006). Hasil penelitian Warsiki et al. (2007) yang melakukan penyimpanan biji jarak pagar pada berbagai tingkat kelembaban relatif, melaporkan bahwa kadar air biji yang dikemas dalam karung goni dan disimpan dengan kelembaban relatif 80 – 90 % (aw 0,8 – 0,9) menjadi 12 % dari kadar air awal 9 %, sedangkan kelembaban realtif 50 – 60 % (aw 0,5-0,6) kadar airnya menjadi 7 % pada penyimpanan selama 6 minggu. Menurut Duckworth (1974) kurva sorbsi isotermik dapat dibagi menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air dalam biji tersebut. Daerah yang menyatakan adsorpsi air bersifat satu lapis molekul air terdapat pada daerah monolayer yaitu pada kisaran aw 0 – 0,25. Air yang terkandung adalah air yang terikat pada permukaan (air adsorbsi) yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun. Daerah ini merupakan ambang batas ketengikan, sebab air yang ada sangat terbatas hanya cukup untuk melindungi produk dari senyawa O2. Selanjutnya Worang (2008) menyatakan daerah monolayer ini setara dengan kadar air biji jarak 2,68 %. Daerah yang menyatakan terjadinya penambahan lapisan-lapisan di atas satu lapis molekul air terdapat pada daerah multilayer yaitu kisaran aw yang disimpan dengan 0,25 – 0,70. Air yang terkandung pada daerah ini, kurang kuat terikat dibandingkan pada daerah monolayer. Daerah multilayer ini setara dengan kadar air biji 5,45 – 7,61 %. Daerah yang menyatakan kondensasi air pada pori-pori bahan terdapat pada daerah kondensas kapiler yaitu aw > 0,7. Daerah ini mengandung air bebas yang cukup banyak, sehingga sangat optimal bagi beberapa reaksi biokimia, mikrobia, dan reaksi fisik. Daerah kondensasi kapiler setara dengan kadar air biji jarak pagar 9,62 ; 12,56 dan 13.52 %.
23