II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN JARAK (Ricinus communis L.) Tanaman jarak yang umum dikenal di Indonesia ada dua macam, yaitu jarak kepyar dan jarak pagar. Jarak kepyar termasuk tanaman semusim atau annual crops, sedangkan jarak pagar termasuk tanaman keras atau tahunan atau perennial crops (Widodo, 2007). Tanaman jarak, yang bernama ilmiah Ricinus communis L., berasal dari Ethiopia. Nama latin Ricinus communis diberikan oleh seorang ilmuwan Swedia yang bernama Carolus Linnaeus. Ricinus dalam bahasa latin berarti “serangga”. Buah jarak kepyar berbintikbintik dan bentuknya sekilas mirip serangga. Tanaman ini pertama kali dibudidayakan oleh bangsa Potugis dan Spanyol. Mereka menyebutnya sebagai Agno Casto, sedangkan bangsa Inggris menyebutnya Castor (Weiss, 1971). Tanaman jarak (Ricinus communis) banyak ditemukan di wilayah yang beriklim tropis dan subtropis, baik tumbuh secara liar ataupun terpelihara dan termasuk dalam famili Euphorbiaceae (Jamieson 1932). Sistematika tanaman jarak menurut Heyne (1987), adalah: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Eophorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Ricinus
Spesies
: Ricinus communis L.
Tanaman jarak (castor) membutuhkan suhu cukup tinggi berkisar antara 20-26oC, serta curah hujan dan kelembaban udara yang rendah (Weiss, 1971). Ia bisa tumbuh dan berproduksi mulai dari ketinggian nol meter hingga daerah pegunungan setinggi 2500 meter di atas permukaan laut. Namun, untuk kondisi Indonesia, hasil yang baik akan dicapai pada ketinggian 0-800 meter di atas permukaan laut. Hal lain yang juga menjadi pantangan bagi tanaman jarak adalah tanah yang becek. Akan cepat mati kalau tanahnya sampai
tergenang air (Sujatmaka, 1991). Di Indonesia, daerah penyebaran tanaman jarak kepyar antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Umunya tanaman jarak kepyar belum dibudidayakan secara intensif, masih banyak dijumpai sebagai tanaman yang tumbuh liar (Widodo, 2007). Menurut Sujatmaka (1991), jarak memang tidak memilih jenis tanah. Tanaman ini bisa tumbuh dan berproduksi di hampir semua jenis tanah, bahkan masih bisa berproduksi di tanah yang kondisinya kering, gersang, dan kondisi tanah yang bagi tanaman lain sudah tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh dengan baik. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhinya, yaitu tingkat keasaman tanahnya (pH) harus berkisar antara 5-7. Menurut Weiss (1971), tanaman jarak akan tumbuh baik pada pH 5,00-6,00 dan toleran pada pH 8,00. Jarak merupakan tanaman perdu dengan batang yang halus, tegak, berbentuk bulat, dan berongga, bercabang dengan tinggi antara 1 sampai 4 meter (Weiss, 1971). Jarak memiliki bentuk percabangan tidak beraturan. Tanaman ini berbuah sekali sampai beberapa kali dalam satu siklus hidupnya, tergantung varietasnya. Sifat pertumbuhan umumnya indeterminate, artinya pertumbuhan tanaman tidak berhenti walaupun sudah berbuah. Namun, ada juga kultivar yang bersifat determinate, artinya tanaman hanya sekali berbuah dan setelah buahnya tua, tanaman mati. Kulit batang bertekstur halus, berwarna hijau muda sampai hijau tua, dan ada pula yang berwarna merah muda sampai merah kecoklatan. Batang tanaman berdiri tegak, beruas-ruas, dan setiap ruas dibatasi oleh mata ruas. Pada setiap mata ruas terdapat titik tumbuh daun atau cabang. Diameter batang sekitar 3-5 cm diukur pada ketinggian 50-100 cm dari permukaan tanah atau leher akar (Widodo, 2007). Berdasarkan pada umur pembungaan dan pembuahan, maka dikenal tiga varietas jarak dari spesies jarak yang bernilai komersil (Ricinus communis), yaitu: a) Jarak Genjah, mulai berbunga pada umur 2-2,5 bulan dan mulai panen umur 3-3,5 bulan, b) Jarak Tengahan, mulai berbunga pada umur 2,5-3 bulan dan mulai panen pada umur 3,5-4 bulan dan c) Jarak Dalam, mulai
berbunga pada umur lebih dari 3 bulan dan mulai panen pada umur lebih dari 4 bulan (Ketaren, 1986). Menurut Widodo (2007), biji jarak kepyar berbentuk lonjong atau oval, berwarna kecoklatan dari coklat muda sampai coklat tua, ada yang berbintikbintik atau bermotif tertentu, ada yang berwarna merah, dan ada pula yang berwarna hitam atau kehitaman, tergantung kultivarnya. Biji terdiri dari atas kulit biji yang keras dan di dalamnya terdapat daging atau biji atau kernel. Biji jarak terdiri dari 75% kernel (daging buah) dan 25% kulit. Kira-kira dua pertiga dari berat kernel terdiri dari minyak (Kirk dan Othmer, 1964). Jamieson (1932), menyatakan bahwa kandungan minyak pada biji jarak berkisar antara 35-55%, rata-rata berkisar antara 44-45%. Selain itu, biji jarak mengandung dari 70 sampai 80 persen kernel. Menurut (Williams, 1966), biji jarak terdiri dari 22% kulit dan 78% kernel, kandungan minyak berkisar antara 46-50% dalam biji atau setara dengan 60 sampai 65 persen dalam kernel. Komposisi kimia biji jarak tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Biji Jarak Komponen
Jumlah (%) a) b) c) Air 5,0 5,22 Minyak 54,0 45-50 52,57 Karbohidrat 13,0 3-7 12,46 Serat 12,5 23-27 10,25 Abu 2,5 2 2,36 Protein 18,0 12-16 17,9 Sumber : a) Kirk dan Othmer (1964), b) Salunkhe et al. (1992), c) Qibtiah (1987) B. MINYAK JARAK Minyak jarak atau castor oil diperoleh dari biji dari tanaman jarak jenis Ricinus communis (dengan kandungan minyak sekitar 50%), merupakan minyak komersial penting yang mengandung asam hidroksi dalam jumlah besar. Minyak jarak tidak digunakan dalam pembuatan produk makanan, tetapi dapat digunakan untuk keperluan medis (Sonntag, 1979). Minyak jarak mempunyai sifat sangat beracun disamping kandungan asam lemak esensialnya yang sangat rendah. Hal yang demikian menyebabkan minyak
jarak tidak dapat digunakan sebagai minyak makan dan bahan pangan (Ketaren, 1986). Menurut pengelompokkan berdasarkan jenis, minyak jarak merupakan salah satu dari grup minyak asam hidroksi yang unik dimana terdapat trigliserida yang mengandung asam risinoleat (12-hydroxy-9-octadecenoic) dan sejumlah kecil dari asam 9,10-dihydroxystearic (Sonntag, 1979). Minyak jarak (castor oil) bersifat sangat dextrorotary karena adanya atom karbon asimetris pada posisi ke-12 dari asam risinoleat yang merupakan komponen asam lemak dominan (Sonntag, 1979), dan merupakan asam lemak tidak jenuh dengan bobot molekul 298,46 dan titik leleh sekitar 5 oC (Salunkhe et al., 1992). Struktur molekul asam risinoleat dapat dilihat pada Gambar 1 dan komposisi asam lemak minyak jarak tercantum dalam Tabel 2.
Gambar 1. Struktur Molekul Asam Risinoleat
Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Jarak Asam Lemak Palmitat (16:0) Stearat (18:0) Oleat (18:1) Linoleat (18:2) Risinoleat
Rumus Molekul C15H31COOH C17H35COOH CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH
Jumlah (%) a b c d 2 2 0,33 7-9
6 6
1
1
7
7
32 3 3 3,5 CH3(CH2)5CH(OH)CH2 CH=CH(CH2)7COOH 80- 86 87 8786 89 Sumber : a) Jamieson (1932), b) Williams (1966), c) Sonntag (1979), d) Salunkhe et al. (1992)
Menurut Kirk dan Othmer (1964), minyak jarak berbeda dari minyak nabati lainnya, yang disebabkan karena minyak jarak mempunyai berat jenis, viskositas, bilangan asetil dan kelarutan dalam alkohol yang tinggi. Lebih lanjut menurut Eckey (1954), minyak jarak larut di dalam asetat glasial pada suhu ruang dan kurang larut di dalam petroleum dibanding minyak nabati lainnya. Perbedaan antara minyak jarak dan minyak nabati lainnya disebabkan oleh adanya gugus hidroksi dalam asam risinoleat, yang merupakan asam lemak utama di dalam gliserida minyak jarak. Sifat fisiko kimia minyak jarak dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Fisiko Kimia Minyak Jarak Sifat Viskositas (Gardner Hold), 25oC Bobot Jenis 20/20oC Bilangan Asam Bilangan Penyabunan Bilangan Tak Tersabunkan Bilangan Iod (Wijs) Warna (Appearance) Indeks Bias, 25oC Kelarutan dalam Alkohol 20 oC (1:2) Bilangan Asetil Titik Nyala (Tag Close Cup), oC Titik Nyala (Cleveland Open Cup), oC Suhu Pembakaran, oC Titik Api, oC Putaran Optik, 200 mm Titik Leleh, oC Tegangan Permukaan pada 20 oC, dyne/cm Sumber : Kirk dan Othmer (1964)
a U-V(6,3 - 8,8 st) 0,967 - 0,963 0,4 - 4,0 176 - 181 0,7 82 - 88 bening 1,477 - 1,478 jernih (tidak keruh) 145 - 154 230 285 499 322 7,5 - 9,0 -33 39,9
Minyak jarak sedikit larut di dalam sejumlah besar petroleum eter, gasolin, kerosen, dan distilat suhu tinggi dari petroleum. Minyak jarak tidak akan mengering ketika terpapar udara, bobot jenis meningkat ketika bilangan iod dan bilangan asam mengalami sedikit perubahan atau tidak sama sekali, selain itu memiliki kualitas penyimpanan yang baik (Jamieson, 1932). Minyak jarak dapat larut di dalam etil-alkohol 95 persen dan pelarut organik polar pada suhu ruang serta sedikit larut di dalam golongan hidrokarbon alifatis.
Nilai kelarutan dalam petroleum eter relatif rendah, dan dapat dipakai untuk membedakannya dari golongan trigliserida lainnya (Kirk dan Othmer, 1964). Weiss (1971), menyatakan bahwa minyak jarak berwarna kuning pucat atau hampir tak berwarna, kadang sedikit berbau, terdapat fraksi tak tersabunkan (<0,1 %) dan mengandung tokoferol sampai sekitar 0,05 persen dari minyak.
C. KARET 1. Karet Alam Karet alam adalah karet yang diperoleh dari tanaman, mayoritas didapatkan dari pohon Hevea Brasiliensis sisanya dari perdu, tumbuhan merambat, dan tanaman (Simpson, 2002). Secara alami terdapat berbagai jenis tanaman karet yang menghasilkan cairan seperti susu (disebut dengan lateks) yang merupakan suspensi karet dalam serum cair. Tanaman tersebut termasuk dalam famili yang berbeda dan sebagian besar tersebar di wilayah tropis. Beberapa macam tanaman tersebut merupakan famili: Euphorbiaceae (Hevea brasiliensis, Hevea guianensis, Manihot glaziovii), Moraceae (Castilloa ulei, Castilloa elastica, Ficus elastica), Apocynaceae (Funtumia elastica), dan Asclepiadaceae (Cryptostegia grandiflora). Selain itu, tanaman karet juga dapat ditemukan di daerah subtropis diantaranya: Parthenium argentatum (Guayule),
Scorzonera
tau-shagyz,
Taraxacum
kok-shagyz.
Tanaman
penghasil gutta-percha, yaitu: Isonandra, Palaqium, Payena, sedangkan penghasil balata diantaranya: Mimusops, Ecclinusa (Le Bras, 1968). Lateks merupakan sistem dispersi partikel karet dalam suatu serum cair yang mengandung berbagai jenis zat organik maupun anorganik. Lateks memiliki sifat yang sama seperti emulsi pada umumnya, dan secara khusus menunjukkan fenomena koagulasi (perlakuan tertentu dapat menyebabkan partikel menyatu membentuk koagulum yang terpisah dari serum). Selain mengandung air dan hidrokarbon karet, lateks juga mengandung sejumlah kecil zat lain baik yang terdispersi atau terlarut dalam serum yang disebut dengan globula karet. Lateks normal biasanya menghasilkan ekstrak kering sekitar 36-40% melalui pengeringan. Sebanyak 92% persen dari bagian tersebut terhitung sebagai hidrokarbon karet, sedangkan sisanya dikenal
sebagai “konstituen non-karet” yang terdiri dari: protein, lemak, glukosida, garam mineral dan enzim (komponen yang biasa terdapat pada makhluk hidup). Meskipun konstituen tersebut terdapat dalam jumlah yang kecil, tetapi memberikan pengaruh pada proses vulkanisasi karet dan pada sifat vulkanisat. Komposisi karet ditentukan oleh spesies tanaman penghasil, serta faktor biologi dan iklim (Le Bras, 1968). Karet
alam
adalah
senyawaan
hidrokarbon
yang
merupakan
makromolekul dengan rumus molekul cis-1,4- poliisoprena (Simpson, 2002). Setiap molekul karet memiliki berat 200.000-300.000 yang terdiri atas gabungan 3.000-4.000 unit isoprena, dengan ikatan kepala ke ekor (head to tail) (Le Bras, 1968). Menurut Simpson (2002), dalam molekul karet terdapat “konstituen non-karet” diantaranya: protein, gula dan asam lemak yang dapat berperan sebagai antioksidan dan bahan pengaktif pada proses vulkanisasi, selain itu juga terdapat trace element diantaranya adalah kalium, mangan, fosfor, tembaga, dan besi yang dapat berperan sebagai katalis proses oksidasi. Berikut merupakan struktur molekul isoprena pada Gambar 2. Dan struktur hidrokarbon karet (cis-1,4-poliisoprena) pada Gambar 3.
Gambar 2. Struktur Molekul Isoprena (Le Bras, 1968)
Gambar 3. Struktur Hidrokarbon Karet (cis-1,4-poliisoprena) (Le Bras, 1968)
Menurut Le Bras (1968), partikel karet yang terdispersi dalam lateks memiliki ukuran yang sangat kecil, dengan rata-rata diameter sekitar 0.5µ dan jumlahnya diperkirakan sebanyak 7.4 x 1012 dalam 1 gram lateks 40%. Komposisi karet cenderung bervariasi dan ditentukan salah satunya oleh faktor
langsung yang mempengaruhi komposisi alami lateks, selain itu ditentukan juga oleh metode penanganan yang bertujuan mengubah lateks menjadi karet mentah dimana akan meninggalkan semua ataupun sebagian dari konstituen serum. Analisis karet mentah biasanya bertujuan untuk mengetahui kadar air, kadar ekstrak aseton, kadar protein dan abu, serta kadar hidrokarbon karet by difference. Menurut Polunin (1962), ada tiga macam pengelompokkan mutu karet
oleh
RMA
(Rubber
Manufacturer’s
Association)
berdasarkan
pengolahannya diantaranya: Ribbed Smoked Sheet (RSS) (1, 2, 3), Crepe (1, 2, 3), Brown Crepe (1x, 2x, 3x). Komposisi kimia karet alam dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Karet Alam Komponen
Jumlah (%) Karet Mentaha) Karet Skimb) 92-94 91,13
Hidrokarbon Karet Air 0,3-1,2 Ekstrak Aseton 2,5-3,2 Protein 2,5-3,5 Abu 0,15-0,.5 Kadar Kotoran Sumber : a) Le Bras (1968), b) Polunin (1962)
0,41 5,48 2,75 0,23 0,01
RSS 1b) 94,45 0,30 2,50 2,50 0,20 0,025
Karet alam dapat dibentuk menjadi granula (bubuk karet) dan dilarutkan dalam minyak. Karet alam dapat menegang (menghablur/mengkristal) dimana memperlihatkan daya regang dan kekuatan sobek yang tinggi (Simpson, 2002) serta ketahanan kikis yang tinggi (Arizal, 1989). Karet alam digolongkan ke dalam elastomer (polimer yang memiliki sifat keelastisan) untuk penggunaan umum karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis dan tipe barang jadi karet. Penggunaannya sebagai bahan baku barang jadi karet sangat disukai dikarenakan keunggulan sifat-sifat seperti daya pantul, elasitisitas, daya lengket, dan daya cengkeram yang baik serta mudah untuk digiling (Arizal, 1989). Ikatan utama dari karet alam mengandung ikatan tidak jenuh (ikatan rangkap) sehingga menyebabkan tidak tahan terhadap oksigen, ozon, cahaya (Simpson, 2002), dan panas (Arizal, 1989).
Karet alam tidak tahan terhadap minyak, asam pengoksidasi dan memiliki ketahanan terbatas terhadap asam mineral serta akan mengembang jika terkena senyawa hidrokarbon aromatik, alifatik dan hidrokarbon halogen. Namun, karet alam tahan terhadap beberapa bahan kimia anorganik selain bahan tersebut. Karet alam dapat dibuat ikatan silang (vulkanisasi) dengan menggunakan metode sulfur, sistem donor sulfur, peroksida, vulkanisasi dan radiasi isosianat, tetapi sulfur adalah yang paling banyak digunakan (Simpson, 2002).
2. Karet Sintetis Sintetis menunjukkan makna “mutu rendah”, sintetis berarti tidak nyata atau merupakan subtitusi. Konotasi negatif terhadap kata sintetis tersebut bisa terjadi pada saat sebelum proses sintesis kimia mencapai kecermatan atau presisi dengan teknologi yang modern. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini material sintetis dapat memiliki derajat kemurnian dan derajat keseragaman yang lebih tinggi daripada bahan alami. Material sintetis dapat mempunyai kualitas tinggi atau biaya produksi yang lebih bersaing (Polunin, 1962). Menurut Le Bras (1968), komposisi kimia karet sintetis berbeda dengan karet alam. Namun, terdapat metode isolasi dari produk distilasi yang merupakan bahan alami dari karet alam disebut dengan hidrokarbon karet atau isoprena. Isoprena hasil isolasi tersebut dapat diubah kembali menjadi padatan seperti karet, hal ini juga merupakan salah satu bentuk karet sintetis. Isoprena juga dapat dihasilkan dari dekomposisi minyak terpentin. Selanjutnya butadiena juga dapat dibentuk menjadi produk mirip karet melalui proses polimerisasi dengan menggunakan panas. Polimerisasi merupakan proses dasar dalam pembuatan tipe utama karet sintetis. Polimerisasi adalah reaksi antara komponen penyusun disebut dengan monomer yang dapat menghasilkan produk material lain dengan persentase komposisi yang sama tetapi memiliki bobot molekul lebih besar. Komponen penyusun yang dapat digunakan untuk polimerisasi adalah yang bersifat tidak jenuh (memiliki ikatan rangkap). Polimerisasi berlangsung karena adanya
pemutusan dan penggabungan kembali ikatan rangkap yang melibatkan dua monomer bervalensi yang diikuti penggabungan kedua monomer tersebut. Selain itu terdapat metode lain untuk menghasilkan material elastis dengan bobot yang tinggi, yaitu dengan menggunakan reaksi polikondensasi (Le Bras, 1968). Menurut Simpson (2002), polimerisasi kondensasi adalah reaksi penggabungan yang menghasilkan polimer dengan rumus empirik yang berbeda dengan rumus monomernya, sedangkan kopolimerisasi adalah reaksi pembentukan polimer melalui penggabungan dua atau lebih jenis monomer. Jenis-jenis monomer yang digunakan untuk memproduksi karet sintetis tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis-jenis Monomer Bahan Baku Karet Sintetis Nama Monomer
Rumus Molekul Diolefin Butadiena CH2=CH-CH=CH2 Isoprena CH2=C(CH3)-CH=CH2 Dimetilbutadiena CH2=C(CH3)-C(CH3)=CH2 Piperilena CH3-CH=CH-CH=CH2 Kloropena CH2=C(Cl)-CH=CH2 Monoolefin Etilena CH2=CH2 Propilena CH2=CH-CH3 Isobutadiena CH2=C(CH3)-CH3 Stirena CH2=CH=C6H5 Akronitril CH2=CH-CN Ester akrilik CH2=CH-COOR Vinil klorida CH2=CH-Cl Sumber : Le Bras (1968)
Karet sintetis terdiri dari unit molekul penyusun yang dapat menghasilkan sifat elastis tetapi tidak memiliki kesamaan dengan molekul karet alam (C5 H8)n baik dari segi komposisi maupun strukturnya. Unit monomer dengan struktur yang diperkirakan mendekati struktur isoprena adalah butadiena. Butadiena merupakan unit dasar yang digunakan untuk bermacam-macam bahan mirip karet, tetapi untuk memberikan kualitas yang sama dengan karet alam maka dibutuhkan penggunaan kopolimer sehingga struktur polimer yang terbentuk akan berbeda dengan polimer karet alam
(Polunin, 1962). Karet sintetis memiliki sifat elastisitas tinggi dan barang yang dihasilkan dari karet sintetis juga bersifat elastis dan penampakan visualnya tidak dapat dibedakan dengan karet alam. Jenis karet sintetis diantaranya: Butadiena-Stirena, Butadiena-Akrilonitril, Neoprena, Karet butil, Karet Nitril, Karet Akrilat, Karet Silikon, Thiokol, dll (Le Bras, 1968).
D. KOMPON KARET Dalam istilah kimia, kompon didefinisikan sebagai bahan yang terdiri dari dua atau lebih elemen penyusun dengan persentase bobot tertentu. Dalam teknologi karet, kompon merupakan suatu campuran bahan elastomer dan bahan kimia karet dengan jenis dan jumlah tertentu, sehingga diperoleh kompon yang dapat menghasilkan barang jadi karet dengan sifat fisik yang dibutuhkan (Simpson, 2002). Elastomer adalah suatu makromolekul yang pada suhu kamar dapat diperpanjang minimal sampai dua kali dari panjang semula, dan bila direlaksasikan dapat kembali mendekati panjang dan bentuk semula. Elastomer mempunyai beberapa sifat dasar, yaitu elastis, fleksibel, liat, dan relatif tidak tembus air dan udara. Selain itu, setiap elastomer mempunyai sifat khas masing-masing (Alfa, 2007). Rincian lengkap kelompok bahan kimia karet berdasarkan fungsinya tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Kelompok Bahan Kimia Karet Berdasarkan Fungsinya Bahan Kimia Pokok Karet mentah Pemvulkanisasi Penggiat Pencepat Pengisi Pelunak
Bahan Kimia Tambahan Bahan Bantu Olah Pewarna Peniup Penghambat Pengental Pewangi Antidegradan
Bahan Penunjang Tenunan katun Rayon Nilon Poliester Aramid Serat Kaca (fiber glass) Kawat Baja
Sumber : Alfa (2007)
Bahan kimia karet dapat digolongkan atas fungsinya selama vulkanisasi atau dalam barang jadi, dan secara umum dikelompokkan atas bahan kimia pokok, bahan kimia tambahan dan bahan penunjang. Bahan kimia pokok
adalah bahan kimia yang harus ada dalam setiap kompon karet. Bahan kimia tambahan adalah bahan yang hanya ditambahkan pada pengolahan barang jadi karet tertentu atau ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pengolahan kompon karet. Bahan penunjang berfungsi sebagai penunjang atau penguat yang memberikan kekuatan pada bagian suatu barang jadi karet (Alfa, 2007). Berikut ini adalah uraian dari masing-masing bahan kimia karet: 1. Bahan Pemvulkanisasi (vulcanizing agents) Bahan pemvulkanisasi adalah bahan kimia karet yang dapat bereaksi dengan gugus aktif molekul karet pada proses vulkanisasi, membentuk ikatan silang antar molekul karet, sehingga terbentuk jaringan tiga dimensi. Sulfur adalah bahan kimia yang pertama kali ditemukan sebagai bahan pemvulkanisasi dan paling banyak digunakan pada berbagai jenis karet. Sebagian besar jenis sulfur yang digunakan adalah golongan soluble sulphur (Alfa, 2007). Jenis bahan pemvulkanisasi diantaranya adalah: sistem donor sulfur, peroksida organik, oksida logam, uretan, dan turunan quinon (Coran, 1978). Pencampuran sulfur ke dalam sistem vulkanisasi karet juga dapat dilakukan pada proses pembuatan faktis sebagai bahan bantu olah karet. Sifat-sifat vulkanisat karet yang akan diperbaiki dengan adanya bahan pemvulkanisasi diantara adalah: 1. Kekuatan tariknya menjadi lebih tinggi. 2. Lebih sukar larut dalam zat-zat pelarut organik. 3. Lebih keras dan sukar berubah bentuknya. 4. Lebih tahan terhadap perubahan suhu. Serbuk sulfur yang digunakan dalam proses vulkanisasi sebaiknya yang berbentuk serbuk dan sehalus mungkin. Hal ini ditujukan supaya pencampuran dan penyebarannya di dalam sistem vulkanisasi terjadi secara merata (Abednego, 1975). 2. Bahan Penggiat/Pengaktif (activator) Bahan penggiat disebut juga bahan pengaktif (activator) adalah bahan kimia yang ditambahkan ke dalam sistem vulkanisasi, guna menggiatkan proses vulkanisasi yang berjalan sangat lambat jika hanya
menggunakan sulfur. Dalam sistem vulkanisasi dengan bahan pencepat, bahan ini berfungsi sebagai pengaktif kerja bahan pencepat karena pada umumnya bahan pencepat organik tidak akan berfungsi secara efisien tanpa adanya bahan pengaktif. Bahan pengaktif yang paling umum digunakan adalah ZnO (seng oksida) (Alfa, 2007). Macam-macam bahan pengaktif lain diantaranya: golongan oksida logam (seng oksida, seng peroksida, besi oksida, timbal oksida, dan mangan oksida) (Simpson, 2002), dan bahan penggiat organik (asam stearat) (Craig, 1963). 3. Bahan Pencepat (accelerator) Bahan pencepat (accelerator) berfungsi untuk meningkatkan laju vulkanisasi. Dalam sistem vulkanisasi sulfur pada suhu tinggi, bahan pencepat dapat memperpendek waktu vulkanisasi kompon dari hitungan jam menjadi beberapa menit (Morton, 1959). Bahan pencepat biasanya berupa senyawa organik (Simpson, 2002). Bahan pencepat digolongkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan golongan senyawa, respon terhadap vulkanisasi dan fungsinya. Ditinjau dari fungsinya, pencepat dikelompokkan ke dalam pencepat primer yang berfungsi memberikan pravulkanisasi yang lambat, serta pencepat sekunder yang berfungsi memberikan pravulkanisasi yang cepat. Pencepat sekunder biasanya ditambahkan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada pencepat primer, yang bertujuan untuk meningkatkan kecepatan matang kompon karet, atau dengan kata lain mempercepat laju vulkanisasi (Alfa, 2007). Pengelompokkan bahan pencepat berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 7, serta berdasarkan golongan senyawa, dan responnya tercantum pada Tabel 8.
Tabel 7. Kelompok Bahan Pencepat Berdasarkan Fungsinya Kelompok Pencepat Pencepat Primer Pencepat Sekunder
Sumber : Alfa (2007)
Golongan Pencepat Thiazol Sulfenamida Guanidin Thiuram Dithiokarbamat Dithiofosfat
Tabel 8. Golongan Bahan Pencepat Berdasarkan Senyawa dan Responnya Golongan Pencepat
Respon
Contoh
Lambat
HMT
Sedang
DPG, DOTG
Semi cepat
MBT, MBTS
Cepat ditunda
CBS, TBBS, MBS, DIBS ZBPP
Aldehida-amin Guanidin Thiazol Sulfenamida Cepat Dithiofosfat Sangat cepat Thiuram Sangat cepat Dithiokarbamat Sumber : Alfa (2007)
TMTM, TMTD, TETD ZDEC, ZMDC, ZBDC
4. Bahan Pengisi (filler) Bahan pengisi ditambahkan ke dalam kompon karet dalam jumlah besar dengan tujuan meningkatkan sifat fisik, memperbaiki karakteristik pengolahan dan menurunkan biaya. Berdasarkan keaktifannya bahan pengisi dibagi atas dua golongan, yaitu golongan pengisi tidak aktif dan golongan pengisi aktif atau pengisi penguat. Yang termasuk golongan pengisi tidak aktif adalah kaolin, berbagai jenis tanah liat, kalsium karbonat, magnesium karbonat, barium sulfat dan barit. Sedangkan yang termasuk bahan pengisi penguat adalah carbon black, silika dan silikat. Pada jumlah optimum penambahan bahan pengisi penguat, akan meningkatkan kekerasan, modulus, ketahanan sobek, ketahan kikis dan tegangan putus barang jadi karet. Efek penguatan bahan pengisi tersebut ditentukan oleh ukuran partikel, keadaan permukaan dan bentuk, kehalusan butiran dan kerataan penyebarannya Alfa (2007). 5. Bahan Pelunak (softener) Bahan pelunak adalah bahan kimia yang ditambahkan ke dalam karet mentah selama proses pembuatan kompon karet dengan tujuan untuk melunakkan karet dan memudahkan pencampuran bahan-bahan kimia
karet. Secara lengkap tujuan penambahan bahan pelunak adalah sebagai berikut: a. Memudahkan pencampuran bahan pengisi ke dalam kompon karet. Kompon dengan bahan pengisi yang banyak perlu diimbangi dengan jumlah bahan pelunak yang cukup, karena penambahan bahan pengisi akan meningkatkan kekerasan, sedangkan penambahan bahan pelunak sebaliknya akan menurunkan kekerasan. b. Mempersingkat waktu dan menurunkan suhu pencampuran. c. Menghambat vulkanisasi dini (scorch). d. Memudahkan proses pemberian bentuk barang jadi karet. Umumnya bahan pelunak merupakan senyawa organik yang dikenal dengan nama peptizer, plasticizer, dan softener. Berdasarkan sumber bahan bakunya bahan pelunak dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: 1.) Asam-asam organik dan produk tumbuhan cemara, 2.) Produkproduk pengolahan aspal, 3.) Bahan pelunak sintesis, 4.) Minyak mineral hasil industri minyak bumi (petroleum oil) (Alfa, 2007). 6. Bahan Antidegradan Antidegradan adalah bahan kimia yang berfungsi sebagai antiozonan, yaitu melindungi karet dari kerusakan akibat serangan ozon, dan juga berfungsi sebagai antioksidan, yaitu melindungi karet dari kerusakan akibat oksidasi. Beberapa jenis lilin (wax) sering digunakan sebagai antiozonan pada barang jadi karet yang statis. Antidegradan juga berfungsi sebagai metal poison inhibitor, yaitu pelindung karet dari oksidasi yang diakibatkan ion-ion prooksidan seperti ion tembaga, mangan dan besi. Bahan tersebut juga mampu melindungi karet dari sinar matahari atau suhu tinggi (heat stabilizer), dan dari retak lentur (flex-cracking agent) (Alfa, 2007). Golongan bahan antidegradan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Golongan Bahan Antidegradan Golongan Antidegradan Fenil naftilamin Kondensat aldehid-amina Kondensat keton-amina Turunan difenil-amina Fenil sulfida Turunan fenol Sumber : Alfa (2007)
Contoh PAN, PBN Agerite resin Flectol H Nonox OD Santowhite crystal Montaclere, ionol, AoSP
7. Bahan Peniup (blowing agent) Bahan peniup secara umum merupakan bahan kimia organik dengan titik didih yang rendah dimana selama vulkanisasi dapat menguap dan terurai melepaskan gas, sehingga terbentuk pori-pori halus dalam barang jadi karet. Bahan peniup memiliki penggunaan yang luas dalam barang jadi karet (White dan De, 2001). Ada dua golongan bahan peniup yang banyak digunakan, yaitu golongan anorganik seperti natrium bikarbonat dan ammonium bikarbonat, serta bahan peniup organik. Karbon dioksida yang dilepaskan bahan peniup bikarbonat menyebabkan terbentuknya pori-pori dengan struktur terbuka, sedangkan nitrogen yang dibebaskan peniup organik menghasilkan pori-pori dengan struktur tertutup atau uniseluler (Alfa, 2007). 8. Bahan Bantu Olah (processing aids) Bahan bantu olah adalah bahan kimia karet yang ditambahkan pada kompon untuk meningkatkan aktifitas pengolahan kompon tersebut, tanpa atau hanya sedikit mempengaruhi sifat fisika dan karakteristik vulkanisasi barang jadinya. Sejumlah bahan bantu olah berfungsi sebagai pelunak atau pelumas, dan pengaruhnya bergantung kepada kompatibilitasnya dengan berbagai jenis karet. Beberapa alasan pemakaian bahan bantu olah adalah sebagai berikut: 1.) Dalam tahap pencampuran: meningkatkan keseragaman blending karet, meningkatkan dispersi bahan pengisi dan bahan kimia karet lainnya ke dalam karet, menghemat waktu pencampuran dan meningkatkan kapasitas pencampuran, meningkatkan daya lengket kompon keras atau kompon yang berisi banyak bahan pengisi; 2.) Dalam proses ekstrusi:
memperbesar kapasitas dan melicinkan permukaan produk; 3.) Dalam proses acuan injeksi: memendekkan waktu injeksi kompon, memudahkan pelepasan dari cetakan, dan menghemat material kompon yang digunakan (Alfa, 2007). Berdasarkan sumber bahan baku atau jenis produknya, bahan bantu olah digolongkan atas pelunak petroleum, bahan pelunak ester, resin dan aspal, karet cair, asam lemak dan turunannya, lilin hidrokarbon dan polietilen, serta vulkanisat minyak nabati dan faktis. Berdasarkan fungsinya bahan bantu olah digolongkan menjadi: senyawa penghomogenan (homogenizing agent), bahan pelunak atau pelembut (plasticizer and softener), senyawa pemutus rantai (peptizer), senyawa pendispersi dan bahan bantu olah (dispersing agent and processing aids), senyawa peningkat daya lengket (tackifiers), bahan peningkat volume (extender), bahan pemudah lepas cetakan (mold release agent), dan bahan pemudah aliran kompon selama ekstrusi/kalendering (flow improvement) (Alfa, 2007).
E. FAKTIS Faktis merupakan material padat yang sifatnya agak elastis, sehingga dinamakan juga sebagai pengganti karet (rubber substitute) atau bahan seperti karet (rubber like substance) (Stern, 1967), dibuat dari minyak nabati melalui vulkanisasi dengan sulfur atau sulfur klorida (Hotmann, 1989). Faktis diambil dari bahasa Perancis, yaitu “caoutchouc factice” yang sama artinya dengan “rubber substitute” (Reynolds, 1962). Faktis dapat dibuat dari minyak nabati yang kandungan asam lemak tak jenuhnya tinggi atau dari minyak ikan tertentu (Clark, 1962). Secara umum faktis terdiri dari dua jenis, yaitu faktis gelap dan faktis putih. Faktis gelap diperoleh melalui reaksi antara minyak dengan sulfur pada suhu tinggi, sedangkan faktis putih diperoleh melaui reaksi antara minyak dengan sulfur klorida pada suhu yang lebih rendah (Harrison, 1952). Faktis gelap dan faktis putih dapat dikombinasikan dengan cara memvulkanisasi minyak secara parsial dengan sulfur dan disempurnakan prosesnya dengan
vulkanisasi sulfur klorida. Faktis ini dikenal dengan nama faktis campuran (Hotmann, 1989). Menurut Sonntag (1982), meskipun faktis serupa dengan karet, faktis tidak memiliki elastisitas dan kekuatan tarik seperti karet alam maupun karet sintetis. Hal ini disebabkan oleh sifat fungsional gliserida dalam minyak serta sifat produksi faktis yang lebih mengutamakan pembentukan struktur ikatan silang yang intensif daripada pembentukan rantai panjang linear yang merupakan karakteristik utama karet. Fungsi faktis dalam pembuatan barang jadi karet adalah sebagai bahan pencampur dalam industri karet dan digunakan untuk berbagai tujuan seperti dalam pembuatan karet penghapus, pelapis kabel, barang jadi karet selular, barang jadi karet dari lateks, serta dalam pembuatan barang jadi karet yang menggunakan alat kalender, ekstruder dan alat cetak injeksi (Stern, 1967). Aplikasi faktis cukup luas karena meliputi penggunaan dalam pengolahan karet alam maupun karet sintetis (Lever, 1951), diantaranya: SBR, polikloroprena, butil, nitril dan klorosulfonat polietilen (Simpson, 2002). Penambahan faktis ke dalam kompon karet memberikan beberapa keuntungan teknis antara lain memudahkan pencampuran karet dengan bahan kimia karet, mengurangi porositas, meningkatkan kestabilan, memperhalus permukaan, dan meningkatkan daya retak (Alfa dan Honggokusumo, 1998). Faktis atau vulkanisat minyak makin banyak digunakan dalam kompon karet, karena selain mampu menurunkan kekerasan karet juga mampu mengurangi jaringan ikatan molekul dan meningkatkan kualitas penyerapan minyak oleh kompon karet (Alfa, 2007). Sebagai bahan bantu olah, faktis ditambahkan sebanyak 5-30 bsk (bagian per seratus bobot karet) (Alfa, 2007) dan 5-400 bsk sebagai ekstender (Alfa dan Honggokusumo, 1998). Selain itu, keuntungan lain dari penggunaan faktis dalam pengolahan karet alam atau kompon karet antara lain mengurangi konsumsi energi dan mempercepat waktu pencampuran dalam proses penggilingan, membantu dalam mengontrol ketebalan lembaran karet dalam proses kalendering, menghasilkan permukaan produk yang mengkilap dan lebih halus, mengurangi penggunaan bahan pelarut dalam pencampuran, mempermudah penyatuan bahan pengisi, serta
meningkatkan daya tahan terhadap ozon. Terkadang faktis juga menyebabkan kerugian, seperti penurunan kekuatan tarik (tensile strenght) vulkanisat (Lever, 1951). Pembentukan faktis gelap melibatkan reaksi vulkanisasi minyak dengan menggunakan sulfur. Ikatan-ikatan rangkap dalam asam lemak tidak jenuh minyak akan diadisi oleh sulfur sehingga terbentuk ikatan-ikatan silang. Dengan demikian kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak yang semakin tinggi akan menghasilkan faktis dengan kualitas semakin tinggi pula (Fernando, 1971). Jenis-jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jenis-jenis Minyak untuk Bahan Baku Faktis No Jenis Minyak 1. Minyak Kacang Tanah 2. Minyak Jarak (Castor Oil) 3. Minyak Kanola 4. Minyak Biji Kapas 5. Minyak Jagung 6. Minyak Biji Bunga Matahari 7. Minyak Biji Tembakau 8. Minyak Perilla 9. Minyak Kedelai 10. Minyak Kembang Candu 11. Minyak Biji Karet 12. Minyak Tung 13. Minyak Rami 14. Minyak Ikan Paus 15. Minyak Hati Ikan Cod 16. Minyak Ikan Herring Sumber : Reynolds (1962)
Bilangan Iod 82-99 82-90 97-107 103-113 103-125 120-140 135 140 129-143 132-143 127-144 160-180 175-185 110-150 155-170 123-146
Menurut Reynolds (1962), faktis komersial yang banyak diperdagangkan terbuat dari minyak rami, minyak lobak dan minyak jarak. Pemilihan minyak untuk diolah menjadi faktis dipengaruhi oleh ketersediaan sumber bahan baku dan tingkat harga. Harga minyak sangat bervariasi, sehingga Negara-negara produsen faktis misalnya negara di Eropa lebih banyak menghasilkan faktis dari minyak jarak, sedangkan di Amerika lebih banyak memproduksi faktis dari minyak kedelai.
Sonntag (1982), menyatakan minyak atau lemak tidak jenuh, terutama minyak mengering (drying oil), dapat mengalami polimerisasi untuk membentuk berbagai bahan elastis atau lebih dikenal dengan rubberlike material. Pada dasarnya reaksi polimerisasi untuk membentuk faktis serupa dengan reaksi polimerisasi karet. Sulfur dalam hal ini berfungsi sebagai agen pembentukan ikatan silang disulfida.
F. FAKTIS GELAP Faktis gelap adalah faktis yang dihasilkan dengan cara memanaskan minyak dengan sulfur pada suhu tinggi (Flint, 1955). Reaksi pembentukan faktis gelap berlangsung pada suhu yang cukup tinggi, sekitar 130-160oC (Alfa dan Honggokusumo, 1998). Minyak akan terbentuk gel jika direaksikan pada suhu 160 oC selama lebih dari 90 menit. Faktis gelap memiliki kerapatan yang rendah, kenyal seperti karet, permukaan yang mengkilap, mudah hancur dan ulet jika ditekan, bertambah luasnya oleh tekanan, dan jika digiling menjadi serbuk berwarna hitam (Flint, 1955). Variasi warna gelap faktis terdapat dalam beberapa kategori, yaitu: hitam, coklat tua, coklat, dan coklat muda (Lever, 1951). Menurut Fernando (1971), warna faktis berbanding lurus dengan nilai bilangan iod dari minyak nabati yang digunakan. Semakin tinggi nilai bilangan iod, maka akan semakin gelap warna faktis yang dihasilkan. Carrington (1962), menyatakan bahwa warna faktis dipengaruhi oleh suhu vulkanisasi yang digunakan. Semakin rendah suhu vulkanisasi maka warna faktis akan semakin cerah. Konsentrasi sulfur yang digunakan juga mempengaruhi mutu faktis. Semakin besar jumlah sulfur, maka faktis akan semakin keras dan tidak elastis. Sebaliknya jika jumlah sulfur yang digunakan terlalu sedikit maka akan menghasilkan faktis yang lengket. Faktis gelap yang diinginkan konsumen adalah yang mempunyai warna lebih cerah, plastis dan kandungan abu serta sulfur bebas yang rendah. Faktorfaktor yang mempengaruhi mutu faktis gelap adalah suhu yang digunakan, konsentrasi sulfur dan kandungan asam dalam bahan baku minyak yang digunakan (Alfa dan Honggokusumo, 1998). Faktis gelap sesuai untuk
berbagai bahan karet terutama untuk aplikasi warna gelap. Faktis gelap dapat diaplikasikan dalam pembuatan selang air, pembungkus kawat, pembungkus kabel, produk karet cetakan, perabot rumah tangga, keset, penghapus, rol, spons dan sebagainya (Anonim, 2009). Menurut Carrington (1962), secara umum minyak dengan bilangan iod antara 80-185 dapat diolah menjadi faktis, tetapi untuk mendapatkan faktis keras dengan ekstrak aseton rendah dan warna yang baik, digunakan minyak yang mempunyai kandungan asam lemak jenuh kurang dari 5 persen, bilangan iod 80-110 dan mempunyai asam poliolefin lain disamping asam linoleat. Jika kandungan asam lemak jenuh dari minyak lebih dari 5%, faktis akan memiliki tekstur yang lunak. Bilangan asam yang tinggi pada minyak dengan nilai lebih dari 5 akan menyebabkan faktis mempunyai tekstur yang lengket. Jika bilangan asam pada minyak lebih dari 5, maka perlu dilakukan penetralan terlebih dahulu, yaitu dengan menambahkan NaOH atau Na2CO3 pada campuran. Selain itu, penambahan Na2CO3 pada campuran minyak akan menghasilkan faktis dengan tekstur yang lebih padat (Alfa dan Honggokusumo, 1998). Menurut Flint (1955), untuk membuat faktis gelap ada dua tahap yang dapat dilalui, yaitu: a. Pembentukan minyak vulkanisasi Minyak sebagai bahan baku akan tervulkanisasi pada suhu tinggi dan masih berwujud cair. Kemudian campuran tersebut akan menjadi padatan yang elastis jika dibiarkan pada suhu normal. Akan tetapi, padatan elastis tersebut akan larut jika dicuci dengan pelarut organik. Tahapan terbentuknya padatan elastis biasa disebut vulcanized oil atau minyak vulkanisasi. b. Pembentukan faktis gelap Dengan pemanasan lebih lanjut, maka minyak vulkanisasi tersebut berubah menjadi bentuk gel. Padatan gel itu disebut dengan faktis yang tidak mencair bila dipanaskan lagi. Tahap ini disebut dengan tahap terbentuknya faktis gelap. Faktis gelap dikelompokkan atas 3 tingkat mutu (grade) berdasarkan kadar ekstrak asetonnya. Faktis mutu 1 memiliki kadar ekstrak aseton kurang
dari 20%, faktis mutu 2 memiliki kadar ekstrak aseton 20-35%, dan faktis mutu 3 memiliki kadar ekstrak aseton lebih dari 35% (Carrington, 1962). Selain itu, faktis yang bermutu baik harus memiliki kadar sulfur bebas kurang dari 2%, kadar abu kurang dari 5% dan memiliki pH netral (Fernando, 1971). Kadar sulfur bebas yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan merusak sistem vulkanisasi karet (Harrison, 1952). Menurut Harrison (1952), mutu faktis tidak dapat ditentukan melalui uji kimia
saja.
Kesimpulan
yang
terpercaya
dapat
diambil
setelah
mengaplikasikan faktis ke dalam karet. Spesifikasi teknis faktis gelap komersial mutu II dan mutu III tercantum pada Tabel 11.
Tabel 11. Spesifikasi Teknis Faktis Gelap Komersial Mutu II dan Mutu III Parameter
Faktis Gelap Komersial Mutu II Kadar Ekstrak Aseton 26-35 Kadar Sulfur Bebas 1.8 Kadar Abu 1.5 pH Netral Warna Coklat Sumber : Alfa dan Honggokusumo (1998)
Faktis Gelap Komersial Mutu III 47.2 0.9 5.8 Netral Coklat tua
Carrington (1962) menyatakan faktis merupakan material yang bersifat non termoplastik (stabil pada suhu tinggi) dan tidak larut dalam pelarut organik. Sifat non termoplastik dapat diperkirakan dengan mengetahui kelarutan faktis dalam aseton. Rendahnya kelarutan dalam aseton (kadar ekstrak aseton rendah), menandakan bahwa semakin banyak bagian minyak yang tervulkanisasi oleh sulfur atau terbentuk faktis sehingga faktis cenderung lebih bersifat non termoplastik.
G. VULKANISASI Vulkanisasi adalah proses kimia yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) dengan menggunakan bahan pemvulkanisasi, seperti sulfur, bahan yang mengandung sulfur, dan peroksida organik. Tujuan utama dari proses ini adalah membentuk ikatan silang pada molekul karet yang fleksibel,
sehingga menghasilkan jaringan tiga dimensi dan mengubah sifat karet mentah yang rapuh dan plastis menjadi produk yang lebih kuat. Proses vulkanisasi karet biasanya melibatkan pemanasan karet pada suhu 100-180 oC dengan bahan pemvulkanisasi, bahan pencepat (accelerator) dan bahan penggiat (activator) (Craig, 1969). Vulkanisasi kompon dapat mengubah kompon menjadi barang jadi yang memiliki sifat-sifat mekanik, fisika, maupun kimia yang relatif baik seperti dalam hal tegangan tarik, ketahanan kikis, daya pantul, dan ketahanan terhadap pengaruh lingkungan (Maspanger, 2002). Vulkanisasi karet alam dilakukan untuk mengatasi sifat alami karet alam yang mudah rapuh pada suhu dingin dan lunak pada suhu panas. Melalui proses vulkanisasi, produk karet menjadi lebih fleksibel, stabil terhadap perubahan suhu, serta daya tahan dan penggunaan karet alam semakin meningkat (Morton, 1959). Menurut Coran (1978), vulkanisasi merupakan proses yang melibatkan pembentukan jaringan molekuler melalui ikatan kimia dari rantai-rantai molekul bebas. Proses ini akan meningkatkan kemampuan karet untuk kembali ke bentuk semula setelah dikenai gaya mekanik. Vulkanisasi dengan demikian adalah reaksi intermolekuler yang meningkatkan elastisitas karet serta mengurangi sifat plastisitasnya. Pada dasarnya sistem vulkanisasi terdiri dari dua macam, yaitu sistem vulkanisasi dengan sulfur dan bukan sulfur. Sulfur merupakan bahan pemvulkanisasi pertama dan paling sering digunakan untuk vulkanisasi karet alam. Konsentrasi sulfur yang ditambahkan umumnya adalah 8 bagian per seratus bobot karet (bsk) dengan lama vulkanisasi 5 jam pada suhu 140 oC. Penambahan seng oksida (ZnO) akan mempersingkat waktu vulkanisasi menjadi 3 jam, sedangkan penggunaan bahan pencepat (accelerator) dalam konsentrasi kurang dari 0.5 bsk dapat mempersingkat waktu sebanyak 2-5 menit (Coran, 1978). Flint (1955), menjelaskan dari awal mula faktis terbentuk. Minyak sebagai bahan baku merupakan trigliserida yang tersusun dari tiga asam lemak tidak jenuh, yang dapat dilambangkan sebagai R1, R2, dan R3. Sebagai contoh, pada minyak kanola (rapeseed oil) dua dari tiga rantai asam lemak bersifat identik, yaitu terdiri dari 2 rantai asam erukat dan 1 rantai asam oleat. Menurut
Clark (1962), trigliserida merupakan hasil reaksi antara gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang sama atau berbeda jenisnya. Selanjutnya Flint (1955) menyatakan bahwa secara umum trgiliserida pada suatu minyak dilambangkan sebagai E (karena struktur molekulnya mirip dengan huruf E) (Gambar 4a). Akan tetapi, jika bentuk molekul umum ini disesuaikan pada model atom sesungguhnya bentuk umum ini tidak dapat membentuk faktis. Oleh karena itu, asam lemak tidak jenuh dari trigliserida yang memiliki rantai karbon dengan panjang yang berbeda (R3) akan berputar ke posisi perpanjangan R2, sehingga terbentuk posisi yang sering disebut dengan tuning fork (fenomena garpu berputar) seperti yang terlihat pada Gambar 4b. Bentuk molekul seperti garpu ini (tuning fork) rata (flat) dan seperti terhampar pada suatu bidang.
(a)
(b)
Gambar 4. Molekul Trigliserida Bentuk “E” (a) dan “Tuning Fork” (Garpu) (b) (Flint, 1955) Selanjutnya Flint (1955), menjelaskan bahwa ketika minyak mengalami proses vulkanisasi (Gambar 5a) maka dua buah asam lemak tidak jenuh dari trigliserida yang memiliki rantai karbon dengan panjang yang sama (R1 dan R2) akan cenderung membentuk ikatan dengan sulfur yang ditambahkan. Ikatan ini disebut sebagai ikatan intramolekul, yaitu ikatan antara sulfur dengan rantai karbon tak jenuh pada asam lemak lain dalam suatu trigliserida yang dihasilkan dari pemutusan ikatan rangkap pada trigliserida. Proses terbentuknya ikatan intramolekul dapat dilihat pada Gambar 5b. Selain itu,
sulfur yang ditambahkan juga akan membentuk ikatan intermolekul yang merupakan bentuk ikatan sulfur dengan rantai karbon tak jenuh pada trigliserida lain dapat dilihat pada Gambar 5c. Proses ini juga mengakibatkan penggabungan dua trigliserida yang telah berbentuk seperti garpu tersebut dengan model penggabungan ekor ke ekor (tail to tail) disebut juga dengan double tuning fork, sehingga terbentuk unit dasar dari minyak vulkanisasi yang berbentuk bidang datar (flat planar) seperti jembatan yang tediri dari tiga blok/persegi panjang. Proses penggabungan dari dua trigliserida secara tail to tail atau double tuning fork dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Reaksi Vulkanisasi Karbon-Sulfur (a), Ikatan Intramolekul (b), dan Ikatan Intermolekul (c) (Flint, 1955)
Gambar 6. Proses Penggabungan Dua Trigliserida Secara Tail to Tail atau Double Tuning Fork (Flint, 1955) Proses penggabungan secara terus-menerus dari banyak trigliserida minyak yang telah mengalami tuning fork akan membentuk susunan persegi panjang yang bertumpuk. Ikatan sulfur dengan karbon ada yang berupa ikatan monosulfida dan ada pula yang disulfida. Jika beberapa molekul yang mempunyai ikatan sulfur dan karbon di dalamnya, baik ikatan monosulfida
maupun disulfida digabungkan maka akan terbentuk suatu makromolekul yang sangat kompleks (Flint, 1955). Tipe susunan unit pokok faktis tercantum pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7. Tipe Susunan Unit Pokok Faktis: (a) Bata dalam dinding (Bricks in a Wall) dan (b) Tumpukan Buku (Pile of Book) (Flint, 1955)
Struktur molekul faktis gelap menyerupai susunan bata dalam dinding (bricks in a wall) atau tumpukan buku (pile of book) yang memanjang dengan bobot molekul sekitar 7000. Tiap unit bata atau buku digambarkan sebagai gabungan dua molekul trigliserida melalui ikatan mono atau disulfida. Struktur molekul seperti itu memungkinkan mudahnya terjadi sliding effect (di antara rantai molekul lurus) yang memberikan sifat pelumasan kering (dry lubrication) serta bersifat berorientasi menyebar dan mengikat bahan-bahan sewaktu dilakukan suatu proses pencampuran, sehingga mempermudah proses pencampuran dan mempercepat tercapainya homogenitas campuran (Flint, 1955). Flint
(1955),
menyatakan
bahwa
diantara
dua
tipe
struktur
makromolekul, tipe susunan bata dalam dinding (bricks in a wall) akan menghasilkan struktur makromolekul yang lebih kuat. Bila kedua tipe struktur makromolekul ini terdapat dalam faktis, maka proporsi kedua tipe struktur inilah yang akan menentukan mutu faktis. Faktis dengan proporsi tipe struktur bricks in a wall yang lebih besar akan memiliki sifat yang lebih baik.