3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Tanaman jarak pagar (J. curcas L.) berasal dari Amerika Latin, termasuk famili Euphorbiaceae, yang mencakup juga karet dan ubi kayu. Jatropha merupakan sebuah genus besar yang terdiri dari lebih 170 spesies, diantaranya J. curcas, J. glandulifera, J. gossypifolia, J. multifida, J. nana, J. panduraefolia, J. villosa, dan J. podagrica (Misra and Misra 2010). Tanaman jarak pagar termasuk tanaman perdu. Tinggi tanaman dapat mencapai 5-10 m. Daun berwarna hijau dan tersusun berselang-seling pada batang hingga membentuk spiral. Daun jarak pagar pada umumnya berlekuk 3-5, lekukan ini bisa dangkal maupun sangat dalam. J. curcas termasuk tanaman berumah satu (monoecious), berbunga uni seksual, namun terkadang ditemukan bunga hermaprodit. Bunga jantan memiliki 8-10 tangkai sari sedangkan bunga betina memiliki 3 tangkai putik berwarna hijau. Buah berbentuk bulat telur berwarna hijau (ketika muda) dan coklat (ketika masak). Buah jarak memiliki tiga ruang, masing-masing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat-hitam (Gambar 1). Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis baik pada dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl (diatas permukaan laut) dengan tekstur dan jenis tanah yang beragam, tidak tergenang dan pH tanah 5.0 - 6.5. Sistem perakaran tanaman jarak pagar mampu menahan air dan tanah sehingga mampu bertahan terhadap kekeringan dan mampu menahan erosi. Kemampuan untuk bertahan terhadap kekeringan ini juga dapat disebabkan oleh batang yang bersifat sukulen (berair). Menurut Pitono et al. (2008), keadaan lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif jarak pagar, seperti pH < 5.0 (menyebabkan tinggi tanaman, luas daun dan diameter batang hanya mencapai 3050% dari pertumbuhan jarak pagar pada pH 6.0) sedangkan kadar garam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Berbagai upaya untuk memperoleh bibit unggul jarak pagar pada saat ini telah dilakukan. Antara lain melalui persilangan, hibridisasi, seleksi massa dan yang lainnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan telah menghasilkan kultivar jarak pagar pada tahun 2006 yaitu IP-1 (Improved Population-1) dari tiga lokasi perkebunan yaitu Asembagus (IP-1A), Muktiharjo (IP-1M) dan Pakuwon (IP-1P). Kultivar IP-1A (Improved Population1-Asem Bagus) lebih toleran terhadap defisit air tanah daripada kultivar IP-1P (Improved Population-1 Pakuwon). Ketiga kultivar tersebut kemudian diseleksi kembali dan tiga kultivar baru yang telah diperoleh dan diluncurkan pada tahun 2007, yaitu kultivar IP-2A. IP-2M dan IP-2P. Produktivitas kultivar IP-2 mampu mencapai 2.0 – 2.5 ton/ha per tahun pada tahun pertama dan diprediksi mampu mencapai 7.0 – 8.5 ton/ha per tahun mulai tahun ke-4 pada kondisi optimal. Kultivar IP-2M dan IP-2A lebih sesuai untuk dibudidayakan pada daerah beriklim kering sedangkan kultivar IP-2P lebih sesuai untuk daerah beriklim basah (Hasnam 2007).
4
Gambar 1 Morfologi tanaman jarak pagar dan organ reproduksi. a = tanaman utuh; b = bunga jantan; c = bunga betina; d: buah; e = bagian dalam buah dan biji; f = biji (Hasnam 2007). Tanaman jarak pagar dapat bertahan hidup hingga berumur 20 tahun. Produktivitas biji berkisar antara 2 - 4 kg biji / pohon / tahun dan akan stabil setelah umur 5 tahun. Kadar minyak dalam biji berkisar 25 - 35% berat kering biji (Prihandana et al. 2007), sehingga produksi minyak jarak mentah [Cruide Jatropha Oil (CJO)] dapat diperoleh sebesar 1.875-2.5 ton minyak / ha / tahun. Minyak jarak pagar mengandung asam linolenat dan asam oleat, sekitar 80% dari komposisi minyak. Asam palmitik dan asam stearit merupakan asam lemak yang terdapat pada minyak ini.
Cekaman Logam Keberadaan logam (mineral) sangat dibutuhkan makhluk hidup untuk proses fisiologis dan metabolisme tubuh. Logam yang terdapat dalam tanah dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu : (1) Larut air, berada dalam larutan tanah; (2) Tertukarkan, yaitu yang terikat pada lapisan jerapan pada koloid tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion; (3) Terikat secara organik, berasosiasi dengan senyawa humus yang tidak terlarutkan; (4) Terjerat dalam oksida besi dan mangan; (5) Senyawa tertentu seperti karbonat, fosfat dan sulfida dan (6) Terikat secara struktural dalam mineral silikat atau mineral primer. Setiap jenis logam memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda. Menurut Liphadzi and Kirkham (2006) konsentrasi maksimum setiap logam berbeda-beda pada tanaman (Tabel 1). Ketersediaan logam yang melebihi konsentrasi tersebut
5 menyebabkan logam bersifat racun. Ion logam memiliki kemampuan mobilitas sehingga dapat dengan cepat berubah dari immobil menjadi mobil. Logam yang diserap organisme cenderung diakumulatif di dalam organ. Keracunan logam yang terjadi pada tanaman disebabkan oleh terikatnya logam pada protein tanaman sehingga dapat menyebabkan perubahan struktur maupun penghambatan aktifitas. Adanya pertukaran logam dengan salah satu biomolekul dapat menyebabkan efek defisiensi unsur tertentu. Kelebihan logam juga dapat menstimulasi terjadinya radikal bebas dan pembentukan reactive oxygen species (ROS) sehingga menyebabkan terjadinya cekaman oksidatif (Schutzendubel and Polle 2002; Hall 2002). Tanaman yang terkena cekaman logam akan memperlihatkan gejala yang berbeda. Kandungan Co2+, Ni2+ dan Cd2+ yang tinggi pada tanaman kubis menyebabkan pertumbuhan terhambat, terjadi klorosis, dan perubahan warna pada daun (Pandey and Sharma 2002); sedangkan pada tanaman Arabidopsis thaliana dan Phaseolus coccineus ketika terinduksi Cu dan Cd mengalami peningkatan asam jasmonat (Maksymeic et al. 2005). Meskipun memiliki gejala cekaman berbeda-beda, namun secara umum organ yang akan mengalami perubahan pertama kali ketika mendapat cekaman logam adalah akar karena terkena secara langsung didalam tanah. Akar akan memendek dan menebal sebagai akibat perpanjangan sel yang terhambat, lalu diikuti dengan penurunan pertumbuhan daun, proses senesen dan terjadi kerusakan jaringan fotosintesis (Maksymeic 2007). Tabel 1 Konsentrasi maksimum logam pada tanaman (Liphadzi and Kirkham 2006) Jenis Logam
Konsentrasi (ppm / berat kering)
Fe
300
Zn
150
Mn
100
Cu
15
Pb
5.0
Mo
1.0
Ni
1.0
Cr
0.50
Co
0.30
Cd
0.20
Hg
0.01
Menurut Hall (2002) ketahanan tanaman terhadap cekaman logam melibatkan membran plasma yaitu dengan mengurangi penyerapan logam maupun menstimulasi tekanan logam yang telah memasuki sitosol. Untuk menghindari cekaman logam yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan, tanaman memiliki mekanisme pertahanan tersendiri yang melibatkan jaringan-
6 jaringan lain, seperti eksklusi, pembentukan kompleks-kompleks dan sintesis zat pengkelat seperti metallothionein dan fitokelatin (Valls et al. 2000). Kedua jenis ligan ini merupakan peptida yang mengandung banyak asam amino sistein.
Struktur dan Fungsi Metallothionein Metallothionein merupakan sebuah protein dengan berat molekul yang kecil (berkisar antara 4-8 kDa) dan mengandung banyak asam amino sistein (Cys). Dari 45-48 asam amino pembentuk metallothionein, terdapat 12-17 asam amino sistein (Kagi 1991). Pertama kali metallothionein ditemukan pada tahun 1957 di korteks ginjal kuda sebagai protein pengikat Cd oleh Vallee dan Margoshe. Pengelompokan metallothionein pertama kali diterapkan oleh Nordberg and Kojima (1979) yaitu berdasarkan kelompok taksonomi dan terbagi menjadi 15 famili, dimana metallothionein tanaman termasuk dalam famili ke-15. Fowler et al. (1987) mengelompokkan metallothionein berdasarkan struktur primer yaitu kelas I merupakan seluruh protein metallothionein dengan lokasi asam amino Cys mendekati bentuk pola mamalia dan homolog dengan metallothionein mammalia; Kelas II merupakan kelompok protein metallothionein dengan kandungan asam amino Cys yang sedikit. Kelas ini merupakan kelompok metallothionein yang tidak homolog dengan metallothionein mammalia, ditemukan pada cyanobakteri, kapang dan nematoda Caenorhabditis elegans (Kagi 1991); Sedangkan kelas III merupakan kelompok protein metallothionein yang kaya akan asam amino Cys, dengan ciri utama memiliki metalloisopolipeptida yang mengandung gammaglutamyl-cysteinyl, sehingga secara enzimatis dapat mensistesis peptida. Cobbett and Goldsbrough (2002) mengelompokkan protein metallothionein tanaman dalam 4 kelas berdasarkan urutan asam amino Cys dan daerah tanpa Cys (spacer), yaitu (1) metallothionein kelas I, dengan pola urutan Cys-X-Cys-X(3)Cys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-spacer-Cys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-CysX-Cys-X(3) yang terdistribusi seimbang pada dua terminal; (2) metallothionein kelas II, dengan dua ujung N-terminal dan C-terminal kaya akan Cys, dengan pola urutan Cys-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-spacerCys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3)-Cys-X-Cys-X(3) pada asam amino ketiga dan keempat dari sekuen asam aminonya; (3) metallothionein kelas III, hanya memiliki empat asam amino Cys pada ujung N-terminal, dimana tiga Cys pertama membentuk motif Cys-Gly-Asn-Cys-Asp-Cys, dan Cys keempat membentuk motif Gln-Cys-X-Lys-Lys-Gly; (4) metallothionein kelas IV memiliki tiga wilayah yang masing-masing memiliki 5-6 Cys dengan motif Cys-X-Cys. Protein metallothionein tipe 4 tanaman pertama kali ditemukan pada embrio gandum, disebut juga EC, yaitu sebuah protein yang mampu mengikat besi (Lane et al. 1987). Gen Mt pada berbagai tanaman berhasil diisolasi, seperti ubi jalar (Hsien-Jung et al. 2003), semangka (Akashi et al. 2004), Casuarina glauca (Obertello et al. 2007), barley (Schiller 2009), Melastoma malabathricum (Suharsono 2009a), kedelai (Suharsono 2009b), buncis (Wan and Freisinger), karet (Zhu et al. 2010) dan lainnya.
7 Adanya beberapa tipe gen Mt pada tanaman memperlihatkan bahwa ekspresi tiap tipe gen tersebut terjadi secara spesifik pada jaringan maupun organ tanaman. Menurut Cobbet and Goldsbrough (2002), MT tipe 1 memiliki tingkat ekspresi yang lebih tinggi di bagian akar daripada tajuk; sedangkan MT tipe 2 kebalikannya yaitu relatif lebih tinggi di bagian tajuk daripada akar. MT tipe 3 diekspresikan pada daun dan buah yang matang, sedangkan MT tipe 4 diekspresikan hanya pada biji yang sedang berkembang. Guo et al. (2003) menunjukkan bahwa ekspresi Mt1a dan Mt2b banyak ditemukan pada floem semua organ Arabidopsis dan diinduksi oleh Cu. Mt2a dan Mt3 diekspresikan pada sel mesofil dan diinduksi oleh Cu pada daun muda dan ujung akar. Sedangkan ekspresi Mt4 hanya terbatas pada biji. Ekspresi gen Mt pada tanaman umumnya diregulasi oleh berbagai faktor penginduksi, seperti ion logam dengan konsentrasi tinggi, kekeringan, kadar garam, pelukaan dan cekaman oksidatif (Akashi et al. 2004; Lu et al. 2007; Zhu et al. 2010). Ekspresi gen Mt pada Casuarina glauca (Obertello et al. 2007), kapas (Xue et al. 2009) dan karet (Zhu et al. 2010) meningkatkan ketahanan terhadap cekaman oksidatif. Guo et al. (2008) menemukan enam tipe MT pada tanaman mutan Arabidopsis yang sensitif terhadap tembaga (Cu) dan seng (Zn). Gen cicMT2 yang terdapat pada tanaman buncis mampu mengikat ion Zn, kadmium (Cd) dan Cu (Wan and Freisinger 2009). Gaddipati et al. (2003) menemukan bahwa ekspresi metallothionein, sebagai protein untuk detoksifikasi Cd, diinduksi oleh pemaparan Cd pada dosis rendah. Ekspresi gen Mt tipe 2 dan 4 dari daun ubi jalar meningkat ketika terjadi senesen pada daun (Hsien-Jung et al. 2003). Metallothionein merupakan protein yang mampu mengikat logam berat yang bersifat toksik bagi tanaman (metal-binding protein). Kemampuan untuk mengikat logam ini diperoleh dari banyaknya asam amino Cys pada protein ini, yang memiliki rantai samping thiol (sulfhydryl, -SH-) (Kagi 1991). Thiol merupakan senyawa organosulfur yang mampu membentuk ikatan kompleks dengan ion logam berat, dimana dibutuhkan 2-3 rantai thiol untuk mengikat 1 ion logam (Manahan 1991). Metallothionein memiliki struktur domain untuk mengikat Zn, dimana empat atom Zn terikat pada 11 Cys di daerah terminal C domain α. Sedangkan pada terminal N domain β terdapat tiga atom Zn yang terikat pada delapan Cys (Bell and Valle 2009). Domain α (terminal C) pada metallothionein berperan dalam mengikat logam toksik sedangkan domain β (terminal N) pada metallothionein berperan dalam homeostatis ion logam esensial (Kagi 1991).
Ekspresi Gen Penyandi Metallotothionein di Tanaman Transgenik Berbagai tipe gen Mt telah berhasil diisolasi dari berbagai jenis tanaman saat ini. Para peneliti melakukan transformasi maupun ekspresi berlebih gen Mt untuk melihat ekspresi dan peran gen-gen tersebut pada berbagai kondisi cekaman lingkungan, terutama cekaman logam berat.
8
Gambar 2 Struktur domain α-β MT yang mengikat Zn (Bell and Valle 2009) Balestrazzi et al. (2009) mengintegrasikan gen PsMTA1, gen Mt tipe 1 dari Pisum sativum, ke tanaman Populus alba L. cv. Villafranca, dan memperoleh tanaman P. alba dengan akumulasi ROS yang sangat sedikit pada jaringan daun ketika terpapar Cu dan Zn daripada tanaman kontrol. Cekaman lingkungan, seperti cekaman akibat ABA, GA, suhu dingin, panas, pelukaan, PEG dan NaCl dapat meregulasi ekspresi gen OsMT2b yang diintegrasikan ke Arabidopsis (Ren and Zhao 2009). Introduksi gen Mt ke Arabidopsis juga dilakukan oleh Hassinen et al. (2009). Penelitian ini memperlihatkan bila gen TcMT2a, TcMT2b dan TcMT3 tidak terlibat secara langsung terhadap akumulasi Zn, namun berperan melalui homeostatis Cu ketika terjadi konsentrasi Zn dan Cd yang tinggi. Anggraito et al. (2012) telah berhasil mengintroduksikan gen MaMt2 ke dalam Nicotiana benthamiana dan kedelai dengan perantara A. tumefaciens. Ekspresi berlebih gen BrMT1 pada kloroplas maupun sitosol Arabidopsis secara efektif telah mengurangi kadar racun Cd dan cekaman H2O2. Selain itu ekspresi gen tersebut pada kloroplas berhubungan dengan penurunan konsentrasi paraquat-penginduksi klorosis dan akumulasi H2 O2 (Kim et al. 2007). Ekspresi berlebih gen GhMT3a pada tanaman tembakau transgenik juga memperlihatkan berkurangnya H2O2 bila dibandingkan dengan tipe liar. Ekspresi gen ini diinduksi oleh cekaman salinitas, kondisi yang kering dan suhu rendah. Selain itu protein ini juga memperlihatkan kemampuan untuk mengikat ion logam serta menurunkan akumulasi ROS (Xue et al. 2009). Peran gen β-glucuronidase (GUS) sebagai gen reporter banyak digunakan para peneliti untuk melihat peran dan aktivitas gen Mt pada tanaman transgenik. Fusi promoter MT3 dan GUS, MT3::GUS, yang diekspresikan pada Nicotiana occidentalis menunjukkan bahwa aktivitas gen GUS meningkat seiring dengan adanya perlakuan cekaman H2O2 dan pemaparan sinar UV. Peningkatan aktivitas GUS ini memperlihatkan bila promoter MT yang digunakan berperan dalam mendetoksifikasi H2O2 (Brkljacic et al. 2005). Introduksi fusi PsMTA::GUS pada Arabidopsis juga telah meningkatkan aktivitas GUS pada daerah yang mengalami senesen (Fordham-Skelton et al. 1997). Selain pada N. occidentalis dan Arabidopsis, aktivitas GUS ditemukan pada padi dan tembakau transgenik. Ekspresi hasil fusi ricMT::GUS ditemukan lebih tinggi pada daun dan batang
9 tembakau transgenik daripada akar, sedangkan pada padi aktivitas GUS banyak ditemukan pada bagian tunas dan akar (Fukuzawa et al. 2004). Grispen et al. (2011) melakukan transformasi yang berulang pada tanaman tembakau, yaitu dengan menggunakan gen AtMt2b dan AtHMA4. Ekspresi kedua gen tersebut pada tembakau transgenik dapat meningkatkan proses translokasi Cd dan Zn dari akar menuju daun sehingga tidak terjadi akumulasi yang berlebihan pada akar. Rodriguez-Llorentee et al. (2010) memaparkan bila ekspresi gen Mt4a pada tanaman A. thaliana dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap Cu dan Zn yang disimpulkan dari pengukuran panjang akar dan determinasi biomassa daun. Ekspresi gen Mt yang diintroduksikan ke dalam tembakau berkaitan dengan umur tembakau tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chattai et al. (2004) memperlihatkan bahwa ekspresi gen PmMT pada kotiledon tembakau transgenik umur 2 minggu mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa gen Mt hanya berperan dalam perkembangan kecambah tembakau muda dengan menyerap ion penting dan melindungi dari logam yang beracun.
Transformasi Genetik melalui Perantara Agrobacterium tumefaciens Transformasi genetik merupakan suatu proses pengenalan, pengintegrasian serta mengekspresikan gen asing pada inang sehingga diperoleh tanaman transgenik (Chahal and Gosal 2003). Tanaman transgenik merupakan suatu tanaman yang membawa dan mengekspresikan suatu gen asing yang telah terintegrasi secara stabil dan pada umumnya gen asing tersebut diperoleh dari organisme yang berbeda. Untuk memperoleh suatu tanaman transgenik digunakan kombinasi teknologi DNA rekombinan, metode transfer gen dan kultur jaringan. Menurut Chawla (2002) teknik transfer gen dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) transfer gen yang menggunakan vektor dan (2) transfer DNA langsung atau tidak menggunakan vektor. Vektor yang digunakan merupakan vektor yang berpotensi untuk melakukan transfer informasi genetik antara tanaman dan organisme lainnya (bakteri, fungi dan hewan), seperti plasmid Agrobacterium dan virus. Transfer DNA langsung terbukti lebih sederhana dan efektif sebagai teknik yang memperkenalkan DNA asing pada genom tanaman. Teknik transfer DNA langsung terbagi dalam dua kategori yaitu, secara fisik dan kimia. Metode transfer DNA secara fisik tidak memerlukan vektor alam namun langsung mengantarkan DNA pada sel tanaman. Metode ini antara lain menggunakan teknik elektroporasi, biolistik, particle bombardment, mikroinjeksi, makroinjeksi, transfer DNA melalui polen. Metode transfer DNA secara kimia dilakukan dengan menginkubasi protoplas dan DNA dalam buffer yang mengandung polyethyleneglycol (PEG), polyvinyl alkohol maupun ion divalen. Salah satu vektor yang paling banyak dan berhasil dalam melakukan transfer genetik pada tanaman adalah bakteri Agrobacterium tumefaciens. A. tumefaciens merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dan termasuk dalam famili bakteri Rhizobaceae. Bakteri ini memiliki sifat patogen dan apabila menginfeksi tanaman menyebabkan penyakit tumor mahkota (crown gall), yaitu suatu gumpalan jaringan kalus yang muncul disekitar daerah infeksi (Gambar 3). Tumor ini muncul akibat adanya plasmid penginduksi tumor (tumor inducing plasmid –
10 Ti Plasmid) yang dimiliki oleh A. tumefaciens. Plasmid Ti berperan dalam mentransfer segmen DNA yang ada pada bakteri ke dalam tanaman. Plasmid Ti yang terdapat pada A. tumefaciens memiliki beberapa bagian yaitu daerah DNA-T, daerah vir (virulence), daerah replikasi plasmid (Origin of Replication – ORI), dan daerah katabolisme opin (Gambar 4). Masing-masing daerah ini memiliki fungsi yang berbeda dan yang paling berperan dalam proses transformasi genetik adalah daerah DNA-T dan daerah vir.
Gambar 3 Penyakit tumor mahkota pada tanaman. a = Nicotiana benthamiana; b = tomat (Anand et al. 2008). Daerah vir berukuran 30 - 40 kpb dan berada dalam plasmid Ti. Daerah ini memiliki gen-gen vir (virA, virB, virC, virD, virE, virG dan virH) yang berperan secara langsung dalam transfer gen. Gen-gen vir ini akan aktif setelah menerima sinyal dari tanaman, yaitu berupa senyawa fenolik yang dihasilkan oleh luka tanaman seperti asetosiringone dan hydroxyacetosyringone.
Gambar 4 Struktur dari Plasmid Ti pada Agrobacterium tumefaciens (Hooykas and Beijersbergen 1994)
11 Proses transformasi genetik dari A. tumefaciens ke dalam sel tanaman didahului dengan adanya penginderaan Agrobacterium terhadap bagian tanaman yang luka. Luka ini berfungsi sebagai (1) jalur masuk bakteri menuju tempat yang dikenali pada permukaan sel tanaman; (2) sel tanaman menjadi kompeten untuk ditransformasi; dan (3) merangsang pembentukan metabolit yang dilepaskan oleh luka untuk menarik Agrobacterium dan menginduksi gen-gen vir yang diperlukan dalam proses transfer DNA-T (Gelvin 2003). Senyawa fenolik yang dihasilkan tanaman merupakan suatu pertanda bagi Agrobacterium untuk berinteraksi dengan sel tanaman. Interaksi ini diperkuat dengan adanya senyawa β-1,2-glucan yang disandikan oleh gen chvA, chvB dan exoC (Gelvin 2000). Senyawa fenolik ini dideteksi oleh gen virA yang diikuti dengan autofosforilasi protein VirA dan aktifasi gen virG. Protein VirG kemudian akan menginduksi ekspresi gen virD1 yang akan memotong daerah DNA-T pada Agrobacterium sehingga diperoleh utas tunggal DNA-T. Protein virD2 yang terfosforilasi oleh protein VirD1 akan mengarahkan daerah DNA-T menuju nukleus sel tanaman. Gen virB akan memediasi proses introduksi daerah DNA-T ke dalam nukleus sedangkan gen virC1 akan melindungi daerah DNA-T dan meningkatkan aktivitas protein VirD (Gambar 5). Transformasi genetik pada tanaman dapat dideteksi dan dikontrol dengan adanya gen penanda (marker genes). Beberapa gen penanda dapat memperlihatkan ekspresinya didalam sel maupun jaringan secara langsung dan dapat diuji melalui uji fenotip secara terkuantifikasi. Gen penanda ini disebut juga sebagai scoreable marker, seperti opine (octopine synthase dan nopaline synthase); β-glucuronidase (Gus); green fluorescent protein (GFP); dan sebagainya. Selain scoreable marker, terdapat juga selectable marker (penanda seleksi). Gen penanda selektif ini dapat menyebabkan sel transforman mampu bertahan pada media yang mengandung agen seleksi dengan konsentrasi tinggi, sedangkan sel non-transforman mati. Beberapa selectable marker yang banyak digunakan adalah hygromycin phosphotransferase; gentamycin acetyltransferase; neomycin phosphotransferas II dan streptomycin resistance.
Transformasi Genetik pada Jarak Pagar Penanaman jarak pagar di Indonesia telah dilakukan sejak penjajahan Jepang. Masyarakat Indonesia dipaksa menanam jarak pagar sehingga dapat diperoleh minyaknya yang digunakan sebagai bahan bakar kapal dan pelumas senjata. Sejak saat itu jarak pagar banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia namun umumnya hanya dimanfaatkan sebagai pembatas halaman rumah maupun kebun. Selain sebagai pagar pembatas, jarak pagar juga banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu untuk mengobati diare, penurun panas, mengobati luka dan menghentikan pendarahan.
12
Gambar 5 Skema transfer DNA-T dari A. tumefaciens ke dalam sel tanaman. 1a: sel bakteri terikat pada dinding sel tanaman yang terluka; 1b: sinyal tanaman, berupa metabolit fenolik dikenali oleh chvE/virA, kemudian terjadi autofosforilasi dan mengaktifkan virG dan mengikat fosfat menjadi virG-P; 2: virG-P akan mengaktifkan gen vir lainnya; 3: gen vir lainnya yang aktif menghasilkan substrat (daerah DNA-T terpotong) dan kompleks virB, daerah DNA-T yang telah dipotong oleh virD2 diarahkan menuju dinding sel tanaman; 4: daerah DNA-T dikenali oleh kompleks virB dan ditranspor menuju sel tanaman; 5: daerah DNA-T masuk ke dalam sitoplasma sel tanaman dan bergerak menuju nukleus diarahkan oleh gen-gen vir; 6: daerah DNA-T berintegrasi menuju kromosom inang (McCullen and Binns 2006). Jarak pagar dapat digunakan sebagai bahan biodiesel alternatif sehingga penggunaan bahan bakar minyak bumi yang semakin menipis dapat dikurangi. Oleh sebab itu penanaman jarak pagar mulai ditingkatkan diseluruh dunia. Namun yang menjadi kendala adalah minimnya luas lahan subur yang dapat digunakan sementara lahan marjinal masih banyak tersebar dan belum digunakan secara maksimal. Meskipun tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang mampu beradaptasi pada daerah tidak subur namun penanaman jarak pagar di lahan marjinal tidak disarankan karena tidak akan diperoleh hasil panen yang maksimum. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan adanya perbaikan genetik
13 tanaman jarak pagar untuk meningkatkan hasil panen pada lahan marjinal (Johnson et al. 2011). Salah satu perbaikan genetik yang saat ini banyak digunakan oleh para peneliti adalah melalui perakitan tanaman transgenik termasuk pada tanaman jarak pagar. Berbagai gen telah berhasil diintroduksikan ke dalam jarak pagar seperti gen SaDREB1 (Li et al. 2008); gen S-DREB2A (Kumar et al. 2010), gen HD3A (Sulistyaningsih 2012) dengan menggunakan perantara A. tumefaciens. Selain dengan perantara bakteri, penembakan partikel gen secara langsung juga dapat digunakan sebagai metode transformasi genetik ke jarak pagar (Joshi et al. 2011). Tanaman jarak pagar termasuk dalam tanaman yang memiliki daya regenerasi yang rendah secara in vitro. Berbagai penelitian untuk memperoleh efisiensi regenerasi yang tinggi, telah dilakukan. Penggunaan berbagai zat pengatur tumbuh, seperti auksin, giberelin dan sitokinin, dengan berbagai konsentrasi telah meningkatkan efisiensi regenerasi jarak pagar yang diperbanyak secara in vitro. Efisiensi regenerasi jarak pagar telah ditingkatkan melalui organogenesis dari berbagai eksplan, yang meliputi hipokotil (Sharma et al. 2011); kotiledon (Li et al. 2008; Pan et al. 2010; Kumar et al. 2011; Sulistyaningsih 2012;), potongan daun (Deore and Johnson 2008; Kumar et al. 2010; Misra et al. 2010) serta potongan batang (Singh et al. 2010). Ditemukannya berbagai metode perbanyakan kultur in vitro dengan efisiensi regenerasi yang tinggi menjadi dasar perakitan tanaman transgenik jarak pagar. Penggunaan kotiledon sebagai eksplan dan A. tumefaciens sebagai perantara transformasi genetik telah menghasilkan efisiensi transformasi sebesar 15% (Li et al. 2008) dan 24% (Zong et al. 2010). Joshi et al. (2011) memperoleh efisiensi transformasi yang lebih tinggi sebesar 44.7% dengan metode transformasi genetik secara langsung yaitu melalui penembakan partikel gen. Menurut Mazumdar et al. (2010) salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi transformasi genetik pada jarak pagar adalah umur eksplan yang digunakan. Kotiledon dari bibit yang berumur paling muda sekitar 1-2 minggu merupakan eksplan dengan ekspresi gen gus yang paling baik.